Sabtu, 31 Januari 2015

Ost Legend Of The Condor Heroes 2008 – Melayang, By : Judika (Indonesia Version)

Song By : Judika Idol
Original Television Drama Soundtrack : "Legend Of The Condor Heroes 2008"

        




* Siapa yang membangkitkan.
Benci rindu dendam cinta.
Lahirkan sebuah legenda.
Saat menata kehidupan ini.
Rintangan lawan menghalang.
Kehendak langit ditentang.
Tak ada guna dalam meratapi.
Yakinlah pada diri sendiri.
Biar mereka menilai.

REFF :
Kau deru badai pasir.
Kau kokoh bagai tebing.
Kau mata pedang yang melintas.
Dan memandang langit.
Setenang tetes air.
Selembut bunga yang gugur.
Kau dipuja namun tetap fana.
Hati meratap melayang.
Melayang....

(FF) Legend Of The Condor Heroes After Story : Chapter 11

Author : Liana Hwie

Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
Michael Miu as Huang Yao Shi (Oey Yok Shu) 2017

 
 




“Chapter 11 – My Precious One”

“Tak ada seorangpun yang akan mati!” seru suara seseorang dengan tegas, sebelum akhirnya pintu kamar terbuka dan Sesat Timur, Huang Yao Shi melangkah masuk ke dalam kamar.

“Ayah mertua...” panggil Guo Jing senang. Hatinya merasa lega. Ayah Mertuanya pasti bisa membantunya menyelamatkan Rong Erl-nya.

“Ayah, kau datang!” Huang Rong tersenyum lemah melihat ayahnya, dia rindu sekali pada ayahnya. 
Huang Rong ingat ayahnya pernah berjanji bahwa dia akan pulang bila Rong'er melahirkan dan kini ayahnya telah menepati janjinya. 

Sebenarnya Huang Yao Shi sudah lama mempersiapkan kemungkinan bahwa nanti putrinya akan mengalami kesulitan seperti istrinya dulu, mengingat tubuh putrinya yang mungil dan rapuh. Dan kekhawatirannya terbukti saat dia melihat ekspresi sedih Khe Zhen Erl dan Nyonya Wang ketika dia kembali malam ini.

“Jing'er, minumkan 2 butir pil ini untuk Rong'er lalu coba salurkan lagi tenaga dalammu padanya. Pil itu bisa menutup lukanya jadi tenaga dalammu tidak akan mengalir keluar,” jelas Huang Yao Shi seraya memberikan botol berisi pil itu pada menantunya, yang langsung mengambilnya tanpa banyak bertanya. 

Guo Jing dengan tangannya yang gemetar hebat seraya mengeluarkan 2 butir itu dan meminta Rong'er meminumnya. Tak lama setelah Rong'er meminum pilnya, Guo Jing kembali mencoba menyalurkan tenaga dalamnya dan dia kaget saat merasakan efek obat itu mulai bekerja. 

Kekuatan yang dia salurkan mulai menunjukkan hasilnya, wajah Rong'er tak lagi pucat, mengindikasikan bahwa pendarahannya sudah berhenti. Ibu Wang kembali memeriksa tubuh Rong'er dan kaget saat mengetahui pendarahannya sudah berhenti. Dia lega sekaligus gembira mengetahuinya.

Guo Tha Ye (Tuan Besar Guo), anda tak perlu cemas lagi. Semuanya sudah terkendali,” ujar Ibu Wang memberitahu Guo Jing. Guo Jing berterima kasih pada Ibu Wang dan Ayah Mertuanya. Dia langsung memeluk Rong'er erat.

“Aku takut sekali. Takut jika seandainya aku kehilanganmu. Rong'er...Rong'er, terima kasih untuk tidak pergi.” Ujar Guo Jing menangis terharu sekaligus lega. Dia memeluk istrinya sangat erat, seolah-olah takut jika dia melepaskan pelukannya maka istrinya akan menghilang. 


Huang Rong balas memeluk suaminya dengan lega dan terharu. Dia tahu cinta Guo Jing padanya begitu dalam, dan hari ini dia sekali lagi membuktikan betapa besarnya cinta Guo Jing padanya.

“Jing Gege, sudah kubilang aku takkan meninggalkanmu, kan?” ujar Rong'er lembut seraya memeluk erat suaminya.

“Ayah, terima kasih.” Ujar Guo Jing dan Huang Rong bersamaan, saat pelukannya terlepas dan Guo Jing menyandarkan Rong'er di dadanya.


“Aku juga pernah mencoba menyelamatkan Ibu Rong'er dengan cara seperti yang kau lakukan tadi. Tapi tidak berhasil dan Ibu Rong'er tetap meninggal. Kau tahu kenapa? Karena luka akibat pendarahan setelah melahirkan tak sama dengan luka pendarahan akibat sabetan pedang. Untuk menyelamatkan luka pendarahan akibat melahirkan, kita harus menutup dulu luka di rahimnya, jika tidak, tenaga dalammu akan terbuang sia-sia dan istrimu tetap akan meninggal karena kehabisan darah,” jelas Huang Yao Shi sambil mengenang apa yang terjadi pada istrinya dulu.

“Terima kasih, Ayah. Ayah datang pada saat yang tepat,” ujar Guo Jing berterima kasih pada Ayah Mertuanya.

“Rong'er putriku, sebagai ayah, tentu aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada putriku, kan?” jawab Huang Yao Shi menatap sayang putri semata wayangnya.

“Kau mengalami kesulitan saat melahirkan karena usiamu masih terlalu muda untuk melahirkan, tubuhmu juga mungil tapi bayi yang kau lahirkan begitu besar. Tak heran kau mengalami kesulitan, Rong'er.” Omel Ayahnya dengan nada khawatir.

“Untung aku punya ayah yang hebat,” rayu Rong'er dengan senyumnya yang lemah pada ayahnya.

“Tapi setelah kejadian ini, rahimmu mengalami luka yang cukup parah. Rahimmu sangat lemah. Ayah takut kau akan kesulitan untuk mengandung anak kedua kalian. Mungkin kau akan bisa hamil lagi tapi satu kesalahan kecil saja bisa membuatmu mengalami keguguran,” Huang Yao Shi memperingatkan putri dan menantunya.

Guo Jing tak mengatakan apa pun, dia hanya memeluk istrinya lebih erat. Faktanya, Guo Jing tak peduli walau mereka tak bisa punya anak lagi. Dia tak peduli walau seandainya dia tidak memiliki penerus untuk namanya nanti. Baginya yang terpenting Rong'er-nya bisa selamat. 


Dia hampir saja kehilangan Rong'er-nya untuk selamanya. Guo Jing berpikir dia takkan sanggup hidup bila kejadian seperti ini terulang lagi. 

Dia tak sanggup jika harus melihat lagi bagaimana sakitnya Rong'er, bagaimana menderitanya dia saat melahirkan anak mereka. Dia juga tak sanggup bila harus mendengar jerit kesakitan wanita yang dicintainya.

“Tidak! Aku tak mau lagi. Cukup sekali ini saja aku hidup bagaikan mimpi buruk. Aku tak butuh penerus namaku. Aku hanya ingin istriku selamanya di sisiku. Hanya hal sederhana itu. Aku takkan memaksa Rong'er melahirkan anak laki-laki untukku. Tidak! Bila itu harus membuatnya menderita seperti ini lagi,” batin Guo Jing seraya memeluk istrinya, menenggelamkan wajahnya di rambut Rong'er yang lembut seraya menangis pelan. Cintanya pada Huang Rong jauh lebih besar dari keinginannya memiliki penerus nama keluarga.

Dia sangat lega. Lega karena istrinya telah selamat. Sepasang suami istri yang saling mencintai itu hanya saling berpelukan erat satu sama lain dalam kelegaan, mereka menyadari bahwa mereka masih sangat beruntung telah berhasil melalui ini semua. 


Terkurung di dalam dunia mereka sendiri-sendiri, tak pernah terpikirkan oleh mereka, jika karena luka pendarahan yang dialami Huang Rong di rahimnya ini akan membuat mereka benar-benar kesulitan untuk memiliki anak lagi, dan mereka baru akan memiliki anak lagi setelah 16 tahun berlalu. Setelah 16 tahun berlalu barulah mereka memiliki sepasang anak kembar, Guo Xiang dan Guo Polu.

Huang Yao Shi yang mengerti bahwa putri dan menantunya butuh waktu untuk berdua dan tak ingin mengganggu kemesraan mereka, memutuskan meninggalkan kamar itu seraya berkata, “Ayah akan istirahat di kamar. Nanti Ayah akan kembali untuk melihat anak kalian,” ujar Huang Yao Shi lalu segera pergi dari sana, diikuti oleh Ibu Wang dan juga pelayan mereka yang bisu.

“Jing Gege, kau bisa melonggarkan pelukanmu sekarang. Aku janji takkan menghilang.” ujar Huang Rong lembut pada suaminya. 

Guo Jing tertawa pelan di tengah air matanya, dia melonggarkan sedikit pelukannya, seolah masih takut istrinya akan menghilang jika pelukannya terlepas. Dia memandang wajah istrinya yang masih tampak pucat, raut kelelahan terlihat di wajah cantiknya. 

Guo Jing tahu Rong'er-nya telah berjuang sangat keras demi melahirkan anak mereka, dia bahkan mempertaruhkan nyawanya. Dalam hati Guo Jing berjanji, dia takkan membiarkan istrinya sedih atau meneteskan air mata. Kebahagiaan Rong'er dan putrinya adalah yang paling penting baginya sekarang.

“Apa kau ingin istirahat sekarang? Kau pasti lelah setelah 10 jam berjuang melahirkan anak kita,” tawar Guo Jing lembut seraya mengelus rambut Rong'er dengan penuh cinta. 

Huang Rong menggeleng pelan lalu kembali menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing.
“Tidak! Aku masih ingin bersandar dalam pelukanmu,” jawabnya lemah. 

Guo Jing tak menjawab dan hanya memeluknya makin erat. Tapi tak lama kemudian, sebuah suara kecil menyadarkan mereka bahwa mereka tak sendirian di kamar itu.

“Dia sudah bangun. Bawa dia kemari, Jing Gege!” pinta Rong'er pada suaminya. 
Guo Jing mengangguk lalu berjalan ke arah tempat tidur bayi tempat bayi mereka diletakkan. Dengan lembut dia meraih bayi mungilnya dan menggendongnya dalam pelukannya, membawanya kepada ibunya.

Huang Rong menggendong bayi mungilnya dan membelai wajah mungilnya, dia menoleh pada Guo Jing dan bertanya, “Kita harus panggil dia apa?” tanyanya penasaran. 

Guo Jing tidak menjawab, dia hanya menatap kagum dan lega istri dan anaknya, hartanya yang paling berharga. Berpikir dia hampir saja kehilangan salah satu dari mereka, membuat hatinya bagai tersayat. 

Huang Rong yang tak sabar, kembali mengulangi pertanyaannya.
“Jing Gege, putrimu masih belum memiliki nama.” Protes Huang Rong saat Guo Jing masih tak menjawab. 

Lagi, Guo Jing hanya memandang istri dan anaknya dengan bahagia dan menyadari bahwa mereka sangat cantik bagai bunga, bunga miliknya. Bunga yang paling indah dan elegan, dan akhirnya sebuah ide melintas di kepalanya, Bunga lotus (Fu Rong), singkatan dari Guo Fu dan Huang Rong.

“Kalian berdua adalah Bunga Lotusku... Aku ingin menamai putri kita, Guo Fu. Apa tak masalah bagimu?” tanya Guo Jing dengan lembut. Huang Rong menatapnya tak mengerti.
“Bunga Lotus? Maksudmu Fu Rong?” ulang Huang Rong lagi. Guo Jing mengangguk bangga.

“Singkatan dari nama Guo Fu dan Huang Rong. Dua bunga terindah dalam hidupku.” Jawab Guo Jing lagi, menjelaskan arti nama putri mereka. Huang Rong tersenyum bangga pada suaminya.

“Nama yang indah, Jing Gege. Bunga Lotus (Fu Rong), singkatan dari nama Guo Fu dan Huang Rong. Aku menyukainya. Bunga lotus merupakan representasi spiritualitas dalam kehidupan manusia. Bunga Lotus menyimbolkan kejernihan hati dan pikiran. Beberapa percaya bahwa Lotus juga simbol dari kekuatan, keberuntungan, dan kehidupan. Bunga Lotus juga menyimbolkan kelahiran dan kecantikan,” ujar Rong'er, senang dengan arti dari nama anaknya.

“Jing Gege, sejak kapan kau jadi puitis dan pintar?” goda Huang Rong iseng pada suaminya. 

Guo Jing hanya bisa tersenyum bodoh dengan wajah memerah malu karena istrinya menggodanya.
“Aku tak bermaksud puitis, hanya saja, saat melihat kalian berdua, aku merasa kalian berdua sangat cantik bagai bunga. Bungaku, bunga milikku.” Ujar Guo Jing seraya mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang malu-malu.

“Sepertinya sudah lama aku tidak menciummu,” bisik Guo Jing pada istrinya lalu kemudian mencium bibirnya mesra. 

Guo Jing merasakan bibir istrinya sangat kering dan dingin, mungkin karena selama 10 jam ini dia telah merasakan sakit. Tak ingin membuat lelah istrinya dan takut jika dia tak mampu menahan dirinya, Guo Jing segera melepaskan ciumannya dan menatap bayinya lembut. Bayi mungil itu bergerak-gerak lucu.

Guo Jing meraih tangan mungilnya dan berbisik lirih padanya, “Hallo, Guo Fu... Putri kecilku, Fu'Er. Aku ayahmu. Apa kabar sayang?” 

Guo Jing berkata lembut pada putri mungilnya, dan seolah mengerti ucapan ayahnya, bayi mungil itu segera menggenggam erat jari telunjuk ayahnya dan tertawa pelan, menunjukkan mulut mungilnya yang masih ompong, dia meremas jari telunjuk Guo Jing dengan kelima jari mungilnya, tertawa senang. Seolah-olah dia menyukai namanya.

“Jing Gege, sepertinya putri kita menyukai namanya,” ujar Huang Rong bahagia. 
Guo Jing dan Huang Rong tertawa bahagia dan saling menatap penuh cinta. Dunia mereka sekarang sempurna. Mereka saling memiliki dan putri kecil mereka akan semakin membuat hidup mereka bertambah indah.

“Aku mencintaimu, Rong'er. Kau dan anak kita.” Ujar Guo Jing tiba-tiba sambil melingkarkan lengannya di pundak istrinya yang kembali bersandar di dadanya bersama bayi dalam gendongannya.

“Aku juga mencintaimu, Jing Gege. Kau dan anak kita.” Huang Rong mengucapkan hal yang sama. 
Guo Jing memeluk mereka berdua, istri dan anaknya dalam pelukannya, seolah ingin melindungi mereka dari semua hal buruk yang mungkin akan terjadi nantinya.

Malam itu, bulan bersinar terang dan bintang-bintang berkelap-kelip dengan indah di angkasa, menambah keindahan dan kedamaian di Pulau Bunga Persik, seolah-olah sebagai tanda bahwa dunia menyambut lahirnya Sang Putri Kecil.

The End.

(FF) Legend Of The Condor Heroes After Story : Chapter 10

Author : Liana Hwie

Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
All cast from "Legend Of The Condor Heroes 2017"
   





“Chapter 10 – My Little Princess”

Mendengar permohonan Guo Jing yang tulus dan menyayat hati, Ibu Wang pun akhirnya mengalah. Dia menyuruh salah satu pelayan bisu untuk membuka pintunya dan menyuruh Guo Jing masuk ke dalam kamar. 

Begitu pintu kamar dibuka, Guo Jing segera menerobos masuk dan berlari ke sisi istrinya yang sekarang terbaring lemah. 

Dengan air mata menetes pelan, dia menggenggam tangan Rong'er dan berkata lembut, “Rong'er, jangan khawatir! Jing Gege ada di sini bersamamu. Aku takkan pergi! Aku di sini bersamamu!” bisiknya lirih seraya meletakkan kepala Rong'er di pahanya.

Huang Rong tersenyum lemah sebelum mengalami kontraksi lagi dan sekali lagi dia menjerit. Melihat Rong'er-nya menjerit kesakitan, hati Guo Jing bagaikan ditusuk ribuan pedang. 

Dia menatap Ibu Wang dengan tatapan mata memohon, “Tidak adakah yang bisa kita lakukan untuk menghilangkan rasa sakitnya?” Guo Jing bertanya dengan nada penuh harap.

Ibu Wang hanya menggelengkan kepalanya pelan, “Tubuhnya terlalu mungil tapi bayinya begitu besar. Itu sebabnya Guo Fu Ren (Nyonya Guo) mengalami kesulitan melahirkannya. Tak ada yang bisa kita lakukan selain memberinya semangat. Dia harus bisa melakukannya sendiri,” jawab Ibu Wang menjelaskan kondisinya.

Mendengar penjelasan Ibu Wang, Guo Jing segera meremas tangan istrinya dan memberinya semangat, “Rong'er, kau harus bisa! Doronglah! Aku tahu kau pasti bisa! Lakukan untukku! Lakukan untuk kita! Aku tak mau kehilanganmu. Kumohon, Rong'er! Kumohon jangan tinggalkan aku!" Guo Jing terus memohon pada istrinya untuk berusaha sekali lagi.

“Aku mencintaimu. Rong'er, kau sudah berjanji takkan pernah tinggalkan aku! Aku tak bisa hidup tanpamu. Akutak mau hidup tanpamu. Lakukan untukku! Aku mencintaimu. Rong'er, kumohon jangan tinggalkan aku!” Guo Jing terus berusaha memberikan semangat. 


Air mata terus menetes di matanya. Dia sangat ketakutan, takut Rong'er akan meninggalkannya. Dia meremas tangan Rong'er dengan kuat, air matanya menetes di kening istrinya. Wajahnya tak kalah pucat dengan wajah istrinya. 

Merasakan kekuatan cinta Guo Jing padanya yang begitu besar, merasakan air mata Guo Jing yang menetes di keningnya. Huang Rong seolah mendapat kekuatan baru.

“Jing Gege sangat mencintaiku. Dia tidak bisa hidup tanpaku. Bagaimana bisa aku berpikir untuk menyerah dan meninggalkannya sendirian di dunia ini?” Huang Rong menangis terharu saat mendadak kontraksinya muncul lagi.

“Arrgghh!” jeritnya lagi seraya meremas tangan Guo Jing erat.
“Rong'er, kumohon doronglah! Sedikit lagi! Kau pasti bisa! Lakukan untukku! Doronglah! Kau sudah berjanji padaku. Jangan menyerah, Rong'er. Aku mencintaimu.” Guo Jing tak hentinya memberinya semangat sambil menangis pelan. Huang Rong mengangguk lemah dan tersenyum singkat.

“Rong'er akan melakukannya untukmu, Jing Gege. Rong'er takkan pernah meninggalkanmu!” ujarnya lirih lalu mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong bayinya keluar. 

Gagal pada awalnya, namun pada dorongan ketiga, disertai dengan jeritan panjang darinya, terdengar suara tangisan bayi yang nyaring. Begitu nyaring dan memecah kesunyian malam di Pulau Bunga Persik.

Ibu Wang bersorak gembira, “Bayinya sudah lahir. Selamat! Kalian memiliki bayi perempuan yang sangat cantik. Guo Tha Ye (Tuan Besar Guo), bukankah kau menginginkan bayi perempuan? Tuhan mengabulkan keinginanmu,” ujar Ibu Wang sambil tersenyum dan menimang bayi mereka. Guo Jing dan Huang Rong saling bertatapan penuh cinta.

“Rong'er, kita punya bayi perempuan. Seorang gadis kecil yang cantik. Terima kasih, sayang.” Bisik Guo Jing lembut seraya menyeka airmatanya terharu.

“Ibu Wang, aku ingin melihat putriku,” ujar Huang Rong seraya mengulurkan tangannya ke arah si bayi mungil.

“Kami akan memandikan bayimu lebih dulu. Guo Tha Ye (Tuan Besar Guo), kau keluarlah dulu! Kami akan membersihkan istri dan bayi anda,” ujar Ibu Wang.

Tapi sekali lagi Guo Jing dengan keras kepala menolak, dia menggelengkan kepalanya dan berkata tegas, “TIDAK! Aku ingin bersama Rong'er!” Ujarnya keras kepala. 

Huang Rong menatap suaminya sambil tersenyum, tanpa mengatakan apa pun. Huang Rong tahu Guo Jing masih cemas dan takut, takut dia dan bayi mereka akan menghilang jika suaminya meninggalkan ruangan ini. Huang Rong tertawa dalam hati, suaminya kadang sangat kekanakan dan keras kepala.

Menarik napas, akhirnya Ibu Wang mengalah, “Baiklah! Kalau begitu kau bantu pelayan memandikan bayinya. Aku akan membersihkan Guo Fu Ren (Nyonya Guo).” Ujar Ibu Wang. 

Guo Jing terdiam sejenak memandang Rong'er, dan akhirnya karena dia ingin melihat dan menggendong putrinya, dia pun mengangguk pelan dan melepaskan genggaman tangannya di tangan Rong'er, lalu menuju ke arah pelayan yang sibuk memandikan si kecil.

Guo Jing tertawa geli melihat bayi mungil itu bergerak-gerak saat pelayan itu memandikannya untuk pertama kali. Rasa bangga memenuhi rongga dadanya, membuat hatinya merasa hangat. 

Dia mungkin mengatakan ini dari sudut pandang seorang Ayah tapi kenyataannya memang bayi mungil itu sangat cantik seperti bunga. Dia memiliki mata dan alis lentik seperti Rong'er, bibir mungilnya merah merekah, tapi satu yang pasti, dia memiliki hidung yang sama seperti hidungnya.

Guo Jing tersenyum bangga pada putrinya. Saat pelayan itu menyerahkan bayi mungil itu pada ayahnya, dia segera menggendongnya dengan kikuk, tapi matanya tak pernah lepas dari makhluk mungil yang lucu ini. 

“Putri kecilku, selamat datang di dunia ini,” batinnya bangga. Guo Jing mengangkat bungkusan mungil itu lalu mencium pipi mungilnya dengan sayang.

“Anakku...Anakku dan Rong'er. Anakku yang lahir dari rahim wanita yang kucintai. Dia adalah buah cinta kami. Terima kasih Tuhan, telah membuat hidupku lebih berarti,” batin Guo Jing dalam hati seraya menimang dan terus menciumi pipi mungil bayi perempuannya.

“Hallo, Putri kecil. Aku ayahmu.” Guo Jing memperkenalkan dirinya pada si kecil yang dibalas dengan senyuman manis dari si kecil. 

Guo Jing merasa sangat bahagia, kini dia telah menjadi seorang Ayah. Dia memiliki seorang Istri dan putri yang cantik. Dia tersenyum bangga melihat putri kecilnya.

“Jing Gege, bawa dia padaku! Aku yang susah payah melahirkannya, kenapa kau seolah memonopoli dia untuk dirimu sendiri?” goda Huang Rong lemah dari arah ranjang. 

Melihat Guo Jing menggendong, menimang, dan mencium putri mereka tanpa henti, membuat Huang Rong merasa iri. Dia juga ingin menggendongnya dalam pelukannya.

Guo Jing tersenyum melihat istrinya memanggilnya, perlahan dia mendekati istrinya yang terbaring lemah dan menyerahkan bayi mungil itu pada ibunya.

“Dia sangat cantik, kan?” ujar Guo Jing bangga.
“Tentu saja. Itu karena dia punya ibu yang cantik sepertiku,” Huang Rong menjawab, tak kalah bangga. 

Saat berada di dalam gendongan ibunya, bayi mungil itu langsung menangis seraya menggerakkan kepalanya ke arah dada Rong Erl.

Huang Rong tersenyum geli dan bertanya pada bayinya, walau bayinya tak mungkin mengerti, “Apa kau lapar? Baiklah! Sekarang saatnya minum susu,” jawab Huang Rong seraya berusaha untuk duduk. 

Melihat istrinya masih kesulitan, Guo Jing segera membantunya untuk duduk. Dan diapun duduk di samping isrinya dan melihat dengan penuh cinta dan sayang, Rong'er memberi minum bayi mereka dengan air susunya.

Bayi mungil itu seolah mengerti, secara insting dia langsung menuju tempat di mana dia akan menemukan makanannya. 
“Ouch,” Rong'er menjerit kecil.
Guo Jing kembali panik. “Rong'er, ada apa?” tanyanya cemas.

Huang Rong tersenyum kecil dan menjawab, “Putrimu ini begitu antusias. Dia menggigitku dengan penuh semangat. Sama seperti ayahnya, selalu tak sabar. Kau juga menggigitku seperti ini,” goda Huang Rong, membuat wajah Guo Jing memerah malu.

“Kapan aku...” dia ingin bertanya tapi pertanyaannya tersangkut di tenggorokan karena terlalu malu.

“Saat malam pertama. Bukankah kau juga menggigit dadaku seperti yang dilakukan anakmu? Anakmu karena lapar, tapi kau karena apa?” goda Huang Rong lagi, melihat wajah suaminya memerah malu membuatnya merasa sangat lucu.

“Rong'er...Itu...aku...Maaf jika itu membuatmu sakit,” ujarnya menyesal. 

Huang Rong tersenyum nakal, “Tidak apa-apa. Siapa bilang sakit? Aku menyukainya. Walau mungkin agak sedikit geli. Sama seperti anak ini, dia membuatku geli. Lihat! Dia minum banyak sekali,” ujar Huang Rong sambil tersenyum geli. 

Guo Jing memandang istri dan anaknya dengan terharu, kedua hartanya yang paling berharga. Dia merasa dunianya sempurna sekarang.

Guo Jing dan Huang Rong menangis terharu melihat putri pertama mereka, “Minumlah pelan-pelan sayang, nanti kau bisa tersedak,” bisik Rong'er lembut saat melihat bayinya terbatuk -batuk dengan lucu.

“Dia sangat mirip denganmu, Rong'er. Sangat cantik bagai bunga,” puji Guo Jing terharu seraya meraih tangan mungil bayinya yang langsung disambut oleh bayi itu. 

Seolah tahu bahwa itu adalah tangan ayahnya, bayi mungil yang masih asyik menyusu itu segera menggenggam jari Guo Jing erat dengan kelima jari mungilnya. Guo Jing tersentak, tak menyangka putrinya akan menggenggam tangannya. Dia tertawa lucu.

“Lihat! Dia menggenggam tanganku,” ujar Guo Jing girang dengan mata berbinar bangga.
“Dia tahu kalau kau ayahnya. Benar, sayang, itu ayahmu. Karena dia, kau ada di dunia,” bisik Rong'er memberitahu. 

Guo Jing mengangguk haru. Dia begitu bahagia melihat mereka berdua, istri dan anaknya. Guo Jing terlalu bahagia dengan kelahiran putrinya hingga tak sadar saat Ibu Wang memanggilnya pelan.

“Guo Tha Ye (Tuan Besar Guo), ada sesuatu yang harus kuberitahu padamu,” ujarnya pelan, memberi tanda untuk menjauh dari Rong Erl. Guo Jing dengan enggan berjalan menjauh dari istri dan anaknya.

“Ah ya, aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih telah membantu Rong'er,” ujar Guo Jing dengan tersenyum bahagia.

Ibu Wang terdiam sebelum akhirnya melanjutkan lagi, “Nanti saja berterima kasihnya. Kondisi istri anda masih belum stabil. Dia telah kehilangan banyak darah dan ramuan herbal itu tidak bisa menghentikan pendarahannya,” Ibu Wang terlihat menyesal harus memberitahu hal ini.

Guo Jing seketika membeku. Dia mengira Rong'er-nya sudah lolos dari bahaya. 
“Apa maksud Anda? Apa hidup Rong'er masih dalam bahaya?” tanya Guo Jing, kembali, rasa takut mencengkeramnya.

“Aku sangat takut akan seperti itu. Seorang wanita yang melahirkan, bisa saja meninggal karena pendarahan,” ucapnya, bagai belati yang ditikamkan ke jantung Guo Jing.

“Tidak! Bagaimana...bagaimana ini bisa terjadi?” tanyanya dengan suara gemetar. 

Huang Rong yang cerdas, bisa melihat ada sesuatu yang tidak beres terjadi padanya. Dia bisa melihat wajah Guo Jing yang tadinya sangat bahagia, mendadak kembali pucat.

“Jing Gege, sesuatu yang buruk terjadi padaku, kan?” tanyanya lemah dari arah ranjang. 
Dia menyerahkan bayinya pada pelayannya yang bisu. 

Guo Jing menoleh padanya, tapi tak sanggup mengatakan apa pun. Wajahnya pucat bagai salju, sorot mata ketakutan kembali terpancar di matanya yang tadinya bahagia.

“Aku terlalu banyak mengalami pendarahan, benarkan?” lanjut Huang Rong, melihat suaminya tidak menjawab tapi hanya memandangnya dengan wajah sepucat mayat. Huang Rong bisa merasakan tubuhnya semakin lemah, dia mulai kehabisan tenaga.

Guo Jing dengan tubuhnya yang mulai gemetar ketakutan, berlari ke arah istrinya dan berkata, “Aku akan mengalirkan tenaga dalam ke tubuhmu dengan menggunakan ilmu pengobatan dari kitab 9 bulan. Bukankah dulu lukaku juga sembuh dengan cara seperti ini?” Guo Jing berharap ada sebuah keajaiban untuk mereka.


Dia segera meraih tubuh istrinya dengan lembut dan membuatnya berada dalam posisi duduk lalu segera menyalurkan tenaga dalam kedalam tubuh Rong'er dengan harapan untuk menutup luka di rahimnya.

Tapi dia merasakan ada sesuatu yang aneh sedang terjadi. Setelah berkali-kali mencoba, dia merasakan tenaganya langsung terbuang begitu saja. Bagaikan menuang air ke dalam botol yang bocor, setiap kali air itu mengalir masuk maka detik itu juga kembali mengalir keluar.

 

“Tidak mungkin! Kenapa seperti ini? Apa yang terjadi? Aku tak mungkin salah. Bukankah dulu lukaku sembuh dengan cara seperti ini?” tanya Guo Jing tak percaya, suaranya terdengar sangat putus asa.

“Jing Gege, sudahlah! Aku kehilangan banyak darah bukan karena terluka tapi karena melahirkan, kasusnya berbeda, Kak Jing. Sudahlah! Kau akan terluka bila terus memaksakan dirimu,” ujar Rong'er pasrah. Dia tahu Guo Jing sudah berusaha.

“TIDAK! Kau tidak boleh tinggalkan aku! Kau takkan mati, Rong'er! Aku akan menyelamatkanmu bagaimanapun caranya. Aku tidak peduli walau aku harus kehilangan seluruh ilmuku,” Guo Jing tetap keras kepala mencoba.

Air mata kembali menggenang di wajahnya, Rong'er bisa merasakan seluruh tubuh Guo Jing gemetar saat telapak tangannya menyentuh punggungnya saat dia menyalurkan tenaganya, tapi Guo Jing tak menyerah.


“Jing Gege, sudahlah! Hentikan ini!” ujar Huang Rong pasrah. Dia pun menangis lirih.
“Rong'er, kau tak boleh mati. Aku takkan membiarkanmu mati!” Guo Jing berkata dengan tegas, menolak untuk menyerah.

“Tak ada seorangpun yang akan mati!” seru suara seseorang dengan tegas, sebelum akhirnya pintu kamar terbuka dan Sesat Timur, Huang Yao Shi melangkah masuk ke dalam kamar.

“Ayah mertua...” panggil Guo Jing senang. Hatinya merasa lega. Ayah Mertuanya pasti bisa membantunya menyelamatkan Rong'er-nya.

“Ayah, kau datang!” Huang Rong tersenyum lemah melihat ayahnya, dia rindu sekali pada ayahnya.

To Be Continued....