Selasa, 08 Januari 2019

Sinopsis Lengkap Legend Of The Condor Heroes 2017 (Ep 50)

Akhirnya tibalah kita di 3 episode terakhir serial adaptasi terbaru “Legend Of The Condor Heroes 2017” bersama si ganteng bertubuh tinggi, William Yang Xuwen sebagai Guo Jing. Episode-episode yang bikin baper dan penuh drama mulai lagi. Perpisahan kedua Guo Jing dan Huang Rong. Di episode sebelumnya, Huang Rong membantu Guo Jing menaklukkan kota Samarkhan dan menangkap Wan Yen Hong Lieh. Yang ini artinya, akhirnya dendam kesumat Guo Jing terbalaskan.

Tapi sayangnya, karena merasa kasihan dengan penduduk kota yang sudah dia taklukkan, alih-alih meminta hadiah berupa pembatalan pernikahan seperti yang Guo Jing janjikan pada sang kekasih, Guo Jing justru meminta hadiah berupa pembebasan penduduk kota yang sudah dia taklukkan.

Tentu saja hal ini membuat Huang Rong kembali salah paham dan mengira Guo Jing tidak serius ingin benar-benar bersamanya dan lebih suka menikah dengan Putri Mongol serta menjadi Menantu Pisau Emas. Pisah lagi kan mereka... Jing Gege, Jing Gege, kadang terlalu baik hati juga nyebelin ya, yang jadi ceweknya harus ekstra bersabar *puk puk Rong’er* Kalau gak bener-bener cinta, nih Guo Jing pasti uda ditinggalin Rong’er sejak awal. Dan Guo Jing yang mengejar Rong’er untuk menjelaskan, bertemu dengan Ou Yang Feng yang mengatakan bahwa Huang Rong telah tewas karena masuk ke dalam pasir hisap.

Dengan bukti mantel bulu cerpelai yang pernah Guo Jing hadiahkan pada sang kekasih pada saat mereka pertama kali berjumpa dan jepit rambut emas milik sang kekasih, tentu Guo Jing pun spontan percaya. Mengira sang kekasih telah meninggalkan dunia ini, membuat Guo Jing depresi berat. Nyesel kan loe, sekarang. 

Tak hanya itu, di episode kali ini juga diceritakan tentang Ibunda Guo Jing yang lebih memilih mati daripada menjadi pengkhianat negara. Sang Ibunda pun mati di hadapan putra semata wayangnya setelah memintanya berjanji agar tidak menjadi pengkhianat bangsa seperti Yang Kang. Bagaimana perasaanmu, Jing Gege? Setelah mengira sang kekasih telah “mati”, kini ibunda tercinta juga ikut mati. Tapi setidaknya, karena kejadian ini, Hua Cheng yang merasa bersalah akhirnya memutuskan untuk membatalkan janji pernikahan mereka. Well, setidaknya masih ada hikmah di balik musibah. Tapi bagi Guo Jing sekarang percuma, karena gadis yang dicintainya sudah meninggal jadi dibatalkan pun tak ada gunanya. Dia tetap tak bisa bersama Rong’er lagi. Kasian juga liat Jing Gege >_< Tapi tenang saja Jing Gege, after the wind and rain, there will be a brand new day ^_^





  
Dan kisahpun berlanjut... 
Tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, Huang Rong dengan bahagia menunggu sang kekasih di tendanya seraya memandikan si kuda merah. Tetua Lu yang melihat sang ketua tampak sangat bahagia, berjalan mendekatinya dan menggodanya.

“Ketua, aku sudah lama tidak melihatmu bahagia seperti ini.” ujar Tetua Lu yang ikut gembira melihat Ketuanya gembira.


“Aku ikut gembira untuk Jing Gege. Akhirnya dia berhasil membalaskan dendam ayahnya. Dan setelah sekian lama, ganjalan di hatinya sudah menghilang.” Jawab Huang Rong dengan tersenyum ceria.

“Lalu bagaimana dengan ganjalan di hati Ketua? Apakah sudah hilang?” goda Tetua Lu yang membuat gadis itu hanya bisa tersenyum malu.


“Tetua Lu, kau juga menertawakan aku.” Jawab Huang Rong malu-malu. 

“Aku hanya ikut gembira untuk kalian. Ketua dan kekasih Ketua sudah melewati begitu banyak rintangan, sekarang akhirnya kalian bisa bersama.” Jawab Tetua Lu dengan gembira.

“Menurutku, Tuhan memang sengaja menguji cinta kami.” Jawab Huang Rong bijaksana. 


“Benar. Ke mana kalian akan pergi selanjutnya? Tunggu sebentar, biar kutebak. Ketua dan kekasih Ketua pasti berencana ingin pulang ke Pulau Persik untuk menikah, kan?” goda Tetua Lu lagi yang hanya dijawab dengan anggukan kepala malu-malu oleh Huang Rong.

“Kalau begitu, aku akan lebih dulu memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian.” Ujar Tetua Lu dengan tulus seraya membungkuk hormat pada sang Ketua.


“Terima kasih, Tetua Lu.” Jawab Huang Rong malu-malu. Dia sudah membayangkan akan menikah dengan Guo Jing dan hidup bahagia.

Kemudian Tetua Lu memohon ijin untuk membawa saudara-saudara Kaypang kembali ke China Daratan bila sang Ketua sudah tidak lagi membutuhkan bantuan mereka. Mengira bahwa masalahnya sudah selesai, Huang Rong pun mengangguk menyetujui dan menyuruh mereka untuk kembali ke China Daratan.

Tak lama kemudian, Huang Rong tampak sibuk membereskan barang-barang mereka karena berpikir bahwa mereka akan segera pergi meninggalkan Mongol setelah pembatalan pernikahan Guo Jing disetujui.

 

Mendengar langkah kaki Guo Jing memasuki tenda, Huang Rong segera membalikkan badannya dengan gembira dan menyambut sang kekasih dengan penuh senyuman. Namun Guo Jing hanya menatapnya diam dengan penuh rasa bersalah.

“Jing Gege, barang-barangnya sudah kubereskan.” Ujar Huang Rong ceria. 


“Apakah Khan Agung sudah menyetujui pembatalan pernikahanmu?” lanjut Huang Rong dengan penuh harap sementara Guo Jing hanya menggelengkan kepalanya pelan dengan penuh penyesalan.

 

“Kenapa? Jika bukan karenamu, apakah pasukan Temujin bisa menaklukkan kota Samarkhan? Jika tidak, pasukan Mongol pasti sudah habis semua. Kenapa dia tidak mengabulkan permintaanmu?” Ujar Huang Rong marah, mengira Jenghis Khan menolak mengabulkan permintaan Guo Jing.


“Karena aku tidak meminta pembatalan pernikahan.” Jawab Guo Jing berat. 
“Kau bilang apa?” tanya Rong’er dengan wajah shock tak percaya.


Guo Jing yang panik sang kekasih akan salah paham lagi, segera menarik kedua tangan Rong’er dan menggenggamnya erat, “Rong’er, kau dengarkan dulu penjelasanku. Aku tidak meminta pembatalan pernikahan karena...” Guo Jing berusaha menjelaskan, namun belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Hua Cheng tiba-tiba muncul di sana dengan gembira dan memanggil nama Guo Jing.


“Guo Jing.” Panggil Hua Cheng lalu masuk ke dalam tenda begitu saja. Begitu melihat Huang Rong, Hua Cheng langsung tersenyum gembira.

“Nona Huang.” panggil Hua Cheng dengan gembira. Bila Huang Rong masih hidup, itu berarti Guo Jing harus menepati janjinya untuk menikah dengannya.
Huang Rong yang melihat Hua Cheng di sana, spontan semakin salah paham. Dia menghempaskan tangan Guo Jing yang menggenggam kedua tangannya dan berkata dingin dengan air mata berlinang.


“Aku mengerti sekarang. Di dalam hatimu, kau pasti masih belum rela melepaskan statusmu sebagai Menantu Pisau Emas.” Ujar Huang Rong sakit hati.
 
“Bukan. Aku...” Guo Jing ingin menjelaskan, tapi lagi-lagi dia tidak tahu harus mulai dari mana.

Huang Rong yang terlanjur sakit hati lalu meraih Tongkat Pemukul Anjing miliknya dan berlari keluar tenda sambil menangis sedih.

“Rong’er...” panggil Guo Jing panik, dia ingin mengejar Huang Rong namun Hua Cheng menghalanginya.
“Guo Jing, ternyata Nona Huang masih hidup. Bagus sekali.” Ujar Hua Cheng gembira. Guo Jing tak menjawab, dia ingin berlari mengejar Huang Rong tapi Hua Cheng kembali menarik tangannya.

“Guo Jing, apa kau lupa janjimu padaku?” tuntut Hua Cheng. 
“Hua Cheng, kita bicara lagi nanti.” Jawab Guo Jing lalu segera berlari mengejar Rong’er yang sudah menghilang entah ke mana.


Guo Jing mengejar dengan kuda merahnya tapi dia tidak menemukan jejak Huang Rong di mana-mana, hingga akhirnya dia mendengar suara teriakan minta tolong Ou Yang Feng yang terjebak di dalam pasir hisap.

Guo Jing turun dari kudanya dan bertanya apakah Ou Yang Feng melihat Huang Rong. Ou Yang Feng berkata bahwa dia akan memberitahunya di mana Huang Rong setelah Guo Jing menyelamatkannya lebih dulu.

“Aku akan memberitahumu di mana Rong’er-mu berada setelah kau menyelamatkan aku lebih dulu.” Ujar Ou Yang Feng, memberi penawaran.

“KAU!” Guo Jing awalnya tak berniat menolong, tapi setelah Ou Yang Feng kembali mengancam akhirnya dia tak punya pilihan selain menolongnya.

“Kau lihat aku! Pasir ini akan menelanku. Jika aku tak selamat, maka aku juga akan membawa Rong’er-mu menghadap Raja Neraka bersamaku.” Ancam Ou Yang Feng, membuat Guo Jing tak punya pilihan.

Setelah menarik Ou Yang Feng naik, Guo Jing kembali bertanya di mana Rong’er berada, hanya untuk mendapatkan jawaban yang menyakitkan.

 

“Cepat katakan! Di mana Rong’er?” tanya Guo Jing tak sabar. 
“Rong’er-mu, dia sudah mati.” Ujar Ou Yang Feng santai. 
“Kau bilang apa? Tidak mungkin! Tidak mungkin!” ujar Guo Jing dengan shock.

“Kenapa tidak mungkin? Di gurun pasir yang kejam ini, apa pun bisa terjadi. Kau terima saja kenyataan ini. Kau lihat itu? Itu adalah barang miliknya. Kuberitahu padamu, bila masuk ke dalam pasir hisap itu, takkan ada seorangpun yang mampu keluar hidup-hidup.” Jawab Ou Yang Feng, masuk akal. Karena Guo Jing melihat sendiri bagaimana Ou Yang Feng yang berilmu tinggi saja tidak bisa keluar.


Guo Jing yang awalnya tak percaya pun, mau tak mau mulai percaya saat melihat mantel bulu cerpelai yang pernah dia hadiahkan pada Rong’er ketika mereka pertama kali bertemu serta jepit rambut emas yang biasa dipakai Rong’er, tergeletak tak jauh dari pasir hisap tersebut. Tapi walaupun begitu, dia tetap berusaha menolak kenyataan ini dan dengan keras menolaknya. 

“Tidak mungkin! Rong’er tak mungkin mati. Tidak mungkin!” seru Guo Jing shock. Masih tak bisa menerima kenyataan yang menyakitkan ini. Dia pun melompat ke dalam pasir hisap itu untuk mencari kekasihnya.


“Apa kau sudah gila?” seru Ou Yang Feng saat melihat Guo Jing jatuh terguling-guling di antara hamparan pasir.


Note : William Yang berakting dengan totalitas penuh. Dia benar-benar jatuh terguling-guling di atas pasir tanpa memakai stuntman. Bisa dipastikan matanya pasti kelilipan tuh habis syuting gegulingan di atas pasir. Keren deh, totalitas banget. Two tumbs up for William Yang ^_^


“Rong’er...Rong’er.” panggil Guo Jing dengan putus asa seraya berusaha meraih barang peninggalan Rong’er, namun pasir hisap itu mendadak menarik tubuhnya dan hampir menelannya.



“Rong’er...” Guo Jing masih tetap memanggil nama sang kekasih dengan putus asa seraya berusaha meraih barang peninggalan Rong’er tersebut.



Untunglah saat pasir hisap itu hampir menelannya, Ou Yang Feng segera menariknya keluar dan menyelamatkannya. Sesaat sebelum Ou Yang Feng menariknya keluar, Guo Jing sempat meraih jepit rambut emas milik Rong’er yang akan disimpannya sebagai kenang-kenangan. Tapi mantelnya sayang banget kebuang gitu aja >_<


“Lepaskan aku! Jangan menghalangiku! Aku ingin mencari Rong’er. Rong’er! Rong’er!” Serunya putus asa.

“Cukup! Tidak kusangka kau sungguh gila karena cinta.” Sentak Ou Yang Feng, menyuruh Guo Jing tenang. 


“Jangan pedulikan aku! Rong’er!” Guo Jing masih tetap menjerit histeris mencari sang kekasih.

Merasa tak bisa menenangkan Guo Jing, Ou Yang Feng menotok Guo Jing agar pemuda itu tak lagi memberontak dan melakukan hal bodoh dengan melompat ke dalam pasir hisap itu. 

 

“Apa yang kau inginkan?” tanya Guo Jing dingin.

“Aku tidak ingin kau mati. Akan sangat disayangkan jika kau mati.” Ujar Ou Yang Feng lalu membawa Guo Jing ke sebuah penginapan kosong di tengah gurun pasir yang telah ditinggalkan oleh penghuninya, namun mereka tidak membawa serta kambing-kambing peliharaannya.



Ou Yang Feng pun menyembelih seekor kambing dan memanggangnya untuk mereka makan. Dia bahkan memberikannya pada Guo Jing dan menyuruhnya untuk makan yang banyak lalu setelah itu menterjemahkan kitab 9 bulan untuknya.

Ou Yang Feng menyekap Guo Jing untuk sesaat dan memaksanya untuk menterjemahkan Kitab 9 Bulan. Karena setelah kematian Huang Rong, hanya Guo Jing satu-satunya yang mengetahui tentang Kitab 9 Bulan, karena Chou Pho Tong pun tak tahu apa arti bahasa aneh dalam kitab tersebut.

Setelah Ou Yang Feng melepaskan totokan Guo Jing, Guo Jing berseru marah pada Ou Yang Feng dan menuduhnya yang menyebabkan kematian Rong’er.

“Rong’er meninggal. Kaulah yang sudah membunuh Rong’er!” seru Guo Jing histeris, namun Ou Yang Feng menyangkal.

“Bukan! Kematiannya tak ada hubungannya denganku. Kau pikirkanlah sendiri, dia belum menterjemahkan Kitab 9 Bulan untukku, apa mungkin aku berharap dia mati?” jawab Ou Yang Feng, terdengar masuk akal.

“Kitab. Kitab. Hanya kitab itu saja yang kau pikirkan! Putramu saja sudah mati. Bahkan seorang keluarga pun kau tak punya. Untuk apa lagi kau menginginkan kitab ini?” seru Guo Jing dengan ekspresi muak.

“Tutup mulutmu! Jika kau berani bicara lagi, aku tidak akan sungkan padamu.” Ancam Ou Yang Feng.
Ou Yang Feng mengancam akan membunuh Guo Jing bila tidak mau mengatakannya.

“Kau yang sudah membuat Rong’er mati. Aku akan balas dendam untuk Rong’er.” Seru Guo Jing marah. Tak takut sama sekali.

Guo Jing yang sudah kehilangan cinta dalam hidupnya, tidak peduli apa pun lagi, dia memang ingin mati bersama Rong’er, jadi dia sama sekali tidak peduli walau Ou Yang Feng ingin membunuhnya.

Guo Jing menyerang Ou Yang Feng dan mengajaknya bertarung, sengaja ingin agar Ou Yang Feng membunuhnya. Tapi Ou Yang Feng yang mengetahui niat terselubung Guo Jing justru tak ingin membunuhnya.


“Ingin mati? Aku tidak akan membiarkanmu bahagia karena mati demi cinta. Jurus yang kau gunakan tadi adalah bagian dari Kitab 9 Bulan, kan? Cepat terjemahkan untukku!” ujar Ou Yang Feng, membuat Guo Jing kembali terdiam dan duduk dengan tenang seolah tidak mendengar apa-apa.

“Bocah ini sangat keras kepala. Matipun dia takkan mengatakannya. Tapi dengan bertarung dengannya, juga bisa sekaligus mempelajari jurus dari Kitab 9 bulan.” Batin Ou Yang Feng, mengubah strateginya.

Diapun memaksa Guo Jing bertarung sekali lagi agar pemuda lugu itu kembali mengeluarkan jurus dari Kitab 9 bulan untuk dia lihat dan pelajari. Guo Jing yang lugu pun masuk dalam jebakan dan menunjukkan beberapa jurus dalam Kitab 9 bulan.

“Jurus yang bagus. Apa namanya?” tanya Ou Yang Feng. 
“Jurus menghempaskan pasir.” Jawab Guo Jing jujur. *Hadeh >__<

Masih merasa kurang, Ou Yang Feng menyerang Guo Jing lagi, tapi kali ini Guo Jing mengeluarkan “18 Jurus Penakluk Naga” miliknya dan bukan “9 Bulan”


Tahu bahwa Guo Jing tak lagi masuk dalam perangkap. Ou Yang Feng pun mengancam jika Guo Jing ingin pergi maka harus mengalahkannya lebih dulu. Merekapun bertarung lagi dan lagi hingga persediaan kambing di kandang hanya tinggal seekor.


Guo Jing yang masih belum bisa (mungkin takkan pernah bisa) melupakan Rong’er, duduk termenung di kursi seraya memandang jepit rambut emas milik Rong’er dengan penuh kerinduan, saat tiba-tiba Ou Yang Feng kembali dan membawa kambing panggang untuknya. (makan daging kambing mulu gak takut darah tinggi, bos???)


Namun kali ini Guo Jing cukup pintar karena telah membubuhkan bubuk pelemas tulang di dalam makanan Ou Yang Feng agar dia bisa melarikan diri dari sana. Guo Jing pun segera menaiki kuda merahnya dan kembali ke Mongolia.


Dalam perjalanan ke Mongol, Guo Jing yang masih patah hati karena kehilangan cinta dalam hidupnya, entah bagaimana ceritanya, ditemukan oleh Guru Jebe dalam keadaan mabuk.

Guo Jing yang mabuk, pingsan di atas punggung kudanya seraya bergumam pelan, “Rong’er sudah mati...Rong’er sudah mati.” Berulang-ulang bagaikan sebuah mantera.

Li Phing pun sangat terkejut melihat kondisi putra semata wayangnya. 
“Sebenarnya apa yang terjadi pada Jing’er?” tanya Li Phing pada Guru Jebe, saat pria itu mengantar Guo Jing pulang ke rumahnya.

“Dalam perjalanan pulang kemari, kami sudah menemukan Jing’er seperti ini. Dia terus mengucapkan “Rong’er sudah mati. Rong’er sudah mati” berulang-ulang tanpa henti. Tidak punya semangat hidup, tidak mau makan dan tidak mau bicara apa pun, hanya terus minum arak. Menasehatinya seperti bagaimanapun tetap tidak bisa.” Jelas Guru Jebe kepada ibunda Guo Jing.


“Anak ini, sejak kecil hingga besar dia tidak pernah seperti ini. Sungguh membuat orang khawatir.” ujar sang Ibunda tidak tega saat melihat putra semata wayangnya putus cinta.

“Nyonya Guo, tunggulah dia sadar. Barulah kau nasehati dia. Aku pergi dulu!” Ujar Guru Jebe memberi saran. 

“Baik.” Jawab Li Phing seraya terus mengompres kening Guo Jing yang demam.

Bahkan saat demam tinggi pun, Guo Jing tetap menggumamkan nama Rong’er dalam tidurnya. 
“Rong’er...Rong’er, akulah yang menyebabkan kematianmu.” Ujar Guo Jing dengan nada putus asa dalam suaranya. 

Dia tampak merasa sangat bersalah karena dialah yang membuat Rong’er pergi dari tenda hingga bertemu dengan Ou Yang Feng dan masuk ke dalam pasir hisap.


Guo Jing bagaikan perahu kecil yang terombang-ambing di tengah samudra. Tapi setidaknya dengan “kematian” Huang Rong, hal ini berarti bahwa Guo Jing tak perlu menepati janji menikah dengan Hua Cheng.

Karena sebelumnya Guo Jing pernah berkata jika terjadi sesuatu yang buruk pada Huang Rong maka seumur hidup, Guo Jing takkan pernah menikah. Dan sekarang, Guo Jing mengira Huang Rong sudah meninggal, maka secara otomatis janjinya untuk menikahi Hua Cheng sudah tidak berlaku lagi.

Hua Cheng dan orang-orang Mongol pun tampak tidak berani mengungkit masalah pernikahan kepada Guo Jing ketika melihat bagaimana hancurnya pemuda lugu itu setelah “kematian” sang kekasih. Orang-orang Mongol pun percaya bahwa Huang Rong sudah meninggal setelah melihat bagaimana hancurnya Guo Jing saat ini.

Jadi dengan kata lain, orang-orang Mongol berpikir gak mungkin Guo Jing yang terbiasa jujur, berbohong dengan mengatakan Huang Rong sudah mati padahal aslinya masih hidup hanya demi tidak menikah dengan Hua Cheng. Jadi mereka juga percaya bahwa Huang Rong benar-benar sudah meninggal ketika melihat betapa hancur dan depresinya Guo Jing saat ini.

 

Guo Jing tampak menghabiskan hari-harinya menjadi pria tidak berguna dengan bermabuk-mabukan, membuat Hua Cheng pun menjadi tidak tega. (Hanya satu yang mengganjal dalam adegan ini, kenapa make up-nya William Yang dibuat pink sih? Terus itu kok minumnya gak masuk ke mulut? Tapi yasudahlah, unlogical plot satu aja bukan masalah besar hehehe ^_^)

“Guo Jing, kenapa kau mabuk lagi?” tanya Hua Cheng tak suka. Tapi Guo Jing seolah tidak mendengar ucapannya dan tidak peduli padanya. 

“Guo Jing, kau jangan minum lagi!” seru Hua Cheng sekali lagi, yang tetap tidak direspon oleh pemuda itu.

 

Hua Cheng pun akhirnya merebut botol arak itu dari Guo Jing dengan kesal. 
“Kembalikan padaku!” seru Guo Jing yang mabuk berat, dia berdiri sempoyongan saat berusaha merebut botol araknya dari tangan Hua Cheng.

“Jangan minum lagi!” seru Hua Cheng sekali lagi, menolak mengembalikan botol araknya.


Guo Jing pun terjatuh ke tanah seraya berkata sedih, “Rong’er sudah meninggal. Aku hidup di dunia ini sudah tak ada artinya lagi. Jangan pedulikan aku! Biarkan aku minum!” ujarnya lirih tanpa tenaga seraya berusaha bangkit dan kembali merebut botol araknya.

“Aku sudah dengar tentang kabar kematian Nona Huang. Tapi jika kau seperti ini hanya akan menyusahkan diri sendiri. Apakah dengan kau seperti ini, dia akan hidup kembali?” tanya Hua Cheng, berusaha mengembalikan akal sehat Guo Jing.


“Rong’er, aku yang menyebabkan kematianmu. Jika aku tidak membuatmu marah, kau tidak akan pergi. Jika kau tidak pergi, Ou Yang Feng tidak akan mengejarmu. Jika Ou Yang Feng tidak mengejarmu, maka kau tidak akan masuk ke dalam pasir hisap itu. Jika kau tidak masuk ke dalam pasir hisap itu, maka kau tidak akan...” Guo Jing terdiam sessat, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Air mata mengalir turun dari wajahnya yang tampan.

Hua Cheng pun ikut menangis mendengarnya. Entah tangis bahagia karena saingannya uda meninggal dan dia berpikir bisa memiliki Guo Jing sepenuhnya, atau justru tangisan kesedihan karena teringat sumpah Guo Jing bahwa bila sesuatu yang buruk menimpa Huang Rong maka dia tidak akan menikah seumur hidup.


“Rong’er, kita sudah berjanji akan hidup dan mati bersama. Tapi sekarang kau sudah mati dan aku masih hidup di dunia ini. Apa gunanya aku belajar kungfu, jika pada akhirnya aku tak bisa melindungi Rong’er?” serunya sedih dan depresi.



“Biarkan aku minum! Bila aku mabuk, aku takkan merasakan kepedihan ini lagi.” Lanjut Guo Jing seraya bangkit berdiri dan berusaha merebut botol araknya sekali lagi. 

Setelah menghabiskan araknya, Guo Jing melemparkan botol itu dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput. Dia masih belum bisa menerima “kematian” sang kekasih.


“Guo Jing, lihatlah dirimu yang sekarang! Aku selalu berpikir kau adalah seorang Pahlawan. Tidak kusangka ternyata kau sangat lemah. Setiap hari minum arak, apa kau pikir arak bisa menghilangkan kesedihanmu? Apa arak bisa membuat Nona Huang hidup kembali?” Hua Cheng berseru keras, mencoba mengembalikan akal sehat Guo Jing.


“Siapa orang di dunia ini yang tak pernah merasakan kehilangan? Tapi apakah seumur hidup ini kau akan terus terjerumus dalam kesedihan? Di mataku, pahlawan sejati bukanlah mereka yang selalu memenangkan peperangan. Tapi mereka yang selalu bisa bangkit lagi saat sedang terpuruk.” Lanjutnya lagi, masih menasehati Guo Jing. Tapi Guo Jing tetap tak merespon kalimatnya.

“Di hatiku, kau seharusnya bisa seperti rajawali yang terbang tinggi, Walaupun terluka, setelah lukanya sembuh tetap akan bisa terbang ke langit.” Tambahnya, mengibaratkan Guo Jing seperti burung rajawali yang terbang tinggi. Tapi lagi-lagi Guo Jing masih belum merespon.


“Guo Jing, aku tahu hatimu sangat sedih. Tapi hal ini sudah terjadi. Kau terus menyalahkan dirimu juga tak ada gunanya. Aku percaya Nona Huang di atas sana juga tidak ingin melihatmu seperti ini. Benar tidak?” ujar Hua Cheng sekali lagi, yang kali ini tampaknya berhasil.


Begitu mendengar nama sang kekasih disebutkan, Guo Jing tampak seolah baru mendapatkan kembali akal sehatnya. Dia merasa ucapan Hua Cheng kali ini benar, Rong’er pasti tidak ingin melihatnya seperti ini. 


Jadi perlahan-lahan Guo Jing mulai bangkit dan duduk di atas rumput seraya memeluk lututnya sendiri sambil kembali menangis sedih. Hua Cheng pun duduk di sampingnya dan memeluk pundaknya lembut.


Akhirnya demi Huang Rong, Guo Jing pun mencoba untuk bangkit kembali. Sepertinya memang hanya Huang Rong yang bisa mengembalikan akal sehat Guo Jing. 

Lalu adegan beralih saat Guo Jing membantu sang ibu menyisir rambut seraya meminta maaf karena selalu menyusahkan sang ibu. Guo Jing merasa bersalah setelah melihat rambut ibunya mulai memutih namun dia belum melakukan sesuatu untuk membuat sang ibu bahagia.

“Ibu, putramu akan bangkit kembali. Aku adalah putra Guo Xia Tian, tidak akan mempermalukan nama almarhum ayah.” Jawab Guo Jing tegas.

Sang Ibunda menanyakan apa rencana Guo Jing berikutnya. Lalu Guo Jing menjawab, dia akan mengikuti apa pun kata sang Ibu. Jika sang ibunda ingin tetap menetap di Mongol, maka mereka akan menetap di Mongol. 

Tapi jika sang ibunda ingin kembali ke Desa Nia, maka mereka akan pulang ke Desa Nia. Pernyataan yang mengindikasikan bahwa Guo Jing tidak akan menikahi Hua Cheng setelah Huang Rong “meninggal”.

Lalu Ibu Guo Jing berkata bahwa dia sudah 20 tahun tidak pulang ke Desa Nia. (Udah 20 tahun usianya Guo Jing sekarang, waktu pertama kali datang ke daratan China, usianya Guo Jing baru 18 tahun).

Guo Jing menjawab bahwa dia mengerti keinginan sang Ibu dan berjanji akan menemaninya pulang ke Desa Nia setelah membantu Khan Agung mengalahkan Chin. Sama sekali tidak ada rencana menikahi Hua Cheng. Li Phing pun tak lagi "memaksa" putranya untuk menepati janjinya menikahi si Putri Mongol itu setelah melihat bagaimana menderitanya Guo Jing setelah "kematian" Rong'er.


Tapi sayangnya rencana mereka pulang ke Desa Nia harus gagal karena Khan Agung berencana untuk menyerang Kerajaan Sung setelah berhasil mengalahkan Chin. Apalagi setelah Guo Jing mengutarakan keinginannya untuk pulang ke China Daratan bersama dengan sang Ibu.

Saat itu, Khan Agung telah memberikan sebuah kantong yang sudah dijahit. Kantong tersebut berisi perintah untuk Guo Jing memimping puluhan ribu prajurit menyerang Negara Sung dan jika Guo Jing menolak maka dia harus dihukum mati.

Karena takut kantong tersebut akan dibuka dan rencana busuknya diketahui oleh Guo Jing sebelum tiba waktunya berperang, Khan Agung memberi perintah untuk Tuo Li dan yang lainnya agar saling memeriksa kantong tersebut. Jika dicurigai adanya bekas sobekan kain yang kembali dijahit maka pemilik kantong tersebut harus segera dihukum penggal.


Setelah kembali ke tendanya, Guo Jing tampak canggung saat melihat Hua Cheng di sana. Berbeda dengan Hua Cheng yang tampak gembira melihat Guo Jing sudah pulang. Setelah Hua Cheng pergi, Guo Jing pun menceritakan tentang tugas yang diberikan Khan Agung padanya, tentang Khan Agung yang melarang Guo Jing membawa ibunya pergi. Termasuk tentang kantong kain berisi perintah yang tidak boleh dibuka.
  
Li Phing yang penasaran dengan isi perintah dalam kantong kain tersebut meminta putranya yang paling ganteng untuk menyerahkan kantong tersebut padanya. Setelah meyakinkan Guo Jing bahwa sang Ibu sangat mahir menjahit dan pasti bisa menjahitnya kembali tanpa diketahui orang lain, Guo Jing pun menyerahkan kantong tersebut pada sang ibu untuk dibuka.


Dan betapa terkejutnya mereka saat mengetahui bahwa Khan Agung ternyata berencana untuk memberi perintah pada Guo Jing agar menyerang negaranya sendiri. Dalam perintah tersebut dituliskan bahwa Guo Jing harus memimpin pasukan untuk menyerang Kota Lin’An dan merebut ibu kota Sung. 

Jika Guo Jing menolak, maka dia harus dihukum mati. Sang ibunda pun juga harus dihukum mati. Untung saja kantong tersebut sudah dibuka lebih dulu jadi mereka tahu rencana tersebut.

Sang Ibu yang panik bertanya pada Guo Jing apa yang harus mereka lakukan sekarang. Guo Jing yang mendadak jadi cerdas, mengusulkan agar mereka sebaiknya segera meninggalkan Mongol sebelum Khan Agung mengetahui masalah yang sebenarnya (bahwa mereka sudah mengetahui perihal perintah menyerang Sung).


Li Phing setuju. Dia menyuruh putranya menyiapkan kuda mereka, sementara sang Ibu akan menyiapkan barang-barang seperlunya saja. Guo Jing segera keluar dari tenda untuk melaksanakan perintah sang Ibu, tanpa tahu bahwa Hua Cheng menguping dan mendengar semua rencana mereka.

Hua Cheng yang tak ingin Guo Jing pergi dari Mongol akhirnya melaporkan rencana kepergian Guo Jing dan sang ibu kepada ayahnya. Khan Agung yang marah akhirnya menangkap Li Phing. Guo Jing yang kembali ke tenda dan melihat sang ibu tak ada di sana, mendadak menjadi panik.




Saat itulah, orang-orang Mongol datang menangkap Guo Jing untuk dibawa ke hadapan Khan Agung dan diadili. Ibu Guo Jing berpura-pura ingin menasehati putranya agar menurut.



Tapi sebenarnya, sebelum memutuskan untuk bunuh diri agar tidak membebani sang putra tercinta, Li Phing (Ibu Guo Jing) sempat berpesan agar Guo Jing tidak boleh menjadi seperti Yang Kang yang mengkhianati negaranya sendiri. Guo Jing harus melindungi negaranya dan menjadi pendekar sejati seperti mendiang sang ayah tercinta.



Li Phing pun berkata bahwa Pendeta Chiu Chu Ji (Khu Chi Khe) memberi mereka nama Guo Jing dan Yang Kang agar selalu ingat pada tragedi Jing Kang dan agar tidak berkhianat pada negara. Li Phing berpesan agar sang putra tidak mengikuti jejak Yang Kang yang sampai mati, memilih menjadi pengkhianat bangsa.


“Jing’er, kau harus ingat pesan ibu. Kau harus menjadi rakyat Sung yang baik. Tidak boleh mempermalukan keluarga Guo. Kau harus berjuang untuk negaramu,” Pesan Li Phing pada sang putra. Guo Jing hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil menangis sedih.

 
Setelah mendengar Guo Jing berjanji, Li Phing memakai belati bertuliskan nama “Guo Jing” (yang sebelumnya telah dikembalikan pada Guo Jing oleh Ou Yang Feng) untuk membunuh dirinya sendiri. Li Phing mengarahkan belati itu ke dadanya. 


Hingga akhirnya dia meninggal dalam pelukan sang putra tercinta yang hanya mampu meratapi kepergian sang ibunda dengan hati hancur.

 

Setelah kematian sang ibunda tercinta, Guo Jing menatap Jengkhis Khan dengan pandangan mata penuh kebencian. Sejak saat itu Guo Jing bersumpah bahwa dia tidak akan pernah lagi kembali ke Mongolia. 


Guo Jing menggendong mayat sang ibu dan berusaha kabur dari Mongol. Tapi dengan menggendong mayat ibunya, tentu Guo Jing tidak mudah melarikan diri dari sana.



Untunglah ada Guru Jebe dan Tuo Li yang datang membantunya melarikan diri. Guru Jebe berpura-pura ingin menangkap Guo Jing. Saat itu, Guo Jing meminta waktu untuk menguburkan sang ibu tercinta, tapi setelah selesai menguburkan sang ibu di tengah padang gurun Mongolia, Guru Jebe justru menyuruh Guo Jing pergi. 


“Jing’er, kau pergilah!” ujar Guru Jebe dengan tulus. 

“Aku melihatmu tumbuh besar. Kalau aku membawamu pulang, kau pasti akan dihukum mati. Tapi saat kau masih kecil, kau pernah menyelamatkan nyawaku. Bagaimana mungkin aku diam saja melihatmu dihukum mati?” lanjut Guru Jebe dengan setetes air jatuh dari matanya.

Lalu bagaimanakah nasib Guo Jing selanjutnya? Mampukah Guru Jebe membantu Guo Jing meloloskan diri dari Mongol? Jawabannya ada di episode selanjutnya...

See you next episode : Episode 51

Written by : Liliana Tan 
NOTE : DILARANG MENG-COPY PASTE TANPA IJIN DARI PENULIS !!! REPOST WITH FULL CREDITS !!! 
Credit Pict : WEIBO ON LOGO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads