Akhirnya tibalah kita di 3 episode
terakhir serial adaptasi terbaru “Legend Of The Condor Heroes 2017” bersama si
ganteng bertubuh tinggi, William Yang Xuwen sebagai Guo Jing. Episode-episode
yang bikin baper dan penuh drama mulai lagi. Perpisahan kedua Guo Jing dan
Huang Rong. Di episode sebelumnya, Huang Rong membantu Guo Jing menaklukkan
kota Samarkhan dan menangkap Wan Yen Hong Lieh. Yang ini artinya, akhirnya
dendam kesumat Guo Jing terbalaskan.
Tapi sayangnya, karena merasa kasihan
dengan penduduk kota yang sudah dia taklukkan, alih-alih meminta hadiah berupa
pembatalan pernikahan seperti yang Guo Jing janjikan pada sang kekasih, Guo
Jing justru meminta hadiah berupa pembebasan penduduk kota yang sudah dia
taklukkan.
Tentu saja hal ini membuat Huang Rong
kembali salah paham dan mengira Guo Jing tidak serius ingin benar-benar
bersamanya dan lebih suka menikah dengan Putri Mongol serta menjadi Menantu
Pisau Emas. Pisah lagi kan mereka... Jing Gege, Jing Gege, kadang terlalu baik
hati juga nyebelin ya, yang jadi ceweknya harus ekstra bersabar *puk puk
Rong’er* Kalau gak bener-bener cinta, nih Guo Jing pasti uda ditinggalin
Rong’er sejak awal. Dan Guo Jing yang mengejar Rong’er untuk menjelaskan,
bertemu dengan Ou Yang Feng yang mengatakan bahwa Huang Rong telah tewas karena
masuk ke dalam pasir hisap.
Dengan bukti mantel bulu cerpelai yang
pernah Guo Jing hadiahkan pada sang kekasih pada saat mereka pertama kali
berjumpa dan jepit rambut emas milik sang kekasih, tentu Guo Jing pun spontan
percaya. Mengira sang kekasih telah meninggalkan dunia ini, membuat Guo Jing
depresi berat. Nyesel kan loe, sekarang.
Tak hanya itu, di episode kali ini juga
diceritakan tentang Ibunda Guo Jing yang lebih memilih mati daripada menjadi
pengkhianat negara. Sang Ibunda pun mati di hadapan putra semata wayangnya
setelah memintanya berjanji agar tidak menjadi pengkhianat bangsa seperti Yang
Kang. Bagaimana perasaanmu, Jing Gege? Setelah mengira sang kekasih telah
“mati”, kini ibunda tercinta juga ikut mati. Tapi setidaknya, karena kejadian
ini, Hua Cheng yang merasa bersalah akhirnya memutuskan untuk membatalkan janji
pernikahan mereka. Well, setidaknya masih ada hikmah di balik musibah. Tapi
bagi Guo Jing sekarang percuma, karena gadis yang dicintainya sudah meninggal jadi
dibatalkan pun tak ada gunanya. Dia tetap tak bisa bersama Rong’er lagi. Kasian
juga liat Jing Gege >_< Tapi tenang saja Jing Gege, after the wind and
rain, there will be a brand new day ^_^
Dan kisahpun berlanjut...
Tak tahu apa yang sebenarnya telah
terjadi, Huang Rong dengan bahagia menunggu sang kekasih di tendanya seraya
memandikan si kuda merah. Tetua Lu yang melihat sang ketua tampak sangat
bahagia, berjalan mendekatinya dan menggodanya.
“Ketua, aku sudah lama tidak melihatmu
bahagia seperti ini.” ujar Tetua Lu yang ikut gembira melihat Ketuanya gembira.
“Aku ikut gembira untuk Jing Gege.
Akhirnya dia berhasil membalaskan dendam ayahnya. Dan setelah sekian lama,
ganjalan di hatinya sudah menghilang.” Jawab Huang Rong dengan tersenyum ceria.
“Lalu bagaimana dengan ganjalan di hati
Ketua? Apakah sudah hilang?” goda Tetua Lu yang membuat gadis itu hanya bisa
tersenyum malu.
“Tetua Lu, kau juga menertawakan aku.”
Jawab Huang Rong malu-malu.
“Aku hanya ikut gembira untuk kalian.
Ketua dan kekasih Ketua sudah melewati begitu banyak rintangan, sekarang
akhirnya kalian bisa bersama.” Jawab Tetua Lu dengan gembira.
“Menurutku, Tuhan memang sengaja
menguji cinta kami.” Jawab Huang Rong bijaksana.
“Benar. Ke mana kalian akan pergi
selanjutnya? Tunggu sebentar, biar kutebak. Ketua dan kekasih Ketua pasti
berencana ingin pulang ke Pulau Persik untuk menikah, kan?” goda Tetua Lu lagi
yang hanya dijawab dengan anggukan kepala malu-malu oleh Huang Rong.
“Kalau begitu, aku akan lebih dulu
memberikan ucapan selamat atas pernikahan kalian.” Ujar Tetua Lu dengan tulus
seraya membungkuk hormat pada sang Ketua.
“Terima kasih, Tetua Lu.” Jawab Huang
Rong malu-malu. Dia sudah membayangkan akan menikah dengan Guo Jing dan hidup
bahagia.
Kemudian Tetua Lu memohon ijin untuk
membawa saudara-saudara Kaypang kembali ke China Daratan bila sang Ketua sudah
tidak lagi membutuhkan bantuan mereka. Mengira bahwa masalahnya sudah selesai,
Huang Rong pun mengangguk menyetujui dan menyuruh mereka untuk kembali ke China
Daratan.
Tak lama kemudian, Huang Rong tampak
sibuk membereskan barang-barang mereka karena berpikir bahwa mereka akan segera
pergi meninggalkan Mongol setelah pembatalan pernikahan Guo Jing disetujui.
Mendengar langkah kaki Guo Jing
memasuki tenda, Huang Rong segera membalikkan badannya dengan gembira dan
menyambut sang kekasih dengan penuh senyuman. Namun Guo Jing hanya menatapnya
diam dengan penuh rasa bersalah.
“Jing Gege, barang-barangnya sudah
kubereskan.” Ujar Huang Rong ceria.
“Apakah Khan Agung sudah menyetujui
pembatalan pernikahanmu?” lanjut Huang Rong dengan penuh harap sementara Guo Jing hanya menggelengkan kepalanya pelan dengan penuh penyesalan.
“Kenapa? Jika bukan karenamu, apakah
pasukan Temujin bisa menaklukkan kota Samarkhan? Jika tidak, pasukan Mongol
pasti sudah habis semua. Kenapa dia tidak mengabulkan permintaanmu?” Ujar Huang
Rong marah, mengira Jenghis Khan menolak mengabulkan permintaan Guo Jing.
“Karena aku tidak meminta pembatalan
pernikahan.” Jawab Guo Jing berat.
“Kau bilang apa?” tanya Rong’er dengan
wajah shock tak percaya.
Guo Jing yang panik sang kekasih akan
salah paham lagi, segera menarik kedua tangan Rong’er dan menggenggamnya erat,
“Rong’er, kau dengarkan dulu penjelasanku. Aku tidak meminta pembatalan
pernikahan karena...” Guo Jing berusaha menjelaskan, namun belum sempat dia
menyelesaikan ucapannya, Hua Cheng tiba-tiba muncul di sana dengan gembira dan
memanggil nama Guo Jing.
“Guo Jing.” Panggil Hua Cheng lalu
masuk ke dalam tenda begitu saja. Begitu melihat Huang Rong, Hua Cheng langsung
tersenyum gembira.
“Nona Huang.” panggil Hua Cheng dengan
gembira. Bila Huang Rong masih hidup, itu berarti Guo Jing harus menepati
janjinya untuk menikah dengannya.
Huang Rong yang melihat Hua Cheng di
sana, spontan semakin salah paham. Dia menghempaskan tangan Guo Jing yang
menggenggam kedua tangannya dan berkata dingin dengan air mata berlinang.
“Aku mengerti sekarang. Di dalam
hatimu, kau pasti masih belum rela melepaskan statusmu sebagai Menantu Pisau
Emas.” Ujar Huang Rong sakit hati.
“Bukan. Aku...” Guo Jing ingin
menjelaskan, tapi lagi-lagi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Huang Rong yang terlanjur sakit hati
lalu meraih Tongkat Pemukul Anjing miliknya dan berlari keluar tenda sambil
menangis sedih.
“Rong’er...” panggil Guo Jing panik,
dia ingin mengejar Huang Rong namun Hua Cheng menghalanginya.
“Guo Jing, ternyata Nona Huang masih
hidup. Bagus sekali.” Ujar Hua Cheng gembira. Guo Jing tak menjawab, dia ingin
berlari mengejar Huang Rong tapi Hua Cheng kembali menarik tangannya.
“Guo Jing, apa kau lupa janjimu
padaku?” tuntut Hua Cheng.
“Hua Cheng, kita bicara lagi nanti.”
Jawab Guo Jing lalu segera berlari mengejar Rong’er yang sudah menghilang entah
ke mana.
Guo Jing mengejar dengan kuda merahnya
tapi dia tidak menemukan jejak Huang Rong di mana-mana, hingga akhirnya dia
mendengar suara teriakan minta tolong Ou Yang Feng yang terjebak di dalam pasir
hisap.
Guo Jing turun dari kudanya dan
bertanya apakah Ou Yang Feng melihat Huang Rong. Ou Yang Feng berkata bahwa dia
akan memberitahunya di mana Huang Rong setelah Guo Jing menyelamatkannya lebih
dulu.
“Aku akan memberitahumu di mana
Rong’er-mu berada setelah kau menyelamatkan aku lebih dulu.” Ujar Ou Yang Feng,
memberi penawaran.
“KAU!” Guo Jing awalnya tak berniat
menolong, tapi setelah Ou Yang Feng kembali mengancam akhirnya dia tak punya
pilihan selain menolongnya.
“Kau lihat aku! Pasir ini akan
menelanku. Jika aku tak selamat, maka aku juga akan membawa Rong’er-mu
menghadap Raja Neraka bersamaku.” Ancam Ou Yang Feng, membuat Guo Jing tak
punya pilihan.
Setelah menarik Ou Yang Feng naik, Guo
Jing kembali bertanya di mana Rong’er berada, hanya untuk mendapatkan jawaban
yang menyakitkan.
“Cepat katakan! Di mana Rong’er?” tanya
Guo Jing tak sabar.
“Rong’er-mu, dia sudah mati.” Ujar Ou
Yang Feng santai.
“Kau bilang apa? Tidak mungkin! Tidak
mungkin!” ujar Guo Jing dengan shock.
“Kenapa tidak mungkin? Di gurun pasir
yang kejam ini, apa pun bisa terjadi. Kau terima saja kenyataan ini. Kau lihat
itu? Itu adalah barang miliknya. Kuberitahu padamu, bila masuk ke dalam pasir
hisap itu, takkan ada seorangpun yang mampu keluar hidup-hidup.” Jawab Ou Yang
Feng, masuk akal. Karena Guo Jing melihat sendiri bagaimana Ou Yang Feng yang
berilmu tinggi saja tidak bisa keluar.
Guo Jing yang awalnya tak percaya pun,
mau tak mau mulai percaya saat melihat mantel bulu cerpelai yang pernah dia
hadiahkan pada Rong’er ketika mereka pertama kali bertemu serta jepit rambut
emas yang biasa dipakai Rong’er, tergeletak tak jauh dari pasir hisap tersebut.
Tapi walaupun begitu, dia tetap berusaha menolak kenyataan ini dan dengan keras
menolaknya.
“Tidak mungkin! Rong’er tak mungkin mati. Tidak mungkin!” seru Guo Jing shock.
Masih tak bisa menerima kenyataan yang menyakitkan ini. Dia pun melompat ke
dalam pasir hisap itu untuk mencari kekasihnya.
“Apa kau sudah gila?” seru Ou Yang Feng
saat melihat Guo Jing jatuh terguling-guling di antara hamparan pasir.
Note : William Yang berakting dengan
totalitas penuh. Dia benar-benar jatuh terguling-guling di atas pasir tanpa
memakai stuntman. Bisa dipastikan matanya pasti kelilipan tuh habis syuting
gegulingan di atas pasir. Keren deh, totalitas banget. Two tumbs up for William
Yang ^_^
“Rong’er...Rong’er.” panggil Guo Jing
dengan putus asa seraya berusaha meraih barang peninggalan Rong’er, namun pasir
hisap itu mendadak menarik tubuhnya dan hampir menelannya.
“Rong’er...” Guo Jing masih tetap
memanggil nama sang kekasih dengan putus asa seraya berusaha meraih barang
peninggalan Rong’er tersebut.
Untunglah saat pasir hisap itu hampir
menelannya, Ou Yang Feng segera menariknya keluar dan menyelamatkannya. Sesaat
sebelum Ou Yang Feng menariknya keluar, Guo Jing sempat meraih jepit rambut
emas milik Rong’er yang akan disimpannya sebagai kenang-kenangan. Tapi
mantelnya sayang banget kebuang gitu aja >_<
“Lepaskan aku! Jangan menghalangiku!
Aku ingin mencari Rong’er. Rong’er! Rong’er!” Serunya putus asa.
“Cukup! Tidak kusangka kau sungguh gila
karena cinta.” Sentak Ou Yang Feng, menyuruh Guo Jing tenang.
“Jangan pedulikan aku! Rong’er!” Guo
Jing masih tetap menjerit histeris mencari sang kekasih.
Merasa tak bisa menenangkan Guo Jing,
Ou Yang Feng menotok Guo Jing agar pemuda itu tak lagi memberontak dan
melakukan hal bodoh dengan melompat ke dalam pasir hisap itu.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Guo Jing
dingin.
“Aku tidak ingin kau mati. Akan sangat
disayangkan jika kau mati.” Ujar Ou Yang Feng lalu membawa Guo Jing ke sebuah
penginapan kosong di tengah gurun pasir yang telah ditinggalkan oleh
penghuninya, namun mereka tidak membawa serta kambing-kambing peliharaannya.
Ou Yang Feng pun menyembelih seekor
kambing dan memanggangnya untuk mereka makan. Dia bahkan memberikannya pada Guo
Jing dan menyuruhnya untuk makan yang banyak lalu setelah itu menterjemahkan
kitab 9 bulan untuknya.
Ou Yang Feng menyekap Guo Jing untuk
sesaat dan memaksanya untuk menterjemahkan Kitab 9 Bulan. Karena setelah
kematian Huang Rong, hanya Guo Jing satu-satunya yang mengetahui tentang Kitab
9 Bulan, karena Chou Pho Tong pun tak tahu apa arti bahasa aneh dalam kitab
tersebut.
Setelah Ou Yang Feng melepaskan totokan
Guo Jing, Guo Jing berseru marah pada Ou Yang Feng dan menuduhnya yang
menyebabkan kematian Rong’er.
“Rong’er meninggal. Kaulah yang sudah
membunuh Rong’er!” seru Guo Jing histeris, namun Ou Yang Feng menyangkal.
“Bukan! Kematiannya tak ada hubungannya
denganku. Kau pikirkanlah sendiri, dia belum menterjemahkan Kitab 9 Bulan
untukku, apa mungkin aku berharap dia mati?” jawab Ou Yang Feng, terdengar
masuk akal.
“Kitab. Kitab. Hanya kitab itu saja
yang kau pikirkan! Putramu saja sudah mati. Bahkan seorang keluarga pun kau tak
punya. Untuk apa lagi kau menginginkan kitab ini?” seru Guo Jing dengan
ekspresi muak.
“Tutup mulutmu! Jika kau berani bicara
lagi, aku tidak akan sungkan padamu.” Ancam Ou Yang Feng.
Ou Yang Feng mengancam akan membunuh
Guo Jing bila tidak mau mengatakannya.
“Kau yang sudah membuat Rong’er mati.
Aku akan balas dendam untuk Rong’er.” Seru Guo Jing marah. Tak takut sama
sekali.
Guo Jing yang sudah kehilangan cinta
dalam hidupnya, tidak peduli apa pun lagi, dia memang ingin mati bersama
Rong’er, jadi dia sama sekali tidak peduli walau Ou Yang Feng ingin
membunuhnya.
Guo Jing menyerang Ou Yang Feng dan
mengajaknya bertarung, sengaja ingin agar Ou Yang Feng membunuhnya. Tapi Ou
Yang Feng yang mengetahui niat terselubung Guo Jing justru tak ingin
membunuhnya.
“Ingin mati? Aku tidak akan
membiarkanmu bahagia karena mati demi cinta. Jurus yang kau gunakan tadi adalah
bagian dari Kitab 9 Bulan, kan? Cepat terjemahkan untukku!” ujar Ou Yang Feng,
membuat Guo Jing kembali terdiam dan duduk dengan tenang seolah tidak mendengar
apa-apa.
“Bocah ini sangat keras kepala. Matipun
dia takkan mengatakannya. Tapi dengan bertarung dengannya, juga bisa sekaligus
mempelajari jurus dari Kitab 9 bulan.” Batin Ou Yang Feng, mengubah
strateginya.
Diapun memaksa Guo Jing bertarung sekali
lagi agar pemuda lugu itu kembali mengeluarkan jurus dari Kitab 9 bulan untuk
dia lihat dan pelajari. Guo Jing yang lugu pun masuk dalam jebakan dan
menunjukkan beberapa jurus dalam Kitab 9 bulan.
“Jurus yang bagus. Apa namanya?” tanya
Ou Yang Feng.
“Jurus menghempaskan pasir.” Jawab Guo
Jing jujur. *Hadeh >__<
Masih merasa kurang, Ou Yang Feng
menyerang Guo Jing lagi, tapi kali ini Guo Jing mengeluarkan “18 Jurus Penakluk Naga” miliknya dan
bukan “9 Bulan”.
Tahu bahwa Guo Jing
tak lagi masuk dalam perangkap. Ou Yang Feng pun mengancam jika Guo Jing ingin
pergi maka harus mengalahkannya lebih dulu. Merekapun bertarung lagi dan lagi
hingga persediaan kambing di kandang hanya tinggal seekor.
Guo Jing yang masih belum bisa (mungkin
takkan pernah bisa) melupakan Rong’er, duduk termenung di kursi seraya
memandang jepit rambut emas milik Rong’er dengan penuh kerinduan, saat
tiba-tiba Ou Yang Feng kembali dan membawa kambing panggang untuknya. (makan
daging kambing mulu gak takut darah tinggi, bos???)
Namun kali ini Guo Jing cukup pintar
karena telah membubuhkan bubuk pelemas tulang di dalam makanan Ou Yang Feng
agar dia bisa melarikan diri dari sana. Guo Jing pun segera menaiki kuda
merahnya dan kembali ke Mongolia.
Dalam perjalanan ke Mongol, Guo Jing
yang masih patah hati karena kehilangan cinta dalam hidupnya, entah bagaimana
ceritanya, ditemukan oleh Guru Jebe dalam keadaan mabuk.
Guo Jing yang mabuk, pingsan di atas
punggung kudanya seraya bergumam pelan, “Rong’er sudah mati...Rong’er sudah
mati.” Berulang-ulang bagaikan sebuah mantera.
Li Phing pun sangat terkejut melihat
kondisi putra semata wayangnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada
Jing’er?” tanya Li Phing pada Guru Jebe, saat pria itu mengantar Guo Jing
pulang ke rumahnya.
“Dalam perjalanan pulang kemari, kami
sudah menemukan Jing’er seperti ini. Dia terus mengucapkan “Rong’er sudah mati. Rong’er sudah mati” berulang-ulang tanpa henti.
Tidak punya semangat hidup, tidak mau makan dan tidak mau bicara apa pun, hanya
terus minum arak. Menasehatinya seperti bagaimanapun tetap tidak bisa.” Jelas
Guru Jebe kepada ibunda Guo Jing.
“Anak ini, sejak kecil hingga besar dia
tidak pernah seperti ini. Sungguh membuat orang khawatir.” ujar sang Ibunda
tidak tega saat melihat putra semata wayangnya putus cinta.
“Nyonya Guo, tunggulah dia sadar.
Barulah kau nasehati dia. Aku pergi dulu!” Ujar Guru Jebe memberi saran.
“Baik.” Jawab Li Phing seraya terus
mengompres kening Guo Jing yang demam.
Bahkan saat demam tinggi pun, Guo Jing
tetap menggumamkan nama Rong’er dalam tidurnya.
“Rong’er...Rong’er, akulah yang
menyebabkan kematianmu.” Ujar Guo Jing dengan nada putus asa dalam suaranya.
Dia tampak merasa sangat bersalah karena dialah yang membuat Rong’er pergi dari
tenda hingga bertemu dengan Ou Yang Feng dan masuk ke dalam pasir hisap.
Guo Jing bagaikan perahu kecil yang
terombang-ambing di tengah samudra. Tapi setidaknya dengan “kematian” Huang Rong, hal ini berarti bahwa Guo Jing tak perlu
menepati janji menikah dengan Hua Cheng.
Karena sebelumnya Guo Jing pernah
berkata jika terjadi sesuatu yang buruk pada Huang Rong maka seumur hidup, Guo
Jing takkan pernah menikah. Dan sekarang, Guo Jing mengira Huang Rong sudah
meninggal, maka secara otomatis janjinya untuk menikahi Hua Cheng sudah tidak
berlaku lagi.
Hua Cheng dan orang-orang Mongol pun
tampak tidak berani mengungkit masalah pernikahan kepada Guo Jing ketika
melihat bagaimana hancurnya pemuda lugu itu setelah “kematian” sang kekasih.
Orang-orang Mongol pun percaya bahwa Huang Rong sudah meninggal setelah melihat
bagaimana hancurnya Guo Jing saat ini.
Jadi dengan kata lain, orang-orang
Mongol berpikir gak mungkin Guo Jing yang terbiasa jujur, berbohong dengan
mengatakan Huang Rong sudah mati padahal aslinya masih hidup hanya demi tidak
menikah dengan Hua Cheng. Jadi mereka juga percaya bahwa Huang Rong benar-benar
sudah meninggal ketika melihat betapa hancur dan depresinya Guo Jing saat ini.
Guo Jing tampak menghabiskan
hari-harinya menjadi pria tidak berguna dengan bermabuk-mabukan, membuat Hua
Cheng pun menjadi tidak tega. (Hanya satu yang mengganjal dalam adegan ini,
kenapa make up-nya William Yang dibuat pink sih? Terus itu kok minumnya gak
masuk ke mulut? Tapi yasudahlah, unlogical plot satu aja bukan masalah besar
hehehe ^_^)
“Guo Jing, kenapa kau mabuk lagi?”
tanya Hua Cheng tak suka. Tapi Guo Jing seolah tidak mendengar ucapannya dan
tidak peduli padanya.
“Guo Jing, kau jangan minum lagi!” seru
Hua Cheng sekali lagi, yang tetap tidak direspon oleh pemuda itu.
Hua Cheng pun akhirnya merebut botol arak
itu dari Guo Jing dengan kesal.
“Kembalikan padaku!” seru Guo Jing yang
mabuk berat, dia berdiri sempoyongan saat berusaha merebut botol araknya dari
tangan Hua Cheng.
“Jangan minum lagi!” seru Hua Cheng
sekali lagi, menolak mengembalikan botol araknya.
Guo Jing pun terjatuh ke tanah seraya
berkata sedih, “Rong’er sudah meninggal. Aku hidup di dunia ini sudah tak ada
artinya lagi. Jangan pedulikan aku! Biarkan aku minum!” ujarnya lirih tanpa
tenaga seraya berusaha bangkit dan kembali merebut botol araknya.
“Aku sudah dengar tentang kabar
kematian Nona Huang. Tapi jika kau seperti ini hanya akan menyusahkan diri
sendiri. Apakah dengan kau seperti ini, dia akan hidup kembali?” tanya Hua
Cheng, berusaha mengembalikan akal sehat Guo Jing.
“Rong’er, aku yang menyebabkan
kematianmu. Jika aku tidak membuatmu marah, kau tidak akan pergi. Jika kau
tidak pergi, Ou Yang Feng tidak akan mengejarmu. Jika Ou Yang Feng tidak
mengejarmu, maka kau tidak akan masuk ke dalam pasir hisap itu. Jika kau tidak
masuk ke dalam pasir hisap itu, maka kau tidak akan...” Guo Jing terdiam
sessat, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Air mata mengalir turun dari
wajahnya yang tampan.
Hua Cheng pun ikut menangis
mendengarnya. Entah tangis bahagia karena saingannya uda meninggal dan dia
berpikir bisa memiliki Guo Jing sepenuhnya, atau justru tangisan kesedihan
karena teringat sumpah Guo Jing bahwa bila sesuatu yang buruk menimpa Huang
Rong maka dia tidak akan menikah seumur hidup.
“Rong’er, kita sudah berjanji akan
hidup dan mati bersama. Tapi sekarang kau sudah mati dan aku masih hidup di
dunia ini. Apa gunanya aku belajar kungfu, jika pada akhirnya aku tak bisa
melindungi Rong’er?” serunya sedih dan depresi.
“Biarkan aku minum! Bila aku mabuk, aku
takkan merasakan kepedihan ini lagi.” Lanjut Guo Jing seraya bangkit berdiri
dan berusaha merebut botol araknya sekali lagi.
Setelah menghabiskan araknya,
Guo Jing melemparkan botol itu dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput. Dia
masih belum bisa menerima “kematian”
sang kekasih.
“Guo Jing, lihatlah dirimu yang
sekarang! Aku selalu berpikir kau adalah seorang Pahlawan. Tidak kusangka
ternyata kau sangat lemah. Setiap hari minum arak, apa kau pikir arak bisa
menghilangkan kesedihanmu? Apa arak bisa membuat Nona Huang hidup kembali?” Hua
Cheng berseru keras, mencoba mengembalikan akal sehat Guo Jing.
“Siapa orang di dunia ini yang tak
pernah merasakan kehilangan? Tapi apakah seumur hidup ini kau akan terus
terjerumus dalam kesedihan? Di mataku, pahlawan sejati bukanlah mereka yang
selalu memenangkan peperangan. Tapi mereka yang selalu bisa bangkit lagi saat
sedang terpuruk.” Lanjutnya lagi, masih menasehati Guo Jing. Tapi Guo Jing
tetap tak merespon kalimatnya.
“Di hatiku, kau seharusnya bisa seperti
rajawali yang terbang tinggi, Walaupun terluka, setelah lukanya sembuh tetap
akan bisa terbang ke langit.” Tambahnya, mengibaratkan Guo Jing seperti burung
rajawali yang terbang tinggi. Tapi lagi-lagi Guo Jing masih belum merespon.
“Guo Jing, aku tahu hatimu sangat
sedih. Tapi hal ini sudah terjadi. Kau terus menyalahkan dirimu juga tak ada
gunanya. Aku percaya Nona Huang di atas sana juga tidak ingin melihatmu seperti
ini. Benar tidak?” ujar Hua Cheng sekali lagi, yang kali ini tampaknya
berhasil.
Begitu mendengar nama sang kekasih
disebutkan, Guo Jing tampak seolah baru mendapatkan kembali akal sehatnya. Dia
merasa ucapan Hua Cheng kali ini benar, Rong’er pasti tidak ingin melihatnya
seperti ini.
Jadi perlahan-lahan Guo Jing mulai bangkit dan duduk di atas
rumput seraya memeluk lututnya sendiri sambil kembali menangis sedih. Hua Cheng
pun duduk di sampingnya dan memeluk pundaknya lembut.
Akhirnya demi Huang Rong, Guo Jing pun
mencoba untuk bangkit kembali. Sepertinya memang hanya Huang Rong yang bisa
mengembalikan akal sehat Guo Jing.
Lalu adegan beralih saat Guo Jing membantu
sang ibu menyisir rambut seraya meminta maaf karena selalu menyusahkan sang
ibu. Guo Jing merasa bersalah setelah melihat rambut ibunya mulai memutih namun
dia belum melakukan sesuatu untuk membuat sang ibu bahagia.
“Ibu, putramu akan bangkit kembali. Aku
adalah putra Guo Xia Tian, tidak akan mempermalukan nama almarhum ayah.” Jawab
Guo Jing tegas.
Sang Ibunda menanyakan apa rencana Guo
Jing berikutnya. Lalu Guo Jing menjawab, dia akan mengikuti apa pun kata sang
Ibu. Jika sang ibunda ingin tetap menetap di Mongol, maka mereka akan menetap
di Mongol.
Tapi jika sang ibunda ingin kembali ke Desa Nia, maka mereka akan
pulang ke Desa Nia. Pernyataan yang mengindikasikan bahwa Guo Jing tidak akan
menikahi Hua Cheng setelah Huang Rong “meninggal”.
Lalu Ibu Guo Jing berkata bahwa dia
sudah 20 tahun tidak pulang ke Desa Nia. (Udah 20 tahun usianya Guo Jing
sekarang, waktu pertama kali datang ke daratan China, usianya Guo Jing baru 18
tahun).
Guo Jing menjawab bahwa dia mengerti
keinginan sang Ibu dan berjanji akan menemaninya pulang ke Desa Nia setelah
membantu Khan Agung mengalahkan Chin. Sama sekali tidak ada rencana menikahi Hua Cheng. Li Phing pun tak lagi "memaksa" putranya untuk menepati janjinya menikahi si Putri Mongol itu setelah melihat bagaimana menderitanya Guo Jing setelah "kematian" Rong'er.
Tapi sayangnya rencana mereka pulang ke Desa Nia harus
gagal karena Khan Agung berencana untuk menyerang Kerajaan Sung setelah
berhasil mengalahkan Chin. Apalagi setelah Guo Jing mengutarakan keinginannya
untuk pulang ke China Daratan bersama dengan sang Ibu.
Saat itu, Khan Agung telah memberikan
sebuah kantong yang sudah dijahit. Kantong tersebut berisi perintah untuk Guo
Jing memimping puluhan ribu prajurit menyerang Negara Sung dan jika Guo Jing
menolak maka dia harus dihukum mati.
Karena takut kantong tersebut akan
dibuka dan rencana busuknya diketahui oleh Guo Jing sebelum tiba waktunya
berperang, Khan Agung memberi perintah untuk Tuo Li dan yang lainnya agar
saling memeriksa kantong tersebut. Jika dicurigai adanya bekas sobekan kain
yang kembali dijahit maka pemilik kantong tersebut harus segera dihukum
penggal.
Setelah kembali ke tendanya, Guo Jing
tampak canggung saat melihat Hua Cheng di sana. Berbeda dengan Hua Cheng yang
tampak gembira melihat Guo Jing sudah pulang. Setelah Hua Cheng pergi, Guo Jing
pun menceritakan tentang tugas yang diberikan Khan Agung padanya, tentang Khan
Agung yang melarang Guo Jing membawa ibunya pergi. Termasuk tentang kantong
kain berisi perintah yang tidak boleh dibuka.
Li Phing yang penasaran dengan isi
perintah dalam kantong kain tersebut meminta putranya yang paling ganteng untuk
menyerahkan kantong tersebut padanya. Setelah meyakinkan Guo Jing bahwa sang
Ibu sangat mahir menjahit dan pasti bisa menjahitnya kembali tanpa diketahui
orang lain, Guo Jing pun menyerahkan kantong tersebut pada sang ibu untuk
dibuka.
Dan betapa terkejutnya mereka saat
mengetahui bahwa Khan Agung ternyata berencana untuk memberi perintah pada Guo
Jing agar menyerang negaranya sendiri. Dalam perintah tersebut dituliskan bahwa
Guo Jing harus memimpin pasukan untuk menyerang Kota Lin’An dan merebut ibu
kota Sung.
Jika Guo Jing menolak, maka dia harus dihukum mati. Sang ibunda pun
juga harus dihukum mati. Untung saja kantong tersebut sudah dibuka lebih dulu
jadi mereka tahu rencana tersebut.
Sang Ibu yang panik bertanya pada Guo
Jing apa yang harus mereka lakukan sekarang. Guo Jing yang mendadak jadi
cerdas, mengusulkan agar mereka sebaiknya segera meninggalkan Mongol sebelum
Khan Agung mengetahui masalah yang sebenarnya (bahwa mereka sudah mengetahui
perihal perintah menyerang Sung).
Li Phing setuju. Dia menyuruh putranya
menyiapkan kuda mereka, sementara sang Ibu akan menyiapkan barang-barang seperlunya
saja. Guo Jing segera keluar dari tenda untuk melaksanakan perintah sang Ibu,
tanpa tahu bahwa Hua Cheng menguping dan mendengar semua rencana mereka.
Hua Cheng yang tak ingin Guo Jing pergi
dari Mongol akhirnya melaporkan rencana kepergian Guo Jing dan sang ibu kepada
ayahnya. Khan Agung yang marah akhirnya menangkap Li Phing. Guo Jing yang
kembali ke tenda dan melihat sang ibu tak ada di sana, mendadak menjadi panik.
Saat itulah, orang-orang Mongol datang
menangkap Guo Jing untuk dibawa ke hadapan Khan Agung dan diadili. Ibu Guo Jing
berpura-pura ingin menasehati putranya agar menurut.
Tapi sebenarnya, sebelum memutuskan
untuk bunuh diri agar tidak membebani sang putra tercinta, Li Phing (Ibu Guo
Jing) sempat berpesan agar Guo Jing tidak boleh menjadi seperti Yang Kang yang
mengkhianati negaranya sendiri. Guo Jing harus melindungi negaranya dan menjadi
pendekar sejati seperti mendiang sang ayah tercinta.
Li Phing pun berkata bahwa Pendeta Chiu
Chu Ji (Khu Chi Khe) memberi mereka nama Guo Jing dan Yang Kang agar selalu
ingat pada tragedi Jing Kang dan agar tidak berkhianat pada negara. Li Phing
berpesan agar sang putra tidak mengikuti jejak Yang Kang yang sampai mati,
memilih menjadi pengkhianat bangsa.
“Jing’er, kau harus ingat pesan ibu. Kau
harus menjadi rakyat Sung yang baik. Tidak boleh mempermalukan keluarga Guo. Kau
harus berjuang untuk negaramu,” Pesan Li Phing pada sang putra. Guo Jing hanya
bisa menganggukkan kepalanya sambil menangis sedih.
Setelah mendengar Guo Jing berjanji, Li
Phing memakai belati bertuliskan nama “Guo Jing” (yang sebelumnya telah
dikembalikan pada Guo Jing oleh Ou Yang Feng) untuk membunuh dirinya sendiri.
Li Phing mengarahkan belati itu ke dadanya.
Hingga akhirnya dia meninggal dalam
pelukan sang putra tercinta yang hanya mampu meratapi kepergian sang ibunda
dengan hati hancur.
Setelah kematian sang ibunda tercinta,
Guo Jing menatap Jengkhis Khan dengan pandangan mata penuh kebencian. Sejak
saat itu Guo Jing bersumpah bahwa dia tidak akan pernah lagi kembali ke Mongolia.
Guo Jing menggendong mayat sang ibu dan berusaha kabur dari Mongol. Tapi dengan
menggendong mayat ibunya, tentu Guo Jing tidak mudah melarikan diri dari sana.
Untunglah ada Guru Jebe dan Tuo Li yang
datang membantunya melarikan diri. Guru Jebe berpura-pura ingin menangkap Guo
Jing. Saat itu, Guo Jing meminta waktu untuk menguburkan sang ibu tercinta,
tapi setelah selesai menguburkan sang ibu di tengah padang gurun Mongolia, Guru
Jebe justru menyuruh Guo Jing pergi.
“Jing’er, kau pergilah!” ujar Guru Jebe
dengan tulus.
“Aku melihatmu tumbuh besar. Kalau aku
membawamu pulang, kau pasti akan dihukum mati. Tapi saat kau masih kecil, kau
pernah menyelamatkan nyawaku. Bagaimana mungkin aku diam saja melihatmu dihukum
mati?” lanjut Guru Jebe dengan setetes air jatuh dari matanya.
Lalu bagaimanakah nasib Guo Jing
selanjutnya? Mampukah Guru Jebe membantu Guo Jing meloloskan diri dari Mongol?
Jawabannya ada di episode selanjutnya...
See you next episode : Episode 51
Written
by : Liliana Tan
NOTE
: DILARANG MENG-COPY PASTE TANPA IJIN DARI PENULIS !!! REPOST WITH FULL CREDITS
!!!
Credit
Pict : WEIBO ON LOGO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar