Masih seputar potongan adegan antara
Guo Jing dan Huang Rong dalam “Legend Of The Condor Heroes 2017” atau yang
lebih dikenal di Indonesia sebagai “Pendekar Pemanah Rajawali 2017”. Walaupun
jumlah episode serial ini cukup panjang yaitu 52 episode secara total, tapi
percayalah, setiap episodenya berjalan cepat dan tidak bertele-tele sehingga
jauh dari kesan membosankan. Sejak episode pertama, pergantian setiap adegan
terasa sangat cepat dan langsung pada inti permasalahan, jadi membuat penonton
menikmati setiap episodenya. Ditambah lagi, sang aktor utama yaitu William Yang
memiliki paras yang rupawan jadi membuatku selaku penonton yang doyan cowok
ganteng, betah nongkrong di depan laptop untuk menonton serial ini. Kenapa di
depan laptop? Ya iyalah, nontonya kan dari DVD. Secara di TV nasional belum ada
yang menayangkan secara resmi.
Akhirnya tibalah kita di 2 episode
terakhir serial adaptasi terbaru “Legend Of The Condor Heroes 2017” bersama si
ganteng bertubuh tinggi, William Yang Xuwen sebagai Guo Jing. Di episode
sebelumnya, Guo Jing yang sempat depresi berat dan patah hati karena mengira
sang kekasih pujaan hati, Huang Rong telah tewas karena masuk ke dalam pasir
hisap, akhirnya berusaha bangkit kembali.
Dia dan sang Ibunda tercinta bahkan
sempat berencana akan kembali ke Desa Nia bersama, namun sayang, rencana
tersebut gagal total karena Khan Agung yang berencana menyerang Sung mengetahui
rencana kaburnya Guo Jing dan sang Ibunda tercinta. Akhirnya, demi agar tidak
merepotkan sang putra satu-satunya, Li Phing memutuskan untuk bunuh diri di
hadapan putranya setelah memberikan pesan terakhir agar Guo Jing berbakti pada
negaranya. Guo Jing yang sekarang berstatus sebagai tawanan Mongol berusaha
melarikan diri dari Mongol, tapi untunglah ada Guru Jebe yang berusaha
menyelamatkannya. Apakah Guru Jebe berhasil membantu Guo Jing melarikan diri?
Lalu bagaimanakah nasib Guo Jing setelah kehilangan sang ibunda serta kekasih
tercinta dalam waktu yang nyaris bersamaan?
Well, pepatah mengatakan akan selalu
ada hikmah di balik setiap musibah. Karena setidaknya, gara-gara kejadian ini,
Hua Cheng yang merasa bersalah akhirnya memutuskan untuk membatalkan janji
pernikahan mereka. Walau bagi Guo Jing sekarang percuma, karena gadis yang
dicintainya sudah meninggal jadi dibatalkan pun tak ada gunanya. Dia tetap tak
bisa bersama Rong’er lagi. Kasian juga liat Jing Gege >_< But don’t
worry, Jing Gege. After the winds and rain, there will be a brand new day...
Saat kau kehilangan, kau pasti akan mendapatkan sesuatu sebagai gantinya...
Apakah itu?
Bagi yang merasa penasaran dengan
kelanjutan kisah ini. Mari kita simak potongan adegan di bawah ini... Buat yang
belum nonton, mungkin potongan adegan ini dapat memberikan sedikit gambaran.
Dan kisahpun berlanjut...
Flashback sedikit...
Setelah kematian sang ibunda tercinta,
Guo Jing menatap Jengkhis Khan dengan pandangan mata penuh kebencian. Sejak
saat itu Guo Jing bersumpah bahwa dia tidak akan pernah lagi kembali ke
Mongolia. Guo Jing menggendong mayat sang ibu dan berusaha kabur dari Mongol.
Tapi dengan menggendong mayat ibunya, tentu Guo Jing tidak mudah melarikan diri
dari sana.
Untunglah ada Guru Jebe dan Tuo Li yang
datang membantunya melarikan diri. Guru Jebe berpura-pura ingin menangkap Guo
Jing. Saat itu, Guo Jing meminta waktu untuk menguburkan sang ibu tercinta,
tapi setelah selesai menguburkan sang ibu di tengah padang gurun Mongolia, Guru
Jebe justru menyuruh Guo Jing pergi.
“Jing’er, kau pergilah!” ujar Guru Jebe
dengan tulus, dengan mata berkaca-kaca.
“Aku melihatmu tumbuh besar. Kalau aku
membawamu pulang, kau pasti akan dihukum mati. Tapi saat kau masih kecil, kau
pernah menyelamatkan nyawaku. Bagaimana mungkin aku diam saja melihatmu dihukum
mati?” lanjut Guru Jebe dengan setetes air jatuh dari matanya.
Guru Jebe beralasan bahwa bagaimanapun
juga, Guo Jing pernah menyelamatkan nyawanya saat Guo Jing masih kecil dulu.
Dia juga melihat Guo Jing tumbuh besar, bagaimana mungkin dia tega melihat Guo
Jing mati di depan matanya? Hiks T__T Guru Jebe memang baik.
Tak hanya itu, Tuo Li pun datang dengan
sejumlah pasukan untuk mengantar saudara angkatnya. Awalnya Guru Jebe dan Guo
Jing mengira bahwa Tuo Li datang untuk menangkap Guo Jing. Guo Jing yang tak
ingin gurunya dihukum Khan Agung berkata bahwa lebih baik dia ikut mereka untuk
ditangkap, Guru Jebe tak perlu melindunginya.
“Tuo Li An Ta, Guru Jebe datang untuk
menangkapku untuk diserahkan pada Khan Agung.” Ujar Guo Jing, melindungi Guru
Jebe. Tapi Tuo Li hanya tersenyum mengerti mendengarnya.
Ternyata Tuo Li dan Hua Cheng juga
datang utk membantu Guo Jing melarikan diri. Pasukan yang dibawa oleh Tuo Li
adalah pasukan yang dulunya pernah menjadi bawahan Guo Jing. Tak hanya itu, Tuo
Li datang membawa kuda merah milik Guo Jing.
“An Ta, jangan bicara lagi. Di sini ada
100 keping emas. Ambil ini dan cepatlah pergi.” Ujar Tuo Li seraya menyerahkan
satu tas berisi uang emas. Guo Jing awalnya hanya terbengong melihatnya,
membuat Tuo Li tak sabar lalu meletakkan tas tersebut di tangan Guo Jing.
“Ambillah!” ujar Tuo Li dengan tidak
sabar. Guo Jing awalnya merasa tidak enak, karena Tuo Li dan Guru Jebe
mengkhianati Khan Agung demi dirinya. Tapi Guru Jebe menjamin bahwa mengingat
jasanya yang besar pada Khan Agung selama ini, dia tidak akan dihukum mati,
paling hanya dihukum cambuk sedikit saja.
“Benar. Kau jangan cemas. Hari ini aku
membawa pasukan yang pernah berperang bersamamu ke Utara dan menjadi bawahanmu.
Kau bisa tanya sendiri pada mereka.” Ujar Tuo Li menenangkan Guo Jing.
“Aku tanya kalian semua. Apa di antara
kalian, ada yang ingin menangkap Jenderal Guo Jing demi harta?” seru Tuo Li
pada seluruh bawahan Guo Jing. Para prajurit tersebut spontan turun dari kuda
masing-masing dan berlutut kepada Guo Jing.
“Kami mengantar Jenderal Guo kembali ke
Selatan.” Seru para prajurit itu serentak.
“Aku bersalah pada Khan Agung, sudah
sepantasnya dihukum. Kalian semua melepaskan aku, pasti akan dihukum berat.”
Seru Guo Jing pada bawahannya.
“Jenderal sangat baik pada kami. Kami
tidak berani mengkhianatimu.” Jawab mereka serentak.
“Aku Guo Jing, sepenuh hati berhutang
budi pada kalian.” Seru Guo Jing seraya ikut berlutut pada bawahannya sebagai
tanda berterima kasih.
“An Ta, cepatlah pergi.” Ujar Tuo Li tulus.
“Jing’er, jika tidak cepat pergi akan
terlambat.” Lanjut Guru Jebe.
Setelah mendengarnya, Guo Jing pun
segera naik ke atas punggung kudanya dan bersiap pergi.
“Guo Jing, ijinkan aku mengantarmu.”
Ujar Hua Cheng, ingin berpamitan. Guo Jing mengangguk pelan dan Hua Cheng pun ikut
pergi mengantarnya.
“Hua Cheng, kau tidak perlu mengantarku
lagi. Pulanglah ke Mongol. Sepasang rajawali putih itu kutinggalkan untuk
menemanimu.” Ujar Guo Jing, menyuruh Hua Cheng pulang.
Tapi Hua Cheng justru berjalan ke
hadapan Guo Jing dan menggenggam tangan Guo Jing membuat Guo Jing menjadi
bingung.
“Guo Jing, maaf.” Ujar Hua Cheng
meminta maaf.
Guo Jing melepaskan genggangam tangan
Hua Cheng dan menyentuh pundaknya. (sejak awal, Guo Jing memang terlihat sangat
tidak nyaman bila bersentuhan dengan Hua Cheng. Setiap kali Hua Cheng pegang
tangannya, Guo Jing pasti selalu ngelepasin. Beda ma Rong’er, ke manapun mereka
pergi pasti gandengan tangan.)
“Hua Cheng, kenapa kau minta maaf padaku?” tanya Guo Jing lembut, dia tidak
mengerti.
Hua Cheng pun menjelaskan bahwa dia meminta
maaf karena dialah yang telah melaporkan Guo Jing dan ibunya pada sang ayah,
hingga berakhir dengan kematian ibunda Guo Jing. Hua Cheng juga berkata bahwa
dia sangat menyesal karena niat awalnya hanya ingin menghalangi kepergian Guo
Jing dari Mongol.
Dia pikir sang ayah akan memakai cara
halus untuk menahan kepergian Guo Jing, siapa sangka memakai cara seperti ini.
“Jadi kau yang melaporkan kami pada
Khan Agung?” tanya Guo Jing mengerti maksud Hua Cheng. Ekspresinya berubah
menjadi kecewa, Guo Jing merasa dikhianati oleh seseorang yang sudah
dianggapnya adik kandung sendiri.
Hua Cheng meminta maaf dari lubuk
hatinya yang paling dalam dan karena malu pada Guo Jing serta tak punya wajah
lagi untuk memandang wajah Guo Jing, Hua Cheng akhirnya dengan berat hati melepaskan
Guo Jing dan membatalkan perjanjian pernikahan mereka.
“Guo Jing, sekarang aku bahkan tidak
berharap kau akan memaafkan aku. Juga tidak punya muka lagi untuk bertemu
denganmu. Janji pernikahan kita, batalkan saja sekarang. Kau jagalah dirimu
baik-baik.” Ujar Hua Cheng dengan air mata menetes dari sudut matanya.
Hua Cheng tampak tak rela namun dia
tahu dia harus melepaskan Guo Jing karena dia terlalu malu memandang wajah Guo
Jing setelah menjadi penyebab kematian ibu Guo Jing.
Note : Plong deh hatinya Guo Jing
karena sudah tidak terikat pada siapa pun lagi. Benar-benar single nih
sekarang. Balik ke mantan lagi deh habis ini hahaha ^_^ Tapi Harga yang harus dibayar untuk pembatalan janji pernikahan itu
begitu mahal yaitu darah sang Ibu T__T
Guo Jing hanya menatapnya tanpa kata
dan tanpa ekspresi. Bagi Guo Jing saat ini, membatalkan pernikahan sudah tak
ada artinya lagi, mengingat sang kekasih pujaan hati, gadis yang sangat ingin
dia nikahi sudah tak ada lagi di dunia ini alias sudah mati.
Jadi Guo Jing pun tidak terlihat
gembira sama sekali. Mungkin jika seandainya Huang Rong masih hidup, Guo Jing
akan menyambut kabar ini dengan hati gembira dan memeluk kekasihnya erat. Tapi
nasi sudah menjadi bubur. Semua orang terdekatnya kini telah pergi. Hanya
tinggal dia seorang diri di dunia ini.
Guo Jing mengendarai kuda merah dengan
hati hancur. Dia mengenang kembali semua hal yang dilaluinya selama 1 tahun
terakhir ini sejak dia kembali ke Mongolia.
“Selama 1 tahun ini, kelima guruku,
Rong’er juga Ibu, semuanya telah meninggal. Aku rajin berlatih kungfu, “18 Jurus Penakluk Naga, 72 Tinju Kosong,
Tangan Kiri Melawan Tangan Kanan, 9 Bulan”, semuanya kukuasai. Tapi pada
akhirnya, aku tetap tidak bisa melindungi mereka semua. Sejak kecil, aku selalu
ingin menjadi seperti ketujuh guruku, menjadi Pahlawan dan membela yang lemah.
Tapi pada akhirnya keenam guruku, tak ada yang berakhir dengan baik. Sedang Ou
Yang Feng dan Chiu Chian Ren, melakukan banyak kejahatan, malah tetap hidup
dengan bebas. Kungfu, untuk apa sebenarnya dipelajari?” ujar Guo Jing dalam
hati dengan pedih. Sekarang hanya tinggal dia seorang diri di dunia ini.
Setelah sampai di dataran China, Guo Jing menjadi sasaran kemarahan masyarakat
China yang benci terhadap Mongol. Para penduduk itu memukuli Guo Jing karena
mengira Guo Jing adalah orang Mongol melihat dari caranya berpakaian. Guo Jing
yang sangat sedih dan putus asa, memang tidak mau membalas semua pukulan yang
ditujukan padanya. Hingga akhirnya sang guru Hong Chi Khong datang
menyelamatkannya.
Hong Chi Khong bercerita bahwa tentara
Chin dan Mongol sama jahatnya. Rakyat Sung berpikir bahwa tentara Mongol ada di
pihak mereka, itu sebabnya mereka membantu Mongol mengalahkan Chin, tetapi
ternyata Mongol dan Chin tak ada bedanya.
Setelah mengalahkan Chin, Pasukan
Mongol justru menyerang rakyat Sung. Mereka merampok, membunuh, memperkosa dan
membakar rumah penduduk. Karena melihat Guo Jing memakai pakaian Mongol, rakyat
Sung berpikir bahwa Guo Jing adalah orang Mongol dan itu sebabnya memukulinya.
“Aku tahu.” Jawab Guo Jing lirih.
“Kalau tahu kenapa tidak melawan?”
tanya sang guru tidak mengerti.
“Aku sudah memutuskan tidak mau
bertarung lagi.” Jawab Guo Jing dengan sedih.
“Kenapa?” tanya sang guru lagi.
Guo Jing pun akhirnya menceritakan
semua yang dialaminya kepada sang guru sejak hari di mana mereka berdua
berpisah di Loteng Dewa Mabuk. Guo Jing dengan sedih bercerita tentang Rong’er
yang diduga tewas karena masuk ke dalam pasir hisap, juga tentang kematian sang
ibunda tercinta dan alasan kepergiannya dari Mongol.
Hong Chi Khong juga tampak sangat sedih
dengan kepergian murid perempuannya yang cantik, lincah, cerdas dan jago
memasak itu. Mendadak si pengemis tua itu tidak memiliki nafsu untuk makan.
“Sungguh menyedihkan. Tidak kusangka
ibumu dan Rong’er...” Hong Chi Khong kembali terdiam, tak sanggup melanjutkan
kata-katanya. Dia tampak tak rela mendengar murid kesayangannya sudah
meninggal.
“Dunia ini benar-benar tidak adil.
Masih terngiang dalam telingaku suara manja si gadis cerdik itu, terdengar
seperti suara burung berkicau. Takdir benar-benar mempermainkan orang. Jing’er,
kematian ibumu dan Rong’er memang menyedihkan, tapi hidup dan mati seseorang
sudah ditentukan, tidak bisa menyalahkanmu.” Ujar Hong Chi Khong, mencoba
menasehati sang murid agar tidak larut dalam kesedihan.
“Guru, aku tidak mengerti. Sejak kecil
aku susah payah belajar kungfu. Aku berpikir dengan kungfu bisa melindungi yang
lemah. Tapi pada akhirnya, aku tetap tidak bisa melindungi Rong’er dan Ibu.
Lalu apa gunanya aku belajar kungfu? Lebih baik aku jadi orang biasa saja.”
ujar Guo Jing sedih. Masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ibu dan
kekasihnya sudah tak ada lagi di dunia ini.
Guo Jing kembali bercerita pada sang
guru tentang rencananya untuk melupakan semua kungfu yang dia miliki saat ini
karena merasa tidak ada gunanya.
Akhirnya karena tidak bisa menasehati
sang murid yang keras kepala, Hong Chi Khong menyarankan Guo Jing untuk mencari
si Bocah Tua Nakal, Chou Pho Tong (Chiu Pek Tong) karena hanya dialah
satu-satunya orang di dunia ini yang juga memiliki keinginan yang sama seperti
Guo Jing yaitu melupakan kungfunya. Hong Chi Khong berkata mungkin saja si
Bocah Tua Nakal memiliki sebuah cara.
Guo Jing bertanya apakah sang guru
bertemu dengan Bocah Tua Nakal belakangan ini? Hong Chi Khong berkata Tidak.
Tapi dia tahu di mana bisa bertemu dengan Bocah Tua Nakal. Guo Jing pun bertanya
di mana dan Hong Chi Khong menjawab Gunung Hua.
Beberapa hari lagi akan ada
pertandingan pedang kedua di Gunung Hua. Bocah Tua Nakal yang senang bermain,
tentu akan datang ke sana untuk melihat keseruan. Guo Jing yang sudah
memutuskan untuk melupakan kungfunya, tentu saja setuju untuk ikut dengan
gurunya ke Gunung Hua.
Dan di sanalah, dia akhirnya dapat
bertemu kembali dengan seseorang yang sangat dia rindukan. Siapakah itu? Tak
lain dan tak bukan adalah sang kekasih tercinta, Huang Rong yang ternyata masih
hidup dan sehat.
Saat itu Guo Jing dan Hong Chi Khong
tak sengaja bertemu dengan Ou Yang Feng yang berlatih kungfu terbalik yaitu
berjalan dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti orang gila. Penasaran,
sepasang guru dan murid tersebut mengikuti Ou Yang Feng hingga sampai di sebuah
gua di atas gunung.
Setelah cukup lama mengintai, mereka akhirnya mendengar
suara seorang gadis yang terdengar sangat tidak asing. Siapa lagi kalau bukan
suara si gadis cerewet, Huang Rong.
Guo Jing spontan tersenyum gembira setelah mengenali suara gadis di dalam gua itu.
Guo Jing spontan tersenyum gembira setelah mengenali suara gadis di dalam gua itu.
Guo Jing masih terbengong tak percaya. Dia seolah tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Mungkin bagi Guo Jing, yang sebelumnya mengira bahwa kekasih hatinya sudah meninggal, semua ini tampak tak masuk akal. Atau mungkin akal sehatnya sudah hilang entah ke mana. Itu sebabnya dia tampak tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
“Apakah itu Rong’er?” tanyanya seraya menoleh pada sang guru, seolah sedang mengkonfirmasi bahwa dia tidak sedang bermimpi indah atau bahkan mungkin sedang berhalusinasi belaka.
Dia spontan tersenyum gembira mendengar
suara gadis yang dicintainya. Ekspresi wajahnya yang sebelumnya tampak seperti
orang depresi dan putus asa kini berubah ceria.
“Itu memang suara Rong’er. Benar. Benar. Benar. Memang suara Rong’er.” Hong Chi Khong mengkonfirmasi bahwa dia juga seperti mendengar suara Rong’er.
“Itu memang suara Rong’er. Benar. Benar. Benar. Memang suara Rong’er.” Hong Chi Khong mengkonfirmasi bahwa dia juga seperti mendengar suara Rong’er.
Guo Jing tampak sangat gembira bahwa
ternyata gurunya juga mendengar suara itu. Itu berarti dia tidak sedang
bermimpi atau berhalusinasi.
Setelah Ou Yang Feng pergi, Guo Jing
spontan berlari masuk ke dalam gua seraya memanggil nama sang kekasih tercinta.
“Rong’er!” serunya dengan tertawa
gembira lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan memeluknya erat penuh
kerinduan
Guo Jing seolah tidak peduli walau di
sana ada Hong Chi Khong yang menyaksikan kemesraan mereka. Guo Jing menganggap
bahwa dunia hanya milik mereka berdua. Mungkin karena terlalu merindukan sang
kekasih, hingga Guo Jing tidak peduli pada apa pun lagi.
“Jing Gege...” bisik Huang Rong lembut,
membalas pelukan Guo Jing.
“Ternyata benar kau. Kau masih hidup?
Bagus sekali.” seru Guo Jing dengan tertawa gembira.
Dia benar-benar bahagia karena ternyata
gadis yang dicintainya belum meninggal dan kini berada dalam pelukannya. Guo
Jing seperti telah mendapatkan kembali semangat hidupnya.
“Rong’er, ternyata benar kau. Pengemis
Tua ini sangat senang melihatmu masih hidup.” Ujar Hong Chi Khong, turut
gembira.
Suara sang guru membuat gadis itu sadar
bahwa tidak hanya ada mereka berdua di gua itu. Dengan wajah memerah malu
karena bermesraan di depan sang guru, Huang Rong melepaskan pelukan Guo Jing
dan menyapa sang guru dengan manis.
“Guru.” Sapa Huang Rong dengan wajah
memerah malu, spontan menjauhkan dirinya dari Guo Jing.
“Jing’er...Bocah ini seperti kehilangan
separuh jiwanya. Setiap hari dia murung dan...” Hong Chi Khong tidak
melanjutkan kalimatnya karena Huang Rong telah kembali memfokuskan perhatiannya
pada kekasih hatinya. (Ceritanya, gurunya gak dianggap gitu hahaha ^_^ Obat
nyamuk...)
“Jing Gege, akhirnya kau datang.” Ujar
Huang Rong lega dengan tersenyum manja. Sementara Guo Jing menggenggam kedua
tangan gadis itu mesra dan tersenyum gembira tanpa kata.
“Rong’er...” Guo Jing hanya memanggil
nama kekasihnya dengan lembut, tak tahu harus bicara apa.
Mendadak lidahnya menjadi kelu saat gadis yang dicintainya muncul di hadapannya. Dia hanya menggenggam tangan gadis itu seraya tersenyum bodoh.
Hong Chi Khong mendadak menjadi malu
sendiri melihat kemesraan sepasang kekasih itu. Dia mendapat kesan seolah-olah
kehadirannya di tempat itu sangat mengganggu. Guo Jing dan Huang Rong hanya
saling memperhatikan pasangan masing-masing dan memandang pasangan
masing-masing, tak peduli pada kehadiran orang lain.
“Aku akan pergi melihat keadaan si
racun tua itu. Kalian bicaralah dulu.” Ujar sang guru pamit.
Tapi hanya Huang Rong yang merespon
sang guru dengan mengangguk, karena Guo Jing terlalu sibuk memandang wajah sang
kekasih dan seolah tidak menyadari kehadiran sang guru di tempat itu. Atau
lebih tepatnya tidak peduli. Mungkin bagi Guo Jing saat ini, dunia hanya milik
mereka berdua.
“Jing Gege...” Huang Rong memanggil
nama kekasihnya dengan lembut. Tapi Guo Jing memotong ucapan gadis itu.
“Rong’er, maaf. Ini semua salahku.”
Ujar Guo Jing merasa bersalah. Dia meminta maaf dari lubuk hatinya yang paling
dalam.
“Aku tidak seharusnya melupakan janjiku
padamu. Tidak seharusnya aku membiarkanmu dalam bahaya. Tidak seharusnya aku...
terlalu banyak hal yang tidak seharusnya kulakukan. Pokoknya semuanya salahku.”
Ujar Guo Jing, menyalahkan dirinya sendiri.
Guo Jing yang memang tak pandai bicara,
tampak bingung harus dari mana menjelaskannya agar Rong’er mengerti dan
memaafkannya. Huang Rong hanya tersenyum lucu melihat Guo Jing yang tampak
panik.
“Rong’er, kau pukul aku saja. Pukullah!” Ujar Guo Jing seraya menarik tangan Huang Rong dan mengarahkannya ke dadanya, meminta gadis itu memukulnya. Tentu saja Huang Rong tak mau. Alih-alih memukul Guo Jing, gadis itu justru membelai pipinya lembut.
“Jing Gege, kau ini benar-benar otak
udang. Mana mungkin Rong’er tega memukulmu?” ujar Huang Rong lembut seraya
membelai pipi Guo Jing.
Kemudian saat akan menarik tangannya yang diletakkan
Guo Jing di dadanya, Huang Rong tak sengaja menemukan sesuatu di balik pakaian
pemuda itu.
“Ini apa?” tanya Huang Rong penasaran.
Guo Jing lalu mengeluarkan jepit rambut emas milik Huang Rong yang sempat dipungutnya
di gurun pasir.
“Bukankah ini jepit rambutku? Kenapa
bisa ada padamu?” tanya Huang Rong tak mengerti.
“Ou Yang Feng bilang padaku, kau jatuh
ke dalam pasir hisap dan mati. Hanya meninggalkan mantel bulu cerpelai hitam
dan jepit rambut ini. Kupikir, di jepit rambut ini pasti masih tertinggal aroma
wangi rambutmu, itu sebabnya aku selalu membawanya ke mana-mana. Jadi saat aku
merindukanmu, aku akan memandanginya. Dengan begitu aku merasa kau ada di
sisiku.” Ujar Guo Jing menjelaskan, membuat Huang Rong tersentuh.
“Kau ini benar-benar bodoh. Hari itu
setelah meninggalkan tendamu, Ou Yang Feng terus mengejarku. Aku tak bisa lari.
Jadi aku menggunakan pasir hisap untuk menjebaknya. Aku sengaja meninggalkan
mantel bulu dan jepit rambutku untuk menipu Ou Yang Feng. Tapi kau juga ikut
percaya.” Jelas Huang Rong.
“Rong’er, ada satu hal lagi yang ingin
kujelaskan padamu. Hari itu, aku bukannya tidak bersedia meminta pembatalan
pernikahanku dengan Hua Cheng, tapi karena aku tidak ingin melihat rakyat Samarkhan
dibunuh dengan kejam.” Ujar Guo Jing menjelaskan.
“Aku tahu.” Jawab Huang Rong dengan
santai.
“Kau tahu?” tanya Guo Jing bingung.
“Saat baru berpisah, aku memang tidak
tahu. Tapi kemudian, aku bertemu sepasang ibu dan anak, mereka adalah rakyat
yang kabur dari Samarkhan. Aku mendengar cerita tentang seorang pahlawan muda
dari mulut mereka, pahlawan muda yang tidak peduli pada nasibnya sendiri tapi
justru meminta kebebasan untuk seluruh penduduk kota. Aku sudah bisa menebak
bahwa pahlawan muda yang mereka bicarakan pastilah kau.” Ujar Huang Rong
menjelaskan.
“Kau tahu tapi kenapa kau tidak
mencariku?” ujar Guo Jing menuntut. Huang Rong tidak tahu bagaimana Guo Jing
sangat merindukannya.
“Aku memang mau mencarimu, tapi siapa
sangka aku malah ditangkap oleh Ou Yang Feng. Dia terus memaksaku menuliskan
buku untuknya. Jadi aku tidak bisa pergi.” Jelas Huang Rong.
“Rong’er, Ou Yang Feng tidak
menyakitimu, kan?” tanya Guo Jing cemas seraya kembali menggenggam tangannya.
“Apa dia berani? Tulisanmu untuknya,
sejak awal sudah berantakan. Ditambah dengan aku yang sembarangan
menterjemahkan. Dia percaya itu sungguhan. Dia sudah berlatih berbulan-bulan.
Aku katakan padanya, kungfu ini harus dilatih terbalik. Dia benar-benar
berlatih dengan terbalik.” Ujar Huang Rong dengan tersenyum geli. Dia senang
karena berhasil membodohi Ou Yang Feng.
Lalu Huang Rong berkata, dia pasti akan
membantu menjadikan Guo Jing Pendekar Nomor 1 di dunia. Mendengar ini, Guo Jing
menundukkan wajahnya murung, kemudian dia menceritakan tentang rencananya untuk
melupakan semua kungfunya.
“Telah terjadi banyak hal semenjak kau
pergi. Ibuku meninggal karena aku. Kupikir, jika seandainya aku tidak menguasai
Ilmu “9 Bulan” juga tidak memiliki
Kitab Perang Wu Mu, mungkin tidak akan ada banyak orang yang mati.” Ujar Guo
Jing dengan sedih.
“Jing Gege, orang mati tak bisa hidup
lagi. Kau jangan terlalu bersedih. Kalau kau tidak mau menjadi nomor 1 di
dunia. Bagaimana jika kita berjalan-jalan keliling dunia dan hidup menyepi?”
usul Huang Rong.
“Usul yang bagus.” Jawab Guo Jing lalu
menarik tangan Huang Rong ke atas meja dan kembali menggenggamnya.
“Tapi Rong’er, aku masih harus
melakukan satu hal. Aku harus mencari Kakak Chou untuk melakukan sesuatu. Aku
ingin melupakan semua kungfuku.” Lanjut Guo Jing, membuat Huang Rong terkejut
mendengarnya.
“Baik. Kau mau belajar kungfu, Rong’er
temani belajar kungfu. Kalau kau mau melupakan kungfu, Rong’er juga akan memanimu
melupakan.” Jawab Huang Rong pengertian, membuat Guo Jing terkejut karena Huang
Rong mendukung keputusannya.
“Rong’er.” Guo Jing hanya mampu
memanggil nama Huang Rong dan membelai pipinya tanpa tahu harus mengucapkan
apa.
Akhirnya sepasang kekasih itu
meninggalkan gua untuk mencari Chou Pho Tong dan menemukannya berlari dari
kejaran Chiu Chian Ren.
Ternyata saat akan membunuh Chiu Chian Ren sesuai dengan perintah Huang Rong, Chou Pho Tong tak sengaja membongkar sendiri kelemahannya yaitu takut pada ular. Chiu Chian Ren yang licik akhirnya menggunakan ular untuk menakuti Chou Pho Tong.
Ternyata saat akan membunuh Chiu Chian Ren sesuai dengan perintah Huang Rong, Chou Pho Tong tak sengaja membongkar sendiri kelemahannya yaitu takut pada ular. Chiu Chian Ren yang licik akhirnya menggunakan ular untuk menakuti Chou Pho Tong.
Tak hanya mereka berdua, Ying Gu dan
Kaisar Selatan (Biksu Yi Teng) pun ikut muncul di sana. Akhirnya Chou Pho Tong
tahu bahwa Ying Gu dan dia pernah memiliki seorang putra dari hasil
perselingkuhan mereka, tapi Chiu Chian Ren telah membunuhnya.
Chiu Chian Ren yang licik memprovokasi
bahwa mereka semua bersatu membunuhnya adalah tindakan tidak terpuji. Huang
Rong menjawab bahwa untuk membunuh orang licik, menggunakan cara licik juga
tidak apa-apa.
Chiu Chian Ren bertanya apa salahnya.
Huang Rong menjawab karena Chiu Chian Ren jahat dan telah membunuh banyak
orang. Chiu Chian Ren kembali berkilah, siapa di antara mereka yang tidak
pernah membunuh orang? Semua orang menunduk mendengarnya, karena mereka semua
merasa mereka pernah membunuh setidaknya satu orang. (Harusnya Huang Rong gak
pernah, kan?)
Hingga akhirnya Pengemis Utara tiba di
sana dan mengatakan bahwa memang benar dia telah membunuh banyak orang, tapi
yang dibunuhnya hanyalah orang jahat. Kalau bukan koruptor, pastilah pejabat
kotor. Dia tidak pernah membunuh orang baik.
Dan hari ini, dia akan menjadikan Chiu Chian Ren korban berikutnya. Hal ini yang akhirnya membuat Guo Jing sadar bahwa kungfu akan berguna bila digunakan untuk hal yang berguna juga, misalnya melindungi rakyat yang tertindas.
Dan hari ini, dia akan menjadikan Chiu Chian Ren korban berikutnya. Hal ini yang akhirnya membuat Guo Jing sadar bahwa kungfu akan berguna bila digunakan untuk hal yang berguna juga, misalnya melindungi rakyat yang tertindas.
Chiu Chian Ren dan Hong Chi Khong
akhirnya bertarung dan Chiu Chian Ren kalah dengan mudah. Tapi saat Hong Chi
Khong akan mengarahkan jurusnya ke tubuh Chiu Chian Ren, Biksu Yi Teng
melindunginya.
“Biarkan aku mati menggantikannya. Dia
yang memukul anak itu, tapi aku yang tidak mau menolongnya. Jika kematianku
bisa menghapus dendam di hatimu selama 20 tahun ini, maka aku rela mati
menggantikannya.” Ujar Biksu Yi Teng.
Ternyata Biksu Yi Teng ingin menjadikan
Chiu Chian Ren bertobat dan menjadi biksu seperti dia.
“Tapi aku adalah orang jahat. Bukankah
kalian bilang aku pantas mati?” tanya Chiu Chian Ren tak percaya.
“Di dunia ini, tidak ada orang yang
benar-benar baik juga orang yang benar-benar jahat. Asal kau sepenuh hati
menyesali kesalahanmu dan bersedia menjadi orang baru, semua kejahatanmu akan
menjadi masa lalu.” Jawab Biksu Yi Teng.
Mendengar nasehat tersebut, Chiu Chian
Ren akhirnya menyadari bahwa selama ini dia telah berbuat salah. Biksu Yi Teng
menyuruhnya untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan akhirnya, Chiu
Chian Ren pun bersedia menjadi murid Biksu Yi Teng. Tapi sebelum pergi membawa
Chiu Chian Ren, Biksu Yi Teng masih sempat beramah tamah dengan Hong Chi Khong
dan kedua muridnya.
“Saudara Chi, bagaimana kabarmu? Kau
memiliki 2 orang murid yang sangat baik. Benar-benar beruntung.” Puji Biksu Yi
Teng tulus, membuat si Pengemis Utara tersenyum bangga pada kedua muridnya.
“Jing’er, Rong’er, beri salam pada
Paman Yi Teng.” Ujar sang Guru Hong Chi Khong, memanggil kedua muridnya yang segera
datang menghadap.
“Salam, Paman Yi Teng.” Ujar Huang Rong
dengan manis.
“Salam, Guru Besar.” Ujar Guo Jing
dengan sopan.
“Rong’er, apa lukamu sudah sembuh?”
tanya Biksu Yi Teng dengan penuh perhatian pada Huang Rong yang menjawab bahwa
dia baik-baik saja.
“Terima kasih, Paman. Rong’er sudah
lama sembuh.” Jawab Rong’er dengan ceria.
Kemudian, Biksu Yi Teng pun segera
mohon pamit, membuat Hong Chi Khong apa tujuannya datang kemari. Biksu Yi Teng
berkata bahwa dia datang kemari hanya untuk bertemu teman lama dan juga
mengakhiri dendam masa lalunya. Sekarang sudah saatnya bagi generasi muda
seperti Guo Jing untuk unjuk gigi dan orang tua seperti mereka seharusnya undur
diri.
Melihat Biksu Yi Teng pergi, Chou Pho
Tong pun segera undur diri. Chou Pho Tong yang ketakutan bertemu Ying Gu
berlari menghindari wanita itu dan Ying Gu segera mengejarnya karena tidak
ingin kehilangan pria itu kembali. Pokoknya intinya kejar-kejaran deh.
Setelah Biksu Yi Teng, Chou Pho Tong
dan Ying Gu pergi, Hong Chi Khong mengajak kedua muridnya untuk naik gunung.
Guo Jing pun melupakan keinginannya untuk melupakan ilmu kungfunya setelah
mendengarkan nasehat dari Biksu Yi Teng.
Di atas puncak Gunung Hua, Guo Jing
berkata pada gurunya bahwa dia sekarang telah mengerti. Asalkan menggunakan
kungfu untuk kebaikan, tak perlu harus melupakan. Ucapan yang membuat sang
kekasih dan gurunya ikut senang mendengarnya.
“Jing Gege, baguslah. Akhirnya
pikiranmu terbuka. Nanti kau bertanding baik-baik dengan guru dan ayahku.” Ujar
Huang Rong dengan riang, membuat Guo Jing menatapnya bingung.
“Rong’er, kungfu ayahmu belakangan ini
meningkat pesat. Coba katakan, nanti saat bertanding, ayahmu atau gurumu yang
lebih hebat?” tanya Hong Chi Khong, seperti sedang mengetes muridnya.
“Guru, kungfumu dan ayahku seimbang.
Tapi sekarang kau sudah menguasai sedikit Ilmu “9 Bulan”, bagaimana mungkin ayahku mengalahkanmu?” jawab Huang
Rong. Memulai trik “liciknya”. Dengan
kata lain, dia ingin meminta gurunya agar jangan memakai ilmu “9 Bulan”.
“Jangan bicara berbelit-belit denganku.
Kukatakan padamu, ilmu “9 Bulan” bukanlah ilmu asliku, aku tidak akan
memakainya. Nanti saat bertanding dengan Huang Yao Shi, aku akan pakai kungfu
asliku.” Jawab Hong Chi Khong, mengerti maksud terselubung muridnya yang banyak
akal. Jawaban Hong Chi Khong membuat Huang Rong tersenyum gembira.
Pengemis Tua itu mengerti bahwa murid
perempuannya yang “licik” ini sengaja bicara seperti itu agar dia tidak
menggunakan ilmu “9 Bulan” untuk bertarung dengan ayahnya.
“Guru, nanti kalau guru kalah, Rong’er
akan masakkan 100 macam masakan untukmu agar kau gembira. Jadi kalah pun, kau
akan tetap gembira.” Rayu Huang Rong. Dengan kata lain, Huang Rong yang “licik”
berkata seperti itu karena ingin sang guru mengalah. (Nih murid satu minta
dijitak hahaha ^_^)
Hong Chi Khong hanya tertawa mendengar
akal bulus murid perempuannya.
“Gadis licik, siasat busukmu sangat
banyak. Kau mencoba merayu berbelit-belit, sebenarnya kau sepenuh hati ingin ayahmu
menang.” Ujar Hong Chi Khong sambil tertawa, mengerti maksud terselubung murid
perempuannya.
Huang Rong yang akal bulusnya dapat
ditebak oleh sang guru hanya tersenyum manis tanpa dosa, Guo Jing pun hanya
bisa tersenyum melihat kekasihnya yang nakal.
Tak lama kemudian, Huang Yao Shi muncul
di sana. Huang Rong segera memanggil sang ayah dengan gembira.
“Ayah.” Panggilnya manja.
“Rong’er, kau tidak apa-apa, kan?”
tanya Huang Yao Shi pada putri semata wayangnya.
“Rong’er tidak apa-apa.” Jawab Huang
Rong seraya menoleh pada Guo Jing dan memberinya isyarat.
Guo Jing mengerti maksud sang kekasih
dan segera mengatupkan kedua tangannya meminta maaf. Guo Jing yang sudah salah
menuduh Huang Yao Shi pun segera meminta maaf dengan sopan.
“Ketua Huang, kematian kelima guruku
tidak ada hubungannya denganmu. Dalangnya adalah Wan Yeng Kang dan Wan Yen Hong
Lieh. Aku sudah masuk dalam jebakan mereka sehingga bersikap tidak hormat
padamu. Aku benar-benar minta maaf.” Seru Guo Jing dengan sopan seraya
menundukkan kepalanya hormat.
“Apa kau pikir, aku Huang Yao Shi akan
buat perhitungan dengan anak kecil sepertimu? Di mana guru besarmu?” ujar Huang
Yao Shi, masih galak pada calon menantunya.
“Terima kasih atas perhatian Ketua
Huang. Guru besarku juga mengetahui penyebab masalahnya, dia juga sangat
menyesal. Sekarang, dia ada di Jia Xing.” Jawab Guo Jing sopan.
Huang Yao Shi hanya mengangguk singkat, pertanda dia sudah memaafkan Guo Jing
dan gurunya dan tidak memasukkan ke dalam hati perlakuan kasar guru dan murid
itu padanya beberapa waktu yang lalu.
Huang Yao Shi lalu beralih menatap Hong
Chi Khong dan berkata bahwa waktunya sudah tiba dan sekarang sudah saatnya
bertanding.
“Saudara Yao, putrimu ini, pintar dan
banyak siasat. Dia sepenuh hati ingin aku kalah. Tapi aku juga tidak berguna,
begitu bertemu dengannya, cacing di perutku mulai bergerak-gerak, air liurku
juga sudah menetes. Baiklah. Ayo kita bertarung! Siapa pun yang menjadi nomor 1
dunia tidak masalah. Aku hanya ingin cepat makan masakan Rong’er.” Ujar Hong
Chi Khong, menggoda sang murid yang hanya tersenyum
“Guru, kau tidak ingin menjadi nomor 1
dunia, lalu untuk apa datang kemari?” tanya Huang Rong penasaran. Hong Chi
Khong berkata bahwa nanti dia akan memberi tahu mereka.
Huang Yao Shi yang mengerti bahwa Hong
Chi Khong pernah terluka parah dan baru saja sembuh, khawatir bahwa pengemis
tua itu tidak akan bisa mengalahkannya. Huang Yao Shi tidak ingin disebut
bermain curang atau memanfaatkan kesempatan di saat lawannya lemah. Singkat kata,
dia tidak ingin mengambil keuntungan.
Ucapan sang ayah, membuat Huang Rong
mendapatkan ide brilliant yang akan menguntungkan semua orang, khususnya sang
kekasih tercinta. Huang Rong berkata bahwa tidak adil bila sekarang ayah dan
gurunya bertarung, karena sang guru sebelumnya telah bertarung melawan Chiu
Chian Ren jadi pasti sang guru sedikit lelah.
Akhirnya si gadis “licik” itu
memberikan sebuah solusi agar pertandingan berjalan adil dan imbang. Huang Rong
mengusulkan agar Huang Yao Shi dan Hong Chi Khong masing-masing bertarung
dengan Guo Jing.
“Aku punya solusi. Sekarang biarkan
ayah bertanding lebih dulu dengan Jing Gege. Lihat berapa jurus yang akan
dikeluarkan ayah untuk mengalahkan Jing Gege. Baru setelah itu, Guru bertanding
melawan Jing Gege. Kalau ayah menggunakan 99 jurus, guru menggunakan 100 jurus,
maka ayah yang menang. Tapi kalau guru menggunakan 98 jurus, maka gurulah yang
menang.” Usul Huang Rong, mencari jalan tengah yang adil.
“Usul yang bagus. Di dunia ini, hanya
putrimu yang bisa memikirkan cara seperti itu.” ujar Hong Chi Khong setuju.
Akhirnya diputuskan bahwa memang cara
tersebut cukup adil. Karena Hong Chi Khong sebelumya telah bertarung maka yang
pertama kali bertarung adalah Guo Jing vs Huang Yao Shi, karena kedua orang itu
belum bertarung sama sekali.
Barulah kemudian setelah itu Guo Jing
vs Hong Chi Khong. Saat itu, baik Guo Jing maupun Hong Chi Khong telah
bertarung satu kali. Jadi dengan begitu keadaan menjadi imbang.
“Tunggu! Aku belum selesai bicara.”
Ujar Huang Rong saat sang ayah segera menantang duel sang calon menantu.
Huang Rong berpura-pura bertanya
bagaimana jika di antara kedua senior itu tidak ada yang bisa mengalahkan Guo
Jing atau jika Guo Jing bisa menahan serangan kedua senior tersebut dalam 300
jurus.
“Kalau kalian berdua sebagai senior
tidak bisa mengalahkan Jing Gege dalam 300 jurus, lalu bagaimana?” tanya Huang
Rong, pura-pura bertanya walaupun sebenarnya dia sedang memainkan siasat
“licik” lainnya.
“Kalau begitu, anak bodoh itulah yang
akan menjadi nomor 1 di dunia.” Jawab Huang Yao Shi seraya mengarahkan
telunjuknya pada Guo Jing.
Hong Chi Khong tertawa terbahak-bahak
karena akhirnya mengerti kenapa Huang Rong selalu berputar-putar. Ternyata
dalam hati, gadis “licik” itu ingin
sang kekasihlah yang menjadi nomor 1 dunia.
“Saudara Yao, awalnya kupikir anak ini sepenuh
hati ingin ayahnya menang. Sekarang aku baru mengerti, ternyata dia punya
maksud tersembunyi. Ternyata, dia hanya ingin anak bodoh ini yang menjadi nomor
1 dunia.” Ujar sang guru mengerti, seraya tersenyum geli, sementara sang murid
hanya tersenyum malu-malu.
Huang Yao Shi pun tampak tidak ambil
pusing dengan maksud terselubung sang putri tersayang. Dia segera melemparkan
seruling hijaunya ke arah Rong’er sebagai isyarat bahwa pertandingan telah
dimulai.
Sebenarnya Huang Yao Shi ingin mengalah
karena dia berpikir kungfu Guo Jing masih di bawahnya. Dia tidak ingin membuat
putri kesayangannya kecewa dan juga tidak ingin mempermalukan Hong Chi Khong
jika dia mengalahkan Guo Jing dengan mudah.
Tapi ternyata Huang Yao Shi salah besar
karena kungfu Guo Jing sudah meningkat pesat. Tanpa perlu mengalah pun, tidak
mudah bagi Huang Yao Shi untuk mengalahkan Guo Jing. Guo Jing tetap mampu
menahan 300 jurus dari sang calon mertua.
Walau sebenarnya Huang Yao Shi sedikit
kesal karena sang calon menantu ternyata lebih hebat darinya, tapi di sisi
lain, dia juga merasa bangga karena dia akan memiliki calon menantu yang tak
hanya berilmu tinggi namun juga baik hati dan berbudi luhur (dan tak lupa memiliki
wajah rupawan bak Pangeran dari negeri dongeng ^_^).
Seorang calon menantu yang akan bisa
menjaga nama baik Pulau Persik nantinya. Akhirnya, pertandingan diakhiri dengan
teriakan riang Huang Rong yang berseru keras, “300 jurus. Ayah, kau jangan bertarung
lagi.” Ujar Huang Rong gembira.
Spontan pertarungan terhenti dan mereka
berdua kembali ke posisi semula.
“Ternyata kau bisa menahan ilmu yang
sudah kulatih selama sepuluh tahun. Anak muda, kau hebat juga.” Puji Huang Yao
Shi, harus mengakui kehebatan sang calon menantu.
“Anda terlalu memuji. Kalau Ketua Huang
menyerang lebih banyak lagi, aku pasti kalah.” Jawab Guo Jing rendah hati.
Note : Duh, paket komplit banget sih nih Guo
Jing : Uda ganteng, baik hati, jujur, berbudi luhur, lugu, kungfunya tinggi,
rendah hati pula. Pahlawan sejati emang. Wes dah, bagi orang waras mah, Yoko
gak ada apa-apanya. Yoko jangankan rendah hati, dia sombong dan egoisnya bukan
main, dalam otaknya hanya ada bibik, bibik dan bibik, orang lain apalagi negara
dan bangsa ada di urutan sekian. Yoko lebih mentingin selangkangannya Xiao Lung
Ni daripada rakyat yang terjajah Mongol, makanya lebih milih ngumpet dalam
kuburan daripada mempertahankan Benteng Xiang Yang wkwkwk ^_^ Selangkangan
emang lebih nikmat ya Yoko daripada perang bwahaha ^_^ Jahat, sombong, licik,
egois, duh... jauh banget ama Guo Jing. Tapi sayangnya orang Indonesia banyak
yang....asudahlah (isi sendiri). Buktinya lakon jahat, egois dan licik macam
Yoko malah banyak yang suka ckckck *tepok jidat* )
“Pengemis Tua, aku gagal. Sekarang
giliranmu.” ujar Huang Yao Shi pada Hong Chi Khong.
“Aku juga belum tentu bisa menang.”
Jawab Hong Chi Khong rendah hati.
“Begini saja, Rong’er, pinjamkan Tongkat Pemukul Anjingmu pada Jing’er. Kau gunakan senjata, aku pakai tangan kosong.” Ujar Hong Chi Khong.
“Bagaimana bisa seperti itu?” protes
Guo Jing pada sang guru.
“Kenapa tidak bisa? Kungfumu itu aku
yang mengajari. Tak bisa saling menandingi.” Jawab Hong Chi Khong.
Huang Rongpun segera melemparkan
tongkat wasiatnya pada sang kekasih yang menangkapnya dengan sigap.
Guo Jing awalnya tampak ragu-ragu
sesaat ketika akan bertanding melawan sang guru, hingga Tongkat Pemukul Anjing
Huang Rong dapat dengan mudah terlepas dari tangannya. Untung sang guru
menangkap tongkat itu dengan cepat.
“Anak bodoh, kita ini sedang
bertanding. Bertarunglah dengan sepenuh hati.” Ujar Sang guru saat sang murid
hanya terbengong. (kayaknya nih Jing Gege butuh aqua hahaha ^_^)
Kemudian Hong Chi Khong kembali
melemparkan Tongkat Pemukul Anjing tersebut pada Guo Jing yang kali ini sudah
kembali fokus.
Huang Yao Shi diam-diam tersenyum
bangga saat melihat sang calon menantu bertanding dengan seru melawan gurunya
sendiri. Hong Chi Khong tampak tak mudah menjatuhkan Guo Jing.
Mungkin dalam hati, Huang Yao Shi
berkata, “Itu mantu gue tuh...Keren, kan? Rong’er gak salah pilih nih. Nyesel
nih dulu sempat gue remehin. Untung aja balikan, ya. Kalau gak, wah, rugi dong
kehilangan menantu keren macem begini. Nyari di mana lagi menantu macem Guo
Jing?”
Lalu bagaimana hasil pertandingan Guo
Jing vs Hong Chi Khong? Nantikan di episode terakhir “Legend Of The Condor
Heroes 2017”.
Berikutnya : Eps 52 (Final)
Blogger Opinion :
Harusnya dalam novel. Huang Rong
diceritakan masih marah pada Guo Jing. Dia menghempaskan tangan Guo Jing yang
menggenggam tangannya dan berjalan pergi keluar gua meninggalkannya. Guo Jing
yang ingin meminta maaf dan ingin Huang Rong kembali ke sisinya, spontan
berjalan mengikuti gadis itu ke manapun juga, membuat Huang Rong semakin kesal.
Saat Huang Rong berseru marah, “Kenapa
kau mengikutiku?”.
Guo Jing menjawab spontan, “Aku ingin
selamanya mengikutimu.”
Dan Huang Rong yang masih tidak
percaya, menjawab dengan sinis, “Apa kau pikir aku wanita murahan, yang akan datang
saat kau ingin aku datang dan menyuruhku pergi saat kau ingin aku pergi? Putri
tidak menginginkanmu lagi, itu sebabnya kau mencari aku si gadis miskin ini?”
tanya Huang Rong sambil menangis.
Guo Jing yang melihat sang kekasih
berdiri di pinggir tebing spontan menarik tubuhnya lembut karena takut gadis
itu akan terpeleset dan jatuh.
“Kemarilah. Di sana berbahaya.” Ujar
Guo Jing lembut dan pengertian, membuat Huang Rong semakin marah.
Kemudian Huang Rong kembali berkata,
“Siapa yang butuh perhatian palsumu? Tak ada seorangpun di dunia ini yang
menyayangiku. Ayahku tidak menyayangiku, dia sibuk berlatih kungfu. Ibu juga
tidak menyayangiku, dia meninggal setelah melahirkan aku. Kau juga tidak peduli
padaku. Saat aku sakit di Shandong, kau tidak datang merawatku. Saat aku
ditangkap Ou Yang Feng, kau juga tidak datang menyelamatkanku. Tidak ada
seorang pun di dunia ini yang sayang padaku.” Ujar Huang Rong dengan berlinang
air mata. Membuat Guo Jing semakin merasa bersalah.
“Ingin aku memaafkanmu? Aku tidak akan
pernah memaafkanmu kecuali jika kau mati.” Seru Huang Rong semakin kesal. Guo
Jing yang polos, hampir saja terjun dari atas tebing dan mati di hadapan sang
kekasih untuk membuktikan ketulusannya, jika saja Huang Rong tidak
menghentikannya.
“Baik. Aku tahu kau tidak peduli
padaku. Aku mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal dan kau langsung
menurutinya. Baiklah. Kau tak perlu melompat ke dasar tebing, cukup tak perlu
temui aku lagi. Anggap saja semua tak pernah terjadi.” Seru Huang Rong masih
dengan kemarahan dalam hatinya.
Akhirnya mereka baru berbaikan setelah
Bocah Tua Nakal datang dan menampar Guo Jing dengan keras demi membuat Huang
Rong senang. Huang Rong yang tak terima melihat kekasihnya ditampar oleh orang
lain balas memarahi si Bocah Tua Nakal dan kemarahannya spontan mereda melihat
pipi Guo Jing yang memerah bekas tamparan tangan.
Tapi sayangnya, di versi LOCH 2017
adegan romantis tersebut dihapuskan. Padahal secara pribadi, aku sangat ingin
melihat adegan Guo Jing-nya William memohon pada Huang Rong untuk memaafkannya.
Haaahhhh... No one is perfect. Setiap versi pasti memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Seperti dalam versi 2017 ini. Saat di episode-episode
awal, penonton dimanjakan oleh modifikasi kecil super kreatif yang menunjukkan
kesan manis, romantis dan dramatis namun tidak berlebihan, tapi memasuki
episode-episode akhir, justru adegan yang menurutku romantis dan manis dalam
novelnya justru tidak dimunculkan *sigh*
Yasudahlah, yang penting kan OVERALL,
versi 2017 ini SANGAT MEMUASKAN dibandingkan semua versi yang pernah ada,
termasuk versinya Julian Cheung. LOCH 1994 hanya unggul di pemain utama yang
memanjakan mata penonton (Julian dan Athena yang ganteng dan cantik) serta
alurnya yang SANGAT persis dengan novel, tapi selebihnya karena low budget jadi
menimbulkan kesan asal-asalan. Kostum seadanya, setting FAKE (Palsu, di studio)
dan pencahayaan buram (maklum banyakan di studio)
Well, tak ada gading yang tak retak.
Tak ada sesuatupun di dunia ini yang sempurna. But, great job for 2017 team.
Overall, I Love this series adaptation.
Written
by : Liliana Tan
NOTE
: DILARANG MENG-COPY PASTE TANPA IJIN DARI PENULIS !!! REPOST WITH FULL CREDITS
!!!
Credit
Pict : WEIBO ON LOGO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar