Highlight for today episode :
I cried as he put that ring on her. it’s like he was
hesitant – knowing that it won’t stay on
there much longer and he wanted to savor the moment. before all this happened,
he wanted to put a ring on her finger for life, but now he has to do it with a
whole other meaning. instead of bringing them closer together, he has to let
her go.
And about he asked Ja Eun to go holiday with him, why I feel
that he was so selfish? I love Tae Hee but why he have to do this? If you are
going to break someone’s heart and break up with her, why make more special
memories right before you break up? I mean does he expect Ja Eun to remember
their little trip with fond memories and smile everytime she looks down at that
ring and not think about the fact that he isn’t in her life anymore? Does that
ring come with some magic spell that is going to give her amnesia so she doesn’t
remember the pain of him breaking up with her?
The way Tae Hee cried seemed like a man who finally realized
what he had lost. The mom really got to me this episode too, and it’s clear
that she is feeling every bit of pain that Ja Eun and Tae Hee are experiencing.
For the last few episodes the focus has been on her relationship with Ja Eun,
so it was touching to see how broken hearted she was over Tae Hee losing the
love of his life. Only Park Bok Ja know how Tae Hee broken inside. The parents
keep telling themselves that it’ll get better with time, but deep down they
both know that Tae Hee isn’t normal when it comes to dating, and that it was
practically a miracle that he found someone like Ja Eun to finally make him
feel whole.
---------00000----------
Episode 49 :
Episode 49 dimulai ketika Baek In Ho menelpon Ja Eun dan
mengatakan kalau dia masih hidup. Ja Eun, yang tentu saja sangat merindukan
ayahnya, segera bertanya di mana ayahnya berada sekarang. Baek In Ho mengatakan
sebuah tempat dan Ja Eun seketika berkata, “Aku akan segera ke sana, Ayah.
Jangan pergi ke mana pun.”
Kim Jae Ha yang kebetulan ada di sana dan mendengar
semuanya, juga tampak sangat terkejut karena yang dia tahu adalah Baek In Ho
sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat dan hilang di lautan.“Apakah Ayahmu kembali dalam keadaan hidup?” tanya Kim Jae
Ha tampak terkejut.
“Ya. Ayah ada di bandara sekarang,” sahut Ja Eun dengan air
mata menetes di pipinya, dia masih terkejut karena dia tidak pernah menduga hal
ini akan terjadi.
“Naik mobilku saja. Dalam situasi seperti ini, kau tahu kau
lebih membutuhkan mobil daripada transportasi umum, kan?” ujar Kim Jae Ha,
menawarkan diri untuk mengantar Ja Eun menemui ayahnya. Tapi Ja Eun masih
gemetar dan menangis sambil berdiri mematung.
“Apa yang kau lakukan? Ayo cepat kita pergi menjemputnya,”
ujar Kim Jae Ha saat melihat Ja Eun masih berdiri terpaku. Akhirnya mereka
berdua pergi ke bandara bersama.
Begitu sampai di bandara, Ja Eun segera berlari mencari
ayahnya sambil memanggil ayahnya dengan penuh air mata haru. Akhirnya setelah
lama mencari, Ja Eun melihat ayahnya berdiri di antara kerumunan orang. Ja Eun
segera berlari ke arah ayahnya dan memeluknya sangat erat, penuh kerinduan.
“Ayah, apa Ayah baik-baik saja? Apa Ayah terluka? Apa ada
sesuatu yang sakit?” tanya Ja Eun bertubi-tubi dengan khawatir dan air mata
menetes di pipi.
Baek In Ho mengangguk sambil tersenyum bahagia melihat
putrinya, “Ayah baik. Ayah baik, Nak. Bagaimana kabar putri kesayangan Ayah?”
tanya Baek In Ho, balik bertanya. Dia melepaskan pelukannya sejenak agar bisa
menatap wajah putrinya baik-baik.
Ja Eun mengangguk mantap, “Ya. Aku baik-baik saja, Ayah.”
Sahut Ja Eun masih dengan air mata bercucuran.
Baek In Ho kemudian memeluk Ja Eun lagi dan mengelus
rambutnya dengan sayang, “Baguslah. Baguslah kalau begitu,” ujar Baek In Ho
sambil tetap memeluk putri tunggalnya.
Dari kejauhan, Kim Jae Ha hanya berdiri memandang adegan
mengharukan itu, namun tak hanya Kim Jae Ha, ternyata Lee Khi Chul pun ada di
tempat itu.
Di saat yang bersamaan, Tae Hee dan Hwang Chang Sik masih
berada di cafe yang sama. Hwang Chang Sik sekali lagi memaksa Tae Hee untuk
mengakhiri hubungannya dengan Ja Eun secepat mungkin, lebih cepat lebih baik
agar mereka tak perlu terluka lebih dalam lagi.
“Ayah percaya padamu. Bila ayah harus memilih satu di antara
kalian berdua, ayah akan lebih memilih anakku sendiri untuk terluka. Sebesar
keinginanmu untuk melindunginya, ayah juga tidak ingin membuat Ja Eun terluka
bila mengetahui kebenarannya. Tunjukkan pada ayah bahwa ayah sudah membuat keputusan yang tepat. Hal ini di luar kehendak kita sebagai manusia. Ayah sangat
berharap bisa mengubahnya, namun tidak ada yang bisa melakukannya. Jangan
menundanya terlalu lama. Semakin lama kau menundanya, kau dan Ja Eun akan semakin
menderita. Akhiri hubungan kalian paling lambat akhir minggu ini. Ayah akan
pergi sekarang karena ayah tahu, kau akan melakukannya,” ujar Hwang Chang Sik,
memberikan Keputusan final.
Air mata Tae Hee masih membanjiri pipinya, dia menahan
lengan ayahnya sambil memohon sekali lagi, “Abeoji (Ayah)...” ujar Tae Hee penuh
permohonan.
“Tidak ada lagi yang akan ayah katakan. Jika kau tidak ingin Ja
Eun mengetahui kebenarannya, akhiri hubungan kalian paling lambat akhir minggu
ini,” ujar Hwang Chang Sik dengan dingin dan tanpa perasaan, lalu pergi begitu
saja meninggalkan Tae Hee yang hancur berantakan.
Tae Hee hanya mampu menangis seraya menatap ayahnya pergi
dengan hati yang hancur berkeping-keping tanpa sisa.
(Sumpah! Akting nangisnya Joo Won keren banget. Jadi nyesek
liat Tae Hee nangis, ikutan merasakan patah hatinya dia T_T Be Strong, Tae Hee
>_< Segera buktikan kalau Baek In Ho tidak bersalah, kalau kau ingin Ja
Eun kembali padamu, karena hanya itu satu-satunya cara yang tersisa saat ini
>_<)
Dengan lesu, Tae Hee berjalan kembali ke kantor polisi,
namun dia memilih menuju ke tangga darurat untuk menenangkan dirinya lebih dulu
alih-alih langsung kembali ke kantor. Hatinya tidak baik-baik saja, dunianya
sudah hancur berantakan, rasanya dia sulit untuk bernapas, lalu bagaimana bisa
Tae Hee bekerja?
Tae Hee merasa seolah kekuatannya sudah hilang, dia
mencengkeram pegangan tangga dengan erat sebagai pegangan agar tidak terjatuh
ke bawah. Saat seluruh beban di pundaknya terasa sangat berat, telepon dari
Dong Min membuat beban di pundaknya yang sudah berat, menjadi semakin berat.
“Hyung, kenapa kau tidak mengangkat teleponmu? Jangan
pingsan karena terkejut tapi aku baru saja dengar dari pihak imigrasi kalau
Baek In Ho kembali dalam keadaan hidup,” ujar Dong Min dari seberang saluran
dengan tersenyum gembira.
Dong Min mengira Tae Hee akan gembira mendengar berita ini karena
dia tahu kalau Tae Hee dan Ja Eun berpacaran, jadi secara logika, bila Ja Eun
gembira maka Tae Hee juga pasti akan gembira.
Namun Dong Min kali ini salah, berita yang baru saja dia
sampaikan justru bagaikan petir yang menyambar di siang bolong yang serta merta
menghancurkan harapan terakhir Tae Hee.
“MWO (APA)? Katakan sekali lagi!” ujar Tae Hee dengan
terkejut, mengira bahwa mungkin dia telah salah mendengar atau dia sedang berhalusinasi karena hatinya sedang kalut dan kacau. Tak mengira bahwa ini adalah kenyataan.
“Aku bilang Baek In Ho kembali dalam keadaan hidup. Pihak
imigrasi bandara menghubungiku dan mengatakan kalau dia kembali dua jam yang
lalu. Kau juga sulit mempercayai ini, bukan? Apa Ja Eun-ssi belum mengabarimu?
Cepat beritahu Ja Eun-ssi sekarang! Dia pasti sangat bahagia mendengar ayahnya
masih hidup,” ujar Dong Min dengan ceria tanpa mengetahui apa-apa.
Tae Hee yang shock hanya mampu menatap kosong ke depan lalu
kemudian terduduk dengan lemas di anak tangga dengan air mata menetes semakin
deras.
Di tempat lain, Ja Eun, Baek In Ho dan Kim Jae Ha duduk
bersama di sebuah restaurant sambil membicarakan semua yang terjadi selama Baek
In Ho menghilang dalam kecelakaan.
Baek In Ho berkata bahwa tim penyelamat telah
menyelamatkannya tapi selama beberapa bulan ini dia terbaring koma di Rumah
Sakit, pihak maskapai yang membayar semua tagihan pengobatannya sebagai wujud
kompensasi. Dia juga mengatakan bahwa dia kembali sadar adalah sebuah
keajaiban.
Baek In Ho juga berkata kalau dia menelpon nomor lama Ja Eun
dan ibu tirinya, namun semuanya tidak tersambung. Putus asa, akhirnya dia
menelpon Hong Man Shik yang saat itu berada di China, Hong Man Shik lah yang
memberikan pada Baek In Ho nomor baru Ja Eun.
Ja Eun sangat bahagia melihat ayahnya kembali dalam keadaan
hidup dan berkata betapa dia sangat merindukan ayahnya. Baek In Ho akhirnya
bertanya di mana Ja Eun tinggal selama ini mengingat mereka sudah jatuh miskin
dan semua harta mereka, termasuk rumah besar mereka sudah disita bank.
Ja Eun pun menceritakan kalau dia tak sengaja menemukan
sebuah surat kontrak mengenai kepemilikan Ojakgyo Farm jadi di sanalah dia
tinggal selama ini. Ja Eun dengan gembira menceritakan bahwa keluarga Hwang
memperlakukannya dengan baik seperti keluarga mereka sendiri, Hwang Chang Sik
dan Park Bok Ja pun sangat menyayanginya seperti putri mereka sendiri.
Ja Eun yang baik hati dan pemaaf, sama sekali tidak
mengatakan bahwa dia pernah sangat menderita saat pertama kali datang ke
Ojakgyo Farm. Dia tidak menceritakan bagaimana Park Bok Ja mencuri surat
kontraknya, menendangnya keluar dengan kejam hingga dia terpaksa harus tidur di
dalam tenda, juga tidak mengatakan mengenai bagaimana Nenek dan Hwang Tae Phil
sempat membencinya dan memperlakukannya dengan buruk. Ja Eun hanya menceritakan
sisi baik keluarga Hwang saja dan tidak mengungkit penderitaan yang dia alami
karena ulah mereka. Lihat betapa baiknya Baek Ja Eun ^^ She is really an Angel.
“Jadi itu sebabnya wajahmu terlihat sangat ceria,” ujar
Hwang Chang Sik, menggoda Ja Eun dengan tersenyum lembut padanya.
Ja Eun mengajak ayahnya ke Ojakgyo Farm untuk menemui
keluarga Hwang dan mengatakan kalau mereka pasti senang melihatnya. Baek In Ho
hampir saja setuju dengan putrinya, namun Kim Jae Ha dengan cepat mencegahnya.
“Sebaiknya jangan hari ini, Ja Eun-ssi. Ada baiknya malam
ini kau menghabiskan waktu bersama ayahmu. Bukankah kalian baru saja bertemu?
Aku yakin ada banyak hal yang ingin Ayahmu ceritakan padamu,” bujuk Kim Jae Ha,
terdengar masuk akal.
“Apa?” Ja Eun tampak terkejut saat Kim Jae Ha seolah
melarangnya, walaupun alasannya terdengar masuk akal.
“Aku yakin ayahmu pasti lelah setelah perjalanan jauh, kan?
Dan beliau baru saja sembuh. Bagaimana jika untuk sementara waktu kalian
tinggal di apartment-ku? Perusahaan kami baru saja menyewa sebuah apartment kecil
yang rencananya akan digunakan untuk kantor, kami sudah menyewanya namun
karena suatu hal, kami tak jadi menggunakannya. Bagaimana jika kau dan ayahmu
tinggal di sana untuk sementara waktu?” tawar Kim Jae Ha, menawarkan sebuah
tempat tinggal baru.
“Terima kasih atas tawaranmu, tapi rasanya aku tidak pantas
menerimanya. Aku sudah sangat berterima kasih karena hari ini kau sudah
mengantarku ke bandara. Hari ini kami akan kembali ke Ojakgyo Farm saja,” sahut
Ja Eun menolak halus.
“Benar. Kami tak ingin merepotkanmu, anak muda.” Sahut Baek
In Ho dengan sungkan.
“Hwang Gyeonghwi-nim yang memberiku ide itu. Dia bilang kau
sudah lama tidak bertemu dengan ayahmu dan sangat merindukannya, jadi untuk
sementara waktu sebaiknya kau tinggal dengan ayahmu agar bisa saling melepaskan
kerinduan kalian,” ujar Kim Jae Ha, meminjam nama Hwang Tae Hee untuk membujuk
Ja Eun.
“Tae Hee Ahjussi yang memberikan ide itu? Kapan Anda bicara
padanya? Beberapa saat yang lalu ketika aku pergi ke toilet dan mencoba
menelponnya, dia bahkan tidak menjawab teleponku,” ujar Ja Eun sedikit ragu.
“Aku baru saja bicara dengannya beberapa waktu yang lalu,”
sahut Kim Jae Ha berdalih.
“Siapa itu Inspektur Hwang?” tanya Baek In Ho dengan
penasaran seraya menatap putrinya yang tersenyum malu-malu.
“Melihat bagaimana putriku tersenyum malu-malu seperti ini
saat namanya disebut, apa jangan-jangan dia adalah pacarmu?” tebak Baek In Ho
dengan akurat.
“Ya,” sahut Ja Eun malu-malu. Baek In Ho tertawa senang
mendengar putrinya sudah memiliki seorang kekasih, sementara Kim Jae Ha hanya
mampu menatap miris.
Di kantor polisi, Tae Hee menenangkan dirinya dengan berada
di ruang olahraga, seperti biasa, dia bermain basket untuk melampiaskan
frustasi dan kesedihannya.
Ponselnya berdering berkali-kali namun Tae Hee
mengabaikannya. Dia hanya menatap kosong ke arah ponselnya tanpa berniat untuk
mengangkatnya.
Namun karena lama-lama dia kesal mendengar suara yang berisik,
Tae Hee pun akhirnya mengangkatnya. Ternyata itu adalah telepon dari Kim Jae Ha
yang memintanya untuk datang ke sebuah alamat.
Kim Jae Ha tampak berdiri menunggu Tae Hee dengan gelisah
saat Tae Hee tiba di sana, "Ada sesuatu yang harus kukatakan lebih dulu padamu, itu sebabnya aku
menunggumu di sini. Apartment itu adalah milik Perusahaan kami yang rencananya
kami sewa untuk dijadikan kantor namun karena suatu hal, kami tak jadi
menggunakannya. Karena sudah terlanjur disewa namun tak ada yang menempati, aku
meminta Ja Eun-ssi membawa ayahnya tinggal di sini untuk sementara waktu,”
jelas Kim Jae Ha.
“Itu karena Ja Eun berkata dia ingin membawa ayahnya ke
Ojakgyo Farm. Karena aku tahu situasinya tidak memungkinkan dan Baek In Ho tak
seharusnya berada di sana, jadi aku menawarkan ide itu. Ja Eun-ssi merasa
sungkan dan menolak ideku pada awalnya, jadi aku terpaksa mengatakan padanya
kalau itu adalah ide darimu. Tolong bekerja samalah,” lanjut Kim Jae Ha,
menjelaskan situasinya.
“Baiklah,” sahut Tae Hee dengan lirih, tanpa semangat.
“Apa aku terlalu lancang karena mengambil keputusan tanpa
bertanya dulu padamu?” tanya Kim Jae Ha sungkan.
“Tidak. Kau sudah membuat keputusan yang tepat. Jika
memungkinkan, bisakah Baek In Ho tetap tinggal di sana untuk sementara waktu
karena...” ucapan Tae Hee terpotong oleh Kim Jae Ha.
“Ya. Tidak masalah. Mereka bisa menggunakannya untuk
sementara waktu. Tapi harus kau sendiri yang mengatakan itu pada Ja Eun-ssi.
Karena Ja Eun-ssi hanya mendengarkan ucapanmu,” potong Kim Jae Ha.
Tae Hee mengangguk mengerti, “Aku tahu. Akan kukatakan
padanya. Sebelumnya terima kasih,” ujar Tae Hee dengan berat hati. Secara tidak
langsung, dia sudah mengusir Ja Eun dan mengirimnya pergi dari hidupnya tanpa
dia sadari.
Di dalam apartment, Ja Eun baru saja menawarkan pada ayahnya
secangkir teh saat Tae Hee berjalan masuk bersama Kim Jae Ha. Ja Eun tampak
gembira saat melihat kekasihnya datang. Ini pertama kalinya mereka bertemu
setelah kemarin Tae Hee mencoba menghindarinya seharian.
“Ahjussi,” Ja Eun menyapa Tae Hee dengan hangat dan riang,
lalu dia dan Baek In Ho segera berdiri untuk menyambut tamu mereka.
Ja Eun
berkata dengan wajah penuh kegembiraan pada Tae Hee, “Ahjussi, ucapkan salam.
Ini adalah ayahku,” ujar Ja Eun dengan senyum ceria dan tatapan mata polosnya.
“Ayah, dia adalah Tae Hee Ahjussi yang tadi kuceritakan
padamu,” lanjut Ja Eun, beralih pada ayahnya.
“Hwang Tae Hee imnida,” ujar Tae Hee dengan lirih seraya
menundukkan kepalanya sekilas.
“Senang bertemu denganmu. Aku ayah Ja Eun. Apa kau adalah
putra ketiga Chang Sik?” ujar Baek In Ho dengan ramah, dia mengulurkan
tangannya ke arah Tae Hee mengajak bersalaman.
Tae Hee tampak ragu sejenak
sebelum menyambut uluran tangan itu. Karena ada Ja Eun di sana, dia tidak bisa
berbuat apa-apa untuk menjaga perasaan gadis yang dicintainya.
“Ya,” sahut Tae Hee singkat. Suaranya terdengar bergetar,
dia tampak berusaha keras mengontrol emosinya.
“Aku senang bertemu denganmu dan aku juga sangat berterima
kasih. Aku sudah mendengar semuanya dari Ja Eun. Aku berterima kasih padamu,
Chang Sik, kakak ipar dan seluruh keluarga Hwang karena telah memperlakukan Ja
Eun dengan baik dan hangat seperti keluarga kalian sendiri,” ujar Baek In Ho,
berterima kasih dengan tulus dengan senyum di wajahnya.
Baek In Ho kemudian menoleh pada putrinya, “Dia sangat
tampan dan berkharisma. Tatapan matanya juga sangat tajam. Tadi aku sangat penasaran pria seperti apa yang
berhasil mencuri hati putriku dan sedikit tidak senang mendengar kalau kau
sudah punya pacar, tapi setelah melihatnya, sekarang aku setuju,” ujar Baek In
Ho, menoleh pada putrinya. Ja Eun tersenyum malu-malu mendengarnya.
Baek In Ho kemudian kembali berkata, “Tapi jika kau
mencintainya lebih dari ayah, ayah akan sangat cemburu padanya,” ujarnya
bercanda, yang membuat Ja Eun bertambah malu.
“Ayah,” rengek Ja Eun dengan manja, namun Tae Hee hanya
terdiam membisu tanpa memberikan komentar apa pun.
Tiba-tiba saja Ja Eun teringat kalau dia lupa belum menelpon
Park Bok Ja dan memberitahunya kalau ayahnya sudah pulang, “Ah, aku lupa kalau
belum menelpon Ahjumma dan memberitahunya kalau ayah sudah pulang. Ahjumma
pasti khawatir jika aku belum pulang,” ujar Ja Eun dengan ekspresi bersalah di
wajahnya.
Tae Hee segera mencegahnya, “Aku yang akan memberitahunya.
Aku akan pulang sekarang dan memberitahu ibu kalau kau tidur di sini malam ini
jadi kau tidak perlu menelpon lagi,” ujar Tae Hee, berusaha agar tidak tampak
mencurigakan.
“Baiklah,” sahut Ja Eun menurut.
“Ah, aku sedang membuat teh sekarang karena ayah
menyukainya. Walaupun ini sedikit manis, tapi kau harus mencobanya sedikit,
Ahjussi. Rasanya sangat enak dan ini sangat bagus untuk tenggorokanmu,” lanjut
Ja Eun lalu duduk kembali untuk melanjutkan kegiatannya membuat teh.
“Duduklah sebentar,” ujar Baek In Ho, meminta Tae Hee dan
Kim Jae Ha untuk duduk.
“Kenapa? Apa Inspektur Hwang tidak menyukai sesuatu yang
manis?” tanya Baek In Ho pada putrinya.
“Iya,” sahut Ja Eun dengan tersenyum.
Tae Hee duduk di hadapan mereka dalam diam dan melihat
interaksi manis antara sepasang ayah dan putrinya yang sudah lama tidak saling
bertemu tersebut dan rasa sedih dan sesak dalam dada itu kembali menghantamnya. Ja Eun mengelap sudut bibir ayahnya dan mengatakan ada
sesuatu di sana.
Tae Hee terus menatap Ja Eun dengan penuh kerinduan,
seolah-olah jika dia tidak menatapnya sepuas mungkin malam ini, maka dia tidak
akan punya kesempatan lain di masa depan untuk melakukannya. Karena Tae Hee sudah berjanji akan mengakhiri hubungannya dengan Ja Eun paling lambat minggu depan.
Tatapan Tae Hee menunjukkan bahwa sebenarnya dia sangat tidak rela melepaskan Ja Eun dan masih ingin bersamanya, tapi kembalinya Baek In Ho membuat situasinya semakin tidak memungkinkan.
Ja Eun yang menyadari tatapan Tae Hee yang intens padanya
segera bertanya dengan tatapan matanya, “Ada apa?”
Tae Hee seketika menggelengkan kepalanya dan tersenyum
lembut pada kekasihnya, namun senyumannya mengandung luka. Ja Eun membalas
senyuman Tae Hee dengan hangat. Baek In Ho menyesap secangkir teh yang
dibuatkan putrinya dan memujinya sangat enak.
Setelah pulang dari apartment tempat Ja Eun tinggal
sekarang, Tae Hee menuju ke tepi Sungai Han dan mulai menangis seorang diri.
Tae Hee merasa sedih dan menderita. Untuk pertama kalinya dia jatuh cinta dan
sekarang dia harus kehilangan cinta dalam hidupnya. Tae Hee merasa tidak berdaya, tidak berdaya karena cinta.
Sepertinya saat ini Tae Hee baru menyadari kalau perasaannya pada Ja Eun bukanlah sebatas "Suka" lagi melainkan "Cinta" namun ironisnya dia justru baru menyadarinya setelah dia akan kehilangannya.
Tae Hee menangis tersedu di dalam mobilnya, air matanya
menetes bagaikan hujan saat mengingat kisah cintanya yang tragis. Melihat cara
Tae Hee menangis, dia bagaikan seorang pria yang menyadari bahwa dia akan
kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya, separuh jiwanya, yang
tanpa kehadirannya, dia akan merasa hidupnya kosong dan tak ada artinya.
Walaupun sulit, tapi mau tidak mau, dia harus menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa bersama. Kasihan banget melihat Tae Hee menangis seorang diri di tengah malam. Suara tangisannya sangat menyayat hati. Nobody asked him "are you okay?"
Setelah puas menangis seorang diri, Tae Hee pulang ke
rumahnya dengan wajah yang kusut, lesu dan tampak kacau berantakan. Dia
mengetuk kamar orangtuanya dan berniat memberitahukan mereka tentang
keputusannya.
Tae Hee masuk ke dalam kamar Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja
setelah mereka menyuruhnya masuk. Tae Hee duduk di hadapan mereka dan mulai
memberitahu bahwa Ja Eun tidak bisa pulang malam ini.
“Ja Eun bilang dia tidak bisa pulang malam ini karena harus
bekerja lembur di kantornya,” ujar Tae Hee berbohong, dia tampak masih ingin
menyembunyikan fakta bahwa Baek In Ho sudah kembali dengan selamat.
“Apakah ada pekerjaan yang mendesak hingga dia harus bekerja
lembur sepanjang malam? Bagaimana jika kelelahan lalu sakit?” ujar Park Bok Ja
dengan nada khawatir seorang Ibu.
“Aku akan melakukan apa yang ayah inginkan. Aku akan
mengakhiri hubunganku dengan Ja Eun secepat mungkin, paling lambat minggu
depan. Jadi ayah juga harus berjanji padaku, apa pun yang terjadi, ayah tidak
boleh memberitahu Ja Eun apa yang terjadi sebenarnya,” ujar Tae Hee dengan hati
yang hancur berantakan. Dia benar-benar merasa berat saat akan mengatakannya.
“Ayah berjanji. Jika ayah punya niat untuk memberitahu Ja
Eun, ayah tidak akan datang mencarimu,” ujar Hwang Chang Sik berjanji.
“Baiklah,” sahut Tae Hee kemudian beranjak berdiri tanpa mengatakan apa-apa lagi dan
meninggalkan kamar itu.
Park Bok Ja yang melihat wajah Tae Hee yang kacau seketika
menjadi khawatir dan mengikuti Tae Hee ke kamarnya. Saat itu, Tae Hee baru saja melepas mantelnya. Setelah mengetuk pintu
sejenak, diapun melangkah masuk ke dalamnya.
“Apa kau sudah makan?” tanya Park Bok Ja dengan khawatir. Dia tahu hati Tae Hee pasti hancur berkeping-keping saat ini, hanya saja Tae Hee tak mau membicarakannya dan kembali menutup dirinya seperti dulu, menyimpan semuanya dalam hati.
“Ya,” sahut Tae Hee dengan lesu, berbohong. Ekspresi wajahnya sudah menunjukkan semua yang dia rasakan dalam hatinya, patah hati, sedih, putus asa, depresi dan ingin mati, semua tergambar di wajahnya. Dia bahkan belum putus dengan Ja
Eun, tapi dia sudah merasa tak punya gairah hidup.
“Benarkah? Kau benar-benar sudah makan?” tanya Park Bok Ja
tak percaya. Jika melihat ekspresi wajah Tae Hee yang muram dan suntuk, Park Bok Ja sudah menebak bahwa Tae Hee hanya berbohong padanya. Bagaimana mungkin dia bisa makan jika hatinya sedang terluka?
“Aku tak punya selera makan,” sahut Tae Hee dengan lesu, akhirnya
mengakui perasaannya. Tae Hee terlihat seolah berusaha menahan air matanya agar tak lagi menetes seperti tadi. Bagaimana bisa dia memiliki selera makan jika untuk bernapas saja dia merasa sulit?
“Baiklah kalau begitu. Tidurlah,” ujar Park Bok Ja dengan
miris. Dia tahu tak ada lagi yang bisa dia katakan untuk menghibur Tae Hee yang sedang hancur.
Park Bok Ja baru saja sampai di depan pintu saat tiba-tiba dia berkata
lagi, “Ibu minta maaf. Ibu tidak bisa melindungi kalian berdua,” ujar Park Bok
Ja sebelum meninggalkan kamar Tae Hee dengan mata berkaca-kaca. Dia tahu tidak ada yang bisa dia lakukan untuk Tae Hee jadi dia hanya mampu meminta maaf.
Di apartment, Ja Eun masih mengobrol dengan ayahnya. Baek In
Ho bertanya pada Ja Eun bagaimana Ja Eun mengetahui soal pertanian itu dan Ja
Eun berkata kalau dia tak sengaja menemukan surat kontral yang ayahnya
sembunyikan di dalam figura foto.
Ja Eun memiliki banyak pertanyaan untuk ayahnya, salah
satunya adalah mengenai kasus penyuapan rektor Universitas yang melibatkannya
sebagai tersangka.
“Ayah, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Apa ayah
pernah memberikan hadiah jam tangan mewah kepada Profesor Seo?” tanya Ja Eun
penasaran.
“Apa maksudnya itu? Siapa itu Professor Seo?” tanya Baek In
Ho tak mengerti.
“Itu benar, kan? Ayah tak pernah mengenal siapa itu
Professor Seo dan tak pernah memberinya jam tangan, kan?” ujar Ja Eun antusias,
dia sejak awal percaya kalau ayahnya hanya difitnah.
“Ayah bertanya padamu, apa maksud pertanyaanmu?” ulang Baek
In Ho ingin tahu.
“Ayah, saat Ayah menghilang dalam kecelakaan itu, aku sempat
dituduh masuk Universitas melalui jalan belakang dengan menyuap rektor
Universitas. Karena polisi menemukan tiga buah jam tangan mewah yang
dihadiahkan pada Professor Seo dibeli dengan menggunakan kartu kredit ayah,
jadi mereka menyimpulkan bahwa ayah menggunakan tiga buah jam tangan mewah itu
untuk menyuap rektor Universitas agar aku bisa diterima masuk di sana,” jelas
Ja Eun tampak tak terima.
“MWO (APA)?” Baek In Ho tampak shock saat mendengar cerita
dari putrinya.
Kembali ke Ojakgyo Farm, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja
tampak membahas keputusan Tae Hee yang membuat mereka lega.
“Syukurlah Tae Hee bisa menerima kenyataan ini dan berpikir
dewasa,” ujar Hwang Chang Sik, tanpa menyadari bahwa hati Tae Hee sudah
berdarah-darah, masih untung Tae Hee gak lompat ke dalam Sungai Han >_<
“Ya. Itu bagus,” ujar Park Bok Ja lirih, walau wajahnya
tampak resah.
“Seiring waktu berlalu, semuanya akan membaik. Waktu bisa
menyembuhkan luka itu,” ujar Hwang Chang Sik, mencoba menghibur dirinya
sendiri. (Gak ada yang membaik! Tae Hee malah semakin ancur!)
“Ya. Kuharap seperti itu,” sahut Park Bok Ja, namun air mata
menetes di pipinya. Dia benar-benar tidak tega melihat betapa hancurnya Tae Hee
saat ini.
“Menangislah. Jangan pedulikan aku,” ujar Hwang Chang Sik
pada istrinya.
Tapi Park Bok Ja berbohong dan berkata, “Tidak. Aku akan
tidur saja,” ujarnya, namun dia tetap menangis dalam kesunyian.
Keesokan paginya, Nenek serta dua bersaudara Hwang yang
tidak tahu apa-apa tampak bingung saat melihat Tae Hee dan Ja Eun tak ada di
meja makan secara bersamaan.
“Di mana Tae Hee dan Ja Eun?” tanya Nenek dengan bingung.
“Ja Eun tidak pulang semalam karena harus bekerja lembur di
kantornya. Sedang Tae Hee pulang sebentar kemarin malam tapi dia harus pergi
pagi-pagi sekali,” sahut Park Bok Ja.
“Tunggu! Ini sangat mencurigakan. Mungkin saja mereka
bersama semalaman, itu sebabnya mereka sama-sama tidak pulang hari ini,” ujar
Tae Phil dengan nada menggoda dan tersenyum nakal dengan pikiran kotornya.
“Maknae, ada Guksu di sini,” tegur Tae Shik namun kemudian
dia pun ikut tertawa dan setuju dengan pemikiran Tae Phil.
“Apa mungkin mereka benar-benar bersama semalaman?” tanya Nenek
tampak gembira.
“Nenek, sepertinya Nenek akan mendapatkan cicit bahkan
sebelum pernikahan diadakan,” ujar Tae Phil dengan pikiran kotornya.
“Itu bagus. Itu bagus,” ujar Nenek, justru tertawa gembira
dan mendukung jika hal tersebut terjadi.
“Maknae, jangan bicara seperti itu di depan Guksu!” tegur
Tae Shik tapi lagi-lagi diapun tertawa dengan gembira seolah mengharapkan hal itu sungguh terjadi.
Saat semua orang tertawa gembira, Hwang Chang Sik dan Park
Bok Ja hanya terdiam membisu karena hanya merekalah yang mengetahui sebenarnya.
Di saat yang bersamaan, Tae Hee duduk di dalam mobilnya
tampak sedang menunggu seseorang. Ternyata dia sedang menunggu Baek In Ho dan
setelah melihat Baek In Ho keluar dari dalam apartment, Tae Hee segera turun
dari mobilnya dan menghampiri pria itu.
“Inspektur Hwang, apa yang membuatmu datang pagi-pagi
kemari?” tanya Baek In Ho terkejut saat Tae Hee tiba-tiba memblokade jalannya.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ujar Tae Hee
dengan dingin.
“Aku?” tanya Baek In Ho dengan bingung.
“Ayahku yang sekarang sebenarnya adalah pamanku dan ayah
kandungku adalah Hwang Chang Woon,” ujar Tae Hee, memberitahukan identitasnya.
“Chang Woon? Maksudmu adik Chang Sik?” ujar Baek In Ho.
“Ayahku, aku dan seluruh keluargaku sudah tahu. Jadi apa pun
yang terjadi, jangan pernah pergi ke pertanian. Karena aku tidak bisa
mengendalikan reaksi ayahku bila dia melihatmu di sana,” ujar Tae Hee, masih
dengan dingin dan tatapan tajam.
“Apa maksudnya itu?” tanya Baek In Ho tak mengerti. Dia benar-benar bingung kenapa pacar putrinya tiba-tiba datang menemuinya pagi-pagi seperti ini dan mengatakan sesuatu yang absurd?
“Bahkan bila seluruh dunia tahu, bukankah kau tidak ingin Ja
Eun tahu? Aku juga menginginkan hal itu, jadi jangan pergi ke pertanian apa pun
yang terjadi. Seperti kau yang berpura-pura tidak bersalah di depanku,
berpura-puralah seperti itu selama sisa hidupmu. Bahkan bila aku tak bisa
memaafkanmu, tapi bila kau bisa melakukan itu, aku akan menyembunyikan rahasia
ini untukmu,” ujar Tae Hee, penuh teka teki dan membingungkan.
“Sebenarnya kau ini bicara apa? Katakan yang jelas agar aku
bisa mengerti,” ujar Baek In Ho, benar-benar bingung dan tidak mengerti.
Namun alih-alih menjelaskan lebih rinci apa maksud
ucapannya, Tae Hee hanya memberikan Baek In Ho tatapan tajam dan pergi dari
tempat itu.
Tak mendapat jawaban dari Tae Hee, Baek In Ho memutuskan
untuk pergi menemui Lee Khi Chul di kantor polisi. Lee Khi Chul tampak kaget
saat melihat Baek In Ho muncul di depannya.
“Kenapa? Kenapa kau tampak ketakutan seperti melihat hantu?”
ujar Baek In Ho lalu mencengkeram kerah Lee Khi Chul.
“Bukankah kau seharusnya sudah tahu kalau aku kembali dalam
keadaan hidup? Kau menuduh putriku untuk kasus penyuapan rektor Universitas
padahal kau sendirilah yang menyuruhku untuk membeli jam tangan mewah itu
menggunakan kartu kreditku karena kau tidak membawa milikmu. Pergi sekarang dan
katakan pada semua orang bahwa putriku tidak bersalah dan dia tidak diterima
masuk melalui jalan belakang!” sentak Baek In Ho kesal.
“Lepaskan aku! Apa kau dalam posisi bisa memerintahku
seperti itu?” seru Lee Khi Chul tak terima.
“Benar. Karena aku tidak memiliki wewenang untuk bicara, itu
sebabnya selama 26 tahun ini aku harus selalu hidup dengan melakukan apa pun
yang kau inginkan. Tapi sekarang tidak lagi! Karena kebodohanku, putriku
dituduh masuk melalui jalan belakang dan nama baiknya dihancurkan!” seru Baek
In Ho dengan penuh kemarahan.
Hanya karena Lee Khi Chul seorang kepala polisi, dia selalu
menggunakan jabatannya untuk mengendalikan hidup Baek In Ho agar Baek In Ho
melakukan apa yang Lee Khi Chul inginkan.
“Aku juga akan menebus kesalahanku 26 tahun yang lalu. Aku
akan pergi menemui sang korban dan memohon ampun padanya. Bahkan walaupun
sekarang sudah terlambat, aku akan menebus dosa-dosaku sekarang. Jadi jangan
pernah berpikir kau bisa mengendalikan aku sekali lagi. Aku akan mengungkapkan
kebenaran kalau putriku tak pernah diterima masuk melalui jalan belakang!”
lanjut Baek In Ho tegas.
“Bagaimana caranya kau akan mencari si korban dan memohon
pengampunan bila dia sudah tidak ada lagi di dunia ini?” ujar Lee Khi Chul
dengan entengnya.
“Apa?” Baek In Ho tampak shock mendengarnya.
“Ayahmu memohon padaku, itu sebabnya aku mengatakan padamu
kalau dia hanya terluka ringan. Yang terjadi sebenarnya adalah dia sudah
meninggal saat di Rumah Sakit,” sahut Lee Khi Chul.
“Apa?” Baek In Ho seolah dihantam ribuan saat mendengarnya.
“Haruskah kukatakan padamu sesuatu yang lebih mengejutkan
lagi? Korban itu adalah adik dari teman sekolahmu, Hwang Chang Sik. Korban itu
adalah Hwang Chang Woon, adik Hwang Chang Sik. Dan yang lebih mengejutkan lagi
adalah putrimu berpacaran dengan putra si korban. Apa kau tahu itu? Kau sulit
mempercayainya, hah?” sindir Lee Khi Chul dengan kejam.
“Aku awalnya juga sulit mempercayainya. Jika kau tidak
percaya padaku, tanyakan pada putrimu siapa Hwang Tae Hee sebenarnya. Jadi
tetap diam dan tutup mulutmu rapat-rapat bila kau tidak ingin putrimu
mengetahuinya,” ancam Lee Khi Chul.
Mendadak Baek Ja Eun menjadi titik lemah semua orang dan
dijadikan sebagai obyek untuk mengancam mereka. Hwang Chang Sik dan Lee Khi
Chul juga mengancam Tae Hee dengan menggunakan nama Ja Eun dan sekarang Lee Khi
Chul mengancam Baek In Ho juga menggunakan nama Ja Eun.
“Tapi kau bilang saat itu kalau korbannya hanya terluka
ringan. Dan kau juga tidak mengatakan kalau dia adalah adik Chang Sik,” ujar
Baek In Ho dengan shock.
“Sudah kubilang kalau ayahmu yang memintaku
menyembunyikannya,” sahut Lee Khi Chul berdalih.
“Bohong! Itu pasti bohong! Bagaimana mungkin aku membunuh
orang? Aku bahkan tidak ingat apa pun hari ini. Aku bahkan tidak ingat sedang
menyetir, jadi bagaimana bisa aku menabrak orang?” seru Baek In Ho shock.
“Itulah sebabnya kau tidak seharusnya banyak minum seperti
itu dan mabuk berat. Tidak perlu takut. Insiden itu sudah terjadi 26 tahun yang
lalu dan kasusnya sudah dianggap kadaluwarsa. Jadi walaupun kasusnya dibuka
kembali, kau tidak akan bisa dipenjara, jadi tutup mulutmu dan diamlah!” ujar
Lee Khi Chul.
Setelah mendengar faktanya dari Lee Khi Chul, Baek In Ho
berjalan dengan linglung, kalimat Tae Hee terus terngiang-ngiang di kepalanya,
“Seperti kau yang berpura-pura tidak bersalah di depanku, berpura-puralah
seperti itu selama sisa hidupmu. Bahkan bila aku tak bisa memaafkanmu, tapi
bila kau bisa melakukan itu, aku akan menyembunyikan rahasia ini untukmu."
Di tempat lain, Tae Hee sedang menatap gundah flashdisk yang
berisi rekaman video Lee Khi Chul yang menyuruh Baek In Ho membelikannya jam
tangan mewah, lalu teringat ucapan Lee Khi Chul yang mengancamnya untuk menutup
kasus penyuapan itu bila tidak ingin Ja Eun tahu yang sebenarnya tentang
ayahnya.
Dong Min masuk ke dalam mobil Tae Hee dan mengeluh bahwa di
luar sangatlah dingin. Sepertinya mereka sedang dalam misi pengintaian saat
ini.
“Apa sudah ada pergerakan dari mereka?” tanya Dong Min yang
baru saja kembali, entah dari mana.
“Tidak,” jawab Tae Hee singkat, wajahnya tampak muram dan
kusut dan tak ada gairah hidup di sana. Awan mendung seolah menyelimuti Tae Hee saat ini.
“Kapan tikus sialan ini akan muncul? Hyung, bahkan jika kita
harus mengintai, kau harus tetap makan sedikit,” ujar Dong Min karena teringat
Tae Hee belum makan apa pun.
“Aku tidak mau makan,” tolak Tae Hee tak bersemangat.
“Hyung, tapi kau tidak makan apa pun sejak pagi. Apa mungkin
terjadi sesuatu padamu? Karena ekspresi wajahmu terlihat suntuk dan lesu, kau juga
tidak bicara sama sekali,” tanya Dong Min dengan perhatian.
Tae Hee tidak menjawab jadi Dong Min akhirnya mengalah,
“Baiklah. Terserah,” ujar Dong Min pasrah.
(Tae Hee kembali ke pengaturan awal, no smile, no talk, no
passion, just silent. Dan Tae Hee menjalani kehidupan ini hanya karena dia
masih bernapas. Karena Ja Eun-lah, hidup Tae Hee yang hampa menjadi lebih
berwarna dan lebih hidup, tapi jika tak ada Ja Eun, apalah arti hidup ini?)
Dong Min kemudian mengalihkan pembicaraan, “Kapan kita akan
mengungkap kasus penyuapan rektor universitas ini? Bukankah kau sudah
mengumumkan akan mengungkap kasus ini? Kenapa sekarang tidak ada pembicaraan
lebih lanjut?” tanya Dong Min ingin tahu, saat melihat Tae Hee kembali menatap Flashdisk di tangannya.
(Maksud Dong Min adalah bukti sudah di tangan kita, lalu
kenapa gak diungkap ke publik sekarang juga? Nunggu apalagi sih? Gitu maksudnya
^^)
“Tunggulah sebentar lagi. Ada sedikit masalah jadi aku harus
memikirkannya kembali,” sahut Tae Hee dengan lesu.
“Masalah apa? Jika terus seperti ini, bukankah kasus ini
jadi tidak akan pernah terselesaikan?” protes Dong Min dengan geregetan.
“Dong Min-ah, aku bilang tunggu ya tunggu!” sentak Tae Hee
emosi. Tae Hee sedang suntuk dan sedang dalam mode senggol bacok tapi Dong Min yang tidak tahu situasi justru memancing amarah Tae Hee.
“Tunggu sebentar lagi. Tidak peduli apa pun yang terjadi,
aku pasti akan mengungkapkan hal ini,” lanjut Tae Hee dengan nada lebih rendah
setelah membentak Dong Min dengan nada tinggi.
“Baiklah,” sahut Dong Min pasrah.
Tak lama kemudian, Tae Hee mendapat telepon dari nomor tidak
dikenal. Dia mengangkatnya dengan penuh tanda tanya.
“Hallo. Ya, ini Hwang Tae Hee,” sahut Tae Hee dengan lesu.
“Hwang Tae Hee-ssi, kami dari toko perhiasan. Cincin
pasangan yang Anda pesan sudah jadi dan bisa diambil sekarang juga,” ujar
seorang wanita dari seberang saluran.
Tae Hee menjawab “Ya” dengan suara berat
dan ekspresi tertekan. Hatinya semakin nyesek dan terluka mengingat cincin itu seharusnya menjadi simbol ikatan mereka, namun kini seolah tak ada artinya mengingat perpisahan mereka akan semakin dekat.
Menit berikutnya, dia sudah berada di toko perhiasan itu
untuk mengambil cincin pasangan yang dia pesan sebelumnya. Tae Hee menatap
sepasang cincin di dalam kotak mungil itu dengan mata berkaca-kaca.
Mungkin Tae Hee bermaksud menjadikan ini sebagai cincin
lamaran karena ada tulisan “Marry Me” di dalam kotaknya. Namun sekarang,
bisakah dia dan Ja Eun memakai cincin itu bersama-sama? Hati Tae Hee semakin
remuk redam dan rasanya berdarah-darah saat mengingat bahwa dia harus
mengakhiri hubungan mereka dalam waktu satu minggu seperti yang dia janjikan
pada Hwang Chang Sik.
Tae Hee mengambil sepasang cincin tersebut dari dalam kotaknya dengan tatapan mata yang memancarkan kesedihan yang mendalam. Tatapan mata yang seolah mengatakan, "Bisakah mereka memakai cincin ini pada akhirnya?"
Setelah dari toko perhiasan, Tae Hee memutuskan untuk
kembali ke kantornya. Dia berada di ruang olahraga, tempat yang biasanya dia
datangi jika ingin menenangkan dirinya seraya menatap sedih sepasang cincin di dalam kotak.
Tanpa dia ketahui, Ja Eun datang ke
sana. Mungkin setelah mencari di kantornya dan tak menemukan Tae Hee di sana,
instingnya membawa Ja Eun ke tempat ini. Ja Eun datang dengan membawakan dua cangkir kopi hangat dan dia melihat Tae Hee duduk di bangku panjang seraya memandangi sebuah kotak cincin.
Ja Eun tampak sangat gembira karena melihat Tae Hee tetap membelikan
Couple Ring untuknya walaupun sebelumnya dia pernah berkata untuk melupakan
soal cincin itu dan membeli tas untuk Ahjumma saja.
Ja Eun tak ingin membebani Tae Hee bila dia membuat banyak
permintaan. Itu sebabnya Ja Eun mengorbankan cincinnya dan memilih tas untuk
Park Bok Ja. Siapa yang menyangka kalau Tae Hee sangat pengertian dan tidak
keberatan membelikan keduanya?
“Ehem,” Ja Eun sengaja berdehem untuk menarik perhatian Tae
Hee.
Mendengar suaranya, Tae Hee spontan menatap ke arahnya dan
dengan cepat menyembunyikan cincin itu di balik mantelnya. Ja Eun pura-pura
tidak melihatnya dan berjalan menghampiri Tae Hee dengan senyuman di wajahnya.
Tae Hee segera berdiri untuk menyambut kekasihnya tercinta, “Kenapa
kau datang kemari? Bukankah kau bilang kau sangat sibuk?” tanya Tae Hee dengan
lembut.
“Memang benar. Tapi sekarang sudah selesai,” sahut Ja Eun
seraya menyerahkan secangkir kopi pada Tae Hee.
“Aku tahu kau pasti ada di sini,” lanjutnya lagi dengan
senyuman hangatnya.
“Gomawo (Terima kasih),” sahut Tae Hee dengan senyuman di
wajahnya. Di depan Ja Eun, walaupun hatinya hancur berkeping-keping, Tae Hee masih bisa memaksakan diri untuk tersenyum. Namun di depan orang lain, Tae Hee berubah menjadi mayat hidup yang tak memiliki ekspresi.
Sepasang kekasih itu akhirnya duduk bersama di bangku
panjang. Untuk beberapa saat, keduanya hanya terdiam, namun kemudian Tae Hee
mulai membuka obrolan.
“Bagaimana jika kita pergi liburan bersama?” ajak Tae Hee.
Dia ingin menciptakan kenangan terakhir yang indah bersama Ja Eun sebelum
mengucapkan selamat tinggal pada gadisnya.
“Kapan? Ke mana?” tanya Ja Eun dengan antusias.
“Kapan pun kau punya waktu. Bagaimana bila akhir minggu ini?
Kita pergi ke mana pun yang kau inginkan,” sahut Tae Hee dengan tersenyum
manis, namun senyumannya terlihat sedih.
Tae Hee seolah ingin menciptakan kenangan indah bersama Ja
Eun, kenangan yang bisa dia kenang sepanjang hidupnya, sebagai bekal hidup
untuknya bila di masa depan tak ada lagi di sisinya.
Setidaknya Tae Hee bisa
bertahan hidup dengan mengingat kenangan indah itu, kenangan di mana mereka
pernah saling mencintai dengan mendalam.
“Aku belum memikirkannya. Aku akan memikirkannya setelah
ini. Tapi ini adalah liburan sehari, kan? Bukan seperti 1N2D, kan?” tanya Ja
Eun.
“Itu terserah padamu,” sahut Tae Hee, ingin memanjakan
pacarnya dan memenuhi apa pun keinginannya.
“Aku akan memikirkannya,” sahut Ja Eun yang bingung karena
terlalu mendadak.
“Apa ada lagi yang ingin kau lakukan? Seperti yang kau
katakan waktu itu saat kau menginginkan Couple Ring. Hal yang ingin kau lakukan
bila kau punya pacar,” tanya Tae Hee, ingin mengabulkan semua permintaan Ja
Eun.
“Aku punya banyak keinginan. Untuk sekarang ini karena aku
akan segera wisuda, aku ingin kau datang sebagai pasanganku dan memberiku
karangan bunga sambil memakai jas dan berdandan setampan mungkin. Aku ingin kau
menjadi yang paling tampan saat itu, karena bagaimana pun juga aku adalah
National Goddess Baek Ja Eun. Kau mengerti? Kau harus tampil menawan,” ujar Ja
Eun dengan antusias.
Tae Hee tersenyum lembut dan menjawab, “Baiklah.”
“Aku juga ingin berjalan-jalan ke Taman Hiburan sambil
bergandengan tangan dengan mesra seperti layaknya sepasang kekasih. Lalu karena
sekarang sedang Musim Dingin, aku ingin pergi ke resort Ski. Kemudian pergi
menonton film di bioskop seperti yang dilakukan pasangan kekasih pada umumnya.
Saat Musim Semi tiba, aku ingin kita pergi mendaki gunung,” ujar Ja Eun penuh
semangat, sementara Tae Hee hanya terdiam menatap kekasihnya dan mendengarnya
bercerita.
“Kita juga harus mengambil foto kenangan sebanyak mungkin.
Nanti saat kita sudah memiliki banyak uang, aku ingin pergi ke Eropa
bersama-sama. Dan jika kita punya lebih banyak uang lagi, aku ingin pergi
melihat museum seni di New York,” ujar Ja Eun, berceloteh riang dan
menceritakan semua keinginannya jika dia punya pacar.
Tae Hee hanya menatap sendu sang kekasih saat mendengar
semua keinginan itu, matanya mulai berkaca-kaca namun dia berusaha menahan air
matanya agar tidak terjatuh. Dia tahu dia takkan mampu mengabulkan semua itu
saat ini.
“Kenapa banyak sekali? Jika kau punya begitu banyak
keinginan, kau seharusnya mengatakannya padaku lebih awal,” ujar Tae Hee sendu,
hatinya terasa semakin sesak setiap kali mengingat kalau mereka harus berpisah
tak lama lagi. Matanya berkaca-kaca, namun dia masih berusaha keras menahan
agar air matanya tidak tertumpah.
“Kita bisa mencicilnya mulai sekarang dan melakukannya
sedikit demi sedikit,” sahut Ja Eun dengan polosnya.
Tae Hee hanya mengangguk pelan tanpa kata, menahan rasa
sesak di dada. Dia meminum kopinya untuk mengalihkan kegelisahannya.
Ja Eun kemudian melirik kotak cincin yang disembunyikan di
balik mantel Tae Hee dan mulai memberikan petunjuk pada Tae Hee, saat menyadari
sepertinya Tae Hee masih belum mau menunjukkan cincinnya.
“Aku tidak memakai sarung tangan, itu sebabnya tanganku
sangat dingin. Ahjussi, bukankah aku memiliki jari tangan yang lentik?” ujar Ja
Eun seraya menunjukkan kelima jarinya pada Tae Hee dan menuding jari manisnya,
yang hanya menatap jari Ja Eun dan mengangguk pelan sambil tersenyum lembut.
(Walau hatinya hancur, Tae Hee tetap berusaha tersenyum di
depan Ja Eun. Padahal saat bersama orang lain, Tae Hee kembali menjadi muram,
suntuk, dan lesu T_T Ja Eun is his source of happiness ^^)
“Aku lupa memakai lotion di sini,” ujar Ja Eun lagi, saat
Tae Hee tampak tak mengerti tanda darinya.
Alih-alih menjawab, Tae Hee hanya tersenyum geli seraya
meminum kopinya. Dia mengerti maksudnya namun dia berpura-pura tak mengerti.
Akhirnya Ja Eun menyerah dan memilih berterus terang,
“Ahjussi, apa kau tidak ingin memberikannya padaku? Aku ingin memakainya
secepatnya,” ujar Ja Eun dengan cemberut.
Tae Hee menoleh dan menatapnya penuh tanya. Tatapan mata yang seolah mengatakan, "Apa kau sudah melihat cincinnya?"
“Aku sudah melihatnya. Couple Rings. Cepat pasangkan di
jariku,” pinta Ja Eun penuh harap, seolah mengerti arti tatapan Tae Hee padanya.
Tae Hee tampak ragu sejenak, karena tahu bahwa cincin itu
tidak akan berada di jari Ja Eun untuk waktu yang lama. Namun dia tidak bisa
menolak permintaan Ja Eun dan membuat hatinya terluka.
Merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan cincin itu,
dengan berat hati, Tae Hee mengambil kotak cincin yang dia sembunyikan di balik mantelnya.
Dia membuka kotak cincin itu dan mengambil cincin dengan ukuran yang
lebih kecil dari dalam sana. Cincin yang lebih kecil itu adalah milik Ja Eun.
Tae Hee menggenggam tangan Ja Eun, seraya menatap kekasihnya
penuh cinta (dan luka) kemudian mengelus tangannya sejenak sebelum akhirnya
memasangkan cincin itu di jari Ja Eun dengan perasaan yang hancur lebur.
Ja Eun menatap cincin itu penuh haru, walaupun bentuk cincin
itu biasa saja (bagiku karena menurutku bagusan cincinnya di "The Prince Who
Turns Into A Frog 2005") namun di mata Ja Eun, cincin itu sangatlah indah karena Tae Hee yang memberikannya.
Ja Eun
terus menatap cincin itu tanpa berkedip dan memujinya penuh haru, “Ini sangat
cantik,” ujar Ja Eun dengan tatapan haru. Tae Hee tersenyum (walau tatapan matanya terlihat sedih) melihat kekasihnya menyukai cincinnya.
“Apa kau benar-benar menyukainya?” tanya Tae Hee, menahan kesedihannya.
Ja Eun menatap Tae Hee dan menganggukkan kepalanya
berkali-kali. Ja Eun kembali menatap cincin di jarinya dengan gembira,
sementara Tae Hee menatap cincin itu dengan penuh kesedihan dalam hatinya.
Tae
Hee mengalihkan pandangannya ke tempat lain, berusaha mengendalikan air matanya
agar tidak menetes di hadapannya kekasihnya.
Saat sedang memandangi cincin di jarinya, Ja Eun tiba-tiba
teringat kalau dia sudah membuat janji dengan ayahnya untuk bertemu di Ojakgyo
Farm.
“Ah, aku terlalu gembira hingga lupa waktu. Aku harus pulang
ke pertanian sekarang. Aku hanya mampir untuk bertemu denganmu sebentar sebelum
aku kembali ke pertanian. Aku dan ayahku sudah berjanji bertemu di pertanian
sore ini,” ujar Ja Eun dengan polosnya, seketika membuat Tae Hee terkesiap.
“Kapan?” tanya Tae Hee dengan panik.
“Jam 4 sore. Sebelum aku berangkat kerja di pagi hari, aku
berjanji pada ayah akan bertemu di pertanian setelah aku pulang kerja di sore
hari. Dan karena ayahku tak punya ponsel jadi aku tak bisa membatalkannya bahkan
bila aku menginginkannya,” ujar Ja Eun menjelaskan, tanpa tahu apa-apa.
“Kalau begitu aku pergi dulu,” pamit Ja Eun pada Tae Hee
yang masih shock mendengar kalau Baek In Ho akan datang ke Ojakgyo Farm, bahkan
setelah dia memperingatkannya.
Ja Eun baru saja akan pergi saat Tae Hee tiba-tiba menahan pergelangan
tangannya, “Kita pergi bersama. Aku akan mengantarmu pulang,” ujar Tae Hee
dengan terburu-buru seraya mengambil mantel serta kotak cincinnya dan berjalan
mendahului Ja Eun yang hanya menatapnya dengan bingung.
Di saat yang bersamaan, Baek In Ho benar-benar datang ke
Ojakgyo Farm. Baek In Ho tampak ragu saat akan masuk ke dalam, itu sebabnya dia
hanya berjalan mondar-mandir dengan keraguan di dalam hatinya.
Nenek keluar dari dalam rumah dan bertanya padanya, “Siapa
kau?” tanya Nenek dari arah belakang Baek In Ho.
Baek In Ho memutar tubuhnya ke arah Nenek, dan Nenek tampak
terkejut saat melihat siapa pria yang sedari tadi berjalan mondar-mandir di halaman
rumahnya.
“Apa aku sedang berhalusinasi? Bukankah kau adalah Baek In
Ho? Mereka bilang kau sudah mati, tapi ternyata kau kembali dalam keadaan hidup?”
tanya Nenek dengan ekspresi terkejut.
“Eomonim (Ibu),” sapa Baek In Ho.
“Ya Tuhan. Kau benar-benar Baek In Ho, kan? Kau bukan hantu,
kan?” tanya Nenek sekali lagi, mencoba memastikan penglihatannya.
Baek In Ho segera berlutut di hadapan Nenek dan meminta maaf
setulus hati, “Ya, Ibu. Aku In Ho. Bunuh aku, Ibu. Bunuhlah aku. Aku sangat menyesal,”
ujar Baek In Ho dengan penuh penyesalan, membuat Nenek semakin bingung.
“Kenapa kau seperti ini? Kenapa aku harus membunuhmu? Apa
yang kau bicarakan sebenarnya?” tanya Nenek tak mengerti, tampak bingung dengan
sikap aneh Baek In Ho, yang tiba-tiba saja berlutut dan meminta wanita tua itu
membunuhnya.
Mendengar keributan di luar, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja
keluar dari rumah dan melihat Baek In Ho yang masih berlutut dan meminta Nenek
untuk membunuhnya.
“Bunuh aku, Ibu. Aku telah melakukan kejahatan besar yang
membuatku pantas untuk mati,” seru Baek In Ho dengan penuh penyesalan.
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja tampak shock saat melihat
Baek In Ho ternyata masih hidup dan muncul di hadapan mereka.
“Bukankah itu CEO Baek In Ho?” tanya Park Bok Ja pada
suaminya.
“CEO Baek In Ho sudah kembali tapi aku tidak tahu apa yang
dia bicarakan,” seru Nenek, saat mendengar pertanyaan Park Bok Ja, alih-alih
Hwang Chang Sik, Nenek-lah yang menjawab pertanyaan Park Bok Ja.
Baek In Ho menoleh dan melihat Hwang Chang Sik berdiri di
sana segera memanggil namanya, “Chang Sik-ah,” panggil Baek In Ho dengan penuh penyesalan.
Hwang Chang Sik segera berlari ke arah Baek In Ho dan
mencengkeram kerah kemejanya dengan emosi jiwa membara, “Dasar brengsek!
Beraninya kau datang kemari?” seru Hwang Chang Sik penuh kemarahan.
Nenek yang melihat putranya bersikap kasar mencoba
melerainya, “Chang Sik, kenapa kau seperti ini?” seru Nenek dengan ekspresi
bingung di wajahnya.
“Tidak ada apa-apa, Ibu. Ibu masuklah ke dalam rumah,” ujar
Hwang Chang Sik pada Ibunya.
“Ibu, ayo kita masuk saja,” ujar Park Bok Ja pada nenek.
“Ikut aku!” sentak Hwang Chang Sik pada Baek In Ho seraya
menyeretnya ke suatu tempat.
“Sepertinya ayahnya anak-anak ingin membicarakan sesuatu
dengan CEO Baek secara pribadi. Ibu, karena udaranya sangat dingin, lebih baik
kita masuk saja,” ajak Park Bok Ja pada ibu mertuanya seraya menarik lengan
Nenek dan mengajaknya masuk dengan sedikit memaksa. Nenek tampak menolak dan
ingin mengikuti Hwang Chang Sik dan Baek In Ho pergi, namun Park Bok Ja berusaha
menyeretnya sekuat tenaga.
Di saat yang bersamaan, Tae Hee dan Ja Eun tiba di sana dan
melihat Hwang Chang Sik menyeret Baek In Ho dengan kasar ke arah gudang, Ja Eun
yang penasaran spontan berlari mengikuti mereka berdua. Melihat Ja Eun berlari
mengikuti ayahnya, Tae Hee pun berlari mengejar Ja Eun.
Di dalam gudang, Hwang Chang Sik akhirnya melampiaskan
kemarahan dan dendamnya pada Baek In Ho. Dia mendorong Baek In Ho hingga jatuh
ke lantai gudang dan mulai memakinya dengan kasar.
“Bagaimana bisa kau kembali dalam keadaan hidup setelah
melakukan kejahatan besar?” seru Hwang Chang Sik dengan penuh emosi dalam
suaranya.
“Chang Sik-ah!” panggil Baek In Ho penuh penyesalan.
“Kenapa kau harus kembali? Kau seharusnya mati saja setelah
kau melakukan kejahatan yang begitu besar. Kenapa kau harus kembali dalam
keadaan hidup?” seru Hwang Chang Sik, menyumpahi Baek In Ho agar segera mati.
“Chang Sik-ah,” Baek In Ho tak sanggup berkata-kata selain
memanggil nama sahabatnya dengan penuh penyesalan.
“Apa kau pantas menyebut dirimu manusia? Setelah kau
membunuh adikku, Chang Woon, setelah melakukan kejahatan besar, kau masih punya
nyali untuk menemuiku berkali-kali dan bahkan menemui ibuku?” seru Hwang Chang
Sik lagi.
“Tidak. Aku tidak mengetahuinya. Aku sungguh-sungguh tidak
tahu tentang hal itu. Jika saja aku tahu, bagaimana mungkin aku berani
menemuimu? Setelah mengetahui aku telah melakukan kejahatan besar, aku sangat
takut pada hukuman Tuhan, jadi bagaimana mungkin aku bisa bersikap seolah-olah
tidak terjadi apa-apa dan menatap matamu dan mata Ibumu tanpa merasa bersalah? Aku
benar-benar tidak mengetahui tentang masalah ini sebelumnya,” ujar Baek In Ho
membela dirinya, karena dia memang tidak mengetahui kalau dia difitnah telah
membunuh seseorang malam itu.
Hwang Chang Sik yang tidak percaya justru meraih kerah Baek
In Ho dan memukulnya dengan keras hingga membuat ayah Ja Eun terjatuh di antara
karung yang berisi serbuk gergaji.
“Pergilah ke neraka! Lebih baik kau pergi ke neraka, pembunuh!
Pergilah ke neraka! Kau adalah pembunuh yang telah membunuh adikku, Chang Woon.
Kau bukan manusia! Bagaimana bisa ada manusia sepertimu?” seru Hwang Chang Sik
seraya memukul dan memaki-maki Baek In Ho dengan suara keras.
Saat itulah, Ja Eun tiba di sana dan mendengar semuanya. Di
belakangnya, Tae Hee berlari mengikuti kekasihnya. Ja Eun tampak shock saat
mendengar ucapan Hwang Chang Sik pada ayahnya. Air mata seketika turun dari
sudut matanya.
Blogger Opinion :
Untuk yang menunggu update-an sinopsis "Ojakgyo Brothers",
sorry banget kalau update-nya lama. Pertama, karena aku adalah penulis yang
sibuk dan menulis blog hanya berdasarkan request semata. Kalau ada yang request, ya
aku lanjut nulis, tapi kalau gak ada yang request, ya aku bakal posting seenak
jidat.
Karena aku adalah type yang menghargai orang lain, jadi
kalau ada orang yang request, pasti langsung kukabulkan dan kuusahakan secepat
mungkin untuk update, tidak peduli sesibuk apa pun aku di dunia nyata. Tapi kalau
ternyata aku gak mendapatkan timbal balik yang sepadan, uda dibelain update
sesuai dengan requestnya tuh orang ditengah kesibukan real life-ku, eh dianya “tinggalkan
komentar” aja gak mau. Ya udahlah ya, berarti tuh orang emang gak layak
dihargai, nyesel pernah menghargai orang gak tahu diri seperti itu >_<
Tapi jangan khawatir, aku akan tetap menuliskan sinopsisnya
hingga tamat karena aku memang suka dramanya, tapi karena uda gak ada yang
request lagi, so aku update-nya ya suka-suka aku aja hahaha ^^ Karena aku type
penulis “BY REQUEST” alias “Berdasarkan Permintaan”. Kalau gak ada yang request,
ya aku bakal posting apa pun yang aku suka.
Kalau gak sabar pengen tahu kelanjutannya, kalian bisa
download sendiri dramanya di “Telegram” walau dengan subtitle yang ancur lebur
berantakan karena sepertinya si pembuat hanya copas Google Translate mentah-mentah. Atau kalau kalian gak mau baca subtitle yang bikin pusing kepala, kalian bisa
baca juga sinopsisnya dalam Bahasa Inggris di blog lain, tinggal search aja di
google, jangan males dan mintanya disuapin mulu kayak bayi. Kalau gak bisa bahasa
inggris (yang mana itu salah kalian sendiri yang gak mau belajar padahal di
jaman sekarang ini, bahasa asing itu sangat penting), ya tunggu aja update-nya
di blog ini yang entah kapan baru update lagi next episode-nya karena semuanya tergantung
dari mood bloggernya ^_^
Kedua, karena semakin bertambahnya usiaku, aku yang sekarang
males banget nonton drama (or baca novel) dengan tema “Kisah sedih di Hari
Minggu” yang bikin nyesek dan air mata berderai. Dulu waktu masih muda, aku
suka banget dengan drama yang berlinang air mata seperti “Autumn In My Heart,
Winter Sonata, Stairway To Heaven, Memories Of Bali, atau Sorry I Love You”,
tapi sekarang aku sangat menghindari banget drama-drama sad ending yang bikin
mood down seperti itu. Beban hidupku sudah berat, jadi aku gak mau lagi nonton
drama yang menambah beban hidupku semata.
Aku nonton drama sekarang MURNI HANYA
UNTUK HIBURAN, tapi kalau dramanya bukan menghibur melainkan malah bikin nyesek,
sedih, depresi dan kepikiran ya buat apa lagi ditonton, kan? Daripada nonton drama yang bikin mood down, aku yang sekarang lebih pilih drama yang bikin mood naik, happy, dan yang benar-benar menghibur alias ada lucunya. Dan karena "Ojakgyo
Brothers" dalam beberapa episode ke depan ini bakal NYESEK MULU dan isinya hanya tangisan
dan penderitaannya Tae Hee dan Ja Eun, itu sebabnya update-nya lama. Udah gak
ada yang request (yang artinya gak ada yang peduli), plus ceritanya lagi nyesek-nyeseknya
pula, Double Kill deh bagiku T_T
Ini aja daripada nyesek nonton "Ojakgyo Brothers" yang lagi
masa-masa Angst, aku selingin sama nonton drama Taiwan lawas “The Prince Who
Turns Into A Frog 2005” karena tuh drama paket komplit, lucunya ada, dramatisnya
ada. Ada sedih dan ada lucunya, ceritanya imbang banget. Jadi karena nyesek
nonton "Ojakgyo Brothers" yang lagi sedih-sedihnya, jadilah aku selingin nonton
“Pangeran Katak” karena bisa bikin ketawa ngakak. So, kalau lama update-nya, harap
maklum ya, karena aku juga nyelingin nonton “The Prince Who Turns Into A Frog
2005” untuk mengembalikan moodku yang down banget gara-gara nonton "Ojakgyo
Brothers".