Selasa, 10 September 2024

Sinopsis EP 49 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight for today episode :
I cried as he put that ring on her. it’s like he was hesitant –  knowing that it won’t stay on there much longer and he wanted to savor the moment. before all this happened, he wanted to put a ring on her finger for life, but now he has to do it with a whole other meaning. instead of bringing them closer together, he has to let her go.



And about he asked Ja Eun to go holiday with him, why I feel that he was so selfish? I love Tae Hee but why he have to do this? If you are going to break someone’s heart and break up with her, why make more special memories right before you break up? I mean does he expect Ja Eun to remember their little trip with fond memories and smile everytime she looks down at that ring and not think about the fact that he isn’t in her life anymore? Does that ring come with some magic spell that is going to give her amnesia so she doesn’t remember the pain of him breaking up with her?



The way Tae Hee cried seemed like a man who finally realized what he had lost. The mom really got to me this episode too, and it’s clear that she is feeling every bit of pain that Ja Eun and Tae Hee are experiencing. For the last few episodes the focus has been on her relationship with Ja Eun, so it was touching to see how broken hearted she was over Tae Hee losing the love of his life. Only Park Bok Ja know how Tae Hee broken inside. The parents keep telling themselves that it’ll get better with time, but deep down they both know that Tae Hee isn’t normal when it comes to dating, and that it was practically a miracle that he found someone like Ja Eun to finally make him feel whole.

---------00000----------

Episode 49 :
Episode 49 dimulai ketika Baek In Ho menelpon Ja Eun dan mengatakan kalau dia masih hidup. Ja Eun, yang tentu saja sangat merindukan ayahnya, segera bertanya di mana ayahnya berada sekarang. Baek In Ho mengatakan sebuah tempat dan Ja Eun seketika berkata, “Aku akan segera ke sana, Ayah. Jangan pergi ke mana pun.”


Kim Jae Ha yang kebetulan ada di sana dan mendengar semuanya, juga tampak sangat terkejut karena yang dia tahu adalah Baek In Ho sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat dan hilang di lautan.

“Apakah Ayahmu kembali dalam keadaan hidup?” tanya Kim Jae Ha tampak terkejut.
“Ya. Ayah ada di bandara sekarang,” sahut Ja Eun dengan air mata menetes di pipinya, dia masih terkejut karena dia tidak pernah menduga hal ini akan terjadi.

“Naik mobilku saja. Dalam situasi seperti ini, kau tahu kau lebih membutuhkan mobil daripada transportasi umum, kan?” ujar Kim Jae Ha, menawarkan diri untuk mengantar Ja Eun menemui ayahnya. Tapi Ja Eun masih gemetar dan menangis sambil berdiri mematung.

“Apa yang kau lakukan? Ayo cepat kita pergi menjemputnya,” ujar Kim Jae Ha saat melihat Ja Eun masih berdiri terpaku. Akhirnya mereka berdua pergi ke bandara bersama.



Begitu sampai di bandara, Ja Eun segera berlari mencari ayahnya sambil memanggil ayahnya dengan penuh air mata haru. Akhirnya setelah lama mencari, Ja Eun melihat ayahnya berdiri di antara kerumunan orang. Ja Eun segera berlari ke arah ayahnya dan memeluknya sangat erat, penuh kerinduan.


“Ayah, apa Ayah baik-baik saja? Apa Ayah terluka? Apa ada sesuatu yang sakit?” tanya Ja Eun bertubi-tubi dengan khawatir dan air mata menetes di pipi.

Baek In Ho mengangguk sambil tersenyum bahagia melihat putrinya, “Ayah baik. Ayah baik, Nak. Bagaimana kabar putri kesayangan Ayah?” tanya Baek In Ho, balik bertanya. Dia melepaskan pelukannya sejenak agar bisa menatap wajah putrinya baik-baik.

Ja Eun mengangguk mantap, “Ya. Aku baik-baik saja, Ayah.” Sahut Ja Eun masih dengan air mata bercucuran.


Baek In Ho kemudian memeluk Ja Eun lagi dan mengelus rambutnya dengan sayang, “Baguslah. Baguslah kalau begitu,” ujar Baek In Ho sambil tetap memeluk putri tunggalnya.


Dari kejauhan, Kim Jae Ha hanya berdiri memandang adegan mengharukan itu, namun tak hanya Kim Jae Ha, ternyata Lee Khi Chul pun ada di tempat itu.


Di saat yang bersamaan, Tae Hee dan Hwang Chang Sik masih berada di cafe yang sama. Hwang Chang Sik sekali lagi memaksa Tae Hee untuk mengakhiri hubungannya dengan Ja Eun secepat mungkin, lebih cepat lebih baik agar mereka tak perlu terluka lebih dalam lagi.


“Ayah percaya padamu. Bila ayah harus memilih satu di antara kalian berdua, ayah akan lebih memilih anakku sendiri untuk terluka. Sebesar keinginanmu untuk melindunginya, ayah juga tidak ingin membuat Ja Eun terluka bila mengetahui kebenarannya. Tunjukkan pada ayah bahwa ayah sudah membuat keputusan yang tepat. Hal ini di luar kehendak kita sebagai manusia. Ayah sangat berharap bisa mengubahnya, namun tidak ada yang bisa melakukannya. Jangan menundanya terlalu lama. Semakin lama kau menundanya, kau dan Ja Eun akan semakin menderita. Akhiri hubungan kalian paling lambat akhir minggu ini. Ayah akan pergi sekarang karena ayah tahu, kau akan melakukannya,” ujar Hwang Chang Sik, memberikan Keputusan final.


Air mata Tae Hee masih membanjiri pipinya, dia menahan lengan ayahnya sambil memohon sekali lagi, “Abeoji (Ayah)...” ujar Tae Hee penuh permohonan.

“Tidak ada lagi yang akan ayah katakan. Jika kau tidak ingin Ja Eun mengetahui kebenarannya, akhiri hubungan kalian paling lambat akhir minggu ini,” ujar Hwang Chang Sik dengan dingin dan tanpa perasaan, lalu pergi begitu saja meninggalkan Tae Hee yang hancur berantakan.


Tae Hee hanya mampu menangis seraya menatap ayahnya pergi dengan hati yang hancur berkeping-keping tanpa sisa.


(Sumpah! Akting nangisnya Joo Won keren banget. Jadi nyesek liat Tae Hee nangis, ikutan merasakan patah hatinya dia T_T Be Strong, Tae Hee >_< Segera buktikan kalau Baek In Ho tidak bersalah, kalau kau ingin Ja Eun kembali padamu, karena hanya itu satu-satunya cara yang tersisa saat ini >_<)


Dengan lesu, Tae Hee berjalan kembali ke kantor polisi, namun dia memilih menuju ke tangga darurat untuk menenangkan dirinya lebih dulu alih-alih langsung kembali ke kantor. Hatinya tidak baik-baik saja, dunianya sudah hancur berantakan, rasanya dia sulit untuk bernapas, lalu bagaimana bisa Tae Hee bekerja?



Tae Hee merasa seolah kekuatannya sudah hilang, dia mencengkeram pegangan tangga dengan erat sebagai pegangan agar tidak terjatuh ke bawah. Saat seluruh beban di pundaknya terasa sangat berat, telepon dari Dong Min membuat beban di pundaknya yang sudah berat, menjadi semakin berat.


“Hyung, kenapa kau tidak mengangkat teleponmu? Jangan pingsan karena terkejut tapi aku baru saja dengar dari pihak imigrasi kalau Baek In Ho kembali dalam keadaan hidup,” ujar Dong Min dari seberang saluran dengan tersenyum gembira.


Dong Min mengira Tae Hee akan gembira mendengar berita ini karena dia tahu kalau Tae Hee dan Ja Eun berpacaran, jadi secara logika, bila Ja Eun gembira maka Tae Hee juga pasti akan gembira.

Namun Dong Min kali ini salah, berita yang baru saja dia sampaikan justru bagaikan petir yang menyambar di siang bolong yang serta merta menghancurkan harapan terakhir Tae Hee.


“MWO (APA)? Katakan sekali lagi!” ujar Tae Hee dengan terkejut, mengira bahwa mungkin dia telah salah mendengar atau dia sedang berhalusinasi karena hatinya sedang kalut dan kacau. Tak mengira bahwa ini adalah kenyataan.


“Aku bilang Baek In Ho kembali dalam keadaan hidup. Pihak imigrasi bandara menghubungiku dan mengatakan kalau dia kembali dua jam yang lalu. Kau juga sulit mempercayai ini, bukan? Apa Ja Eun-ssi belum mengabarimu? Cepat beritahu Ja Eun-ssi sekarang! Dia pasti sangat bahagia mendengar ayahnya masih hidup,” ujar Dong Min dengan ceria tanpa mengetahui apa-apa.


Tae Hee yang shock hanya mampu menatap kosong ke depan lalu kemudian terduduk dengan lemas di anak tangga dengan air mata menetes semakin deras.


Di tempat lain, Ja Eun, Baek In Ho dan Kim Jae Ha duduk bersama di sebuah restaurant sambil membicarakan semua yang terjadi selama Baek In Ho menghilang dalam kecelakaan.

Baek In Ho berkata bahwa tim penyelamat telah menyelamatkannya tapi selama beberapa bulan ini dia terbaring koma di Rumah Sakit, pihak maskapai yang membayar semua tagihan pengobatannya sebagai wujud kompensasi. Dia juga mengatakan bahwa dia kembali sadar adalah sebuah keajaiban.

Baek In Ho juga berkata kalau dia menelpon nomor lama Ja Eun dan ibu tirinya, namun semuanya tidak tersambung. Putus asa, akhirnya dia menelpon Hong Man Shik yang saat itu berada di China, Hong Man Shik lah yang memberikan pada Baek In Ho nomor baru Ja Eun.

Ja Eun sangat bahagia melihat ayahnya kembali dalam keadaan hidup dan berkata betapa dia sangat merindukan ayahnya. Baek In Ho akhirnya bertanya di mana Ja Eun tinggal selama ini mengingat mereka sudah jatuh miskin dan semua harta mereka, termasuk rumah besar mereka sudah disita bank.

Ja Eun pun menceritakan kalau dia tak sengaja menemukan sebuah surat kontrak mengenai kepemilikan Ojakgyo Farm jadi di sanalah dia tinggal selama ini. Ja Eun dengan gembira menceritakan bahwa keluarga Hwang memperlakukannya dengan baik seperti keluarga mereka sendiri, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja pun sangat menyayanginya seperti putri mereka sendiri.

Ja Eun yang baik hati dan pemaaf, sama sekali tidak mengatakan bahwa dia pernah sangat menderita saat pertama kali datang ke Ojakgyo Farm. Dia tidak menceritakan bagaimana Park Bok Ja mencuri surat kontraknya, menendangnya keluar dengan kejam hingga dia terpaksa harus tidur di dalam tenda, juga tidak mengatakan mengenai bagaimana Nenek dan Hwang Tae Phil sempat membencinya dan memperlakukannya dengan buruk. Ja Eun hanya menceritakan sisi baik keluarga Hwang saja dan tidak mengungkit penderitaan yang dia alami karena ulah mereka. Lihat betapa baiknya Baek Ja Eun ^^ She is really an Angel.


“Jadi itu sebabnya wajahmu terlihat sangat ceria,” ujar Hwang Chang Sik, menggoda Ja Eun dengan tersenyum lembut padanya.

Ja Eun mengajak ayahnya ke Ojakgyo Farm untuk menemui keluarga Hwang dan mengatakan kalau mereka pasti senang melihatnya. Baek In Ho hampir saja setuju dengan putrinya, namun Kim Jae Ha dengan cepat mencegahnya.

“Sebaiknya jangan hari ini, Ja Eun-ssi. Ada baiknya malam ini kau menghabiskan waktu bersama ayahmu. Bukankah kalian baru saja bertemu? Aku yakin ada banyak hal yang ingin Ayahmu ceritakan padamu,” bujuk Kim Jae Ha, terdengar masuk akal.

“Apa?” Ja Eun tampak terkejut saat Kim Jae Ha seolah melarangnya, walaupun alasannya terdengar masuk akal.

“Aku yakin ayahmu pasti lelah setelah perjalanan jauh, kan? Dan beliau baru saja sembuh. Bagaimana jika untuk sementara waktu kalian tinggal di apartment-ku? Perusahaan kami baru saja menyewa sebuah apartment kecil yang rencananya akan digunakan untuk kantor, kami sudah menyewanya namun karena suatu hal, kami tak jadi menggunakannya. Bagaimana jika kau dan ayahmu tinggal di sana untuk sementara waktu?” tawar Kim Jae Ha, menawarkan sebuah tempat tinggal baru.

“Terima kasih atas tawaranmu, tapi rasanya aku tidak pantas menerimanya. Aku sudah sangat berterima kasih karena hari ini kau sudah mengantarku ke bandara. Hari ini kami akan kembali ke Ojakgyo Farm saja,” sahut Ja Eun menolak halus.

“Benar. Kami tak ingin merepotkanmu, anak muda.” Sahut Baek In Ho dengan sungkan.

“Hwang Gyeonghwi-nim yang memberiku ide itu. Dia bilang kau sudah lama tidak bertemu dengan ayahmu dan sangat merindukannya, jadi untuk sementara waktu sebaiknya kau tinggal dengan ayahmu agar bisa saling melepaskan kerinduan kalian,” ujar Kim Jae Ha, meminjam nama Hwang Tae Hee untuk membujuk Ja Eun.

“Tae Hee Ahjussi yang memberikan ide itu? Kapan Anda bicara padanya? Beberapa saat yang lalu ketika aku pergi ke toilet dan mencoba menelponnya, dia bahkan tidak menjawab teleponku,” ujar Ja Eun sedikit ragu.

“Aku baru saja bicara dengannya beberapa waktu yang lalu,” sahut Kim Jae Ha berdalih.
“Siapa itu Inspektur Hwang?” tanya Baek In Ho dengan penasaran seraya menatap putrinya yang tersenyum malu-malu.

“Melihat bagaimana putriku tersenyum malu-malu seperti ini saat namanya disebut, apa jangan-jangan dia adalah pacarmu?” tebak Baek In Ho dengan akurat.


“Ya,” sahut Ja Eun malu-malu. Baek In Ho tertawa senang mendengar putrinya sudah memiliki seorang kekasih, sementara Kim Jae Ha hanya mampu menatap miris.


Di kantor polisi, Tae Hee menenangkan dirinya dengan berada di ruang olahraga, seperti biasa, dia bermain basket untuk melampiaskan frustasi dan kesedihannya. 



Ponselnya berdering berkali-kali namun Tae Hee mengabaikannya. Dia hanya menatap kosong ke arah ponselnya tanpa berniat untuk mengangkatnya. 




Namun karena lama-lama dia kesal mendengar suara yang berisik, Tae Hee pun akhirnya mengangkatnya. Ternyata itu adalah telepon dari Kim Jae Ha yang memintanya untuk datang ke sebuah alamat.



Kim Jae Ha tampak berdiri menunggu Tae Hee dengan gelisah saat Tae Hee tiba di sana, "
Ada sesuatu yang harus kukatakan lebih dulu padamu, itu sebabnya aku menunggumu di sini. Apartment itu adalah milik Perusahaan kami yang rencananya kami sewa untuk dijadikan kantor namun karena suatu hal, kami tak jadi menggunakannya. Karena sudah terlanjur disewa namun tak ada yang menempati, aku meminta Ja Eun-ssi membawa ayahnya tinggal di sini untuk sementara waktu,” jelas Kim Jae Ha.


“Itu karena Ja Eun berkata dia ingin membawa ayahnya ke Ojakgyo Farm. Karena aku tahu situasinya tidak memungkinkan dan Baek In Ho tak seharusnya berada di sana, jadi aku menawarkan ide itu. Ja Eun-ssi merasa sungkan dan menolak ideku pada awalnya, jadi aku terpaksa mengatakan padanya kalau itu adalah ide darimu. Tolong bekerja samalah,” lanjut Kim Jae Ha, menjelaskan situasinya.

“Baiklah,” sahut Tae Hee dengan lirih, tanpa semangat.

“Apa aku terlalu lancang karena mengambil keputusan tanpa bertanya dulu padamu?” tanya Kim Jae Ha sungkan.


“Tidak. Kau sudah membuat keputusan yang tepat. Jika memungkinkan, bisakah Baek In Ho tetap tinggal di sana untuk sementara waktu karena...” ucapan Tae Hee terpotong oleh Kim Jae Ha.

“Ya. Tidak masalah. Mereka bisa menggunakannya untuk sementara waktu. Tapi harus kau sendiri yang mengatakan itu pada Ja Eun-ssi. Karena Ja Eun-ssi hanya mendengarkan ucapanmu,” potong Kim Jae Ha.

Tae Hee mengangguk mengerti, “Aku tahu. Akan kukatakan padanya. Sebelumnya terima kasih,” ujar Tae Hee dengan berat hati. Secara tidak langsung, dia sudah mengusir Ja Eun dan mengirimnya pergi dari hidupnya tanpa dia sadari.


Di dalam apartment, Ja Eun baru saja menawarkan pada ayahnya secangkir teh saat Tae Hee berjalan masuk bersama Kim Jae Ha. Ja Eun tampak gembira saat melihat kekasihnya datang. Ini pertama kalinya mereka bertemu setelah kemarin Tae Hee mencoba menghindarinya seharian.


“Ahjussi,” Ja Eun menyapa Tae Hee dengan hangat dan riang, lalu dia dan Baek In Ho segera berdiri untuk menyambut tamu mereka. 

Ja Eun berkata dengan wajah penuh kegembiraan pada Tae Hee, “Ahjussi, ucapkan salam. Ini adalah ayahku,” ujar Ja Eun dengan senyum ceria dan tatapan mata polosnya.


“Ayah, dia adalah Tae Hee Ahjussi yang tadi kuceritakan padamu,” lanjut Ja Eun, beralih pada ayahnya.

“Hwang Tae Hee imnida,” ujar Tae Hee dengan lirih seraya menundukkan kepalanya sekilas.


“Senang bertemu denganmu. Aku ayah Ja Eun. Apa kau adalah putra ketiga Chang Sik?” ujar Baek In Ho dengan ramah, dia mengulurkan tangannya ke arah Tae Hee mengajak bersalaman. 

Tae Hee tampak ragu sejenak sebelum menyambut uluran tangan itu. Karena ada Ja Eun di sana, dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjaga perasaan gadis yang dicintainya.


“Ya,” sahut Tae Hee singkat. Suaranya terdengar bergetar, dia tampak berusaha keras mengontrol emosinya.

“Aku senang bertemu denganmu dan aku juga sangat berterima kasih. Aku sudah mendengar semuanya dari Ja Eun. Aku berterima kasih padamu, Chang Sik, kakak ipar dan seluruh keluarga Hwang karena telah memperlakukan Ja Eun dengan baik dan hangat seperti keluarga kalian sendiri,” ujar Baek In Ho, berterima kasih dengan tulus dengan senyum di wajahnya.

Baek In Ho kemudian menoleh pada putrinya, “Dia sangat tampan dan berkharisma. Tatapan matanya juga sangat tajam. Tadi aku sangat penasaran pria seperti apa yang berhasil mencuri hati putriku dan sedikit tidak senang mendengar kalau kau sudah punya pacar, tapi setelah melihatnya, sekarang aku setuju,” ujar Baek In Ho, menoleh pada putrinya. Ja Eun tersenyum malu-malu mendengarnya.

Baek In Ho kemudian kembali berkata, “Tapi jika kau mencintainya lebih dari ayah, ayah akan sangat cemburu padanya,” ujarnya bercanda, yang membuat Ja Eun bertambah malu.

“Ayah,” rengek Ja Eun dengan manja, namun Tae Hee hanya terdiam membisu tanpa memberikan komentar apa pun.

Tiba-tiba saja Ja Eun teringat kalau dia lupa belum menelpon Park Bok Ja dan memberitahunya kalau ayahnya sudah pulang, “Ah, aku lupa kalau belum menelpon Ahjumma dan memberitahunya kalau ayah sudah pulang. Ahjumma pasti khawatir jika aku belum pulang,” ujar Ja Eun dengan ekspresi bersalah di wajahnya.

Tae Hee segera mencegahnya, “Aku yang akan memberitahunya. Aku akan pulang sekarang dan memberitahu ibu kalau kau tidur di sini malam ini jadi kau tidak perlu menelpon lagi,” ujar Tae Hee, berusaha agar tidak tampak mencurigakan.

“Baiklah,” sahut Ja Eun menurut.

“Ah, aku sedang membuat teh sekarang karena ayah menyukainya. Walaupun ini sedikit manis, tapi kau harus mencobanya sedikit, Ahjussi. Rasanya sangat enak dan ini sangat bagus untuk tenggorokanmu,” lanjut Ja Eun lalu duduk kembali untuk melanjutkan kegiatannya membuat teh.

“Duduklah sebentar,” ujar Baek In Ho, meminta Tae Hee dan Kim Jae Ha untuk duduk.

“Kenapa? Apa Inspektur Hwang tidak menyukai sesuatu yang manis?” tanya Baek In Ho pada putrinya.

“Iya,” sahut Ja Eun dengan tersenyum.


Tae Hee duduk di hadapan mereka dalam diam dan melihat interaksi manis antara sepasang ayah dan putrinya yang sudah lama tidak saling bertemu tersebut dan rasa sedih dan sesak dalam dada itu kembali menghantamnya. 
Ja Eun mengelap sudut bibir ayahnya dan mengatakan ada sesuatu di sana.


Tae Hee terus menatap Ja Eun dengan penuh kerinduan, seolah-olah jika dia tidak menatapnya sepuas mungkin malam ini, maka dia tidak akan punya kesempatan lain di masa depan untuk melakukannya. Karena Tae Hee sudah berjanji akan mengakhiri hubungannya dengan Ja Eun paling lambat minggu depan. 


Tatapan Tae Hee menunjukkan bahwa sebenarnya dia sangat tidak rela melepaskan Ja Eun dan masih ingin bersamanya, tapi kembalinya Baek In Ho membuat situasinya semakin tidak memungkinkan.

Ja Eun yang menyadari tatapan Tae Hee yang intens padanya segera bertanya dengan tatapan matanya, “Ada apa?”


Tae Hee seketika menggelengkan kepalanya dan tersenyum lembut pada kekasihnya, namun senyumannya mengandung luka. Ja Eun membalas senyuman Tae Hee dengan hangat. Baek In Ho menyesap secangkir teh yang dibuatkan putrinya dan memujinya sangat enak.


Setelah pulang dari apartment tempat Ja Eun tinggal sekarang, Tae Hee menuju ke tepi Sungai Han dan mulai menangis seorang diri. Tae Hee merasa sedih dan menderita. Untuk pertama kalinya dia jatuh cinta dan sekarang dia harus kehilangan cinta dalam hidupnya. Tae Hee merasa tidak berdaya, tidak berdaya karena cinta.


Sepertinya saat ini Tae Hee baru menyadari kalau perasaannya pada Ja Eun bukanlah sebatas "Suka" lagi melainkan "Cinta" namun ironisnya dia justru baru menyadarinya setelah dia akan kehilangannya.  


Tae Hee menangis tersedu di dalam mobilnya, air matanya menetes bagaikan hujan saat mengingat kisah cintanya yang tragis. Melihat cara Tae Hee menangis, dia bagaikan seorang pria yang menyadari bahwa dia akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya, separuh jiwanya, yang tanpa kehadirannya, dia akan merasa hidupnya kosong dan tak ada artinya. 


Walaupun sulit, tapi mau tidak mau, dia harus menerima kenyataan bahwa mereka tak bisa bersama. Kasihan banget melihat Tae Hee menangis seorang diri di tengah malam. Suara tangisannya sangat menyayat hati. Nobody asked him "are you okay?"


Setelah puas menangis seorang diri, Tae Hee pulang ke rumahnya dengan wajah yang kusut, lesu dan tampak kacau berantakan. Dia mengetuk kamar orangtuanya dan berniat memberitahukan mereka tentang keputusannya.


Tae Hee masuk ke dalam kamar Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja setelah mereka menyuruhnya masuk. Tae Hee duduk di hadapan mereka dan mulai memberitahu bahwa Ja Eun tidak bisa pulang malam ini.


“Ja Eun bilang dia tidak bisa pulang malam ini karena harus bekerja lembur di kantornya,” ujar Tae Hee berbohong, dia tampak masih ingin menyembunyikan fakta bahwa Baek In Ho sudah kembali dengan selamat.

“Apakah ada pekerjaan yang mendesak hingga dia harus bekerja lembur sepanjang malam? Bagaimana jika kelelahan lalu sakit?” ujar Park Bok Ja dengan nada khawatir seorang Ibu.


“Aku akan melakukan apa yang ayah inginkan. Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Ja Eun secepat mungkin, paling lambat minggu depan. Jadi ayah juga harus berjanji padaku, apa pun yang terjadi, ayah tidak boleh memberitahu Ja Eun apa yang terjadi sebenarnya,” ujar Tae Hee dengan hati yang hancur berantakan. Dia benar-benar merasa berat saat akan mengatakannya.


“Ayah berjanji. Jika ayah punya niat untuk memberitahu Ja Eun, ayah tidak akan datang mencarimu,” ujar Hwang Chang Sik berjanji.

“Baiklah,” sahut Tae Hee kemudian beranjak berdiri tanpa mengatakan apa-apa lagi dan meninggalkan kamar itu.


Park Bok Ja yang melihat wajah Tae Hee yang kacau seketika menjadi khawatir dan mengikuti Tae Hee ke kamarnya. 
Saat itu, Tae Hee baru saja melepas mantelnya. Setelah mengetuk pintu sejenak, diapun melangkah masuk ke dalamnya. 


“Apa kau sudah makan?” tanya Park Bok Ja dengan khawatir. Dia tahu hati Tae Hee pasti hancur berkeping-keping saat ini, hanya saja Tae Hee tak mau membicarakannya dan kembali menutup dirinya seperti dulu, menyimpan semuanya dalam hati.


“Ya,” sahut Tae Hee dengan lesu, berbohong. Ekspresi wajahnya sudah menunjukkan semua yang dia rasakan dalam hatinya, patah hati, sedih, putus asa, depresi dan ingin mati, semua tergambar di wajahnya. Dia bahkan belum putus dengan Ja Eun, tapi dia sudah merasa tak punya gairah hidup.


“Benarkah? Kau benar-benar sudah makan?” tanya Park Bok Ja tak percaya. Jika melihat ekspresi wajah Tae Hee yang muram dan suntuk, Park Bok Ja sudah menebak bahwa Tae Hee hanya berbohong padanya. Bagaimana mungkin dia bisa makan jika hatinya sedang terluka?


“Aku tak punya selera makan,” sahut Tae Hee dengan lesu, akhirnya mengakui perasaannya. Tae Hee terlihat seolah berusaha menahan air matanya agar tak lagi menetes seperti tadi. Bagaimana bisa dia memiliki selera makan jika untuk bernapas saja dia merasa sulit?


“Baiklah kalau begitu. Tidurlah,” ujar Park Bok Ja dengan miris. Dia tahu tak ada lagi yang bisa dia katakan untuk menghibur Tae Hee yang sedang hancur.  

Park Bok Ja baru saja sampai di depan pintu saat tiba-tiba dia berkata lagi, “Ibu minta maaf. Ibu tidak bisa melindungi kalian berdua,” ujar Park Bok Ja sebelum meninggalkan kamar Tae Hee dengan mata berkaca-kaca. Dia tahu tidak ada yang bisa dia lakukan untuk Tae Hee jadi dia hanya mampu meminta maaf.


Di apartment, Ja Eun masih mengobrol dengan ayahnya. Baek In Ho bertanya pada Ja Eun bagaimana Ja Eun mengetahui soal pertanian itu dan Ja Eun berkata kalau dia tak sengaja menemukan surat kontral yang ayahnya sembunyikan di dalam figura foto.

Ja Eun memiliki banyak pertanyaan untuk ayahnya, salah satunya adalah mengenai kasus penyuapan rektor Universitas yang melibatkannya sebagai tersangka.

“Ayah, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Apa ayah pernah memberikan hadiah jam tangan mewah kepada Profesor Seo?” tanya Ja Eun penasaran.


“Apa maksudnya itu? Siapa itu Professor Seo?” tanya Baek In Ho tak mengerti.

“Itu benar, kan? Ayah tak pernah mengenal siapa itu Professor Seo dan tak pernah memberinya jam tangan, kan?” ujar Ja Eun antusias, dia sejak awal percaya kalau ayahnya hanya difitnah.

“Ayah bertanya padamu, apa maksud pertanyaanmu?” ulang Baek In Ho ingin tahu.


“Ayah, saat Ayah menghilang dalam kecelakaan itu, aku sempat dituduh masuk Universitas melalui jalan belakang dengan menyuap rektor Universitas. Karena polisi menemukan tiga buah jam tangan mewah yang dihadiahkan pada Professor Seo dibeli dengan menggunakan kartu kredit ayah, jadi mereka menyimpulkan bahwa ayah menggunakan tiga buah jam tangan mewah itu untuk menyuap rektor Universitas agar aku bisa diterima masuk di sana,” jelas Ja Eun tampak tak terima.

“MWO (APA)?” Baek In Ho tampak shock saat mendengar cerita dari putrinya.

Kembali ke Ojakgyo Farm, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja tampak membahas keputusan Tae Hee yang membuat mereka lega.

“Syukurlah Tae Hee bisa menerima kenyataan ini dan berpikir dewasa,” ujar Hwang Chang Sik, tanpa menyadari bahwa hati Tae Hee sudah berdarah-darah, masih untung Tae Hee gak lompat ke dalam Sungai Han >_<

“Ya. Itu bagus,” ujar Park Bok Ja lirih, walau wajahnya tampak resah.

“Seiring waktu berlalu, semuanya akan membaik. Waktu bisa menyembuhkan luka itu,” ujar Hwang Chang Sik, mencoba menghibur dirinya sendiri. (Gak ada yang membaik! Tae Hee malah semakin ancur!)


“Ya. Kuharap seperti itu,” sahut Park Bok Ja, namun air mata menetes di pipinya. Dia benar-benar tidak tega melihat betapa hancurnya Tae Hee saat ini.

“Menangislah. Jangan pedulikan aku,” ujar Hwang Chang Sik pada istrinya.

Tapi Park Bok Ja berbohong dan berkata, “Tidak. Aku akan tidur saja,” ujarnya, namun dia tetap menangis dalam kesunyian.

Keesokan paginya, Nenek serta dua bersaudara Hwang yang tidak tahu apa-apa tampak bingung saat melihat Tae Hee dan Ja Eun tak ada di meja makan secara bersamaan.

“Di mana Tae Hee dan Ja Eun?” tanya Nenek dengan bingung.

“Ja Eun tidak pulang semalam karena harus bekerja lembur di kantornya. Sedang Tae Hee pulang sebentar kemarin malam tapi dia harus pergi pagi-pagi sekali,” sahut Park Bok Ja.


“Tunggu! Ini sangat mencurigakan. Mungkin saja mereka bersama semalaman, itu sebabnya mereka sama-sama tidak pulang hari ini,” ujar Tae Phil dengan nada menggoda dan tersenyum nakal dengan pikiran kotornya.

“Maknae, ada Guksu di sini,” tegur Tae Shik namun kemudian dia pun ikut tertawa dan setuju dengan pemikiran Tae Phil.

“Apa mungkin mereka benar-benar bersama semalaman?” tanya Nenek tampak gembira.

“Nenek, sepertinya Nenek akan mendapatkan cicit bahkan sebelum pernikahan diadakan,” ujar Tae Phil dengan pikiran kotornya.

“Itu bagus. Itu bagus,” ujar Nenek, justru tertawa gembira dan mendukung jika hal tersebut terjadi.

“Maknae, jangan bicara seperti itu di depan Guksu!” tegur Tae Shik tapi lagi-lagi diapun tertawa dengan gembira seolah mengharapkan hal itu sungguh terjadi.

Saat semua orang tertawa gembira, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja hanya terdiam membisu karena hanya merekalah yang mengetahui sebenarnya.


Di saat yang bersamaan, Tae Hee duduk di dalam mobilnya tampak sedang menunggu seseorang. Ternyata dia sedang menunggu Baek In Ho dan setelah melihat Baek In Ho keluar dari dalam apartment, Tae Hee segera turun dari mobilnya dan menghampiri pria itu.


“Inspektur Hwang, apa yang membuatmu datang pagi-pagi kemari?” tanya Baek In Ho terkejut saat Tae Hee tiba-tiba memblokade jalannya.

“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ujar Tae Hee dengan dingin.

“Aku?” tanya Baek In Ho dengan bingung.


“Ayahku yang sekarang sebenarnya adalah pamanku dan ayah kandungku adalah Hwang Chang Woon,” ujar Tae Hee, memberitahukan identitasnya.

“Chang Woon? Maksudmu adik Chang Sik?” ujar Baek In Ho.


“Ayahku, aku dan seluruh keluargaku sudah tahu. Jadi apa pun yang terjadi, jangan pernah pergi ke pertanian. Karena aku tidak bisa mengendalikan reaksi ayahku bila dia melihatmu di sana,” ujar Tae Hee, masih dengan dingin dan tatapan tajam.


“Apa maksudnya itu?” tanya Baek In Ho tak mengerti. Dia benar-benar bingung kenapa pacar putrinya tiba-tiba datang menemuinya pagi-pagi seperti ini dan mengatakan sesuatu yang absurd?


“Bahkan bila seluruh dunia tahu, bukankah kau tidak ingin Ja Eun tahu? Aku juga menginginkan hal itu, jadi jangan pergi ke pertanian apa pun yang terjadi. Seperti kau yang berpura-pura tidak bersalah di depanku, berpura-puralah seperti itu selama sisa hidupmu. Bahkan bila aku tak bisa memaafkanmu, tapi bila kau bisa melakukan itu, aku akan menyembunyikan rahasia ini untukmu,” ujar Tae Hee, penuh teka teki dan membingungkan.

“Sebenarnya kau ini bicara apa? Katakan yang jelas agar aku bisa mengerti,” ujar Baek In Ho, benar-benar bingung dan tidak mengerti.


Namun alih-alih menjelaskan lebih rinci apa maksud ucapannya, Tae Hee hanya memberikan Baek In Ho tatapan tajam dan pergi dari tempat itu.


Tak mendapat jawaban dari Tae Hee, Baek In Ho memutuskan untuk pergi menemui Lee Khi Chul di kantor polisi. Lee Khi Chul tampak kaget saat melihat Baek In Ho muncul di depannya.

“Kenapa? Kenapa kau tampak ketakutan seperti melihat hantu?” ujar Baek In Ho lalu mencengkeram kerah Lee Khi Chul.


“Bukankah kau seharusnya sudah tahu kalau aku kembali dalam keadaan hidup? Kau menuduh putriku untuk kasus penyuapan rektor Universitas padahal kau sendirilah yang menyuruhku untuk membeli jam tangan mewah itu menggunakan kartu kreditku karena kau tidak membawa milikmu. Pergi sekarang dan katakan pada semua orang bahwa putriku tidak bersalah dan dia tidak diterima masuk melalui jalan belakang!” sentak Baek In Ho kesal.

“Lepaskan aku! Apa kau dalam posisi bisa memerintahku seperti itu?” seru Lee Khi Chul tak terima.

“Benar. Karena aku tidak memiliki wewenang untuk bicara, itu sebabnya selama 26 tahun ini aku harus selalu hidup dengan melakukan apa pun yang kau inginkan. Tapi sekarang tidak lagi! Karena kebodohanku, putriku dituduh masuk melalui jalan belakang dan nama baiknya dihancurkan!” seru Baek In Ho dengan penuh kemarahan.

Hanya karena Lee Khi Chul seorang kepala polisi, dia selalu menggunakan jabatannya untuk mengendalikan hidup Baek In Ho agar Baek In Ho melakukan apa yang Lee Khi Chul inginkan.

“Aku juga akan menebus kesalahanku 26 tahun yang lalu. Aku akan pergi menemui sang korban dan memohon ampun padanya. Bahkan walaupun sekarang sudah terlambat, aku akan menebus dosa-dosaku sekarang. Jadi jangan pernah berpikir kau bisa mengendalikan aku sekali lagi. Aku akan mengungkapkan kebenaran kalau putriku tak pernah diterima masuk melalui jalan belakang!” lanjut Baek In Ho tegas.

“Bagaimana caranya kau akan mencari si korban dan memohon pengampunan bila dia sudah tidak ada lagi di dunia ini?” ujar Lee Khi Chul dengan entengnya.

“Apa?” Baek In Ho tampak shock mendengarnya.

“Ayahmu memohon padaku, itu sebabnya aku mengatakan padamu kalau dia hanya terluka ringan. Yang terjadi sebenarnya adalah dia sudah meninggal saat di Rumah Sakit,” sahut Lee Khi Chul.

“Apa?” Baek In Ho seolah dihantam ribuan saat mendengarnya.

“Haruskah kukatakan padamu sesuatu yang lebih mengejutkan lagi? Korban itu adalah adik dari teman sekolahmu, Hwang Chang Sik. Korban itu adalah Hwang Chang Woon, adik Hwang Chang Sik. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah putrimu berpacaran dengan putra si korban. Apa kau tahu itu? Kau sulit mempercayainya, hah?” sindir Lee Khi Chul dengan kejam.

“Aku awalnya juga sulit mempercayainya. Jika kau tidak percaya padaku, tanyakan pada putrimu siapa Hwang Tae Hee sebenarnya. Jadi tetap diam dan tutup mulutmu rapat-rapat bila kau tidak ingin putrimu mengetahuinya,” ancam Lee Khi Chul.

Mendadak Baek Ja Eun menjadi titik lemah semua orang dan dijadikan sebagai obyek untuk mengancam mereka. Hwang Chang Sik dan Lee Khi Chul juga mengancam Tae Hee dengan menggunakan nama Ja Eun dan sekarang Lee Khi Chul mengancam Baek In Ho juga menggunakan nama Ja Eun.

“Tapi kau bilang saat itu kalau korbannya hanya terluka ringan. Dan kau juga tidak mengatakan kalau dia adalah adik Chang Sik,” ujar Baek In Ho dengan shock.

“Sudah kubilang kalau ayahmu yang memintaku menyembunyikannya,” sahut Lee Khi Chul berdalih.

“Bohong! Itu pasti bohong! Bagaimana mungkin aku membunuh orang? Aku bahkan tidak ingat apa pun hari ini. Aku bahkan tidak ingat sedang menyetir, jadi bagaimana bisa aku menabrak orang?” seru Baek In Ho shock.

“Itulah sebabnya kau tidak seharusnya banyak minum seperti itu dan mabuk berat. Tidak perlu takut. Insiden itu sudah terjadi 26 tahun yang lalu dan kasusnya sudah dianggap kadaluwarsa. Jadi walaupun kasusnya dibuka kembali, kau tidak akan bisa dipenjara, jadi tutup mulutmu dan diamlah!” ujar Lee Khi Chul.


Setelah mendengar faktanya dari Lee Khi Chul, Baek In Ho berjalan dengan linglung, kalimat Tae Hee terus terngiang-ngiang di kepalanya, “Seperti kau yang berpura-pura tidak bersalah di depanku, berpura-puralah seperti itu selama sisa hidupmu. Bahkan bila aku tak bisa memaafkanmu, tapi bila kau bisa melakukan itu, aku akan menyembunyikan rahasia ini untukmu."



Di tempat lain, Tae Hee sedang menatap gundah flashdisk yang berisi rekaman video Lee Khi Chul yang menyuruh Baek In Ho membelikannya jam tangan mewah, lalu teringat ucapan Lee Khi Chul yang mengancamnya untuk menutup kasus penyuapan itu bila tidak ingin Ja Eun tahu yang sebenarnya tentang ayahnya.


Dong Min masuk ke dalam mobil Tae Hee dan mengeluh bahwa di luar sangatlah dingin. Sepertinya mereka sedang dalam misi pengintaian saat ini.

“Apa sudah ada pergerakan dari mereka?” tanya Dong Min yang baru saja kembali, entah dari mana.


“Tidak,” jawab Tae Hee singkat, wajahnya tampak muram dan kusut dan tak ada gairah hidup di sana. Awan mendung seolah menyelimuti Tae Hee saat ini.

“Kapan tikus sialan ini akan muncul? Hyung, bahkan jika kita harus mengintai, kau harus tetap makan sedikit,” ujar Dong Min karena teringat Tae Hee belum makan apa pun.


“Aku tidak mau makan,” tolak Tae Hee tak bersemangat.

“Hyung, tapi kau tidak makan apa pun sejak pagi. Apa mungkin terjadi sesuatu padamu? Karena ekspresi wajahmu terlihat suntuk dan lesu, kau juga tidak bicara sama sekali,” tanya Dong Min dengan perhatian.


Tae Hee tidak menjawab jadi Dong Min akhirnya mengalah, “Baiklah. Terserah,” ujar Dong Min pasrah.

(Tae Hee kembali ke pengaturan awal, no smile, no talk, no passion, just silent. Dan Tae Hee menjalani kehidupan ini hanya karena dia masih bernapas. Karena Ja Eun-lah, hidup Tae Hee yang hampa menjadi lebih berwarna dan lebih hidup, tapi jika tak ada Ja Eun, apalah arti hidup ini?)


Dong Min kemudian mengalihkan pembicaraan, “Kapan kita akan mengungkap kasus penyuapan rektor universitas ini? Bukankah kau sudah mengumumkan akan mengungkap kasus ini? Kenapa sekarang tidak ada pembicaraan lebih lanjut?” tanya Dong Min ingin tahu, saat melihat Tae Hee kembali menatap Flashdisk di tangannya.

(Maksud Dong Min adalah bukti sudah di tangan kita, lalu kenapa gak diungkap ke publik sekarang juga? Nunggu apalagi sih? Gitu maksudnya ^^)


“Tunggulah sebentar lagi. Ada sedikit masalah jadi aku harus memikirkannya kembali,” sahut Tae Hee dengan lesu.

“Masalah apa? Jika terus seperti ini, bukankah kasus ini jadi tidak akan pernah terselesaikan?” protes Dong Min dengan geregetan.


“Dong Min-ah, aku bilang tunggu ya tunggu!” sentak Tae Hee emosi. Tae Hee sedang suntuk dan sedang dalam mode senggol bacok tapi Dong Min yang tidak tahu situasi justru memancing amarah Tae Hee.


“Tunggu sebentar lagi. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku pasti akan mengungkapkan hal ini,” lanjut Tae Hee dengan nada lebih rendah setelah membentak Dong Min dengan nada tinggi.


“Baiklah,” sahut Dong Min pasrah.

Tak lama kemudian, Tae Hee mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Dia mengangkatnya dengan penuh tanda tanya.


“Hallo. Ya, ini Hwang Tae Hee,” sahut Tae Hee dengan lesu.


“Hwang Tae Hee-ssi, kami dari toko perhiasan. Cincin pasangan yang Anda pesan sudah jadi dan bisa diambil sekarang juga,” ujar seorang wanita dari seberang saluran. 


Tae Hee menjawab “Ya” dengan suara berat dan ekspresi tertekan. Hatinya semakin nyesek dan terluka mengingat cincin itu seharusnya menjadi simbol ikatan mereka, namun kini seolah tak ada artinya mengingat perpisahan mereka akan semakin dekat.



Menit berikutnya, dia sudah berada di toko perhiasan itu untuk mengambil cincin pasangan yang dia pesan sebelumnya. Tae Hee menatap sepasang cincin di dalam kotak mungil itu dengan mata berkaca-kaca. 



Mungkin Tae Hee bermaksud menjadikan ini sebagai cincin lamaran karena ada tulisan “Marry Me” di dalam kotaknya. Namun sekarang, bisakah dia dan Ja Eun memakai cincin itu bersama-sama? Hati Tae Hee semakin remuk redam dan rasanya berdarah-darah saat mengingat bahwa dia harus mengakhiri hubungan mereka dalam waktu satu minggu seperti yang dia janjikan pada Hwang Chang Sik.



Tae Hee mengambil sepasang cincin tersebut dari dalam kotaknya dengan tatapan mata yang memancarkan kesedihan yang mendalam. Tatapan mata yang seolah mengatakan, "Bisakah mereka memakai cincin ini pada akhirnya?"


Setelah dari toko perhiasan, Tae Hee memutuskan untuk kembali ke kantornya. Dia berada di ruang olahraga, tempat yang biasanya dia datangi jika ingin menenangkan dirinya seraya menatap sedih sepasang cincin di dalam kotak. 



Tanpa dia ketahui, Ja Eun datang ke sana. Mungkin setelah mencari di kantornya dan tak menemukan Tae Hee di sana, instingnya membawa Ja Eun ke tempat ini. Ja Eun datang dengan membawakan dua cangkir kopi hangat dan dia melihat Tae Hee duduk di bangku panjang seraya memandangi sebuah kotak cincin.



Ja Eun tampak sangat gembira karena melihat Tae Hee tetap membelikan Couple Ring untuknya walaupun sebelumnya dia pernah berkata untuk melupakan soal cincin itu dan membeli tas untuk Ahjumma saja.



Ja Eun tak ingin membebani Tae Hee bila dia membuat banyak permintaan. Itu sebabnya Ja Eun mengorbankan cincinnya dan memilih tas untuk Park Bok Ja. Siapa yang menyangka kalau Tae Hee sangat pengertian dan tidak keberatan membelikan keduanya?


“Ehem,” Ja Eun sengaja berdehem untuk menarik perhatian Tae Hee.

Mendengar suaranya, Tae Hee spontan menatap ke arahnya dan dengan cepat menyembunyikan cincin itu di balik mantelnya. Ja Eun pura-pura tidak melihatnya dan berjalan menghampiri Tae Hee dengan senyuman di wajahnya.


Tae Hee segera berdiri untuk menyambut kekasihnya tercinta, “Kenapa kau datang kemari? Bukankah kau bilang kau sangat sibuk?” tanya Tae Hee dengan lembut.


“Memang benar. Tapi sekarang sudah selesai,” sahut Ja Eun seraya menyerahkan secangkir kopi pada Tae Hee.

“Aku tahu kau pasti ada di sini,” lanjutnya lagi dengan senyuman hangatnya.


“Gomawo (Terima kasih),” sahut Tae Hee dengan senyuman di wajahnya. Di depan Ja Eun, walaupun hatinya hancur berkeping-keping, Tae Hee masih bisa memaksakan diri untuk tersenyum. Namun di depan orang lain, Tae Hee berubah menjadi mayat hidup yang tak memiliki ekspresi.


Sepasang kekasih itu akhirnya duduk bersama di bangku panjang. Untuk beberapa saat, keduanya hanya terdiam, namun kemudian Tae Hee mulai membuka obrolan.


“Bagaimana jika kita pergi liburan bersama?” ajak Tae Hee. Dia ingin menciptakan kenangan terakhir yang indah bersama Ja Eun sebelum mengucapkan selamat tinggal pada gadisnya.

“Kapan? Ke mana?” tanya Ja Eun dengan antusias.


“Kapan pun kau punya waktu. Bagaimana bila akhir minggu ini? Kita pergi ke mana pun yang kau inginkan,” sahut Tae Hee dengan tersenyum manis, namun senyumannya terlihat sedih.

Tae Hee seolah ingin menciptakan kenangan indah bersama Ja Eun, kenangan yang bisa dia kenang sepanjang hidupnya, sebagai bekal hidup untuknya bila di masa depan tak ada lagi di sisinya. 

Setidaknya Tae Hee bisa bertahan hidup dengan mengingat kenangan indah itu, kenangan di mana mereka pernah saling mencintai dengan mendalam.


“Aku belum memikirkannya. Aku akan memikirkannya setelah ini. Tapi ini adalah liburan sehari, kan? Bukan seperti 1N2D, kan?” tanya Ja Eun.


“Itu terserah padamu,” sahut Tae Hee, ingin memanjakan pacarnya dan memenuhi apa pun keinginannya.

“Aku akan memikirkannya,” sahut Ja Eun yang bingung karena terlalu mendadak.



“Apa ada lagi yang ingin kau lakukan? Seperti yang kau katakan waktu itu saat kau menginginkan Couple Ring. Hal yang ingin kau lakukan bila kau punya pacar,” tanya Tae Hee, ingin mengabulkan semua permintaan Ja Eun.


“Aku punya banyak keinginan. Untuk sekarang ini karena aku akan segera wisuda, aku ingin kau datang sebagai pasanganku dan memberiku karangan bunga sambil memakai jas dan berdandan setampan mungkin. Aku ingin kau menjadi yang paling tampan saat itu, karena bagaimana pun juga aku adalah National Goddess Baek Ja Eun. Kau mengerti? Kau harus tampil menawan,” ujar Ja Eun dengan antusias.

Tae Hee tersenyum lembut dan menjawab, “Baiklah.”


“Aku juga ingin berjalan-jalan ke Taman Hiburan sambil bergandengan tangan dengan mesra seperti layaknya sepasang kekasih. Lalu karena sekarang sedang Musim Dingin, aku ingin pergi ke resort Ski. Kemudian pergi menonton film di bioskop seperti yang dilakukan pasangan kekasih pada umumnya. Saat Musim Semi tiba, aku ingin kita pergi mendaki gunung,” ujar Ja Eun penuh semangat, sementara Tae Hee hanya terdiam menatap kekasihnya dan mendengarnya bercerita.


“Kita juga harus mengambil foto kenangan sebanyak mungkin. Nanti saat kita sudah memiliki banyak uang, aku ingin pergi ke Eropa bersama-sama. Dan jika kita punya lebih banyak uang lagi, aku ingin pergi melihat museum seni di New York,” ujar Ja Eun, berceloteh riang dan menceritakan semua keinginannya jika dia punya pacar.


Tae Hee hanya menatap sendu sang kekasih saat mendengar semua keinginan itu, matanya mulai berkaca-kaca namun dia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Dia tahu dia takkan mampu mengabulkan semua itu saat ini.



“Kenapa banyak sekali? Jika kau punya begitu banyak keinginan, kau seharusnya mengatakannya padaku lebih awal,” ujar Tae Hee sendu, hatinya terasa semakin sesak setiap kali mengingat kalau mereka harus berpisah tak lama lagi. Matanya berkaca-kaca, namun dia masih berusaha keras menahan agar air matanya tidak tertumpah.


“Kita bisa mencicilnya mulai sekarang dan melakukannya sedikit demi sedikit,” sahut Ja Eun dengan polosnya.



Tae Hee hanya mengangguk pelan tanpa kata, menahan rasa sesak di dada. Dia meminum kopinya untuk mengalihkan kegelisahannya.




Ja Eun kemudian melirik kotak cincin yang disembunyikan di balik mantel Tae Hee dan mulai memberikan petunjuk pada Tae Hee, saat menyadari sepertinya Tae Hee masih belum mau menunjukkan cincinnya.



“Aku tidak memakai sarung tangan, itu sebabnya tanganku sangat dingin. Ahjussi, bukankah aku memiliki jari tangan yang lentik?” ujar Ja Eun seraya menunjukkan kelima jarinya pada Tae Hee dan menuding jari manisnya, yang hanya menatap jari Ja Eun dan mengangguk pelan sambil tersenyum lembut.


(Walau hatinya hancur, Tae Hee tetap berusaha tersenyum di depan Ja Eun. Padahal saat bersama orang lain, Tae Hee kembali menjadi muram, suntuk, dan lesu T_T Ja Eun is his source of happiness ^^)


“Aku lupa memakai lotion di sini,” ujar Ja Eun lagi, saat Tae Hee tampak tak mengerti tanda darinya.



Alih-alih menjawab, Tae Hee hanya tersenyum geli seraya meminum kopinya. Dia mengerti maksudnya namun dia berpura-pura tak mengerti.


Akhirnya Ja Eun menyerah dan memilih berterus terang, “Ahjussi, apa kau tidak ingin memberikannya padaku? Aku ingin memakainya secepatnya,” ujar Ja Eun dengan cemberut.


Tae Hee menoleh dan menatapnya penuh tanya. Tatapan mata yang seolah mengatakan, "Apa kau sudah melihat cincinnya?"


“Aku sudah melihatnya. Couple Rings. Cepat pasangkan di jariku,” pinta Ja Eun penuh harap, seolah mengerti arti tatapan Tae Hee padanya.

Tae Hee tampak ragu sejenak, karena tahu bahwa cincin itu tidak akan berada di jari Ja Eun untuk waktu yang lama. Namun dia tidak bisa menolak permintaan Ja Eun dan membuat hatinya terluka.


Merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan cincin itu, dengan berat hati, Tae Hee mengambil kotak cincin yang dia sembunyikan di balik mantelnya. 


Dia membuka kotak cincin itu dan mengambil cincin dengan ukuran yang lebih kecil dari dalam sana. Cincin yang lebih kecil itu adalah milik Ja Eun.



Tae Hee menggenggam tangan Ja Eun, seraya menatap kekasihnya penuh cinta (dan luka) kemudian mengelus tangannya sejenak sebelum akhirnya memasangkan cincin itu di jari Ja Eun dengan perasaan yang hancur lebur.




Ja Eun menatap cincin itu penuh haru, walaupun bentuk cincin itu biasa saja (bagiku karena menurutku bagusan cincinnya di "The Prince Who Turns Into A Frog 2005") namun di mata Ja Eun, cincin itu sangatlah indah karena Tae Hee yang memberikannya. 



Ja Eun terus menatap cincin itu tanpa berkedip dan memujinya penuh haru, “Ini sangat cantik,” ujar Ja Eun dengan tatapan haru. Tae Hee tersenyum (walau tatapan matanya terlihat sedih) melihat kekasihnya menyukai cincinnya.



“Apa kau benar-benar menyukainya?” tanya Tae Hee, menahan kesedihannya.


Ja Eun menatap Tae Hee dan menganggukkan kepalanya berkali-kali. Ja Eun kembali menatap cincin di jarinya dengan gembira, sementara Tae Hee menatap cincin itu dengan penuh kesedihan dalam hatinya. 


Tae Hee mengalihkan pandangannya ke tempat lain, berusaha mengendalikan air matanya agar tidak menetes di hadapannya kekasihnya.




Saat sedang memandangi cincin di jarinya, Ja Eun tiba-tiba teringat kalau dia sudah membuat janji dengan ayahnya untuk bertemu di Ojakgyo Farm.




“Ah, aku terlalu gembira hingga lupa waktu. Aku harus pulang ke pertanian sekarang. Aku hanya mampir untuk bertemu denganmu sebentar sebelum aku kembali ke pertanian. Aku dan ayahku sudah berjanji bertemu di pertanian sore ini,” ujar Ja Eun dengan polosnya, seketika membuat Tae Hee terkesiap.

“Kapan?” tanya Tae Hee dengan panik.


“Jam 4 sore. Sebelum aku berangkat kerja di pagi hari, aku berjanji pada ayah akan bertemu di pertanian setelah aku pulang kerja di sore hari. Dan karena ayahku tak punya ponsel jadi aku tak bisa membatalkannya bahkan bila aku menginginkannya,” ujar Ja Eun menjelaskan, tanpa tahu apa-apa.


“Kalau begitu aku pergi dulu,” pamit Ja Eun pada Tae Hee yang masih shock mendengar kalau Baek In Ho akan datang ke Ojakgyo Farm, bahkan setelah dia memperingatkannya.


Ja Eun baru saja akan pergi saat Tae Hee tiba-tiba menahan pergelangan tangannya, “Kita pergi bersama. Aku akan mengantarmu pulang,” ujar Tae Hee dengan terburu-buru seraya mengambil mantel serta kotak cincinnya dan berjalan mendahului Ja Eun yang hanya menatapnya dengan bingung.

Di saat yang bersamaan, Baek In Ho benar-benar datang ke Ojakgyo Farm. Baek In Ho tampak ragu saat akan masuk ke dalam, itu sebabnya dia hanya berjalan mondar-mandir dengan keraguan di dalam hatinya.


Nenek keluar dari dalam rumah dan bertanya padanya, “Siapa kau?” tanya Nenek dari arah belakang Baek In Ho.

Baek In Ho memutar tubuhnya ke arah Nenek, dan Nenek tampak terkejut saat melihat siapa pria yang sedari tadi berjalan mondar-mandir di halaman rumahnya.

“Apa aku sedang berhalusinasi? Bukankah kau adalah Baek In Ho? Mereka bilang kau sudah mati, tapi ternyata kau kembali dalam keadaan hidup?” tanya Nenek dengan ekspresi terkejut.

“Eomonim (Ibu),” sapa Baek In Ho.
“Ya Tuhan. Kau benar-benar Baek In Ho, kan? Kau bukan hantu, kan?” tanya Nenek sekali lagi, mencoba memastikan penglihatannya.


Baek In Ho segera berlutut di hadapan Nenek dan meminta maaf setulus hati, “Ya, Ibu. Aku In Ho. Bunuh aku, Ibu. Bunuhlah aku. Aku sangat menyesal,” ujar Baek In Ho dengan penuh penyesalan, membuat Nenek semakin bingung.

“Kenapa kau seperti ini? Kenapa aku harus membunuhmu? Apa yang kau bicarakan sebenarnya?” tanya Nenek tak mengerti, tampak bingung dengan sikap aneh Baek In Ho, yang tiba-tiba saja berlutut dan meminta wanita tua itu membunuhnya.

Mendengar keributan di luar, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja keluar dari rumah dan melihat Baek In Ho yang masih berlutut dan meminta Nenek untuk membunuhnya.

“Bunuh aku, Ibu. Aku telah melakukan kejahatan besar yang membuatku pantas untuk mati,” seru Baek In Ho dengan penuh penyesalan.

Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja tampak shock saat melihat Baek In Ho ternyata masih hidup dan muncul di hadapan mereka.


“Bukankah itu CEO Baek In Ho?” tanya Park Bok Ja pada suaminya.

“CEO Baek In Ho sudah kembali tapi aku tidak tahu apa yang dia bicarakan,” seru Nenek, saat mendengar pertanyaan Park Bok Ja, alih-alih Hwang Chang Sik, Nenek-lah yang menjawab pertanyaan Park Bok Ja.

Baek In Ho menoleh dan melihat Hwang Chang Sik berdiri di sana segera memanggil namanya, “Chang Sik-ah,” panggil Baek In Ho dengan penuh penyesalan.


Hwang Chang Sik segera berlari ke arah Baek In Ho dan mencengkeram kerah kemejanya dengan emosi jiwa membara, “Dasar brengsek! Beraninya kau datang kemari?” seru Hwang Chang Sik penuh kemarahan.

Nenek yang melihat putranya bersikap kasar mencoba melerainya, “Chang Sik, kenapa kau seperti ini?” seru Nenek dengan ekspresi bingung di wajahnya.

“Tidak ada apa-apa, Ibu. Ibu masuklah ke dalam rumah,” ujar Hwang Chang Sik pada Ibunya.
“Ibu, ayo kita masuk saja,” ujar Park Bok Ja pada nenek.
“Ikut aku!” sentak Hwang Chang Sik pada Baek In Ho seraya menyeretnya ke suatu tempat.


“Sepertinya ayahnya anak-anak ingin membicarakan sesuatu dengan CEO Baek secara pribadi. Ibu, karena udaranya sangat dingin, lebih baik kita masuk saja,” ajak Park Bok Ja pada ibu mertuanya seraya menarik lengan Nenek dan mengajaknya masuk dengan sedikit memaksa. Nenek tampak menolak dan ingin mengikuti Hwang Chang Sik dan Baek In Ho pergi, namun Park Bok Ja berusaha menyeretnya sekuat tenaga.


Di saat yang bersamaan, Tae Hee dan Ja Eun tiba di sana dan melihat Hwang Chang Sik menyeret Baek In Ho dengan kasar ke arah gudang, Ja Eun yang penasaran spontan berlari mengikuti mereka berdua. Melihat Ja Eun berlari mengikuti ayahnya, Tae Hee pun berlari mengejar Ja Eun.

Di dalam gudang, Hwang Chang Sik akhirnya melampiaskan kemarahan dan dendamnya pada Baek In Ho. Dia mendorong Baek In Ho hingga jatuh ke lantai gudang dan mulai memakinya dengan kasar.

“Bagaimana bisa kau kembali dalam keadaan hidup setelah melakukan kejahatan besar?” seru Hwang Chang Sik dengan penuh emosi dalam suaranya.

“Chang Sik-ah!” panggil Baek In Ho penuh penyesalan.

“Kenapa kau harus kembali? Kau seharusnya mati saja setelah kau melakukan kejahatan yang begitu besar. Kenapa kau harus kembali dalam keadaan hidup?” seru Hwang Chang Sik, menyumpahi Baek In Ho agar segera mati.

“Chang Sik-ah,” Baek In Ho tak sanggup berkata-kata selain memanggil nama sahabatnya dengan penuh penyesalan.

“Apa kau pantas menyebut dirimu manusia? Setelah kau membunuh adikku, Chang Woon, setelah melakukan kejahatan besar, kau masih punya nyali untuk menemuiku berkali-kali dan bahkan menemui ibuku?” seru Hwang Chang Sik lagi.

“Tidak. Aku tidak mengetahuinya. Aku sungguh-sungguh tidak tahu tentang hal itu. Jika saja aku tahu, bagaimana mungkin aku berani menemuimu? Setelah mengetahui aku telah melakukan kejahatan besar, aku sangat takut pada hukuman Tuhan, jadi bagaimana mungkin aku bisa bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan menatap matamu dan mata Ibumu tanpa merasa bersalah? Aku benar-benar tidak mengetahui tentang masalah ini sebelumnya,” ujar Baek In Ho membela dirinya, karena dia memang tidak mengetahui kalau dia difitnah telah membunuh seseorang malam itu.

Hwang Chang Sik yang tidak percaya justru meraih kerah Baek In Ho dan memukulnya dengan keras hingga membuat ayah Ja Eun terjatuh di antara karung yang berisi serbuk gergaji.

“Pergilah ke neraka! Lebih baik kau pergi ke neraka, pembunuh! Pergilah ke neraka! Kau adalah pembunuh yang telah membunuh adikku, Chang Woon. Kau bukan manusia! Bagaimana bisa ada manusia sepertimu?” seru Hwang Chang Sik seraya memukul dan memaki-maki Baek In Ho dengan suara keras.


Saat itulah, Ja Eun tiba di sana dan mendengar semuanya. Di belakangnya, Tae Hee berlari mengikuti kekasihnya. Ja Eun tampak shock saat mendengar ucapan Hwang Chang Sik pada ayahnya. Air mata seketika turun dari sudut matanya.


Blogger Opinion :
Untuk yang menunggu update-an sinopsis "Ojakgyo Brothers", sorry banget kalau update-nya lama. Pertama, karena aku adalah penulis yang sibuk dan menulis blog hanya berdasarkan request semata. Kalau ada yang request, ya aku lanjut nulis, tapi kalau gak ada yang request, ya aku bakal posting seenak jidat.

Karena aku adalah type yang menghargai orang lain, jadi kalau ada orang yang request, pasti langsung kukabulkan dan kuusahakan secepat mungkin untuk update, tidak peduli sesibuk apa pun aku di dunia nyata. Tapi kalau ternyata aku gak mendapatkan timbal balik yang sepadan, uda dibelain update sesuai dengan requestnya tuh orang ditengah kesibukan real life-ku, eh dianya “tinggalkan komentar” aja gak mau. Ya udahlah ya, berarti tuh orang emang gak layak dihargai, nyesel pernah menghargai orang gak tahu diri seperti itu >_<

Tapi jangan khawatir, aku akan tetap menuliskan sinopsisnya hingga tamat karena aku memang suka dramanya, tapi karena uda gak ada yang request lagi, so aku update-nya ya suka-suka aku aja hahaha ^^ Karena aku type penulis “BY REQUEST” alias “Berdasarkan Permintaan”. Kalau gak ada yang request, ya aku bakal posting apa pun yang aku suka.

Kalau gak sabar pengen tahu kelanjutannya, kalian bisa download sendiri dramanya di “Telegram” walau dengan subtitle yang ancur lebur berantakan karena sepertinya si pembuat hanya copas Google Translate mentah-mentah. Atau kalau kalian gak mau baca subtitle yang bikin pusing kepala, kalian bisa baca juga sinopsisnya dalam Bahasa Inggris di blog lain, tinggal search aja di google, jangan males dan mintanya disuapin mulu kayak bayi. Kalau gak bisa bahasa inggris (yang mana itu salah kalian sendiri yang gak mau belajar padahal di jaman sekarang ini, bahasa asing itu sangat penting), ya tunggu aja update-nya di blog ini yang entah kapan baru update lagi next episode-nya karena semuanya tergantung dari mood bloggernya ^_^

Kedua, karena semakin bertambahnya usiaku, aku yang sekarang males banget nonton drama (or baca novel) dengan tema “Kisah sedih di Hari Minggu” yang bikin nyesek dan air mata berderai. Dulu waktu masih muda, aku suka banget dengan drama yang berlinang air mata seperti “Autumn In My Heart, Winter Sonata, Stairway To Heaven, Memories Of Bali, atau Sorry I Love You”, tapi sekarang aku sangat menghindari banget drama-drama sad ending yang bikin mood down seperti itu. Beban hidupku sudah berat, jadi aku gak mau lagi nonton drama yang menambah beban hidupku semata.

Aku nonton drama sekarang MURNI HANYA UNTUK HIBURAN, tapi kalau dramanya bukan menghibur melainkan malah bikin nyesek, sedih, depresi dan kepikiran ya buat apa lagi ditonton, kan? Daripada nonton drama yang bikin mood down, aku yang sekarang lebih pilih drama yang bikin mood naik, happy, dan yang benar-benar menghibur alias ada lucunya. Dan karena "Ojakgyo Brothers" dalam beberapa episode ke depan ini bakal NYESEK MULU dan isinya hanya tangisan dan penderitaannya Tae Hee dan Ja Eun, itu sebabnya update-nya lama. Udah gak ada yang request (yang artinya gak ada yang peduli), plus ceritanya lagi nyesek-nyeseknya pula, Double Kill deh bagiku T_T

Ini aja daripada nyesek nonton "Ojakgyo Brothers" yang lagi masa-masa Angst, aku selingin sama nonton drama Taiwan lawas “The Prince Who Turns Into A Frog 2005” karena tuh drama paket komplit, lucunya ada, dramatisnya ada. Ada sedih dan ada lucunya, ceritanya imbang banget. Jadi karena nyesek nonton "Ojakgyo Brothers" yang lagi sedih-sedihnya, jadilah aku selingin nonton “Pangeran Katak” karena bisa bikin ketawa ngakak. So, kalau lama update-nya, harap maklum ya, karena aku juga nyelingin nonton “The Prince Who Turns Into A Frog 2005” untuk mengembalikan moodku yang down banget gara-gara nonton "Ojakgyo Brothers".

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/730
+ https://gswww.tistory.com/731 + https://gswww.tistory.com/732 + https://gswww.tistory.com/733 )

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengahperebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia.

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!

Native Ads