Highlight for today episode :
Tae Hee begging on his knees and said “To me, not seeing Ja Eun is Hell. I don’t have
the confidence to live without her. I can't bear it. Even thinking that I can’t
see Ja Eun is making me unable to breathe, so how can I live?” Poor Tae Hee T_T
He loves Ja Eun so much. You can tell that Tae Hee is the kind who does not
fall in love easily and when he does, he gives his all and does not let go
easily! And now the angst is officially begin T_T Bring me “The Love Story Of
Romeo and Juliet” vibes. They really go down the route “I-am-falling-for-the-daughter-of-my-father’s-murderer”.
The part where Tae Hee's dad asks him to break up with Ja Eun
was SO HEARTBREAKING!!! Tae Hee went on his knees to beg his dad to let them be
together but the dad kept saying NO! He even hit Tae Hee on the head. Tae Hee
kept crying and begging. And finally Tae Hee stopped begging when the dad
threatened to tell Ja Eun the truth. EP 48 makes me cry till my eyes swollen!
It's really hurt to see Tae Hee as he loves Ja Eun sooo much and so deeply till
he didn't want to hurt her! Tae Hee cries and asks dad to forgive Ja Eun
because he can’t break up with her.
I can’t even imagine how Tae Hee must have felt when he
first found out the truth (I probably would’ve thrown up too). That
conversation he had with the mom yesterday made all of this strike home ever
more. The poor boy finally filled the hole in his heart after living his entire
life never quite feeling complete, and now after a brief moment of bliss, it’s
all falling apart in the worst way imaginable.
As for the innocent Ja Eun who don’t know what is going on
keep on thinking that the father dislike her due to she is orphanage... poor
girl T_T I hope Ja Eun’s father able to settle the matter as soon as possible!
I don’t want to cry anymore T_T
Episode 48 :
Tae Hee yang masih shock saat mengetahui “kebenaran” yang disembunyikan semua orang darinya, segera menghampiri Bong Man Hee dan mencengkeram kerah kemejanya dengan penuh amarah.
Tae Hee yang masih shock saat mengetahui “kebenaran” yang disembunyikan semua orang darinya, segera menghampiri Bong Man Hee dan mencengkeram kerah kemejanya dengan penuh amarah.
“Ya. Dari hasil penyelidikanku, semua bukti mengarah pada Baek In Ho,” sahut Bong Man Hee, membuat Tae Hee seketika mematung dengan air mata menetes pelan di wajah tampannya yang terkejut.
“Lepaskan aku!” lanjut Bong Man Hee, berusaha melepaskan
cengkeraman Tae Hee di kerah kemejanya, namun tidak berhasil, Tae Hee masih
mencengkeramnya dengan kuat.
“Apa kau punya bukti? Bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya Tae Hee, masih menolak untuk percaya.
“Buktinya berupa pecahan kaca spion dan juga pecahan lampu sein dan ada lima tersangka yang melintas di jalan itu di waktu yang berdekatan, namun hanya satu mobil saja yang dibawa masuk ke bengkel untuk diperbaiki dan pemilik mobil itu adalah satu-satunya yang tidak memiliki alibi, ditambah lagi, tak lama setelah itu, dia pergi ke luar negeri. Pemilik mobil itu adalah Baek In Ho,” sahut Bong Man Hee.
“Jangan bicara omong kosong! Lalu bila memang ada bukti seperti itu, kenapa dia tidak ditangkap?” tanya Tae Hee tak percaya.
“Semua bukti-bukti itu tiba-tiba menghilang begitu saja, sehari setelah aku menemukan fakta tentang salah satu mobil tersangka yang masuk ke dalam bengkel tersebut,” sahut Bong Man Hee.
“Apa itu masuk akal? Seorang polisi tiba-tiba saja kehilangan barang buktinya? Kau menerima suap, benarkan? Kau menerima suap dari Lee Khi Chul, itu sebabnya kau menutup mulutmu rapat-rapat?” tuduh Tae Hee, sama sekali tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Bong Man Hee. Tae Hee tidak mau dan tidak akan pernah mempercayainya.
“Hwang Gyeonghwi-nim!” ujar Bong Man Hee, tidak terima bila dia dituduh menerima suap.
“Tutup mulutmu! Tutup mulutmu! Dan jangan katakan apa pun! Aku sama sekali tidak percaya apa yang kau katakan! Tutup mulutmu dan diamlah seperti sebelumnya!” seru Tae Hee, tak bisa mengendalikan emosinya. Dia menghempaskan Bong Man Hee ke tembok lalu pergi begitu saja.
“Apa kau punya bukti? Bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya Tae Hee, masih menolak untuk percaya.
“Buktinya berupa pecahan kaca spion dan juga pecahan lampu sein dan ada lima tersangka yang melintas di jalan itu di waktu yang berdekatan, namun hanya satu mobil saja yang dibawa masuk ke bengkel untuk diperbaiki dan pemilik mobil itu adalah satu-satunya yang tidak memiliki alibi, ditambah lagi, tak lama setelah itu, dia pergi ke luar negeri. Pemilik mobil itu adalah Baek In Ho,” sahut Bong Man Hee.
“Jangan bicara omong kosong! Lalu bila memang ada bukti seperti itu, kenapa dia tidak ditangkap?” tanya Tae Hee tak percaya.
“Semua bukti-bukti itu tiba-tiba menghilang begitu saja, sehari setelah aku menemukan fakta tentang salah satu mobil tersangka yang masuk ke dalam bengkel tersebut,” sahut Bong Man Hee.
“Apa itu masuk akal? Seorang polisi tiba-tiba saja kehilangan barang buktinya? Kau menerima suap, benarkan? Kau menerima suap dari Lee Khi Chul, itu sebabnya kau menutup mulutmu rapat-rapat?” tuduh Tae Hee, sama sekali tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Bong Man Hee. Tae Hee tidak mau dan tidak akan pernah mempercayainya.
“Hwang Gyeonghwi-nim!” ujar Bong Man Hee, tidak terima bila dia dituduh menerima suap.
“Tutup mulutmu! Tutup mulutmu! Dan jangan katakan apa pun! Aku sama sekali tidak percaya apa yang kau katakan! Tutup mulutmu dan diamlah seperti sebelumnya!” seru Tae Hee, tak bisa mengendalikan emosinya. Dia menghempaskan Bong Man Hee ke tembok lalu pergi begitu saja.
Tae Hee yang masih shock tampak seperti seseorang yang kehilangan separuh jiwanya, dia berjalan limbung, seperti orang linglung dan seolah kehilangan semua tenaganya. Baginya itu terlalu berat untuk diterima.
“Kau punya perasaan pada Ja Eun, kan? Kau sangat menyukainya, benarkan?” kenang Tae Hee pada ucapan Lee Khi Chul.
“Aku sangat merindukan ayahku,” kini giliran ucapan Ja Eun yang terngiang dalam kepalanya, bagaimana gadis itu menangis sedih karena merindukan ayahnya dan bagaimana dia memeluk dan menenangkan Ja Eun yang saat itu sedang sedih dan kesepian.
“Aku akan mengatakan padanya bahwa ‘Ayahmu Baek In Ho adalah pelaku yang telah membunuh ayah Inspektur Hwang’. Bisa kau bayangkan bagaimana hancurnya perasaan gadis itu saat mendengar kebenaran tentang ayahnya?” lagi, ancaman jahat Lee Khi Chul terngiang di telinga Tae Hee.
“Dari hasil penyelidikanku, semua bukti mengarah pada Baek
In Ho,” kali ini, ucapan Bong Man Hee yang terngiang di telinganya.
“Pelaku insiden tabrak lari 26 tahun yang lalu di Choon Dong Street adalah Baek In Ho,” lagi, ucapan Lee Khi Chul kembali terngiang.
Tae Hee tiba-tiba merasa tubuhnya sangat lemas, dan tiba-tiba saja dia jatuh tersungkur. Kim Jae Ha segera berlari untuk membantu Tae Hee berdiri, namun Tae Hee yang tidak ingin diganggu oleh siapa pun karena ingin menenangkan diri, justru mencengkeram kerah Kim Jae Ha, menyudutkannya ke dinding dan menyuruhnya agar tidak mengikutinya lagi.
“Pelaku insiden tabrak lari 26 tahun yang lalu di Choon Dong Street adalah Baek In Ho,” lagi, ucapan Lee Khi Chul kembali terngiang.
Tae Hee tiba-tiba merasa tubuhnya sangat lemas, dan tiba-tiba saja dia jatuh tersungkur. Kim Jae Ha segera berlari untuk membantu Tae Hee berdiri, namun Tae Hee yang tidak ingin diganggu oleh siapa pun karena ingin menenangkan diri, justru mencengkeram kerah Kim Jae Ha, menyudutkannya ke dinding dan menyuruhnya agar tidak mengikutinya lagi.
“Apa kau ingin mati? Jangan ikuti aku lagi!” seru Tae Hee
dengan emosi di matanya, sebelum akhirnya kembali berjalan pergi seorang diri.
Tae Hee tampak benar-benar hancur saat mengetahui “fakta” bahwa gadis yang sangat dia cintai, gadis yang ingin dia nikahi, cinta pertama sekaligus cinta terakhir dalam hidupnya adalah putri dari seorang pria yang diduga telah membunuh ayah kandungnya.
Tae Hee tampak benar-benar hancur saat mengetahui “fakta” bahwa gadis yang sangat dia cintai, gadis yang ingin dia nikahi, cinta pertama sekaligus cinta terakhir dalam hidupnya adalah putri dari seorang pria yang diduga telah membunuh ayah kandungnya.
Di Ojakgyo Farm, Nenek memarahi Park Bok Ja karena telah
memarahi dan membentak Ja Eun serta memaksanya untuk menunda pernikahannya.
“Apa masalahmu sebenarnya? Kenapa mengatakan pada seorang gadis yang ingin menikah agar tidak menikah? Kenapa kau berteriak pada seorang gadis yang tidak melakukan kesalahan apa pun? Aku minta kau menjelaskannya padaku kenapa kau berteriak padanya dan memarahinya seperti itu!” sentak Nenek marah. Nenek tampak tidak suka melihat seseorang membentak dan memarahi cucu menantu kesayangannya, apalagi memaksanya untuk membatalkan pernikahan yang sangat dia nantikan.
“Aku sudah mengatakan alasannya, Ibu. Ini karena Tae Shik. Tae Hee tidak seharusnya menikah lebih dulu sebelum kakaknya,” ujar Park Bok Ja, masih menggunakan Tae Shik sebagai tamengnya.
“Tae Shik sudah memberikan ijin pada Tae Hee untuk menikah lebih dulu,” seru Nenek, menganggap alasan Park Bok Ja tak masuk akal.
“Bagaimana itu bisa dianggap sebagai memberi ijin, Ibu? Setelah Ibu berkata seperti itu, bagaimana bisa Tae Shik berkata tidak?” ujar Park Bok Ja, masih menentang keras.
“Aku bahkan tidak bertanya padanya, Tae Shik sendiri yang mengatakan kalau dia sudah memberi Tae Hee ijin untuk menikah lebih dulu,” sahut Nenek mengingatkan apa yang terjadi di meja makan.
“Jangan seperti itu, Ibu karena aku akan sedih. Bagi Ibu, Ibu hanya memiliki Tae Hee seorang. Tapi bagiku, Tae Shik dan Tae Hee memiliki posisi yang sama,” ujar Park Bok Ja.
Dengan kata lain mengatakan kalau Nenek selalu pilih kasih dan lebih menyayangi Tae Hee dibandingkan cucu-cucunya yang lain dan tak bisa bersikap adil pada mereka semua.
“APA? Apa kau ingin mengatakan kalau aku bersikap seperti ini karena aku hanya memikirkan Tae Hee semata?” seru Nenek semakin meradang.
“Ya. Ibu, Ibu selalu pilih kasih pada Tae Hee. Ibu selalu
lebih menyayangi Tae Hee dibandingkan ketiga cucumu yang lain. Ibu selalu
memperlakukan mereka dengan berbeda. Karena Ibu, anak-anak yang kulahirkan
sendiri dari rahimku, bahkan tidak bisa kuberikan kasih sayang lebih karena
takut Ibu berpikir kalau aku pilih kasih pada Tae Hee dan tidak menyayanginya,”
ujar Park Bok Ja, terdengar sedikit menyakitkan, seolah-olah kasih sayangnya
pada Tae Hee tidak tulus sama sekali dan hanya karena takut Ibu mertuanya akan
marah dan mempersulit hidupnya, itu sebabnya dia terpaksa menyayangi Tae Hee
lebih dari ketiga putranya sendiri.
“APA?” Nenek semakin marah dan kecewa setelah mendengar ucapan Park Bok Ja.
“Ahjumma,” panggil Ja Eun, agar tidak mengatakan sesuatu yang membuat Nenek semakin marah.
“Ibu, aku mengatakan hal ini karena kita sudah terlanjur membicarakannya. Sejak kecil, aku selalu memberi Tae Hee nasi yang panas, sementara ketiga putraku, aku didik dan besarkan dengan memakan nasi dingin setiap hari. Bahkan aku selalu membuat Tae Bum dan Maknae memakai baju bekas, tapi aku selalu membelikan Tae Hee baju baru demi untuk menyenangkanmu,” ujar Park Bok Ja, seolah mengungkit semua jasanya untuk Tae Hee saat Tae Hee masih kecil.
“Lalu saat Tae Shik, Tae Bum dan Maknae tidak memiliki perlengkapan sekolah, tapi aku selalu memastikan bahwa semua perlengkapan sekolah Tae Hee selalu tercukupi, bahkan walaupun bukan yang terbaik. Begitulah aku membesarkan Tae Hee selama ini. Jadi untuk kali ini, aku tidak akan mengalah dan membiarkan putra kandungku dilangkahi lebih dulu seperti keinginan Ibu,” lanjut Park Bok Ja lagi.
“Apa masalahmu sebenarnya? Kenapa mengatakan pada seorang gadis yang ingin menikah agar tidak menikah? Kenapa kau berteriak pada seorang gadis yang tidak melakukan kesalahan apa pun? Aku minta kau menjelaskannya padaku kenapa kau berteriak padanya dan memarahinya seperti itu!” sentak Nenek marah. Nenek tampak tidak suka melihat seseorang membentak dan memarahi cucu menantu kesayangannya, apalagi memaksanya untuk membatalkan pernikahan yang sangat dia nantikan.
“Aku sudah mengatakan alasannya, Ibu. Ini karena Tae Shik. Tae Hee tidak seharusnya menikah lebih dulu sebelum kakaknya,” ujar Park Bok Ja, masih menggunakan Tae Shik sebagai tamengnya.
“Tae Shik sudah memberikan ijin pada Tae Hee untuk menikah lebih dulu,” seru Nenek, menganggap alasan Park Bok Ja tak masuk akal.
“Bagaimana itu bisa dianggap sebagai memberi ijin, Ibu? Setelah Ibu berkata seperti itu, bagaimana bisa Tae Shik berkata tidak?” ujar Park Bok Ja, masih menentang keras.
“Aku bahkan tidak bertanya padanya, Tae Shik sendiri yang mengatakan kalau dia sudah memberi Tae Hee ijin untuk menikah lebih dulu,” sahut Nenek mengingatkan apa yang terjadi di meja makan.
“Jangan seperti itu, Ibu karena aku akan sedih. Bagi Ibu, Ibu hanya memiliki Tae Hee seorang. Tapi bagiku, Tae Shik dan Tae Hee memiliki posisi yang sama,” ujar Park Bok Ja.
Dengan kata lain mengatakan kalau Nenek selalu pilih kasih dan lebih menyayangi Tae Hee dibandingkan cucu-cucunya yang lain dan tak bisa bersikap adil pada mereka semua.
“APA? Apa kau ingin mengatakan kalau aku bersikap seperti ini karena aku hanya memikirkan Tae Hee semata?” seru Nenek semakin meradang.
“APA?” Nenek semakin marah dan kecewa setelah mendengar ucapan Park Bok Ja.
“Ahjumma,” panggil Ja Eun, agar tidak mengatakan sesuatu yang membuat Nenek semakin marah.
“Ibu, aku mengatakan hal ini karena kita sudah terlanjur membicarakannya. Sejak kecil, aku selalu memberi Tae Hee nasi yang panas, sementara ketiga putraku, aku didik dan besarkan dengan memakan nasi dingin setiap hari. Bahkan aku selalu membuat Tae Bum dan Maknae memakai baju bekas, tapi aku selalu membelikan Tae Hee baju baru demi untuk menyenangkanmu,” ujar Park Bok Ja, seolah mengungkit semua jasanya untuk Tae Hee saat Tae Hee masih kecil.
“Lalu saat Tae Shik, Tae Bum dan Maknae tidak memiliki perlengkapan sekolah, tapi aku selalu memastikan bahwa semua perlengkapan sekolah Tae Hee selalu tercukupi, bahkan walaupun bukan yang terbaik. Begitulah aku membesarkan Tae Hee selama ini. Jadi untuk kali ini, aku tidak akan mengalah dan membiarkan putra kandungku dilangkahi lebih dulu seperti keinginan Ibu,” lanjut Park Bok Ja lagi.
“Jadi karena kau membesarkan ketiga putramu seperti itu, maka sekarang kau ingin ‘membalas dendam’ pada Tae Hee karena kau tidak tulus melakukan semua itu untuknya? Kau tidak tulus menyayanginya, kau ingin balas jasa?” sindir Nenek meradang.
“Ibu, bagaimana bisa Ibu bicara seperti itu? Saat Ibu memperlakukan aku seperti itu, rasanya aku hampir gila karena merasa terluka,” seru Park Bok Ja, berlagak paling menderita di sini.
(Aku tahu kamu punya alasanmu, Ahjumma. Semuanya sebagai timbal balik agar Hwang Chang Shik merahasiakan masalah insiden tabrak lari itu dari semua orang. Tapi mengungkit semua jasamu untuk Tae Hee saat dia masih kecil, benar-benar terdengar kejam. Siapa yang mau ditinggal mati oleh ayahnya? Siapa yang mau ditinggal nikah lagi oleh ibunya? Tae Hee juga sadar diri kok selama ini, itu sebabnya dia jadi anak yang baik karena merasa berhutang budi pada kalian, khususnya padamu. Itu sebabnya Tae Hee selalu mengurung dirinya dalam ‘cangkang’, karena dia punya beban hidup yang berat sebagai seorang anak angkat. Tapi dengan kamu mengatakan ini, kesannya seolah-olah Tae Hee adalah beban untukmu dan kamu gak Ikhlas membesarkan serta merawat Tae Hee kecil. Tidak bisakah mencari alasan lain, Park Bok Ja? Jika Tae Hee mendengarnya, dia pasti dua kali lebih terluka karena dia merasa tidak ada yang mencintainya dengan tulus, selain Ja Eun >_<)
“Lakukan apa yang kau inginkan! Tidak peduli walaupun ibu mertuamu yang berusia 81 tahun ini hidup atau mati, lakukan apa yang kau inginkan!” sentak Nenek dengan penuh emosi.
“Ibu,” panggil Park Bok Ja.
Suara pertengkaran mereka menarik perhatian semua orang yang berbondong-bondong naik ke atas untuk melihat apa yang terjadi.
“Lalu kapan mereka akan menikah? Setelah aku mati? Oh, jadi kau ingin mereka menikah setelah aku mati? Kalau begitu lakukan apa yang kau inginkan, biarkan mereka menikah setelah aku mati! Ini adalah keinginan terakhir ibu mertuamu yang berusia 81 tahun namun kau tetap tak mau mengabulkannya?” seru Nenek marah.
“Ibu, kenapa Anda seperti ini? Kenapa Ibu membuatku tampak seperti menantu yang buruk dan jahat?” seru Park Bok Ja sambil menangis.
“Diamlah! Tutup mulutmu dan jangan bicara lagi! Bagaimana bisa kau berteriak dan membentak Ibu mertuamu? Apa kau pantas melakukan itu? Kenapa kau seperti itu? Kenapa kau melakukan sesuatu yang tak pernah kau lakukan sebelumnya? Jaga sikapmu, Park Bok Ja!” seru Hwang Chang Sik memarahi istrinya di depan semua orang.
“Ibu, maafkan aku. Jangan marah. Aku juga tidak tahu kenapa dia seperti ini,” ujar Hwang Chang Sik pada ibunya yang masih tampak marah dan jengkel dengan kelakuan menantunya. Semua orang saling memandang dengan bingung dan iba. Khususnya pada Ja Eun yang hanya terdiam shock dan tampak ketakutan seolah dia telah melakukan sesuatu yang salah pada Park Bok Ja.
Setelah keributan itu, Tae Phil dan Tae Shik mengantar Tae Bum dan Soo Yeong pulang. Mereka berempat berbincang selama perjalanan.
“Kenapa ini semua terjadi setelah kita mengambil foto keluarga?” tanya Tae Phil bingung.
“Kenapa Ibu seperti itu? Ibu tak pernah bersikap seperti itu sebelumnya,” ujar Tae Bum, tak kalah bingung dengan sikap ibunya.
“Apa ini semua karena aku? Karena aku belum menikah jadi Ibu merasa bersalah padaku kalau melihat Tae Hee menikah lebih dulu, itu sebabnya Ibu bersikeras melarang mereka menikah. Aku jadi merasa bersalah,” ujar Tae Shik, tampak merasa bersalah pada semua orang. Hanya karena dia belum menikah, semua orang jadi terkena imbasnya sekarang, khususnya Tae Hee dan Ja Eun.
“Aku kasihan pada Ja Eun-ssi. Dia tampak ketakutan seolah dia telah melakukan sesuatu yang salah,” ujar Soo Yeong dengan nada prihatin.
“Ja Eun pasti sangat ketakutan karena ini pertama kalinya dia melihat mereka bertengkar seperti ini di depannya. Seharusnya di saat seperti ini, Tae Hee segera pulang ke rumah,” ujar Tae Bum, ikut merasa cemas.
“Maknae-ah, telepon Tae Hee dan minta dia pulang ke rumah secepatnya. Hanya Tae Hee yang bisa menyelesaikan masalah ini,” lanjut Tae Bum, memberi instruksi pada Tae Phil yang diangguki oleh si bungsu.
Di dalam rumah, Ja Eun turun ke lantai bawah dan menghampiri Park Bok Ja yang berdiri seorang diri di dalam dapur.
“Ahjumma, maafkan aku. Aku akan membicarakan ini dengan Tae Hee Ahjussi dan memintanya untuk menjelaskannya baik-baik kepada Nenek, jadi kami bisa menunda pernikahan kami tanpa membuat Nenek marah seperti tadi,” ujar Ja Eun dengan tulus meminta maaf, walaupun itu bukan salahnya. Tapi karena dia ingin menikah, hingga membuat Ahjumma dan Nenek jadi bersitegang seperti tadi.
“Naiklah ke kamarmu dan tinggalkan aku sendiri. Aku ingin sendirian agar bisa berpikir jernih,” ujar Park Bok Ja, menyuruh Ja Eun naik ke kamarnya agar tak berakhir membentak dan memarahi gadis malang itu tanpa alasan seperti tadi.
Ja Eun mengangguk dan berjalan pergi, namun alih-alih pergi
ke kamarnya, Ja Eun memilih untuk mencari udara segar dengan duduk di halaman
rumah. Ja Eun tampak seperti menunggu Tae Hee kembali.
Namun Tae Hee yang masih shock, tentu tidak mungkin pulang ke rumah di saat suasana hatinya sangat kacau seperti ini. Tae Hee merasa dia belum siap untuk bertemu dengan Ja Eun, apalagi menatap matanya. Tae Hee tahu ini bukan salah Ja Eun, namun tetap saja hatinya masih terasa berat dan sulit untuk menerimanya.
Namun Tae Hee yang masih shock, tentu tidak mungkin pulang ke rumah di saat suasana hatinya sangat kacau seperti ini. Tae Hee merasa dia belum siap untuk bertemu dengan Ja Eun, apalagi menatap matanya. Tae Hee tahu ini bukan salah Ja Eun, namun tetap saja hatinya masih terasa berat dan sulit untuk menerimanya.
Akhirnya Tae Hee memilih kembali ke kantornya dan
menenangkan diri di sana malam ini. Tae Hee duduk di sofa dalam kegelapan
seorang diri saat tiba-tiba dia mendengar suara dering ponselnya. Itu adalah
panggilan telepon dari Ja Eun.
Namun alih-alih mengangkatnya, Tae Hee hanya menggenggam ponselnya dengan erat seolah berusaha menenangkan hatinya yang terluka.
Karena Tae Hee tidak mengangkat panggilan telepon darinya, Ja Eun memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada kekasihnya.
“Ahjussi, apa kau sedang dalam misi pengintaian? Aku tidak tahu kenapa, tapi tiba-tiba saja malam ini aku sangat merindukanmu,” bunyi pesan Ja Eun yang dia kirimkan.
Tae Hee membaca pesan dari gadis yang dia cintai dengan hati yang berat, kalimat “Aku sangat merindukanmu” yang dituliskan oleh Ja Eun, seolah menembus hingga ke jantungnya, rasanya sangat menyakitkan.
Tae Hee membaca pesan itu dengan air mata menetes pelan, kalau boleh jujur, Tae Hee pun sangat merindukan Ja Eun-nya, dia membutuhkan gadis itu untuk menghapus semua kesedihan dan luka dalam hatinya, namun mengetahui bahwa sumber luka dalam hatinya adalah ayah gadis itu, membuat luka di hati Tae Hee semakin besar dan berdarah.
Setelah termenung sesaat, Tae Hee segera bangkit berdiri dan pergi mendatangi Bong Man Hee sekali lagi. Namun sayang, restaurant itu sudah tutup.
Tae Hee tampak menggedor-gedor pintu restaurant itu dengan frustasi dan
putus asa. Tae Hee berharap Bong Man Hee bisa mencabut kembali apa yang sudah
dia ucapkan dan mengatakan bahwa semua itu tidaklah benar.
“Buka pintunya! Buka pintunya, Bong Man Hee!” seru Tae Hee putus asa seraya menggedor-gedor pintu restaurant seperti orang kesetanan.
Keesokan harinya, Park Bok Ja mendatangi Nenek di kamarnya untuk meminta maaf atas sikapnya kemarin malam.
“Maafkan aku, Ibu. Aku salah. Tolong jangan marah lagi padaku. Aku seperti itu karena aku sangat sedih melihat Tae Shik belum menikah jadi aku tidak bisa memenuhi keinginan Ibu. Aku minta maaf,” ujar Park Bok Ja pada ibu mertuanya.
“Apa kau bagaimana perasaan seorang Ibu yang melihat anaknya
mati mendahuluinya? Apa kau tahu kenapa aku sangat tergesa-gesa ingin melihat
Tae Hee menikah? Karena dia adalah satu-satunya anak yang ditinggalkan oleh
putraku yang malang. Aku harus menemukan pasangan yang tepat untuk Tae Hee jadi
jika sewaktu-waktu Tuhan memanggilku, aku akan pergi tanpa penyesalan dan bisa
menemui putraku dengan tenang. Bila aku tidak melakukan itu, bagaimana bisa aku
bertemu dengan putraku yang malang?” ujar Nenek dengan sedih.
“Beberapa hari belakangan ini, aku selalu merasakan firasat
buruk. Itu sebabnya aku ingin mengambil foto pemakaman. Aku mengatakan ini
sebagai seorang wanita tua. Beberapa hari ini aku selalu merasa ada yang aneh
dengan mimpiku. Itulah sebabnya aku ingin melihat Tae Hee menikah secepatnya,”
lanjut Nenek lagi.
“Aku minta maaf, Ibu. Aku salah. Tolong maafkan aku,” ujar Park Bok Ja pasrah.
Akhirnya Nenek dan Park Bok Ja keluar untuk sarapan bersama. Park Bok Ja mengatakan kalau dia telah membuatkan makanan favorit Nenek. Semua orang di meja makan terlihat sedih dan Ja Eun menyadarinya.
“Aku minta maaf, Ibu. Aku salah. Tolong maafkan aku,” ujar Park Bok Ja pasrah.
Akhirnya Nenek dan Park Bok Ja keluar untuk sarapan bersama. Park Bok Ja mengatakan kalau dia telah membuatkan makanan favorit Nenek. Semua orang di meja makan terlihat sedih dan Ja Eun menyadarinya.
Semua orang ada di
rumah kecuali Tae Hee yang masih setia menunggu Bong Man Hee di depan
restaurant miliknya.
Setelah menunggu semalaman, Bong Man Hee akhirnya datang ke restaurant, melihatnya datang, Tae Hee segera mengikutinya masuk ke dalam.
“Bagaimana Anda begitu yakin kalau itu adalah mobil Baek In Ho?” tanya Tae Hee skeptis.
“Mobil itu adalah mobil yang selalu dipakai oleh Baek In Ho. Pada pagi hari sebelum insiden itu terjadi, dia memakai mobil itu,” sahut Bong Man Hee.
“Sudah kukatakan padamu kalau dia tidak punya alibi. Bila
malam itu dia tidak mengemudi, dia pasti punya alibi,” sahut Bong Man Hee.
“Aku bertanya apakah ada saksi mata saat insiden itu terjadi?” tanya Tae Hee, memperjelas pertanyaannya.
“Saksi mata itu hanya mengatakan bahwa seseorang yang menyetir malam itu mengenakan mantel berwarna putih,” sahut Bong Man Hee lagi, menjelaskan semua yang pernah dia selidiki.
“Aku bertanya apakah ada saksi mata saat insiden itu terjadi?” tanya Tae Hee, memperjelas pertanyaannya.
“Saksi mata itu hanya mengatakan bahwa seseorang yang menyetir malam itu mengenakan mantel berwarna putih,” sahut Bong Man Hee lagi, menjelaskan semua yang pernah dia selidiki.
“Aku tidak bisa mengkonfirmasinya. Setelah aku
mengkonfirmasi mengenai mobil yang masuk ke bengkel, aku pergi ke rumah Baek In
Ho untuk menyelidikinya namun dia sudah pergi ke luar negeri,” ujar Bong Man
Hee.
“Kalau begitu bagaimana bisa kau 100% yakin kalau Baek In
Ho-lah pelaku tabrak lari itu? Kau bekerja sama dengan Lee Khi Chul, kan?
Berapa banyak yang kau dapatkan...” tuduh Tae Hee, membuat Bong Man Hee marah dan
memotong kalimatnya dengan tajam.
“Bila kau terus menuduhku menerima suap, lebih baik kau
pergi dari restauranku sekarang juga! Hal itu tak pernah terjadi!” seru Bong
Man Hee, menyangkal tegas.
Bong Man Hee akhirnya mengeluarkan buku catatan yang berisi hasil penyelidikannya tahun itu dan menyerahkannya pada Tae Hee.
“Itu adalah hasil penyelidikanku saat itu, kau pelajarilah
sendiri! Bahkan walaupun semua bukti yang kumiliki hilang, aku masih berusaha
menangkap pelakunya. Apa kau masih berpikir aku menerima suap dari Lee Khi
Chul? Tak lama setelah insiden itu terjadi, Lee Khi Chul adalah orang yang
bersikeras untuk menutup kasus itu. Sejak awal dia ikut dalam investigasi, dia
sudah bersikeras untuk menutup kasus itu, hingga suatu hari, semua bukti yang
sudah kukumpulkan hilang tanpa jejak. Aku masih percaya bahwa Lee Khi Chul-lah
yang mencurinya,” seru Bong Man Hee, masih tidak terima dituduh menerima suap
untuk menuduh orang yang tak bersalah.
“Kalau begitu kenapa Lee Khi Chul bersikeras untuk menutup kasus ini? Kenapa dia bersikeras melakukannya?” tanya Tae Hee ingin tahu.
“Itu karena Lee Khi Chul dan Baek In Ho saling mengenal sejak lama. Mungkin saja dia menerima permintaan khusus dari ayah Baek In Ho untuk membereskan masalah ini. Karena putranya terlibat dalam insiden tabrak lari, tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan itu,” sahut Bong Man Hee.
“Aku tidak percaya apa yang kau katakan. Kau adalah seorang polisi yang bahkan tidak bisa menjaga barang bukti, jadi bagaimana aku bisa mempercayai ucapan seorang polisi yang menuduh orang lain tanpa bukti?” seru Tae Hee dengan dingin, menolak untuk percaya.
“Memang siapa Baek In Ho itu bagimu hingga kau bereaksi seperti ini? Bahkan ayahmu juga bereaksi seperti ini,” tanya Bong Man Hee ingin tahu.
Bong Man Hee akhirnya mengeluarkan buku catatan yang berisi hasil penyelidikannya tahun itu dan menyerahkannya pada Tae Hee.
“Kalau begitu kenapa Lee Khi Chul bersikeras untuk menutup kasus ini? Kenapa dia bersikeras melakukannya?” tanya Tae Hee ingin tahu.
“Itu karena Lee Khi Chul dan Baek In Ho saling mengenal sejak lama. Mungkin saja dia menerima permintaan khusus dari ayah Baek In Ho untuk membereskan masalah ini. Karena putranya terlibat dalam insiden tabrak lari, tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan itu,” sahut Bong Man Hee.
“Aku tidak percaya apa yang kau katakan. Kau adalah seorang polisi yang bahkan tidak bisa menjaga barang bukti, jadi bagaimana aku bisa mempercayai ucapan seorang polisi yang menuduh orang lain tanpa bukti?” seru Tae Hee dengan dingin, menolak untuk percaya.
“Memang siapa Baek In Ho itu bagimu hingga kau bereaksi seperti ini? Bahkan ayahmu juga bereaksi seperti ini,” tanya Bong Man Hee ingin tahu.
Tae Hee seketika tampak shock saat mendengar kalau ayahnya
juga mengetahui masalah ini, “Apa maksudmu dengan ayahku juga bereaksi seperti
ini? Apa maksudnya itu?” tanya Tae Hee dengan keterkejutan di wajahnya.
“Ayahmu lebih dulu mendatangiku dan menanyakan hal ini.
Setelah dia mendengar bahwa Baek In Ho adalah tersangka kuat pelaku tabrak lari
itu, apa kau tahu apa yang dia katakan padaku? Dia memintaku untuk
merahasiakannya darimu, dia memintaku berjanji untuk tidak mengatakan apa-apa
padamu saat kau datang mencariku,” sahut Bong Man Hee.
Tae Hee akhirnya berjalan meninggalkan restaurant Bong Man Hee dengan suasana hati yang kacau. Tiba-tiba saja Tae Hee teringat saat ayahnya membentak Ja Eun ketika Ja Eun mengatakan ingin menikah dan bagaimana ayahnya memarahi Ja Eun dengan menggunakan ibunya sebagai alasan.
Tae Hee
merasa semuanya mulai masuk akal sekarang. Ayahnya yang tiba-tiba saja sering memarahi Ja Eun tanpa
alasan yang jelas, kini dia sudah tahu apa alasan sebenarnya dibalik amarah
itu.
Setelah menemui Bong Man Hee, Tae Hee segera kembali ke kantornya, dan bertepatan saat itu, dia melihat kekasihnya, Ja Eun berjalan ke arah kantornya, membuat Tae Hee mau tak mau bersembunyi di balik tembok untuk menghindari bertemu dengannya.
Setelah menemui Bong Man Hee, Tae Hee segera kembali ke kantornya, dan bertepatan saat itu, dia melihat kekasihnya, Ja Eun berjalan ke arah kantornya, membuat Tae Hee mau tak mau bersembunyi di balik tembok untuk menghindari bertemu dengannya.
Tae Hee merasa belum mampu menemui Ja Eun saat ini, dia takut dia akan menjadi lepas kendali lalu memarahi Ja Eun tanpa alasan seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Tae Hee takut dia tanpa sengaja menyakiti gadis yang dicintainya karena emosinya yang sesaat.
Tae Hee merasa dia harus menenangkan diri lebih dulu, menata hati dan perasaannya lalu kemudian membuat pilihan yang tepat untuk mereka. Jadi menghindar adalah solusi yang aman untuk sementara ini, walaupun dia sendiri pun tidak tahu, berapa lama dia harus menghindari kekasihnya dan membuat gadis malang itu kebingungan seperti ini.
“Hallo,” sahut Tae Hee dengan suara lirih dan berat, seberat beban di hatinya. Tae Hee berusaha menjaga agar suaranya terlihat tetap normal.
“Ahjussi, kenapa aku sulit sekali menghubungimu? Kau tidak mengangkat telepon dariku sejak semalam. Aku sangat khawatir terjadi sesuatu padamu,” ujar Ja Eun di ponselnya, nada suaranya terdengar cemas.
“Bahkan walau kau sangat sibuk, apa kau bahkan tidak punya waktu untuk sekedar mengirim pesan?” protes Ja Eun namun dengan nada lembut dan perhatian.
“Maafkan aku. Apa sesuatu terjadi padamu?” tanya Tae Hee, mendadak khawatir.
“Tidak ada apa-apa. Tapi karena kau tidak pulang ke rumah semalam, tiba-tiba saja aku jadi merindukanmu,” sahut Ja Eun dengan lembut, dia juga mengatakan kebohongan putih agar Tae Hee tidak khawatir. Walaupun faktanya dia dimarahi habis-habisan oleh Park Bok Ja.
“Benar tidak terjadi apa pun padamu, kan?” tanya Tae Hee
lagi, entah kenapa dia merasa ketakutan membayangkan Ja Eun akan dirundung oleh
keluarganya sendiri.
“Ya. Tidak terjadi apa pun padaku. Apa kau masih di luar? Sejujurnya, aku ada di kantor polisi sekarang,” ujar Ja Eun, dengan kata lain meminta untuk bertemu.
“Ya. Aku sedang di luar kantor,” sahut Tae Hee, masih mengatakan kebohongan putih.
“Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi. Tidak peduli sesibuk apa pun dirimu, kau harus ingat makan ya. Aku tidak ingin melihatmu sakit,” ujar Ja Eun dengan nada penuh perhatian, membuat hati Tae Hee semakin berdenyut sakit mendengar perhatian Ja Eun padanya.
“Baik,” sahut Tae Hee singkat.
Ja Eun menutup ponselnya dan berjalan pergi dari sana, sementara Tae Hee mengintip dari balik dinding dan menatap kekasihnya pergi dengan hati yang hancur berantakan.
Di Ojakgyo Farm, Park Bok Ja tampak mengajak suaminya untuk berunding tentang masalah ini.
“Beritahu anak-anak karena kita tak punya cara lain saat ini. Mencoba melindungi anak-anak dan mencoba untuk tidak membuat mereka terluka justru membuat masalah semakin besar. Karena Ibu terus mendesak mereka untuk menikah secepatnya, tidak ada seorangpun yang bisa menghentikannya. Satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini adalah dengan memberitahu anak-anak tentang apa yang terjadi sebenarnya,” ujar Park Bok Ja pasrah.
“Aku juga memikirkan itu sejak awal,” sahut Hwang Chang Sik.
“Tapi siapa yang harus kita beritahu masalah ini? Kau tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Ja Eun. Ini pasti akan sulit untuknya jika dia putus dengan Tae Hee, tapi bila dia mengetahui bahwa ayahnya adalah pelaku tabrak lari yang menewaskan ayah kandung Tae Hee, bagaimana dia bisa akan menjalani hidup ini?” ujar Park Bok Ja, tampak prihatin.
“Aku setuju denganmu. Rasanya akan lebih baik bila kita memberitahu Tae Hee daripada Ja Eun. Setidaknya Tae Hee adalah seorang pria dan dia lebih dewasa dari Ja Eun. Aku akan memberitahu Tae Hee. Aku akan memberitahunya hari ini juga,” putus Hwang Chang Sik.
Dia berpikir karena Tae Hee seorang pria dan lebih dewasa, maka mental Tae Hee akan jauh lebih kuat dari Ja Eun yang seorang gadis dan lebih muda dari Tae Hee. Tapi Hwang Chang Sik tidak menyadari bahwa seorang pria pun bisa merasa tidak berdaya bila menyangkut cinta. Hwang Chang Sik tidak menyadari bahwa Tae Hee hanya terlihat kuat di luar namun sebenarnya rapuh di dalam, dialah yang lebih hancur dan bahkan yang paling hancur dalam putusnya hubungan mereka.
Hwang Chang Sik tidak mengetahui bahwa cinta Tae Hee pada Ja Eun jauh lebih besar dan kuat daripada cinta Ja Eun pada Tae Hee. Bukan berarti Ja Eun tidak mencintai Tae Hee setulus hati, hanya saja bagi Tae Hee, Ja Eun adalah seseorang yang bisa menyembuhkan luka hatinya dan menutup lubang dalam hatinya yang selama ini tidak bisa diisi oleh siapapun, jadi kehilangan Ja Eun sama seperti kehilangan separuh jiwanya. Sayangnya, tak seorangpun di keluarga Hwang memahami betapa pentingnya arti Ja Eun dalam hidup Tae Hee.
“Hari ini juga?” ujar Park Bok Ja tak percaya. ‘Haruskah secepat ini?’ Mungkin itu yang dia maksudkan.
“Ya. Harus hari ini juga. Karena semakin lama kita menutupi masalah ini, aku merasa akan mati setiap saja. Setiap hari aku merasa bagaikan hidup di Neraka,” ujar Hwang Chang Sik, sok paling menderita di seluruh muka bumi.
(Tahu gak sih, Hwang Chang Sik? Bagi Tae Hee, hidup tanpa Ja Eun, itulah Neraka yang sesungguhnya T_T)
“Maafkan aku. Jika saja sejak awal aku setuju denganmu, anak-anak akan putus lebih cepat dan Ibu tidak akan begitu serakah mengenai pernikahan. Tapi sekarang, apa yang harus kita lakukan? Sekarang, bila Ibu mengetahui bahwa anak-anak mengakhiri hubungan mereka, Ibu juga pasti akan sangat shock dan mungkin akan terkena serangan jantung saat mendengarnya. Apa yang harus kita lakukan?” ujar Park Bok Ja, tampak merasa serba salah dalam menghadapi masalah ini.
“Jangan seperti ini. Apa kau pikir aku tidak tahu kenapa kau melakukan itu?” ujar Hwang Chang Sik, mencoba memahami alasan istrinya memilih menyembunyikan masalah ini sebelumnya.
“Apa yang harus kita lakukan? Anak-anak yang malang itu... Mereka sangat kasihan. Mereka saling mencintai. Kenapa ini harus terjadi?” ujar Park Bok Ja sambil menangis terisak.
Di kantor polisi, Tae Hee duduk di mejanya seraya menarik napas dengan berat. Dia merasa beban di pundaknya benar-benar sangat berat.
Dong Min masuk ke dalam ruangan dan bertanya kapan Tae Hee datang?
“Kapan kau datang, Hyung? Kenapa kau tidak mengangkat teleponmu? Karena kasus penyuapan rektor Universitas kembali diangkat, Pimpinan Department (Lee Khi Chul) mencari Tim Leader dan membuat kekacauan,” ujar Dong Min pada Tae Hee. Namun Tae Hee hanya terdiam tanpa kata.
“Oh ya, ayahmu menunggumu di cafe seberang jalan,” lanjut Dong Min menginformasikan kedatangan Hwang Chang Sik pada Tae Hee.
“Ayah menungguku di cafe seberang jalan?” ulang Tae Hee pada
Dong Min, seketika merasakan firasat buruk.
Tanpa perlu berpikir apa maksud kedatangan ayahnya saat ini,
Tae Hee seolah sudah mengetahui tujuannya ayah angkatnya datang kemari
menemuinya.
Tae Hee menyalakan kran air di wastafel dan
mencuci wajahnya lebih dulu untuk menyegarkan pikirannya.
Sebelum pergi menemui ayah angkatnya, Tae Hee lebih dulu pergi ke kamar mandi untuk menyiapkan hati dan mentalnya, karena dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Tae Hee menatap cermin cukup lama, lalu kemudian mengeluarkan gantungan kunci bebek (duck pendant) yang dihadiahkan Ja Eun untuknya dan menggenggamnya dengan erat penuh perasaan, seolah sedang membulatkan tekadnya bahwa apa pun yang terjadi, dia tidak akan melepaskan Ja Eun dan membiarkan gadis itu pergi dari hidupnya.
Tae Hee mengangguk pelan dan duduk di depan ayahnya, “Apa Ayah sudah menunggu lama?” tanya Tae Hee, ikut berbasa-basi.
“Tidak terlalu lama. Apa kau sakit? Kenapa wajahmu pucat dan kacau seperti itu?” tanya Hwang Chang Sik saat melihat wajah Tae Hee yang terlihat kacau dan seolah sedang menanggung beban yang sangat berat.
“Ayah belum memesan apa pun. Apa kita perlu memesan sesuatu?” tanya Tae Hee, mengalihkan pembicaraan seraya menyentuh pipinya.
Akhirnya mereka memesan minuman hangat, namun hingga minuman itu disajikan, tak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan. Setelah sekian lama dalam keheningan, Hwang Chang Sik akhirnya membuka suara.
“Tae Hee-yaa, aku tidak tahu apakah aku harus mengatakan ini padamu. Aku terus berdebat dengan diriku sendiri apakah harus mengatakannya padamu atau tidak. Pada awalnya, aku memutuskan untuk merahasiakan ini padamu hingga akhir, tapi seiring berjalannya waktu, semakin sulit untuk menyembunyikannya. Sepertinya mau tidak mau, aku harus mengatakannya padamu. Karena tidak ada cara lain, jadi aku membulatkan tekadku untuk datang menemuimu. Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu. Yang ingin kukatakan adalah...” ujar Hwang Chang Sik, seraya menyesap minuman hangat di cangkirnya lebih dulu sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Tae Hee-yaa, jangan terlalu terkejut saat mendengarnya, tapi terduga pelaku yang menewaskan ayah kandungmu dalam insiden tabrak lari di Choon Dong street 26 tahun yang lalu adalah...” Hwang Chang Sik berniat mengatakannya pada Tae Hee tapi Tae Hee memotongnya lebih dulu.
“Kau sudah mendengarnya? Bahwa terduga pelaku yang menabrak ayah kandungmu hingga tewas adalah ayah Ja Eun, Baek In Ho? Apa itu sebabnya wajahmu kacau dan pucat seperti ini, karena kau menangis semalaman?” ujar Hwang Chang Sik.
(Udah tahu masih nanya, Pakde? Apa itu masih perlu ditanyakan? Rasa pengen menjambak rambut Hwang Chang Sik >_< Loe gak liat wajah Tae Hee kacau gitu?)
(Bagus, Tae Hee. Jangan semudah itu terhasut dan percaya pada asumsi dan tuduhan mantan polisi sementara tidak ada bukti yang jelas. Menuduh orang tanpa bukti, itu adalah sebuah fitnah keji. Sebagai Intelligent Criminal Investigation, sebaiknya kau menyelidiki sendiri masalah ini. Aku suka ketegasanmu, Tae Hee ^^)
“Tae Hee-yaa, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku memahami perasaanmu. Tentu saja kau sulit untuk mempercayainya. Bila hatiku saja rasanya sesakit ini, hatimu pasti jauh lebih sakit lagi saat mendengarnya. Tapi kupikir kecurigaan Polisi Bong ada benarnya. Pikirkan tentang yang terjadi dengan pertanian. Kenapa tiba-tiba saja ayah Baek In Ho meminjamkan pertanian ini kepada ayah selama sepuluh tahun?” ujar Hwang Chang Sik, masih percaya pada dugaan Bong Man Hee dan berusaha mempengaruhi putranya agar ikut mempercayainya.
“Abeoji...” ujar Tae Hee putus asa.
“Putuslah dengan Ja Eun. Kita tidak punya cara lain. Kalian berdua tidak bisa bersama. Putuskan hubunganmu dengannya,” ujar Hwang Chang Sik dengan tegas.
Tae Hee yang
tahu ada batasan untuk berpacaran, Tae Hee yang tahu bahwa dia tidak bisa
melakukan lebih selama statusnya masih pacar, namun dia tetap rela memilih
melepaskan pernikahan impiannya dan tetap menjalani hubungan pacaran dengan
segala keterbatasan moral dan etika, semuanya demi agar dia tidak berpisah
dengan Ja Eun. Cukup pacaran, tak perlu menikah. Bagi Tae Hee, asal dia tidak
berpisah dengan Ja Eun, pacaran seumur hidup pun tak masalah.
“Tidak. Tidak peduli seberapa hancur hatimu, kau harus putus dengannya!” seru Hwang Chang Sik tanpa perasaan, tidak peduli sama sekali pada perasaan Tae Hee yang hancur berantakan. Berkata seperti itu, sama saja dengan menikam jantung Tae Hee dengan belati. Kenapa tidak sekalian saja kau ambil pisau lalu tancapkan di jantung Tae Hee?
Benar-benar egois! Hwang Chang Sik hanya fokus pada lukanya
sendiri tanpa mau melihat luka orang lain yang jauh lebih besar daripada
lukanya sendiri. Benar-benar egois. Kata-katanya yang kejam ini tanpa sadar
telah sangat melukai hati Tae Hee yang sebenarnya sangat rapuh.
“Apa kau pikir aku dan Ibumu tidak memikirkan hal itu? Kami
berdua berusaha menyembunyikannya. Kami berusaha menyembunyikannya, namun kami
sudah terlanjur mengetahuinya jadi kami tidak sanggup melihat Ja Eun lagi,
apalagi melihatmu berpacaran dengannya. Tidak ada cara lain. Selama beberapa
hari ini kami berdua bagai hidup di Neraka. Jadi putuslah! Putuskan hubunganmu
dengannya!” lanjut Hwang Chang Sik, masih tanpa perasaan.
“Ayah, bagiku, hidup tanpa Ja Eun adalah neraka yang sesungguhnya! Aku tak bisa hidup tanpa Ja Eun di sisiku,” ujar Tae Hee dengan setetes air mata jatuh dari matanya.
“Di dunia ini, tidak ada yang namanya tidak bisa hidup tanpa orang lain. Apa kau tidak ingat apa yang dikatakan Nenekmu? Mengirim putranya pergi meninggalkan dunia ini adalah hal yang sangat berat untuknya. Jadi putuslah! Putuskan hubunganmu dengannya!” seru Hwang Chang Sik, keras kepala dan tidak mau mendengar permohonan putranya yang menyayat hati.
“Abeoji...” rengek Tae Hee sambil menangis pilu.
“Aku dan Ibumu mencoba untuk melindungi kalian berdua, itu sebabnya kami mencoba menyembunyikannya, tapi sekarang tak ada cara lain lagi. Untukmu, untukku, untuk Ibumu, tidak ada cara lain lagi. Rasanya ini seperti di Neraka. Putuslah!” seru Hwang Chang Sik lagi.
Tae Hee menggelengkan kepalanya kuat-kuat dengan air mata
berlinang, “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa putus dengannya. Aku tidak sanggup.
Aku tidak bisa putus dengan Ja Eun. Aku tidak sanggup melakukannya,” ujar Tae
Hee dengan putus asa dan air mata berlinang.
“APA?” seru Hwang Chang Sik, mulai emosi melihat Tae Hee menolak putus dengan Ja Eun apa pun yang terjadi.
“APA?” seru Hwang Chang Sik, mulai emosi melihat Tae Hee menolak putus dengan Ja Eun apa pun yang terjadi.
“Aku tidak bisa melakukannya, ayah. Aku tidak sanggup menanggungnya. Bahkan walau hanya memikirkan kalau aku tak bisa melihat Ja Eun lagi sudah membuatku tak bisa bernapas, jadi bagaimana aku bisa hidup tanpa Ja Eun di sisiku? Bagaimana aku akan terus hidup?” seru Tae Hee dengan putus asa, memohon dengan segenap hati dan jiwanya. Air mata itu masih mengalir deras.
“Jadi apa yang ingin kau lakukan? Kau tetap ingin berpacaran dengan putri dari seseorang yang sudah membunuh ayah kandungmu?” seru Hwang Chang Sik, memperjelas maksud Tae Hee.
Tae Hee tanpa ragu mengangguk mantap dan menjawab dengan tegas, “Ya. Aku tetap ingin berpacaran dengannya. Aku tetap ingin bersamanya. Walaupun orang itu telah memberiku kehidupan, tapi aku bahkan tidak ingat lagi wajahnya,” sahut Tae Hee dengan tegas, memutuskan pilihannya. He choose Ja Eun over his dead father.
(Yang mati uda gak bisa hidup lagi. Itu hanya masa lalu yang menyakitkan. Sedang Ja Eun adalah masa kini dan masa depannya. Untuk apa Tae Hee melepaskan masa kini dan masa depannya hanya demi masa lalunya? Life must go on! No one can go back and make a new beginning, but anyone can start from now and make an happy ending, right?)
“APA?” seru Hwang Chang Sik, tak mampu berkata-kata.
(Bagi Tae Hee, orang itu hanyalah masa lalu, sedang Ja Eun adalah masa depannya ^^ He choose future over past. Salut buat Hwang Tae Hee yang mati-matian berjuang demi cintanya ^^)
“Kau anak brengsek! Dia tetaplah ayah kandungmu! Dia yang telah memberimu kehidupan,” seru Hwang Chang Sik tidak terima seraya bangkit dari kursinya.
“Apa yang telah dia lakukan untukku selama ini? Aku bahkan tidak ingat dia pernah memelukku sekali saja dan sekarang karena dia, aku harus...” ucapan Tae Hee terpotong saat Hwang Chang Sik memukul kepalanya dengan marah.
(Salah siapa? Woi, pakde! Itu juga bukan salah Baek In Ho, kale! Gak usah menuduh tanpa bukti! Baek In Ho juga difitnah! Pencemaran nama baik beneran nih pakde satu! Uda memisahkan sepasang kekasih yang saling mencintai, sekarang sembarangan fitnah orang pula! Menuduh seseorang TANPA BUKTI ADALAH FITNAH KEJI TAK BERDASAR !!!)
“Maafkan aku. Dan kumohon maafkan Ja Eun sekali saja. Kumohon maafkan Ja Eun, ayah.” Tae Hee kembali memohon dengan berlinang air mata.
“TIDAK! TIDAK AKAN PERNAH! Bahkan bila aku mati. Bahkan bila dunia kiamat. Bahkan bila kau dan aku mati, jawabannya tetap Tidak! Karena kau adalah putra Chang Woon, karena aku adalah kakak Chang Woon, karena Chang Woon adalah anak Ibuku dan karena kau adalah cucu ibuku. Dan karena Ja Eun adalah putri Baek In Ho, jadi aku tidak bisa memaafkannya!” seru Hwang Chang Sik dengan tegas, tanpa perasaan. (Woi, sekalipun andaikan Baek In Ho memang bersalah, tapi dosa orangtua tidak seharusnya ditanggung oleh anak-anaknya >_<)
“Abeoji...” Tae Hee masih mencoba memohon dengan berlinang air mata.
“Jika kau tetap keras kepala seperti ini, aku tidak punya pilihan selain mengatakan ini pada Ja Eun. Apa kau ingin Ja Eun mengetahui masalah ini? Kau ingin aku melakukan itu? Perlukah aku bertindak sejauh itu dan mengatakan pada Ja Eun yang sebenarnya? Aku tidak ingin melakukannya karena aku tahu kalau Ja Eun tidak bersalah,” ujar Hwang Chang Sik, mengancam Tae Hee kalau dia akan memberitahu Ja Eun tentang masalah ini.
“Abeoji...” Tae Hee kembali memohon.
“Haruskah aku memberitahunya? Haruskah aku memberitahu Ja Eun tentang ini?” ancam Hwang Chang Sik tanpa perasaan.
Dia tahu Tae Hee akan berusaha melindungi gadis yang dia cintai, dia tahu kalau Ja Eun adalah kelemahan Tae Hee, jadi dia sengaja menggunakan Ja Eun untuk mengancam Tae Hee agar putus dengan Ja Eun.
“Jangan katakan! Ayah tidak bisa melakukan itu! Ayah tidak boleh memberitahu Ja Eun apa pun yang terjadi. Kumohon hentikan!” ujar Tae Hee memohon dengan berlinang air mata.
(Sepertinya keputusan telah dibuat, dia harus meninggalkan Ja Eun agar Ja Eun tidak terluka lebih dalam. Tapi bagaimana pun juga, aku salut dengan cinta dan kesetiaan Tae Hee pada Ja Eun. Dia tetap mencintai Ja Eun dengan tulus dan memilih Ja Eun, tidak peduli walau dia mengetahui bahwa Ja Eun adalah putri dari “terduga” kasus tabrak lari yang menewaskan ayah kandungnya. Cinta Tae Hee pada Ja Eun lebih besar dari apa pun di dunia, hingga no matter what happened, he will loves Ja Eun until the end of time ^^ Mau satu modelan Tae Hee bisa gak? Bagi wanita, lebih baik dicintai dengan mendalam daripada mencintai dengan mendalam ^^)
Di kantornya, Ja Eun sedang sibuk menggambar saat pintu ruangannya diketuk pelan. Ja Eun mempersilahkan siapa pun itu untuk masuk ke dalam. Ternyata itu adalah Park Bok Ja yang datang untuk mengantarkan makan siang untuknya.
“Apa kau masih sibuk bekerja?” tanya Park Bok Ja, kembali ke mode Ibu yang perhatian.
“Ahjumma, kenapa tidak memberitahuku kalau akan datang kemari?” tanya Ja Eun, menoleh dengan terkejut saat mendengar suara Park Bok Ja.
“Apa kau sudah makan siang? Karena Ahjumma datang untuk mengantarkan makan siang untukmu,” ujar Park Bok Ja, menjelaskan maksud kedatangannya.
“Makan siang untukku?” ulang Ja Eun terkejut. Tidak biasanya.
“Siapa lagi yang ada di ruangan ini selain kau? Wah, ternyata ruanganmu sangat besar, lebih besar dari yang aku bayangkan,” ujar Park Bok Ja sambil tersenyum lembut.
“Kau pasti sangat sedih kemarin malam, kan? Ahjumma minta maaf,” lanjut Park Bok Ja, meminta maaf dengan tulus.
“Tidak apa-apa. Sejujurnya aku memang sangat sedih tapi aku tahu kenapa Anda melakukan itu, Ahjumma. Kau melakukannya untuk Chang Sik Ahjussi, kan? Tidak apa-apa. Aku mengerti kenapa Chang Sik Ahjussi seperti itu, lagipula yang Anda katakan memang benar. Chang Sik Ahjussi memang mengatakan itu padaku sebelumnya, tapi aku tidak memikirkannya dan terlalu cepat menyetujui permintaan Nenek. Sejak melihat Nenek mengambil foto pemakaman, lalu mendengar permintaannya, membuatku tidak bisa menolaknya. Itulah alasannya,” sahut Ja Eun dengan pengertian.
“Aku tahu,” ujar Park Bok Ja.
“Chang Sik Ahjussi sangat marah padaku, ya?” tanya Ja Eun dengan tak enak hati.
“Dia tidak marah, dia tahu kalau kau melakukan itu karena Nenek. Sungguh. Dia tidak marah,” sahut Park Bok Ja, seraya tersenyum menenangkan.
“Aku lega mendengarnya karena aku khawatir kalau dia marah padaku,” sahut Ja Eun dengan polosnya.
“Aku akan tuangkan minuman untukmu. Makanlah yang banyak,” ujar Park Bok Ja seraya menata makanannya di atas meja dan menyuruh Ja Eun makan yang banyak.
“Hhhmmm...Ini sangat lezat. Masakan Ahjumma selalu lezat. Ahjumma ikutlah makan juga,” ujar Ja Eun dengan senyuman hangatnya.
Setelah menyelesaikan makan siangnya, Ja Eun mengantar Park Bok Ja ke luar kantor. Ja Eun melambaikan tangannya dengan ceria dan mengatakan kalau dia tidak akan pulang malam jadi Park Bok Ja tak perlu khawatir.
Park Bok Ja tersenyum lembut pada Ja Eun dengan mata berkaca-kaca, sebelum melangkah pergi dari sana dengan hati berat.
Saat Ja Eun kembali ke ruangannya, Kim Jae Ha sudah berada di dalam sana menunggunya.
“Oh, kau datang, Kim PD-nim? Aku sudah menyelesaikan semua tugas yang kau berikan,” sahut Ja Eun ramah.
“Apa tidak terjadi sesuatu padamu?” tanya Kim Jae Ha dengan tatapan khawatir.
“Terjadi apa?” Ja Eun balik bertanya dengan bingung.
“Bukan apa-apa. Aku hanya asal bertanya,” sahut Kim Jae Ha dengan tersenyum canggung.
“Tidak terjadi apa-apa padaku. Terima kasih,” sahut Ja Eun dengan polosnya.
Tak lama kemudian, ponsel Ja Eun berdering, dan tanpa diduga, ternyata itu adalah telepon dari ayahnya, Baek In Ho.
“Appa (ayah)? Benarkah ini, Appa (ayah)?” tanya Ja Eun dengan shock. Tidak menyangka kalau suatu hari nanti, dia bisa mendengar suara ayahnya sekali lagi.
“Ya. Ini ayah, Ja Eun. Ini ayah. Ayah sedang ada di bandara sekarang,” ujar Baek In Ho dengan tersenyum hangat dari Seberang saluran.
Episode ended with Ja Eun's dad calling her >_< Baek In Ho datang di saat yang “tepat”, di saat suasana sedang kacau-kacaunya. Tapi ada bagusnya sih, karena Ja Eun tidak akan sendirian dalam menghadapi masalah ini, setidaknya dia memiliki tempat berlindung dan bersandar yaitu ayah kandungnya.
Blogger Opinion :
How much more I fell in love with Tae Hee’s character for begging his father to let him continue to date Ja Eun. Tae Hee is so loyal to Ja Eun that I know he will be devastated when they break up. I feel so bad for him and I can understand where his father is coming from for them to break up. I just hope that with her dad (Baek In Ho) returning, he can clear up the crimes so that his daughter can have some happiness. So not looking forward to the break up scene which I know will happen soon.
I didn’t think he was being selfish at all by saying I wont be greedy for marriage and will only date Ja Eun. I think that sacrifice is harder for him to make than anyone because we know that all he wants to do is marry her like tomorrow, so for him to offer that is his ultimate self sacrifice. Poor Tae Hee T_T Please don’t cry, Tae Hee-yaa T_T
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/723 + https://gswww.tistory.com/724 + https://gswww.tistory.com/725)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar