Minggu, 21 Oktober 2018

Sinopsis Lengkao : Legend Of The Condor Heroes 2017 (Ep 10-11 Part 1)

Masih seputar serial wuxia favorite penulis yaitu “Legend Of The Condor Heroes 2017”. Bagi yang belum pernah menonton versi remake terbaru ini, dan bagi yang tak sengaja terdampar di blog ini serta membaca postingan ini, berikut ini adalah sedikit potongan adegan dalam serial wuxia favorite penulis : “Legend Of The Condor Heroes 2017”. Kenapa hanya potongan adegan dan bukan rekap sinopsis secara keseluruhan?

Tak lain dan tak bukan, karena penulisnya terlalu malas untuk menulis sinopsis secara utuh per episode serial, dan karena penulis Hanya tertarik dengan kisahnya Guo Jing dan Huang Rong, maka memang sengaja diambil adegannya Guo Jing dan Huang Rong saja. Mengingat alur cerita versi ini 95% sangat mirip dengan novelnya dan karena percaya bahwa penggemar Trilogi Pendekar Rajawali sudah sangat hapal dengan alur ceritanya jadi tak perlu ditulis pun sebenarnya tak masalah.

Nah kalau yang belum tahu gimana? Kalau belum tahu ya tinggal beli dvdnya dan tonton sendiri aja. Potongan adegannya sudah ada di blog ini, jadi bagi yang belum tahu tentu sudah bisa menilai apakah serial ini layak dijadikan koleksi atau tidak, layak ditonton atau tidak, dsb. Dari potongan adegan saja, tentu sudah bisa menilai serial ini sesuai dengan selera kalian atau tidak.

Setelah membahas tentang pertemuan pertama dan kencan pertama Guo Jing dan Huang Rong di atas perahu, kisahpun terus bergulir. Apa yang terjadi pada hubungan Guo Jing dan Huang Rong setelah Guo Jing mengetahui bahwa pengemis bertubuh mungil yang dipanggilnya “Adik laki-laki Huang” adalah seorang wanita? Dan bagaimana reaksi semua orang saat mengetahui bahwa Guo Jing ternyata memiliki hubungan spesial dengan seorang gadis yang ternyata adalah adik seperguruan Mei Chao Feng, seseorang yang merupakan musuh besar keenam guru Guo Jing?






Pelarian yang manis. 
Setelah mengetahui bahwa pengemis kecil bertubuh mungil yang semula dipanggilnya “Adik laki-laki Huang” adalah seorang gadis muda yang cantik, hati Guo Jing langsung terpana. Guo Jing yang sebelumnya tak pernah mengenal apa itu cinta, tanpa disadarinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang gadis muda yang baru dikenalnya.

Guo Jing mulai merasakan sesuatu yang sebelumnya tak pernah dia rasakan pada Hua Cheng (Go Chin) walaupun mereka telah bersama-sama selama sekian tahun lamanya. Walau masih belum mengerti perasaan apakah itu, namun Guo Jing mengetahui dengan jelas bahwa dia tidak ingin berpisah dengan Huang Rong dan ingin bersama dengan gadis itu selamanya.
 

Itu sebabnya dia dengan segera menyetujui permintaan Huang Rong yang meminta ijin Guo Jing agar dapat mengikuti pemuda lugu itu ke manapun.  

“Baiklah! Kita selamanya tidak akan berpisah,” ujar Guo Jing dengan tegas dan mantap, spontan melupakan perjanjian pertunangan antara dia dan Hua Cheng begitu saja.

Yang Guo Jing tahu, dia hanya ingin bersama Huang Rong selamanya, tidak berpisah, tidak peduli apa pun yang terjadi nantinya. Namun sayangnya, hubungan mereka ditentang oleh semua pihak. Apakah Guo Jing dan Huang Rong akan menyerah begitu saja?

***************


Setelah Guo Jing mengetahui bahwa Huang Rong adalah seorang gadis muda yang cantik, hati Guo Jing langsung terpana. Guo Jing yang polos dan lugu jatuh cinta pada pandangan pertama, bukan hanya pada kecantikan Huang Rong namun juga pada kepribadiannya yang ceria.

Bersama Huang Rong, Guo Jing tak pernah merasa bosan. Namun sayangnya, saat mengetahui bahwa Huang Rong adalah adik seperguruan Mei Chao Feng, keenam Guru Guo Jing spontan menentang hubungan mereka.


Apalagi sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, Yang Tie Xin sempat berpesan agar menikahkan Mu Nian Chi (Anak angkatnya) kepada Guo Jing, sebagai ganti janji perjodohan 18 tahun yang lalu. Karena Yang Kang tak mau mengakui ayah kandungnya, akhirnya Yang Tie Xin yang memang menganggap Mu Nian Chi sebagai putri kandungnya sendiri berniat menjadikan Mu Nian Chi sebagai pengganti Yang Kang dan menjodohkannya dengan Guo Jing.

Mendengar keinginan terakhir dari Yang Tie Xin dan menganggap bahwa Mu Nian Chi adalah gadis yang baik dan cocok menjadi pendamping hidup Guo Jing nantinya, tentunya keenam guru Guo Jing dan Pendeta Qiu Chu Ji (Khu Chi Khe), guru Yang Kang (Yo Kang) sangat menyetujui keinginan itu. 


Namun sayangnya, baik Guo Jing maupun Mu Nian Chi telah memiliki tambatan hati mereka masing-masing. Namun karena Mu Nian Chi seorang gadis, dia tentu tak enak untuk menolak. Untunglah Guo Jing dengan berani menolak tegas rencana perjodohan tersebut.


Sebelum Guo Jing memberikan penolakannya, dia telah bertemu dengan Huang Rong terlebih dulu. Guo Jing yang tampak senang dapat bertemu kembali dengan pujaan hatinya (Huang Rong) segera memanggil nama Huang Rong dengan riang.

 

Huang Rong juga awalnya tampak gembira dapat bertemu kembali dengan Jing Gege-nya, tapi saat gadis itu melihat kue di tangan Guo Jing dan Guo Jing dengan jujur menjawab bahwa kue itu untuk Mu Nian Chi, Huang Rong seketika menjadi marah. 

Gadis manja itu lalu melampiaskan kekesalannya pada kuda merah milik Guo Jing. Guo Jing yang lugu dan bodoh tentu tak mengerti kenapa Rong’er-nya mendadak marah.

 

“Rong’er, kau kenapa? Siapa yang membuatmu marah?” tanya Guo Jing dengan polosnya saat melihat kekasih kecilnya mendadak ngambek. 
“Kau! Kau yang membuatku marah. Kau sama dengan kuda ini, tidak mengerti apa-apa!” ujar Huang Rong mengomel. 
 

“Aku kenapa?” Guo Jing bertanya dengan polosnya. 
“Kau pergi pagi-pagi sekali untuk membelikan kue untuk Nona Mu. Apa kau menyukainya?” Huang Rong dengan terang-terang menunjukkan kecemburuannya. 


“Rong’er, aku tidak....Bukan seperti itu.” Guo Jing mulai menyangkal, tapi dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. 

“Kau masih berani berbohong? Aku mendengarnya sendiri dengan jelas. Keenam gurumu dan Pendeta Busuk itu ingin kau menikahi Nona Mu.” Huang Rong masih mengomel dengan kesal. 

“Perjodohan itu adalah keinginan terakhir Paman Yang. Bukan aku yang menginginkannya.” Guo Jing membela diri. 

“Kalau begitu kau menikah saja dengannya.” Huang Rong berkata penuh kecemburuan. 


Melihat kekasih kecilnya marah, Guo Jing segera menggenggam sebelah tangan Huang Rong (karena sebelah tangannya yang lain menggenggam kue) dan berkata dengan tegas dan mantap, “Aku tidak akan menikahi Nona Mu.”

Mendengar ucapan Guo Jing yang terdengar tulus dan serius, hati Huang Rong mulai tersentuh. 
“Benarkah? Kenapa?” tanyanya dengan lebih lembut. 


Guo Jing mengangguk mantap dan menatap mata Huang Rong seraya berkata malu-malu, “Aku tidak mau menikahi Nona Mu, karena orang yang kusukai adalah...” belum sempat Guo Jing mengutarakan perasaannya, guru ketujuh Guo Jing – Han Xiao Ying tiba-tiba muncul dan memanggilnya.


Guo Jing berjalan ke arah guru ketujuhnya yang datang untuk menyampaikan pesan bahwa yang lain sudah menunggu Guo Jing untuk menyampaikan sesuatu padanya. Guo Jing yang memang patuh dan baik berjanji untuk segera ke sana dan memenuhi panggilan keenam gurunya, tak lupa, Guo Jingpun menyerahkan kue yang dibelinya tadi kepada guru ketujuhnya.

Setelah guru ketujuhnya pergi, Guo Jing kembali menghampiri kekasih kecilnya dan berjanji padanya akan segera menemuinya di sebuah rumah makan yang tak jauh dari sana. 

“Jing Gege, tadi kata-katamu belum selesai. Kau belum mengatakan kenapa kau tidak mau menikahi Nona Mu,” Huang Rong mencoba memancing Guo Jing.


Guo Jing meraih kedua tangan gadis itu dan menggenggamnya erat seraya berkata lembut, “Rong’er, aku akan mengatakan padamu nanti. Sekarang aku akan lihat dulu apa yang diinginkan guruku. Setelah semuanya selesai, aku akan kembali mencarimu,” Guo Jing berjanji akan kembali menemui Huang Rong setelah semuanya selesai. Akhirnya, Huang Rong pun membiarkan Guo Jing pergi setelah pemuda itu berjanji padanya.


Di dalam penginapan itu, sudah menunggu keenam guru Guo Jing, ketiga Pendeta Chuan Chen : Chiu Chu Ji (Khu Chi Khe), Ma Yu dan Wang Chu Yi serta Mu Nian Chi untuk melaksanakan pesan terakhir Yang Tie Xin. Baik keenam Guru Guo Jing dan ketiga Pendeta Chuan Chen tanpa basa-basi menyuruh Guo Jing untuk menikahi Nona Mu dan hidup damai dengannya di desa Niu.

Spontan, Guo Jing yang sudah bisa menebak hal ini menolak dengan tegas. 
“Aku tak mau menikah dengan Nona Mu.” Ujar Guo Jing, menolak dengan tegas. 

Awalnya, keenam guru Guo Jing menyangka bahwa penolakan Guo Jing dikarenakan dia sudah diangkat menjadi menantu Pisau Emas Mongol. 

Guru kedua Guo Jing, Shu Chong, si pelajar bertangan cepat pun sempat membela Guo Jing dengan mengatakan bahwa tak masalah jika seorang pria memiliki lebih dari 1 istri dan meminta Guo Jing untuk menikahi Nona Mu dan Hua Cheng.

 

Tapi tentu saja bukan itu sebabnya. Guo Jing pun dengan tegas menolak perjodohan dengan Hua Cheng. 
“Aku juga tak mau menikah dengan Hua Cheng.” Jawabnya tegas dan mantap, membuat bingung semua gurunya. 
“Apa kau punya pilihan lain?” tanya guru ketujuh yang lebih sensitif. Guo Jing dengan tegas mengangguk mantap.

“Siapa?” Guru pertama Guo Jing, Khe Chen Er si kelelawar terbang meminta Guo Jing menyebutkan nama gadis pilihan hatinya.
“Rong’er.” Jawab Guo Jing, masih dengan kata-kata yang mantap dan tegas.

 

Karena merasa tidak bisa mengubah hati dan pendirian Guo Jing, keenam guru Guo Jing pun memutuskan untuk mengurung Guo Jing dengan harapan Guo Jing bisa mengintropeksi dirinya. Tapi Guo Jing yang sudah terlanjur jatuh hati pada Huang Rong, tetap dengan keras kepala tak mau mengubah keputusannya. Guo Jing hanya ingin menikahi Huang Rong, bukan gadis lain.

“Kau masih ingin bertemu Iblis Kecil itu lagi?” ujar guru pertama Guo Jing, dengan tegas melarang. 
“Rong’er bukan Iblis Kecil. Aku tak bisa hidup tanpa Rong’er. Rong’er juga tak bisa hidup tanpaku.” Ujar Guo Jing dengan tegas.

Akhirnya karena Guo Jing tetap keras kepala, merekapun tak mau melepaskan Guo Jing dan tetap mengurungnya. Untunglah Huang Rong yang cerdik, berusaha melakukan segala cara untuk membebaskan sang pujaan hati. 

Setelah merancang sebuah tipu muslihat kecil dan menakut-nakuti keenam guru Guo Jing, akhirnya semua guru Guo Jing memutuskan untuk melepaskan pemuda lugu itu.

“Guru ketujuh, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Guo Jing dengan bingung saat melihat guru ketujuhnya datang untuk melepaskannya. 

“Guru-guru memutuskan tidak akan mengurungmu lagi, Kau mau pergi atau tetap tinggal, kau yang putuskan sendiri.” Setelah mengatakan hal itu, Guo Jing mendengar suara kuda merahnya dan tak lama kemudian Huang Rong muncul dan berlari menghampirinya.


"Jing Gege." Huang Rong berlari menghampiri Kakak Jing-nya dengan gembira. 

Guo Jing pun spontan menoleh ke arah suara yang memanggilnya, dan langsung menarik kekasih kecilnya ke dalam pelukannya dan memeluknya dengan penuh kerinduan seraya memanggil namanya dengan lembut, “Rong’er” membuat guru ketujuhnya menjadi malu sendiri saat menyaksikan kemesraan sang murid dengan kekasih kecilnya tersebut. 

Tak perlu banyak bicara, guru ketujuh Guo Jing - Han Xiao Ying sudah dapat melihat bahwa mereka berdua saling mencintai.


Jika mereka tidak memiliki hubungan yang sangat dekat, seperti misalnya sepasang kekasih, bagaimana mungkin Guo Jing dapat seenaknya memeluk seorang gadis dengan erat seperti itu, jika gadis itu bukanlah seseorang yang spesial dalam hatinya? 

Begitupun dengan Huang Rong, jika gadis itu tidak memiliki perasaan yang dalam pada Guo Jing, bagaimana mungkin gadis itu membiarkan seorang pria memeluknya erat seperti itu? Jika bukan seseorang yang spesial, seorang gadis takkan membiarkan dirinya dipeluk sembarang pria.
 

“Pergilah! Cepat! Cepat pergi sebelum para guru berubah pikiran!” ujar guru ketujuh, menyuruh muridnya lekas pergi sebelum terlambat. Huang Rong pun segera menggenggam tangan Guo Jing dan mengajaknya melarikan diri di tengah malam yang gelap.

 

Sejak saat itu, dimulailah petualangan Guo Jing dan Huang Rong di dunia persilatan. Petualangan yang dimulai dari pelarian yang manis oleh sepasang kekasih yang saling mencintai namun ditentang oleh semua orang. 

Setelah mengetahui bahwa semua hal menakutkan tersebut adalah tipu muslihat Huang Rong semata, kelima guru Guo Jing tampak sangat marah, khususnya guru pertamanya. Namun guru ketujuh tetap berusaha membela sang murid kesayangannya. 

“Nona Huang berjuang begini keras untuk bersama Jing’er, membuktikan bahwa dia sangat tulus pada Jing’er. Jing’er bisa bersama gadis seperti ini, bukankah sebuah keberuntungan? Perasaan yang paling indah di dunia ini adalah cinta. Tidak peduli nanti mereka akan menemui masalah apa pun,  walaupun mereka tidak bisa bersama hingga tua, tapi setidaknya mereka pernah benar-benar saling mencintai.” Ujar guru ketujuh dengan pengertian.


Setelah melarikan diri, Guo Jing dan Huang Rong berhenti sejenak di tengah hutan. Mereka berdua duduk bersebelahan seraya memandang langit malam yang bertabur bintang-bintang yang bersinar dengan sangat indah. 

“Jing Gege, lihatlah bintang-bintang itu. Jing Gege, apa kau pernah melihat bintang sebesar itu sebelumnya?” ujar Huang Rong dengan riang seraya menunjuk bintang di langit dan menyandarkan tubuhnya pada sang kekasih.

“Di Mongol kami, bintangnya lebih besar dari ini.” jawab Guo Jing lembut seraya menatap ke langit yang sama. 

“Benarkah? Aku juga ingin pergi melihatnya.” Ujar Huang Rong dengan penasaran. 
“Baiklah. Aku pasti akan membawamu pergi ke sana.” Guo Jing berjanji kelak akan mengajak kekasih kecilnya mengunjungi tempat di mana dia dibesarkan.


Huang Rong mengangguk senang lalu perlahan-lahan tertidur seraya menyandarkan kepalanya di bahu Guo Jing. 

Guo Jing yang menyadari bahwa kekasih kecilnya telah tertidur, diam-diam mencuri pandang saat kekasih kecilnya tertidur di bahunya, “Rong’er setelah menolongku keluar, dia pasti sangat lelah. Biarkan dia tidur dulu, tidak boleh membangunkannya.”


Guo Jing perlahan mengangkat sebelah tangannya, dia tampak ingin memeluk kekasih kecilnya dari belakang, namun dia tampak malu-malu dan akhirnya dia hanya menggantung tangannya di udara, tak jadi memeluknya.


Namun tatapan matanya beralih ke mata Huang Rong yang tertidur pulas dan diam-diam Guo Jing tertarik dengan bulu mata kekasih kecilnya. 

“Bulu mata Rong’er sangat banyak. Coba aku hitung, apa sebanyak bintang-bintang di angkasa?” ujarnya dalam hati kemudian tertawa sendiri dengan bodohnya. 


Keesokan paginya, Huang Rong tampak gembira saat memancing ikan di sungai. Namun Guo Jing justru terlihat murung. 

Dia merasa bersalah karena pergi tanpa pamit dan membuat para gurunya marah. Huang Rong yang menyadari jika Guo Jing terlihat murung segera menghampirinya.


“Rong’er, apa kita harus seperti ini?” tanya Guo Jing ragu-ragu, dia benar-benar tampak merasa bersalah. 
“Apa maksudmu?” Huang Rong balik bertanya dengan bingung. 


“Bagaimanapun kita sudah membohongi guru. Mereka pasti sangat marah padaku. Bagaimana jika kita kembali?” usul Guo Jing dengan polosnya. Usul yang tentu saja tidak disukai oleh Huang Rong. 

“Hah?? Kembali? Aku baru menolongmu keluar dan kau sudah ingin kembali?” Huang Rong cemberut mendengar usul Guo Jing yang baginya tidak masuk akal.


“Aku ingin menggenggam tanganmu dan mengatakan langsung pada semua orang, Rong’er bukan Iblis Kecil. Dia adalah...Dia adalah gadis yang baik. Sangat sangat baik. Sebenarnya saat itu ucapanku belum selesai. Aku tidak bisa menikah dengan Nona Mu karena...karena orang yang kusukai adalah kau.” Guo Jing membuat pengakuan tulus bahwa gadis yang dia sukai adalah Huang Rong. Pengakuan cinta Guo Jing membuat hati Huang Rong tersentuh dan sedikit melunak.
 

“Tapi, gurumu pasti sangat marah. Mereka pasti sangat membenciku. Kalau pulang sekarang, mereka pasti akan memisahkan kita.” Huang Rong takut jika seandainya keenam guru Guo Jing mengurungnya lagi seperti kemarin malam.

“Aku akan bicara baik-baik kepada mereka. Mengatakan semua kebaikanmu.” Guo Jing tetap menganggap bahwa dengan bicara saja sudah cukup.

 

“Sifat guru besarmu apa kau tidak tahu? Kalau mereka mengurungmu lagi bagaimana? Saat itu, kita tidak akan bisa bertemu lagi. Kalau kau tidak peduli, lebih baik aku pergi saja.” Jawab Huang Rong kesal. Kadang Guo Jing yang terlalu baik hati dan menganggap semua orang sebaik dirinya membuatnya merasa kesal.


Huang Rong segera berbalik dan berniat pergi, namun Guo Jing yang melihat kekasih kecilnya berbalik dan pergi, spontan berlari mengejar gadis itu dan berusaha menghalangi kepergiannya. Guo Jing tak ingin berpisah dengan Huang Rong apa pun yang terjadi. 


“Mana mungkin aku tidak peduli padamu? Aku tidak ingin membuat guruku marah, tapi aku lebih tidak ingin berpisah denganmu.” Ujar Guo Jing dengan tulus seraya meraih tangan Huang Rong dan menggenggam tangannya erat.

“Benarkah? Sebenarnya aku juga tidak ingin berpisah denganmu.” Jawab Huang Rong, kembali melunak. 


Akhirnya setelah berbicara dari hati ke hati, sepasang kekasih itu memutuskan untuk pergi mencari pembunuh ayah Guo Jing terlebih dulu, kemudian baru mencari keenam guru Guo Jing untuk meminta maaf dan meminta restu dengan baik-baik pula. 

Merasa hal itu masuk akal, Guo Jing pun menganggukkan kepalanya setuju dan pergi bersama Huang Rong tanpa keraguan.


Dalam perjalanan mencari pembunuh ayah Guo Jing, sepasang kekasih kecil itu berhenti untuk istirahat sejenak di tepi sungai. Mereka dengan riang gembira memandikan si kuda merah. 


Guo Jing tak henti-hentinya menatap wajah kekasihnya yang cantik, dia merasa masih tidak percaya jika seorang gadis secantik Huang Rong telah memilihnya menjadi kekasih hati. 

 

Dia lebih tidak percaya karena dirinya yang bodoh ini ternyata sangat beruntung karena memiliki seorang kekasih yang tak hanya pintar namun juga sangat cantik. (Note : Huang Rong digambarkan sangat cantik ya, pemirsa)


Ditatap mesra oleh kekasihnya terus-menerus tentu membuat Huang Rong menjadi malu. Tak hanya Huang Rong, gadis manapun tentu akan menjadi malu jika ditatap terus seperti itu oleh kekasih mereka, kan? Huang Rong pun balik menggoda Guo Jing.


“Jing Gege, lihat ke sana!” ujar Huang Rong iseng. 
Guo Jing yang polos spontan melihat ke arah yang ditunjuk oleh kekasih kecilnya, tapi dia melihat tidak ada apa-apa. 


“Ada apa?” tanyanya dengan polos. 
Namun saat dia kembali menoleh ke arah Huang Rong, gadis itu segera menyiramnya dengan air sungai lalu tertawa dengan gembira.   



Guo Jing akhirnya mengerti bahwa Huang Rong ingin bermain air dengannya. Dalam sekejap, merekapun terlibat dalam perang air. Sepasang kekasih itu tertawa dengan gembira, menikmati awal-awal masa pacaran mereka yang penuh dengan kebebasan.

  

Namun tak lama kemudian, Guo Jing terjatuh ke dalam air sungai dan hampir tenggelam. Huang Rong awalnya tidak menyadari hal tersebut dan terus menyiramkan air ke arahnya. 

Tapi untunglah Guo Jing berteriak meminta tolong, barulah kemudian Huang Rong menyadari jika Kakak Jing-nya tidak bisa berenang.


Huang Rong dengan sigap menghampiri Guo Jing dan menarik tubuhnya agar tidak tenggelam. 
“Jing Gege, ternyata kau tidak bisa berenang,” ujar Huang Rong menyesal seraya memegangi punggung Guo Jing agar tidak tenggelam. 

  


“Aku tumbuh besar di gurun, tentu tidak bisa berenang.” jawab Guo Jing seraya berusaha tidak tenggelam.  
“Tenang saja. Rong’er akan mengajarimu berenang,” ujar Huang Rong menenangkan kekasihnya. 


“Tidak perlu. Aku bodoh dan lamban. Aku takkan bisa. Lupakan saja.” Ujar Guo Jing pasrah. 
“Tidak. Kau pasti bisa. Ayo! Rong’er ajari.” Huang Rong tampak tak menyerah dan tetap mengajari Guo Jing berenang.


Akhirnya sepasang kekasih itupun menghabiskan sepanjang siang mereka dengan bermain air di sungai dan mengajari Guo Jing cara berenang. Benar-benar bahagia.

Setelah puas bermain air di sungai dan sesi belajar berenang telah selesai, sepasang kekasih itu mulai naik ke daratan. Mereka tampak menjemur pakaian mereka yang basah. Huang Rong pun memasakkan seekor “Ayam Pengemis” untuk mereka makan.

“Rong’er, ini sebenarnya apa? Kenapa aromanya wangi sekali?” tanya Guo Jing dengan penasaran. 

“Nama masakan ini adalah “Ayam Pengemis”. Dinamakan “Ayam Pengemis” karena cara memasaknya harus dibungkus dengan daun dan dibakar kemudian dimasukkan ke dalam tanah. Dengan begitu aromanya akan keluar dan rasanya akan menjadi sangat enak.” Jawab Huang Rong menjelaskan.


"Oh, Jadi begitu? Mendengarnya saja air liurku sudah menetes,” jawab Guo Jing dengan ekspresi lapar. 
“Ah, sayang sekali tidak ada arak Persik. Jika ada, pasti akan lebih sempurna.” Jawab Huang Rong dengan wajah kecewa. 
“Apa itu Arak persik?” tanya Guo Jing lagi dengan penasaran. 

“Arak yang dibuat dari buah persik. Waktu itu aku pernah membuatkan seguci arak persik untuk kakek tua di gua itu, tapi kemudian ayahku mengetahuinya dan memarahiku. Sayang sekali, kakek tua itu sekarang tidak bisa menikmatinya lagi,” jawab Huang Rong dengan ekspresi menyesal.

Tak hanya Guo Jing yang air liurnya menetes saat mencium aroma masakan tersebut, siapa sangka aroma masakan tersebut juga menarik perhatian seseorang yang kelak akan mengubah hidup mereka. Siapakah orang itu? Jawabannya ada di postingan di berikutnya....

Berikutnya : Episode 11-12

Written by : Liliana Tan 
Credits Pict : WEIBO ON LOGO 
WARNING : DILARANG MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS !!! REPOST WITH FULL CREDITS !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads