Highlight for today episode :
May I say that first scene of Tae Hee and Ja Eun is one of
the best sad heartbreaking scenes ever? WHY? After that tending of the injured
hand, how could Ja Eun do this? She just walk away? Noooo T___T Poor Tae Hee
must be so gutted >_< Why? Why? Why? So what was the point of showing
that entire injured hand scene (besides giving us audience some moments to
droool more at Tae Hee).
Instead of getting a hug scene (forget about the
kissing scene, at this point I doubt whether we will ever get that lucky), we
are getting those cold ignoring scenes once again >_< Now it all seems to
be back to square one where she is back to ignoring Tae Hee and pretending she
doesn’t know him. Ouch that even hurts to think >_<
But I notice how Ja Eun was looking to Tae Hee wishing he
will stop her from leaving when she told him she is going first, I mean her
eyes were wishing he won’t let her go, but he didn’t, he just asked her to go
and she looked disappointed >_< Those two are breaking my heart (-__-) How
much they love each other and longing for each other but then how many walls
they are putting between each other and it’s really sad T.T
Ja Eun is one and only of his medicine to feel calm. And Ja Eun should quickly apologize both Ahjumma and Ahjussi. They came all the way to see her and send some foods. I guess she need a little bit time before she can release her anger. And I know, even if she still angry with Hwang’s family, she still love and miss them.
-------00000------
Episode 30:
Episode 30 dimulai dengan Ja Eun yang masih membantu membalut luka Tae Hee dengan lembut dan perhatian. Ketika Ja Eun fokus membalut lukanya, Tae Hee tampak menatap wajah cantik di hadapannya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.
Berbeda dengan di EP 18, di mana Tae Hee menatap Ja Eun
dengan malu-malu dan mencuri-curi pandang, kali ini Tae Hee menatap Ja Eun
lekat secara terang-terangan. Tae Hee terus menatap Ja Eun tanpa mengalihkan pandangannya
sedetik pun.
Tatapan Tae Hee memberikan kesan seolah-olah berkata, “Jika
aku tidak menatapnya sepuasnya hari ini, maka aku takut aku tidak akan bisa
lagi menatapnya di masa depan. Ini adalah kesempatan langka jadi aku tidak akan
menyia-nyiakannya.” Poor Tae Hee T_T
Sambil terus menatap Ja Eun dalam keheningan, suara hati Tae Hee terdengar trenyuh di latar belakang, “Aku berharap tanganku terluka setiap hari, jadi dengan begitu kau bisa mengobati tanganku yang terluka. Di saat seperti ini, aku bahkan memikirkan hal-hal konyol seperti ini. Itu sebabnya aku bahkan tak bisa bertanya, kenapa kau terlihat begitu kurus dalam beberapa hari? Apa kau tidak makan dengan baik?” ujar Tae Hee dalam hatinya dengan tatapan cemas yang dipenuhi kerinduan.
(Nah kan, benar? Sampe segitu kangennya Tae Hee, hingga dia rela terluka setiap hari asalkan Ja Eun bisa merawat dan mengobatinya setiap hari. Poor Tae Hee >_< Dia benar-benar haus cinta dan perhatian dari Ja Eun >_<)
Setelah beberapa saat membalut lukanya, Ja Eun berkata lembut, “Aku akan pergi membeli perekat, tunggulah sebentar,” ujar Ja Eun, namun Tae Hee menghentikannya.
“Tidak. Tidak perlu. Ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih,” ujar Tae Hee dengan hati berat.
Tae Hee tampak tidak ingin menahan Ja Eun lebih lama lagi, karena takut kalau terlalu lama bersamanya, dialah yang akan semakin tidak rela untuk melepaskan gadis itu dan berakhir membuat Ja Eun marah lagi seperti dulu. Lagipula, bukankah Tae Hee sudah berjanji akan menjauh? Tae Hee hanya mencoba sadar diri dan mencoba menerima kenyataan kalau dia dan Ja Eun mungkin tak bisa bersama. Poor My Baby Tae Hee T_T
“Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi dulu,” ujar Ja Eun, dengan ekspresi kecewa di wajahnya.
“Ya. Pergilah,” sahut Tae Hee dengan pelan, tampak tak rela namun dia memang harus membiarkan Ja Eun pergi jika itu memang yang gadis itu inginkan. Ingat, Tae Hee tak ingin memaksa.
Saat mengucapkan kalimat itu, lagi-lagi Tae Hee tak mampu menatap mata Ja Eun, menunjukkan kalau kalimat itu bukanlah sesuatu yang keluar dari dalam hatinya, bukanlah keinginannya yang sebenarnya. Ekspresi Tae Hee tampak kacau, seolah-olah separuh jiwanya telah ikut pergi bersama Ja Eun sekarang.
Sebenarnya tak hanya Tae Hee yang tampak tak rela membiarkan Ja Eun pergi, namun Ja Eun sendiri juga sepertinya tak rela pergi dari sana. Ekspresi wajah Ja Eun terlihat sangat kecewa ketika Tae Hee berkata, “Ya. Pergilah”, seolah-olah Ja Eun berharap Tae Hee akan menahannya lagi kali ini, namun sayangnya, Tae Hee tetap membiarkannya pergi dan tak ingin menahannya lagi.
(Wanita memang makhluk paling membingungkan di dunia ini. Dia sendiri yang menyuruh Tae Hee pergi dan jangan mengganggunya lagi, tapi setelah Tae Hee benar-benar pergi, Ja Eun berharap Tae Hee kembali mengejarnya seperti dulu dan menahannya agar tidak pergi. Maumu apa sih, Ja Eun-ah? Jangan membuat Tae Hee bingung. Tae Hee tuh gak ngerti cinta, dia gak pernah jatuh cinta sebelumnya, kamulah yang pertama dan terakhir baginya, jadi wajar kalau dia gak tahu gimana harus bersikap. Katakan yang jelas, jangan ambigu! Dan jangan mempermainkan perasaannya! Quit Playing Games With His Heart! Sakit tahu gak perasaannya Tae Hee ditarik ulur seperti ini? Poor My Baby Tae Hee >_< Gemes lama-lama sama Ja Eun. Udahan dong marahnya >_<)
Setelah Ja Eun berbalik dan mulai berjalan pergi, Tae Hee mulai memberanikan diri mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Ja Eun melangkah, dia menatap punggung Ja Eun dengan sendu dan tatapan tak rela. Seolah-olah dari tatapan mata itu, Tae Hee berkata, “Don’t go! How can I wake up tomorrow? I feel so sad. I cannot trust love anymore!”
Ja Eun pun berjalan dengan sangat pelan, seolah-olah memberikan waktu bagi Tae Hee agar bisa mengejarnya dan menghentikannya seperti dulu, namun sayangnya kali ini, hal itu tidak terjadi.
Setelah Ja Eun pergi, Tae Hee mendapat telepon dari saudara-saudaranya yang mengajaknya untuk bertemu di warung kecil tempat mereka biasa minum. Jadi di sinilah dia sekarang, Tae Hee yang juga sedih, depresi dan tertekan harus datang untuk menghibur kakak pertamanya yang baru saja diputus oleh kekasihnya, Ye Jin yang tidak bisa menerima kondisinya yang merupakan pria dengan satu anak.
Tae Shik tampak sedih dan patah hati, dia meminum alkohol dengan satu tegukan (seperti Tae Hee waktu itu) dan membuat saudara-saudaranya khawatir.
“Hyung, minumlah pelan-pelan. Lebih baik kita minum bersama,” ujar Tae Bum mencoba menghibur kakaknya.
Tae Phil membantu menuangkan minuman itu ke dalam gelas Tae Bum dan Tae Hee yang baru saja datang dan belum sempat menuang minuman ke dalam gelas mereka sendiri.
Tae Bum mengajak saudara-saudaranya bersulang dan menyuruh Tae Shik untuk memakan cemilan pendamping juga agar perutnya tidak kosong, lagipula cemilannya terlihat lezat. Tae Bum tampak menunjuk makanan kecil di depan mereka agar Tae Shik memakannya.
Saat Tae Bum menyuruh Tae Shik untuk makan, Tae Phil menyadari ada yang salah dengan tangan kanan Tae Hee dan bertanya dengan nada khawatir.
“Ada apa dengan tangan kananmu?” tanya Tae Phil, yang kini tampak berusaha untuk lebih dekat dengan Tae Hee setelah mendengar curhatan Tae Hee di EP 28.
“Terluka,” jawab Tae Hee padat, singkat dan jelas. Tae Hee introvert yang jarang ngomong, dan dia hanya bicara panjang lebar jika bersama Ja Eun seorang. Di depan orang lain, Tae Hee termasuk orang yang irit kata dan cenderung dingin dan pendiam.
“Tentu saja. Tanganmu diperban tentu saja karena kau terluka. Apa mungkin seseorang diperban hanya untuk penampilan agar terlihat keren? Maksudku adalah kenapa kau sampai terluka?” tanya Tae Phil tampak gemas dengan jawaban Tae Hee yang padat, singkat dan jelas namun tidak menjawab pertanyaannya dan tidak menjelaskan apa pun. Bagi Tae Phil, ngomong sama Tae Hee sama dengan ngomong sama tembok.
“Saat melakukan pekerjaanku,” sahut Tae Hee masih dengan padat, singkat dan jelas. Jelas terlihat tidak ingin memberikan penjelasan lebih rinci.
(Gak mungkinlah type introvert seperti Tae Hee menjawab, “Aku terluka demi melindungi gadis yang kucintai, namun setelah itu dia bukannnya berterima kasih dan memberikan pelukan hangat padaku atau ciuman manis, dia justru meninggalkan aku begitu saja setelah membantu membalut lukaku. Apa kau tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ini?” Hahaha ^_^ Impossible Tae Hee ngomong gitu. Tae Hee kalau gak ditanya ya bakal mingkem seribu bahasa. Hanya Ja Eun doang yang bisa mengeluarkan Tae Hee dari “cangkangnya” dan membuatnya bercerita panjang lebar. Kalau orang lain mah, cuma direspon seadanya doank sama Tae Hee >_<)
Karena Tae Hee tampak menolak untuk menjelaskan kenapa dia bisa sampai terluka, akhirnya Tae Phil menjawab dengan sarkas karena kesal, “Sudahlah, lupakan. Karena kau adalah seorang polisi, sudah tentu kau pasti akan terluka saat sedang berusaha menangkap penjahat daripada terluka karena hal lain. Lupakan saja! Anggap aku tak bertanya,” ujar Tae Phil, menyerah dengan kesal.
(Tae Phil be like : “Percuma ngomong sama tembok!” >_<)
Tae Hee hanya menatap Tae Phil datar sebelum akhirnya mengubah topik pembicaraan kembali ke Tae Shik dan bertanya bagaimana Yejin mengetahuinya.
“Bagaimana dia akhirnya mengetahui masalah ini?” tanya Tae Hee, kembali ke topik awal dan tujuan dari pertemuan ini.
“Dia tiba-tiba saja datang ke rumah kita tanpa pemberitahuan lebih dulu. Dan Guksu kebetulan ada di ruang tamu saat itu. Dia bertanya siapa Guksu sebenarnya dan kenapa dia bisa ada di rumah kita. Hyung tidak tahu harus menjawab apa, jadi akhirnya Ayah mengungkapkan kebenarannya, ‘Dia adalah putra Tae Shik’, seperti itulah kejadiannya,” jelas Tae Phil panjang lebar karena dia adalah satu-satunya saksi mata saat kejadian itu.
“Ayah sudah bertindak terlalu jauh,” ujar Tae Bum mengomentari.
“Lalu apa yang dikatakan Yejin?” tanya Tae Bum pada Tae Shik.
“Menurutmu apa yang akan dia katakan? Bila itu terjadi padamu, apa yang akan kau katakan?” alih-alih menjawab, Tae Shik justru melemparkan pertanyaan itu pada Tae Bum.
“Aku tidak akan bisa berkata-kata lagi. Bila itu adalah aku, tanganku akan bertindak lebih dulu daripada mulutku,” sahut Tae Bum, mencoba memposisikan dirinya sebagai wanita. (Tangan bertindak lebih dulu alias ditampar)
“Benar. Itulah yang terjadi. Tangannya bertindak lebih dulu,” sahut Tae Shik, membenarkan dengan frustasi.
“Kau benar-benar ditampar?” tanya Tae Bum dengan kaget.
Tae Phil membuat tanda angka 2 dengan jarinya secara diam-diam agar Tae Shik tidak melihatnya. Tae Bum tampak shock, sementara Tae Hee hanya menghela napas dan menjadi pendengar yang setia tanpa berkomentar apa-apa.
(Tae Hee be like : “Aku juga pernah ditampar 2 kali oleh gadis yang kucintai, apa hebatnya itu? Tak hanya ditampar, sekarang akupun terluka demi melindunginya. Aku malah baku hantam dengan penjahat dan terluka berdarah-darah. Ditampar aja sedih, Hyung. Itu hal yang biasa, tidak perlu didramatisir, Hyung. Be a man!” Tapi tentu saja, Tae Hee tidak akan menyuarakannya ^_^)
“Apa kalian mengerti Ayah? Tidak peduli berapa banyak aku mencoba mengerti Ayah, aku tetap tidak memahaminya,” ujar Tae Shik mengeluh, seolah-olah dunianya sudah hancur berantakan karena Yejin meninggalkannya. Padahal dia gak tahu aja kalau Yejin gak cinta dia dan cuma mengincar pertanian milik Ja Eun, yang dia kira adalah milik keluarga Hwang. Cewek materialistis dan banyak hutang kayak Yejin, gak rugi kalau ditinggalin, yang rugi itu kalau ditinggalin cewek modelan Baek Ja Eun.
“Tentu saja kau tidak mengerti Ayah. Itu bukan sekali atau dua kali kau tidak memahami ayah kita,” sahut Tae Bum, mengungkapkan fakta kalau Tae Shik memang sejak dulu tak pernah mengerti ayahnya.
“Walaupun sebelumnya ada banyak masalah yang kusebabkan, tapi kali ini Ayah bertindak terlalu jauh. Sebagai anak pertama, aku tahu aku tidak pernah membuatnya bangga, aku membuatnya tak pernah percaya padaku selama ini dan selalu mengecewakannya. Aku tahu itu lebih baik dari siapa pun, tapi aku...” keluh Tae Shik, meratapi keegoisannya sendiri.
(Siapa suruh loe egois, Bambang! Itu anakmu tapi kakek dan neneknya yang suruh ngerawat dan kamu gak mau mengakuinya. Ya jelas ngamuklah Hwang Chang Sik! Berani berbuat, berani bertanggung jawab! Berani menghamili ya berani merawat dan membesarkan anakmu dong! Atas dasar apa kakek neneknya yang membesarkan sementara papanya masih ada dan sehat? Atas dasar calon ibu tirinya gak mau ngerawat dan membesarkan?)
“Aku pikir Yejin-ssi adalah takdirku. Kupikir dia adalah anugerah dalam hidupku,” lanjut Tae Shik sambil menangis, meratapi wanita egois, materialistis dan banyak hutang yang gak pernah mencintainya sedikit pun dan hanya mencintai pertanian yang bukan milik keluarga Hwang dan berniat menjualnya untuk membayar hutang-hutangnya.
Tae Hee menuangkan minuman lagi ke dalam gelas Tae Shik dan berusaha menghiburnya, “Hyung, jika Yejin-ssi memang takdirmu, semua ini pasti tidak akan berakhir begitu saja,” hibur Tae Hee, walau dirinya sendiri sedang patah hati.
Dia sendiri patah hati, tapi masih menghibur orang. Apa kau sedang adu nasib, Tae Hee-yyaa? Ingin melihat siapa yang paling ngenes di sini, begitukah?
Tae Bum setuju dengan Tae Hee dan menambahkan, “Benar. Biarkan takdir yang akan bekerja dan menyelesaikan semuanya. Bila setelah melewati rintangan ini, kau dan Yejin masih bisa bersama, berarti kalian memang ditakdirkan untuk bersama. Hyung, bukankah kau juga tahu itu?” ujar Tae Bum, setuju dengan pendapat Tae Hee.
“Kupikir hidupku sebelum dan sesudah bertemu Yejin akan mengalami perubahan besar. Kupikir Yejin-ssi adalah titik balik dalam hidupku,” sahut Tae Shik dengan mendramatisir. Kemudian dia tiba-tiba saja berdiri dan membuat ketiga saudaranya bingung.
“Kenapa? Apa kau mau pergi ke suatu tempat?” tanya Tae Phil.
“Aku ingin ke toilet,” sahut Tae Shik dengan gelagat aneh. (Aslinya Tae Shik ingin bunuh diri namun gagal karena airnya terlalu dingin dan dia gak berani. Tapi gak perlu diceritakan detil karena gak ada hubungannya dengan Tae Hee dan Ja Eun. Sekilas info aja ^^ Inipun aku masukin karena ada scene Tae Hee di dalamnya ^^)
“Jadi seperti itu? Dia merasa titik balik dalam hidupnya adalah saat dia bertemu Yejin-ssi. Kalau begitu kapan titik balik dalam hidupku?” ujar Tae Bum, mencoba melihat kembali perjalanan hidupnya.
“Apa bukan saat kau diterima bekerja di IBC?” tebak Tae Phil.
“Atau mungkin saat kau menikah dengan Hyungsoo-nim (Kakak Ipar)? Bukankah itu memberikan perubahan besar dalam hidupmu, bila dipikirkan kembali?” tebak Tae Hee, berbeda dengan Tae Phil.
“Bagiku, yang masih memiliki dampak terbesar dalam perubahan hidupku adalah saat aku putus dari Hye Ryeong. Sepertinya saat itu adalah titik balik dalam hidupku,” sahut Tae Bum seraya mengenang masa lalu dengan ekspresi sedih.
(Tae Bum ini uda pacaran 10 tahun sama cewek namanya Hye Ryeong namun karena Tae Bum gak ngajakin nikah juga, karena gak ada duit, akhirnya Hye Ryeong menerima lamaran dari pria lain saat itu dan mereka pun putus. Sekilas info ^_^ Gak perlu dituliskan di sini karena gak ada hubungannya dengan Tae Hee dan Ja Eun ^_^)
“Kenapa harus mengungkit kembali masa lalu yang menyakitkan itu?” protes Tae Phil, masuk akal. Move on dong, Tae Bum-ah!
“Aku hanya menceritakan kisah titik balik dalam hidupku,” sangkal Tae Bum.
“Bagaimana denganmu, Tae Hee? Kapan titik balik dalam hidupmu?” tanya Tae Bum pada Tae Hee.
“Kenapa bertanya padanya? Apa kau pikir dia akan menjawabnya?” ujar Tae Phil dengan sarkas seraya melirik Tae Hee malas. Namun di luar dugaannya, Tae Hee justru menjawabnya. Tumbenan Tae Hee-yaa ^^
“Kupikir itu saat usiaku enam tahun. Bila kau menanyakan kapan titik balik dalam hidupku dan kapan hidupku berubah. Saat dia menikah lagi dan pergi meninggalkan rumah, kemudian aku diadopsi oleh Paman dan Bibi dan mereka mengangkatku sebagai putra mereka,” sahut Tae Hee dengan nada sedih namun ekspresinya terlihat tegar. Tae Hee bahkan menolak memanggil ibu kandungnya dengan sebutan “Ibu” dan hanya memanggilnya dengan sebutan “Dia”.
“Kau pemenangnya. Kau pemenangnya. Kaulah yang paling hebat di antara kita,” puji Tae Bum, merasa salut.
“Tapi kau tidak seharusnya menyebutkan sesuatu yang tak bisa kau ubah karena kau masih kecil. Kau harusnya menyebutkan sesuatu yang mengubah hidupmu di saat kau sudah bisa membuat keputusan sendiri,” lanjut Tae Bum memprotes, sementara Tae Hee hanya tersenyum sedih.
“Lalu bagaimana denganmu? Kapan titik balik hidupmu?” tanya Tae Hee pada Tae Phil, mengabaikan ucapan Tae Bum karena bagi Tae Hee, ditinggalkan ibunya bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan, sebaliknya itu adalah luka yang menyakitkan.
“Aku? Kurasa aku belum memilikinya. Mulai sekarang, aku akan melakukan sesuatu yang kelak akan menjadi titik balik dalam hidupku dan mengubah hidupku sepenuhnya,” sahut Tae Phil sambil berpikir.
“Kenapa kau tidak memilikinya? Saat kau masih SMA dan kabur dari rumah, kau bekerja serabutan di restoran lalu tertangkap olehku dan Ibu saat itu dan kami menyeretmu pulang,” sahut Tae Hee, mengingatkan kemungkinan itu pada Tae Phil.
“Benar. Itu karena kau tertangkap oleh Ibu dan Tae Hee jadi kau bisa pulang ke rumah dengan selamat dan hidupmu baik-baik saja. Jika tidak, tidak ada seorangpun yang tahu bagaimana hidupmu sekarang,” ujar Tae Bum setuju dengan Tae Hee.
“Kenapa harus mengungkit kembali masa-masa di mana aku belum dewasa? Dibandingkan dengan Tae Shik Hyung...” protes Tae Phil, namun seketika ucapannya terhenti.
“Tunggu! Di mana Tae Shik Hyung? Bukankah ini sudah terlalu lama? Kenapa dia masih belum kembali juga?” tanya Tae Phil dengan cemas.
“Kita harus memeriksa ke toilet sekarang,” ujar Tae Bum.
“Aku akan pergi memeriksanya,” sahut Tae Hee yang segera berdiri untuk mencari Tae Shik di toilet.
Di pertanian, Park Bok Ja tampak duduk dengan lesu dan mengeluh seorang diri, “Para pria keluarga Hwang sangat bau! Benar-benar *bau! Mereka tak pernah dewasa sepanjang hidupnya!” omel Park Bok Ja dengan lelah.
*Bau di sini bukan bau beneran ya, bukan bau yang artinya aroma tidak sedap dll, tapi lebih ke arah perumpamaan seperti “menyebalkan, bikin kesal, bikin orang capek menghadapi mereka”.
Lalu tiba-tiba saja terdengar suara riang Ja Eun yang bertanya padanya, “Ahjumma, apa yang membuatmu begitu kesal?”
Park Bok Ja tampak kaget dan segera menoleh ke belakang dan
menyadari jika dia hanya sedang terngiang-ngiang ucapan Ja Eun di masa lalu.
Saat itu jika Park Bok Ja tampak sedih atau kesal, Ja Eun selalu bertanya
dengan riang, “Ahjumma, apa yang membuatmu kesal? Apa yang membuatmu marah,
sedih atau kecewa? Ceritakan padaku.”
Namun sekarang, tak ada Ja Eun lagi yang bertanya seperti itu dan mengerti perasaannya, anak laki-laki semuanya tidak peka dan tidak berguna, selain hanya menang kuat di fisik, semua anak laki-laki tak ada yang mengerti perasaan Ibu mereka. Berbeda dengan anak perempuan yang lebih peka dan perasa.
“Sekarang aku bahkan bisa mendengar hal yang tidak ada?” gumam Park Bok Ja sedih. (kalau orang Surabaya bilangnya “krungu-krunguen” alias “terngiang-ngiang” ucapan seseorang yang gak ada di samping kita)
“Ja Eun-ah, bagaimana kabarmu sekarang? Hidup Ahjumma benar-benar kacau dan melelahkan saat ini,” ujar Park Bok Ja, mengeluh pada Ja Eun seolah-olah dia ada di sana untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Akhirnya karena terlalu merindukan Ja Eun, Park Bok Ja memutuskan untuk mengunjungi Ja Eun di penginapannya, tapi sebelum itu, dia membuatkan Ja Eun makanan kesukaannya yaitu bubur abalone yang dimasaknya sendiri, beserta banyak makanan lainnya yang kesemuanya adalah makanan favorite gadis itu.
Park Bok Ja kemudian meminta suaminya, Hwang Chang Sik untuk mengantarnya ke tempat Ja Eun berada saat ini.
“Selama ini aku berpikir bila dia melihat wajahku maka pasti dia akan sangat marah, jadi aku berusaha bersabar dan menunggu hingga kemarahannya mereda. Tapi sepertinya ini sudah terlalu lama dan aku sangat merindukannya sekarang, aku ingin melihat keadaannya,” pinta Park Bok Ja dengan tatapan kerinduan seorang Ibu seraya memasukkan semua makanan itu ke dalam sebuah tas.
Tiba-tiba saja Park Bok Ja merindukan “anak perempuannya” setelah lelah melihat anak laki-lakinya yang selalu membuat masalah.
Hwang Chang Sik setuju dan mengantar sang istri ke sana, dia mengatakan bahwa Ja Eun tinggal di kamar 306. Namun saat mereka akan naik ke atas, ponsel Park Bok Ja berbunyi dan dia mengangkatnya lebih dulu sebelum menemui Ja Eun di atas.
Setelah panggilan telepon terputus, Hwang Chang Sik bertanya siapa yang menelponnya malam-malam seperti ini dan Park Bok Ja menjawab bahwa itu adalah telepon dari kantor real estate yang mengatakan kalau ada Perusahaan perfilman yang berminat dan ingin membeli pertanian mereka.
Park Bok Ja juga mengatakan kalau Perusahaan perfilman itu ingin menandatangani kontrak minggu ini dan ingin mengatur pertemuan dengan Hwang Chang Sik selaku wakil dari Baek Ja Eun.
Hwang Chang Sik tampak lega mendengarnya, “Baguslah. Kita bisa sekalian menyampaikan berita ini pada Ja Eun. Ayo kita naik,” ujar Hwang Chang Sik, namun Park Bok Ja tampak tak rela.
“Aku sangat khawatir karena mereka mengatakan bahwa mereka ingin membangun sebuah taman hiburan. Itu artinya mereka akan menebang semua pohon dan meratakannya dengan tanah,” ujar Park Bok Ja dengan sedih.
“Mereka berhak melakukan apa pun karena itu adalah milik mereka nantinya. Sudahlah, ayo kita naik!” ajak Hwang Chang Sik walau sang istri masih tampak tak rela.
(Perusahaan Perfilman itu mungkin seperti Disney yang membuat film animasi dan juga sekaligus taman hiburan, itulah sebabnya mereka ingin membeli Ojakgyo Farm)
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja akhirnya mengetuk pintu penginapan Ja Eun, walau awalnya Ja Eun menolak membuka pintu, namun karena tetangga di sekitar kamarnya merasa terganggu dengan Park Bok Ja yang selalu mengetuk pintu kamarnya tanpa henti dan membuat keributan, mau tak mau Ja Eun pun membuka pintu.
Setelah dipersilahkan masuk (dengan terpaksa), Park Bok Ja menyuruh semua orang untuk duduk agar mereka bisa bicara lebih santai.
“Aku sibuk sekarang. Bagaimana dengan pertaniannya?” tanya Ja Eun dengan dingin dan ketus.
Park Bok Ja lalu mengeluarkan makanan yang telah dimasaknya dan memberikannya pada Ja Eun, “Sebelum kita membicarakannya, Ahjumma ingin memberikan ini lebih dulu. Ini adalah bubur abalone kesukaanmu, dan Ahjumma juga membuatkanmu makanan favoritmu yang lain. Ahjumma membuatkannya untukmu sebelum datang kemari jadi makanlah setelah kami pergi, sebelum semuanya menjadi dingin. Dan ini adalah kimchi. Kau harus menghabiskan semuanya ya,” ujar Park Bok Ja dengan lembut dan penuh kasih sayang seorang Ibu.
“Aku tidak membutuhkan semua itu. Ambil kembali!” jawab Ja Eun dengan dingin.
“Jangan seperti ini, Ja Eun-ah.” Ujar Park Bok Ja dengan memohon.
“Walaupun kalian tidak ingin mengambilnya kembali, aku juga pasti akan membuangnya ke tempat sampah. Jadi ambillah kembali. Apa hanya ini yang ingin kalian katakan padaku?” ujar Ja Eun dengan dingin dan ketus.
“Tidak. Ini benar-benar karena masalah pertanian. Sebelum itu, Ahjumma ingin bertanya tentang satu hal padamu, apa kau bahagia hidup bersama ibu tirimu? Apa dia bersikap baik padamu?” tanya Park Bok Ja dengan lembut dan penuh kekhawatiran.
Ja Eun tak menjawabnya, namun hanya menatap Park Bok Ja dengan tajam. Dia mengerti maksud gadis itu dan segera mengalihkan pembicaraan mereka dan membahas tentang seseorang yang ingin membeli pertanian itu.
“Dalam perjalanan kemari, kami mendapat telepon dari kantor real estate,” ujar Hwang Chang Sik menginformasikan.
“Orang dari kantor real estate itu mengatakan kalau sebuah Perusahaan perfilman berminat untuk membeli pertanian, dia bilang Perusahaan itu berencana untuk membuat sebuah taman hiburan di sana. Jika itu benar-benar terjadi, lalu bagaimana dengan pohon-pohon itu? Mereka pasti akan meratakan pohon-pohon pir itu dengan tanah. Jadi Ja Eun, karena Ahjumma yakin pasti akan ada pembeli lain yang berminat untuk membelinya, kenapa kita tidak menunggu sebentar lagi saja dan tolak saja permintaan Perusahaan perfilman itu? Bagaimana menurutmu?” ujar Park Bok Ja, dengan nada tulus penuh permohonan agar Ja Eun menunggu sedikit lagi dan tidak menjualnya kepada Perusahaan perfilman tersebut.
Ja Eun lagi-lagi hanya menatap Park Bok Ja dengan tajam dan terlihat malas menanggapinya.
“Kami akan tetap pindah dari sana pada tanggal yang sama seperti yang kami janjikan. Hanya saja pohon-pohon itu sudah bagaikan anak-anakku sendiri, aku yang membesarkan mereka selama sepuluh tahun terakhir ini. Di hari kita panen saat itu, kau juga mengatakannya sendiri dengan mulutmu, kau berkata kalau mereka seperti bayi dan anak-anakmu. Sepanjang musim panas, kau dan aku menderita bersama demi menjaga mereka dari serangan hama, kita bekerja siang dan malam menyemprotkan pestisida. Bukankah mereka juga sama berartinya untukmu?” lanjut Park Bok Ja dengan nada penuh harap.
“Benar sekali. Tiba-tiba aku mengingatnya sekarang,” sahut Ja Eun dengan ambigu.
“Bisakah kau pinjamkan aku ponselmu? Kau tahu nomor telepon kantor real estate itu, bukan?” lanjut Ja Eun pada Park Bok Ja yang segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.
“Nomor panggilan masuk terakhir itu adalah nomor mereka,” sahut Park Bok Ja, penuh harapan, berpikir bahwa Ja Eun akan menolak tawaran pembelian itu, namun semua terjadi di luar prediksinya.
“Yoboseyo, aku adalah pemilik Ojakgyo Farm yang sebenarnya, Baek Ja Eun. Aku dengar kalau ada seseorang yang ingin membeli pertanianku. Juallah secepatnya besok siang. Ya, baguslah. Aku akan ada di sana pukul 1 siang untuk menandatangani kontraknya,” ujar Ja Eun di ponselnya dengan dingin dan tak berperasaan, sengaja ingin melukai Park Bok Ja.
Setelah sambungan teleponnya terputus, Ja Eun berkata dingin, “Setelah kau membahas tentang pohon-pohon itu, aku tiba-tiba teringat bagaimana aku sangat menderita saat musim panas itu. Itu sebabnya aku putuskan untuk menjual pertanian itu. Hanya membayangkan bagaimana pohon-pohon pir itu dihancurkan oleh bulldozer dan diratakan dengan tanah membuatku sangat puas dan bahagia,” ujar Ja Eun dengan dingin dan penuh sindiran tajam. Park Bok Ja hanya menatap Ja Eun dengan penuh kekecewaan.
Ja Eun menyodorkan ponsel itu kembali pada Park Bok Ja dan menyuruh mereka untuk pergi sekarang.
“Kau tidak seharusnya melakukan itu. Jika kau sangat membenciku, kenapa kau melampiaskan kemarahan dan kebencianmu pada pohon-pohon dan tanaman yang tidak bersalah itu? Apa kesalahan yang dilakukan oleh pohon-pohon dan semua tanaman itu padamu? Daripada kau melampiaskan kemarahanmu pada mereka, kenapa tidak kau balaskan saja padaku? Laporkan saja aku pada polisi dan biarkan mereka menangkapku. Bagaimana bisa kau melampiaskan semua kebencian dan kemarahanmu pada makhluk hidup yang tidak bersalah? Mereka juga makhluk hidup, bukan?” seru Park Bok Ja tak terima dan penuh rasa kekecewaan.
Hwang Chang Sik berusaha menghentikan Park Bok Ja namun tidak digubris oleh sang istri.
“Bagaimana denganmu, Ahjumma? Apakah aku melakukan kejahatan padamu hingga kau mencuri surat kontrakku?” Ja Eun balik menyindir.
“Itu sebabnya sebaiknya kau laporkan aku pada polisi dan masukkan aku ke dalam penjara agar aku bisa menebus kejahatanku,” sahut Park Bok Ja, masih mendebat.
“Istriku, kenapa kau seperti ini? Ayo kita pergi,” ajak Hwang Chang Sik tampak tak enak pada Ja Eun, sementara Ja Eun hanya menatap tajam Park Bok Ja tanpa mengatakan apa pun.
“Bila aku benar-benar ingin mencuri pertanian itu darimu, aku pasti sudah langsung membakar surat kontrak itu. Kenapa aku harus menyembunyikannya di bawah lemari bajuku dan menjalani hidup dengan ketakutan?” lanjut Park Bok Ja, masih tak mau menyerah membujuk Ja Eun.
“Ayo kita pergi! Jangan seperti ini,” ujar Hwang Chang Sik lagi.
“Bahkan bila aku melakukan kesalahan yang sangat fatal, walaupun aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan dikenal sebagai pencuri dan tak mampu mengatakan apa pun untuk membela diri, tapi kau tidak seharusnya kau melampiaskan kemarahanmu pada pohon-pohon itu! Setiap pohon itu adalah makhluk hidup juga, mereka memiliki kehidupan, mereka juga mencoba bertahan hidup selama ini, bagaimana bisa kau berkata begitu kejam pada pohon-pohon itu?” Park Bok Ja tampak masih tak menyerah dalam menyuarakan kekecewaannya.
“Ayo kita pergi,” ajak Hwang Chang Sik sekali lagi.
“Ahjussi minta maaf. Ini karena Ahjumma sedang mengalami masa-masa sulit saat ini dan mentalnya sedang tidak stabil. Dia sangat merindukanmu tapi sekarang dia justru bicara tentang hal lain,” ujar Hwang Chang Sik dengan bijaksana, meminta maaf telah membuat keributan, seraya menarik sang istri pergi.
“Lepaskan aku! Kenapa kau seperti ini?” seru Park Bok Ja tak terima.
Tapi Hwang Chang Sik tak peduli, dia tetap menarik Park Bok Ja berdiri dan pergi dari sana. Park Bok Ja tetap meronta dan menolak dibawa pergi namun Hwang Chang Sik tetap menariknya turun.
Ja Eun yang menyadari bila ponsel Park Bok Ja masih ada bersamanya segera membawa ponsel itu turun beserta makanan yang dibawa wanita tua itu.
“Ambil kembali makananmu!” seru Ja Eun seraya menyodorkan makanannya.
“Jika kau tidak mau memakannya maka buanglah dengan tanganmu sendiri,” tantang Park Bok Ja.
Ja Eun kemudian menurunkan tas berisi makanan itu ke tanah dan menyodorkan ponselnya pada Hwang Chang Sik.
“Apa itu ponsel Ahjumma?” tanya Hwang Chang Shik mengkonfirmasi, melihat Ja Eun tidak menyangkal maka sepertinya itu benar.
“Setelah kupikirkan lagi, sepertinya besok aku masih ada kelas. Aku tidak harus pergi ke sana juga, kan?” tanya Ja Eun, mengubah pikirannya.
“Baiklah kalau begitu. Setelah kontraknya ditandatangani dan aku mendapatkan uangnya, uang itu akan segera kutransfer ke rekeningmu, jadi kirimilah aku nomor rekeningmu melalui pesan,” sahut Hwang Chang Sik menyetujui.
“Baiklah,” sahut Ja Eun sebelum melangkah naik ke atas dan meninggalkan tas berisi makanan itu di tanah, di luar penginapan.
Hwang Chang Sik bertanya bagaimana dengan makanannya, namun Park Bok Ja berkata untuk meninggalkannya di sana saja. Hwang Chang Sik tampak tak rela membuang makanan itu namun tak berdaya menentang istrinya. Akhirnya mereka tetap pergi dari sana tanpa membawa kembali makanannya.
Setelah beberapa saat, Ja Eun kembali turun ke bawah dan melihat tas berisi makanan itu masih di sana. Tak tega membuang makanan, akhirnya Ja Eun membawa kembali makanan itu naik ke atas namun memberikannya kepada tetangga di depan kamarnya yang tadi sempat protes terganggu dengan keributan yang dibuat oleh Park Bok Ja, sebagai tanda permintaan maafnya. Gadis muda bertubuh gendut itu menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih karena diberi makanan.
Keesokan harinya saat sarapan, Nenek bertanya ke mana Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja pergi semalam.
“Ke mana kalian berdua pergi semalam?” tanya Nenek penasaran pada Hwang Chang Sik.
“Kami pergi menemui Ja Eun. Ibu anak-anak bilang dia sangat merindukan Ja Eun,” sahut Hwang Chang Sik.
Mendengar nama Ja Eun disebut, Tae Hee tampak membatu sesaat. Tatapan matanya berubah sendu dan sorot kerinduan tampak di sana, mendengar kata “rindu”, Tae Hee sadar dia juga merindukan gadis itu.
“Apa dia memperlakukan kalian berdua dengan baik?” tanya Nenek penasaran.
“Tentu saja tidak. Dia bahkan awalnya menolak membuka pintu. Tapi kami memaksa masuk dan mereka akhirnya bertengkar lagi,” sahut Hwang Chang Sik menjelaskan situasinya.
Tae Hee hanya terdiam membisu dan mendengarkan dengan seksama namun tatapan matanya mengandung berbagai rasa : sedih, rindu, frustasi serta cinta yang tak terbalas. Mencintai dalam diam itu menyesakkan dada ya, Tae Hee-yaa??
“Tentu saja dia akan bersikap seperti itu. Apa mungkin dia bisa kehilangan amarahnya dengan mudah? Tapi apa anak itu sehat-sehat saja?” tanya Nenek dengan khawatir. Nenek bahkan tidak marah dan tampak memaklumi sikap Ja Eun karena dia tahu merekalah yang lebih dulu menyakiti gadis itu dengan dalam.
“Dia tidak terlihat seperti sedang sakit,” sahut Hwang Chang Sik.
Tae Hee lagi-lagi menaruh perhatian tentang itu. Tatapan
matanya seolah dia juga menanti informasi apakah Ja Eun sedang sakit atau
tidak.
“Aku merindukan anak itu berkeliling di sekitar rumah ini dan berteriak dengan suara keras ‘Halmoni, Ahjumma, Ahjussi’. Aku sangat merindukan suara riangnya sekarang,” ujar Nenek dengan sedih dan penuh kerinduan. Setelah Ja Eun pergi, barulah mereka merasakan rumah itu kembali sepi dan dingin seperti sebelumnya.
“Setiap pagi dia akan berteriak nyaring memanggil ‘Ha Na-ya, bawakan aku tissue’. Aku juga merindukan kata-kata itu. Tidak mudah berurusan dengan orang seperti itu, begitulah yang kupikirkan pada awalnya. Rasanya sangat aneh ada seorang gadis seperti itu. Tapi saat dia tak ada di sini, rasanya sangat kosong,” lanjut Nenek dengan wajah penuh kesedihan dan kerinduan. Nenek sudah menganggap Ja Eun seperti cucu perempuannya sendiri dan kini dia merasa kosong saat Ja Eun tak di sana.
Tak hanya Nenek yang tampak sedih, Park Bok Ja dan Tae Hee pun tampak sama. Khususnya Tae Hee yang hanya bisa menelan sendiri perasaannya yang menyesak dalam dada. Mendengar bagaimana keluarganya juga merindukan Ja Eun sama seperti dirinya, membuat hatinya semakin sesak dan membuatnya semakin menyadari arti gadis itu dalam hidupnya dan juga hidup semua orang di keluarganya.
Tak hanya sang Nenek, dia pun merasa sangat kosong saat Ja Eun tak ada lagi di hadapannya, saat Ja Eun tak ada lagi bersamanya dan saat dia tak bisa lagi mendengar suaranya yang ceria dan senyuman hangatnya. Kalimat curhat sang Nenek yang merindukan Ja Eun, membuat semua keinginan Tae Hee untuk melupakan gadis itu menjadi sia-sia. Bagaimana bisa dia melupakan Ja Eun jika keluarganya sendiri selalu membahasnya? Tae Hee hanya mampu menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan hatinya yang kacau dan gelisah.
(Sekali lagi aku kagum dengan aktingnya Joo Won, walau tanpa dialog terucap, namun tatapan matanya sudah bisa mengatakan semua yang dia rasakan dalam hatinya sekarang : ketidakberdayaan, kerinduan, kesedihan, cinta yang tak terbalas, kegelisahan, kegundahan, keputusasaan, kesepian serta betapa kosongnya hidupnya saat ini, semua tergambar dalam tatapan matanya. Aku heran kenapa aktor hebat seperti Joo Won malah kalah pamor sama Lee Min Ho dan Cha Eun Woo yang gak bisa akting sih? Cuma jual tampang doang bisanya. Giliran aktor hebat kayak Joo Won, malah kurang dikenal publik, underated banget sampai sekarang >_<)
“Oh ya, Ibu. Hari ini kami akan menandatangani kontrak untuk penjualan pertanian hari ini. Ja Eun sudah setuju jadi mereka memutuskan untuk melakukannya hari ini,” ujar Hwang Chang Sik, mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa Perusahaan perfilman yang waktu itu?” tanya Nenek mengkonfirmasi.
“Ya. Pertemuannya akan diadakan jam 1 siang nanti,” sahut Hwang Chang Sik membenarkan.
“Kalian berdua juga harus tahu,” ujar Hwang Chang Sik pada Tae Hee dan Tae Phil. Tae Phil menjawab “Ya” sementara Tae Hee hanya mengangguk dengan hati berat. Bukannya dia tak rela menjual pertanian ini, Tae Hee hanya takut kalau setelah ini, dia dan Ja Eun takkan bisa bertemu lagi selamanya.
Siang harinya, Kim Jae Ha datang bersama asistennya. Petugas real estate memperkenalkan kedua belah pihak yang bersangkutan dan mereka pun berkenalan secara resmi sebelum acara penandatanganan diadakan.
“Kau masih terlihat muda tapi sudah menjadi Wakil Presdir,” puji Hwang Chang Sik.
“Tidak ada hubungannya dengan kemampuan, semuanya berkat orangtuaku. Ayahku adalah Presiden Direktur Perusahaan ini,” sahut Kim Jae Ha dengan jujur mengakui.
Kontraknya sudah distempel dan Hwang Chang Sik mengecheck notifikasi di ponselnya yang menunjukkan bahwa uang mukanya sudah ditransfer masuk.
Kim Jae Ha bertanya apakah dia boleh datang untuk melihat-lihat pertanian itu dan Hwang Chang Sik tentu saja mengijinkannya. Park Bok Ja menggunakan kesempatan ini untuk memberitahunya tentang kebun pir mereka dan berharap agar mereka tidak menebangnya dan meratakannya dengan tanah.
Hwang Chang Sik dengan sungkan mengatakan bahwa sejak kemarin istrinya sudah seperti ini dan meminta Kim Jae Ha untuk memakluminya.
Hwang Chang Sik melihat nama yang tertera dalam kontrak dan membaca nama Kim Hong di sana. Dia seolah memikirkan sesuatu. Namun saat itu, telepon dari Tae Hee membuyarkan lamunannya.
“Ya, ada apa?” tanya Hwang Chang Sik di ponselnya.
“Aku kebetulan lewat di sekitar sini. Bila penandatangan
kontraknya sudah selesai, aku bisa sekalian mengantar ayah dan ibu pulang,”
ujar Tae Hee menginformasikan, dia sudah tiba di sana sekarang dan baru saja
keluar dari mobilnya.
“Ah, benarkah? Kalau begitu keluarlah,” lanjut Tae Hee, setelah mendengar sang ayah berkata sudah selesai.
Tak lama kemudian, Tae Hee melihat kedua orangtuanya berjalan keluar. Dia berjalan menghampiri mereka dengan tersenyum manis.
“Kau datang, Tae Hee-yaa?” tanya Park Bok Ja dengan lembut. Tae Hee tersenyum pada ibunya namun ekspresinya langsung berubah saat melihat Kim Jae Ha berjalan keluar dari tempat yang sama dengan orangtuanya dan berjalan di belakang mereka.
Tae Hee hanya menatap Kim Jae Ha tajam penuh tanya namun tidak mengatakan apa-apa.
“Ah, mereka adalah perwakilan dari Perusahaan perfilman yang ingin membeli pertanian kita,” jelas Park Bok Ja, mengerti arti tatapan Tae Hee yang seolah mengatakan "Apa yang orang ini lakukan di sini?"
“Mereka yang membeli pertanian kita?” ulang Tae Hee mengkonfirmasi, tampak terkejut namun sebisa mungkin menutupinya.
“Ya. Bukankah Ayah sudah mengatakan kalau ada sebuah perusahaan perfilman yang ingin membeli pertanian kita?” sahut Hwang Chang Sik yang tidak mengetahui apa-apa.
“Dia adalah putraku,” ujar Hwang Chang Sik pada Kim Jae Ha, memperkenalkan Tae Hee tanpa tahu mereka sudah saling mengenal lebih dulu. Kim Jae Ha menatap orangtua Tae Hee sekilas kemudian kembali menatap Tae Hee yang menatapnya dengan aura permusuhan.
Kemudian setelah berpamitan pada Kim Jae Ha, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik mengajak Tae Hee pergi dari sana. Tae Hee segera memasang senyum manis palsu di hadapan sang Ibu dan mengantar kedua orangtua angkatnya masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apa-apa. Walaupun dalam hati, dia terlihat ingin menghajar Kim Jae Ha. Namun Tae Hee berakting seolah mereka tidak saling mengenal sebelumnya.
“Apa kau ada urusan di sekitar sini?” tanya Hwang Chang Sik pada Tae Hee.
“Ya, Ayah. Masuklah ke dalam mobil,” sahut Tae Hee, memperlakukan Kim Jae Ha seolah makhluk tak kasat mata.
Tae Hee membukakan pintu untuk Ibunya dan membantunya masuk ke dalam mobil, namun sebelum dia sendiri masuk ke dalam mobilnya, Tae Hee tampak menatap tajam Kim Jae Ha.
Dan bahkan setelah masuk ke dalam mobil pun, Tae Hee masih meliriknya tajam sekali lagi sebelum benar-benar pergi dari sana.
Ekspresi Tae Hee tampak bertanya-tanya, “Kenapa Kim Jae Ha membeli Ojakgyo Farm? Apa tujuan sebenarnya?” namun tentu saja Tae Hee takkan pernah menyuarakannya.
Setelah Tae Hee dan kedua orangtuanya pergi, Kim Jae Ha bertanya kepada asistennya, “Apakah ayahku yang secara langsung memerintahkanmu untuk membeli pertanian ini? Apakah dia memang berencana untuk membeli Ojakgyo Farm sejak awal?” tanya Kim Jae Ha penuh selidik.
Asistennya tanpa basa basi menjawab, “Ya.”
“Kau masuklah ke mobil lebih dulu. Aku harus menelpon seseorang,” ujar Kim Jae Ha pada asistennya.
“Ayah, ini aku. Ya, aku telah selesai menandatangani kontrak. Tapi aku tidak tahu bahwa tempat ini adalah tempat itu. Ayah seharusnya mengatakannya padaku sejak awal,” ujar Kim Jae Ha pada ayahnya di ponselnya.
Tak lama kemudian, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik kembali ke rumah. Mereka mengabarkan kalau mereka sudah menyelesaikan masalah kontrak pertanian dan mentransfer deposit uang muka pada Ja Eun setelahnya.
“Kau sudah bekerja keras. Sekarang semuanya telah berakhir,” ujar Nenek dengan berat hati.
“Sudah berakhir sekarang. Rasanya sangat melegakan namun juga sedih di saat yang bersamaan. Tapi Ibu, nama Presiden Direktur dari Perusahaan itu adalah Kim Hong. Tidak mungkin jika orang itu adalah Kim Hong yang itu, bukan? Aku berusaha berpikir bahwa tidak mungkin jika mereka orang yang sama, tapi nama Kim Hong bukanlah nama yang pasaran,” ujar Hwang Chang Sik, menjelaskan dengan nada khawatir.
“Siapa itu Kim Hong?” tanya Park Bok Ja tampak bingung.
“Ah, apakah orang itu adalah pria yang menikah kembali dengan adik ipar?” tanya Park Bok Ja.
“Adik ipar apanya?” seru Nenek dengan emosi jiwa melanda.
“Maafkan aku, Ibu. Aku bukan seperti Ibu yang masih menyimpan dendam hingga sekarang,” sahut Park Bok Ja meminta maaf.
“Tidak! Itu pasti bukan dia! Jangan bicara omong kosong! Bila mereka masih manusia, tidak mungkin mereka ingin membeli pertanian kita. Itu bukan dia! Lagipula mereka tidak tinggal di Korea,” ujar Nenek menyangkal, walau hatinya mulai tidak tenang.
“Apa kau ingin mendengar alasannya?” tantang Kim Jae Ha.
“Lupakan saja. Tak ada gunanya lagi aku mendengarnya karena kontraknya sudah ditandatangani. Sudahlah. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Aku benci memukul orang! Aku sungguh membencinya. Jadi jangan muncul lagi di hadapanku mulai saat ini!” ujar Tae Hee dengan dingin dan tajam.
Dia melepaskan Kim Jae Ha dan berniat berjalan pergi, namun Kim Jae Ha tetap melanjutkan ucapannya, “Selain masalah pertanian, ada hal lain yang tetap harus kau dengar,” ujar Kim Jae Ha, mengabaikan peringatan Tae Hee.
Tae Hee mencoba memukulnya namun kali ini Kim Jae Ha menahan
pukulan itu sebelum Tae Hee sempat memukulnya.
“Dengarkan aku! Karena aku menemuimu di sini bukan karena aku menginginkannya,” ujar Kim Jae Ha tegas.
Tae Hee ingin memukulnya sekali lagi, tapi kali ini Kim Jae Ha mencoba melawan. Mereka berdua saling mencengkeram kerah masing-masing dan bersiap untuk berkelahi lagi, jadi Kim Jae Ha terpaksa meneriakkannya dengan lantang tujuan kedatangannya agar Tae Hee mendengarkannya.
“Aku bilang dengarkan aku! Ibu sudah meninggal. Aku bilang Ibu sudah meninggal,” seru Kim Jae Ha menginformasikan.
Ekspresi Tae Hee yang tadinya tampak emosi, mendadak dalam sekejap berubah menjadi shock dan tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca saat mendengar berita yang sama sekali tidak dia duga. Air mata tertahan di sudut matanya.
“MWO (Apa)?” ujarnya lirih.
“Ibu...” Kim Jae Ha ingin mengulangi ucapannya, namun Tae Hee menghentikannya sebelum Kim Jae Ha mengulangi kalimatnya. Tae Hee tidak ingin mendengarnya karena dia masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya. Tae Hee masih dalam tahap denial.
“TUTUP MULUTMU! AKU BILANG TUTUP MULUTMU!” seru Tae Hee dengan emosi dan mata berkaca-kaca.
Cut Scene :
1. Tae Hee and Ja Eun "Tend the injured hand" scene :
2. Tae Hee drink with his brothers :
Blogger Opinion :
Tae Hee is going to fall apart. It’s one thing to hate the woman who abandoned you, but a total different story when you learn she isn’t alive for any chance of reconciliation. This is going to devastate Tae Hee and he would go to find Ja Eun. I know he would go to Ja Eun and cry. Just like he did when he was drunk, putting aside what he promised Ja Eun to stay away and instinctively he will follow his urge and confide in Ja Eun again.
Nyesek banget jadi Tae Hee. Udah patah hati, eh ditambahin pula denger berita kalau ibu kandungnya uda meninggal T_T Meninggal tanpa sempat memohon pengampunan pada Tae Hee dan tanpa menjelaskan padanya alasan kenapa dia meninggalkan Tae Hee kecil seorang diri, meninggal tanpa sempat melihat Tae Hee untuk yang terakhir kali. Pergi begitu saja meninggalkan dunia ini dengan meninggalkan begitu banyak luka di hati Tae Hee tanpa dia sempat mengobatinya. Egois bener nih emak kandungnya Tae Hee >_< Poor Tae Hee T_T Emak kandungnya yang membuat luka di hati Tae Hee, Baek Ja Eun yang nantinya bertugas menyembuhkannya.
Di saat depresi dan tertekan seperti ini, pasti hanya ada satu nama yang terlintas di hati Tae Hee yang dia yakin bisa menyembuhkan luka hatinya, yaitu Baek Ja Eun. Di episode berikutnya, Tae Hee tanpa sadar pergi mencari Ja Eun karena dia ingin menangis di pundaknya, ingin Ja Eun menghiburnya dan menenangkan hatinya seperti dulu saat dia sedang marah. Tanpa dia sadari langkah kakinya berjalan ke arah Ja Eun, berharap Ja Eun kali ini bisa memberinya pelukan hangat. Tapi masalahnya Ja Eun sekarang masih marah, akankah Tae Hee mendapatkan apa yang dia butuhkan dan dia inginkan kali ini? Ataukah Ja Eun akan menolaknya dengan dingin sekali lagi?
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/629 + https://gswww.tistory.com/630 )
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Ja Eun is one and only of his medicine to feel calm. And Ja Eun should quickly apologize both Ahjumma and Ahjussi. They came all the way to see her and send some foods. I guess she need a little bit time before she can release her anger. And I know, even if she still angry with Hwang’s family, she still love and miss them.
-------00000------
Episode 30:
Episode 30 dimulai dengan Ja Eun yang masih membantu membalut luka Tae Hee dengan lembut dan perhatian. Ketika Ja Eun fokus membalut lukanya, Tae Hee tampak menatap wajah cantik di hadapannya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.
Sambil terus menatap Ja Eun dalam keheningan, suara hati Tae Hee terdengar trenyuh di latar belakang, “Aku berharap tanganku terluka setiap hari, jadi dengan begitu kau bisa mengobati tanganku yang terluka. Di saat seperti ini, aku bahkan memikirkan hal-hal konyol seperti ini. Itu sebabnya aku bahkan tak bisa bertanya, kenapa kau terlihat begitu kurus dalam beberapa hari? Apa kau tidak makan dengan baik?” ujar Tae Hee dalam hatinya dengan tatapan cemas yang dipenuhi kerinduan.
(Nah kan, benar? Sampe segitu kangennya Tae Hee, hingga dia rela terluka setiap hari asalkan Ja Eun bisa merawat dan mengobatinya setiap hari. Poor Tae Hee >_< Dia benar-benar haus cinta dan perhatian dari Ja Eun >_<)
Setelah beberapa saat membalut lukanya, Ja Eun berkata lembut, “Aku akan pergi membeli perekat, tunggulah sebentar,” ujar Ja Eun, namun Tae Hee menghentikannya.
“Tidak. Tidak perlu. Ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih,” ujar Tae Hee dengan hati berat.
Tae Hee tampak tidak ingin menahan Ja Eun lebih lama lagi, karena takut kalau terlalu lama bersamanya, dialah yang akan semakin tidak rela untuk melepaskan gadis itu dan berakhir membuat Ja Eun marah lagi seperti dulu. Lagipula, bukankah Tae Hee sudah berjanji akan menjauh? Tae Hee hanya mencoba sadar diri dan mencoba menerima kenyataan kalau dia dan Ja Eun mungkin tak bisa bersama. Poor My Baby Tae Hee T_T
“Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi dulu,” ujar Ja Eun, dengan ekspresi kecewa di wajahnya.
“Ya. Pergilah,” sahut Tae Hee dengan pelan, tampak tak rela namun dia memang harus membiarkan Ja Eun pergi jika itu memang yang gadis itu inginkan. Ingat, Tae Hee tak ingin memaksa.
Saat mengucapkan kalimat itu, lagi-lagi Tae Hee tak mampu menatap mata Ja Eun, menunjukkan kalau kalimat itu bukanlah sesuatu yang keluar dari dalam hatinya, bukanlah keinginannya yang sebenarnya. Ekspresi Tae Hee tampak kacau, seolah-olah separuh jiwanya telah ikut pergi bersama Ja Eun sekarang.
Sebenarnya tak hanya Tae Hee yang tampak tak rela membiarkan Ja Eun pergi, namun Ja Eun sendiri juga sepertinya tak rela pergi dari sana. Ekspresi wajah Ja Eun terlihat sangat kecewa ketika Tae Hee berkata, “Ya. Pergilah”, seolah-olah Ja Eun berharap Tae Hee akan menahannya lagi kali ini, namun sayangnya, Tae Hee tetap membiarkannya pergi dan tak ingin menahannya lagi.
(Wanita memang makhluk paling membingungkan di dunia ini. Dia sendiri yang menyuruh Tae Hee pergi dan jangan mengganggunya lagi, tapi setelah Tae Hee benar-benar pergi, Ja Eun berharap Tae Hee kembali mengejarnya seperti dulu dan menahannya agar tidak pergi. Maumu apa sih, Ja Eun-ah? Jangan membuat Tae Hee bingung. Tae Hee tuh gak ngerti cinta, dia gak pernah jatuh cinta sebelumnya, kamulah yang pertama dan terakhir baginya, jadi wajar kalau dia gak tahu gimana harus bersikap. Katakan yang jelas, jangan ambigu! Dan jangan mempermainkan perasaannya! Quit Playing Games With His Heart! Sakit tahu gak perasaannya Tae Hee ditarik ulur seperti ini? Poor My Baby Tae Hee >_< Gemes lama-lama sama Ja Eun. Udahan dong marahnya >_<)
Setelah Ja Eun berbalik dan mulai berjalan pergi, Tae Hee mulai memberanikan diri mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Ja Eun melangkah, dia menatap punggung Ja Eun dengan sendu dan tatapan tak rela. Seolah-olah dari tatapan mata itu, Tae Hee berkata, “Don’t go! How can I wake up tomorrow? I feel so sad. I cannot trust love anymore!”
Ja Eun pun berjalan dengan sangat pelan, seolah-olah memberikan waktu bagi Tae Hee agar bisa mengejarnya dan menghentikannya seperti dulu, namun sayangnya kali ini, hal itu tidak terjadi.
Setelah Ja Eun pergi, Tae Hee mendapat telepon dari saudara-saudaranya yang mengajaknya untuk bertemu di warung kecil tempat mereka biasa minum. Jadi di sinilah dia sekarang, Tae Hee yang juga sedih, depresi dan tertekan harus datang untuk menghibur kakak pertamanya yang baru saja diputus oleh kekasihnya, Ye Jin yang tidak bisa menerima kondisinya yang merupakan pria dengan satu anak.
Tae Shik tampak sedih dan patah hati, dia meminum alkohol dengan satu tegukan (seperti Tae Hee waktu itu) dan membuat saudara-saudaranya khawatir.
“Hyung, minumlah pelan-pelan. Lebih baik kita minum bersama,” ujar Tae Bum mencoba menghibur kakaknya.
Tae Phil membantu menuangkan minuman itu ke dalam gelas Tae Bum dan Tae Hee yang baru saja datang dan belum sempat menuang minuman ke dalam gelas mereka sendiri.
Tae Bum mengajak saudara-saudaranya bersulang dan menyuruh Tae Shik untuk memakan cemilan pendamping juga agar perutnya tidak kosong, lagipula cemilannya terlihat lezat. Tae Bum tampak menunjuk makanan kecil di depan mereka agar Tae Shik memakannya.
Saat Tae Bum menyuruh Tae Shik untuk makan, Tae Phil menyadari ada yang salah dengan tangan kanan Tae Hee dan bertanya dengan nada khawatir.
“Ada apa dengan tangan kananmu?” tanya Tae Phil, yang kini tampak berusaha untuk lebih dekat dengan Tae Hee setelah mendengar curhatan Tae Hee di EP 28.
“Terluka,” jawab Tae Hee padat, singkat dan jelas. Tae Hee introvert yang jarang ngomong, dan dia hanya bicara panjang lebar jika bersama Ja Eun seorang. Di depan orang lain, Tae Hee termasuk orang yang irit kata dan cenderung dingin dan pendiam.
“Tentu saja. Tanganmu diperban tentu saja karena kau terluka. Apa mungkin seseorang diperban hanya untuk penampilan agar terlihat keren? Maksudku adalah kenapa kau sampai terluka?” tanya Tae Phil tampak gemas dengan jawaban Tae Hee yang padat, singkat dan jelas namun tidak menjawab pertanyaannya dan tidak menjelaskan apa pun. Bagi Tae Phil, ngomong sama Tae Hee sama dengan ngomong sama tembok.
“Saat melakukan pekerjaanku,” sahut Tae Hee masih dengan padat, singkat dan jelas. Jelas terlihat tidak ingin memberikan penjelasan lebih rinci.
(Gak mungkinlah type introvert seperti Tae Hee menjawab, “Aku terluka demi melindungi gadis yang kucintai, namun setelah itu dia bukannnya berterima kasih dan memberikan pelukan hangat padaku atau ciuman manis, dia justru meninggalkan aku begitu saja setelah membantu membalut lukaku. Apa kau tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ini?” Hahaha ^_^ Impossible Tae Hee ngomong gitu. Tae Hee kalau gak ditanya ya bakal mingkem seribu bahasa. Hanya Ja Eun doang yang bisa mengeluarkan Tae Hee dari “cangkangnya” dan membuatnya bercerita panjang lebar. Kalau orang lain mah, cuma direspon seadanya doank sama Tae Hee >_<)
Karena Tae Hee tampak menolak untuk menjelaskan kenapa dia bisa sampai terluka, akhirnya Tae Phil menjawab dengan sarkas karena kesal, “Sudahlah, lupakan. Karena kau adalah seorang polisi, sudah tentu kau pasti akan terluka saat sedang berusaha menangkap penjahat daripada terluka karena hal lain. Lupakan saja! Anggap aku tak bertanya,” ujar Tae Phil, menyerah dengan kesal.
(Tae Phil be like : “Percuma ngomong sama tembok!” >_<)
Tae Hee hanya menatap Tae Phil datar sebelum akhirnya mengubah topik pembicaraan kembali ke Tae Shik dan bertanya bagaimana Yejin mengetahuinya.
“Bagaimana dia akhirnya mengetahui masalah ini?” tanya Tae Hee, kembali ke topik awal dan tujuan dari pertemuan ini.
“Dia tiba-tiba saja datang ke rumah kita tanpa pemberitahuan lebih dulu. Dan Guksu kebetulan ada di ruang tamu saat itu. Dia bertanya siapa Guksu sebenarnya dan kenapa dia bisa ada di rumah kita. Hyung tidak tahu harus menjawab apa, jadi akhirnya Ayah mengungkapkan kebenarannya, ‘Dia adalah putra Tae Shik’, seperti itulah kejadiannya,” jelas Tae Phil panjang lebar karena dia adalah satu-satunya saksi mata saat kejadian itu.
“Ayah sudah bertindak terlalu jauh,” ujar Tae Bum mengomentari.
“Lalu apa yang dikatakan Yejin?” tanya Tae Bum pada Tae Shik.
“Menurutmu apa yang akan dia katakan? Bila itu terjadi padamu, apa yang akan kau katakan?” alih-alih menjawab, Tae Shik justru melemparkan pertanyaan itu pada Tae Bum.
“Aku tidak akan bisa berkata-kata lagi. Bila itu adalah aku, tanganku akan bertindak lebih dulu daripada mulutku,” sahut Tae Bum, mencoba memposisikan dirinya sebagai wanita. (Tangan bertindak lebih dulu alias ditampar)
“Benar. Itulah yang terjadi. Tangannya bertindak lebih dulu,” sahut Tae Shik, membenarkan dengan frustasi.
“Kau benar-benar ditampar?” tanya Tae Bum dengan kaget.
Tae Phil membuat tanda angka 2 dengan jarinya secara diam-diam agar Tae Shik tidak melihatnya. Tae Bum tampak shock, sementara Tae Hee hanya menghela napas dan menjadi pendengar yang setia tanpa berkomentar apa-apa.
(Tae Hee be like : “Aku juga pernah ditampar 2 kali oleh gadis yang kucintai, apa hebatnya itu? Tak hanya ditampar, sekarang akupun terluka demi melindunginya. Aku malah baku hantam dengan penjahat dan terluka berdarah-darah. Ditampar aja sedih, Hyung. Itu hal yang biasa, tidak perlu didramatisir, Hyung. Be a man!” Tapi tentu saja, Tae Hee tidak akan menyuarakannya ^_^)
“Apa kalian mengerti Ayah? Tidak peduli berapa banyak aku mencoba mengerti Ayah, aku tetap tidak memahaminya,” ujar Tae Shik mengeluh, seolah-olah dunianya sudah hancur berantakan karena Yejin meninggalkannya. Padahal dia gak tahu aja kalau Yejin gak cinta dia dan cuma mengincar pertanian milik Ja Eun, yang dia kira adalah milik keluarga Hwang. Cewek materialistis dan banyak hutang kayak Yejin, gak rugi kalau ditinggalin, yang rugi itu kalau ditinggalin cewek modelan Baek Ja Eun.
“Tentu saja kau tidak mengerti Ayah. Itu bukan sekali atau dua kali kau tidak memahami ayah kita,” sahut Tae Bum, mengungkapkan fakta kalau Tae Shik memang sejak dulu tak pernah mengerti ayahnya.
“Walaupun sebelumnya ada banyak masalah yang kusebabkan, tapi kali ini Ayah bertindak terlalu jauh. Sebagai anak pertama, aku tahu aku tidak pernah membuatnya bangga, aku membuatnya tak pernah percaya padaku selama ini dan selalu mengecewakannya. Aku tahu itu lebih baik dari siapa pun, tapi aku...” keluh Tae Shik, meratapi keegoisannya sendiri.
(Siapa suruh loe egois, Bambang! Itu anakmu tapi kakek dan neneknya yang suruh ngerawat dan kamu gak mau mengakuinya. Ya jelas ngamuklah Hwang Chang Sik! Berani berbuat, berani bertanggung jawab! Berani menghamili ya berani merawat dan membesarkan anakmu dong! Atas dasar apa kakek neneknya yang membesarkan sementara papanya masih ada dan sehat? Atas dasar calon ibu tirinya gak mau ngerawat dan membesarkan?)
“Aku pikir Yejin-ssi adalah takdirku. Kupikir dia adalah anugerah dalam hidupku,” lanjut Tae Shik sambil menangis, meratapi wanita egois, materialistis dan banyak hutang yang gak pernah mencintainya sedikit pun dan hanya mencintai pertanian yang bukan milik keluarga Hwang dan berniat menjualnya untuk membayar hutang-hutangnya.
Tae Hee menuangkan minuman lagi ke dalam gelas Tae Shik dan berusaha menghiburnya, “Hyung, jika Yejin-ssi memang takdirmu, semua ini pasti tidak akan berakhir begitu saja,” hibur Tae Hee, walau dirinya sendiri sedang patah hati.
Dia sendiri patah hati, tapi masih menghibur orang. Apa kau sedang adu nasib, Tae Hee-yyaa? Ingin melihat siapa yang paling ngenes di sini, begitukah?
Tae Bum setuju dengan Tae Hee dan menambahkan, “Benar. Biarkan takdir yang akan bekerja dan menyelesaikan semuanya. Bila setelah melewati rintangan ini, kau dan Yejin masih bisa bersama, berarti kalian memang ditakdirkan untuk bersama. Hyung, bukankah kau juga tahu itu?” ujar Tae Bum, setuju dengan pendapat Tae Hee.
“Kupikir hidupku sebelum dan sesudah bertemu Yejin akan mengalami perubahan besar. Kupikir Yejin-ssi adalah titik balik dalam hidupku,” sahut Tae Shik dengan mendramatisir. Kemudian dia tiba-tiba saja berdiri dan membuat ketiga saudaranya bingung.
“Kenapa? Apa kau mau pergi ke suatu tempat?” tanya Tae Phil.
“Aku ingin ke toilet,” sahut Tae Shik dengan gelagat aneh. (Aslinya Tae Shik ingin bunuh diri namun gagal karena airnya terlalu dingin dan dia gak berani. Tapi gak perlu diceritakan detil karena gak ada hubungannya dengan Tae Hee dan Ja Eun. Sekilas info aja ^^ Inipun aku masukin karena ada scene Tae Hee di dalamnya ^^)
“Jadi seperti itu? Dia merasa titik balik dalam hidupnya adalah saat dia bertemu Yejin-ssi. Kalau begitu kapan titik balik dalam hidupku?” ujar Tae Bum, mencoba melihat kembali perjalanan hidupnya.
“Apa bukan saat kau diterima bekerja di IBC?” tebak Tae Phil.
“Atau mungkin saat kau menikah dengan Hyungsoo-nim (Kakak Ipar)? Bukankah itu memberikan perubahan besar dalam hidupmu, bila dipikirkan kembali?” tebak Tae Hee, berbeda dengan Tae Phil.
“Bagiku, yang masih memiliki dampak terbesar dalam perubahan hidupku adalah saat aku putus dari Hye Ryeong. Sepertinya saat itu adalah titik balik dalam hidupku,” sahut Tae Bum seraya mengenang masa lalu dengan ekspresi sedih.
(Tae Bum ini uda pacaran 10 tahun sama cewek namanya Hye Ryeong namun karena Tae Bum gak ngajakin nikah juga, karena gak ada duit, akhirnya Hye Ryeong menerima lamaran dari pria lain saat itu dan mereka pun putus. Sekilas info ^_^ Gak perlu dituliskan di sini karena gak ada hubungannya dengan Tae Hee dan Ja Eun ^_^)
“Kenapa harus mengungkit kembali masa lalu yang menyakitkan itu?” protes Tae Phil, masuk akal. Move on dong, Tae Bum-ah!
“Aku hanya menceritakan kisah titik balik dalam hidupku,” sangkal Tae Bum.
“Bagaimana denganmu, Tae Hee? Kapan titik balik dalam hidupmu?” tanya Tae Bum pada Tae Hee.
“Kenapa bertanya padanya? Apa kau pikir dia akan menjawabnya?” ujar Tae Phil dengan sarkas seraya melirik Tae Hee malas. Namun di luar dugaannya, Tae Hee justru menjawabnya. Tumbenan Tae Hee-yaa ^^
“Kupikir itu saat usiaku enam tahun. Bila kau menanyakan kapan titik balik dalam hidupku dan kapan hidupku berubah. Saat dia menikah lagi dan pergi meninggalkan rumah, kemudian aku diadopsi oleh Paman dan Bibi dan mereka mengangkatku sebagai putra mereka,” sahut Tae Hee dengan nada sedih namun ekspresinya terlihat tegar. Tae Hee bahkan menolak memanggil ibu kandungnya dengan sebutan “Ibu” dan hanya memanggilnya dengan sebutan “Dia”.
“Kau pemenangnya. Kau pemenangnya. Kaulah yang paling hebat di antara kita,” puji Tae Bum, merasa salut.
“Tapi kau tidak seharusnya menyebutkan sesuatu yang tak bisa kau ubah karena kau masih kecil. Kau harusnya menyebutkan sesuatu yang mengubah hidupmu di saat kau sudah bisa membuat keputusan sendiri,” lanjut Tae Bum memprotes, sementara Tae Hee hanya tersenyum sedih.
“Lalu bagaimana denganmu? Kapan titik balik hidupmu?” tanya Tae Hee pada Tae Phil, mengabaikan ucapan Tae Bum karena bagi Tae Hee, ditinggalkan ibunya bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan, sebaliknya itu adalah luka yang menyakitkan.
“Aku? Kurasa aku belum memilikinya. Mulai sekarang, aku akan melakukan sesuatu yang kelak akan menjadi titik balik dalam hidupku dan mengubah hidupku sepenuhnya,” sahut Tae Phil sambil berpikir.
“Kenapa kau tidak memilikinya? Saat kau masih SMA dan kabur dari rumah, kau bekerja serabutan di restoran lalu tertangkap olehku dan Ibu saat itu dan kami menyeretmu pulang,” sahut Tae Hee, mengingatkan kemungkinan itu pada Tae Phil.
“Benar. Itu karena kau tertangkap oleh Ibu dan Tae Hee jadi kau bisa pulang ke rumah dengan selamat dan hidupmu baik-baik saja. Jika tidak, tidak ada seorangpun yang tahu bagaimana hidupmu sekarang,” ujar Tae Bum setuju dengan Tae Hee.
“Kenapa harus mengungkit kembali masa-masa di mana aku belum dewasa? Dibandingkan dengan Tae Shik Hyung...” protes Tae Phil, namun seketika ucapannya terhenti.
“Tunggu! Di mana Tae Shik Hyung? Bukankah ini sudah terlalu lama? Kenapa dia masih belum kembali juga?” tanya Tae Phil dengan cemas.
“Kita harus memeriksa ke toilet sekarang,” ujar Tae Bum.
“Aku akan pergi memeriksanya,” sahut Tae Hee yang segera berdiri untuk mencari Tae Shik di toilet.
Di pertanian, Park Bok Ja tampak duduk dengan lesu dan mengeluh seorang diri, “Para pria keluarga Hwang sangat bau! Benar-benar *bau! Mereka tak pernah dewasa sepanjang hidupnya!” omel Park Bok Ja dengan lelah.
*Bau di sini bukan bau beneran ya, bukan bau yang artinya aroma tidak sedap dll, tapi lebih ke arah perumpamaan seperti “menyebalkan, bikin kesal, bikin orang capek menghadapi mereka”.
Lalu tiba-tiba saja terdengar suara riang Ja Eun yang bertanya padanya, “Ahjumma, apa yang membuatmu begitu kesal?”
Namun sekarang, tak ada Ja Eun lagi yang bertanya seperti itu dan mengerti perasaannya, anak laki-laki semuanya tidak peka dan tidak berguna, selain hanya menang kuat di fisik, semua anak laki-laki tak ada yang mengerti perasaan Ibu mereka. Berbeda dengan anak perempuan yang lebih peka dan perasa.
“Sekarang aku bahkan bisa mendengar hal yang tidak ada?” gumam Park Bok Ja sedih. (kalau orang Surabaya bilangnya “krungu-krunguen” alias “terngiang-ngiang” ucapan seseorang yang gak ada di samping kita)
“Ja Eun-ah, bagaimana kabarmu sekarang? Hidup Ahjumma benar-benar kacau dan melelahkan saat ini,” ujar Park Bok Ja, mengeluh pada Ja Eun seolah-olah dia ada di sana untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Akhirnya karena terlalu merindukan Ja Eun, Park Bok Ja memutuskan untuk mengunjungi Ja Eun di penginapannya, tapi sebelum itu, dia membuatkan Ja Eun makanan kesukaannya yaitu bubur abalone yang dimasaknya sendiri, beserta banyak makanan lainnya yang kesemuanya adalah makanan favorite gadis itu.
Park Bok Ja kemudian meminta suaminya, Hwang Chang Sik untuk mengantarnya ke tempat Ja Eun berada saat ini.
“Selama ini aku berpikir bila dia melihat wajahku maka pasti dia akan sangat marah, jadi aku berusaha bersabar dan menunggu hingga kemarahannya mereda. Tapi sepertinya ini sudah terlalu lama dan aku sangat merindukannya sekarang, aku ingin melihat keadaannya,” pinta Park Bok Ja dengan tatapan kerinduan seorang Ibu seraya memasukkan semua makanan itu ke dalam sebuah tas.
Tiba-tiba saja Park Bok Ja merindukan “anak perempuannya” setelah lelah melihat anak laki-lakinya yang selalu membuat masalah.
Hwang Chang Sik setuju dan mengantar sang istri ke sana, dia mengatakan bahwa Ja Eun tinggal di kamar 306. Namun saat mereka akan naik ke atas, ponsel Park Bok Ja berbunyi dan dia mengangkatnya lebih dulu sebelum menemui Ja Eun di atas.
Setelah panggilan telepon terputus, Hwang Chang Sik bertanya siapa yang menelponnya malam-malam seperti ini dan Park Bok Ja menjawab bahwa itu adalah telepon dari kantor real estate yang mengatakan kalau ada Perusahaan perfilman yang berminat dan ingin membeli pertanian mereka.
Park Bok Ja juga mengatakan kalau Perusahaan perfilman itu ingin menandatangani kontrak minggu ini dan ingin mengatur pertemuan dengan Hwang Chang Sik selaku wakil dari Baek Ja Eun.
Hwang Chang Sik tampak lega mendengarnya, “Baguslah. Kita bisa sekalian menyampaikan berita ini pada Ja Eun. Ayo kita naik,” ujar Hwang Chang Sik, namun Park Bok Ja tampak tak rela.
“Aku sangat khawatir karena mereka mengatakan bahwa mereka ingin membangun sebuah taman hiburan. Itu artinya mereka akan menebang semua pohon dan meratakannya dengan tanah,” ujar Park Bok Ja dengan sedih.
“Mereka berhak melakukan apa pun karena itu adalah milik mereka nantinya. Sudahlah, ayo kita naik!” ajak Hwang Chang Sik walau sang istri masih tampak tak rela.
(Perusahaan Perfilman itu mungkin seperti Disney yang membuat film animasi dan juga sekaligus taman hiburan, itulah sebabnya mereka ingin membeli Ojakgyo Farm)
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja akhirnya mengetuk pintu penginapan Ja Eun, walau awalnya Ja Eun menolak membuka pintu, namun karena tetangga di sekitar kamarnya merasa terganggu dengan Park Bok Ja yang selalu mengetuk pintu kamarnya tanpa henti dan membuat keributan, mau tak mau Ja Eun pun membuka pintu.
Setelah dipersilahkan masuk (dengan terpaksa), Park Bok Ja menyuruh semua orang untuk duduk agar mereka bisa bicara lebih santai.
“Aku sibuk sekarang. Bagaimana dengan pertaniannya?” tanya Ja Eun dengan dingin dan ketus.
Park Bok Ja lalu mengeluarkan makanan yang telah dimasaknya dan memberikannya pada Ja Eun, “Sebelum kita membicarakannya, Ahjumma ingin memberikan ini lebih dulu. Ini adalah bubur abalone kesukaanmu, dan Ahjumma juga membuatkanmu makanan favoritmu yang lain. Ahjumma membuatkannya untukmu sebelum datang kemari jadi makanlah setelah kami pergi, sebelum semuanya menjadi dingin. Dan ini adalah kimchi. Kau harus menghabiskan semuanya ya,” ujar Park Bok Ja dengan lembut dan penuh kasih sayang seorang Ibu.
“Aku tidak membutuhkan semua itu. Ambil kembali!” jawab Ja Eun dengan dingin.
“Jangan seperti ini, Ja Eun-ah.” Ujar Park Bok Ja dengan memohon.
“Walaupun kalian tidak ingin mengambilnya kembali, aku juga pasti akan membuangnya ke tempat sampah. Jadi ambillah kembali. Apa hanya ini yang ingin kalian katakan padaku?” ujar Ja Eun dengan dingin dan ketus.
“Tidak. Ini benar-benar karena masalah pertanian. Sebelum itu, Ahjumma ingin bertanya tentang satu hal padamu, apa kau bahagia hidup bersama ibu tirimu? Apa dia bersikap baik padamu?” tanya Park Bok Ja dengan lembut dan penuh kekhawatiran.
Ja Eun tak menjawabnya, namun hanya menatap Park Bok Ja dengan tajam. Dia mengerti maksud gadis itu dan segera mengalihkan pembicaraan mereka dan membahas tentang seseorang yang ingin membeli pertanian itu.
“Dalam perjalanan kemari, kami mendapat telepon dari kantor real estate,” ujar Hwang Chang Sik menginformasikan.
“Orang dari kantor real estate itu mengatakan kalau sebuah Perusahaan perfilman berminat untuk membeli pertanian, dia bilang Perusahaan itu berencana untuk membuat sebuah taman hiburan di sana. Jika itu benar-benar terjadi, lalu bagaimana dengan pohon-pohon itu? Mereka pasti akan meratakan pohon-pohon pir itu dengan tanah. Jadi Ja Eun, karena Ahjumma yakin pasti akan ada pembeli lain yang berminat untuk membelinya, kenapa kita tidak menunggu sebentar lagi saja dan tolak saja permintaan Perusahaan perfilman itu? Bagaimana menurutmu?” ujar Park Bok Ja, dengan nada tulus penuh permohonan agar Ja Eun menunggu sedikit lagi dan tidak menjualnya kepada Perusahaan perfilman tersebut.
Ja Eun lagi-lagi hanya menatap Park Bok Ja dengan tajam dan terlihat malas menanggapinya.
“Kami akan tetap pindah dari sana pada tanggal yang sama seperti yang kami janjikan. Hanya saja pohon-pohon itu sudah bagaikan anak-anakku sendiri, aku yang membesarkan mereka selama sepuluh tahun terakhir ini. Di hari kita panen saat itu, kau juga mengatakannya sendiri dengan mulutmu, kau berkata kalau mereka seperti bayi dan anak-anakmu. Sepanjang musim panas, kau dan aku menderita bersama demi menjaga mereka dari serangan hama, kita bekerja siang dan malam menyemprotkan pestisida. Bukankah mereka juga sama berartinya untukmu?” lanjut Park Bok Ja dengan nada penuh harap.
“Benar sekali. Tiba-tiba aku mengingatnya sekarang,” sahut Ja Eun dengan ambigu.
“Bisakah kau pinjamkan aku ponselmu? Kau tahu nomor telepon kantor real estate itu, bukan?” lanjut Ja Eun pada Park Bok Ja yang segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.
“Nomor panggilan masuk terakhir itu adalah nomor mereka,” sahut Park Bok Ja, penuh harapan, berpikir bahwa Ja Eun akan menolak tawaran pembelian itu, namun semua terjadi di luar prediksinya.
“Yoboseyo, aku adalah pemilik Ojakgyo Farm yang sebenarnya, Baek Ja Eun. Aku dengar kalau ada seseorang yang ingin membeli pertanianku. Juallah secepatnya besok siang. Ya, baguslah. Aku akan ada di sana pukul 1 siang untuk menandatangani kontraknya,” ujar Ja Eun di ponselnya dengan dingin dan tak berperasaan, sengaja ingin melukai Park Bok Ja.
Setelah sambungan teleponnya terputus, Ja Eun berkata dingin, “Setelah kau membahas tentang pohon-pohon itu, aku tiba-tiba teringat bagaimana aku sangat menderita saat musim panas itu. Itu sebabnya aku putuskan untuk menjual pertanian itu. Hanya membayangkan bagaimana pohon-pohon pir itu dihancurkan oleh bulldozer dan diratakan dengan tanah membuatku sangat puas dan bahagia,” ujar Ja Eun dengan dingin dan penuh sindiran tajam. Park Bok Ja hanya menatap Ja Eun dengan penuh kekecewaan.
Ja Eun menyodorkan ponsel itu kembali pada Park Bok Ja dan menyuruh mereka untuk pergi sekarang.
“Kau tidak seharusnya melakukan itu. Jika kau sangat membenciku, kenapa kau melampiaskan kemarahan dan kebencianmu pada pohon-pohon dan tanaman yang tidak bersalah itu? Apa kesalahan yang dilakukan oleh pohon-pohon dan semua tanaman itu padamu? Daripada kau melampiaskan kemarahanmu pada mereka, kenapa tidak kau balaskan saja padaku? Laporkan saja aku pada polisi dan biarkan mereka menangkapku. Bagaimana bisa kau melampiaskan semua kebencian dan kemarahanmu pada makhluk hidup yang tidak bersalah? Mereka juga makhluk hidup, bukan?” seru Park Bok Ja tak terima dan penuh rasa kekecewaan.
Hwang Chang Sik berusaha menghentikan Park Bok Ja namun tidak digubris oleh sang istri.
“Bagaimana denganmu, Ahjumma? Apakah aku melakukan kejahatan padamu hingga kau mencuri surat kontrakku?” Ja Eun balik menyindir.
“Itu sebabnya sebaiknya kau laporkan aku pada polisi dan masukkan aku ke dalam penjara agar aku bisa menebus kejahatanku,” sahut Park Bok Ja, masih mendebat.
“Istriku, kenapa kau seperti ini? Ayo kita pergi,” ajak Hwang Chang Sik tampak tak enak pada Ja Eun, sementara Ja Eun hanya menatap tajam Park Bok Ja tanpa mengatakan apa pun.
“Bila aku benar-benar ingin mencuri pertanian itu darimu, aku pasti sudah langsung membakar surat kontrak itu. Kenapa aku harus menyembunyikannya di bawah lemari bajuku dan menjalani hidup dengan ketakutan?” lanjut Park Bok Ja, masih tak mau menyerah membujuk Ja Eun.
“Ayo kita pergi! Jangan seperti ini,” ujar Hwang Chang Sik lagi.
“Bahkan bila aku melakukan kesalahan yang sangat fatal, walaupun aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan dikenal sebagai pencuri dan tak mampu mengatakan apa pun untuk membela diri, tapi kau tidak seharusnya kau melampiaskan kemarahanmu pada pohon-pohon itu! Setiap pohon itu adalah makhluk hidup juga, mereka memiliki kehidupan, mereka juga mencoba bertahan hidup selama ini, bagaimana bisa kau berkata begitu kejam pada pohon-pohon itu?” Park Bok Ja tampak masih tak menyerah dalam menyuarakan kekecewaannya.
“Ayo kita pergi,” ajak Hwang Chang Sik sekali lagi.
“Ahjussi minta maaf. Ini karena Ahjumma sedang mengalami masa-masa sulit saat ini dan mentalnya sedang tidak stabil. Dia sangat merindukanmu tapi sekarang dia justru bicara tentang hal lain,” ujar Hwang Chang Sik dengan bijaksana, meminta maaf telah membuat keributan, seraya menarik sang istri pergi.
“Lepaskan aku! Kenapa kau seperti ini?” seru Park Bok Ja tak terima.
Tapi Hwang Chang Sik tak peduli, dia tetap menarik Park Bok Ja berdiri dan pergi dari sana. Park Bok Ja tetap meronta dan menolak dibawa pergi namun Hwang Chang Sik tetap menariknya turun.
Ja Eun yang menyadari bila ponsel Park Bok Ja masih ada bersamanya segera membawa ponsel itu turun beserta makanan yang dibawa wanita tua itu.
“Ambil kembali makananmu!” seru Ja Eun seraya menyodorkan makanannya.
“Jika kau tidak mau memakannya maka buanglah dengan tanganmu sendiri,” tantang Park Bok Ja.
Ja Eun kemudian menurunkan tas berisi makanan itu ke tanah dan menyodorkan ponselnya pada Hwang Chang Sik.
“Apa itu ponsel Ahjumma?” tanya Hwang Chang Shik mengkonfirmasi, melihat Ja Eun tidak menyangkal maka sepertinya itu benar.
“Setelah kupikirkan lagi, sepertinya besok aku masih ada kelas. Aku tidak harus pergi ke sana juga, kan?” tanya Ja Eun, mengubah pikirannya.
“Baiklah kalau begitu. Setelah kontraknya ditandatangani dan aku mendapatkan uangnya, uang itu akan segera kutransfer ke rekeningmu, jadi kirimilah aku nomor rekeningmu melalui pesan,” sahut Hwang Chang Sik menyetujui.
“Baiklah,” sahut Ja Eun sebelum melangkah naik ke atas dan meninggalkan tas berisi makanan itu di tanah, di luar penginapan.
Hwang Chang Sik bertanya bagaimana dengan makanannya, namun Park Bok Ja berkata untuk meninggalkannya di sana saja. Hwang Chang Sik tampak tak rela membuang makanan itu namun tak berdaya menentang istrinya. Akhirnya mereka tetap pergi dari sana tanpa membawa kembali makanannya.
Setelah beberapa saat, Ja Eun kembali turun ke bawah dan melihat tas berisi makanan itu masih di sana. Tak tega membuang makanan, akhirnya Ja Eun membawa kembali makanan itu naik ke atas namun memberikannya kepada tetangga di depan kamarnya yang tadi sempat protes terganggu dengan keributan yang dibuat oleh Park Bok Ja, sebagai tanda permintaan maafnya. Gadis muda bertubuh gendut itu menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih karena diberi makanan.
Keesokan harinya saat sarapan, Nenek bertanya ke mana Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja pergi semalam.
“Ke mana kalian berdua pergi semalam?” tanya Nenek penasaran pada Hwang Chang Sik.
“Kami pergi menemui Ja Eun. Ibu anak-anak bilang dia sangat merindukan Ja Eun,” sahut Hwang Chang Sik.
Mendengar nama Ja Eun disebut, Tae Hee tampak membatu sesaat. Tatapan matanya berubah sendu dan sorot kerinduan tampak di sana, mendengar kata “rindu”, Tae Hee sadar dia juga merindukan gadis itu.
“Apa dia memperlakukan kalian berdua dengan baik?” tanya Nenek penasaran.
“Tentu saja tidak. Dia bahkan awalnya menolak membuka pintu. Tapi kami memaksa masuk dan mereka akhirnya bertengkar lagi,” sahut Hwang Chang Sik menjelaskan situasinya.
Tae Hee hanya terdiam membisu dan mendengarkan dengan seksama namun tatapan matanya mengandung berbagai rasa : sedih, rindu, frustasi serta cinta yang tak terbalas. Mencintai dalam diam itu menyesakkan dada ya, Tae Hee-yaa??
“Tentu saja dia akan bersikap seperti itu. Apa mungkin dia bisa kehilangan amarahnya dengan mudah? Tapi apa anak itu sehat-sehat saja?” tanya Nenek dengan khawatir. Nenek bahkan tidak marah dan tampak memaklumi sikap Ja Eun karena dia tahu merekalah yang lebih dulu menyakiti gadis itu dengan dalam.
“Dia tidak terlihat seperti sedang sakit,” sahut Hwang Chang Sik.
“Aku merindukan anak itu berkeliling di sekitar rumah ini dan berteriak dengan suara keras ‘Halmoni, Ahjumma, Ahjussi’. Aku sangat merindukan suara riangnya sekarang,” ujar Nenek dengan sedih dan penuh kerinduan. Setelah Ja Eun pergi, barulah mereka merasakan rumah itu kembali sepi dan dingin seperti sebelumnya.
“Setiap pagi dia akan berteriak nyaring memanggil ‘Ha Na-ya, bawakan aku tissue’. Aku juga merindukan kata-kata itu. Tidak mudah berurusan dengan orang seperti itu, begitulah yang kupikirkan pada awalnya. Rasanya sangat aneh ada seorang gadis seperti itu. Tapi saat dia tak ada di sini, rasanya sangat kosong,” lanjut Nenek dengan wajah penuh kesedihan dan kerinduan. Nenek sudah menganggap Ja Eun seperti cucu perempuannya sendiri dan kini dia merasa kosong saat Ja Eun tak di sana.
Tak hanya Nenek yang tampak sedih, Park Bok Ja dan Tae Hee pun tampak sama. Khususnya Tae Hee yang hanya bisa menelan sendiri perasaannya yang menyesak dalam dada. Mendengar bagaimana keluarganya juga merindukan Ja Eun sama seperti dirinya, membuat hatinya semakin sesak dan membuatnya semakin menyadari arti gadis itu dalam hidupnya dan juga hidup semua orang di keluarganya.
Tak hanya sang Nenek, dia pun merasa sangat kosong saat Ja Eun tak ada lagi di hadapannya, saat Ja Eun tak ada lagi bersamanya dan saat dia tak bisa lagi mendengar suaranya yang ceria dan senyuman hangatnya. Kalimat curhat sang Nenek yang merindukan Ja Eun, membuat semua keinginan Tae Hee untuk melupakan gadis itu menjadi sia-sia. Bagaimana bisa dia melupakan Ja Eun jika keluarganya sendiri selalu membahasnya? Tae Hee hanya mampu menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan hatinya yang kacau dan gelisah.
(Sekali lagi aku kagum dengan aktingnya Joo Won, walau tanpa dialog terucap, namun tatapan matanya sudah bisa mengatakan semua yang dia rasakan dalam hatinya sekarang : ketidakberdayaan, kerinduan, kesedihan, cinta yang tak terbalas, kegelisahan, kegundahan, keputusasaan, kesepian serta betapa kosongnya hidupnya saat ini, semua tergambar dalam tatapan matanya. Aku heran kenapa aktor hebat seperti Joo Won malah kalah pamor sama Lee Min Ho dan Cha Eun Woo yang gak bisa akting sih? Cuma jual tampang doang bisanya. Giliran aktor hebat kayak Joo Won, malah kurang dikenal publik, underated banget sampai sekarang >_<)
“Oh ya, Ibu. Hari ini kami akan menandatangani kontrak untuk penjualan pertanian hari ini. Ja Eun sudah setuju jadi mereka memutuskan untuk melakukannya hari ini,” ujar Hwang Chang Sik, mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa Perusahaan perfilman yang waktu itu?” tanya Nenek mengkonfirmasi.
“Ya. Pertemuannya akan diadakan jam 1 siang nanti,” sahut Hwang Chang Sik membenarkan.
“Kalian berdua juga harus tahu,” ujar Hwang Chang Sik pada Tae Hee dan Tae Phil. Tae Phil menjawab “Ya” sementara Tae Hee hanya mengangguk dengan hati berat. Bukannya dia tak rela menjual pertanian ini, Tae Hee hanya takut kalau setelah ini, dia dan Ja Eun takkan bisa bertemu lagi selamanya.
Siang harinya, Kim Jae Ha datang bersama asistennya. Petugas real estate memperkenalkan kedua belah pihak yang bersangkutan dan mereka pun berkenalan secara resmi sebelum acara penandatanganan diadakan.
“Kau masih terlihat muda tapi sudah menjadi Wakil Presdir,” puji Hwang Chang Sik.
“Tidak ada hubungannya dengan kemampuan, semuanya berkat orangtuaku. Ayahku adalah Presiden Direktur Perusahaan ini,” sahut Kim Jae Ha dengan jujur mengakui.
Kontraknya sudah distempel dan Hwang Chang Sik mengecheck notifikasi di ponselnya yang menunjukkan bahwa uang mukanya sudah ditransfer masuk.
Kim Jae Ha bertanya apakah dia boleh datang untuk melihat-lihat pertanian itu dan Hwang Chang Sik tentu saja mengijinkannya. Park Bok Ja menggunakan kesempatan ini untuk memberitahunya tentang kebun pir mereka dan berharap agar mereka tidak menebangnya dan meratakannya dengan tanah.
Hwang Chang Sik dengan sungkan mengatakan bahwa sejak kemarin istrinya sudah seperti ini dan meminta Kim Jae Ha untuk memakluminya.
Hwang Chang Sik melihat nama yang tertera dalam kontrak dan membaca nama Kim Hong di sana. Dia seolah memikirkan sesuatu. Namun saat itu, telepon dari Tae Hee membuyarkan lamunannya.
“Ya, ada apa?” tanya Hwang Chang Sik di ponselnya.
“Ah, benarkah? Kalau begitu keluarlah,” lanjut Tae Hee, setelah mendengar sang ayah berkata sudah selesai.
Tak lama kemudian, Tae Hee melihat kedua orangtuanya berjalan keluar. Dia berjalan menghampiri mereka dengan tersenyum manis.
“Kau datang, Tae Hee-yaa?” tanya Park Bok Ja dengan lembut. Tae Hee tersenyum pada ibunya namun ekspresinya langsung berubah saat melihat Kim Jae Ha berjalan keluar dari tempat yang sama dengan orangtuanya dan berjalan di belakang mereka.
Tae Hee hanya menatap Kim Jae Ha tajam penuh tanya namun tidak mengatakan apa-apa.
“Ah, mereka adalah perwakilan dari Perusahaan perfilman yang ingin membeli pertanian kita,” jelas Park Bok Ja, mengerti arti tatapan Tae Hee yang seolah mengatakan "Apa yang orang ini lakukan di sini?"
“Mereka yang membeli pertanian kita?” ulang Tae Hee mengkonfirmasi, tampak terkejut namun sebisa mungkin menutupinya.
“Ya. Bukankah Ayah sudah mengatakan kalau ada sebuah perusahaan perfilman yang ingin membeli pertanian kita?” sahut Hwang Chang Sik yang tidak mengetahui apa-apa.
“Dia adalah putraku,” ujar Hwang Chang Sik pada Kim Jae Ha, memperkenalkan Tae Hee tanpa tahu mereka sudah saling mengenal lebih dulu. Kim Jae Ha menatap orangtua Tae Hee sekilas kemudian kembali menatap Tae Hee yang menatapnya dengan aura permusuhan.
Kemudian setelah berpamitan pada Kim Jae Ha, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik mengajak Tae Hee pergi dari sana. Tae Hee segera memasang senyum manis palsu di hadapan sang Ibu dan mengantar kedua orangtua angkatnya masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apa-apa. Walaupun dalam hati, dia terlihat ingin menghajar Kim Jae Ha. Namun Tae Hee berakting seolah mereka tidak saling mengenal sebelumnya.
“Apa kau ada urusan di sekitar sini?” tanya Hwang Chang Sik pada Tae Hee.
“Ya, Ayah. Masuklah ke dalam mobil,” sahut Tae Hee, memperlakukan Kim Jae Ha seolah makhluk tak kasat mata.
Tae Hee membukakan pintu untuk Ibunya dan membantunya masuk ke dalam mobil, namun sebelum dia sendiri masuk ke dalam mobilnya, Tae Hee tampak menatap tajam Kim Jae Ha.
Dan bahkan setelah masuk ke dalam mobil pun, Tae Hee masih meliriknya tajam sekali lagi sebelum benar-benar pergi dari sana.
Ekspresi Tae Hee tampak bertanya-tanya, “Kenapa Kim Jae Ha membeli Ojakgyo Farm? Apa tujuan sebenarnya?” namun tentu saja Tae Hee takkan pernah menyuarakannya.
Setelah Tae Hee dan kedua orangtuanya pergi, Kim Jae Ha bertanya kepada asistennya, “Apakah ayahku yang secara langsung memerintahkanmu untuk membeli pertanian ini? Apakah dia memang berencana untuk membeli Ojakgyo Farm sejak awal?” tanya Kim Jae Ha penuh selidik.
Asistennya tanpa basa basi menjawab, “Ya.”
“Kau masuklah ke mobil lebih dulu. Aku harus menelpon seseorang,” ujar Kim Jae Ha pada asistennya.
“Ayah, ini aku. Ya, aku telah selesai menandatangani kontrak. Tapi aku tidak tahu bahwa tempat ini adalah tempat itu. Ayah seharusnya mengatakannya padaku sejak awal,” ujar Kim Jae Ha pada ayahnya di ponselnya.
Tak lama kemudian, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik kembali ke rumah. Mereka mengabarkan kalau mereka sudah menyelesaikan masalah kontrak pertanian dan mentransfer deposit uang muka pada Ja Eun setelahnya.
“Kau sudah bekerja keras. Sekarang semuanya telah berakhir,” ujar Nenek dengan berat hati.
“Sudah berakhir sekarang. Rasanya sangat melegakan namun juga sedih di saat yang bersamaan. Tapi Ibu, nama Presiden Direktur dari Perusahaan itu adalah Kim Hong. Tidak mungkin jika orang itu adalah Kim Hong yang itu, bukan? Aku berusaha berpikir bahwa tidak mungkin jika mereka orang yang sama, tapi nama Kim Hong bukanlah nama yang pasaran,” ujar Hwang Chang Sik, menjelaskan dengan nada khawatir.
“Siapa itu Kim Hong?” tanya Park Bok Ja tampak bingung.
“Ah, apakah orang itu adalah pria yang menikah kembali dengan adik ipar?” tanya Park Bok Ja.
“Adik ipar apanya?” seru Nenek dengan emosi jiwa melanda.
“Maafkan aku, Ibu. Aku bukan seperti Ibu yang masih menyimpan dendam hingga sekarang,” sahut Park Bok Ja meminta maaf.
“Tidak! Itu pasti bukan dia! Jangan bicara omong kosong! Bila mereka masih manusia, tidak mungkin mereka ingin membeli pertanian kita. Itu bukan dia! Lagipula mereka tidak tinggal di Korea,” ujar Nenek menyangkal, walau hatinya mulai tidak tenang.
“Karena namanya sama, jadi aku berpikir mungkin dia
orangnya. Tapi semoga saja bukan dia,” sahut Hwang Chang Sik, juga dengan penuh
keraguan.
Malamnya, Kim Jae Ha mendatangi Tae Hee di kantor polisi. Kebetulan saat itu, Tae Hee juga baru saja datang dari suatu tempat dan memarkirkan mobilnya di lokasi yang sedikit jauh dari mobil Kim Jae Ha. Kim Jae Ha tampak mengenali mobil Tae Hee dan berjalan turun dari mobilnya untuk menghampiri Tae Hee karena ingin mengatakan sesuatu padanya.
Seperti biasa, kedua saudara tiri itu saling menatap dengan
aura permusuhan, khususnya dari Tae Hee yang sejak awal tidak menyukai Kim Jae
Ha setelah melihatnya berdekatan dengan Baek Ja Eun. Tae Hee merasa Kim Jae Ha
adalah rivalnya dalam segala hal, mulai dari masalah gadis hingga masalah sang
ibu.
Khususnya saat dia tahu bahwa sang Ibu yang telah meninggalkannya saat masih kecil, justru merawat anak orang lain dengan penuh cinta. Sungguh ironis, bukan? Ibunya meninggalkan Tae Hee yang notabene-nya anak kandungnya, namun justru menyayangi dan merawat anak orang lain seperti putranya sendiri. Putra mana yang tidak benci dan tidak marah?
“Hari ini aku harus mengatakannya padamu kalau...” Kim Jae Ha tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena Tae Hee telah dulu menarik kerah Kim Jae Ha dan mendorongnya ke pintu mobil.
“Apa yang sebenarnya kau rencanakan? Kenapa kau membeli pertanian kami?” tanya Tae Hee dengan emosi, menyuarakan isi hatinya yang belum sempat dikatakan siang tadi.
Malamnya, Kim Jae Ha mendatangi Tae Hee di kantor polisi. Kebetulan saat itu, Tae Hee juga baru saja datang dari suatu tempat dan memarkirkan mobilnya di lokasi yang sedikit jauh dari mobil Kim Jae Ha. Kim Jae Ha tampak mengenali mobil Tae Hee dan berjalan turun dari mobilnya untuk menghampiri Tae Hee karena ingin mengatakan sesuatu padanya.
Khususnya saat dia tahu bahwa sang Ibu yang telah meninggalkannya saat masih kecil, justru merawat anak orang lain dengan penuh cinta. Sungguh ironis, bukan? Ibunya meninggalkan Tae Hee yang notabene-nya anak kandungnya, namun justru menyayangi dan merawat anak orang lain seperti putranya sendiri. Putra mana yang tidak benci dan tidak marah?
“Hari ini aku harus mengatakannya padamu kalau...” Kim Jae Ha tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena Tae Hee telah dulu menarik kerah Kim Jae Ha dan mendorongnya ke pintu mobil.
“Apa yang sebenarnya kau rencanakan? Kenapa kau membeli pertanian kami?” tanya Tae Hee dengan emosi, menyuarakan isi hatinya yang belum sempat dikatakan siang tadi.
“Apa kau ingin mendengar alasannya?” tantang Kim Jae Ha.
“Lupakan saja. Tak ada gunanya lagi aku mendengarnya karena kontraknya sudah ditandatangani. Sudahlah. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi! Aku benci memukul orang! Aku sungguh membencinya. Jadi jangan muncul lagi di hadapanku mulai saat ini!” ujar Tae Hee dengan dingin dan tajam.
Dia melepaskan Kim Jae Ha dan berniat berjalan pergi, namun Kim Jae Ha tetap melanjutkan ucapannya, “Selain masalah pertanian, ada hal lain yang tetap harus kau dengar,” ujar Kim Jae Ha, mengabaikan peringatan Tae Hee.
“Dengarkan aku! Karena aku menemuimu di sini bukan karena aku menginginkannya,” ujar Kim Jae Ha tegas.
Tae Hee ingin memukulnya sekali lagi, tapi kali ini Kim Jae Ha mencoba melawan. Mereka berdua saling mencengkeram kerah masing-masing dan bersiap untuk berkelahi lagi, jadi Kim Jae Ha terpaksa meneriakkannya dengan lantang tujuan kedatangannya agar Tae Hee mendengarkannya.
“Aku bilang dengarkan aku! Ibu sudah meninggal. Aku bilang Ibu sudah meninggal,” seru Kim Jae Ha menginformasikan.
Ekspresi Tae Hee yang tadinya tampak emosi, mendadak dalam sekejap berubah menjadi shock dan tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca saat mendengar berita yang sama sekali tidak dia duga. Air mata tertahan di sudut matanya.
“MWO (Apa)?” ujarnya lirih.
“Ibu...” Kim Jae Ha ingin mengulangi ucapannya, namun Tae Hee menghentikannya sebelum Kim Jae Ha mengulangi kalimatnya. Tae Hee tidak ingin mendengarnya karena dia masih belum bisa menerima kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya. Tae Hee masih dalam tahap denial.
“TUTUP MULUTMU! AKU BILANG TUTUP MULUTMU!” seru Tae Hee dengan emosi dan mata berkaca-kaca.
Cut Scene :
1. Tae Hee and Ja Eun "Tend the injured hand" scene :
Tae Hee is going to fall apart. It’s one thing to hate the woman who abandoned you, but a total different story when you learn she isn’t alive for any chance of reconciliation. This is going to devastate Tae Hee and he would go to find Ja Eun. I know he would go to Ja Eun and cry. Just like he did when he was drunk, putting aside what he promised Ja Eun to stay away and instinctively he will follow his urge and confide in Ja Eun again.
Nyesek banget jadi Tae Hee. Udah patah hati, eh ditambahin pula denger berita kalau ibu kandungnya uda meninggal T_T Meninggal tanpa sempat memohon pengampunan pada Tae Hee dan tanpa menjelaskan padanya alasan kenapa dia meninggalkan Tae Hee kecil seorang diri, meninggal tanpa sempat melihat Tae Hee untuk yang terakhir kali. Pergi begitu saja meninggalkan dunia ini dengan meninggalkan begitu banyak luka di hati Tae Hee tanpa dia sempat mengobatinya. Egois bener nih emak kandungnya Tae Hee >_< Poor Tae Hee T_T Emak kandungnya yang membuat luka di hati Tae Hee, Baek Ja Eun yang nantinya bertugas menyembuhkannya.
Di saat depresi dan tertekan seperti ini, pasti hanya ada satu nama yang terlintas di hati Tae Hee yang dia yakin bisa menyembuhkan luka hatinya, yaitu Baek Ja Eun. Di episode berikutnya, Tae Hee tanpa sadar pergi mencari Ja Eun karena dia ingin menangis di pundaknya, ingin Ja Eun menghiburnya dan menenangkan hatinya seperti dulu saat dia sedang marah. Tanpa dia sadari langkah kakinya berjalan ke arah Ja Eun, berharap Ja Eun kali ini bisa memberinya pelukan hangat. Tapi masalahnya Ja Eun sekarang masih marah, akankah Tae Hee mendapatkan apa yang dia butuhkan dan dia inginkan kali ini? Ataukah Ja Eun akan menolaknya dengan dingin sekali lagi?
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/629 + https://gswww.tistory.com/630 )
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar