Highlight for today episode :
What do you feel when you see the girl you loves going
together with the man you hates the most? Poor Tae Hee T_T Ja Eun rejected him
twice but now he watches the girl he loves walking together with Kim Jae Ha. He
also watches Kim Jae Ha opening the door for Ja Eun and both of them getting in
the car. Oh please, poor my Baby Tae Hee, he looks so heartbroken T_T Please,
Quit playing games with Tae Hee’s heart, Ja Eun-ah >_<
It occurred to me several episode that Tae Hee was
probably initially drawn to Ja Eun because they actually have a lot in common,
despite how they appear to others. The reason I bring this up now is that I
think Ja Eun’s past is also a big part of why Tae Hee wandered over to her
place after finding out about his mom.
Out of everyone he knows however, she would understand what he’s going
through the most.
They are both essentially orphans that have felt the pain of
abandonment, and they have both lived somewhat phony lives (in the sense that
they always hid when they were having a hard time). Despite her problems at home, Ja Eun seemed
like the perfect girl living the perfect life (she was practically "Princess" at
school) and the world was basically her oyster.
Tae Hee was always the ideal “son” with good manners and a level head,
even though he never felt like a real son at all. Ja Eun is certainly likable on her own, but I
think that her situation is largely responsible for Tae Hee opening up to her
and showing her some warmth (in his gruff Tae Hee-ish way).
Tae Hee lived his life thinking his mom didn’t want him, but
it turned out that the Grandmother just wouldn’t let her take Tae Hee. Personally I would feel quite resentful about
that, but I suppose a large part of Tae Hee just wants to feel like he’s part
of a family, and he realizes now who that is. And for Tae Phil, out of all the
brothers, I think he feels the most guilt towards Tae Hee. Besides treating Tae Hee the worst, he was
also the one with the most potential to make Tae Hee feel like a part of the
family. He was Tae Hee’s only younger
brother, and as a result he was the only one in a position to look up to Tae Hee
and treat him like a hyung. It would be
easy for Tae Hee to feel like any kindness from the older brothers was simply
pity, but being treated like a hyung would have been something distinct and
meaningful. And btw, finally Ja Eun stop being mad ^_^
------00000------
Episode 32:
“Tidak boleh!” seru Nenek dengan kejam, padahal Ja Eun aja menyuruh Tae Hee untuk menemui ibunya, walau hanya sekali saja.
“Kenapa tidak boleh? Kenapa aku tidak boleh menemuinya?”
tanya Tae Hee sekali lagi. Dia ingin mendengar alasannya.
“Kau tidak boleh menemuinya! Tidak! Hingga tanah masuk ke
dalam mataku. Kau tidak boleh menemuinya!” jawab Nenek dengan tegas dan tanpa
perasaan. (Nunggu dia mati dulu intinya)
“Kalau begitu berapa lama waktumu yang tersisa? Tidak mungkin Nenek bisa hidup hingga 100 tahun, kan?” ujar Tae Hee dengan berani.
Nenek menangis dan menampar Tae Hee dengan keras, membuat seluruh keluarga tampak terkejut karena melihat untuk yang pertama kalinya Nenek menampar cucu kesayangannya.
“Apa yang kau katakan? Katakan lagi! Apa yang kau katakan?” seru Nenek dengan emosi.
“Jangan khawatir, Nenek! Itu tidak akan terjadi, karena dia
sudah mati. Ibu kandungku sudah mati!” seru Tae Hee dengan air mata berlinang,
menatap Neneknya dengan tatapan mata penuh luka, menyalahkan dan kekecewaan
melihat Neneknya yang begitu kejam.
“Jadi Nenek tak perlu khawatir lagi. Tidak peduli sebanyak
apa pun keberanian yang kukumpulkan, aku tidak punya alasan lagi untuk
mengumpulkan keberanian itu ataupun melakukan sesuatu yang bisa memprovokasi Nenek.
Seperti itulah kematian. Kau bahkan tak bisa memberikan pengampunan, dan kau
juga tak bisa mengucapkan selamat tinggal. Semuanya telah berakhir begitu saja.
Menantumu yang kedua, ibu kandungku, hingga akhir hidupnya dia mengkhianatiku
seperti ini,” ujar Tae Hee dengan air mata mengalir di pipi. (Akting nangisnya Joo Won keren banget. Ikutan nyesek nontonnya T_T)
Nenek menatap Tae Hee dengan air mata menetes dan raut
penyesalan, karena dendamnya yang tidak masuk akal, selama puluhan tahun, si
tua bangka menyebalkan ini telah menghalangi menantunya menemui putra
kandungnya sendiri. Hanya karena putra keduanya meninggal dunia saat akan
menjemput sang istri dan dua tahun kemudian, sang istri menikah lagi, Nenek
membenci ibu Tae Hee hingga ke tulang sumsumnya. Si tua bangka ini menyimpan
dendam selama puluhan tahun dan tidak tahu apa artinya memaafkan. Hingga pada akhirnya,
cucunya sendiri, Tae Hee-lah yang menjadi korbannya.
Setelah mengatakan itu, Tae Hee menghapus air matanya dan
berjalan meninggalkan rumah. Park Bok Ja memanggil putranya dengan cemas, “Tae
Hee-yaa...” namun Tae Hee mengabaikan panggilan itu dan tetap melangkah pergi.
Tae Phil segera berlari keluar menyusul Tae Hee sebelum Tae Hee sampai di mobilnya. Tae Phil berusaha menghadang Tae Hee yang akan membuka pintu mobilnya.
“Ke mana kau akan pergi? Ke mana kau akan pergi seorang diri
seperti ini?” tanya Tae Phil dengan menangis.
“Minggir!” ujar Tae Hee dengan dingin, dia sedang tidak mood bicara dengan siapa pun sekarang.
“Kapan dia meninggal? Bagaimana kau mengetahuinya?” tanya Tae Phil, tidak mempedulikan peringatan Tae Hee yang sedang mengendalikan emosinya.
“Jangan mencari masalah denganku dan menyingkirlah dari hadapanku! Apa kau tidak mengerti ucapanku? Apa kau tidak mengerti situasi yang kuhadapi saat ini?” ujar Tae Hee memperingatkan dengan dingin.
“Aku tidak mau pergi. Pukullah aku jika kau mau. Aku sudah siap menerimanya. Bukankah kau juga melakukan ini saat aku masih SMU? Walau aku berkata aku lebih baik mati daripada pulang ke rumah, kau tetap mencariku ke Busan. Bahkan walau sampai akhir aku tidak mau kembali ke Seoul, kau tetap berusaha membawaku,” ujar Tae Phil sambil menangis.
“Jadi katakan! Kapan? Bagaimana kau mengetahuinya?
Bicaralah! Kau harus bicara agar aku tahu apa yang kau rasakan! Aku tidak
secerdas dirimu dan aku bukan pembaca pikiran! Jika kau tetap menutup mulutmu
seperti itu selama 20 tahun ini, bagaimana kami bisa tahu apa yang kau rasakan?”
seru Tae Phil, menaikkan nada suaranya setengah oktaf karena Tae Hee masih
bungkam.
(Bukan gitu caranya, Tae Phil. Pakai cara lembut kayak Baek Ja Eun dong. Dirayu-rayu dikit biar mau ngomong, bukan dengan nada tinggi, Bambang!)
“Kenapa kau harus membuat keluarga kita tampak seperti orang jahat? Walaupun aku adik yang buruk, namun jika terjadi sesuatu seperti ini, setidaknya kau harus menceritakannya padaku. Kenapa kau begitu berhati dingin? Katakan! Kapan dan bagaimana kau tahu? Kapan dia meninggal dunia?” tanya Tae Phil, masih berusaha membujuk Tae Hee agar bicara.
(Emang keluargamu orang jahat, kan? Park Bok Ja mencuri surat kontrak milik Ja Eun dan menendangnya keluar dengan kejam, Nenekmu melarang ibu Tae Hee menemui putra kandungnya karena dendamnya yang tidak masuk akal, Nenekmu juga melarang Tae Hee mencari ibunya, lalu kamu sendiri juga selalu kasar dan kurang ajar sama Tae Hee, kan? Kamu juga yang paling kasar sama Ja Eun sejak pertama kali dia datang ke pertanian. Kalian bukan orang baik sih emang, hanya saja, sekarang kalian menyesal dan bertobat dan tidak mengulanginya lagi >_< Manusiawi sih sebenarnya karakter mereka semua. Karena mereka pernah berbuat salah namun kemudian menyesali dan berusaha memperbaiki kesalahan itu)
Tae Hee menatap Tae Phil dengan ekspresi sedih di wajahnya dan akhirnya menjawab pelan, “Aku juga tidak tahu kapan dan bagaimana dia meninggal. Pria itu, Kim Jae Ha hanya mengatakan itu padaku, kalau dia sudah meninggal. Aku hanya mendengar kalau dia sudah meninggal,” jawab Tae Hee dengan suara berat.
“Dia (Kim Jae Ha) benar-benar gila. Sebelum wanita itu meninggal, harusnya dia datang mencarimu lebih dulu, bukan baru datang mencarimu saat wanita itu telah meninggal seperti ini? Dia bahkan tidak memberitahumu penyebabnya?” ujar Tae Phil.
“Aku tidak bertanya padanya,” sahut Tae Hee kemudian berjalan melewati Tae Phil dan masuk ke dalam mobilnya untuk pergi ke suatu tempat.
Setelah mendengar dari Tae Hee bahwa ibu kandungnya telah meninggal, Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Phil menemui Kim Jae Ha di kantornya. Hwang Chang Sik bertanya kapan Oh Yu Jin (Ibu kandung Tae Hee) meninggal dunia. Kim Jae Ha berkata bahwa wanita itu meninggal awal tahun ini karena penyakit kanker, saat penyakit itu diketahui, ternyata sudah sampai di stadium akhir. Itu sebabnya semua pengobatan tidak berhasil.
Hwang Chang Sik lalu bertanya apakah mereka sekeluarga sempat kembali ke Korea dan Kim Jae Ha membenarkan hal itu. Mereka sempat kembali ke Korea sebelum wanita itu meninggal karena ibunya ingin menghabiskan hari-hari terakhirnya di Korea.
“Anda datang kemari karena ingin menanyakan kenapa aku tidak menemui Inspektur Hwang lebih awal, kan?” tebak Kim Jae Ha, sudah mengetahui tujuan awal Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Phil datang ke sana. Hwang Chang Sik pun membenarkan pertanyaannya.
“Hingga saat terakhir, Ibu tidak mengijinkan aku menghubungi putranya. Setelah 20 tahun lebih tak pernah menghubungi putranya, hidup tanpa menjadi ibunya, ibu berpikir tidak seharusnya dia menghubunginya sekarang dan menunjukkan pada putranya bahwa ibu sedang sakit parah dan sedang menunggu kematiannya,” ujar Kim Jae Ha.
“Tapi ibu sangat merindukan putra kandungnya. Namun ibu
berkata bahwa Nenek tidak mengijinkan Ibu untuk menemui Inspektur Hwang selama
Nenek masih hidup. Nenek juga tidak mengijinkan ibu membawa Tae Hee saat ibu
menikah lagi,” lanjut Kim Jae Ha dengan berani, dengan kalimat menuduh Nenek.
(Emang bener sih. Aku dukung Kim Jae Ha kali ini. Yang egois di sini tuh si Nenek. Dia takut kehilangan satu-satunya peninggalan dari putra keduanya yang telah meninggal, itu sebabnya dia gak mengijinkan ibu kandung Tae Hee membawa Tae Hee pergi saat wanita itu menikah lagi. Tuh Nenek pinginnya ibu kandung Tae Hee menjanda seumur hidup tanpa pernah menikah lagi, jadi dengan begitu dia tidak akan kehilangan Tae Hee. Walaupun menikah lagi setelah 2 tahun suaminya meninggal memang terkesan egois dan kejam, seolah-olah tuh ibunya Tae Hee gak cinta suaminya yang pertama, tapi tetap aja memisahkan anak dari ibu kandungnya adalah perbuatan yang kejam. Lihat Tae Hee sekarang! Dia jadi anak yang introvert dan kesepian >_<)
“Kau bukan orang yang berhak mengatakan itu!” tegur Hwang Chang Sik, tak terima ibunya dituduh oleh orang luar.
“Apa mungkin dia meninggalkan sesuatu untuk Tae Hee? Atau mungkin ada kata-kata terakhir untuknya?” tanya Hwang Chang Sik ingin tahu.
“Memang ada. Tapi aku akan menyerahkannya langsung pada Inspektur Hwang ketika Inspektur Hwang datang menemuiku,” sahut Kim Jae Ha tegas.
“Tidak bisakah titipkan saja pada kami? Karena Hyungku tidak akan datang kemari,” ujar Tae Phil.
“Kalau begitu katakan padanya untuk datang. Itu adalah barang peninggalan Ibu yang harus kuberikan langsung padanya, dan aku harus melakukan itu untuk memenuhi janjiku pada Ibu,” ujar Kim Jae Ha, menolak tegas memberikan apa pun itu warisan untuk Tae Hee kepada keluarganya yang lain.
“Baiklah, kami mengerti. Kau pasti sangat sibuk sekarang. Bagaimana pun juga, terima kasih atas waktumu,” ujar Hwang Chang Sik, tahu bahwa dia tidak bisa memaksa.
“Tidak apa-apa. Entah besok atau lusa, aku akan datang lagi ke pertanian untuk meninjau lokasinya,” ujar Kim Jae Ha, sekalian meminta ijin untuk datang lagi ke sana.
Hwang Chang Sik tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengajak Tae Phil pergi dari sana. Saat di tengah perjalanan keluar dari Perusahaan itu, Tae Phil meminta ijin untuk kembali sebentar karena ponselnya tertinggal.
Kim Jae Ha tampak heran saat melihat Tae Phil kembali lagi dan bertanya ada apa, Tae Phil berkata bahwa barangnya ketinggalan di sana.
“Bisakah kau berdiri sebentar? Sepertinya ada barangku yang tertinggal di sana,” ujar Tae Phil tanpa basa-basi.
“Tapi bukankah tadi kau tidak duduk di sini?” tanya Kim Jae Ha dengan bingung, namun dia tetap berdiri. Saat Kim Jae Ha berdiri itulah, Tae Phil segera menghantamkan tinjunya dengan keras ke wajah Kim Jae Ha. Namun tangannya merasa kesakitan setelah memukul wajah Kim Jae Ha. Aslinya gak jago berantem nih Tae Phil, beda sama Tae Hee yang jago baku hantam.
“Kau tidak punya hak bicara seperti itu tentang Nenekku di
hadapan keluargaku. Kau juga tidak punya hak untuk menemui kakakku seenaknya.
Aku tidak tahu apa yang kau dan ayahmu rencanakan, tapi jangan pernah muncul
lagi di hadapan kakakku atau di hadapanku lagi. Kesabaranku sudah sangat tipis,
tapi itu akan menjadi lebih tipis lagi jika kau mengganggu keluargaku. Aku
peringatkan padamu, jangan pernah muncul di hadapan Hyungku lagi!” seru Hwang
Tae Phil dengan marah. Lalu segera pergi setelah mengancam Kim Jae Ha.
Setelah Tae Phil pergi, Kim Jae Ha bergumam pelan, “Hwang Tae Hee memiliki keluarga yang baik.”
Tak lama kemudian, Kim Jae Ha menemui Ja Eun di ruangannya dengan membawa rancangan Pembangunan Taman Hiburan dalam bentuk miniature (bukan lagi desain di atas kertas) dan bertanya apakah semua pekerjaannya lancar.
Namun saat akan mengatakan sesuatu, Kim Jae Ha mendapatkan telepon dari Tim Leader yang mengatakan bahwa mereka sudah mendapatkan kontraktor yang sesuai. Kim Jae Ha meminta mereka untuk menunggu sebentar lagi karena proses Pembangunan taman hiburan akan segera dimulai tak lama lagi.
Ja Eun mendengarkan semua itu dan bertanya apakah tanggal kontruksi sudah ditetapkan.
“Apakah mereka berencana untuk mempercepat proses pembangunan taman hiburan?” tanya Ja Eun dengan sedikit tak rela.
“Oh, kau mendengarnya? Benar. Kupikir kita sebaiknya secepatnya memulai proses pembangunan taman hiburan itu. Jadi sebelum pembangunan dilakukan, kita harus pergi ke sana dan mengambil foto yang akan digunakan sebagai latar belakang cerita,” sahut Kim Jae Ha.
“Apa?” Ja Eun tampak terkejut saat Kim Jae Ha mengajaknya ke sana.
“Mari kita pergi ke pertanian itu dan mengambil foto sebanyak mungkin di setiap sudutnya agar bisa digunakan sebagai latar belakang cerita. Latar belakang cerita sangatlah penting. Cepatlah berdiri,” ajak Kim Jae Ha dengan entengnya.
“Tidak perlu, aku...” Ja Eun berusaha menolak namun Kim Jae Ha tetap memaksanya.
“Sebagai authornya, kau harus pergi dan melihatnya. Bisakah kau menggambar sesuatu yang tidak kau lihat?” ujar Kim Jae Ha dengan sedikit memaksa. Sementara Ja Eun tampak tidak nyaman namun tidak bisa menolak karena Kim Jae Ha adalah bosnya.
Tanpa mereka ketahui, Tae Hee sedang berada di dalam
mobilnya dan menunggu tepat di pintu Good Film sekarang. Dia berniat menelpon
Kim Jae Ha dan bertanya tentang kapan dan di mana ibu kandungnya meninggal.
Namun saat baru saja dia akan melakukan panggilan, dia
melihat Kim Jae Ha berjalan keluar dari dalam perusahaan itu bersama-sama. Tae
Hee spontan Tae Hee membatalkan panggilan teleponnya dan berniat menghampiri
pria itu.
Namun saat akan membuka pintu mobilnya, dia seketika terdiam membatu saat menyadari bahwa Ja Eun berjalan di belakang pria itu.
------00000------
Episode 32:
“Tidak boleh!” seru Nenek dengan kejam, padahal Ja Eun aja menyuruh Tae Hee untuk menemui ibunya, walau hanya sekali saja.
“Kalau begitu berapa lama waktumu yang tersisa? Tidak mungkin Nenek bisa hidup hingga 100 tahun, kan?” ujar Tae Hee dengan berani.
Nenek menangis dan menampar Tae Hee dengan keras, membuat seluruh keluarga tampak terkejut karena melihat untuk yang pertama kalinya Nenek menampar cucu kesayangannya.
“Apa yang kau katakan? Katakan lagi! Apa yang kau katakan?” seru Nenek dengan emosi.
Tae Phil segera berlari keluar menyusul Tae Hee sebelum Tae Hee sampai di mobilnya. Tae Phil berusaha menghadang Tae Hee yang akan membuka pintu mobilnya.
“Minggir!” ujar Tae Hee dengan dingin, dia sedang tidak mood bicara dengan siapa pun sekarang.
“Kapan dia meninggal? Bagaimana kau mengetahuinya?” tanya Tae Phil, tidak mempedulikan peringatan Tae Hee yang sedang mengendalikan emosinya.
“Jangan mencari masalah denganku dan menyingkirlah dari hadapanku! Apa kau tidak mengerti ucapanku? Apa kau tidak mengerti situasi yang kuhadapi saat ini?” ujar Tae Hee memperingatkan dengan dingin.
“Aku tidak mau pergi. Pukullah aku jika kau mau. Aku sudah siap menerimanya. Bukankah kau juga melakukan ini saat aku masih SMU? Walau aku berkata aku lebih baik mati daripada pulang ke rumah, kau tetap mencariku ke Busan. Bahkan walau sampai akhir aku tidak mau kembali ke Seoul, kau tetap berusaha membawaku,” ujar Tae Phil sambil menangis.
(Bukan gitu caranya, Tae Phil. Pakai cara lembut kayak Baek Ja Eun dong. Dirayu-rayu dikit biar mau ngomong, bukan dengan nada tinggi, Bambang!)
“Kenapa kau harus membuat keluarga kita tampak seperti orang jahat? Walaupun aku adik yang buruk, namun jika terjadi sesuatu seperti ini, setidaknya kau harus menceritakannya padaku. Kenapa kau begitu berhati dingin? Katakan! Kapan dan bagaimana kau tahu? Kapan dia meninggal dunia?” tanya Tae Phil, masih berusaha membujuk Tae Hee agar bicara.
(Emang keluargamu orang jahat, kan? Park Bok Ja mencuri surat kontrak milik Ja Eun dan menendangnya keluar dengan kejam, Nenekmu melarang ibu Tae Hee menemui putra kandungnya karena dendamnya yang tidak masuk akal, Nenekmu juga melarang Tae Hee mencari ibunya, lalu kamu sendiri juga selalu kasar dan kurang ajar sama Tae Hee, kan? Kamu juga yang paling kasar sama Ja Eun sejak pertama kali dia datang ke pertanian. Kalian bukan orang baik sih emang, hanya saja, sekarang kalian menyesal dan bertobat dan tidak mengulanginya lagi >_< Manusiawi sih sebenarnya karakter mereka semua. Karena mereka pernah berbuat salah namun kemudian menyesali dan berusaha memperbaiki kesalahan itu)
Tae Hee menatap Tae Phil dengan ekspresi sedih di wajahnya dan akhirnya menjawab pelan, “Aku juga tidak tahu kapan dan bagaimana dia meninggal. Pria itu, Kim Jae Ha hanya mengatakan itu padaku, kalau dia sudah meninggal. Aku hanya mendengar kalau dia sudah meninggal,” jawab Tae Hee dengan suara berat.
“Dia (Kim Jae Ha) benar-benar gila. Sebelum wanita itu meninggal, harusnya dia datang mencarimu lebih dulu, bukan baru datang mencarimu saat wanita itu telah meninggal seperti ini? Dia bahkan tidak memberitahumu penyebabnya?” ujar Tae Phil.
“Aku tidak bertanya padanya,” sahut Tae Hee kemudian berjalan melewati Tae Phil dan masuk ke dalam mobilnya untuk pergi ke suatu tempat.
Setelah mendengar dari Tae Hee bahwa ibu kandungnya telah meninggal, Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Phil menemui Kim Jae Ha di kantornya. Hwang Chang Sik bertanya kapan Oh Yu Jin (Ibu kandung Tae Hee) meninggal dunia. Kim Jae Ha berkata bahwa wanita itu meninggal awal tahun ini karena penyakit kanker, saat penyakit itu diketahui, ternyata sudah sampai di stadium akhir. Itu sebabnya semua pengobatan tidak berhasil.
Hwang Chang Sik lalu bertanya apakah mereka sekeluarga sempat kembali ke Korea dan Kim Jae Ha membenarkan hal itu. Mereka sempat kembali ke Korea sebelum wanita itu meninggal karena ibunya ingin menghabiskan hari-hari terakhirnya di Korea.
“Anda datang kemari karena ingin menanyakan kenapa aku tidak menemui Inspektur Hwang lebih awal, kan?” tebak Kim Jae Ha, sudah mengetahui tujuan awal Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Phil datang ke sana. Hwang Chang Sik pun membenarkan pertanyaannya.
“Hingga saat terakhir, Ibu tidak mengijinkan aku menghubungi putranya. Setelah 20 tahun lebih tak pernah menghubungi putranya, hidup tanpa menjadi ibunya, ibu berpikir tidak seharusnya dia menghubunginya sekarang dan menunjukkan pada putranya bahwa ibu sedang sakit parah dan sedang menunggu kematiannya,” ujar Kim Jae Ha.
(Emang bener sih. Aku dukung Kim Jae Ha kali ini. Yang egois di sini tuh si Nenek. Dia takut kehilangan satu-satunya peninggalan dari putra keduanya yang telah meninggal, itu sebabnya dia gak mengijinkan ibu kandung Tae Hee membawa Tae Hee pergi saat wanita itu menikah lagi. Tuh Nenek pinginnya ibu kandung Tae Hee menjanda seumur hidup tanpa pernah menikah lagi, jadi dengan begitu dia tidak akan kehilangan Tae Hee. Walaupun menikah lagi setelah 2 tahun suaminya meninggal memang terkesan egois dan kejam, seolah-olah tuh ibunya Tae Hee gak cinta suaminya yang pertama, tapi tetap aja memisahkan anak dari ibu kandungnya adalah perbuatan yang kejam. Lihat Tae Hee sekarang! Dia jadi anak yang introvert dan kesepian >_<)
“Kau bukan orang yang berhak mengatakan itu!” tegur Hwang Chang Sik, tak terima ibunya dituduh oleh orang luar.
“Apa mungkin dia meninggalkan sesuatu untuk Tae Hee? Atau mungkin ada kata-kata terakhir untuknya?” tanya Hwang Chang Sik ingin tahu.
“Memang ada. Tapi aku akan menyerahkannya langsung pada Inspektur Hwang ketika Inspektur Hwang datang menemuiku,” sahut Kim Jae Ha tegas.
“Tidak bisakah titipkan saja pada kami? Karena Hyungku tidak akan datang kemari,” ujar Tae Phil.
“Kalau begitu katakan padanya untuk datang. Itu adalah barang peninggalan Ibu yang harus kuberikan langsung padanya, dan aku harus melakukan itu untuk memenuhi janjiku pada Ibu,” ujar Kim Jae Ha, menolak tegas memberikan apa pun itu warisan untuk Tae Hee kepada keluarganya yang lain.
“Baiklah, kami mengerti. Kau pasti sangat sibuk sekarang. Bagaimana pun juga, terima kasih atas waktumu,” ujar Hwang Chang Sik, tahu bahwa dia tidak bisa memaksa.
“Tidak apa-apa. Entah besok atau lusa, aku akan datang lagi ke pertanian untuk meninjau lokasinya,” ujar Kim Jae Ha, sekalian meminta ijin untuk datang lagi ke sana.
Hwang Chang Sik tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengajak Tae Phil pergi dari sana. Saat di tengah perjalanan keluar dari Perusahaan itu, Tae Phil meminta ijin untuk kembali sebentar karena ponselnya tertinggal.
Kim Jae Ha tampak heran saat melihat Tae Phil kembali lagi dan bertanya ada apa, Tae Phil berkata bahwa barangnya ketinggalan di sana.
“Bisakah kau berdiri sebentar? Sepertinya ada barangku yang tertinggal di sana,” ujar Tae Phil tanpa basa-basi.
“Tapi bukankah tadi kau tidak duduk di sini?” tanya Kim Jae Ha dengan bingung, namun dia tetap berdiri. Saat Kim Jae Ha berdiri itulah, Tae Phil segera menghantamkan tinjunya dengan keras ke wajah Kim Jae Ha. Namun tangannya merasa kesakitan setelah memukul wajah Kim Jae Ha. Aslinya gak jago berantem nih Tae Phil, beda sama Tae Hee yang jago baku hantam.
Setelah Tae Phil pergi, Kim Jae Ha bergumam pelan, “Hwang Tae Hee memiliki keluarga yang baik.”
Tak lama kemudian, Kim Jae Ha menemui Ja Eun di ruangannya dengan membawa rancangan Pembangunan Taman Hiburan dalam bentuk miniature (bukan lagi desain di atas kertas) dan bertanya apakah semua pekerjaannya lancar.
Namun saat akan mengatakan sesuatu, Kim Jae Ha mendapatkan telepon dari Tim Leader yang mengatakan bahwa mereka sudah mendapatkan kontraktor yang sesuai. Kim Jae Ha meminta mereka untuk menunggu sebentar lagi karena proses Pembangunan taman hiburan akan segera dimulai tak lama lagi.
Ja Eun mendengarkan semua itu dan bertanya apakah tanggal kontruksi sudah ditetapkan.
“Apakah mereka berencana untuk mempercepat proses pembangunan taman hiburan?” tanya Ja Eun dengan sedikit tak rela.
“Oh, kau mendengarnya? Benar. Kupikir kita sebaiknya secepatnya memulai proses pembangunan taman hiburan itu. Jadi sebelum pembangunan dilakukan, kita harus pergi ke sana dan mengambil foto yang akan digunakan sebagai latar belakang cerita,” sahut Kim Jae Ha.
“Apa?” Ja Eun tampak terkejut saat Kim Jae Ha mengajaknya ke sana.
“Mari kita pergi ke pertanian itu dan mengambil foto sebanyak mungkin di setiap sudutnya agar bisa digunakan sebagai latar belakang cerita. Latar belakang cerita sangatlah penting. Cepatlah berdiri,” ajak Kim Jae Ha dengan entengnya.
“Tidak perlu, aku...” Ja Eun berusaha menolak namun Kim Jae Ha tetap memaksanya.
“Sebagai authornya, kau harus pergi dan melihatnya. Bisakah kau menggambar sesuatu yang tidak kau lihat?” ujar Kim Jae Ha dengan sedikit memaksa. Sementara Ja Eun tampak tidak nyaman namun tidak bisa menolak karena Kim Jae Ha adalah bosnya.
Namun saat akan membuka pintu mobilnya, dia seketika terdiam membatu saat menyadari bahwa Ja Eun berjalan di belakang pria itu.
Lebih menyakitkan lagi saat melihat Kim Jae Ha membukakan pintu mobil untuk Ja Eun dan lagi-lagi Ja Eun tersenyum berterima kasih.
(Tatapan mata Tae Hee seolah berkata, “Kau seharusnya bersamaku dan menghiburku, bukan bersama pria itu! Pria yang juga telah merebut kasih sayang ibu kandungku.” T_T)
Tak punya pilihan, Tae Hee akhirnya kembali ke kantor polisi untuk menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan sekali lagi, namun saat akan pergi bersama Seo Dong Min, dia mendapatkan telepon dari Hwang Chang Sik yang mengajaknya untuk bertemu.
Hwang Chang Sik akan menjadi satu-satunya orang yang bicara sementara Tae Hee hanya diam mendengarkan. (Biasalah ya, Tae Hee kan hanya diam seribu Bahasa kalau gak ditanya >_<)
“Ayah baru saja datang menemui Kim Jae Ha untuk menanyakan perihal ibu kandungmu. Pria itu bilang ibumu meninggal awal tahun ini karena penyakit kanker dan alasan dia tidak mengijinkan Kim Jae Ha menghubungimu lebih awal adalah karena ibumu merasa dia tidak berhak memintamu datang menemuinya setelah 24 tahun lamanya dalam kondisi dia sedang sakit parah. Dia tidak ingin kau mengasihaninya dan merasa bersedih karenanya,” ujar Hwang Chang Sik menyampaikan apa yang didengarnya dari Kim Jae Ha siang tadi.
“Kim Jae Ha mengatakan kalau ibumu sangat merindukanmu. Saat ibumu menikah lagi, sebenarnya dia ingin membawamu bersamanya, namun Nenek menentangnya, begitu juga dengan ayah. Kami tidak mengijinkannya membawamu pergi,” lanjut Hwang Chang Sik.
“Aku pikir bahwa itu adalah salah ibumu hingga ayah kandungmu meninggal karena tabrak lari. Kejadian yang menewaskan ayah kandungmu bukanlah kecelakaan biasa, itu adalah tabrak lari. Aku takut itu akan melukai hatimu bila kau mengetahui hal ini karena kau masih kecil saat itu, jadi aku tidak memberitahumu,” Hwang Chang Sik masih menjadi satu-satunya yang bicara di ruangan itu.
“Dan setelah dua tahun kematian ayah kandungmu, ibumu memutuskan untuk menikah lagi. Itulah sebabnya Nenek tidak mengijinkanku membicarakan tentang Ibu kandungmu atau bahkan menyebutkan namanya. Aku, yang juga kehilangan adikku satu-satunya, merasa hatiku sangat hancur saat itu dan aku juga ikut menyalahkan ibu kandungmu tanpa alasan yang jelas. Jadi kurasa itu jugalah yang dirasakan oleh Nenekmu yang juga kehilangan putranya,” lanjut Hwang Chang Sik lagi. Tae Hee masih tetap terdiam bagai patung seraya berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Tetap saja, seharusnya seiring waktu berlalu, kami bisa menghapus dendam ini dan kami seharusnya bertanya padamu apakah kau merindukan ibumu. Jadi setidaknya kau bisa berada di sisinya di saat-saat terakhir hidupnya. Ayah minta maaf. Ini semua salah ayah,” ujar Hwang Chang Sik, meminta maaf karena merasa bersalah pada Tae Hee. Tapi semuanya telah terlambat, dendam Nenek dan Hwang Chang Sik telah membuat Tae Hee yang tak bersalah menjadi korban.
Dendam tidak akan ada habisnya, kenapa tidak mencoba memaafkan dan berdamai dengan kehidupan? Kalian ingin Ja Eun memaafkan kalian, tapi kalian sendiri tidak mau memaafkan orang lain hingga membuat seorang anak yang tak bersalah kehilangan ibunya? Sebenarnya karakter paling egois di sini tuh si Nenek, dia selalu menggunakan umur rentanya sebagai tameng dan playing victim agar orang lain mengalah dan menuruti keinginannya.
(Kelak, dia jugalah yang menghalangi Tae Hee dan Ja Eun bersatu dan memaksa mereka untuk putus dan lagi-lagi semua karena dendamnya yang membara. Si tua bangka ini sama sekali tidak pernah belajar dari kasus ini. Dendam kesumatnya pada sang menantu membuat Tae Hee kehilangan sosok Ibu, dan nanti karena dendam membaranya juga, membuat Tae Hee yang baru saja merasakan manisnya cinta, dipaksa untuk putus. Susah payah Ja Eun membuat Tae Hee kembali bahagia dan keluar dari cangkangnya, mengubah Tae Hee yang introvert menjadi lebih ceria, penuh senyuman dan lebih terbuka, eh si Nenek malah memaksa mereka untuk putus dan kembali membuat Tae Hee menjadi depresi dan kembali ke dirinya yang lama. Sebenarnya si tua bangka nih tulus sayang sama cucunya gak sih? Nyiksa Tae Hee mulu ujung-ujungnya T_T Semua keputusan egoisnya justru malah melukai Tae Hee semakin dalam >_<)
“Jika kau merindukan ibumu dan ingin bertemu dengannya, kau seharusnya mengatakannya pada kami. ‘Ke mana ibu kandungku pergi? Kenapa kalian tidak mengijinkan aku untuk menemuinya? Sekarang aku sudah dewasa, katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya pada ibu.’ Kenapa kau tidak mengatakan itu? Apa kau sama sekali tidak percaya padaku?” tanya Hwang Chang Sik.
(Emang bener kan? Kamu orang pertama yang menginginkan Tae Hee dan Ja Eun putus nantinya, barulah Nenek kemudian ikut menentangnya. Apa orang sepertimu pantas untuk dipercayai? Park Bok Ja justru menjadi satu-satunya orang yang mendukung hubungan mereka karena dia menyayangi Ja Eun tulus seperti putri kandungnya sendiri dan dia melihat betapa Tae Hee sangat bahagia saat bersama Ja Eun. Kamu dan ibumulah yang selalu menghancurkan kebahagiaan Tae Hee, bahkan sejak dia masih kecil >_<)
“Saat kau mendaftar masuk ke Police Academy juga, kau juga memutuskannya tanpa bertanya lebih dulu pada kami. Bahkan walaupun kau memiliki kemampuan untuk menjadi polisi, aku tetaplah ayahmu. Walaupun aku memiliki banyak kekurangan, aku tetap khawatir pada anak-anakku dan ingin berbagi kesulitanmu. Itulah gunanya orangtua,” lanjut Hwang Chang Sik lagi. Hwang Tae Hee tetap terdiam tanpa mengatakan apa pun juga, namun air mata mulai menetes pelan dari sudut matanya. Park Bok Ja pun tampak menangis terisak melihat putranya yang mulai menangis pelan.
“Bila kau selalu memutuskan semuanya sendiri, lalu apa gunanya aku sebagai ayahmu? Bukankah lebih baik jika kau memanggilku Paman (Samchoon) daripada Ayah? Walaupun aku tahu apa yang kau rasakan sekarang, namun aku juga merasa sangat terluka. Karena ternyata dalam hatiku, kau menganggapku sebagai Paman dan bukan seorang Ayah. Dan wanita yang duduk di sebelahmu itu juga hanyalah Bibimu,” ujar Hwang Chang Sik.
“Bukan seperti itu, Ayah.” Ujar Tae Hee dengan lirih, merasa bersalah. Air mata itu tampak menetes lebih deras dari sudut matanya.
“Aku bukan hanya kakak dari ayah kandungmu. Bahkan walaupun aku bertemu dengan ayah kandungmu, aku tidak bersedia mengembalikanmu padanya. Jadi kenapa kau harus hidup dengan menanggung rasa sakit itu seorang diri? Kenapa kau lakukan itu? Apa agar aku merasa malu karena tidak mengetahui penderitaanmu dan sakit hatimu selama ini?” sindir Hwang Chang Sik, tampak tak terima.
“Aku minta maaf,” ujar Tae Hee lirih, dengan air mata yang semakin mengalir deras di wajahnya yang tampan.
Park Bok Ja memeluk Tae Hee dengan sayang dan menepuk-nepuk pundaknya lembut, “Aku tahu apa yang kau rasakan bahkan walau tanpa kau mengatakannya. Aku tahu apa yang kau rasakan dalam hatimu,” ujar Park Bok Ja dengan menangis pelan. Merasa kasihan dengan anak itu.
Tae Hee semakin menangis tersedu dan Hwang Chang Sik pun turut meneteskan air matanya, saat melihat Tae Hee untuk yang pertama kali menangis di hadapannya seperti ini. Tae Hee yang selama ini selalu berpura-pura kuat akhirnya menunjukkan sisi lemahnya.
“Tunggu sebentar. Apakah ini halaman depan tempat di mana Ojak In (karakter Ja Eun dalam animasi itu) mendirikan tenda?” tanya Kim Jae Ha seraya menunjuk spot tempat dulu Ja Eun mendirikan tendanya.
“Ya,” sahut Ja Eun padat, singkat, jelas dengan hati yang berat.
“Kalau begitu tunggu sebentar, aku harus mengambil beberapa foto,” ujar Kim Jae Ha seraya mulai membidikkan kameranya ke sekitar tempat itu.
Sementara Kim Jae Ha sibuk mengambil gambar, Ja Eun tampak mengenang tempat itu. Dimulai dari halaman depan rumah, tempat di mana tendanya didirikan. Ja Eun mengenang saat pertama kalinya dia menyapa Park Bok Ja dengan senyuman ceria dengan tenda di belakangnya. Lalu saat dia memasangkan dasi untuk Tae Hee ketika mereka akan menghadiri pernikahan Tae Bum musim panas lalu.
Kemudian saat dia jatuh pingsan dan Tae Hee dan Park Bok Ja yang khawatir,
datang dan mengechek keadaannya di dalam tenda dengan diiringi hujan yang
sangat deras.
Lalu juga saat Park Bok Ja menendangnya keluar rumah dengan
kejam. Terlalu banyak kenangan di rumah itu, baik kenangan buruk ataupun
kenangan indah, semuanya bercampur menjadi satu dan itu membuat hati Ja Eun
semakin teriris saat mengingatnya.
Setelah selesai mengambil gambar di halaman depan, Ja Eun
membawa Kim Jae Ha ke halaman belakang tempat kandang bebek dan toilet luar
berada. Ja Eun melihat ke arah meja piknik di halaman belakang, dan teringat
saat dia dan Park Bok Ja merawat dua ekor anak bebek yang hampir mati karena
tertindih oleh yang lebih besar.
Lalu saat melihat ke arah toilet luar, Ja Eun teringat saat
Tae Hee memberikannya tissue ketika pertama kali dia menggunakan toilet itu dan
menyadari tak ada tissue di sana. Walaupun Tae Hee menyangkalnya saat itu, tapi
Ja Eun tahu bahwa Tae Hee-lah orang yang membantunya memberikannya tissue saat
itu.
Ja Eun tampak dilanda dilemma, hatinya merasa mulai tak rela
jika semua kenangan itu harus musnah begitu saja sekarang. Walaupun tidak
semuanya adalah kenangan manis, namun tentu saja itu meninggalkan kesan dalam
hatinya.
Saat Ja Eun sedang sibuk melamun, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik yang baru saja datang dari menemui Tae Hee berjalan menghampirinya dan menatapnya dengan heran.
“Ja Eun-ah, apa yang membawamu kemari?” tanya Hwang Chang Sik yang tak tahu jika Ja Eun bekerja pada Kim Jae Ha.
“Oh, kalian datang. Bukankah aku sudah bilang kalau aku akan datang lagi untuk meninjau lokasi?” ujar Kim Jae Ha. Alih-alih Ja Eun, dialah yang menjawab pertanyaan Hwang Chang Sik.
Saat Ja Eun sedang sibuk melamun, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik yang baru saja datang dari menemui Tae Hee berjalan menghampirinya dan menatapnya dengan heran.
“Ja Eun-ah, apa yang membawamu kemari?” tanya Hwang Chang Sik yang tak tahu jika Ja Eun bekerja pada Kim Jae Ha.
“Oh, kalian datang. Bukankah aku sudah bilang kalau aku akan datang lagi untuk meninjau lokasi?” ujar Kim Jae Ha. Alih-alih Ja Eun, dialah yang menjawab pertanyaan Hwang Chang Sik.
“Apa kalian datang bersama?” tanya Hwang Chang Sik dengan
bingung.
“Ya. Ja Eun-ssi adalah penulis di Perusahaan perfilman kami. Aku dengar dia pernah tinggal sebentar di sini jadi aku mengajaknya juga,” sahut Kim Jae Ha dengan santainya, sementara Ja Eun hanya terdiam membisu dengan perasaan yang kacau.
Park Bok Ja terus menatap Ja Eun sepanjang waktu, seolah mencoba mencari celah untuk mengajaknya bicara sekali lagi. Saat Kim Jae Ha dan Ja Eun kembali ke mobilnya, barulah saat itu Park Bok Ja berlari mengejar mereka seraya memanggil nama Ja Eun dengan lantang.
“Ja Eun-ah! Ja Eun-ah!” panggil Park Bok Ja seraya berlari mengejar.
Ja Eun berhenti dan membalikkan badannya namun masih menolak memandang Park Bok Ja.
“Hari ini kami sudah menandatangani pembelian rumah baru di kantor real estate, rumah yang akan kami tempati setelah pindah. Jadi karena sepertinya kita tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu lagi di masa depan, tolong bawalah ini bersamamu,” pinta Park Bok Ja dengan lembut dan nada sayang dalam suaranya. Dia menyerahkan sebuah tas pada Ja Eun namun Ja Eun masih menolak menerimanya.
“Apa ini?” tanya Ja Eun dengan dingin dan datar.
“Ambil saja untukmu. Ini adalah milikmu,” sahut Park Bok Ja dengan lembut dan sabar.
“Tapi apa itu? Aku harus tahu jadi aku bisa memutuskan akan mengambilnya atau tidak,” sahut Ja Eun, bersikeras ingin tahu isi di dalam ta situ.
Tapi alih-alih menjawab, Park Bok Ja justru meraih tangan Ja Eun, ingin gadis itu mengambilnya seraya berkata, “Ini adalah milikmu. Ambillah dan kemudian baru pergi,” ujar Park Bok Ja bersikeras.
Ja Eun segera menarik tangannya dengan kasar hingga tas itu jatuh ke tanah, “Kenapa Anda seperti ini?” ujar Ja Eun, masih berusaha mengeraskan hatinya yang mulai melunak.
“Kejahatan apa yang dilakukan oleh barang ini hingga kau harus marah?” ujar Park Bok Ja mengomel lembut, seperti seorang Ibu.
Dia kemudian mengambil tas itu dan membersihkannya dari tanah, “Ini bukan apa-apa. Aku tidak punya banyak uang jadi aku tidak bisa membeli barang yang lebih bagus. Ini hanyalah pakaian dalam musim dingin yang kubelikan untukmu waktu itu dan juga sebuah syal. Bahkan bila kau membenciku hingga mati, ketika musim dingin tiba, kau harus memakainya agar tetap hangat. Menurut prakiraan cuaca, musim dingin tahun ini akan terasa sangat dingin,” ujar Park Bok Ja dengan lembut dan sabar, dengan mata berkaca-kaca, seolah menasehati putrinya yang bandel agar menurut supaya tidak sakit karena kedinginan.
Mendengar kalimat yang begitu perhatian padanya, Ja Eun tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, dia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh karena tersentuh mendengar perhatian yang diberikan Park Bok Ja untuknya.
Karena Ja Eun tidak memberikan reaksi, akhirnya Kim Jae Ha berinisiatif untuk mengambil tas itu atas nama Ja Eun, “Biar aku simpan di dalam mobil,” ujar Kim Jae Ha dengan sopan.
“Baiklah. Terima kasih banyak. Tapi bisakah kami bicara berdua sebentar saja?” pinta Park Bok Ja dengan memohon.
“Baik. Aku akan menunggu di dalam mobil,” ujar Kim Jae Ha, ingin memberikan waktu bagi mereka berdua untuk bicara.
“Ada apa?” tanya Ja Eun, berpura-pura dingin, masih tak mau menatap Park Bok Ja.
“Karena kita mungkin tidak memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, aku ingin mengatakan sesuatu yang belum sempat kukatakan padamu karena aku belum memiliki kesempatan untuk itu. Ahjumma minta maaf padamu, Ja Eun-ah. Ahjumma minta maaf. Sampai mati, Ahjumma ingin meminta maaf padamu,” ujar Park Bok Ja lembut dengan air mata menetes pelan.
“Ahjumma tidak memintamu untuk memaafkan. Hingga kau mati, jangan pernah maafkan aku, gertakkan gigimu dan bencilah aku seumur hidupmu. Dengan begitu, kau bisa tetap bertahan hidup di dunia yang kejam ini,” lanjut Park Bok Ja lagi, meminta Ja Eun agar menjadi anak yang kuat, jangan lemah dan jangan terlalu baik, agar tidak ditindas orang lagi.
“Tapi jika suatu saat nanti, kau ingin makan bubur abalone kesukaanmu atau apa pun yang ingin kau makan...” Park Bok Ja kemudian meralat ucapannya dengan air mata berderai.
“Tidak. Tidak. Aku hanya asal bicara saja karena aku tahu itu tidak akan terjadi. Apa pun yang terjadi, hiduplah dengan baik dan jangan sampai sakit. Kau mengerti?” lanjut Park Bok Ja dengan lembut dan penuh kasih sayang, walaupun dengan nada bergetar karena air matanya jatuh bercucuran.
Park Bok Ja mengatakannya bagaikan seorang ibu yang menasehati putri kandungnya yang akan pergi jauh agar menjaga dirinya baik-baik. Seorang Ibu yang mengharapkan putrinya untuk pulang agar bisa makan makanan kesukaannya, walaupun dia tahu itu tidak akan terjadi.
Ja Eun pun tampak menahan air matanya agar tidak menetes di depan Park Bok Ja, namun ternyata gagal, air mata itu tetap menetes pelan saat mendengar semua kalimat penuh perhatian itu.
“Baiklah. Pergilah. Pergilah dan hiduplah dengan baik,” ujar Park Bok Ja sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan pergi sambil menangis sedih. Sedih karena harus melepas “putrinya” pergi.
Air mata Ja Eun juga menetes deras seraya memandang Park Bok
Ja yang berjalan pergi dengan air mata berlinang. Pada dasarnya Ja Eun juga
menyayangi keluarga Hwang seperti keluarganya sendiri, karena dia sekarang
seorang diri di dunia ini.
“Ya. Ja Eun-ssi adalah penulis di Perusahaan perfilman kami. Aku dengar dia pernah tinggal sebentar di sini jadi aku mengajaknya juga,” sahut Kim Jae Ha dengan santainya, sementara Ja Eun hanya terdiam membisu dengan perasaan yang kacau.
Park Bok Ja terus menatap Ja Eun sepanjang waktu, seolah mencoba mencari celah untuk mengajaknya bicara sekali lagi. Saat Kim Jae Ha dan Ja Eun kembali ke mobilnya, barulah saat itu Park Bok Ja berlari mengejar mereka seraya memanggil nama Ja Eun dengan lantang.
“Ja Eun-ah! Ja Eun-ah!” panggil Park Bok Ja seraya berlari mengejar.
Ja Eun berhenti dan membalikkan badannya namun masih menolak memandang Park Bok Ja.
“Hari ini kami sudah menandatangani pembelian rumah baru di kantor real estate, rumah yang akan kami tempati setelah pindah. Jadi karena sepertinya kita tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu lagi di masa depan, tolong bawalah ini bersamamu,” pinta Park Bok Ja dengan lembut dan nada sayang dalam suaranya. Dia menyerahkan sebuah tas pada Ja Eun namun Ja Eun masih menolak menerimanya.
“Apa ini?” tanya Ja Eun dengan dingin dan datar.
“Ambil saja untukmu. Ini adalah milikmu,” sahut Park Bok Ja dengan lembut dan sabar.
“Tapi apa itu? Aku harus tahu jadi aku bisa memutuskan akan mengambilnya atau tidak,” sahut Ja Eun, bersikeras ingin tahu isi di dalam ta situ.
Tapi alih-alih menjawab, Park Bok Ja justru meraih tangan Ja Eun, ingin gadis itu mengambilnya seraya berkata, “Ini adalah milikmu. Ambillah dan kemudian baru pergi,” ujar Park Bok Ja bersikeras.
Ja Eun segera menarik tangannya dengan kasar hingga tas itu jatuh ke tanah, “Kenapa Anda seperti ini?” ujar Ja Eun, masih berusaha mengeraskan hatinya yang mulai melunak.
“Kejahatan apa yang dilakukan oleh barang ini hingga kau harus marah?” ujar Park Bok Ja mengomel lembut, seperti seorang Ibu.
Dia kemudian mengambil tas itu dan membersihkannya dari tanah, “Ini bukan apa-apa. Aku tidak punya banyak uang jadi aku tidak bisa membeli barang yang lebih bagus. Ini hanyalah pakaian dalam musim dingin yang kubelikan untukmu waktu itu dan juga sebuah syal. Bahkan bila kau membenciku hingga mati, ketika musim dingin tiba, kau harus memakainya agar tetap hangat. Menurut prakiraan cuaca, musim dingin tahun ini akan terasa sangat dingin,” ujar Park Bok Ja dengan lembut dan sabar, dengan mata berkaca-kaca, seolah menasehati putrinya yang bandel agar menurut supaya tidak sakit karena kedinginan.
Mendengar kalimat yang begitu perhatian padanya, Ja Eun tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, dia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh karena tersentuh mendengar perhatian yang diberikan Park Bok Ja untuknya.
Karena Ja Eun tidak memberikan reaksi, akhirnya Kim Jae Ha berinisiatif untuk mengambil tas itu atas nama Ja Eun, “Biar aku simpan di dalam mobil,” ujar Kim Jae Ha dengan sopan.
“Baiklah. Terima kasih banyak. Tapi bisakah kami bicara berdua sebentar saja?” pinta Park Bok Ja dengan memohon.
“Baik. Aku akan menunggu di dalam mobil,” ujar Kim Jae Ha, ingin memberikan waktu bagi mereka berdua untuk bicara.
“Ada apa?” tanya Ja Eun, berpura-pura dingin, masih tak mau menatap Park Bok Ja.
“Karena kita mungkin tidak memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, aku ingin mengatakan sesuatu yang belum sempat kukatakan padamu karena aku belum memiliki kesempatan untuk itu. Ahjumma minta maaf padamu, Ja Eun-ah. Ahjumma minta maaf. Sampai mati, Ahjumma ingin meminta maaf padamu,” ujar Park Bok Ja lembut dengan air mata menetes pelan.
“Ahjumma tidak memintamu untuk memaafkan. Hingga kau mati, jangan pernah maafkan aku, gertakkan gigimu dan bencilah aku seumur hidupmu. Dengan begitu, kau bisa tetap bertahan hidup di dunia yang kejam ini,” lanjut Park Bok Ja lagi, meminta Ja Eun agar menjadi anak yang kuat, jangan lemah dan jangan terlalu baik, agar tidak ditindas orang lagi.
“Tapi jika suatu saat nanti, kau ingin makan bubur abalone kesukaanmu atau apa pun yang ingin kau makan...” Park Bok Ja kemudian meralat ucapannya dengan air mata berderai.
“Tidak. Tidak. Aku hanya asal bicara saja karena aku tahu itu tidak akan terjadi. Apa pun yang terjadi, hiduplah dengan baik dan jangan sampai sakit. Kau mengerti?” lanjut Park Bok Ja dengan lembut dan penuh kasih sayang, walaupun dengan nada bergetar karena air matanya jatuh bercucuran.
Park Bok Ja mengatakannya bagaikan seorang ibu yang menasehati putri kandungnya yang akan pergi jauh agar menjaga dirinya baik-baik. Seorang Ibu yang mengharapkan putrinya untuk pulang agar bisa makan makanan kesukaannya, walaupun dia tahu itu tidak akan terjadi.
Ja Eun pun tampak menahan air matanya agar tidak menetes di depan Park Bok Ja, namun ternyata gagal, air mata itu tetap menetes pelan saat mendengar semua kalimat penuh perhatian itu.
“Baiklah. Pergilah. Pergilah dan hiduplah dengan baik,” ujar Park Bok Ja sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan pergi sambil menangis sedih. Sedih karena harus melepas “putrinya” pergi.
Ja Eun menghapus air matanya dengan hati berat dan baru saja
akan masuk ke dalam mobil saat matanya melihat miniature taman hiburan yang ada
di dalam mobil Kim Jae Ha yang diletakkan bersebelahan dengan tas yang berisi
hadiah dari Park Bok Ja. Ja Eun menatap gundah ke arah pertanian bergantian
dengan miniature taman hiburan itu sebelum akhirnya membuat keputusan.
Bertepatan dengan itu, Kim Jae Ha keluar dari dalam mobilnya untuk menerima telepon dari seseorang. Kim Jae Ha berkata di ponselnya bahwa hari ini dia datang untuk meninjau lokasi sekaligus mengambil banyak sekali gambar yang nantinya akan digunakan sebagai latar belakang cerita.
Setelah panggilan telepon itu terputus, Ja Eun berjalan mendekatinya dan berkata dengan tegas, “Kim PD-nim, aku tidak akan menjual pertanian ini,” ujar Ja Eun dengan nada tegas dan mantap seraya menatap Kim Jae Ha dengan tekad yang kuat.
(Yeeeyyy! Akhirnya Ja Eun udah gak marah lagi ^^ Tae Hee-yya, apa kau siap untuk kembali mengejar? Ja Eun will be back to you ^_^ Kebahagiaanmu akan kembali ke depan matamu, siapkan mental untuk kembali mengejar. Fighting, Tae Hee-yaa ^^)
Blogger Opinion :
I've always been intrigued by Tae Phil's and Tae Hee's relationship. Always wondering why there was tension between them and why Tae Phil was so hostile towards Tae Hee when Tae Hee gets on perfectly well with the other two brothers. This scene just about broke my heart. We've been slowly seeing Tae Phil grow into a mature, caring brother and how he's gradually caring about Tae Hee little by little.
Bertepatan dengan itu, Kim Jae Ha keluar dari dalam mobilnya untuk menerima telepon dari seseorang. Kim Jae Ha berkata di ponselnya bahwa hari ini dia datang untuk meninjau lokasi sekaligus mengambil banyak sekali gambar yang nantinya akan digunakan sebagai latar belakang cerita.
Setelah panggilan telepon itu terputus, Ja Eun berjalan mendekatinya dan berkata dengan tegas, “Kim PD-nim, aku tidak akan menjual pertanian ini,” ujar Ja Eun dengan nada tegas dan mantap seraya menatap Kim Jae Ha dengan tekad yang kuat.
(Yeeeyyy! Akhirnya Ja Eun udah gak marah lagi ^^ Tae Hee-yya, apa kau siap untuk kembali mengejar? Ja Eun will be back to you ^_^ Kebahagiaanmu akan kembali ke depan matamu, siapkan mental untuk kembali mengejar. Fighting, Tae Hee-yaa ^^)
Blogger Opinion :
I've always been intrigued by Tae Phil's and Tae Hee's relationship. Always wondering why there was tension between them and why Tae Phil was so hostile towards Tae Hee when Tae Hee gets on perfectly well with the other two brothers. This scene just about broke my heart. We've been slowly seeing Tae Phil grow into a mature, caring brother and how he's gradually caring about Tae Hee little by little.
I love that he shows his concern for Tae Hee by constantly
asking Tae Hee what happened and yelling at him for not telling him anything. This
scene was him just breaking down and telling Tae Hee that he has to tell him
what's wrong so he could help him.That Tae Hee can't just keep everything
inside and expect the family to know what's he's feeling. By saying this, Tae Phil
manages to show how much he loves his family and at the same time express to Tae
Hee how much he cares about his older brother as well. Maknae, you really
outdid yourself here! Brother-love always gets me ^_^
I love this family drama. Their characters are so real. Tae Hee
might have lost his parents early in life but the parents he has now more than
makes up for his loss. They care about him so much. I started tearing up when
Dad told Tae Hee that even if he met Tae Hee's real father, he wouldn't want to
give Tae Hee up.
I find it so realistic that Tae Hee is finally learning that he doesn't have to keep everything inside. That he doesn't have to pretend that everything is always okay. He has to realize that his family is there to listen to all his wants, worries, frustrations, and problems, and he is so lucky that they're ready to scold him for keeping everything inside (first from Tae Bum, then Tae Phil, and now his parents). This rings so true to the so many families out there and I just love the poignancy of this scene. So real as if happens in every families out there.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/640 + https://gswww.tistory.com/641)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
I find it so realistic that Tae Hee is finally learning that he doesn't have to keep everything inside. That he doesn't have to pretend that everything is always okay. He has to realize that his family is there to listen to all his wants, worries, frustrations, and problems, and he is so lucky that they're ready to scold him for keeping everything inside (first from Tae Bum, then Tae Phil, and now his parents). This rings so true to the so many families out there and I just love the poignancy of this scene. So real as if happens in every families out there.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/640 + https://gswww.tistory.com/641)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar