Highlight For today episode :
Tae Hee be like, “Quit playing games with my heart!” Just
kiss her already, Tae Hee! Tae Hee pushes Ja Eun against the wall roughly and
says, “Didn’t you say you didn’t want to see me? Is this a joke? Why are you
here to find me? Do you want to play with me? Should I play with you once? Quit
playing games with my heart, Baek Ja Eun!” in a cold manner. That push was
really a bit harsh but I can´t blame him cause he is going through so much. I
mean he already has all this family troubles and he got rejected by Ja Eun
twice. He is trying hard to stay away from her and she suddenly appears. Probably
every person would be mad, right? And Ja Eun looks at him with tears in her
eyes. Enough with the crying scenes please! I am getting depressed >_<
At first I thought they will gave us the scene like “Coffee
Prince” when Choi Han Gyul pushed Go Eun Chan against the wall and forced
kissed her. My mind jumped and prayed that time, ”Is he gonna kiss?” But Tae
Hee is different, he's the smart, strong, silent & righteous type and am a
little bit uncomfortable for him to pull the same stunt and it's rather
unnecessary for Tae Hee since both have feelings for each other. Even though I
think this tough confrontation is necessary for them to move on to the next
level, so that Ja Eun can comprehend how pained, frustrated & confused Tae
Hee is about their relationship. She need to come clean on THE SPOT exactly how
she feels about him... I LOVE YOU will be the best words dear Ja Eun!
After heard about Tae Hee’s mom from Grandmother, Ja Eun goes
to look for Tae Hee, but Tae Hee looks upset. I really admired Ja Eun these
last couple episodes, and the scene at the gun range with Tae Hee was one of my
favorites. They both seemed so vulnerable, and I thought that Ja Eun was
incredibly brave to confront Tae Hee like that.
When she used Tae Hee’s words about feelings not going away easily, it
seemed like she wasn’t just talking about Tae Hee and his mom, but also about
herself and Tae Hee. Ja Eun was also
extremely mature in her dealing with the farm and the step-mom, and I’m curious
to see how all this farm stuff plays out now that the Hwang family already has
somewhere to move to.
Even though there were not much cute scenes between these two, the past few episodes I enjoyed it cause you could see the longing especially from Tae Hee. My gosh! Joo Won, were did you learn to gaze at a girl like that? I mean I know they can’t bring them together so soon!
And Ja Eun, if you were not hostile to Tae Hee when he came
to see you in the first scene, I think he would have just fallen in your arms
and cry his heart out. U spoilt it, Ja Eun-ah! Poor Tae Hee >_< I am
afraid that Tae Hee would be back to what he is like before >_<
Eventhough Tae Hee’s angry face is sooo hoot and I like it very much. But I
likes more to see the sweet Tae Hee when he is falling in love.
--------0000---------
Episode 31:
Tae Hee berjalan sambil melamun, dia teringat apa yang baru saja dikatakan oleh Kim Jae Ha tentang ibu kandungnya yang telah meninggal tanpa sempat meminta maaf padanya ataupun menemuinya sekali saja. Pergi begitu saja meninggalkan dunia ini dengan begitu banyak luka di hati Tae Hee, luka yang dibawanya sejak dia masih kecil.
Tae Hee tiba-tiba teringat masa kecilnya saat dia masih
berusia enam tahun. Tae Hee kecil terbangun di tengah malam dalam pelukan
ibunya dan diam-diam pergi menyembunyikan sepatu sang ibu di dalam container
mainannya. Tae Hee kecil yang polos berpikir jika dia menyembunyikan sepatu
ibunya di sana, sang ibu tidak akan bisa menemukannya.
Namun dia salah, keesokan harinya, Tae Hee kecil terbangun
seorang diri di kamarnya, sang Ibu telah dengan kejam diam-diam pergi
meninggalkannya selamanya. Sepatu yang dia sembunyikan dalam container mainan
pun ditemukan dengan mudah oleh ibunya. Tae Hee kecil yang malang berkeliling
rumah dengan panik dan memanggil-manggil sang ibu namun wanita itu tak juga
ditemukan di mana-mana.
Tae Hee kecil yang malang ahirnya duduk sendirian di depan
pintu rumahnya hingga malam, menunggu sang ibu kembali ke rumahnya. Namun
ternyata wanita itu tak pernah lagi muncul di hadapannya hingga akhirnya Tuhan
memanggilnya kembali ke Surga. Tae Hee seumur hidup takkan pernah bisa
mendengar penjelasan dari sang ibu tentang alasan kenapa wanita itu pergi
meninggalkannya begitu saja. Semuanya berakhir seperti ini. Tanpa penjelasan,
tanpa permintaan maaf kepada Tae Hee, tanpa menemuinya sekali saja sepanjang hidupnya,
dan tanpa mengucapkan selamat tinggal. Berakhir seperti ini, meninggalkannya
dengan hati yang hancur berkeping-keping.
Sambil melamunkan masa kecilnya yang menyakitkan, Tae Hee tanpa sadar melangkah ke penginapan tempat Ja Eun tinggal untuk sementara waktu ini. Tanpa sadar kakinya melangkah ke arah Ja Eun, seolah berharap Ja Eun bisa meringankan beban di hatinya, bisa memberikannya pelukan hangat yang dia butuhkan saat ini, bisa menghibur hatinya yang hancur dan menyembuhkan luka hatinya.
(Benar, kan? Hanya satu orang yang bisa menyembuhkan luka
dalam hatinya dan itu adalah Baek Ja Eun. Itu sebabnya tanpa sadar Tae Hee
mendatangi Ja Eun walaupun dia sudah berjanji untuk menjauh)
Tae Hee menoleh sejenak ke arah tangga sebelum akhirnya duduk di depan pintu penginapan itu dengan melamun. Di belakangnya tampak bayangan dirinya yang masih kecil duduk menemaninya dengan pose yang sama. Tae Hee menoleh pada dirinya di masa kecil itu dengan hati yang hancur, meratapi masa kecilnya yang menyakitkan.
Ja Eun yang baru saja kembali dari kantornya tampak bingung melihat Tae Hee yang duduk di depan pintu penginapannya dengan ekspresi yang kacau di wajahnya. Teringat bagaimana sebelumnya Tae Hee sudah menyelamatkannya, Ja Eun tidak mengusirnya kali ini namun hanya berdiri diam di sampingnya hingga Tae Hee menyadari keberadaannya.
Tae Hee akhirnya menyadari seseorang berdiri di sampingnya dan mengangkat kepalanya perlahan, hanya untuk melihat Ja Eun berdiri di sana.
“Kau sudah kembali?” tanya Tae Hee lirih.
“Apa yang kau lakukan di sini, Ahjussi? Kau tidak seharusnya berada di sini,” tanya Ja Eun dengan datar, namun wajahnya terlihat cemas.
Tae Hee menarik napas berat sebelum akhirnya mulai berdiri, menyadari bahwa harapannya telah hancur, “Kau benar. Aku minta maaf. Maafkan aku,” ujar Tae Hee dengan nada suara yang berat dan ekspresi penuh luka di wajahnya.
Saat Tae Hee akan melangkah, Ja Eun menghentikannya dan
bertanya dengan nada cemas, “Apa mungkin, terjadi sesuatu padamu?” tanya Ja
Eun, dengan nada kecemasan di sana, setelah melihat wajah Tae Hee yang tampak
menahan tangis dan terlihat sangat depresi.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku minta maaf. Maaf,” sahut Tae Hee pelan dan nada suara yang berat, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Dia meminta maaf karena telah mendatangi gadis itu lagi setelah dia berjanji untuk menjauh.
Tae Hee kemudian mulai melangkah pergi dengan perlahan, dia tampak lesu dan tak memiliki semangat hidup saat berjalan meninggalkan tempat itu. Sementara Ja Eun hanya menatapnya dengan sedih, cemas dan merasa bersalah, apalagi saat melihat tangan Tae Hee yang masih diperban, yang terluka karena menyelamatkannya.
Di pertanian, Hwang Chang Sik berkata kepada Park Bok Ja kalau dia akan meminta Tae Bum untuk mencari tahu apakah Kim Hong yang membeli pertanian mereka adalah benar Kim Hong yang itu.
“Jika dia benar-benar Kim Hong yang itu, dari banyaknya pertanian, kenapa dia membeli pertanian kita? Apa tujuannya? Apakah dia benar-benar merencanakan ini semua sejak awal? Ini tidak benar. Dia (Ibu Tae Hee) seharusnya tidak melakukan ini pada kita,” ujar Hwang Chang Sik tampak gelisah.
“Bagaimana jika Ibu Tae Hee datang kembali ke Korea dan
ingin meminta kita mengembalikan Tae Hee padanya?” tanya Park Bok Ja tampak tak
rela, karena bagaimana pun, dialah yang membesarkan Tae Hee seperti putranya
sendiri.
“Dia adalah wanita yang telah membuang Tae Hee begitu saja sejak Tae Hee masih kecil. Apa haknya meminta Tae Hee kembali?” ujar Hwang Chang Sik, juga tampak tak terima.
“Lihatlah keadaan Ibu, karena sepertinya Ibu juga cemas memikirkan hal ini,” saran Park Bok Ja.
Hwang Chang Sik pun akhirnya pergi menemui ibunya untuk menanyakan keadaannya dan mengatakan kalau dia sudah meminta Tae Bum untuk mencari informasi.
Nenek tiba-tiba saja membicarakan putra keduanya (ayah kandung Tae Hee yang sudah meninggal dunia karena tabrak lari) dan Hwang Chang Sik mengatakan kalau adiknya mendatanginya dalam mimpi.
“Bukankah putra keduaku meninggal di jam seperti ini?” tanya Nenek tiba-tiba dengan sedih.
“Ya. Dia meninggal di malam hari seperti ini. Beberapa hari yang lalu, dia mendatangiku dalam mimpi,” sahut Hwang Chang Sik membenarkan, seraya mengenang adiknya satu-satunya.
“Dia bahkan tidak muncul dalam mimpiku walaupun aku memintanya untuk datang. Apa yang dia katakan saat dia muncul dalam mimpimu?” tanya Nenek ingin tahu.
“Dia bertanya apakah Tae Hee tumbuh dengan baik. Dan juga menanyakan keadaan Ibu,” sahut Hwang Chang Sik, entah benar atau tidak, atau sekedar menghibur sang Ibu.
“Bagaimana penampilannya sekarang?” tanya Nenek ingin tahu.
“Dia masih sama tampannya sebelum dia mengalami kecelakaan dan pergi meninggalkan kita. Dia terlihat damai dan tenang,” sahut Hwang Chang Sik, menenangkan sang Ibu.
“Baguslah. Dia harus beristirahat dengan tenang dan damai. Dia meninggal lebih dulu sebelum Ibunya, jadi sudah seharusnya dia beristirahat dengan tenang dan damai. Kejadian itu sudah terjadi 26 tahun yang lalu, tapi kenapa rasanya baru terjadi kemarin?” ujar Nenek dengan sedih dan air mata menetes setiap kali teringat ayah kandung Tae Hee.
Hwang Chang Sik akhirnya meminta ibunya untuk tidur dan tidak berpikir macam-macam lagi mengenai ini.
Di penginapan kecilnya, Ja Eun menyodorkan amplop putih yang berisi sejumlah uang. Dia mengatakan bahwa dia sudah melunasi semua hutang ibu tirinya dengan menggunakan uang muka (DP) dari hasil penjualan pertanian, jadi Jung Yeon Suk tidak perlu hidup dalam pelarian lagi mulai sekarang, dan uang dalam amplop putih itu adalah sisa uang muka setelah dipotong hutang-hutang Jung Yeon Suk.
“Pakailah uang ini untuk memulai hidup baru,” ujar Ja Eun dengan dingin dan datar.
Dengan kata lain Ja Eun berkata, “Aku sudah membantu melunasi hutang-hutangmu jadi pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Bukankah kau bersamaku karena menginginkan uang? Kau bersamaku karena menginginkan uang hasil pertanian untuk melunasi hutang-hutangmu, kan? Jadi ambillah dan pergilah! Hutangmu sudah kulunasi, pergi dan jangan ganggu aku lagi. Pergilah, parasit!” begono maksudnya Ja Eun xixixi ^_^
“Kenapa kau berkata seperti itu? Apa kau berpikir kalau aku bersamamu karena uang?” ujar Jung Yeon Suk, berpura-pura merasa terluka dengan ucapan Ja Eun.
Untunglah saat itu ponsel Tae Hee berbunyi jadi meetingnya otomatis terhenti dan semua rekannya akhirnya bisa beristirahat.
Ternyata telepon itu dari Tae Bum yang mengajak Tae Hee untuk bertemu di tepi Sungai Han. (pemandangannya Sungai Han bagus banget sih ^^)
“Ada apa? Katakan saja,” tanya Tae Hee tanpa basa basi pada kakak keduanya.
“Pulanglah dan istirahatlah. Kau tidak seharusnya bekerja nonstop selama tiga hari tiga malam. Lihatlah! Wajahmu tampak lelah dan pucat,” ujar Tae Bum dengan kekhawatiran di wajahnya. Di antara ketiga saudaranya yang lain, Tae Bum memang yang paling dekat dengan Tae Hee seperti kakak kandungnya sendiri.
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Tae Hee. Dia tampak tak suka berbasa-basi dan ingin Tae Bum mengatakan tujuannya mengajaknya bertemu di siang hari dan di jam kerja seperti ini. Bukankah Tae Bum harus bekerja juga?
“Ibu kandungmu, bibi kami, kembali ke Korea. Seluruh keluarga mereka kembali ke Korea awal tahun ini. Ayah mengatakan padaku agar aku tidak boleh memberitahumu, tapi aku berpikir kalau kau adalah orang yang seharusnya paling berhak untuk tahu. Kupikir seharusnya kau bertemu dengan ibu kandungmu walau hanya sekali saja,” ujar Tae Bum akhirnya, mengatakan maksud kedatangannya.
“Aku belum mengatakannya padamu kan, alasanku mengapa aku mengambil uang untuk biaya kuliahmu dan pergi ke Amerika?” ujar Tae Hee tiba-tiba, mengatakan sesuatu yang random dan tidak diduga.
“Apa yang kau bicarakan?” tanya Tae
Bum tak enak hati.
“Saat kau duduk di bangku kelas 3 SMA, karenaku, kau pada akhirnya tidak bisa melanjutkan kuliahmu dengan segera karena Nenek bersikeras ingin aku melanjutkan sekolahku ke luar negeri,” ujar Tae Hee, masih membahas masa lalu mereka.
“Kenapa kau tiba-tiba mengungkit masalah itu sekarang?” tanya Tae Bum tak enak hati.
“Sejujurnya, saat itulah aku menyadari bahwa hanya akulah satu-satunya orang di keluarga kita yang bisa menang melawan Nenek, aku tahu akan mengabulkan apa pun keinginanku. Aku tahu aku seharusnya menolak usul Nenek untuk belajar di luar negeri, namun aku tidak melakukannya,” ujar Tae Hee, masih melanjutkan ceritanya.
“Itu karena aku sangat ingin bertemu dengannya. Saat itu dia tinggal di Washington DC,” lanjut Tae Hee lagi dengan tatapan menerawang ke depan, sedang mengenang masa lalunya.
“Ibu kandungmu? Kau seharusnya mengatakannya sejak awal. Jadi apa kau bertemu dengannya?” tanya Tae Bum ingin tahu.
“Aku melihatnya. Lebih tepatnya, hanya aku yang mengenalinya. Dia tidak mengenaliku sama sekali sementara aku langsung mengenalinya saat itu juga. Dia hanya berjalan melewatiku seperti orang asing. Ketika aku bahkan menunggunya hingga 3 jam, dengan memakai uang kuliahmu dan terbang ke luar negeri hanya demi bertemu dengannya. Hanya untuk berjaga-jaga bila dia tidak mengenaliku, aku berdiri tepat di hadapannya,” ujar Tae Hee dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
“Dia menoleh ke arahku dan menatapku dengan tatapan mata yang seolah berkata, ‘Kenapa anak aneh ini berdiri di sini?’ Dia hanya menatapku dengan tatapan aneh sekilas dan tanpa keraguan, dia berjalan melewatiku begitu saja. Bila dia memang seorang Ibu, bukankah seharusnya dia mengenali putranya sendiri? Bukankah seharusnya begitu?” lanjut Tae Hee dengan suara yang semakin berat, seolah berusaha agar air matanya tidak terjatuh saat ini. Tae Bum hanya menatapnya diam dengan tatapan simpati.
“Saat itulah aku memutuskan, lihat saja suatu hari nanti
saat dia sudah menjadi tua lalu berani datang mencariku, aku pasti akan
membuatnya menangis darah saat itu. Aku akan memperlakukannya sama seperti dia
memperlakukan aku saat itu. ‘Permisi, tapi siapa kau?’ itulah yang akan
kukatakan padanya. Sekarang dia datang. Akhirnya saat itu tiba,” ujar Tae Hee,
dengan ekspresi berpura-pura tegar.
(Tae Hee sebenarnya menceritakan apa yang dia harap bisa dia
lakukan bila ibu kandungnya kembali pulang, dia berharap dia bisa “membalas
dendam” pada ibu kandungnya yang bahkan tidak bisa mengenalinya saat itu, namun
sayangnya hal itu tidak akan pernah terjadi karena ibunya pulang hanya dengan
meninggalkan nama. The real definition of “Pulang tinggal nama”. Luka di hati
Tae Hee sangat besar. Akan butuh banyak cinta dari Ja Eun agar bisa menutup dan
menyembuhkan luka di hati Tae Hee, karena faktanya cinta dari Nenek dan juga
kedua orangtua angkatnya tidak cukup untuk menutup dan menyembuhkan lukanya
selama ini. Tae Hee masih terluka, hanya saja dia tidak pernah menunjukkannya
karena selalu berpura-pura tegar, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Tugasnya
Ja Eun untuk menyembuhkan luka di hati Tae Hee benar-benar sangat berat dan
tidak mudah. But our strong girl, Baek Ja Eun pasti sanggup melakukannya. Tae
Hee ini sebenarnya haus akan kasih sayang, cinta dan perhatian. Don’t worry, Ja
Eun will be there to heal you, Tae Hee-yaa ^_^)
“Tentu saja dia pasti akan datang mencariku, bukan?
Bagaimanapun juga aku masih putranya. Bila dia masih hidup, dia seharusnya
datang mencariku, walaupun hanya sekali saja. Benarkan?” tanya Tae Hee penuh
harap dengan setetes air dari sudut matanya.
“Ya, dia pasti akan datang mencarimu,” sahut Tae Bum, berusaha menghibur Tae Hee dan memberinya harapan, tanpa dia tahu, harapan itu sudah hancur karena ibu kandung Tae Hee sudah tak ada lagi di dunia ini.
“Tentu, dia pasti datang. Aku telah menunggu selama 15 tahun
lamanya dan akhirnya aku bisa membalas dendam padanya. Aku sangat
menantikannya,” ujar Tae Hee dengan tatapan kosong dan senyuman palsu di
bibirnya, dia seolah-olah sangat bahagia padahal sebenarnya hatinya terluka
dalam. Dia berbohong seolah-olah dia tidak mengetahui bahwa ibunya hanya
tinggal nama.
Di saat yang bersamaan, Ja Eun berada di dalam bus dengan membawa tanaman ayahnya. Dia teringat kenangan saat Tae Hee menemuinya di penginapan malam itu, lalu saat Tae Hee mengatakan, “Wanita di foto itu adalah wanita yang melahirkan aku,” di hari dia membelikan Tae Hee kopi.
Di arena latihan tembak, tampak Tae Hee yang sudah kembali dari pertemuannya dengan Tae Bum, mencoba menenangkan dirinya dengan berlatih menembak. Tae Hee yang biasanya selalu menembak tepat pada sasaran, kini selalu meleset dan tak bisa mengenai targetnya.
Hingga semua pelurunya telah habis, tak ada satupun tembakannya yang tepat mengenai sasaran. Jelas sekali kalau dia sedang kacau saat ini dan tidak bisa berkonsentrasi. (Untung aja yang ditembak Tae Hee adalah papan target, bukan kepala Kim Jae Ha, ya? ^^)
"Apa kau bercanda? Apa kau sedang mempermainkan aku sekarang? Haruskah aku bermain-main denganmu sekali saja? Jangan main-main denganku, Baek Ja Eun. Aku lebih dewasa darimu dan juga seorang pria, kau pikir tempat apa ini hingga kau bisa datang dengan seenaknya tanpa rasa takut dan mencoba memprovokasiku?” ujar Tae Hee dengan dingin dan nada penuh intimidasi.
(Intinya Tae Hee bilang “Quit playing games with my heart!” Tae Hee berusaha keras menjauhi Ja Eun, tapi dia sendiri yang datang menemui Tae Hee dan mencoba memprovokasi dan menyulut emosi Tae Hee di saat dia sedang lepas kendali seperti ini. Baek Ja Eun emang bener-bener berani. Dan kalimat Tae Hee yang mengatakan, “Haruskah aku bermain-main denganmu sekali saja?” ini berkonotasi negative, seolah-olah Tae Hee ingin meniduri Ja Eun dan setelah hamil, ditinggal gitu aja, gak mau tanggung jawab, kan cuma “Main-main” toh, mereka gak ada hubungan. Ngeri juga nih Tae Hee kalau lagi tegangan tinggi kayak gini >_<)
Ja Eun mengangkat kepalanya dan menatap Tae Hee dengan penuh
keberanian seraya mengatakan, “Temuilah dia, Ahjussi.” Ujarnya lirih dengan
sedikit gemetar dan mata berkaca-kaca. Ja Eun tak tahu kalau ibu kandungnya Tae
Hee sudah meninggal, yang dia tahu kalau Ibu kandung sudah kembali ke Korea namun
Nenek melarang Tae Hee untuk menemui ibu kandungnya. Ja Eun tahu betapa penting
arti seorang Ibu bagi seorang anak.
“Tutup mulutmu!” ujar Tae Hee dengan dingin. Dia masih mencengkeram kuat kedua lengan Ja Eun dan mengurungnya di dinding.
Ja Eun kemudian mengulangi kalimat Tae Hee yang pernah Tae Hee ucapkan padanya di EP 27. Cerdas banget nih Baek Ja Eun, bisa inget semua ucapan panjang Tae Hee yang hanya dikatakannya sekali saja. Ingatannya kuat banget.
“Perasaan itu bukanlah perasaan yang bisa hilang dalam sehari. Perasaan itu tidak bisa dikendalikan, juga tidak bisa dihentikan! Itu bukanlah perasaan yang bisa kau singkirkan dengan mudah. Juga tidak bisa digantikan begitu saja dengan yang lain. Perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa hilang begitu saja, tidak peduli apa pun yang kau lakukan dan walau kau berusaha mengabaikannya ataupun menyangkalnya, perasaan itu tidak akan menghilang. Bahkan bila kau tidak bisa memaafkan orang itu sampai mati dan membenci orang itu bertahun-tahun, kau tetap akan merindukan orang itu dan ingin bertemu dengannya,” ujar Ja Eun, mengembalikan ucapan Tae Hee padanya hari itu.
Tae Hee menangis mendengarnya dan berbisik pelan, “Kubilang tutup mulutmu!” ujar Tae Hee memperingatkan dengan air mata menetes dari sudut matanya.
“Tapi dia adalah ibu kandungmu, Ahjussi,” ujar Ja Eun dengan menangis pelan, masih membujuk Tae Hee. Mengira Tae Hee tidak ingin bertemu dengan ibu kandungnya, padahal faktanya dia tidak bisa, bukan tidak mau!
Sudah berada di ambang batas, Tae Hee akhirnya berteriak dengan keras dan membentaknya sekali lagi, “BAEK JA EUN!” sentak Tae Hee dengan menarik napas berat, mencoba mengontrol emosinya.
Takut dia akan berbuat kasar dan berujung menyakiti gadis yang dia cintai dan kemudian akan dia sesali, Tae Hee akhirnya memilih untuk pergi dari sana dan meninggalkan Ja Eun sendiri yang masih menangis pelan. Tae Hee pun tampak menahan air matanya dan pergi dengan hati yang luka.
Setelah menemui Tae Hee, Ja Eun kembali ke Good Film, Perusahaan Kim Jae Ha tempat dia bekerja saat ini dan mendengar Kim Jae Ha membicarakan dengan pertanian dengan sang ayah.
Untuk memastikannya, Ja Eun akhirnya bertanya langsung pada Kim Jae Ha, “Apa mungkin Tuan Kim Hong adalah Presiden Direktur dari Good Film? Apakah Good Film yang membeli Ojakgyo Farm?” tanya Ja Eun mengkonfirmasi kebenaran itu.
“Ya, benar. Perusahaan kami yang membeli Ojakgyo Farm. Tapi dari mana kau tahu itu?” tanya Kim Jae Ha, tampak tak tahu kalau Ojakgyo Farm adalah milik Baek Ja Eun.
“Apa kalian akan benar-benar menebang semua pohon di sana
untuk membangun sebuah taman hiburan? Kisah animasi Ojakgyo Family terinspirasi
dari tempat itu dan aku pernah tinggal di sana selama beberapa waktu,” ujar Ja
Eun menjelaskan.
“Bagaimana bisa ada kebetulan seperti ini? Mungkinkah ini yang dinamakan takdir?” sahut Kim Jae Ha.
Kemudian dia tampak mengeluarkan desain taman hiburan yang akan dibangun di atas lahan Ojakgyo Farm dengan bangga, “Bagaimana menurutmu? Bagus kan rancangannya?” tanya Kim Jae Ha dengan entengnya, sementara Ja Eun hanya menatap desain rancangan itu dengan tatapan tak rela dan sedih di sana.
Setelah menunjukkan desain rancangan tersebut pada Ja Eun,
Kim Jae Ha pergi menuju Ojakgyo Farm untuk meninjau lokasinya secara langsung
Saat itu, Kim Jae Ha tak sengaja bertemu dengan Hwang Tae Phil yang ada di
depan rumah dan akhirnya Tae Phil terpaksa membawanya masuk ke dalam rumah.
Hwang Chang Sik tampak tak senang melihat kedatangan Kim Jae Ha dan bertanya apa yang dia lakukan di sini, Kim Jae Ha menjawab bahwa dia datang untuk meninjau lokasi dan meminta maaf karena telah mengganggu makan siang mereka.
Nenek yang tidak mengenalnya bertanya siapa pria muda itu. Awalnya, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik tampak tak ingin menjawabnya, namun karena Nenek mendesak mereka terus dengan pertanyaan yang sama, akhirnya Park Bok Ja terpaksa menjawabnya.
“Dia adalah putra Kim Hong, Ibu.” Ujar Park Bok Ja dengan lirih, takut membuat Ibu mertuanya marah.
“Apa? Putra Kim Hong?” seru Nenek terkejut, menatap Park Bok Ja untuk mengkonfirmasi kemudian kembali menatap Kim Jae Ha dengan aura permusuhan.
“Ya. Nama saya Kim Jae Ha, Nenek.” Sahut Kim Jae Ha, memperkenalkan diri dengan sopan.
Nenek segera berdiri dan mencengkeram kerah Kim Jae Ha dengan kuat seraya bertanya dengan marah, “Siapa yang mengirimmu kemari? Ayahmu atau ibumu?” seru Nenek langsung emosi begitu mendengar nama Kim Hong disebut.
Hwang Chang Sik meminta ibunya untuk tenang dan mencoba menariknya menjauh dari Kim Jae Ha tapi Nenek sudah terlanjur histeris.
“Ibu, tenanglah.” Ujar Hwang Chang Sik namun Nenek menghempaskan tangannya.
“Dari semua tempat yang ada di dunia ini, beraninya kau menampakkan wajahmu di sini? Keluar sekarang juga dari rumah kami!” seru Nenek, seraya mencoba mendorong Kim Jae Ha dan mengusirnya dari sana.
Park Bok Ja dan Hwang Tae Phil berusaha menenangkan Nenek tapi Nenek berseru marah, “Lepaskan aku! Pergi sekarang! Aku menyuruhmu untuk pergi! Pergilah dari rumah kami sekarang juga!” usir Nenek dengan penuh emosi.
Saat itulah, Tae Hee pulang ke rumah dan melihat Kim Jae Ha ada di sana. Tae Hee berjalan ke arah Kim Jae Ha dan memintanya untuk keluar agar mereka bisa bicara.
“Kita bicara di luar!” ujar Tae Hee, menyuruh Kim Jae Ha keluar tanpa basa basi.
“Aku tidak datang untuk bertemu denganmu, Hwang Gyeonghwi-nim. Aku datang untuk melihat pertanian ini,” tolak Kim Jae Ha.
“Kim Jae Ha-ssi!” seru Tae Hee yang tampak mulai kehilangan kesabaran.
“Tae Hee, apa kau mengenalnya? Bagaimana kalian saling mengenal?” tanya Nenek. Tae Hee terdiam dan hanya melirik neneknya tanpa kata, sementara yang lain tampak menunggu jawaban Tae Hee dengan tatapan ingin tahu.
“Apa mungkin kau menemui ibu kandungmu tanpa sepengetahuanku? Apa kau sudah bertemu dengannya? Benar begitu? Jawab aku! Apa kau sudah bertemu ibumu?” seru Nenek tampak tak terima.
(Nih Nenek egois banget aslinya. Hanya karena dia gak suka melihat menantunya menikah lagi, dia melarang Tae Hee bertemu ibu kandungnya. Padahal walau ketemu pun, ibunya aja gak ngenalin Tae Hee lagi. Apa yang si tua bangka ini takutkan? Sebel banget deh sama si Nenek.
Dia merasa Tae Hee adalah miliknya jadi Tae Hee harus mendengarkan semua yang dia katakan, dikendalikan seperti robot yang gak boleh punya keinginan sendiri. Semuanya harus berdasarkan perintah si Nenek. Padahal Tae Hee uda gede, dia uda bisa mikir, dia punya kemauan sendiri, dia bukan lagi anak kecil yang harus selalu disetir dan diatur harus ngapain.
Makanya mau sebesar apa pun mereka menyayangi Tae Hee, tetap
gak bisa menyembuhkan luka di hati Tae Hee dan mengisi kekosongan di hati Tae Hee
karena cinta dan kasih sayangnya keluarga Hwang itu egois, terlalu
mengekangnya, Tae Hee jadi gak bisa punya keinginan sendiri karena harus selalu
menjadi anak yang baik dan menyenangkan semua orang di keluarganya. Bagi Tae
Hee, cinta dan kasih sayang keluarganya adalah beban dan hutang yang harus dia
bayar dengan berbuat baik, dengan jadi anak yang penurut – EP 28.
Makanya Tae Hee aslinya gak bahagia walaupun dia dikelilingi
keluarga besar yang sayang sama dia. Karena dia tahu, cinta dan kasih sayang
mereka gak tulus. Beda dengan cintanya Baek Ja Eun yang tulus, gak mengharapkan
apa pun, gak memaksa Tae Hee untuk menjadi ini dan itu, gak menuntut dan
memaksa harus menurut seperti Neneknya >_< Kasian Tae Hee karena selalu
hidup dalam kepura-puraan bila di depan keluarganya.
Tae Hee baru bisa menjadi dirinya sendiri bila di depan Baek Ja Eun, bahkan Tae Hee yang biasanya selalu tampak dewasa dan mandiri, mendadak jadi kekanakan dan manja kalau di depan Ja Eun, inner childnya spontan keluar karena dia tahu kalau Baek Ja Eun tidak pernah menuntutnya untuk jadi figure yang sempurna, dia menerima Tae Hee apa adanya)
Kim Jae Ha yang merasa aura di rumah itu sudah semakin mencekam, akhirnya memutuskan untuk pergi daripada membuat suasana makin runyam.
Setelah Kim Jae Ha pergi, Tae Hee bertanya dengan berani, “Kenapa Nenek sangat tidak suka aku menemui ibu kandungku?” tanya Tae Hee, ingin tahu alasannya.
“Apa?” Nenek tampak terkejut karena Tae Hee berani menanyakannya.
“Kenapa Nenek sangat membencinya? Sangat wajar untuk anak berusia 6 tahun ingin bertemu ibu kandungnya. Justru jika tiba-tiba ibu kita menghilang dan kita tidak merindukannya sama sekali, bukankah itu malah tidak wajar?” tanya Tae Hee, terdengar masuk akal.
“Pertanyaanku adalah apakah kau menemuinya?” tanya Nenek, tidak mau menjawab pertanyaan Tae Hee.
“Ke mana ibu kandungku pergi selama ini? Kenapa ibu tidak pernah datang melihatku walau hanya sekali saja? Jika saja aku memiliki kesempatan untuk bertanya mengenai masalah ini, hari seperti ini tidak akan pernah terjadi. Kenapa Nenek tidak mengijinkan aku untuk menemuinya?” tanya Tae Hee lagi dengan tatapan kekecewaan melihat Neneknya yang egois dan kejam.
“Jawab aku! Apakah kau menemuinya?” tanya Nenek, masih menolak untuk menjawab pertanyaan Tae Hee.
“Aku belum bertemu dengannya tapi aku ingin bertemu dengannya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Apa aku tidak boleh bertemu dengannya?” tanya Tae Hee dengan air mata bercucuran.
“Tidak boleh!” seru Nenek dengan kejam, padahal Ja Eun aja menyuruh Tae Hee untuk menemui ibunya, walau hanya sekali saja.
(Egois kan nih tua bangka satu? >_< Dia egois dan pendendam. Dia maunya diturutin mulu, menggunakan umur rentanya untuk playing victim dan memaksa cucunya menuruti kemauannya. Egois banget karena memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya hanya karena dia dendam sama si ibu >_< Ja Eun lebih pengertian daripada nih tua bangka)
“Tae Hee-yaa!” tegur Hwang Chang Sik.
“Kenapa tidak boleh? Kenapa aku tidak boleh menemuinya?” tanya Tae Hee sekali lagi. Dia ingin mendengar alasannya.
“Kau tidak boleh menemuinya! Tidak! Hingga tanah masuk ke dalam mataku. Kau tidak boleh menemuinya!” jawab Nenek dengan tegas dan tanpa perasaan. (Nunggu dia mati dulu intinya)
“Kalau begitu berapa lama waktumu yang tersisa? Tidak mungkin Nenek bisa hidup hingga 100 tahun, kan?” ujar Tae Hee dengan berani.
Nenek menangis dan menampar Tae Hee dengan keras, membuat seluruh keluarga tampak terkejut karena melihat untuk yang pertama kalinya Nenek menampar cucu kesayangannya.
“Apa yang kau katakan? Katakan lagi! Apa yang kau katakan?” seru Nenek dengan emosi.
“Jangan khawatir, Nenek! Itu tidak akan terjadi, karena dia sudah mati. Ibu kandungku sudah mati!” seru Tae Hee dengan air mata berlinang, menatap Neneknya dengan tatapan mata penuh luka, menyalahkan dan kekecewaan melihat Neneknya yang begitu kejam.
Blogger Opinion :
Tae Hee’s story that he told Tae Bum was the most heartwrenching. I am so glad Tae Hee got to see his mom at least when he was a kid – even though it’s like the worst way for a kid to meet his mom again. how could she not recognize her own son? He would have been such a cute kid I bet.
The smile on his face was the satisfaction of that little boy who waited all these years to get revenge cuz the sting of his own mom not recognizing him back then stayed with him all these years. In a way, not getting closure is going to leave another scar in his already broken heart. That makes me wonder just how much more love he has to receive in order to begin healing.
At this point, Ja Eun pretty much holds the key to everyone’s happiness including hers. If she forgives Tae Hee and takes him back in her life, of course she can be a source of comfort to him during a dark time in his life. If she changes her mind about selling the farm and not letting the theme park get built there, that is going to make the Hwang family – especially the ajumma and Grandma very happy. More importantly, if Ja Eun keeps the farm, she will have a real home again. But then there are the obvious reasons why she won’t do that. She still hasn’t forgiven and her betrayal still stings.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/637 + https://gswww.tistory.com/638 + https://gswww.tistory.com/639)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Even though there were not much cute scenes between these two, the past few episodes I enjoyed it cause you could see the longing especially from Tae Hee. My gosh! Joo Won, were did you learn to gaze at a girl like that? I mean I know they can’t bring them together so soon!
--------0000---------
Episode 31:
Tae Hee berjalan sambil melamun, dia teringat apa yang baru saja dikatakan oleh Kim Jae Ha tentang ibu kandungnya yang telah meninggal tanpa sempat meminta maaf padanya ataupun menemuinya sekali saja. Pergi begitu saja meninggalkan dunia ini dengan begitu banyak luka di hati Tae Hee, luka yang dibawanya sejak dia masih kecil.
Sambil melamunkan masa kecilnya yang menyakitkan, Tae Hee tanpa sadar melangkah ke penginapan tempat Ja Eun tinggal untuk sementara waktu ini. Tanpa sadar kakinya melangkah ke arah Ja Eun, seolah berharap Ja Eun bisa meringankan beban di hatinya, bisa memberikannya pelukan hangat yang dia butuhkan saat ini, bisa menghibur hatinya yang hancur dan menyembuhkan luka hatinya.
Tae Hee menoleh sejenak ke arah tangga sebelum akhirnya duduk di depan pintu penginapan itu dengan melamun. Di belakangnya tampak bayangan dirinya yang masih kecil duduk menemaninya dengan pose yang sama. Tae Hee menoleh pada dirinya di masa kecil itu dengan hati yang hancur, meratapi masa kecilnya yang menyakitkan.
Ja Eun yang baru saja kembali dari kantornya tampak bingung melihat Tae Hee yang duduk di depan pintu penginapannya dengan ekspresi yang kacau di wajahnya. Teringat bagaimana sebelumnya Tae Hee sudah menyelamatkannya, Ja Eun tidak mengusirnya kali ini namun hanya berdiri diam di sampingnya hingga Tae Hee menyadari keberadaannya.
Tae Hee akhirnya menyadari seseorang berdiri di sampingnya dan mengangkat kepalanya perlahan, hanya untuk melihat Ja Eun berdiri di sana.
“Kau sudah kembali?” tanya Tae Hee lirih.
“Apa yang kau lakukan di sini, Ahjussi? Kau tidak seharusnya berada di sini,” tanya Ja Eun dengan datar, namun wajahnya terlihat cemas.
Tae Hee menarik napas berat sebelum akhirnya mulai berdiri, menyadari bahwa harapannya telah hancur, “Kau benar. Aku minta maaf. Maafkan aku,” ujar Tae Hee dengan nada suara yang berat dan ekspresi penuh luka di wajahnya.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku minta maaf. Maaf,” sahut Tae Hee pelan dan nada suara yang berat, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Dia meminta maaf karena telah mendatangi gadis itu lagi setelah dia berjanji untuk menjauh.
Tae Hee kemudian mulai melangkah pergi dengan perlahan, dia tampak lesu dan tak memiliki semangat hidup saat berjalan meninggalkan tempat itu. Sementara Ja Eun hanya menatapnya dengan sedih, cemas dan merasa bersalah, apalagi saat melihat tangan Tae Hee yang masih diperban, yang terluka karena menyelamatkannya.
Di pertanian, Hwang Chang Sik berkata kepada Park Bok Ja kalau dia akan meminta Tae Bum untuk mencari tahu apakah Kim Hong yang membeli pertanian mereka adalah benar Kim Hong yang itu.
“Jika dia benar-benar Kim Hong yang itu, dari banyaknya pertanian, kenapa dia membeli pertanian kita? Apa tujuannya? Apakah dia benar-benar merencanakan ini semua sejak awal? Ini tidak benar. Dia (Ibu Tae Hee) seharusnya tidak melakukan ini pada kita,” ujar Hwang Chang Sik tampak gelisah.
“Dia adalah wanita yang telah membuang Tae Hee begitu saja sejak Tae Hee masih kecil. Apa haknya meminta Tae Hee kembali?” ujar Hwang Chang Sik, juga tampak tak terima.
“Lihatlah keadaan Ibu, karena sepertinya Ibu juga cemas memikirkan hal ini,” saran Park Bok Ja.
Hwang Chang Sik pun akhirnya pergi menemui ibunya untuk menanyakan keadaannya dan mengatakan kalau dia sudah meminta Tae Bum untuk mencari informasi.
Nenek tiba-tiba saja membicarakan putra keduanya (ayah kandung Tae Hee yang sudah meninggal dunia karena tabrak lari) dan Hwang Chang Sik mengatakan kalau adiknya mendatanginya dalam mimpi.
“Bukankah putra keduaku meninggal di jam seperti ini?” tanya Nenek tiba-tiba dengan sedih.
“Ya. Dia meninggal di malam hari seperti ini. Beberapa hari yang lalu, dia mendatangiku dalam mimpi,” sahut Hwang Chang Sik membenarkan, seraya mengenang adiknya satu-satunya.
“Dia bahkan tidak muncul dalam mimpiku walaupun aku memintanya untuk datang. Apa yang dia katakan saat dia muncul dalam mimpimu?” tanya Nenek ingin tahu.
“Dia bertanya apakah Tae Hee tumbuh dengan baik. Dan juga menanyakan keadaan Ibu,” sahut Hwang Chang Sik, entah benar atau tidak, atau sekedar menghibur sang Ibu.
“Bagaimana penampilannya sekarang?” tanya Nenek ingin tahu.
“Dia masih sama tampannya sebelum dia mengalami kecelakaan dan pergi meninggalkan kita. Dia terlihat damai dan tenang,” sahut Hwang Chang Sik, menenangkan sang Ibu.
“Baguslah. Dia harus beristirahat dengan tenang dan damai. Dia meninggal lebih dulu sebelum Ibunya, jadi sudah seharusnya dia beristirahat dengan tenang dan damai. Kejadian itu sudah terjadi 26 tahun yang lalu, tapi kenapa rasanya baru terjadi kemarin?” ujar Nenek dengan sedih dan air mata menetes setiap kali teringat ayah kandung Tae Hee.
Hwang Chang Sik akhirnya meminta ibunya untuk tidur dan tidak berpikir macam-macam lagi mengenai ini.
Di penginapan kecilnya, Ja Eun menyodorkan amplop putih yang berisi sejumlah uang. Dia mengatakan bahwa dia sudah melunasi semua hutang ibu tirinya dengan menggunakan uang muka (DP) dari hasil penjualan pertanian, jadi Jung Yeon Suk tidak perlu hidup dalam pelarian lagi mulai sekarang, dan uang dalam amplop putih itu adalah sisa uang muka setelah dipotong hutang-hutang Jung Yeon Suk.
“Pakailah uang ini untuk memulai hidup baru,” ujar Ja Eun dengan dingin dan datar.
Dengan kata lain Ja Eun berkata, “Aku sudah membantu melunasi hutang-hutangmu jadi pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Bukankah kau bersamaku karena menginginkan uang? Kau bersamaku karena menginginkan uang hasil pertanian untuk melunasi hutang-hutangmu, kan? Jadi ambillah dan pergilah! Hutangmu sudah kulunasi, pergi dan jangan ganggu aku lagi. Pergilah, parasit!” begono maksudnya Ja Eun xixixi ^_^
“Kenapa kau berkata seperti itu? Apa kau berpikir kalau aku bersamamu karena uang?” ujar Jung Yeon Suk, berpura-pura merasa terluka dengan ucapan Ja Eun.
Jadi dari 10 miliar won hasil penjualan pertanian, Ja Eun hanya
baru mendapat 90 juta won sebagai uang muka dan 80 jutanya digunakan untuk
membayar hutang Jung Yeon Suk.
“Jika aku sudah mendapatkan sisanya, akan kugunakan untuk membayar tim penyelamat untuk mencari ayahku dan juga melunasi hutang-hutangnya,” ujar Ja Eun, menjelaskan rencananya.
“Apa? Apa kau sudah gila?” seru Jung Yeon Suk tak rela.
“Aku tidak mau membebani orang lain karena hutang-hutang ayahku. Selama aku bisa, aku akan melunasinya,” sahut Ja Eun keras kepala.
“Kau mungkin tidak tahu tapi secara hukum, aku masih ibumu dan aku punya hak dengan uang yang kau terima dari hasil penjualan pertanian itu,” seru Jung Yeon Suk.
Nah kan bener? Dia butuh Ja Eun karena uangnya doang, gak tulus sayang. Ujung-ujungnya duit nih emak tiri >_< uda bagus dibantu melunasi hutang 80 jutanya. Dasar gak tahu diri. Ngelunjak nih emak dajjal!
“Aku bukan Baek Ja Eun yang dulu. Aku adalah anak yang telah mengalami banyak penderitaan hidup. Aku pernah merawat bebek-bebek, memakai toilet jorok di pertanian dan bekerja setiap hari dari pagi hingga malam untuk mengurus perkebunan pir dan menjaganya dari serangan hama. Jadi jangan berharap padaku lagi dan pergilah. Aku sudah melunasi hutang-hutangmu,” sahut Ja Eun dengan dingin dan datar.
(Bagus Ja Eun, usir aja tuh emak tiri. Dia hanya memanfaatkanmu kok. Buat apa modus doang tapi gak tulus? Ujung-ujungnya duit >_< udah bagus jadi’in satu sama mantan pacarnya Tae Shik si Yejin yang sama-sama materialistis dan cuma pengen menjual pertanian untuk melunasi hutang doank >_< Minggat sono, minggat! Don’t want you back! Get lost!)
Sakit hati dengan ucapan Ja Eun, Jung Yeon Suk pergi meninggalkan kamar kecil itu namun tanpa membawa amplop sisa uang muka yang diberikan Ja Eun untuknya. (Baguslah ya, masih punya harga diri setidaknya. Gpp, Ja Eun. Ambil aja sisa DP-nya untuk biaya hidupmu sendiri kelak ^^)
Keesokan harinya, setelah mendapat kabar dari Tae Bum kalau Kim Hong yang membeli pertanian mereka memang Kim Hong yang menikah lagi dengan ibu kandung Tae Hee, Nenek bersikeras menemui Ja Eun untuk memintanya mengembalikan uang muka itu kepada Perusahaan perfilman tersebut dan membatalkan penjualan pertanian.
(Gak bisalah, Markonah! Uda terlanjur dipakai untuk melunasi
hutang-hutangnya Jung Yeon Suk noh)
Namun syukurlah karena ternyata Nenek tak perlu susah-susah mendatangi Ja Eun ke penginapannya karena Ja Eun sudah datang sendiri ke sana untuk mengambil tanaman peninggalan ayahnya. Saat Ja Eun sedang sibuk menggali, Nenek dan Park Bok Ja kebetulan berjalan ke arahnya.
“Ja Eun-ah...” panggil Nenek dengan gembira. Pucuk dicinta ulam tiba, calon cucu menantu kesayangan uda datang sendiri tanpa dicari ^^
“Ja Eun-ah, kau datang?” tanya Nenek dengan tersenyum lega.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Park Bok Ja dengan heran.
“Mengambil tanaman peninggalan ayahku,” sahut Ja Eun dengan dingin.
Nenek menggenggam tangan Ja Eun dan memintanya masuk ke dalam rumah, “Sangat bagus kau datang kemari. Ayo masuklah ke dalam. Ayo masuk,” ajak Nenek dengan antusias seraya menggandeng tangan Ja Eun dengan sedikit memaksa.
“Tidak, Nenek. Aku hanya datang untuk mengambil tanaman ayahku. Kenapa Nenek seperti ini?” seru Ja Eun seraya menarik lepas tangannya dan hampir membuat Nenek terjatuh. Untung saja ada Park Bok Ja yang menahan tubuh sang Nenek.
“Kenapa kau begitu kasar pada Nenek?” tegur Park Bok Ja dengan lembut, bukan membentak tapi lebih seperti seorang Ibu yang menegur halus putrinya yang bersikap salah.
“Ini salahku. Ini salahku. Aku yang terlalu bersemangat,” ujar Nenek menyalahkan dirinya sendiri.
“Maafkan Nenek ya. Maaf karena Nenek terlalu bersemangat melihatmu. Nenek baru saja berencana pergi mencarimu. Nenek ingin meminta sesuatu padamu,” lanjut Nenek, memohon dengan sabar.
“Meminta sesuatu padaku?” ulang Ja Eun dengan tak mengerti.
“Benar. Wanita tua yang akan segera mati ini memiliki sebuah permintaan padamu,” ujar Nenek, berusaha mengambil simpati Ja Eun seraya kembali menggenggam tangannya dengan tatapan permohonan.
Akhirnya karena tak tega, Ja Eun pun ikut masuk ke dalam rumah untuk mendengarkan apa pun itu permintaan Nenek padanya.
Di dalam rumah, Ja Eun, Nenek, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja duduk bersama. Nenek segera meminta Ja Eun untuk mengembalikan uang muka penjualan pertanian ini pada Perusahaan perfilman dan mengatakan pada mereka kalau dia tidak jadi menjualnya.
Ja Eun menatap Nenek dengan ekspresi yang kesulitan, terlihat jelas dia tidak mungkin memenuhi permintaan itu.
“Walau kita tidak menjualnya kepada Perusahaan perfilman itu, pertanianmu pasti akan terjual juga lain kali, pasti akan ada orang lain yang akan membelinya nanti. Jadi kumohon kabulkanlah permintaan Nenek sekali ini saja,” pinta Nenek, masih membujuk Ja Eun.
Melihat Ja Eun masih tampak ragu, Nenek akhirnya memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya.
“Nenek sebenarnya memiliki putra yang lain. Dia adalah ayah kandung Tae Hee dan putra kedua Nenek. Sementara ayah Tae Hee yang sekarang sebenarnya adalah pamannya, kakak dari ayah kandungnya, yang mengadopsi dan merawat Tae Hee seperti putranya sendiri,” jelas Nenek, menceritakan kisah hidup Tae Hee pada Ja Eun.
Mendengar nama Tae Hee disebut, Ja Eun mulai memberikan perhatian lebih pada masalah ini, “Saat usia Tae Hee 4 tahun, putra keduaku mengalami kecelakaan dan meninggal dunia, dan ibu kandung Tae Hee meninggalkan rumah begitu saja. Wanita itu, yang menyebut dirinya sebagai Ibu kandung Tae Hee, setelah dua tahun dia menikah lagi dan meninggalkan Tae Hee seorang diri,” lanjut Nenek.
“Wanita itu pindah ke Amerika, entah di mana tepatnya dan tak pernah kembali dalam waktu yang lama. Namun setelah dia kembali, hal pertama yang dia lakukan adalah membeli pertanian kami, ah tidak, maksud Nenek, membeli pertanianmu. President Direktur dari Perusahaan perfilman itu adalah pria yang menikah kembali dengan wanita itu,” sambung Nenek, menceritakan segalanya pada Ja Eun.
Nenek menggenggam tangan Ja Eun dan kembali membuat permohonan, “Tidak masalah jika kau menjualnya pada siapapun di dunia ini, asalkan jangan kepada mereka. Nenek tidak rela jika mereka yang membelinya. Jadi kumohon dengarkan permintaan wanita tua ini sekali saja. Bagaimana putraku yang malang meninggalkan dunia ini begitu saja? Salah siapa ini hingga Tae Hee harus tumbuh tanpa kasih sayang ayah dan ibunya dan harus dibesarkan oleh paman dan bibinya,” ujar Nenek dengan menangis sedih, setiap kali mengingat putra keduanya.
“Ibu, jangan membebani Ja Eun,” ujar Hwang Chang Sik dengan bijaksana.
Nenek mengabaikan ucapan Hwang Chang Sik dan tetap memohon
pada Ja Eun, “Aku tidak punya banyak uang, juga tidak tahu berapa lama aku akan
hidup. Aku juga tidak tahu bagaimana caraku membalas semua kebaikanmu, tapi
walaupun aku mati, aku tidak akan melupakannya. Wanita tua yang tidak tahu lagi
berapa lama akan hidup, setelah mengirim putra keduanya ke Surga, kini memohon
padamu untuk mengabulkan permintaan terakhirnya,” pinta Nenek, mengiba pada Ja
Eun dengan menangis.
“Ibu, kenapa mengatakan ini semua pada Ja Eun? Ini tidak akan membantu sama sekali,” ujar Hwang Chang Sik, namun Nenek mengabaikan putranya dan masih memohon pada Ja Eun agar tidak menjual pertaniannya.
“Ja Eun-ah...” panggil Nenek dengan mengiba.
“Hanya karena Ibu menceritakan semua ini, bukan berarti bisa menyelesaikan masalah ini. Lebih baik kita mencari adik ipar dan bicara dengannya...” usul Hwang Chang Sik, menyarankan agar mereka mencari ibu kandung Tae Hee dan menanyakan apa maksudnya membeli pertanian ini. Hwang Chang Sik tidak mengetahui kalau Ibu kandung Tae Hee sudah meninggal saat ini.
“Adik ipar apanya? Siapa yang adik iparmu?” seru Nenek marah, tidak terima bila putranya menyebut ibu kandung Tae Hee sebagai adik ipar.
“Karena siapa putra keduaku yang malang meninggal di usia muda? Dia tidak bisa lagi melihat putranya, tidak bisa memeluknya, tidak bisa memanggil namanya. Karena wanita itu, cucuku...” ujar Nenek sambil menangis terisak, dia tidak sanggup meneruskan kalimatnya karena terlalu menyesak di dada. Ja Eun hanya duduk terdiam, namun ekspresinya terlihat galau dan gundah.
Di kantor polisi, Tae Hee yang sudah tiga hari tidak pulang ke rumah sedang mengadakan meeting dengan rekan-rekan polisinya. Dia berdiri di depan whiteboard dengan berbagai foto para tersangka yang tertempel di sana serta berbagai tulisan di sana.
Tae Hee tampak sibuk menjelaskan bagaimana cara mengungkap persembunyian para tersangka itu, tapi tak ada seorangpun yang mendengarkannya karena mereka terlalu lelah dan mengantuk. Bahkan ada satu di antara mereka yang sudah tertidur karena kecapekan.
Dong Min pun ikut mengeluh melihat cara kerja Tae Hee yang tak hanya menyiksa dirinya sendiri namun juga menyiksa semua anggota timnya, “Hyung, ini tidak wajar. Kami tidak sama denganmu. Kami semua bisa mati bila terus seperti ini. Kami sudah tidak tidur selama tiga hari,” protes Seo Dong Min, mewakili rekan-rekannya.
Pada dasarnya Tae Hee hanya ingin melarikan diri dari
kenyataan, itu sebabnya dia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan agar tak
punya waktu memikirkan kematian sang ibu yang begitu mendadak baginya. Karena
tak ada orang yang bisa diajak untuk berbagi cerita, akhirnya Tae Hee hanya
bisa menyiksa dirinya dengan pekerjaan.
Tae Hee tampak tak peduli dengan protes Dong Min dan tetap melanjutkan investigasinya dengan menyebut nama sejumlah tersangka dan di mana kira-kira mereka bersembunyi.
“Apa kau ingin kita kehilangan jejak lagi seperti
sebelumnya? Mereka sangat licin bagai belut, jika kita lengah sedikit saja,
kita pasti kehilangan jejak mereka lagi seperti yang terakhir kalinya,” sentak
Tae Hee, membuat Dong Min terdiam pasrah.
“Ya. Kau benar,” sahut Dong Min dengan wajah lelah dan mata pandanya.
(Gara-gara Ja Eun juga nih secara gak langsung. Coba Ja Eun gak memperlakukan Tae Hee dengan dingin dan membiarkannya menangis di pundaknya, Tae Hee sekarang pasti setidaknya sudah sedikit lega dan gak akan menyiksa rekan-rekan kerjanya seperti ini. Ja Eun-ah, sadar gak sih kalau kamu tuh sumber kebahagiaan semua orang? Kalau Tae Hee bahagia, semua orang di sekitarnya juga pasti ikut bahagia juga. Rekan-rekan kantornya bahagia karena gak bakal disiksa dengan pekerjaan, Neneknya juga ikut bahagia kalau cucu kesayangannya bahagia dan kalau Nenek bahagia, maka semua orang di rumah juga akan bahagia. Dan sumber kebahagiaan Tae Hee tuh cuma kamu, Baek Ja Eun. Udahan dong marahnya. Tae Hee really need you so much now T_T Dia tuh butuh shoulder to cry on T_T)
Tae Hee masih melanjutkan analisanya saat menyadari satu rekannya sudah tertidur, dia mengambil sesuatu untuk dilemparkannya pada pria itu, “YYAAA! Jang Yeongsa (polisi Jang)!” tegur Tae Hee.
“Jika aku sudah mendapatkan sisanya, akan kugunakan untuk membayar tim penyelamat untuk mencari ayahku dan juga melunasi hutang-hutangnya,” ujar Ja Eun, menjelaskan rencananya.
“Apa? Apa kau sudah gila?” seru Jung Yeon Suk tak rela.
“Aku tidak mau membebani orang lain karena hutang-hutang ayahku. Selama aku bisa, aku akan melunasinya,” sahut Ja Eun keras kepala.
“Kau mungkin tidak tahu tapi secara hukum, aku masih ibumu dan aku punya hak dengan uang yang kau terima dari hasil penjualan pertanian itu,” seru Jung Yeon Suk.
Nah kan bener? Dia butuh Ja Eun karena uangnya doang, gak tulus sayang. Ujung-ujungnya duit nih emak tiri >_< uda bagus dibantu melunasi hutang 80 jutanya. Dasar gak tahu diri. Ngelunjak nih emak dajjal!
“Aku bukan Baek Ja Eun yang dulu. Aku adalah anak yang telah mengalami banyak penderitaan hidup. Aku pernah merawat bebek-bebek, memakai toilet jorok di pertanian dan bekerja setiap hari dari pagi hingga malam untuk mengurus perkebunan pir dan menjaganya dari serangan hama. Jadi jangan berharap padaku lagi dan pergilah. Aku sudah melunasi hutang-hutangmu,” sahut Ja Eun dengan dingin dan datar.
(Bagus Ja Eun, usir aja tuh emak tiri. Dia hanya memanfaatkanmu kok. Buat apa modus doang tapi gak tulus? Ujung-ujungnya duit >_< udah bagus jadi’in satu sama mantan pacarnya Tae Shik si Yejin yang sama-sama materialistis dan cuma pengen menjual pertanian untuk melunasi hutang doank >_< Minggat sono, minggat! Don’t want you back! Get lost!)
Sakit hati dengan ucapan Ja Eun, Jung Yeon Suk pergi meninggalkan kamar kecil itu namun tanpa membawa amplop sisa uang muka yang diberikan Ja Eun untuknya. (Baguslah ya, masih punya harga diri setidaknya. Gpp, Ja Eun. Ambil aja sisa DP-nya untuk biaya hidupmu sendiri kelak ^^)
Keesokan harinya, setelah mendapat kabar dari Tae Bum kalau Kim Hong yang membeli pertanian mereka memang Kim Hong yang menikah lagi dengan ibu kandung Tae Hee, Nenek bersikeras menemui Ja Eun untuk memintanya mengembalikan uang muka itu kepada Perusahaan perfilman tersebut dan membatalkan penjualan pertanian.
Namun syukurlah karena ternyata Nenek tak perlu susah-susah mendatangi Ja Eun ke penginapannya karena Ja Eun sudah datang sendiri ke sana untuk mengambil tanaman peninggalan ayahnya. Saat Ja Eun sedang sibuk menggali, Nenek dan Park Bok Ja kebetulan berjalan ke arahnya.
“Ja Eun-ah...” panggil Nenek dengan gembira. Pucuk dicinta ulam tiba, calon cucu menantu kesayangan uda datang sendiri tanpa dicari ^^
“Ja Eun-ah, kau datang?” tanya Nenek dengan tersenyum lega.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Park Bok Ja dengan heran.
“Mengambil tanaman peninggalan ayahku,” sahut Ja Eun dengan dingin.
Nenek menggenggam tangan Ja Eun dan memintanya masuk ke dalam rumah, “Sangat bagus kau datang kemari. Ayo masuklah ke dalam. Ayo masuk,” ajak Nenek dengan antusias seraya menggandeng tangan Ja Eun dengan sedikit memaksa.
“Tidak, Nenek. Aku hanya datang untuk mengambil tanaman ayahku. Kenapa Nenek seperti ini?” seru Ja Eun seraya menarik lepas tangannya dan hampir membuat Nenek terjatuh. Untung saja ada Park Bok Ja yang menahan tubuh sang Nenek.
“Kenapa kau begitu kasar pada Nenek?” tegur Park Bok Ja dengan lembut, bukan membentak tapi lebih seperti seorang Ibu yang menegur halus putrinya yang bersikap salah.
“Ini salahku. Ini salahku. Aku yang terlalu bersemangat,” ujar Nenek menyalahkan dirinya sendiri.
“Maafkan Nenek ya. Maaf karena Nenek terlalu bersemangat melihatmu. Nenek baru saja berencana pergi mencarimu. Nenek ingin meminta sesuatu padamu,” lanjut Nenek, memohon dengan sabar.
“Meminta sesuatu padaku?” ulang Ja Eun dengan tak mengerti.
“Benar. Wanita tua yang akan segera mati ini memiliki sebuah permintaan padamu,” ujar Nenek, berusaha mengambil simpati Ja Eun seraya kembali menggenggam tangannya dengan tatapan permohonan.
Akhirnya karena tak tega, Ja Eun pun ikut masuk ke dalam rumah untuk mendengarkan apa pun itu permintaan Nenek padanya.
Di dalam rumah, Ja Eun, Nenek, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja duduk bersama. Nenek segera meminta Ja Eun untuk mengembalikan uang muka penjualan pertanian ini pada Perusahaan perfilman dan mengatakan pada mereka kalau dia tidak jadi menjualnya.
Ja Eun menatap Nenek dengan ekspresi yang kesulitan, terlihat jelas dia tidak mungkin memenuhi permintaan itu.
“Walau kita tidak menjualnya kepada Perusahaan perfilman itu, pertanianmu pasti akan terjual juga lain kali, pasti akan ada orang lain yang akan membelinya nanti. Jadi kumohon kabulkanlah permintaan Nenek sekali ini saja,” pinta Nenek, masih membujuk Ja Eun.
Melihat Ja Eun masih tampak ragu, Nenek akhirnya memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya.
“Nenek sebenarnya memiliki putra yang lain. Dia adalah ayah kandung Tae Hee dan putra kedua Nenek. Sementara ayah Tae Hee yang sekarang sebenarnya adalah pamannya, kakak dari ayah kandungnya, yang mengadopsi dan merawat Tae Hee seperti putranya sendiri,” jelas Nenek, menceritakan kisah hidup Tae Hee pada Ja Eun.
Mendengar nama Tae Hee disebut, Ja Eun mulai memberikan perhatian lebih pada masalah ini, “Saat usia Tae Hee 4 tahun, putra keduaku mengalami kecelakaan dan meninggal dunia, dan ibu kandung Tae Hee meninggalkan rumah begitu saja. Wanita itu, yang menyebut dirinya sebagai Ibu kandung Tae Hee, setelah dua tahun dia menikah lagi dan meninggalkan Tae Hee seorang diri,” lanjut Nenek.
“Wanita itu pindah ke Amerika, entah di mana tepatnya dan tak pernah kembali dalam waktu yang lama. Namun setelah dia kembali, hal pertama yang dia lakukan adalah membeli pertanian kami, ah tidak, maksud Nenek, membeli pertanianmu. President Direktur dari Perusahaan perfilman itu adalah pria yang menikah kembali dengan wanita itu,” sambung Nenek, menceritakan segalanya pada Ja Eun.
Nenek menggenggam tangan Ja Eun dan kembali membuat permohonan, “Tidak masalah jika kau menjualnya pada siapapun di dunia ini, asalkan jangan kepada mereka. Nenek tidak rela jika mereka yang membelinya. Jadi kumohon dengarkan permintaan wanita tua ini sekali saja. Bagaimana putraku yang malang meninggalkan dunia ini begitu saja? Salah siapa ini hingga Tae Hee harus tumbuh tanpa kasih sayang ayah dan ibunya dan harus dibesarkan oleh paman dan bibinya,” ujar Nenek dengan menangis sedih, setiap kali mengingat putra keduanya.
“Ibu, jangan membebani Ja Eun,” ujar Hwang Chang Sik dengan bijaksana.
“Ibu, kenapa mengatakan ini semua pada Ja Eun? Ini tidak akan membantu sama sekali,” ujar Hwang Chang Sik, namun Nenek mengabaikan putranya dan masih memohon pada Ja Eun agar tidak menjual pertaniannya.
“Ja Eun-ah...” panggil Nenek dengan mengiba.
“Hanya karena Ibu menceritakan semua ini, bukan berarti bisa menyelesaikan masalah ini. Lebih baik kita mencari adik ipar dan bicara dengannya...” usul Hwang Chang Sik, menyarankan agar mereka mencari ibu kandung Tae Hee dan menanyakan apa maksudnya membeli pertanian ini. Hwang Chang Sik tidak mengetahui kalau Ibu kandung Tae Hee sudah meninggal saat ini.
“Adik ipar apanya? Siapa yang adik iparmu?” seru Nenek marah, tidak terima bila putranya menyebut ibu kandung Tae Hee sebagai adik ipar.
“Karena siapa putra keduaku yang malang meninggal di usia muda? Dia tidak bisa lagi melihat putranya, tidak bisa memeluknya, tidak bisa memanggil namanya. Karena wanita itu, cucuku...” ujar Nenek sambil menangis terisak, dia tidak sanggup meneruskan kalimatnya karena terlalu menyesak di dada. Ja Eun hanya duduk terdiam, namun ekspresinya terlihat galau dan gundah.
Di kantor polisi, Tae Hee yang sudah tiga hari tidak pulang ke rumah sedang mengadakan meeting dengan rekan-rekan polisinya. Dia berdiri di depan whiteboard dengan berbagai foto para tersangka yang tertempel di sana serta berbagai tulisan di sana.
Tae Hee tampak sibuk menjelaskan bagaimana cara mengungkap persembunyian para tersangka itu, tapi tak ada seorangpun yang mendengarkannya karena mereka terlalu lelah dan mengantuk. Bahkan ada satu di antara mereka yang sudah tertidur karena kecapekan.
Dong Min pun ikut mengeluh melihat cara kerja Tae Hee yang tak hanya menyiksa dirinya sendiri namun juga menyiksa semua anggota timnya, “Hyung, ini tidak wajar. Kami tidak sama denganmu. Kami semua bisa mati bila terus seperti ini. Kami sudah tidak tidur selama tiga hari,” protes Seo Dong Min, mewakili rekan-rekannya.
Tae Hee tampak tak peduli dengan protes Dong Min dan tetap melanjutkan investigasinya dengan menyebut nama sejumlah tersangka dan di mana kira-kira mereka bersembunyi.
“Ya. Kau benar,” sahut Dong Min dengan wajah lelah dan mata pandanya.
(Gara-gara Ja Eun juga nih secara gak langsung. Coba Ja Eun gak memperlakukan Tae Hee dengan dingin dan membiarkannya menangis di pundaknya, Tae Hee sekarang pasti setidaknya sudah sedikit lega dan gak akan menyiksa rekan-rekan kerjanya seperti ini. Ja Eun-ah, sadar gak sih kalau kamu tuh sumber kebahagiaan semua orang? Kalau Tae Hee bahagia, semua orang di sekitarnya juga pasti ikut bahagia juga. Rekan-rekan kantornya bahagia karena gak bakal disiksa dengan pekerjaan, Neneknya juga ikut bahagia kalau cucu kesayangannya bahagia dan kalau Nenek bahagia, maka semua orang di rumah juga akan bahagia. Dan sumber kebahagiaan Tae Hee tuh cuma kamu, Baek Ja Eun. Udahan dong marahnya. Tae Hee really need you so much now T_T Dia tuh butuh shoulder to cry on T_T)
Tae Hee masih melanjutkan analisanya saat menyadari satu rekannya sudah tertidur, dia mengambil sesuatu untuk dilemparkannya pada pria itu, “YYAAA! Jang Yeongsa (polisi Jang)!” tegur Tae Hee.
Untunglah saat itu ponsel Tae Hee berbunyi jadi meetingnya otomatis terhenti dan semua rekannya akhirnya bisa beristirahat.
Ternyata telepon itu dari Tae Bum yang mengajak Tae Hee untuk bertemu di tepi Sungai Han. (pemandangannya Sungai Han bagus banget sih ^^)
“Ada apa? Katakan saja,” tanya Tae Hee tanpa basa basi pada kakak keduanya.
“Pulanglah dan istirahatlah. Kau tidak seharusnya bekerja nonstop selama tiga hari tiga malam. Lihatlah! Wajahmu tampak lelah dan pucat,” ujar Tae Bum dengan kekhawatiran di wajahnya. Di antara ketiga saudaranya yang lain, Tae Bum memang yang paling dekat dengan Tae Hee seperti kakak kandungnya sendiri.
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Tae Hee. Dia tampak tak suka berbasa-basi dan ingin Tae Bum mengatakan tujuannya mengajaknya bertemu di siang hari dan di jam kerja seperti ini. Bukankah Tae Bum harus bekerja juga?
“Ibu kandungmu, bibi kami, kembali ke Korea. Seluruh keluarga mereka kembali ke Korea awal tahun ini. Ayah mengatakan padaku agar aku tidak boleh memberitahumu, tapi aku berpikir kalau kau adalah orang yang seharusnya paling berhak untuk tahu. Kupikir seharusnya kau bertemu dengan ibu kandungmu walau hanya sekali saja,” ujar Tae Bum akhirnya, mengatakan maksud kedatangannya.
“Aku belum mengatakannya padamu kan, alasanku mengapa aku mengambil uang untuk biaya kuliahmu dan pergi ke Amerika?” ujar Tae Hee tiba-tiba, mengatakan sesuatu yang random dan tidak diduga.
“Saat kau duduk di bangku kelas 3 SMA, karenaku, kau pada akhirnya tidak bisa melanjutkan kuliahmu dengan segera karena Nenek bersikeras ingin aku melanjutkan sekolahku ke luar negeri,” ujar Tae Hee, masih membahas masa lalu mereka.
“Kenapa kau tiba-tiba mengungkit masalah itu sekarang?” tanya Tae Bum tak enak hati.
“Sejujurnya, saat itulah aku menyadari bahwa hanya akulah satu-satunya orang di keluarga kita yang bisa menang melawan Nenek, aku tahu akan mengabulkan apa pun keinginanku. Aku tahu aku seharusnya menolak usul Nenek untuk belajar di luar negeri, namun aku tidak melakukannya,” ujar Tae Hee, masih melanjutkan ceritanya.
“Itu karena aku sangat ingin bertemu dengannya. Saat itu dia tinggal di Washington DC,” lanjut Tae Hee lagi dengan tatapan menerawang ke depan, sedang mengenang masa lalunya.
“Ibu kandungmu? Kau seharusnya mengatakannya sejak awal. Jadi apa kau bertemu dengannya?” tanya Tae Bum ingin tahu.
“Aku melihatnya. Lebih tepatnya, hanya aku yang mengenalinya. Dia tidak mengenaliku sama sekali sementara aku langsung mengenalinya saat itu juga. Dia hanya berjalan melewatiku seperti orang asing. Ketika aku bahkan menunggunya hingga 3 jam, dengan memakai uang kuliahmu dan terbang ke luar negeri hanya demi bertemu dengannya. Hanya untuk berjaga-jaga bila dia tidak mengenaliku, aku berdiri tepat di hadapannya,” ujar Tae Hee dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
“Dia menoleh ke arahku dan menatapku dengan tatapan mata yang seolah berkata, ‘Kenapa anak aneh ini berdiri di sini?’ Dia hanya menatapku dengan tatapan aneh sekilas dan tanpa keraguan, dia berjalan melewatiku begitu saja. Bila dia memang seorang Ibu, bukankah seharusnya dia mengenali putranya sendiri? Bukankah seharusnya begitu?” lanjut Tae Hee dengan suara yang semakin berat, seolah berusaha agar air matanya tidak terjatuh saat ini. Tae Bum hanya menatapnya diam dengan tatapan simpati.
“Ya, dia pasti akan datang mencarimu,” sahut Tae Bum, berusaha menghibur Tae Hee dan memberinya harapan, tanpa dia tahu, harapan itu sudah hancur karena ibu kandung Tae Hee sudah tak ada lagi di dunia ini.
Di saat yang bersamaan, Ja Eun berada di dalam bus dengan membawa tanaman ayahnya. Dia teringat kenangan saat Tae Hee menemuinya di penginapan malam itu, lalu saat Tae Hee mengatakan, “Wanita di foto itu adalah wanita yang melahirkan aku,” di hari dia membelikan Tae Hee kopi.
Di arena latihan tembak, tampak Tae Hee yang sudah kembali dari pertemuannya dengan Tae Bum, mencoba menenangkan dirinya dengan berlatih menembak. Tae Hee yang biasanya selalu menembak tepat pada sasaran, kini selalu meleset dan tak bisa mengenai targetnya.
Hingga semua pelurunya telah habis, tak ada satupun tembakannya yang tepat mengenai sasaran. Jelas sekali kalau dia sedang kacau saat ini dan tidak bisa berkonsentrasi. (Untung aja yang ditembak Tae Hee adalah papan target, bukan kepala Kim Jae Ha, ya? ^^)
Saat Tae Hee menurunkan pistolnya dan berniat mengisi
pelurunya, Ja Eun berjalan masuk ke dalam sana. Tae Hee yang merasakan
kehadiran seseorang, spontan menoleh ke arah Ja Eun yang dengan berani berjalan
ke arahnya.
“Ahjussi,” panggil Ja Eun dengan lirih, tampak mengumpulkan semua keberaniannya.
Tae Hee meletakkan pistolnya dan menatapnya dingin tanpa kata.
“Aku datang,” ujar Ja Eun menginformasikan kedatangannya.
Tae Hee melepas headset dan juga kacamata pelindung yang dipakainya, berniat untuk pergi karena dia tidak ingin bicara dengan siapapun sekarang.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ja Eun dengan lembut. Tae Hee menatapnya tajam kemudian berjalan melewatinya, namun Ja Eun menghadangnya.
“Kita bicara, Ahjussi. Bolehkah aku tahu kenapa kau datang mencariku ke penginapan malam itu?” tanya Ja Eun keras kepala. Tae Hee berniat berjalan pergi namun Ja Eun menghadang langkahnya.
“Minggir!” ujar Tae Hee dengan dingin dan datar serta tatapan yang tajam. Tatapan yang seolah mengatakan, “Aku datang mencarimu dan kau mengabaikan aku, lalu kenapa kau datang mencariku sekarang? Are you playing games? Quit playing games with my hearts, Baek Ja Eun!”
“Aku dengar kalau ibu kandungmu telah kembali. Kau mendengar kabar tentang ibu kandungmu juga, kan? Itu sebabnya malam itu kau...” Ja Eun tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Tae Hee telah terlebih dulu mencengkeram lengannya dengan kuat dan mendorongnya dengan keras ke dinding dan mengurung tubuhnya dengan tatapan intimidasi.
“Siapa yang mengatakannya padamu? Siapa yang mengatakan
padamu tentang semua itu? Apakah Kim Jae Ha?” Sentak Tae Hee dengan nada tinggi
dan terlihat sangat emosi, matanya menatap Ja Eun dengan penuh kemarahan. Ini pertama kalinya Tae Hee
membentak Baek Ja Eun dengan nada tinggi dan tatapan kemarahan setelah dia
menyadari dirinya jatuh cinta.
“Bukan. Nenek yang mengatakannya padaku, kalau Bok Ja
Ahjumma adalah bibimu,” sahut Ja Eun dengan gemetar dan nada ketakutan. Ja Eun
tak berani menatap Tae Hee dan hanya menatap lantai dengan gugup saat ini. Tae
Hee yang dipenuhi kemarahan terlihat sangat menakutkan untuknya saat ini. Ja
Eun tak pernah melihat Tae Hee semarah ini sebelumnya, jadi tentu saja ini
membuatnya sedikit terkejut.
Menyadari Ja Eun yang gemetar ketakutan dan tak berani menatapnya, Tae Hee merendahkan suaranya dan bertanya dengan nada terluka dan patah hati, “Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa kau takut padaku? Sudah seharusnya kau takut, mereka menjulukiku “Dog Tae Hee.” Kau bilang untuk berpura-pura tidak saling mengenal saat kita bertemu di jalan, kau bilang kau tidak suka melihatku. Jadi aku melakukan apa yang kau inginkan dan menuruti semua yang kau katakan. Jadi kenapa kau datang kemari mencariku?" ujar Tae Hee dengan dingin.
“Ahjussi,” panggil Ja Eun dengan lirih, tampak mengumpulkan semua keberaniannya.
Tae Hee meletakkan pistolnya dan menatapnya dingin tanpa kata.
“Aku datang,” ujar Ja Eun menginformasikan kedatangannya.
Tae Hee melepas headset dan juga kacamata pelindung yang dipakainya, berniat untuk pergi karena dia tidak ingin bicara dengan siapapun sekarang.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ja Eun dengan lembut. Tae Hee menatapnya tajam kemudian berjalan melewatinya, namun Ja Eun menghadangnya.
“Kita bicara, Ahjussi. Bolehkah aku tahu kenapa kau datang mencariku ke penginapan malam itu?” tanya Ja Eun keras kepala. Tae Hee berniat berjalan pergi namun Ja Eun menghadang langkahnya.
“Minggir!” ujar Tae Hee dengan dingin dan datar serta tatapan yang tajam. Tatapan yang seolah mengatakan, “Aku datang mencarimu dan kau mengabaikan aku, lalu kenapa kau datang mencariku sekarang? Are you playing games? Quit playing games with my hearts, Baek Ja Eun!”
“Aku dengar kalau ibu kandungmu telah kembali. Kau mendengar kabar tentang ibu kandungmu juga, kan? Itu sebabnya malam itu kau...” Ja Eun tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Tae Hee telah terlebih dulu mencengkeram lengannya dengan kuat dan mendorongnya dengan keras ke dinding dan mengurung tubuhnya dengan tatapan intimidasi.
Menyadari Ja Eun yang gemetar ketakutan dan tak berani menatapnya, Tae Hee merendahkan suaranya dan bertanya dengan nada terluka dan patah hati, “Kenapa kau melihatku seperti itu? Apa kau takut padaku? Sudah seharusnya kau takut, mereka menjulukiku “Dog Tae Hee.” Kau bilang untuk berpura-pura tidak saling mengenal saat kita bertemu di jalan, kau bilang kau tidak suka melihatku. Jadi aku melakukan apa yang kau inginkan dan menuruti semua yang kau katakan. Jadi kenapa kau datang kemari mencariku?" ujar Tae Hee dengan dingin.
"Apa kau bercanda? Apa kau sedang mempermainkan aku sekarang? Haruskah aku bermain-main denganmu sekali saja? Jangan main-main denganku, Baek Ja Eun. Aku lebih dewasa darimu dan juga seorang pria, kau pikir tempat apa ini hingga kau bisa datang dengan seenaknya tanpa rasa takut dan mencoba memprovokasiku?” ujar Tae Hee dengan dingin dan nada penuh intimidasi.
(Intinya Tae Hee bilang “Quit playing games with my heart!” Tae Hee berusaha keras menjauhi Ja Eun, tapi dia sendiri yang datang menemui Tae Hee dan mencoba memprovokasi dan menyulut emosi Tae Hee di saat dia sedang lepas kendali seperti ini. Baek Ja Eun emang bener-bener berani. Dan kalimat Tae Hee yang mengatakan, “Haruskah aku bermain-main denganmu sekali saja?” ini berkonotasi negative, seolah-olah Tae Hee ingin meniduri Ja Eun dan setelah hamil, ditinggal gitu aja, gak mau tanggung jawab, kan cuma “Main-main” toh, mereka gak ada hubungan. Ngeri juga nih Tae Hee kalau lagi tegangan tinggi kayak gini >_<)
“Tutup mulutmu!” ujar Tae Hee dengan dingin. Dia masih mencengkeram kuat kedua lengan Ja Eun dan mengurungnya di dinding.
Ja Eun kemudian mengulangi kalimat Tae Hee yang pernah Tae Hee ucapkan padanya di EP 27. Cerdas banget nih Baek Ja Eun, bisa inget semua ucapan panjang Tae Hee yang hanya dikatakannya sekali saja. Ingatannya kuat banget.
“Perasaan itu bukanlah perasaan yang bisa hilang dalam sehari. Perasaan itu tidak bisa dikendalikan, juga tidak bisa dihentikan! Itu bukanlah perasaan yang bisa kau singkirkan dengan mudah. Juga tidak bisa digantikan begitu saja dengan yang lain. Perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa hilang begitu saja, tidak peduli apa pun yang kau lakukan dan walau kau berusaha mengabaikannya ataupun menyangkalnya, perasaan itu tidak akan menghilang. Bahkan bila kau tidak bisa memaafkan orang itu sampai mati dan membenci orang itu bertahun-tahun, kau tetap akan merindukan orang itu dan ingin bertemu dengannya,” ujar Ja Eun, mengembalikan ucapan Tae Hee padanya hari itu.
Tae Hee menangis mendengarnya dan berbisik pelan, “Kubilang tutup mulutmu!” ujar Tae Hee memperingatkan dengan air mata menetes dari sudut matanya.
“Tapi dia adalah ibu kandungmu, Ahjussi,” ujar Ja Eun dengan menangis pelan, masih membujuk Tae Hee. Mengira Tae Hee tidak ingin bertemu dengan ibu kandungnya, padahal faktanya dia tidak bisa, bukan tidak mau!
Sudah berada di ambang batas, Tae Hee akhirnya berteriak dengan keras dan membentaknya sekali lagi, “BAEK JA EUN!” sentak Tae Hee dengan menarik napas berat, mencoba mengontrol emosinya.
Takut dia akan berbuat kasar dan berujung menyakiti gadis yang dia cintai dan kemudian akan dia sesali, Tae Hee akhirnya memilih untuk pergi dari sana dan meninggalkan Ja Eun sendiri yang masih menangis pelan. Tae Hee pun tampak menahan air matanya dan pergi dengan hati yang luka.
Setelah menemui Tae Hee, Ja Eun kembali ke Good Film, Perusahaan Kim Jae Ha tempat dia bekerja saat ini dan mendengar Kim Jae Ha membicarakan dengan pertanian dengan sang ayah.
Untuk memastikannya, Ja Eun akhirnya bertanya langsung pada Kim Jae Ha, “Apa mungkin Tuan Kim Hong adalah Presiden Direktur dari Good Film? Apakah Good Film yang membeli Ojakgyo Farm?” tanya Ja Eun mengkonfirmasi kebenaran itu.
“Ya, benar. Perusahaan kami yang membeli Ojakgyo Farm. Tapi dari mana kau tahu itu?” tanya Kim Jae Ha, tampak tak tahu kalau Ojakgyo Farm adalah milik Baek Ja Eun.
“Bagaimana bisa ada kebetulan seperti ini? Mungkinkah ini yang dinamakan takdir?” sahut Kim Jae Ha.
Kemudian dia tampak mengeluarkan desain taman hiburan yang akan dibangun di atas lahan Ojakgyo Farm dengan bangga, “Bagaimana menurutmu? Bagus kan rancangannya?” tanya Kim Jae Ha dengan entengnya, sementara Ja Eun hanya menatap desain rancangan itu dengan tatapan tak rela dan sedih di sana.
Hwang Chang Sik tampak tak senang melihat kedatangan Kim Jae Ha dan bertanya apa yang dia lakukan di sini, Kim Jae Ha menjawab bahwa dia datang untuk meninjau lokasi dan meminta maaf karena telah mengganggu makan siang mereka.
Nenek yang tidak mengenalnya bertanya siapa pria muda itu. Awalnya, Park Bok Ja dan Hwang Chang Sik tampak tak ingin menjawabnya, namun karena Nenek mendesak mereka terus dengan pertanyaan yang sama, akhirnya Park Bok Ja terpaksa menjawabnya.
“Dia adalah putra Kim Hong, Ibu.” Ujar Park Bok Ja dengan lirih, takut membuat Ibu mertuanya marah.
“Apa? Putra Kim Hong?” seru Nenek terkejut, menatap Park Bok Ja untuk mengkonfirmasi kemudian kembali menatap Kim Jae Ha dengan aura permusuhan.
“Ya. Nama saya Kim Jae Ha, Nenek.” Sahut Kim Jae Ha, memperkenalkan diri dengan sopan.
Nenek segera berdiri dan mencengkeram kerah Kim Jae Ha dengan kuat seraya bertanya dengan marah, “Siapa yang mengirimmu kemari? Ayahmu atau ibumu?” seru Nenek langsung emosi begitu mendengar nama Kim Hong disebut.
Hwang Chang Sik meminta ibunya untuk tenang dan mencoba menariknya menjauh dari Kim Jae Ha tapi Nenek sudah terlanjur histeris.
“Ibu, tenanglah.” Ujar Hwang Chang Sik namun Nenek menghempaskan tangannya.
“Dari semua tempat yang ada di dunia ini, beraninya kau menampakkan wajahmu di sini? Keluar sekarang juga dari rumah kami!” seru Nenek, seraya mencoba mendorong Kim Jae Ha dan mengusirnya dari sana.
Park Bok Ja dan Hwang Tae Phil berusaha menenangkan Nenek tapi Nenek berseru marah, “Lepaskan aku! Pergi sekarang! Aku menyuruhmu untuk pergi! Pergilah dari rumah kami sekarang juga!” usir Nenek dengan penuh emosi.
Saat itulah, Tae Hee pulang ke rumah dan melihat Kim Jae Ha ada di sana. Tae Hee berjalan ke arah Kim Jae Ha dan memintanya untuk keluar agar mereka bisa bicara.
“Kita bicara di luar!” ujar Tae Hee, menyuruh Kim Jae Ha keluar tanpa basa basi.
“Aku tidak datang untuk bertemu denganmu, Hwang Gyeonghwi-nim. Aku datang untuk melihat pertanian ini,” tolak Kim Jae Ha.
“Kim Jae Ha-ssi!” seru Tae Hee yang tampak mulai kehilangan kesabaran.
“Tae Hee, apa kau mengenalnya? Bagaimana kalian saling mengenal?” tanya Nenek. Tae Hee terdiam dan hanya melirik neneknya tanpa kata, sementara yang lain tampak menunggu jawaban Tae Hee dengan tatapan ingin tahu.
“Apa mungkin kau menemui ibu kandungmu tanpa sepengetahuanku? Apa kau sudah bertemu dengannya? Benar begitu? Jawab aku! Apa kau sudah bertemu ibumu?” seru Nenek tampak tak terima.
(Nih Nenek egois banget aslinya. Hanya karena dia gak suka melihat menantunya menikah lagi, dia melarang Tae Hee bertemu ibu kandungnya. Padahal walau ketemu pun, ibunya aja gak ngenalin Tae Hee lagi. Apa yang si tua bangka ini takutkan? Sebel banget deh sama si Nenek.
Dia merasa Tae Hee adalah miliknya jadi Tae Hee harus mendengarkan semua yang dia katakan, dikendalikan seperti robot yang gak boleh punya keinginan sendiri. Semuanya harus berdasarkan perintah si Nenek. Padahal Tae Hee uda gede, dia uda bisa mikir, dia punya kemauan sendiri, dia bukan lagi anak kecil yang harus selalu disetir dan diatur harus ngapain.
Tae Hee baru bisa menjadi dirinya sendiri bila di depan Baek Ja Eun, bahkan Tae Hee yang biasanya selalu tampak dewasa dan mandiri, mendadak jadi kekanakan dan manja kalau di depan Ja Eun, inner childnya spontan keluar karena dia tahu kalau Baek Ja Eun tidak pernah menuntutnya untuk jadi figure yang sempurna, dia menerima Tae Hee apa adanya)
Kim Jae Ha yang merasa aura di rumah itu sudah semakin mencekam, akhirnya memutuskan untuk pergi daripada membuat suasana makin runyam.
Setelah Kim Jae Ha pergi, Tae Hee bertanya dengan berani, “Kenapa Nenek sangat tidak suka aku menemui ibu kandungku?” tanya Tae Hee, ingin tahu alasannya.
“Apa?” Nenek tampak terkejut karena Tae Hee berani menanyakannya.
“Kenapa Nenek sangat membencinya? Sangat wajar untuk anak berusia 6 tahun ingin bertemu ibu kandungnya. Justru jika tiba-tiba ibu kita menghilang dan kita tidak merindukannya sama sekali, bukankah itu malah tidak wajar?” tanya Tae Hee, terdengar masuk akal.
“Pertanyaanku adalah apakah kau menemuinya?” tanya Nenek, tidak mau menjawab pertanyaan Tae Hee.
“Ke mana ibu kandungku pergi selama ini? Kenapa ibu tidak pernah datang melihatku walau hanya sekali saja? Jika saja aku memiliki kesempatan untuk bertanya mengenai masalah ini, hari seperti ini tidak akan pernah terjadi. Kenapa Nenek tidak mengijinkan aku untuk menemuinya?” tanya Tae Hee lagi dengan tatapan kekecewaan melihat Neneknya yang egois dan kejam.
“Jawab aku! Apakah kau menemuinya?” tanya Nenek, masih menolak untuk menjawab pertanyaan Tae Hee.
“Aku belum bertemu dengannya tapi aku ingin bertemu dengannya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Apa aku tidak boleh bertemu dengannya?” tanya Tae Hee dengan air mata bercucuran.
“Tidak boleh!” seru Nenek dengan kejam, padahal Ja Eun aja menyuruh Tae Hee untuk menemui ibunya, walau hanya sekali saja.
(Egois kan nih tua bangka satu? >_< Dia egois dan pendendam. Dia maunya diturutin mulu, menggunakan umur rentanya untuk playing victim dan memaksa cucunya menuruti kemauannya. Egois banget karena memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya hanya karena dia dendam sama si ibu >_< Ja Eun lebih pengertian daripada nih tua bangka)
“Tae Hee-yaa!” tegur Hwang Chang Sik.
“Kenapa tidak boleh? Kenapa aku tidak boleh menemuinya?” tanya Tae Hee sekali lagi. Dia ingin mendengar alasannya.
“Kau tidak boleh menemuinya! Tidak! Hingga tanah masuk ke dalam mataku. Kau tidak boleh menemuinya!” jawab Nenek dengan tegas dan tanpa perasaan. (Nunggu dia mati dulu intinya)
“Kalau begitu berapa lama waktumu yang tersisa? Tidak mungkin Nenek bisa hidup hingga 100 tahun, kan?” ujar Tae Hee dengan berani.
Nenek menangis dan menampar Tae Hee dengan keras, membuat seluruh keluarga tampak terkejut karena melihat untuk yang pertama kalinya Nenek menampar cucu kesayangannya.
“Apa yang kau katakan? Katakan lagi! Apa yang kau katakan?” seru Nenek dengan emosi.
“Jangan khawatir, Nenek! Itu tidak akan terjadi, karena dia sudah mati. Ibu kandungku sudah mati!” seru Tae Hee dengan air mata berlinang, menatap Neneknya dengan tatapan mata penuh luka, menyalahkan dan kekecewaan melihat Neneknya yang begitu kejam.
Blogger Opinion :
Tae Hee’s story that he told Tae Bum was the most heartwrenching. I am so glad Tae Hee got to see his mom at least when he was a kid – even though it’s like the worst way for a kid to meet his mom again. how could she not recognize her own son? He would have been such a cute kid I bet.
The smile on his face was the satisfaction of that little boy who waited all these years to get revenge cuz the sting of his own mom not recognizing him back then stayed with him all these years. In a way, not getting closure is going to leave another scar in his already broken heart. That makes me wonder just how much more love he has to receive in order to begin healing.
At this point, Ja Eun pretty much holds the key to everyone’s happiness including hers. If she forgives Tae Hee and takes him back in her life, of course she can be a source of comfort to him during a dark time in his life. If she changes her mind about selling the farm and not letting the theme park get built there, that is going to make the Hwang family – especially the ajumma and Grandma very happy. More importantly, if Ja Eun keeps the farm, she will have a real home again. But then there are the obvious reasons why she won’t do that. She still hasn’t forgiven and her betrayal still stings.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/637 + https://gswww.tistory.com/638 + https://gswww.tistory.com/639)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar