Selasa, 09 Juli 2024

Sinopsis EP 34 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight for today episode :
Hwang Tae Hee confesses to Ja Eun again. “Baek Ja Eun, I still like you...” This is his 3rd love confession so far. Tae Hee be like, “I’m here with my confession, got nothing to hide no more! I don’t know where to start but to show you the shape of my heart...” Tae Hee’s confession to Ja Eun that he couldnt get over his feelings for her and that he likes her is the best thing after all these miserable episodes! Uri Tae Hee declare his love once again. This time, Ja Eun doesnt have any reason to hurt Tae Hee and reject him anymore. Not to mention, she obviously still has feelings for him too.


Eventhough, I want to hear Tae Hee say “I Love You” but after I thinking again, the “I Like You” is more of stating to the person that you have feelings for them. Usually its stated with confusion to the fact that the person doesn’t usually believe that the feelings are true. Taking Tae Hee and Ja Eun for example, they have never dated nor have they spent time together in a "relationship sense" so having them say “I love you” to each other at this point would be meaningless, eventhough us fans would love them to.

They are just expressing to each other that they don’t see each other the same way they see other people. They see each other in a way more than friends but they don’t know what to do about it. Plus, having them not say “I love you” nor have any ‘physical interaction’ as yet, keeps us fans wanting more and coming back for more.


Tae Hee and Ja Eun are no where near getting married nor have they even dated to really know where their relationship will lead as their feelings right now are just raw feelings. Maybe down the track they might say it when they realise their feelings were actually deeper than what they thought, but not now. Tae Hee is just learning to deal with his emotions is a more accepting way and both of them are emotionally vulnerable after everything that happened.

After what happened last week, he is beginning to learn that he needs to express his feelings more instead of avoiding and denying. By opening up his heart and letting himself become susceptible to the pain that might follow, he is finally giving himself a chance to grow emotionally. Once he realized he liked Ja Eun, he was also quick to want to protect and cherish. The feelings he has for Ja Eun are clear and certain, but he still has some ways to go before he can call this love. If you think about it, they haven’t even been on a date yet. More than anything, I want both of them to sit down and have a long chat to share their feelings and thoughts without any drama going around them. I want them both to realize that they have been on the same page for quite some time and neither one is going anywhere anytime soon.


The drama is getting better and better now that the love story between Tae Hee and Ja Eun is moving faster. Finally get to see Tae Hee being jealous. Honestly I like a super cuter Tae Hee’s face when he is jealous. Who am I kidding? I was smiling from ear to ear, seeing how everyone at the farm were all happy, and totally agree, that jealous Tae Hee is funny! Jealous Tae Hee is hilarious! Clueless Ja Eun is the best~

-----0000------

Episode 34 :
Di ruang tamu, Ja Eun masih memanggil semua orang, “Apa tidak ada orang di rumah?” tanya Ja Eun sekali lagi.


Tak lama kemudian, semua orang mulai muncul dari berbagai sudut rumah dan mengelilinginya dengan bingung.

“Ja Eun-ah,” sapa Nenek dengan gembira.


Tae Hee tampak menatap Ja Eun dengan bingung namun ada tatapan kerinduan di sana. Sementara Park Bok Ja menatap Ja Eun dengan tatapan sayang seorang ibu yang terlihat gembira melihat “anak perempuannya” kembali pulang.

“Apa kalian semua baik-baik saja?” tanya Ja Eun dengan sopan, berbasa-basi sedikit dengan menanyakan kabar mereka. (Hancur lebur berantakan kalau kamu tanyakan itu pada Tae Hee, dia masih patah hati karena cintanya kamu tolak dua kali ^^)

“Benar. Kami senang kau datang,” sahut Nenek gembira.
“Ja Eun-ssi, apa kau hidup dengan baik?” tanya Tae Shik dengan ramah dan Ja Eun hanya tersenyum menanggapi.

“Rasanya senang melihatmu lagi. Kau baik-baik saja, kan? Wah, kau terlihat semakin cantik,” ujar Tae Phil dengan ramah dan ceria, memuji Ja Eun. Hanya Tae Hee yang tidak menyapanya tapi tatapannya mengandung seribu arti.


(Tae Hee kalau di depan keluarganya pura-pura cuek sama Ja Eun, tapi di belakang keluarga malah pacaran diam-diam ^^ Definisi “Air tenang menghanyutkan” nih si Tae Hee. Makanya gak ada yang nyangka kalau Tae Hee dan Ja Eun diam-diam pacaran, karena di depan keluarga besar, mereka jarang bertegur sapa, tapi di belakang malah mesra-mesraan xixixi ^^)

“Apa yang membawamu kemari?” tanya Hwang Chang Sik ingin tahu.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada kalian semua,” sahut Ja Eun.
“Benarkah? Kalau begitu duduklah. Ibu, kita duduk dulu,” ujar Park Bok Ja seraya memberi tanda pada Nenek agar menyuruh semua orang duduk.
“Benar. Ayo kita duduk dulu,” ujar Nenek seraya duduk lebih dulu dan baru diikuti yang lain.

Ja Eun melirik Tae Hee sekilas sebelum dia duduk di samping Park Bok Ja. Berbeda dengan Tae Hee yang sedari tadi sudah menatapnya lekat secara terang-terangan dengan tatapan kerinduan. Setelah Ja Eun duduk, Tae Hee pun ikut duduk di samping ayahnya.

“Kau bisa mulai bicara. Apa yang terjadi dengan kontraknya?” tanya Hwang Chang Sik, tahu kalau Ja Eun ke sana pasti karena kontrak itu.


“Itu sebabnya aku datang kemari. Aku sudah menyelesaikan masalah kontraknya. Kontrak itu akan ditangguhkan selama 6 bulan,” ujar Ja Eun, menjelaskan dengan perlahan agar semua orang mendengarkan.

“Apa maksudmu dengan ditangguhkan?” tanya Hwang Chang Sik tak mengerti.

“Aku sudah memutuskan untuk tidak menjual pertanian ini, jadi kalian tak perlu pindah. Tapi itu bukan berarti aku sudah memaafkan kalian semua. Aku hanya tidak ingin menjualnya. Jadi kalian tak perlu pindah,” ujar Ja Eun memperjelas kalimatnya.

Semua orang di rumah itu tampak terkejut dan kecuali Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Hee, keempat orang lainnya tampak gembira mendengar hal itu.


(Jangan salah, Tae Hee sejak awal dia tahu kalau pertanian itu bukan milik keluarganya, dia sudah ingin mengembalikan pertanian ini. Jadi walaupun sekarang dia menyukai Ja Eun, namun logikanya tetap berpikir bahwa Ja Eun lebih berhak atas pertanian ini dan bukan mereka, jadi mereka memang harus tetap pindah dari sana karena ini bukanlah rumah mereka ^^)

“Apa kau serius? Kau tidak akan menjual pertanian ini?” tanya Nenek tampak terkejut tapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

“Ya. Tapi aku bukan melakukan ini karena Nenek. Aku hanya tidak ingin menjualnya lagi,” jawab Ja Eun lirih. Nenek menatap Hwang Chang Sik penuh harap, Tae Phil tampak tersenyum gembira, begitu juga dengan Park Bok Ja yang tampak lega mendengarnya.

“Kami menghargai kebaikanmu. Tapi kau sungguh tidak perlu melakukan itu. Kami sudah menandatangani kontrak pembelian rumah baru jadi kami akan tetap pindah. Ja Eun-ah, istirahatlah dulu dan makan malamlah bersama kami sebelum kau pergi,” ujar Hwang Chang Sik langsung menolak tanpa berpikir lebih dulu. Tatapan Tae Hee terlihat seperti kasihan pada Ja Eun karena diabaikan seperti ini.


“Ayo semua orang berdiri. Kita harus selesaikan pekerjaan kita secepatnya,” lanjut Hwang Chang Sik pada anggota keluarganya yang lain.

Namun tak ada seorangpun yang ikut berdiri, mereka semua tampak enggan menuruti Hwang Chang Sik. Tatapan Tae Hee terlihat seperti kasihan pada Ja Eun karena diabaikan seperti ini. Sementara Ja Eun hanya mampu menatap Hwang Chang Sik dengan kecewa.


“Apa yang kalian lakukan? Ayo semuanya berdiri! Kita harus menyelesaikan semua pekerjaan sebelum hari mulai gelap,” seru Hwang Chang Sik sekali lagi, saat tak ada seorangpun yang bersedia berdiri dan menurutinya. Nenek pun tampak enggan, begitupun dengan Park Bok Ja dan ketiga putra keluarga Hwang.

(Pekerjaan yang dimaksudnya adalah pekerjaan mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pindah rumah keesokan harinya)

“Mengapa kau hanya duduk?” tanya Hwang Chang Sik pada istrinya yang hanya meliriknya dengan enggan tanpa niat untuk berdiri.
“Ibu,” panggil Hwang Chang Sik akhirnya.
“Ya. Ya. Semua orang harus berdiri sekarang,” ujar Nenek dengan terpaksa. Sejujurnya dia juga tidak ingin pindah.

Melihat sang Nenek sudah berdiri (walau dengan terpaksa), semua orang di ruang tamu juga mau tidak mau terpaksa berdiri juga. Tae Hee adalah orang terakhir yang berdiri. Bukan karena dia tidak ingin pindah (dia tahu ini bukan rumahnya) tapi dia tidak ingin menyakiti perasaan Ja Eun jika dia ikut berdiri juga. Namun sayangnya dia tidak punya pilihan, karena Park Bok Ja pun terpaksa berdiri walau dengan terpaksa dan tak rela.

“Ja Eun-ah, bersantailah dulu sambil menonton TV untuk sementara waktu. Kami akan selesai mengemasi barang-barang sekitar 30-40 menit ke depan,” ujar Hwang Chang Sik lagi. Ja Eun hanya menatap bingung dan kecewa melihat reaksi Hwang Chang Sik.

“Ayo kita pergi!” lanjut Hwang Chang Sik seraya memberi tanda pada Tae Hee agar mengikutinya. Tae Hee tampak menatap bingung antara ayah dan gadis yang dia cintai. Dia menatap Ja Eun dengan tatapan seolah meminta maaf dan menyesal sebelum akhirnya mengikuti sang ayah kembali ke kamar untuk berkemas.

“Cepat selesaikan pekerjaan kalian,” seru Nenek pada yang lain setelah melihat Tae Hee dan Hwang Chang Sik pergi.

Tae Phil memberikan remote TV pada Ja Eun, sementara Park Bok Ja menawarkan minuman untuk Ja Eun yang segera ditolak oleh gadis itu dengan raut wajah kecewa.

“Apa kau ingin minum?” tanya Park Bok Ja.
“Tidak perlu. Terima kasih,” sahut Ja Eun dengan raut wajah kecewa.


“Baiklah kalau begitu. Kau nonton TV saja,” ujar Park Bok Ja sebelum berjalan ke arah dapur dan meninggalkan Ja Eun seorang diri di ruang tamu.

Di dapur, Tae Shik berkata pada ibunya, “Eomma, bisakah kita melakukan ini pada Ja Eun-ssi? Untuk situasinya saat ini, pasti tidak mudah baginya untuk datang kemari dan membuat keputusan. Bukankah Ayah terlalu keterlaluan?” ujar Tae Shik, tampak sungkan dan tak enak hati melihat Ja Eun yang tampak kecewa.

“Apa kau juga berpikir begitu?” tanya Park Bok Ja.
“Tentu saja. Ja Eun-ssi terlihat sangat kecewa,” sahut Tae Shik dan mereka berdua pun menatap Ja Eun yang duduk melamun di ruang tamu dengan hati tak enak.


Hal yang sama juga terjadi di kamar Nenek. Bukannya melanjutkan kembali pekerjaan mengemasi barang-barang namun Tae Phil dan Nenek justru sama-sama berdiri diam sambil berpikir.

“Kenapa ayahmu tidak berpikir sebelum dua kali sebelum mengambil keputusan? Tidakkah ini terlalu terburu-buru? Dia tidak memikirkannya dengan baik-baik dan hanya melakukan apa yang dia sukai,” omel Nenek tampak tak rela dengan keputusan putranya yang dibuat tanpa berpikir lebih dulu.


“Halmoni, Ja Eun sudah membuka hatinya dan memaafkan kita, kemudian datang kemari untuk menemui kita semua, bukankah cara kita menolaknya terlalu kejam? Sangat tidak mudah bagi Ja Eun untuk melakukan ini. Bahkan walaupun kita memang harus pindah, bukankah setidaknya kita perlu mengadakan pertemuan keluarga dan mendiskusikannya dengan baik-baik? Bukankah biasanya kita melakukan itu? Bukankah Nenek juga berpikir seperti itu? Haruskah kita pindah? Saat Ja Eun berkata kalau kita tak perlu pindah, aku sangat senang dan lega mendengarnya,” ujar Tae Phil tampak khawatir. Dia berusaha mempengaruhi Neneknya agar berada di pihak Ja Eun. Bagaimana pun juga, Neneknya adalah kepala keluarga, bukan?

“Tentu saja aku juga berpikir seperti itu,” sahut Nenek setuju.


Sementara itu di kamar Hwang Chang Sik, Tae Hee pun hanya berdiri dalam diam seperti patung pancoran. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi sepertinya dia tampak enggan untuk bergerak. 

Sama seperti yang lain, dia juga berpikir bahwa seharusnya Ayahnya tidak menolak tawaran Ja Eun dengan begitu kejam. Melihat gadis yang dia cintai kecewa, membuat Tae Hee ikut merasakan kekecewaannya.


“Kenapa kau hanya berdiri saja? Cepat naik dan bawa semuanya turun,” ujar Hwang Chang Sik.
“Ya,” sahut Tae Hee singkat lalu segera naik ke atas kursi dan kembali mengambil barang-barang di atas lemari.

Di ruang tamu, Ja Eun yang merasa tak ada gunanya lagi di sana, perlahan mulai berdiri dan berencana untuk pergi. Namun tiba-tiba di saat yang bersamaan, Nenek keluar dari dalam kamarnya dengan diikuti oleh Tae Phil dan menyuruh semua orang untuk keluar sekarang juga.

“Tunggu sebentar. Ayah Hwang, Ibu anak-anak juga, semuanya keluar sekarang! Semua orang keluarlah!” perintah Nenek, berusaha menghentikan kepergian Ja Eun. Akhirnya semua orang kembali berkumpul di ruang tamu.


“Begini, melihat kebaikan hati Ja Eun yang telah memaafkan kita semua dan bahkan meminta kita untuk tidak pindah, bukankah seharusnya kita mengadakan pertemuan keluarga untuk mendiskusikan hal ini?” ujar Nenek pada Hwang Chang Sik.


Park Bok Ja segera memberikan dukungan, “Ya, Ibu. Kita harus mendengarkan pendapat semua orang tentang hal ini,” sahut Park Bok Ja setuju dengan usul Nenek.

“Ya, Ayah. Setiap kali ada masalah besar di rumah, bukankah kita selalu mengadakan pertemuan keluarga?” sahut Tae Phil, ikut memberikan dukungan.

“Ibu, duduklah. Semua orang juga duduklah,” ujar Hwang Chang Sik akhirnya, karena ada tiga orang yang meminta pertemuan keluarga.

“Benar. Benar. Ayo kita duduk,” ujar Nenek dengan bersemangat. Nenek kemudian menatap Hwang Chang Sik, memberi tanda untuk memulai lebih dulu.

“Semua orang, berikan pendapat kalian. Aku akan mengatakan pendapatku lebih dulu,” ujar Hwang Chang Sik memulai.

“Menurut pendapatku, kita harus pindah dari rumah ini. Kita sudah selesai menandatangani kontrak untuk rumah baru,” lanjut Hwang Chang Sik.

Mendengar itu, Ja Eun menoleh pada Park Bok Ja seakan meminta pertolongan, Park Bok Ja yang mengerti, segera meresponnya, “Kontrak itu bisa dibatalkan. Lagipula kita baru membayar setengahnya saja,” sahut Park Bok Ja.

“Apa artinya itu? Apa itu artinya kau tidak mau pindah dari sini?” tanya Hwang Chang Sik pada istrinya.
“Tidak. Bukan itu maksudku,” sangkal Park Bok Ja dengan lemah, penyangkalan yang terlalu lemah.
“Benar-benar. Kau masih tidak rela pindah dari sini?” tegur Hwang Chang Sik.

“Aku tahu aku tidak seharusnya mengatakan ini di depan Ja Eun, tapi aku tetap ingin mengatakannya. Ketika aku memikirkan berapa banyak kau menderita, aku menjadi kesal dengan pertanian ini. Aku tidak ingin tinggal di sini lagi. Kau menderita tapi apa kau tahu apa yang kurasakan saat melihatmu seperti itu? Selama beberapa bulan ini, kau tidak tidur dengan nyenyak di malam hari dan bahkan menderita dalam hati. Kau akan melamun diam-diam dan bahkan hanya tidur selama dua hingga tiga jam saja dan tiba-tiba saja kau bangun dalam keadaan ketakutan,” lanjut Hwang Chang Sik pada istrinya.

“Tentu saja, aku tahu tinggal di sini lebih baik daripada pindah, aku tahu kalau transportasinya juga lebih mudah. Aku juga tahu kalau tidak mudah bagi Ja Eun untuk mengubah pikirannya dan datang kemari. Aku sangat berterima kasih tapi kita harus tetap pindah. Aku tidak ingin tinggal di sini lagi,” ujar Hwang Chang Sik.

“Benar juga. Semua yang kau katakan tidak salah. Selama ini karena kontrak itu, rumah ini sudah terbalik berkali-kali dan punggungku masih sakit karena selalu membereskan semua kekacauan yang terjadi. Setiap kali aku teringat hal itu, aku sangat kesal,” ujar Nenek setuju.

“Kita harus pindah bagaimana pun juga. Seseorang tak hanya butuh makan untuk tetap hidup, mereka juga butuh harga diri untuk tetap hidup. Walaupun kau tidak tinggal bersama kami, kami tetap tidak seharusnya tinggal di sini. Aku bukan sengaja mengatakan ini untuk kau dengar, Ja Eun. Ini tidak ada hubungannya denganmu jadi jangan merasa terluka mendengarnya,” ujar Hwang Chang Sik lagi.

“Ya. Tapi, Ahjussi...” Ja Eun ingin memprotes namun Tae Hee memotong kalimatnya.


“Aku juga memiliki pendapat yang sama dengan Ayah. Aku juga ingin pindah dari rumah ini. Setelah kita mengetahui kebenaran bahwa pertanian ini bukanlah milik kita, aku tahu bahwa kita memang seharusnya pindah. Dan terlebih lagi, selagi ayah dan ibu masih satu tahun lebih muda akan lebih baik bila mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan baru sekarang,” potong Tae Hee pada ucapan Ja Eun. Ja Eun tampak sangat kecewa mendengarnya.

(Tae Hee-yya, aku tahu kamu hanya bertindak atas nama kebenaran, tapi ini bukan waktunya menentang Ja Eun sekarang. Pengakuan cintamu akan menjadi taruhannya setelah ini. Tidakkah kau pikirkan kisah cintamu yang ada di ujung tanduk?)

“Aku masih ingin mengembangkan pakan bebek karena rumah kita yang baru tidak memiliki halaman, pohon, dan tidak bisa memelihara hewan peliharaan,” gumam Park Bok Ja, tampak masih tak rela untuk pindah.

“Kau tidak boleh serakah,” tegur Hwang Chang Sik saat melihat keengganan Park Bok Ja untuk pindah.

“Ini bukan keserakahan. Kita juga harus memikirkan transportasi anak-anak juga. Tempat ini sudah jauh tapi rumah baru itu akan lebih jauh lagi,” ujar Park Bok Ja mencari alasan.

“Kita harus melakukannya jika itu memang perlu. Lagipula hanya ada satu atau dua dari mereka yang perlu pulang pergi dari Seoul ke Gyeonggido,” ujar Hwang Chang Sik, masih berdebat dengan istrinya.


“Tapi Ahjussi, ada satu hal lagi yang harus kukatakan,” potong Ja Eun dengan wajah putus asa.

“Aku belum memberitahumu, tapi pertanian belum sepenuhnya menjadi milikku lagi. Perusahaan Film memberiku uang muka, tapi uang muka itu sudah kugunakan untuk melunasi hutang ibu tiriku jadi aku tak punya uang untuk mengembalikan uang muka mereka. Aku hanya memiliki waktu 6 bulan untuk mengembalikan uang mukanya, dengan begitu, baru kontraknya akan dibatalkan,” ujar Ja Eun dengan putus asa.

“Apa maksudnya itu? Jadi kau harus mengembalikan uang muka itu dalam waktu 6 bulan baru pertanian ini menjadi milikmu lagi?” tanya Park Bok Ja mengkonfirmasi.

“Ya. Tidak perlu semua uang mukanya, karena aku masih memiliki sisa uang muka dari yang telah kubayarkan untuk melunasi utang ibu tiriku. Aku juga memiliki pendapatan dari royalty dan hak cipta, lalu hadiah dari kompetisi yang telah kumenangkan beberapa waktu yang lalu. Jika ditambahkan semua, hanya tersisa 50 juta won yang harus kukembalikan dalam waktu 6 bulan,” ujar Ja Eun menjelaskan.

“Bukankah kau hanya perlu menjadikan pertanian ini sebagai jaminan untuk meminjam uang pada bank agar bisa mengembalikan uang mukanya?” tanya Tae Phil.

(Ya percuma aja, Bambang! Gali lubang, tutup lubang namanya. Utang ke Good Film lunas tapi malah cari uang lagi untuk melunasi utang ke bank agar pertaniannya gak disita sama bank. Gak kelar-kelar, woi urusannya. Makanya Kim Jae Ha melarang. Dia gak mau Ja Eun terlibat hutang lagi)

“Aku dilarang menggunakan cara itu. Aku hanya boleh membayarnya dengan menggunakan pendapatan yang didapatkan dari pertanian ini. Misal dengan menjual bebek, lalu menjual hasil panen kita atau menerima uang dari study tour yang dilakukan anak-anak sekolah yang ingin belajar tentang pertanian. Itu adalah syaratnya agar aku terbebas dari denda dua kali lipat atas pembatalan kontrak tersebut. Jika aku melanggar, aku tak hanya harus mengembalikan uang muka, namun aku juga harus membayar denda penaltinya,” sahut Ja Eun dengan mengerucutkan bibirnya sedih.

“Apa? Jadi kau harus mengumpulkan 50 juta won dalam waktu 6 bulan yang didapatkan dari hasil pertanian ini?” tanya Tae Phil tampak terkejut.
“Ya,” sahut Ja Eun dengan sedih dan putus asa.

“Itu sebabnya, Ahjussi, setidaknya selama 6 bulan ini, aku berharap kalian bisa tetap tinggal di sini dan membantuku mengumpulkan 50 juta won itu. Itu yang sebenarnya ingin kukatakan padamu,” lanjut Ja Eun lagi.

“Tapi bagaimana cara mengumpulkan 50 juta won dari pertanian ini?” tanya Tae Phil ingin tahu.

“Kita bisa mulai mengembangkan pakan bebek yang berkualitas, jadi dengan begitu kita bisa menjual lebih banyak bebek ke depannya. Lalu dari musim panas hingga musim semi tahun depan, kita bisa mendapatkan uang dari study tour anak-anak sekolah yang ingin belajar tentang pertanian dan aku juga akan mengikuti banyak kompetisi animasi ke depannya. Siapa tahu aku bisa menang, bukan? Tentu saja ini bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil untuk dilakukan,” sahut Ja Eun dengan optimis dan percaya diri.

Park Bok Ja tiba-tiba menggebrak meja dan mendukung Ja Eun dengan bersemangat, “Masalah utamanya saat ini bukanlah pindah rumah,” seru Park Bok Ja, memberikan dukungan.

“Tolong bantu aku, Ahjussi. Aku ingin mendapatkan pertanian ini kembali,” pinta Ja Eun dengan memelas. Memasang tampang menyedihkan agar Hwang Chang Sik berubah pikiran.

“Tapi Ja Eun-ah, bagaimana bisa kita mengumpulkan uang 50 juta won dalam waktu 6 bulan?” ujar Hwang Chang Sik tampak tak yakin. Tae Hee pun menatap Ja Eun dengan sorot mata khawatir.

Akhirnya Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja pergi ke kamar mereka untuk merundingkan masalah ini secara pribadi.

“Apa kau masih tidak setuju?” tanya Park Bok Ja.
“Apanya yang harus disetujui? Ini sama sekali bukan lelucon. Bagaimana kita bisa mengumpulkan 50 juta won dalam waktu 6 bulan?” Hwang Chang Sik merasa ini adalah misi yang tak mungkin.

“Aku akan melakukannya. Aku bisa melakukannya. Aku bisa mengembangkan pakan bebek dan menjualnya lebih banyak, aku pasti akan menemukan pembeli yang tepat. Jadi itu sama sekali bukan tidak mungkin,” sahut Park Bok Ja dengan penuh semangat.

“Kenapa kau juga seperti ini?” tanya Hwang Chang Sik.
“Apa kau tidak tahu kenapa aku seperti ini? Apa kau pikir aku seperti ini karena aku tak mau pindah?” ujar Park Bok Ja.


“Aku berhutang maaf pada Ja Eun. Dia masih tidak mau menatap mataku saat ini. Meskipun aku tidak tahu mengapa dia tidak ingin menjual pertanian ini, tapi sejujurnya aku merasa ini bagaikan mimpi. Kupikir selama sisa hidupku, aku tidak akan pernah bertemu Ja Eun lagi. Kupikir aku akan dianggap sebagai pencuri selama sisa hidupku dan menjadi orang jahat. Tapi tiba-tiba saja Ja Eun datang dan meminta bantuan kita. Bagaimana bisa kita mengecewakannya begitu saja? Bahkan bila itu bukan 50 juta won tapi 1 miliar sekalipun, aku akan melakukannya. Apa kau tidak tahu apa yang kurasakan dalam hatiku?” ujar Park Bok Ja. Dia tampak ingin menebus rasa bersalahnya pada Ja Eun.

Hwang Chang Sik terdiam namun sepertinya dia sudah membuat keputusan.

Setelah berunding, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja akhirnya keluar untuk menyampaikan keputusan mereka. Ja Eun memandang Hwang Chang Sik dengan cemas. Tae Hee menoleh ke arah orangtua karena dia juga ingin tahu hasil pembicaraan itu.


“Apa kalian sudah mendiskusikannya dengan baik?” tanya Nenek penasaran dengan hasilnya.

“Ibu, setelah kupikirkan lagi, sepertinya kita harus tetap tinggal di sini. Jika aku tidak melindungi pertanian ini, lalu siapa lagi? Kita tidak akan pindah. Mari kita mencobanya. Hal terburuk yang akan terjadi adalah kematian,” ujar Hwang Chang Sik memberikan keputusan yang tentu saja membuat semua orang senang.

Ja Eun tersenyum lega mendengarnya, “Terima kasih. Aku benar-benar memiliki keyakinan, Ahjussi,” ujar Ja Eun dengan ceria. Semua orang ikut tersenyum bahagia melihatnya.

“Ja Eun, kau memiliki banyak keberanian. Apa kau tak takut dengan uang 50 juta won?” tanya Hwang Chang Sik.


“Hei, Anda benar-benar meremehkan aku. Aku adalah seorang gadis yang mendirikan tenda di halaman,” sahut Ja Eun dengan percaya diri.

“Itu benar. Dia berpengalaman menjalani kehidupan keras di alam liar, jadi apalagi yang harus dia takutkan? Jadi, apa kau berencana pindah kembali ke kamar loteng?” tanya Tae Phil penasaran.


“Ya, untuk bisa bekerja lebih efektif, sepertinya aku akan kembali tinggal di sini,” jawab Ja Eun malu-malu. Tae Hee tersenyum gembira mendengarnya, namun dia berusaha menekan senyumnya agar tidak terlalu terlihat.


“Tentu saja. Pergi dan ambillah barang-barangmu lalu kembalilah ke sini,” ujar Nenek antusias. Keinginan agar pertanian ini tidak jadi dibeli oleh Kim Hong (suami baru ibu kandung Tae Hee) akhirnya terwujud.

“Dia bisa pergi setelah makan malam, Ibu.” Ujar Park Bok Ja mengingatkan kalau sekarang sudah waktunya makan.
“Ya, ya. Benar. Setelah selesai makan,” sahut Nenek dengan tersenyum gembira.

“Ja Eun-ssi, selamat datang kembali. Aku senang melihatmu kembali,” ujar Tae Shil dengan ramah, sementara Tae Hee menatap Ja Eun dengan malu-malu.

“Melihat Ja Eun kembali tersenyum, aku ikut merasa gembira. Hatiku rasanya ingin meledak karena terlalu gembira,” ujar Hwang Chang Sik, ikut tersenyum juga. Semua orang ikut tertawa.

Tae Phil mendekati Ja Eun dan mengelus-elus rambutnya dengan lembut, “Aku dengan tulus menyambutmu kembali,” ujar Tae Phil dengan ceria, mengelus-elus kepala Ja Eun seperti seorang kakak laki-laki yang menyambut adiknya pulang.


Tapi Ja Eun menghempaskan tangan Tae Phil dan berkata dengan pura-pura marah, “Aku tekankan lagi, aku belum memaafkanmu, Maknae Oppa.” Ujar Ja Eun, berpura-pura cemberut. Bukan terlihat menakutkan tapi malah terlihat menggemaskan di mata Tae Phil hingga dia hanya tersenyum melihatnya.


Tanpa disadari siapa pun, Tae Hee menatap tajam Tae Phil dengan sorot mata penuh kecemburuan saat melihat Tae Phil mengelus-elus rambut panjang Ja Eun tepat di depan matanya. The cute jealous Tae Hee begin ^_^

“Apa perlu kita membuat pesta penyambutan untuk Ja Eun, Nenek?” usul Tae Phil seraya melingkarkan lengannya di pundak Ja Eun, memeluknya dengan sayang.



Ja Eun spontan menatap tangan Tae Phil di pundaknya, begitu pun dengan Tae Hee yang semakin cemberut karena cemburu melihat kedekatan Tae Phil dan Ja Eun, dia tampak kesal karena melihat Tae Phil dengan begitu mudahnya bersikap akrab pada Ja Eun dan bahkan memeluk pundaknya seperti itu. Sedangkan dia saja belum pernah menyentuh Ja Eun dengan lembut seperti itu. (Padahal itu hanya brother’s affection loh, tapi Tae Hee uda cemburu xixixi ^^)


“Untuk sekarang, pertama-tama biarkan dia mengambil barang-barangnya lebih dulu,” ujar Nenek sambil tersenyum gembira.

“Tae Hee-yaa, pergilah bersamanya.” Lanjut Nenek seraya menoleh ke arah Tae Hee.


Tae Hee mengangguk dan menjawab singkat, “Ya.” Tae Hee menatap Ja Eun dengan malu-malu, begitupun dengan Ja Eun yang tampak gugup dan salah tingkah saat menyadari Tae Hee menatapnya.


Setelah makan malam bersama, Tae Hee tampak menunggu Ja Eun di halaman rumah. Tak lama kemudian, Ja Eun keluar dari dalam rumah. Tae Hee yang menyadari ada suara pintu terbuka, spontan menoleh ke arah Ja Eun yang berjalan mendekatinya dengan canggung dan malu-malu.


Mereka berdua saling berdiri bersebelahan namun tampak tercipta kecanggungan di antara mereka. Akhirnya Tae Hee memberanikan diri membuka percakapan dan bertanya dengan malu-malu, “Apa kau hidup dengan baik?” tanya Tae Hee lembut, sorot matanya menatap penuh kerinduan.


Ja Eun menoleh ke arah Tae Hee setelah mendengar pertanyaan itu, “Ya. Bagaimana denganmu? Apa kau hidup dengan baik?” Ja Eun balik bertanya dengan lembut.


“Tidak begitu baik,” sahut Tae Hee jujur.
“Sebenarnya aku juga tidak begitu baik. Apa kau baik-baik saja saat ini?” tanya Ja Eun dengan lebih perhatian.


“Ya. Aku baik-baik saja. Aku minta maaf untuk hari itu. Kau benar-benar merasa ketakutan, bukan?” tanya Tae Hee dengan raut wajah bersalah, meminta maaf karena dia telah mendorong Ja Eun ke dinding dengan kasar, pada hari pertemuan mereka yang terakhir kali (EP 31)


“Tidak. Kau punya alasan untuk marah. Apa kau sudah bertemu dengannya?” tanya Ja Eun perhatian. Dia masih belum mengetahui kalau ibu kandung Tae Hee sudah meninggal.


Tae Hee menggelengkan kepalanya dan menjawab pelan,”Tidak,” sahutnya singkat. Melihat Tae Hee menolak bicara lebih banyak, Ja Eun pun tidak memaksanya.

“Apa kita pergi sekarang?” tanya Tae Hee, mengubah topik pembicaraan.
Ja Eun mengangguk dan menjawab, “Ya,” sebelum akhirnya mereka menuju ke arah mobil Tae Hee.


(Hwang Tae Hee dan Baek Ja Eun sama-sama malu-malu meong. Karena ini pertama kalinya setelah mereka saling memiliki rasa dan setelah mengungkapkan perasaan terhadap satu sama lain, mereka berbicara dengan baik-baik dan tanpa kemarahan. Sebelumnya, Ja Eun masih diliputi kemarahan dan terakhir kali, Tae Hee-lah yang diliputi kemarahan. Baru sekarang, mereka tidak saling marah-marahan dan bicara dengan baik-baik. Makanya mereka tampak canggung dan masih bingung bagaimana harus bersikap. Apalagi Tae Hee yang mati kutu kalau berhadapan dengan gadis yang dia cintai)


Tak lama kemudian, mereka tiba di penginapan kecil Ja Eun. Tae Hee tampak menunggu di luar penginapan itu dan beberapa menit kemudian, Ja Eun berjalan ke arah Tae Hee seraya menggeret kopernya. Sebagai calon pacar yang baik, Tae Hee segera menghampiri Ja Eun dan membawakan kopernya.


“Aku tidak apa-apa,” ujar Ja Eun sungkan, tapi Tae Hee hanya menatapnya tanpa kata dan tetap membawakannya.


“Terima kasih,” seru Ja Eun dengan ceria. Setelah memasukkan koper Ja Eun, Tae Hee juga meminta tas punggung pink milik Ja Eun.
“Berikan tasmu,” ujar Tae Hee, menunjuk tas punggung Ja Eun.


Setelah memberikan tas punggungnya, Ja Eun menerima telepon dari Kim Jae Ha. Dia mengangkatnya dengan santai di depan Tae Hee, tidak menyadari telepon itu memberikan efek kecemburuan luar biasa bagi Tae Hee yang tak sengaja mendengar percakapan mereka.


“Ya, Kim PD-nim. Tidak. Tidak apa-apa, katakan saja. Besok jam 10 pagi? Baiklah, aku akan datang tepat waktu,” sahut Ja Eun dengan ramah dan riang di ponselnya. 


Dan Tae Hee mendengarnya dengan hati kesal. Dia terdiam membatu untuk sesaat. Ekspresinya saat itu terlihat seperti benar-benar ingin menghajar orang. Tae Hee kalau sudah menyangkut Ja Eun, kesabarannya seperti tissue dibagi dua, tipis banget xixixi ^_^ Rasa ingin baku hantam ^^


Ja Eun yang tak menyadari hal itu, tetap bicara sambil tertawa riang, “Aku tahu. Tentu saja,” lanjut Ja Eun dengan tertawa riang tanpa dosa. Tanpa menyadari kalau dia sudah membuat Tae Hee tersiksa batin dan mental hahaha ^_^



BRAAAKKK! Tae Hee yang kesal dan cemburu mendengar gadis yang dia cintai tertawa dengan pria lain membanting pintu mobilnya dengan keras. Sepertinya Tae Hee menjadikan pintu mobil yang tidak bersalah itu sebagai pelampiasan kemarahan dan kecemburuannya. 

(Cemburu bilang, Pak Polisi! Jangan melampiaskannya pada pintu mobil yang tidak bersalah ^_^ Ngomong dong! Kalau kamu diem aja, ya mana Ja Eun tahu lah apa yang kau rasakan?)


Ja Eun melirik Tae Hee sekilas tapi tetap melanjutkan pembicaraannya dengan Kim Jae Ha, “Ya. Baiklah. Aku akan menyelesaikannya. Tidak. Aku juga selalu memikirkannya. Ya. Kim PD-nim juga,” lanjut Ja Eun di teleponnya.


Kalimat “Memikirkan” membuat Tae Hee semakin salah paham. Dia berpikir kalau Ja Eun selalu memikirkan Kim Jae Ha, padahal Ja Eun sedang memikirkan bagaimana caranya mengembalikan uang muka 50 juta won pada Kim Jae Ha.

Setelah teleponnya terputus, Tae Hee segera menyuruh Ja Eun masuk ke dalam mobil dengan dingin dan ketus, “Masuk,” ujarnya dingin karena cemburu melihat Ja Eun bicara dan tertawa dengan pria lain.


“Ya,” sahut Ja Eun yang clueless. Dia tidak tahu kenapa mood Tae Hee berubah drastis. Di dalam mobil, Tae Hee segera menyalakan mesin mobilnya dan segera menjalankan mobilnya walaupun Ja Eun tampak belum siap dan belum memasang sabuk pengaman dengan benar.


(Membanting pintu mobilnya dengan keras dan mengebut adalah cara Tae Hee mengungkapkan kecemburuannya. Ya gini nih jeleknya Tae Hee, dia gak bisa mengekspresikan perasaannya, jadi kalau cemburu dan marah, dia malah diemin Ja Eun dan sikapnya itu malah bikin Ja Eun bingung. Hadoh Tae Hee, kalau cinta jangan gitu donk! Kalau Ja Eun dicuekin terus, mana dia tahu kalau kamu cemburu? Kayaknya ni Tae Hee harus belajar banyak dari Tae Phil ^^ Awas loh, Tae Hee. Sikapmu hari ini bisa berimbas pada pengakuan cintamu di masa depan. Awas berujung ditolak lagi. Bukan begitu cara memperlakukan seorang gadis, Tae Hee-yaa >_< Tapi maklum sih ya, ini cinta pertama Tae Hee jadi dia benar-benar clueless xixixi ^^)


Di tengah perjalanan, Ja Eun terus mencuri-curi pandang pada Tae Hee yang dalam sekejap berubah menjadi dingin padanya. Ja Eun merasa aneh tapi dia tidak tahu alasannya sementara Tae Hee juga tidak mengatakan apa-apa padanya.


Keesokan harinya, mereka sekeluarga berkumpul untuk sarapan bersama. Ini pertama kalinya juga Ja Eun bertemu Guksu, anak laki-laki Hwang Tae Shik. Ja Eun tampak mengamati anak itu untuk sesaat sebelum menyapanya ramah, mengajaknya berkenalan.


“Ah, jadi kau adalah anak dari Paman pertama? Annyeong, Noona adalah Baek Ja Eun,” ujar Ja Eun ramah dengan senyuman sehangat sinar mentari seraya menunjuk dirinya sendiri.

Guksu menatap Ja Eun sesaat sebelum membungkukkan kepalanya hormat, “Annyeonghaseyo, Guksu imnida,” ujar Guksu sopan.

Ja Eun mengulurkan tangannya ke arah Guksu seraya berkata lembut, “Tolong jaga aku di masa depan,” ujar Ja Eun. Itu adalah kalimat lain dari “mari kita berhubungan dengan baik ke depannya”, karena Ja Eun juga berkata seperti itu pada Ha Na saat pertama kali bertemu dengan gadis kecil itu.

Guksu tersenyum lebar ke arah Ja Eun seraya meraih uluran tangan itu dan mereka bersalaman dengan suasana ceria. Guksu tampak menyukai wanita cantik, sama seperti ayahnya. Seluruh keluarga, termasuk Tae Hee tersenyum gembira melihat keramahan Ja Eun pada anak kecil. Jelas terlihat dia adalah gadis yang baik.

Ja Eun kemudian menatap Ha Na dan menyapanya dengan riang pula, “Oh Ha Na, lama tidak berjumpa,” sapa Ja Eun dengan senyuman hangatnya yang ceria.

“Eonnie, kenapa aku lama sekali tidak melihatmu?” tanya Ha Na yang tidak tahu apa-apa dengan penasaran.

“Benar. Kita sudah lama sekali tidak bertemu,” sahut Ja Eun ramah.
“Apa kau akan tinggal di sini lagi?” tanya Ha Na ingin tahu.
“Tentu saja,” sahut Ja Eun ceria.

“Jadi, apa aku perlu mengambilkanmu tissue lagi setiap pagi?” tanya Ha Na dengan polosnya yang mengundang tawa semua orang, termasuk Tae Hee tapi membuat Ja Eun malu mendengarnya.


Untuk menyelamatkan Ja Eun dari kecanggungan, Park Bok Ja segera meminta Nenek untuk memulai sarapannya.

“Rasanya sudah lama sekali meja makan kita tidak seramai ini. Mari kita bersyukur dan mulai makan,” seru Nenek, memberikan instruksi untuk makan.

“Kami akan menikmati makanannya (Jeo mokgoseumnida),” seru semua orang serentak. Ucapan wajib orang Korea sebelum makan.

Nenek dan Ayah memuji makanan Park Bok Ja yang lezat. Sementara Mi Shook bercanda bahwa dia jadi ingin menumpang makan setiap hari. Park Bok Ja mengatakan bahwa dia tidak keberatan jika Mi Shook ingin menumpang makan tiap hari, yang disahuti oleh Mi Shook, “Karena bebek, bukan?” ujarnya bercanda. Karena Mi Shook adalah pemilik restaurant, jadi Park Bok Ja berharap Mi Shook bisa membantunya mencari pembeli bebek yang potensial.

Nenek pun menimpali kalau Mi Shook sangat pintar karena bisa menebak dengan tepat niat hati seseorang, yang membuat semua orang tertawa lagi karena sindiran nenek terhadap Park Bok Ja.


Suasana sarapan terasa hangat, ramai dan ceria, diselingi oleh obrolan dan kadang tawa semua orang. Inilah yang Ja Eun rindukan selama ini. Kehangatan keluarga yang tak pernah dia miliki sebelumnya. Ja Eun tersenyum gembira seraya memandang semua orang satu persatu dengan tatapan haru di matanya. Dia sudah menganggap keluarga Hwang seperti keluarganya sendiri selama ini.

Park Bok Ja yang melihat Ja Eun tersenyum gembira seraya menatap haru semua orang, bertanya padanya dengan lembut, “Bagaimana rasa masakannya? Apa sesuai seleramu?” tanya Park Bok Ja bagaikan seorang Ibu.

“Rasanya sangat enak. Aku menyukainya,” sahut Ja Eun malu-malu. Dia ingin berpura-pura belum memaafkan namun gagal melakukan itu karena dia justru terlihat gembira. Park Bok Ja hanya tersenyum mengerti melihatnya.

Setelah sarapan, Ja Eun kembali mengunjungi kandang bebek yang sudah tidak dia datangi sejak masalah pencurian kontrak terbongkar dan dia pergi dari rumah itu.



“Halo, anak-anak. Apa kalian merindukan aku?” sapa Ja Eun seraya membuka pintu kandang bebek dengan ceria. Dia lalu mengambil seekor anak bebek secara bergantian dan mengajak mereka mengobrol seraya mengelus-elus bulu mereka yang lembut.
\

Ja Eun juga mengambil sejumput serbuk gergaji di lantai dan menyadari kalau dia harus menuangkan lebih banyak agar bebek-bebek itu tidak kedinginan.



Ja Eun pergi ke gudang dan berniat menggantinya sendiri, namun tiba-tiba dia teringat kenangannya bersama Tae Hee yang pernah membantunya memindahkan serbuk gergaji di EP 24. Akhirnya dia menyembunyikan dua karung kecil serbuk gergaji itu jauh di belakang hingga hanya menampakkan karung besar yang tak sanggup dia angkat.


Ja Eun berniat menggunakan kesempatan ini untuk mencari cara agar berdekatan dengan Tae Hee dan memulai hubungan yang baik lagi dengannya, mungkin berteman dekat. Tanpa dia sadari kalau yang Tae Hee inginkan adalah lebih dari sekedar teman dekat. He want to be her boyfriend.


Setelah menarik napas dalam-dalam dan menetralkan jantungnya yang berdebar, Ja Eun mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Tae Hee.

Saat itu Tae Hee ada di dalam kamarnya dan bersiap untuk berangkat kerja, ketika dia mendapatkan pesan dari Ja Eun.


“Ahjussi, bila kau punya waktu, bisakah kau membantuku memindahkan serbuk gergaji di gudang?” tulis Ja Eun di pesan itu.


Tae Hee membacanya seraya berpikir sebentar namun kemudian membalas singkat, “Aku sibuk.” Tae Hee menolak membantu Ja Eun karena masih merasa marah pada Ja Eun yang bicara dengan lembut dan manis pada Kim Jae Ha semalam, dia masih cemburu namun tidak tahu bagaimana mengatakannya. Tae Hee yang selama ini begitu dewasa, bisa diandalkan dan selalu dijadikan role model oleh semua orang, karena cinta dan kecemburuannya, seketika berubah menjadi kekanakan.


(Kalau cemburu tuh bilang, mas bro. Hadeh, nih bocah >_< Tar gantian dicuekin Ja Eun, nangis dah ^^ Atau jangan-jangan Tae Hee ini lagi balas dendam dengan mempermainkan perasaan Ja Eun karena selama ini dia merasa dipermainkan. “Quit playing games with my heart”, sekarang dia yang gantian jual mahal saat Ja Eun mencoba mendekatinya. Hadeh, nih dua orang sukanya tarik ulur deh ckckck...)


Ja Eun yang awalnya tampak tersenyum melihat balasan pesan dari Tae Hee tampak kecewa saat membaca pesan yang tidak sesuai dengan harapannya.

Ja Eun menatap balasan pesan di ponselnya dengan tak percaya, “Sibuk?” bacanya keras dengan kecewa.


Akhirnya dia memutuskan untuk memindahkan sendiri dua karung kecil yang tadi dia sembunyikan di bagian paling belakang di dalam gudang. Setelah menaburkan serbuk gergaji, Ja Eun juga memberi bebek-bebek itu makan.


Saat dalam perjalanan kembali ke rumah, Ja Eun melihat Tae Hee yang juga kebetulan baru saja keluar dari dalam rumah.


Ja Eun tersenyum lebar seraya mendekati Tae Hee dengan antusias dan menyapanya dengan riang, “Ahjussi, apa kau akan berangkat kerja?” tanya Ja Eun dengan penuh semangat dan senyuman hangat.



Namun senyumnya seketika luntur saat Tae Hee hanya mengabaikannya begitu saja dan berjalan cepat melewatinya tanpa mengatakan apa pun. Ja Eun memasang ekspresi kesal yang seolah mengatakan, “Lihat saja, bagaimana aku akan membalas dendam padamu nanti malam.”


Faktanya di dalam mobil, Tae Hee tampak menyesali sikapnya pagi ini yang dia sadari memang keterlaluan. Ja Eun mencoba mendekatinya dua kali namun Tae Hee dua kali mengabaikannya. Tae Hee mengacak-acak rambutnya frustasi karena membiarkan kecemburuannya mengambil alih.


Di kamar Nenek, Park Bok Ja mengantarkan secangkir teh dan kue pada Nenek. Park Bok Ja bertanya pada Nenek apa ada hal baik yang terjadi, karena Nenek terlihat sangat bahagia pagi ini.

“Semakin aku memikirkannya, aku semakin merasa gembira. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dalam hidup kita ke depannya. Dua atau tiga hari yang lalu, aku merasa duniaku sangat gelap, hidup terasa sangat berat dan aku bahkan tidak ingin hidup lagi. Tapi lihat sekarang! Siapa yang menyangka hari yang bahagia seperti ini akan terjadi?” ujar Nenek dengan gembira.

“Apa ini karena Tae Hee terlihat lebih ceria saat ini?” tanya Park Bok Ja yang menyadari Tae Hee banyak tertawa saat di meja makan tadi.

(Ya jelas Tae Hee lebih cerita karena gadis yang dia sukai kembali tinggal di rumah yang sama dengannya. Gimana gak happy tuh? ^^)

“Tae Hee adalah Tae Hee. Tapi sekarang karena Ja Eun telah kembali, suasana di rumah ini jadi kembali ceria. Dalam sekejap udara di sekitar rumah berubah, rasanya kembali hangat dan penuh keceriaan. Kemarin malam dan pagi ini, meja makan tampak penuh. Ditambah lagi kau pun seketika tampak 10 tahun lebih muda,” ujar Nenek, mengungkapkan alasan kegembiraannya.

Rumah mereka terasa sangat hangat dan ceria karena Ja Eun telah kembali, saat Ja Eun pergi, rumah itu terasa kosong dan dingin. Kepribadian Ja Eun yang ceria dan hangat bahkan bisa membuat sekitarnya ikut merasakan kehangatan dan keceriaan itu. Itu adalah salah satu alasan yang membuat Tae Hee jatuh cinta pada Ja Eun, keceriaan dan kehangatannya.

Aku memang sangat bahagia, Ibu. Kupikir aku takkan melihat Ja Eun selama sisa hidupku,” ujar Park Bok Ja mengakui dengan tersenyum bahagia.

“Itu karena kau telah membesarkan dan merawat Tae Hee-ku dengan baik, jadi itu karma baik untukmu. Untuk semua kebaikan dan pengorbananmu, walaupun aku berterima kasih seumur hidup pun, itu takkan cukup,” ujar Nenek dengan tulus.

“Kenapa Anda bicara seperti itu, Ibu?” tanya Park Bok Ja dengan raut khawatir.

“Itu karena aku tak pernah mengatakan ini sebelumnya, jadi kau berpikir aku tidak berterima kasih. Setelah melalui semua hal ini, aku harus mengakui kalau kau telah membesarkan Tae Hee dengan baik,” puji Nenek tulus.

“Ibu, apa yang Anda katakan? Andalah yang telah membesarkan Tae Hee,” ujar Park Bok Ja dengan sungkan.


“Tidak perlu membodohiku. Aku sebenarnya tahu kalau Tae Hee selalu berusaha menyenangkan hatiku agar aku tidak melampiaskan kemarahanku padamu. Kau juga tahu itu, bukan? Kau pikir aku tidak tahu? Aku hidup selama 80 tahun, bukan berarti aku tidak belajar sesuatu,” ujar Nenek lagi.

“Kau adalah ibu Tae Hee dan setelah aku meninggal, orang yang akan kupercaya untuk menjaga ‘bayiku’ adalah kau. Bahkan walau aku sudah mati sekalipun, aku tidak akan melupakan semua hutangku padamu karena telah membesarkan Tae Hee dengan baik. Tapi aku tetap berharap agar Tae Hee bisa menemukan pasangan hidupnya, seseorang yang bisa menjaga dan menemaninya saat kau pun sudah tidak ada lagi di sisinya,” lanjut Nenek dengan ekspresi galau kali ini. Mengingat fakta bahwa Tae Hee tak pernah sekalipun tertarik pada wanita.

(Gak tahu aja si Nenek, Tae Hee lagi sibuk ngejar-ngejar Ja Eun. Tenang aja, dia sudah menemukan pasangan hidup yang dia inginkan, wanita yang dia cintai setulus hati. Tae Hee sedang berusaha mengejar kebahagiaannya sendiri. Tapi tar kamu lagi deh si tua bangka yang merusak kebahagiaan Tae Hee dan memisahkan mereka, karena dendammu yang tak kunjung padam >_< Padahal Tae Hee ngejar Ja Eun jatuh bangun, tapi begitu dapet malah dipisahin gitu aja. Untungnya masih lama, sekarang happy-happy aja dulu ^^)


Park Bok Ja tampak khawatir dan bertanya apakah ibu mertuanya merasa sakit, yang seketika disangkal oleh sang Nenek, “Aku tidak merasakan sakit apa pun. Jangan khawatir. Aku juga tidak merasa akan mati hari ini atau besok,” jawab Nenek sambil tertawa.

Malam berlalu cepat, Kim Jae Ha yang masih di kantornya menelpon Ja Eun karena ada dokumen penting yang tertinggal, “Ja Eun-ssi, kau tahu bahwa kita ada meeting dengan Sutradara Yang besok pagi, kan? Aku baru saja menemukan dokumen penting yang lupa kuberikan padamu tadi siang. Aku akan mengantarkannya sekarang ke pertanian. Kau pelajarilah malam ini. Dan karena aku akan pergi ke sana, bagaimana jika kita pergi makan malam sekalian? Anggap saja sebagai kencan pertama kita. Baiklah. Karena sekarang sudah malam, aku akan segera ke sana. Aku akan menelponmu jika sudah sampai di sana,” ujar Kim Jae Ha di teleponnya, mengajak Ja Eun berkencan.

Ja Eun yang telah menyetujui syarat 20 kali kencan pun tidak bisa apa-apa karena toh baginya ini hanyalah makan malam.

Saat akan pergi, terdengar suara ketukan di pintu ruangan Kim Jae Ha, seorang pria yang merupakan Tim Leader dari proyek Pembangunan itu berjalan masuk dan bertanya dengan bingung, “Apakah Anda menangguhkan pembelian Ojakgyo Farm? Acara pembukaan sebentar lagi. Bagaimana jika CEO tahu hal ini?” seru pria tua itu tampak panik.

“Aku akan memberitahu Ayah tentang hal ini. Jadi ikuti saja perintahku. Kita akan mengadakan rapat besok pagi untuk membahas masalah ini. Kita akan membicarakan detilnya pada rapat besok pagi. Kau pulanglah sekarang? Apa kau ingin kuantar sekalian?” tanya Kim Jae Ha dengan santainya.



Di pertanian, Tae Hee yang baru saja pulang kerja, tampak memarkirkan mobilnya tak jauh dari area gudang. Sepertinya dia punya firasat bahwa Ja Eun ada di sini untuk mencari inspirasi melukis. Tae Hee turun dari mobil dengan membawa segelas kopi Ice Charamel Macchiato kesukaan Ja Eun, sebagai tanda permintaan maafnya atas sikapnya yang kasar pagi tadi.



Tae Hee berjalan masuk ke dalam gudang tanpa suara. Dia melihat Ja Eun duduk di anak tangga, tampak asyik melukis sesuatu di sketsanya sambil tersenyum manis. Tae Hee berdiri dalam diam dan menatapnya lekat tanpa kata, tapi tatapan cinta dan kerinduan tampak jelas di sana.


Setelah cukup lama memandang dalam diam, Tae Hee melangkah maju dan memberanikan dirinya untuk menyapa gadis itu.

“Apa kau tidak merasa kedinginan?” tanya Tae Hee dengan gugup dan malu-malu.


Ja Eun menoleh padanya, namun tidak menjawab dan kembali asyik melukis seolah Tae Hee tak ada di sana. Ja Eun seolah ingin membalas dendam atas sikap dingin Tae Hee padanya pagi tadi. Sepertinya Ja Eun ingin membalas dendam dengan berbalik mengabaikan Tae Hee saat ini.


(Ja Eun be like : “I will make you feel the way I feel” ^^ Nah, kan? Aku bilang apa, Tae Hee? Hati-hati dengan apa yang kau lakukan, karena Ja Eun pasti akan membalas ^^ Bagaimana rasanya diabaikan?)


Melihat Ja Eun mengabaikannya, Tae Hee memberanikan diri menyodorkan segelas kopi di tangannya, “Kopinya sedikit dingin,” ujar Tae Hee lirih. Dia tampak mati kutu dan tak tahu harus bagaimana. Sepertinya Tae Hee membelikan Ja Eun segelas kopi panas sebagai tanda permintaan maaf.


Ja Eun hanya menoleh dan mengambil kopi itu seraya berkata singkat, “Aku akan menikmatinya,” sahut Ja Eun dingin.


“Kau marah padaku, bukan?” tanya Tae Hee, menyadari kesalahannya.

(Nah itu tahu. Apa itu perlu ditanyakan? Siapa suruh saat Ja Eun mencoba bersikap hangat, tapi kamunya malah dingin. Dibales kan sekarang? Xixixi ^^)


“Tidak,” sahut Ja Eun menyangkal walaupun sikapnya terlihat jelas. (Wanita mau mau ngaku, lah? Ya cowok dong yang harus peka. Kamu merasa berbuat salah gak tadi pagi? Ja Eun uda coba mendekati, tapi kamunya malah cuek >_<)



“Sebenarnya pagi ini...” Tae Hee tampak ingin menjelaskan pada Ja Eun tentang sikapnya yang dingin pagi tadi karena dia merasa cemburu pada Kim Jae Ha, namun belum sempat menjelaskan, orang yang menjadi sumber kecemburuannya tiba-tiba menelpon Ja Eun dan spontan menghentikan ucapannya.


Mendengar suara dering ponselnya, Ja Eun mengangkatnya dengan riang, “Ya, Kim PD-nim. Apa kau sudah tiba di sini? Oh, kau ada di pintu gerbang? Tidak. Aku akan keluar sekarang. Tetaplah di sana,” ujar Ja Eun dengan tersenyum manis dan nada yang hangat.


Sementara Tae Hee tampak berusaha menahan kecemburuannya, ekspresinya terlihat kesal, lebih kesal dari malam sebelumnya di mana dia mendengar Ja Eun menjawab telepon Kim Jae Ha.


(Kepribadian Ja Eun memang seperti itu, dia gadis yang ceria dan hangat, kepada siapa pun, Ja Eun pasti bersikap hangat dan selalu menebarkan senyum ramahnya. Hanya saja Tae Hee terlalu dibutakan oleh kecemburuannya dan perasaannya yang menggebu-gebu pada gadis itu, jadi dia merasa marah dan kesal saat melihat Ja Eun tersenyum pada pria lain, selain dirinya. Sama Tae Phil aja cemburu, apalagi sama Kim Jae Ha. Ditambah lagi, Kim Jae Ha adalah seseorang yang di mata Tae Hee telah “merebut” kasih sayang ibu kandungnya, tentu saja dia takut Kim Jae Ha akan “merebut” Ja Eun juga darinya. Dia tak berdaya kehilangan ibunya, tapi Tae Hee bertekad kali ini, dia tidak akan lagi menyerahkan Ja Eun padanya. Not in million years. Tae Hee be like : “You stole my mom, but Not my girl! Ja Eun is mine!” ya kayak gitulah intinya ^^)

Setelah menutup teleponnya, Ja Eun segera berpamitan pada Tae Hee yang sedang ada bersamanya di gudang.


“Aku harus pergi. Ada tamu yang menungguku di depan jadi aku harus pergi lebih dulu,” pamit Ja Eun pada Tae Hee seraya memasukkan ponselnya ke saku jaket.



Tae Hee tampak membeku sesaat ketika mendengarnya, ekspresinya tampak terluka, namun dia bertekad tidak akan membiarkan Ja Eun pergi lagi kali ini. Saat Ja Eun melangkah pergi, Tae Hee menahan lengan Ja Eun, mencoba menghentikannya.




“Jangan pergi. Jangan pergi temui Kim Jae Ha. Aku tidak suka melihatmu menemuinya!” ujar Tae Hee dengan cemburu, tampak berusaha mengontrol emosi dan kecemburuannya.Tae Hee menoleh pada Ja Eun sekilas, kemudian menarik Ja Eun agar berdiri berhadapan dengannya.



“Aku tidak suka melihatmu bertemu dengan Kim Jae Ha. Aku tidak suka melihatmu bicara dengannya di telepon, bahkan aku tidak suka melihatmu tersenyum padanya," Tae Hee menjeda kalimatnya sejenak sebelum kembali melanjutkan.




"Baek Ja Eun, karena kau, aku menjadi pria yang menyedihkan. Aku terus melakukan kesalahan yang sama dan aku terus membuat permintaan maaf yang tidak berguna. ‘Aku minta maaf, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi (maksudnya tidak akan menyukai Ja Eun lagi)’, tapi aku mungkin akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Jadi, jangan temui Kim Jae Ha," lanjut Tae Hee, sekali lagi mengutarakan perasaannya. Nada suaranya terdengar putus asa.



"Aku tidak bisa menepati janjiku padamu. Aku tidak bisa melupakan perasaanku padamu. BAEK JA EUN, AKU…AKU…MASIH MENYUKAIMU,” ujar Tae Hee dengan sungguh-sungguh, keseriusan terdengar jelas dalam suaranya dan caranya menatap Ja Eun terlihat sangat lembut dan penuh cinta, seolah-olah dia tidak bisa hidup tanpa Ja Eun di sisinya.



Ja Eun yang sedari tadi memandang lantai di bawahnya seketika mengangkat kepalanya dan menatap Tae Hee tanpa kata, Ja Eun tampak sedikit terkejut mendengarnya. Mungkin karena dia berpikir kalau perasaan Tae Hee padanya hanyalah main-main dan Tae Hee sudah melupakan perasaan itu saat dia berkata akan mencoba melupakannya di EP 28. Apalagi melihat sikap Tae Hee yang dingin kemarin malam dan pagi tadi. Jadi wajar jika Ja Eun terkejut mendengar pengakuan cinta Tae Hee yang ketiga kalinya.


Saat Ja Eun menatap Tae Hee dengan terkejut, Tae Hee justru menatap gadis itu dengan tatapan penuh harap di matanya. Tatapan yang seolah-olah berkata, “I like you, I wish you could like me back. Please, like me back. Please, accept me this time.”


Cut Scenes :
1. Hwang Tae Hee dan Baek Ja Eun outside the house :


2. The cute jealous Tae Hee :



3. Hwang Tae Hee 3'rd Confession :


Blogger Opinion :
The word “tender” doesn’t even begin to capture the essence of this look he is giving her. It’s closer to vulnerability than anything. This time, Ja Eun doesnt have any reason to hurt Tae Hee and reject him anymore. I believe Kim Jae Ha 20 dates with Ja Eun only to make Tae Hee jealous so he will realize his true love toward her and will try to fight him to get her back. Of course the family will support him too, especially his mom, also Kim Jae Ha is doing that knowing that Tae Hee & Ja Eun like each other and he only want to see Tae Hee’s reaction. I just felt flustered because I really enjoy seeing Tae Hee jealous and possessive of Ja Eun ^_^


My favorite parts of the scene were all Tae Hee’s little looks.
  I liked how he studied Ja Eun when he first walked in, just to admire her, and then kept studying her throughout to gauge her reactions. Our little inexperienced Tae Hee got up the nerve to bring Ja Eun coffee and explain himself, and THAT’S when Kim Jae Ha had to call?  Once the phone rang, his face was just heartbreaking, but I still loved it. The worst part is that Ja Eun had a massive smile on her face as soon as she saw who it was. Hellloooooooo, Ja Eun! There’s a shy little cutie pie trying to pour his heart out right next to you >_<



Pak polisi “nembak” lagi untuk yang ketiga kalinya. Hwang Tae Hee memang pejantan tangguh, gigih dalam mengejar cintanya dan tidak mengenal apa itu “menyerah”. Definisi “Menyerah tidak ada dalam kamusku!” Kejar terus sampe dapet ^^ That’s why I Love Hwang Tae Hee’s character, semangat pantang menyerahnya dalam mengejar cinta sejatinya, patut ditiru oleh para pria di luar sana yang belakangan banyakan mokondo, apalagi cowok Indo. Aku suka drama yang cowoknya ngejar mati-matian, that’s why I Love Ojakgyo Brothers. And I love the cute jealous Tae Hee ^^

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/651 + https://gswww.tistory.com/652 + https://gswww.tistory.com/653)

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads