Senin, 08 Juli 2024

Sinopsis EP 33 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight For today episode :
Finally, no more angst, at least for now ^_^ Happy days are here again and jealous Tae Hee is going to be so awesome. Love triangle, brings it on! Ja Eun finally forgive the Hwang Family and even back to the farm. ^_^ I'm so happy Ja Eun is finally starting to forgive! Good thing she don't hold grudge for a long time, or else their story is not going to progress! And there will be more Ja Eun and Tae Hee scenes from now on, especially the jealous Tae Hee! See! Hwang Tae Hee didn't stop looking at Ja Eun since the minute she entered the house until they sat around the table, this guy is just so in love with his Ja Eun-ah ^_^ I wish we will have some cute scenes between the two very soon, especially Tae Hee jealousy scene ^_^


But I believe Kim Jae Ha 20 dates with Ja Eun only to make Tae Hee jealous so he will realize his true love toward her and will try to fight him to get her back. I believe Kim Jae Ha is not challenging Tae Hee in their romantic relationship, because the only way Kim Jae Ha knows to get closer to Tae Hee is through Ja Eun because the 1’st question Tae Hee ask Kim Jae Ha is about Ja Eun and the 1’st time he called Kim Jae Ha is about Ja Eun too! Now Kim Jae Ha got EXCUSES to visit the farm any times he wanted to, just check on Ja Eun and Tae Hee as well! Kim Jae Ha is doing everything he can to get closer to Tae Hee and I hope he will let Ja Eun knows that Tae Hee is his step brother and he needs her help to patch up with him. Don’t you all agreed a jealous Tae Hee is so AWESOME? Well, thanks to Kim Jae Ha for that ^_^

-----0000-----

Episode 33 :
Episode 33 dimulai dari Ja Eun yang berjalan mendekati Kim Jae Ha dan berkata dengan tegas, “Kim PD-nim, aku tidak akan menjual pertanian ini,” ujar Ja Eun dengan nada tegas dan mantap seraya menatap Kim Jae Ha dengan tekad yang kuat.


“Apa yang kau katakan?” tanya Kim Jae Ha tak mengerti.
“Aku bilang aku takkan menjual pertanian ini. Aku takkan menjual Ojakgyo Farm,” ujar Ja Eun mengulangi ucapannya dengan tegas dan mantap.

“Aku tidak mengerti, kenapa kau bersikap seolah-olah kau punya hak atas pertanian ini?” Kim Jae Ha balik bertanya dengan bingung.


“Karena aku adalah pemilik sebenarnya dari pertanian ini. Orang yang kehilangan kontrak itu, model yang sebenarnya dari karakter Ojak In dalam karya animasi itu adalah aku sendiri. Tidakkah kau mengerti? Akulah orang yang kehilangan kontrak pertanian itu...” ujar Ja Eun, menjelaskan lebih rinci.

“Aku mengerti. Aku sangat mengerti sekarang. Jadi itu sebabnya kenapa kisahnya sangat realistik. Kau tidak mungkin bisa membuat kisah yang tampak begitu nyata bila tidak didasarkan pada kisah nyata yang kau alami sendiri dan hanya mendengarnya dari orang lain, bukan? Lalu bagaimana dengan Ibu bebek? Kenapa...” ucapan Kim Jae Ha terpotong karena dia justru fokus pada cerita yang dibuat Ja Eun dan bukan pada masalah pembatalan penjualan pertanian ini.

“Kim PD-nim, inti dari semua ini bukanlah aku adalah Ojak In melainkan aku tidak ingin menjual pertanian ini. Kau adalah Presiden Direktur Perusahaan ini jadi aku akan mengatakannya padamu kalau aku tidak mau menjualnya,” potong Ja Eun putus asa.


“Aku bukan Presiden Direktur Perusahaan ini, aku hanyalah wakil Presiden Direktur. Lagipula sekarang sudah terlambat. Apa kau lupa kalau hari ini adalah hari pelunasan pembayaran kontrak? Kurasa perwakilan kita sudah berada di kantor real estate untuk menangani pelunasan pembayarannya sekarang,” sahut Kim Jae Ha dengan santai.

“Apa? Hari ini?” tanya Ja Eun dengan shock, terlihat seperti melupakan sesuatu yang penting.

Ja Eun buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menelpon Hwang Chang Sik dan menyuruhnya untuk pergi dari sana sekarang juga.

“Ja Eun-ah, ada apa? Sebenarnya aku juga berencana menelponmu setelah ini. Aku di kantor real estate,” sahut Hwang Chang Sik di teleponnya. Dia tampak baru saja membuka pintu kantor real estate itu saat tiba-tiba Ja Eun menelponnya.

“Ahjussi, apa penandatangan kontraknya sudah selesai?” tanya Ja Eun dengan panik.
“Tidak. Aku baru saja sampai karena terjebak kemacetan lalu lintas,” sahut Hwang Chang Sik. Ja Eun terlihat lega mendengarnya.

“Aku lega mendengarnya. Ahjussi, cepat tinggalkan tempat itu sekarang. Ya sekarang juga! Cepat keluar!” seru Ja Eun di teleponnya.

Hwang Chang Sik berjalan keluar dan bertanya dengan bingung, “Apa yang terjadi? Apa yang salah? Aku sudah berada di luar kantor real estate. Apa? Kau tidak mau menjual pertanian ini?” tanya Hwang Chang Sik, dengan keterkejutan yang sama. Bingung dengan apa yang membuat Ja Eun berubah pikiran.


“Ya. Aku tidak ingin menjual pertanian ini. Jadi batalkan kontraknya dan jangan terima pelunasan pembayarannya,” pinta Ja Eun di telepon.

“Aku bersama Kim PD-nim sekarang. Aku sedang berdiskusi dengan Kim PD-nim, jadi nanti aku akan menelponmu lagi. Tidak peduli apa pun yang terjadi, Anda tidak boleh menjual pertanian tanpa ijin dariku,” lanjut Ja Eun menjelaskan.

“Anda sudah mendengarkan, bukan? Aku tidak akan menjual pertanian ini,” ujar Ja Eun dengan tegas dan mantap.

“Baiklah jika itu yang kau inginkan. Tapi apa kau tahu kalau kau harus membayar denda pembatalan kontrak sebanyak dua kali lipat?” ujar Kim Jae Ha dengan santai.

“Apa?” Ja Eun tampak shock mendengarnya.
“Jika kau membatalkan kontraknya, kau harus membayar denda pembatalan kontrak sebanyak dua kali lipat. Kau harus tahu itu,” ujar Kim Jae Ha, menjelaskan sekali lagi, seraya berjalan masuk ke dalam mobilnya.

Gagal meyakinkan Kim Jae Ha di pertanian, saat kembali ke kantor mereka, Ja Eun sekali lagi menemui Kim Jae Ha dan memohon sekali lagi.

“Aku tahu aku meminta sesuatu yang di luar batas wewenangmu tapi...” ujar Ja Eun dengan memohon sekali lagi.


“Sudah kukatakan kalau ini adalah masalah perusahaan, aku tidak bisa membuat keputusan sendiri. Aku juga bukan orang yang berhak membuat keputusan tentang hal itu. Jika kau ingin membatalkan kontrak penjualan, kau harus membayar denda pembatalan kontrak sebanyak dua kali lipat,” ujar Kim Jae Ha, memberikan jawaban yang sama. Jawaban yang membuat Ja Eun tampak sangat tertekan.

“Sejujurnya, aku sudah tidak memiliki uang itu lagi karena sudah kugunakan untuk membayar hutang-hutang ibu tiriku,” ujar Ja Eun dengan jujur dan dengan hati berat. (Ini gara-gara emak tiri sialan T_T)


“Kau bilang apa?” tanya Kim Jae Ha, tampak terkejut karena uang sebanyak itu habis dalam sekejap. Ya gimana gak habis dalam sekejap, Jung Yeon Suk si ibu tiri dajjal hutangnya 80 juta won.

“Tapi aku pasti akan berusaha membayarnya kembali namun aku perlu waktu beberapa bulan lagi. Bisakah kau memberiku sedikit waktu?” pinta Ja Eun mengiba.

“Jadi maksudmu kau ingin membatalkan kontraknya namun kau bahkan tidak mampu membayar untuk dendanya dan juga tidak memiliki uang mukanya (DP)?” tanya Kim Jae Ha, mempertegas masalahnya.


Ja Eun menundukkan kepalanya dan mencoba mencari solusi lain, “Aku tidak akan meminta royalty atau uang hak cipta untuk karya animasi Ojak Family-ku. Tentu saja aku tidak tahu apakah aku akan mendapatkan royalty atau hak cipta atas karyaku ini, namun bisa saja animasi ini menjadi hits, bukan? Jika itu benar-benar terjadi, aku tidak akan meminta satu sen pun dari keuntungan itu. Aku tidak akan meminta royalty atau hak cipta atas karya itu, aku cukup meminta gaji bulananku saja untuk bertahan hidup. Jadi dengan begitu, aku bisa membayar hutangku padamu. Bukankah ini usul yang baik?” ujar Ja Eun dengan putus asa.

“Ini bukan jalan keluar yang adil. Kau harus tetap menerima royalty dan hak cipta milikmu. Juga hasil dari semua kerja kerasmu. Kau berhak mendapatkannya,” ujar Kim Jae Ha, tak mau dibantah. 

(Sepertinya Kim Jae Ha berpikir akan sangat tidak adil bila seorang author tidak mendapatkan royalty atau hak cipta dan tidak mendapatkan apa pun dari hasil karya dan kerja kerasnya sendiri, bukan? Kerja rodi dong namanya >_<)

“Kim PD-nim,” ujar Ja Eun memohon dengan putus asa.
“Tidak bisa. Jangan buang-buang waktu lagi. Hari ini kau harus menyelesaikan karakter Nenek bebek baru setelah itu kau boleh pulang,” ujar Kim Jae Ha, tak mau dibantah.
“Wakil Presdir,” ujar Ja Eun sekali lagi.
“Pintu keluarnya ada di sana,” sahut Kim Jae Ha tak peduli, mengusir Ja Eun secara halus. 

Ja Eun terpaksa keluar dengan hati berat, namun di depan pintu dia tampak berusaha memikirkan cara yang lain.


Di pertanian, Park Bok Ja berusaha membujuk Nenek agar mau keluar dan makan sedikit karena Nenek sudah mengurung diri di kamar sejak kemarin.

Park Bok Ja juga memberitahu kalau ibu kandung Tae Hee meninggal karena kanker awal tahun ini dan dia melarang Kim Jae Ha untuk memberitahu Tae Hee karena dia tidak mau Tae Hee melihat kondisinya yang sedang sekarat dan hampir mati.

“Tae Hee menangis banyak sekali, Ibu. Kurasa ini pertama kalinya aku melihat Tae Hee menangis sebanyak itu. Tapi karena dia tak lagi memendamnya dalam hati dan bahkan menangis keras di depan kami, hatiku merasa jauh lebih baik. Lebih baik jika dia menangis dan mengeluarkan semua rasa sakit dalam hatinya, daripada harus memendamnya seorang diri. Aku yakin dia sudah jauh lebih baik sekarang setelah menangis keras,” ujar Park Bok Ja, menjelaskan keadaan Tae Hee pada ibu mertuanya.

“Aku tidak tahu kalau ‘bayiku’ hidup dengan membenciku selama ini. Karena dia adalah ‘bayi’ yang kubesarkan sendiri, kupikir dia akan sehati denganku, bahkan walaupun tidak sama persis, setidaknya setengah saja, itu sudah cukup. Kupikir dia akan mengerti perasaanku. Kupikir dia adalah ‘bayiku’ namun ternyata dia adalah ‘bayi’ orang lain,” ujar Nenek mulai drama playing victim minta dimengerti.


(Nenek berharap jika dia membenci ibu Tae Hee maka Tae Hee juga harus membenci ibunya, sama seperti Nenek membencinya. Gak masuk akal nih tua bangka, masa benci aja ngajak-ngajak? Mentang-mentang dia benci si A, lalu si B juga diajakin benci si A. Kalau si B gak mau diajakin benci si A, maka dianya playing victim dengan mengungkit semua jasanya biar si B merasa bersalah. Duh, sama kayak pendukung Palestina. Kalau benci sama Israel ya benci aja, tapi gak perlu lah ngajak-ngajak orang lain benci juga, bahkan memusuhi orang yang gak ikutan benci dan gak mau ikut campur. Persis nih kayak sifatnya si Nenek. Karepe dewe alias mau menang sendiri. Benci pake ngajak-ngajak >_<)

“Ibu, kenapa Anda berkata seperti itu? Tae Hee adalah ‘bayimu’, tidak peduli apa yang orang lain katakan. Tapi seperti yang Anda katakan, mereka memiliki hubungan darah. Bagaimana mungkin seorang anak tidak merindukan ibu mereka? Tae Hee sama sekali tidak pernah membencimu sama sekali. Jadi bangunlah dan makan sedikit. Ibu adalah kepala keluarga kita, jadi jika ibu hanya mengunci diri seperti ini dan tak mau makan apa-apa, kami semua juga tidak akan fokus melakukan apa pun. Aku akan pergi membuat sup udang favorit Ibu. Jadi ibu keluar dan makan ya,” bujuk Park Bok Ja sebelum berjalan keluar untuk membuat makan malam.

Park Bok Ja keluar dari kamarnya dan melihat Hwang Chang Sik baru saja masuk ke dalam rumah. Dia bertanya apakah masalah kontraknya berjalan dengan baik. Hwang Chang Sik berkata bahwa dia belum menyelesaikan penandatanganan kontrak itu karena Ja Eun menelponnya dan menyuruhnya untuk segera pergi dan tidak menerima pelunasan pembayarannya.

“Ja Eun bilang dia tidak ingin menjual pertanian ini,” ujar Hwang Chang Sik yang tampak bingung.
“Kenapa dia tiba-tiba seperti itu?” tanya Park Bok Ja yang juga tampak terkejut.

“Aku juga tidak tahu. Mungkinkah karena ucapan Ibu? Tapi Perusahaan itu ingin membeli pertanian ini, pasti tidak mudah untuk membatalkan kontraknya,” ujar Hwang Chang Sik khawatir, ikut menebak kemungkinan kenapa Ja Eun tiba-tiba berubah pikiran. 

(Bukan, Bambang! Tae Hee is her real reason. Ja Eun tahu kalau dia menjual pertanian ini, dia gak akan bisa bertemu Tae Hee lagi. It’s all because of Tae Hee ^_^)

Dia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelpon Ja Eun untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku sudah melakukan apa yang kau katakan, tapi aku sangat ingin tahu kenapa kau membatalkan kontraknya,” ujar Hwang Chang Sik di ponselnya dengan nada penasaran.


“Aku tidak ingin menjualnya tapi Kim PD-nim bilang aku harus membayar denda pembayaran kontrak dua kali lipat,” ujar Ja Eun di teleponnya dengan sedih dan lesu.

“Kalau begitu kau tidak bisa melakukan itu. Bagaimana kau akan membayar denda pembatalan kontrak dua kali lipat itu?” tanya Hwang Chang Sik tampak khawatir.

“Apa yang Ja Eun katakan?” tanya Park Bok Ja dengan penasaran, namun Hwang Chang Sik hanya menggelengkan kepalanya tanda tak tahu.


“Aku tidak tahu apa alasanmu melakukan ini, tapi jika ini karena Nenek maka kau tidak perlu melakukan itu. Kau berhak menjual pertanian ini seperti rencana awal. Jangan pedulikan ucapan Nenek. Apa kau mengerti?” ujar Hwang Chang Sik dengan bijaksana dan pengertian.

“Baik. Aku akan menelpon Paman lagi bila kesepakatan sudah diambil,” ujar Ja Eun dengan lesu, karena dia masih belum berhasil meyakinkan Kim Jae Ha.

Setelah pembicaraan dengan Ja Eun berakhir, malamnya Tae Hee pulang ke rumahnya dengan tampang yang lebih segar, tak lagi muram dan lebih ceria.


“Aku pulang,” sapa Tae Hee dengan senyuman manisnya. Tae Hee pulang dengan membawa dua potong roti kacang manis kesukaan Neneknya.

Sepertinya Tae Hee sudah memutuskan untuk memaafkan Nenek dan orangtuanya yang telah menghalanginya bertemu dengan ibu kandungnya dan memulai hidup baru tanpa bayang-bayang kesedihan masa lalu. Mungkin Tae Hee berpikir tak ada gunanya menyimpan dendam masa lalu karena tidak peduli betapa marahnya dia pada keluarganya dan Neneknya, Ibu kandungnya tetap tak bisa kembali hidup. Life must go on! Bukankah hidup ini harus terus berjalan? Tae Hee tidak ingin seperti Neneknya yang sepanjang hidupnya menyimpan dendam dalam hatinya. Tae Hee is a good boy ^_^


Park Bok Ja yang sedang berada di dapur dan mendengar suara sapaan Tae Hee seketika keluar dari dalam dapur dan tersenyum menyambut putra ketiganya. Hwang Chang Sik menepuk pundak Tae Hee dengan sayang dan berkata, “Baguslah kau kembali sekarang, di saat makan malam akan dimulai,” ujar Hwang Chang Sik dengan sayang.

Tae Shik menepuk bahu Tae Hee dan ikut berkomentar, “Baguslah kau pulang sekarang, Jika kau tidak pulang juga malam ini, Hyung akan mendatangimu di kantor polisi dan menyeretmu pulang,” ujar Tae Shik dengan tersenyum.

Tae Phil juga datang saat mendengar keributan dan ikut menyapa, “Kau sudah pulang?” tanyanya dengan nada lebih ramah kali ini dan tak ada lagi aura permusuhan. Guksu juga menyapa Paman ketiganya dengan membungkuk sopan.

Tae Hee menyapa keponakannya dan bertanya, “Guksu-yya, bagaimana kabarmu?” tanya Tae Hee sambil tersenyum.

“Tae Hee-yyaa...” sapa Park Bok Ja yang sedari hanya tersenyum melihat.


“Eomma, aku pulang,” sahut Tae Hee dengan tersenyum manis.
“Bagaimana bisa pemilihan waktumu begitu tepat? Nasi di rice cooker baru saja matang,” ujar Park Bok Ja dengan tersenyum sayang.
“Aromanya sangat lezat. Apa yang kau masak?” tanya Hwang Chang Sik.

“Apa lagi yang bisa membuat Ibu dan Tae Hee bangun dari tidur mereka? Tentu saja, sup udang,” sahut Park Bok Ja dengan riang.

“Sudah kutebak dari aromanya. Ibumu adalah cenayang, dia tahu kalau kau akan pulang, itu sebabnya dia memasaknya. Kau juga ingin makan itu, bukan?” tanya Hwang Chang Sik pada Tae Hee.

“Ya,” sahut Tae Hee sambil tersenyum manis.

“Jika kau tidak pulang hari ini, Ibu berencana akan ke kantor polisi dan berdemo di sana. Walaupun pekerjaanmu sangat penting, namun mereka tidak boleh mengeksploitasi putraku yang berharga seperti ini,” ujar Park Bok Ja dengan nada sayang seorang Ibu.

“Dia tidak terlihat seperti telah bekerja lembur. Wajahnya terlihat segar dan jenggotnya juga bersih,” ujar Tae Phil menggoda Tae Hee, membuat Tae Shik menyentuh dagu Tae Hee untuk membuktikan ucapan Tae Phil.


“Aku bercukur lebih dulu sebelum pulang dan menemui Nenek,” jawab Tae Hee dengan tersenyum manis, seraya memegang dagunya,

“Kalau begitu pergilah temui Nenekmu,” ujar Hwang Chang Sik.
Tae Hee mengangguk dan menjawab, "Baik.”

Tae Hee masuk ke dalam kamar Neneknya dan menyapa Neneknya dengan lembut, “Nenek, aku pulang. Apa Nenek sakit? Aku minta maaf, Nenek. Aku bersikap terlalu kasar dan kurang ajar padamu waktu itu,” ujar Tae Hee merasa bersalah. (Lihatlah betapa baik dan penurutnya Tae Hee ^^)


Nenek bangun dari tidurnya dan menatap cucu kesayangannya, “Apa yang kau bicarakan? Kesalahan apa yang telah kau lakukan? Jangan bicara seperti itu. Nenek memang melakukan hal yang salah yang membuatmu pantas membenci Nenek. Bagaimana seorang anak sangat ingin bertemu Ibunya tapi aku memutus semua kesempatan itu?” ujar Nenek tampak menyesal dengan air mata menetes pelan.


“Tidak, Nenek. Aku tak pernah membenci Nenek. Bagiku, Nenek adalah Nenek sekaligus seorang Ibu, jadi bagaimana bisa aku membenci Nenek? Aku bersikap seperti itu karena itu adalah Nenek. Karena itu adalah Nenek jadi aku berani bersikap kekanakan dan lancang seperti itu. Selain padamu, aku tidak berani melakukan itu pada yang lain,” sahut Tae Hee, berusaha menghibur Neneknya yang bersedih.


(Duh, Tae Hee baik banget sih jadi cucu dan anak. Berbakti banget gitu loh? Sebagai seorang pria, dia adalah pria yang setia dan cinta mati pada pasangannya, dan sebagai seorang anak, dia sangat berbakti pada keluarganya ^^)

“Apa kau sungguh-sungguh mengatakannya?” tanya Nenek dengan skeptis.

“Tentu saja, Nenek. Karena siapa aku bisa tumbuh dengan baik seperti ini? Siapa yang telah membuat Hwang Tae Hee menjadi seorang polisi hebat di Department Penyelidikan Kriminal? Aku bisa menjadi seperti ini karena dukunganmu, Nenek, seseorang yang paling menyayangiku di dunia ini. Nenek yang telah mendukungku selama ini,” sahut Tae Hee dengan lembut dan manis seraya menggenggam tangan Neneknya.


“Nenek, aku berjanji tidak akan melakukan itu lagi. Jadi jangan menyalahkan diri Nenek lagi,” lanjut Tae Hee dengan lembut dan pengertian.

“Tidak. Kau boleh melakukannya lagi, jika kau merasa kau ingin melakukannya. Ini adalah Nenek, jadi kau boleh melakukannya. Kepada siapa lagi kau bisa seperti itu? Jika kau merasa perlu melampiaskan rasa frustasimu, kesedihanmu, amarahmu, atau saat kau ingin bersikap kekanakan, kau boleh melakukannya sesuka hatimu. Tidak apa-apa. Kau bisa melakukannya, tapi Nenek masih belum bisa memaafkan ibu kandungmu,” ujar Nenek dengan lembut namun kalimat akhirnya tetap terdengar kejam.


(Lihat, kan? Betapa pendendamnya nih tua bangka! Tae Hee aja dengan besar hati memaafkan si tua bangka ini karena masih teringat hutang budi telah dibesarkan, tapi si tua bangka ini masih gak sadar juga dan tetep tidak mau memaafkan ibu kandung Tae Hee, walaupun ibu kandung Tae Hee sudah menjadi tanah. Buat apa sih dendam mulu, Nek? Sampai kapan mau dendam terus? Sampai loe mati juga? Neneknya nih aslinya Iblis bertampang Malaikat, kata-katanya diucapkan dengan nada lembut tapi sebenarnya kalimatnya terdengar menyakitkan. Untung Tae Hee anak yang baik dan sadar diri, tahu hutang budi, kalau gak, entah deh, uda dicekik deh si Nenek gak tahu diri >_< uda tua bangka, tapi gak mau tobat. Park Bok Ja aja uda tobat dari jauh-jauh hari >_<)


“Nenek minta maaf, tapi Nenek masih belum mampu memaafkannya. Tapi karena dia sudah meninggalkan dunia ini, Nenek akan mencoba memaafkannya pelan-pelan. Bagaimana pun juga dia adalah orang yang telah melahirkanmu ke dunia ini. Jadi Nenek akan mencobanya,” lanjut Nenek dengan menangis.


“Ya, Nenek.” Sahut Tae Hee dengan pengertian.
“Cari tahu di mana ibumu dimakamkan dan kita pergi bersama ke sana,” ujar Nenek lagi. Tae Hee mengangguk seraya menggenggam tangan Neneknya.

“Baiklah kalau begitu. Kau pasti banyak menderita, bukan?” tanya Nenek lagi seraya mengelus-elus pipi cucunya dengan sayang.


“Tidak. Bukankah sudah kukatakan kalau aku adalah polisi terbaik di Department Penyelidikan Kriminal?” ujar Tae Hee dengan bangga seraya tersenyum pada Neneknya.

(Tae Hee aslinya masih terluka, hanya saja dia sedang berpura-pura baik-baik saja dan mencoba menganggap semuanya baik-baik saja. Nanti Ja Eun yang bertugas menyembuhkan sepenuhnya luka di hati Tae Hee dan si tua bangka ini yang nantinya akan membukanya kembali dan melukainya lebih dalam lagi. Emang bangke nih si Nenek >_< Ja Eun susah-susah nyembuhin, tapi si Nenek yang meng-klaim paling menyayangi Tae Hee di dunia ini malah melukainya lebih dalam lagi >_< Terus saja playing victim pake umur T_T)


Tae Hee akhirnya mengubah topik pembicaraan, “Nenek, aku lapar. Ibu bilang dia membuat sup udang yang lezat,” ujar Tae Hee seperti anak kecil yang manja, membujuk Neneknya untuk makan.

“Baiklah. Kalau begitu kita harus secepatnya makan,” sahut Nenek dengan gembira dan beranjak berdiri dengan dibantu Tae Hee.

Seluruh keluarga tampak gembira saat melihat Nenek kembali sehat dan tidak mengurung diri lagi di kamarnya.

“Nenek kami akhirnya keluar dari kamarnya. Nenek tidak membutuhkan siapa pun selain Tae Hee Hyung,” ujar Tae Phil, lagi-lagi menggoda kakaknya. Akhirnya Tae Phil bersedia memanggil Tae Hee ‘kakak (hyung)’.

Hwang Chang Sik mengatakan apa yang dimasak oleh istrinya dan meminta ibunya untuk duduk dan menikmati makanannya. Mi Shook dan Ha Na juga ada di sana karena Park Bok Ja mengundang mereka untuk makan bersama sebagai salam perpisahan sebelum mereka semua pindah dari sana karena pertanian akan dijual.

Nenek memberi tanda pada mereka semua untuk mulai makan. Park Bok Ja mendorong makanannya ke arah Tae Hee dengan tersenyum manis dan memintanya untuk makan lebih banyak. Tae Hee tersenyum pada ibunya dan berterima kasih.


Park Bok Ja meminta maaf karena tiba-tiba saja harus menyuruh Mi Shook pindah karena rumah mereka telah dijual dan akan dijadikan taman hiburan untuk ke depannya, jadi Mi Shook selaku orang yang menyewa di lantai bawah juga ikut terkena gusuran. Mi Shook berkata tidak apa-apa, namun dia merasa sedih karena itu berarti dia harus mencarikan Ha Na sekolah baru karena jarak sekolah Ha Na dan rumah baru mereka kelak cukup jauh.


Tae Hee ikut berkomentar, “Hyung, bukankah Guksu juga seharusnya mulai sekolah? Apa kau tidak berencana mendaftarkannya sekolah?” tanya Tae Hee ingin tahu.

Tae Shik berkata dia akan memikirkannya setelah mencari sebuah rumah kontrakan untuk pindah. Karena untuk sekarang ini yang paling penting adalah mencari tempat tinggal lebih dulu.

“Hyung, kau akan benar-benar hidup terpisah dari kami?” tanya Tae Phil dengan skeptis.

“Aku harus melakukannya. Bukankah itu adalah perintah Ayah?” sahut Tae Shik seraya melirik ayahnya dengan tatapan kesal, menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak ingin hidup terpisah dari keluarganya.

“Apa kau sudah mencari rumah baru untuk tinggal?” tanya Hwang Chang Sik lagi.
“Ya,” sahut Tae Shik dengan nada malas.

Saat keluarga Hwang menikmati makan malam bersama, Ja Eun tampak kembali membujuk Kim Jae Ha agar bersedia membatalkan kontrak pembelian pertanian.


“Aku akan mengumpulkan uang dalam waktu 6 bulan dan pasti akan mengembalikannya padamu. Jika dalam waktu 6 bulan, aku tidak bisa mengembalikannya, maka saat itu aku akan menyerah,” ujar Ja Eun mengiba, dia tampak begitu putus asa.

“Apa yang akan kau lakukan untuk mendapatkan uang dalam waktu 6 bulan?” tanya Kim Jae Ha, ingin tahu rencana Ja Eun.

“Bok Ja Ahjumma sedang mengembangkan pakan bebek. Bila dia berhasil, kami bisa meningkatkan penjualan bebek dua kali lipat. Saat musim panas tiba, biasanya kami akan membuka pertanian untuk umum dan menarik bayaran untuk itu, jadi anak-anak sekolah yang ingin belajar tentang pertanian bisa datang dan melihat-lihat pertanian kami. Lalu akan ada musim panen juga, saat musim panen tiba, kami bisa menjual hasil kebun ke pasar seperti buah pir, cabe merah, terong dan hasil pertanian yang lain, pendapatan kami juga cukup lumayan saat musim panen tersebut. Lalu bukankah aku juga mendapat bayaran untuk karya animasiku yang akan difilmkan? Lalu aku juga bisa mengikuti lomba yang lain untuk mendapatkan hadiah,” ujar Ja Eun keras kepala namun matanya berbinar penuh harap.


“Apa kau memang selalu keras kepala seperti ini bila menginginkan sesuatu?” tanya Kim Jae Ha, dengan nada menyindir.
“Tidak,” sahut Ja Eun lirih.
“Lalu bagaimana kau bisa mengatakan sesuatu yang konyol seperti ini?” tanya Kim Jae Ha rag.

“Itu sebabnya aku ingin menjelaskan padamu alasanku kenapa aku tidak jadi menjual pertanian itu. Tolong dengarkan ceritaku lebih dulu. Kau mungkin akan sulit mengerti, tapi setidaknya beri aku waktu untuk menceritakan alasanku. Aku hanya minta sedikit waktu saja,” pinta Ja Eun memelas.

Akhirnya, melihat Ja Eun yang keras kepala, Kim Jae Ha memutuskan untuk memberikan waktu bagi gadis itu menceritakan alasannya. Mereka berdua tampak duduk di sofa dan Ja Eun menjadi satu-satunya orang yang bercerita saat itu. Kim Jae Ha hanya duduk dan mendengarkan.

“Sejak kecil aku hanya tumbuh berdua dengan ayahku, ayah adalah satu-satunya keluargaku. Seperti yang kuceritakan dalam sinopsis, ayahku mengalami kecelakaan dan menghilang hingga saat ini. Tak lama kemudian, aku menemukan sebuah kontrak yang menjelaskan tentang keberadaan pertanian itu,” ujar Ja Eun, memulai kisahnya.

“Dalam kisah yang kutuliskan, hanya dituliskan hingga bagian aku belajar tentang pertanian dan bagaimana akhirnya aku menjadi dekat dengan Bok Ja Ahjumma, tapi faktanya aku tidak kehilangan kontrak itu. Aku baru mengetahuinya belakangan ini kalau Bok Ja Ahjumma sebenarnya telah mencuri kontrakku. Dia juga menendangku keluar dari pertanian itu,” lanjut Ja Eun, menceritakan kembali kisah hidupnya yang menyakitkan.


“Aku bahkan tidak tahu tentang hal itu dan berusaha melakukan yang terbaik agar dia menyukaiku, aku bahkan mendirikan tenda di halaman dan mengikuti Ahjumma ke mana-mana agar bisa belajar tentang pertanian,” sambung Ja Eun, matanya mulai berkaca-kaca.

“Keluarga di pertanian itu adalah keluarga pertama yang kumiliki dalam hidupku. Bok Ja Ahjumma adalah orang pertama dalam hidupku yang bersikap seperti layaknya seorang ibu padaku. Untuk yang pertama kalinya, aku merasakan sisi positif memiliki banyak anggota keluarga yang ramai, bagaimana menyenangkannya itu,” ujar Ja Eun lagi dengan nada mengenang.

“Untuk yang pertama kalinya aku merasakan omelan ibu dan kehangatan tangan seorang Ibu. Saat aku pulang larut malam, aku merasakan bagaimana seorang Ibu yang begadang menungguku, bagaimana semua itu memenuhi hatiku. Untuk yang pertama kalinya aku merasakan masakan Ibu, lalu merasakan seluruh keluarga duduk bersama memutari meja makan, memulai hari dengan percakapan ramai dan kadang diselingi tawa semua orang, bagaimana menyenangkannya perasaan itu,” lanjut Ja Eun dengan setetes air jatuh dari matanya.


“Ketika suaraku terdengar lelah, seorang Ibu akan segera bertanya padaku dengan khawatir, “Apa terjadi sesuatu padamu?” Untuk beberapa saat, aku hidup dengan merasakan semua itu. Orang-orang yang beruntung memiliki semua itu takkan tahu rasanya. Itulah sebabnya walau sampai aku mati, aku bertekad tidak akan memaafkan mereka. Bagaimana bisa mereka melakukan semua itu (note : mencuri kontrak) lalu masih sanggup menatap mataku dan tersenyum?” Ja Eun berkata lirih dengan ekspresi terluka, untuk yang satu ini, dia masih sulit menerimanya.

“Tapi ketika kau menunjukkan padaku desain rancangan taman hiburan itu, semuanya dalam hatiku seketika berubah. Saat di mana aku melihat rancangan itu, hatiku merasa sakit. Tanah di mana terdapat pohon-pohon yang rindang, semuanya akan ditebang dan dihancurkan. Hanya memikirkan bagaimana sebuah taman hiburan akan dibangun di atasnya, membuatku merasa sangat sedih dan terluka,” lanjut Ja Eun tampak tak rela, air matanya turun semakin deras.

“Walau hanya beberapa bulan saja, aku sudah merasa seperti ini. Mendadak aku mengerti bagaimana perasaan Bok Ja Ahjumma yang sudah menjaga dan merawat tanah pertanian itu selama sepuluh tahun lamanya. Juga bagaimana perasaannya hingga akhirnya dia mencuri kontrakku, tiba-tiba saja aku memahaminya,” lanjut Ja Eun dengan air mata bercucuran.

“Bahkan walau aku mati, aku tidak ingin memahaminya, karena jika aku memahaminya maka aku pasti akan berujung memaafkan mereka semua. Bahkan walau aku mati, aku menolak untuk memahaminya, tapi akhirnya aku memahami semua ini sekarang. Aku sudah mengerti dan rasanya sulit untuk tetap membenci,” ujar Ja Eun dengan sedih.

(Ja Eun emang dasarnya gadis yang baik dan mudah memaafkan, dia bukan type orang yang menyimpan dendam, dia selalu ceria dan hangat. Sejak awal dia hanyalah Nona Besar yang kesepian, dia kurang kasih sayang karena Ibu tirinya gak ada yang tulus sayang sama dia dan ayahnya sibuk cari uang. Yang dia dapatkan hanya uang, uang dan uang. Jadi saat semua kekayaannya hilang dalam sekejap, wajar jika Ja Eun merasa panik dan ketakutan dan akhirnya jadi spoiled princess untuk sesaat, sebelum Hwang Tae Hee menyadarkannya ^^)

“Bahkan walaupun aku ingin membenci mereka hingga akhir, namun Ahjumma dan keluarga di pertanian itu sudah tersimpan jauh dalam lubuk hatiku. Aku merindukan memulai hari dengan makan pagi yang ramai dan aku sangat merindukan keluargaku jadi aku ingin berhenti membenci sekarang dan memaafkan mereka. Kumohon bantu aku, Kim PD-nim. Tolong bantu aku mengembalikan keluargaku,” pinta Ja Eun memelas, dengan air mata berlinang. Sementara Kim Jae Ha hanya menatapnya tanpa kata.

(Ja Eun hanya menginginkan satu hal sederhana yaitu keluarga. Jangan khawatir, Ja Eun-ah. Tae Hee bisa memberikanmu semua itu. Mereka semua akan jadi keluargamu kalau kau menikah dengannya. Jadi jangan tolak Tae Hee lagi, ya ^^ Kalian berdua saling membutuhkan, dia membutuhkanmu untuk menyembuhkan luka di hatinya dan kamu membutuhkannya agar mendapatkan keluarga yang kau inginkan. Win win solution : Just getting married each other. You love each other, don’t you? ^_^)

Keesokan harinya, Ja Eun terbangun seorang diri di penginapan kecilnya. Di depannya sudah ada makanan dan sebuah amplop berisi uang beserta sebuah surat yang semuanya diletakkan di atas nampan.


“Ja Eun-ah, aku berpikir akan sulit bagiku mengucapkan selamat tinggal dengan memandang wajahmu jadi aku memilih untuk mengucapkan selamat tinggal melalui sebuah surat. Selama ini telah terjadi banyak hal, namun aku bahkan tidak bisa mengatakannya padamu langsung betapa aku sangat menyesal. Aku terlalu lemah untuk tetap berada pada akal sehatku. Aku tidak akan berbohong kalau aku memang serakah dengan pertanian itu. Tapi setidaknya sekarang, aku tidak ingin lagi menjalani hidup dengan rasa malu ini lagi. Itu sebabnya aku putuskan untuk pergi. Aku juga meninggalkan uang yang kau berikan untukku waktu itu. Kau sudah membayar semua hutang-hutangku, itu sudah cukup untukku. Aku sangat berterima kasih dan juga ingin meminta maaf padamu. Ke depannya, National Goddess Baek Ja Eun, kau harus selalu bahagia. Jung Yeon Suk.” Itulah bunyi surat Jung Yeon Suk untuk Ja Eun.

Ja Eun membaca surat itu dengan berlinang air mata. Dia ditinggalkan lagi pada akhirnya. Tapi jangan khawatir, Ja Eun-ah. You have Hwang Family, you have Hwang Tae Hee ^_^

Merasa hatinya kacau setelah ditinggalkan sekali lagi, Ja Eun menghubungi kantornya dan meminta ijin untuk bekerja dari rumah untuk menenangkan pikirannya.


Di tempat latihan gym, Kim Jae Ha tampak berolahraga pagi sebelum memulai aktivitasnya namun dia teringat kalimat yang diucapkan Ja Eun semalam, “Untuk yang pertama kalinya aku merasakan masakan Ibu, lalu merasakan seluruh keluarga duduk bersama memutari meja makan, memulai hari dengan percakapan ramai dan kadang diselingi tawa semua orang, bagaimana menyenangkannya perasaan itu. Untuk yang pertama kalinya, aku merasakan sisi positif memiliki banyak anggota keluarga yang ramai. Untuk yang pertama kalinya aku merasakan omelan ibu dan kehangatan tangan seorang Ibu. Aku merindukan memulai hari dengan makan pagi yang ramai dan aku sangat merindukan keluargaku jadi aku ingin berhenti membenci sekarang dan memaafkan mereka. Kumohon bantu aku, Kim PD-nim. Tolong bantu aku mengembalikan keluargaku,” kenang Kim Jae Ha pada ucapan Ja Eun semalam.

Bahkan saat sampai di kantornya, Kim Jae Ha masih memikirkan ucapan itu. Dia mengambil foto sang ibu seraya teringat kembali ucapan Ja Eun yang terasa menyentuh hatinya.


“Keluarga di pertanian itu adalah keluarga pertama yang kumiliki dalam hidupku. Bok Ja Ahjumma adalah orang pertama dalam hidupku yang bersikap seperti layaknya seorang ibu padaku,” kenang Kim Jae Ha pada ucapan Ja Eun semalam.

Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dan seorang pria muda, asisten Kim Jae Ha masuk untuk memberikan padanya beberapa berkas untuk diperiksa.

“Oh Young Ah, bagaimana jika aku mengabulkan permintaan Baek Ja Eun?” tanya Kim Jae Ha, meminta pendapat asistennya.


“Tidak bisa. Anda tidak bisa melakukan itu, Wakil Presdir. Membeli Ojakgyo Farm adalah perintah langsung dari ayah Anda,” sahut si assisten.

“Bila Ibu mengetahui semua itu, apa Ibu akan menyukainya? Bila Ibu masih hidup, dia tidak akan mengijinkan hal seperti ini terjadi. Juga, jika saja aku tahu sejak awal, aku pasti akan menghentikan ayahku untuk membelinya,” ujar Kim Jae Ha mulai bimbang.

“Tapi Anda tetap tidak bisa melakukan itu. Anda tidak bisa terus menentang Presdir,” ujar si asisten mengingatkan Kim Jae Ha.

“Tapi aku tidak yakin dia mampu membayarnya dalam waktu 6 bulan, lalu kenapa tidak memberikannya kesempatan untuk mencoba? Aku sudah memutuskannya. Panggil Baek Ja Eun ke ruanganku sekarang,” ujar Kim Jae Ha, akhirnya membuat Keputusan.

“Baek Ja Eun-ssi menelpon beberapa saat yang lalu dan mengatakan kalau dia akan bekerja dari rumah karena sesuatu hal,” ujar si asisten menginformasikan.

“Benarkah? Tapi ponselnya tidak aktif sejak beberapa saat yang lalu. Baiklah. Kau boleh pergi,” ujar Kim Jae Ha lagi.

(Ja Eun nelponnya waktu kamu lagi di gym, Kim Jae Ha. Udah agak lama lah. Sekarang mungkin baterai ponselnya di charge)

Tak punya pilihan, Kim Jae Ha memutuskan untuk menanyakan alamat Baek Ja Eun melalui Seo Dong Min. Mengingat mereka saling kenal, ada kemungkinan Seo Dong Min tahu di mana Baek Ja Eun tinggal, bukan?

“Yoboseyo, Seo Yeongsa-nim (hallo, polisi Seo). Aku Kim Jae Ha dari Good Film. Bagaimana kabarmu?” sapa Kim Jae Ha di teleponnya.

“Kau bertanya apa aku mengetahui alamat Baek Ja Eun-ssi? Tidak. Aku tidak tahu. Apa terjadi sesuatu? Ah baiklah. Berkunjunglah lain kali,” ujar Seo Dong Min di teleponnya.

(Walau di EP 29, Seo Dong Min ikut menghajar para penagih hutang bersama Hwang Tae Hee, tapi sepertinya dia tidak mengetahui kalau lokasi tempat mereka menghajar para penagih hutang itu adalah di depan penginapan Ja Eun. Sepertinya Tae Hee tak pernah memberitahunya tentang hal itu. Iya juga sih, Tae Hee kalau gak ditanya kan cuma mingkem >_<)


Saat itu bersamaan dengan Tae Hee yang baru saja masuk, entah dari mana dia sebelumnya. Seo Dong Min segera meletakkan teleponnya yang telah terputus dan menoleh pada Tae Hee, dan menyampaikan informasi itu. 


Sepertinya Seo Dong Min sudah merasa kalau semua informasi mengenai Baek Ja Eun harus disampaikan pada Hwang Tae Hee.

“Hyung, Kim PD-nim menanyakan alamat Baek Ja Eun-ssi padaku,” ujar Seo Dong Min melaporkan.


Tae Hee tampak kaget mendengarnya dan seketika menjadi cemas, “Kenapa? Ada apa?” tanya Tae Hee lebih rinci.



“Dia tidak mengatakannya padaku. Aku bilang aku tidak tahu dan dia langsung menutup teleponnya begitu saja,” jawab Seo Dong Min menginformasikan.




Tae Hee yang terlihat cemas segera berjalan keluar dari ruangannya dan mengambil ponselnya, dia memencet nomor Ja Eun dan tampak ragu sesaat sebelum melakukan panggilan. Namun sayangnya ponsel Ja Eun tidak aktif dan itu membuat Tae Hee semakin gelisah.




(Tae Hee menyimpan kontak Ja Eun dengan nama “Ja Eun-ih” dan bukan Baek Ja Eun lagi. Di awal episode, nama yang tersimpan dalam kontak ponselnya adalah “Baek Ja Eun”. Berarti Tae Hee sudah menganggap Ja Eun sebagai orang terdekatnya karena dia menyimpan namanya bukan dengan nama formal/lengkap ^^ Sebagai contoh, Tae Hee menyimpan nomor Kim Jae Ha dengan nama “Kim Jae Ha” dan Kim Jae Ha pun menyimpan nomor Tae Hee dengan nama “Hwang Tae Hee”. Tahu kan bedanya?)


Tak punya pilihan dan karena dia cemas dengan keadaan gadis yang dia sukai, Tae Hee menelpon Kim Jae Ha untuk menanyakan kabar Ja Eun saat ini.

Kim Jae Ha yang saat itu duduk di kursinya dan mendengar suara dering ponselnya tampak tersenyum tipis saat melihat Hwang Tae Hee menelponnya, “Hwang Tae Hee akhirnya menelpon,” gumam Kim Jae Ha, berpikir bahwa Tae Hee menelponnya karena ingin bertanya mengenai sang ibu.

Namun dia salah, bagi Tae Hee, yang paling penting bagi dirinya saat ini adalah Baek Ja Eun, bukan yang lain. Apalagi dia sudah tahu mengenai tentang kondisi sang ibu dari ayahnya, Hwang Chang Sik waktu itu.



“Aku Hwang Tae Hee. Aku mendengar dari Seo Dong Min kalau kau mencari alamat Baek Ja Eun. Ada apa? Apa terjadi sesuatu padanya?” tanya Tae Hee dengan nada formal namun terdengar cemas saat menanyakan tentang Baek Ja Eun.


“Ah, jadi kau menelpon untuk itu? Tapi aku tidak akan memberitahumu,” ujar Kim Jae Ha lalu langsung menutup teleponnya dengan dingin.


Tae Hee tampak kesal saat Kim Jae Ha menutup teleponnya begitu saja, namun dia tidak bisa apa-apa selain hanya menelan semua kecemasannya dalam hati saja.


Kim Jae Ha lalu teringat saat Tae Hee dan Ja Eun tak sengaja bertemu di restoran malam itu dan reaksi Tae Hee saat melihat Ja Eun bersamanya tampak seperti sedang menahan amarah dan kecemburuan, sementara reaksi Ja Eun tampak seperti seorang gadis yang tertangkap basah sedang selingkuh.

Kim Jae Ha berdiri dari kursinya dan menatap ke luar jendela dan bergumam pada dirinya sendiri, “Apa mungkin mereka berdua memiliki hubungan khusus?” gumamnya dengan gaya menganalisa.

Asisten Kim Jae Ha kemudian menelponnya dan mengatakan bahwa Baek Ja Eun tak jadi ijin dan sudah berada di ruangannya, “Baek Ja Eun-ssi baru saja datang. Haruskah kusuruh dia naik dan menemui Anda sekarang?” tanya si asisten.

“Tidak perlu. Aku akan turun ke bawah untuk menemuinya,” sahut Kim Jae Ha di teleponnya.

Saat Kim Jae Ha masuk ke ruangan itu, Ja Eun tampak sedang asyik menggambar. Tanpa basa-basi, Kim Jae Ha segera bertanya, “Apa kau sungguh percaya diri bisa mengembalikan uang mukanya dalam waktu 6 bulan?” tanya Kim Jae Ha.

Ja Eun segera menoleh ke arahnya dan menjawab cepat, “Ya.” Sahutnya bersemangat, namun kemudian menambahkan, “Sejujurnya aku sama sekali tidak memiliki kepercayaan diri, namun aku pasti akan berusaha sebaik mungkin untuk mengumpulkan uangnya,” lanjut Ja Eun dengan ragu.


“Seperti yang kau katakan sebelumnya, aku membutuhkan jaminan. Lupakan soal denda dua kali lipat untuk pembatalan kontraknya, dalam 6 bulan, kau cukup kembalikan padaku uang mukanya saja. Aku akan menanggung denda pembatalan kontraknya. Tapi kau tidak boleh meminjam uang dari orang, atau menjadikan pertanianmu sebagai jaminan untuk meminjam uang pada bank. Seperti yang kau janjikan sebelumnya, aku ingin kau membayarnya dengan uang yang kau hasilkan sendiri,” ujar Kim Jae Ha, memberikan persyaratan. Repot kalau misalnya dikejar-kejar penagih hutang lagi, gali lubang tutup lubang namanya ^_^

“Baiklah. Aku mengerti. Aku hanya boleh membayarnya dari uang yang kuhasilkan sendiri juga yang kudapatkan dari pertanian, kan? Itu termasuk dengan royalty dan hak cipta serta hadiah uang dari kompetisi yang kumenangkan. Benar, kan?” tanya Ja Eun meyakinkan sekali lagi.

“Benar sekali,” sahut Kim Jae Ha.


Ja Eun segera berdiri dari kursinya dan membungkuk 90 derajat untuk berterima kasih, “Terima kasih banyak, Kim PD-nim.” ujar Ja Eun berterima kasih dengan tertawa gembira.

“Tapi aku punya syarat lain lagi. Kau harus mengabulkan tiga permintaanku,” tambah Kim Jae Ha lagi.
“Tiga permintaan? Apa saja itu?” ulang Ja Eun bingung.
“Yang pertama adalah pergi kencan denganku sebanyak 20 kali,” ujar Kim Jae Ha dengan entengnya.
“Kenapa? Kenapa denganku?” tanya Ja Eun tampak kaget mendengar persyaratan yang tidak masuk di telinganya.

“Karena aku tertarik padamu,” jawab Kim Jae Ha dengan santainya. Ja Eun menatap Kim Jae Ha dengan tatapan aneh, yang membuat Kim Jae Ha meneruskan kalimatnya, “Baiklah jika kau tidak bersedia maka lupakan saja,” tambah Kim Jae Ha, sok jual mahal.

“Tunggu! Tunggu! Kencan yang kau maksud hanya seperti jalan-jalan, nonton bioskop, minum kopi dan semacam itu, kan? Tak ada kontak fisik atau semacamnya, kan?” tanya Ja Eun memastikan.

(Gak lucu kalau misalnya Ja Eun yang notabene-nya suka Tae Hee tapi malah berciuman dengan pria lain, kan? Jadi Ja Eun harus menanyakannya lebih jelas sebelum dia terjebak dengan kesepakatan ini)

“Ya. Seperti itulah,” sahut Kim Jae He, mengkonfirmasi.
Ja Eun terlihat sedikit lega dan menjawab, “Baiklah.”

“Tapi hanya kita berdua yang boleh mengetahui hal ini. Ini harus dirahasiakan dari Bok Ja Ahjumma ataupun seluruh keluarga Hwang,” ujar Kim Jae Ha memperingatkan.

(Ya iyalah, kalau sampai Tae Hee tahu calon pacarnya diajak kencan sama pria lain, bisa dihajar Tae Hee sampai mati tuh Kim Jae Ha, lebih parah dari para penagih hutang yang berniat menculik Ja Eun di EP 29. Langsung tinggal nama si Kim Jae Ha. Tae Hee kalau menyangkut Ja Eun, kesabarannya setipis kertas tissue dibagi 2 ^^ Possesive boyfriend dia ^^)

“Baiklah, aku mengerti. Lalu apa yang kedua dan ketiga?” tanya Ja Eun lagi.
“Aku akan memberitahumu nanti,” sahut Kim Jae Ha yang mendapat reaksi tatapan aneh dari Baek Ja Eun.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Kim Jae Ha dengan curiga.
“Aku sedang berpikir persyaratan aneh apa lagi yang akan kau berikan nanti,” sahut Ja Eun sangsi.

“Ah, jadi kau pikir aku orang yang seperti itu? Sepertinya aku telah menjalani hidup yang salah,” ujar Kim Jae Ha, berpura-pura kecewa.

“Baiklah. Terima kasih,” sahut Ja Eun, tak ingin memperpanjang masalahnya.

“Aku seorang pengusaha dan aku tidak mau melakukan sesuatu yang membuatku rugi. Aku akan pergi memeriksa perkembangan pakan bebekmu setiap sebulan sekali dan memastikan pertanianmu berjalan dengan baik,” ujar Kim Jae Ha mengingatkan.

“Baiklah. Datanglah kapan pun kau inginkan,” sahut Ja Eun dengan santai.

“Kau tidak boleh mengabaikan pekerjaanmu di sini dengan alasan sibuk mengurus pertanian,” ujar Kim Jae Ha memberikan peringatan keras agar Ja Eun tidak mengabaikan pekerjaannya di Perusahaan.

“Ah, jadi kau pikir aku orang yang seperti itu? Sepertinya aku telah menjalani hidup yang salah,” sahut Ja Eun, mengembalikan kalimat itu pada Kim Jae Ha. Kim Jae Ha tersenyum pada Ja Eun saat melihat gadis itu tertawa riang.

Ja Eun segera pergi meninggalkan kantornya dan memanggil taksi untuk mengantarnya ke pertanian sekarang juga. Sepertinya jam kerjanya sudah selesai sekarang.


Ja Eun tiba di Ojakgyo Farm dengan hati yang riang dan meneriakkan “Aku sudah kembali” dengan penuh semangat, dia bahkan menari berputar-putar saking gembiranya. Kemudian dengan riang, dia berlari masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah, keluarga Hwang bersiap untuk pindah. Mereka sedang sibuk memindahkan barang-barang ke dalam kardus agar mudah dipindahkan. 



Tae Shik bersama Park Bok Ja sedang ada di dapur, Tae Phil membantu Nenek di kamarnya, sementara Tae Hee membantu Hwang Chang Sik di kamar sang ayah.


Saat itulah terdengar suara ceria Ja Eun memanggil semua orang, “Ahjussi, Halmoni, Ahjumma. Apakah ada orang di sini?”


Tae Hee terdiam membatu untuk sesaat, ekspresinya seolah bertanya-tanya, “Apa aku sedang berhalusinasi karena terlalu merindukan Ja Eun?”

Namun untunglah sang ayah bertanya padanya, “Bukankah itu suara Ja Eun?” tanya Hwang Chang Sik dengan bingung.


“Ya, benar.” Sahut Tae Hee, ekspresinya tampak bingung dan bertanya-tanya, namun terlihat kilatan kegembiraan di matanya.

Di ruang tamu, Ja Eun masih memanggil semua orang, “Apa tidak ada orang di rumah?” tanya Ja Eun sekali lagi.


Tak lama kemudian, semua orang mulai muncul dari berbagai sudut rumah dan mengelilinginya dengan bingung.

“Ja Eun-ah,” sapa Nenek dengan gembira.


Tae Hee tampak menatap Ja Eun dengan bingung namun ada tatapan kerinduan di sana. Sementara Park Bok Ja menatap Ja Eun dengan tatapan sayang seorang ibu yang terlihat gembira melihat “anak perempuannya” kembali pulang.

“Apa kalian semua baik-baik saja?” tanya Ja Eun dengan sopan, berbasa-basi sedikit dengan menanyakan kabar mereka. (Hancur lebur berantakan kalau kamu tanyakan itu pada Tae Hee, dia masih patah hati karena cintanya kamu tolak dua kali ^^)

“Benar. Kami senang kau datang,” sahut Nenek gembira.
“Ja Eun-ssi, apa kau hidup dengan baik?” tanya Tae Shik dengan ramah dan Ja Eun hanya tersenyum menanggapi.

“Rasanya senang melihatmu lagi. Kau baik-baik saja, kan? Wah, kau terlihat semakin cantik,” ujar Tae Phil dengan ramah dan ceria, memuji Ja Eun. Hanya Tae Hee yang tidak menyapanya tapi tatapannya mengandung seribu arti.


(Tae Hee kalau di depan keluarganya pura-pura cuek sama Ja Eun, tapi di belakang keluarga malah pacaran diam-diam ^^ Definisi “Air tenang menghanyutkan” nih si Tae Hee. Makanya gak ada yang nyangka kalau Tae Hee dan Ja Eun diam-diam pacaran, karena di depan keluarga besar, mereka jarang bertegur sapa, tapi di belakang malah mesra-mesraan xixixi ^^)

“Apa yang membawamu kemari?” tanya Hwang Chang Sik ingin tahu.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada kalian semua,” sahut Ja Eun.
“Benarkah? Kalau begitu duduklah. Ibu, kita duduk dulu,” ujar Park Bok Ja seraya memberi tanda pada Nenek agar menyuruh semua orang duduk.
“Benar. Ayo kita duduk dulu,” ujar Nenek seraya duduk lebih dulu dan baru diikuti yang lain.

Ja Eun melirik Tae Hee sekilas sebelum dia duduk di samping Park Bok Ja. Berbeda dengan Tae Hee yang sedari tadi sudah menatapnya lekat secara terang-terangan dengan tatapan kerinduan. Setelah Ja Eun duduk, Tae Hee pun ikut duduk di samping ayahnya.

“Kau bisa mulai bicara. Apa yang terjadi dengan kontraknya?” tanya Hwang Chang Sik, tahu kalau Ja Eun ke sana pasti karena kontrak itu.


“Itu sebabnya aku datang kemari. Aku sudah menyelesaikan masalah kontraknya. Kontrak itu akan ditangguhkan selama 6 bulan,” ujar Ja Eun, menjelaskan dengan perlahan agar semua orang mendengarkan.

“Apa maksudmu dengan ditangguhkan?” tanya Hwang Chang Sik tak mengerti.
“Aku sudah memutuskan untuk tidak menjual pertanian ini, jadi kalian tak perlu pindah. Tapi itu bukan berarti aku sudah memaafkan kalian semua. Aku hanya tidak ingin menjualnya. Jadi kalian tak perlu pindah,” ujar Ja Eun memperjelas kalimatnya.

Semua orang di rumah itu tampak terkejut dan kecuali Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Hee, keempat orang lainnya tampak gembira mendengar hal itu.


(Jangan salah, Tae Hee sejak awal dia tahu kalau pertanian itu bukan milik keluarganya, dia sudah ingin mengembalikan pertanian ini. Jadi walaupun sekarang dia menyukai Ja Eun, namun logikanya tetap berpikir bahwa Ja Eun lebih berhak atas pertanian ini dan bukan mereka, jadi mereka memang harus tetap pindah dari sana karena ini bukanlah rumah mereka ^^)

“Apa kau serius? Kau tidak akan menjual pertanian ini?” tanya Nenek tampak terkejut tapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

“Ya. Tapi aku bukan melakukan ini karena Nenek. Aku hanya tidak ingin menjualnya lagi,” jawab Ja Eun lirih. Nenek menatap Hwang Chang Sik penuh harap, Tae Phil tampak tersenyum gembira, begitu juga dengan Park Bok Ja yang tampak lega mendengarnya.

“Kami menghargai kebaikanmu. Tapi kau sungguh tidak perlu melakukan itu. Kami sudah menandatangani kontrak pembelian rumah baru jadi kami akan tetap pindah. Ja Eun-ah, istirahatlah dulu dan makan malamlah bersama kami sebelum kau pergi,” ujar Hwang Chang Sik langsung menolak tanpa berpikir lebih dulu, membuat Ja Eun terkejut. 
Tatapan Tae Hee terlihat seperti kasihan pada Ja Eun karena diabaikan seperti ini.


“Ayo semua orang berdiri. Kita harus selesaikan pekerjaan kita secepatnya,” lanjut Hwang Chang Sik pada anggota keluarganya yang lain.

Namun tak ada seorangpun yang ikut berdiri, mereka semua tampak enggan menuruti Hwang Chang Sik.  Sementara Ja Eun hanya mampu menatap Hwang Chang Sik dengan kecewa.


Blogger Opinion :
I loved Ja Eun talked with Kim Jae Ha, the reason why she does not want to sell the farm anymore, she finally understood Ahjumma’s heart & forgive them soon! Yeeyy! I want Tae Hee and Ja Eun to live under the same roof again so their love can be bloom ^_^ Tae Hee-yaa, it's time for you to get you girl. Go get your girl ^^

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (Kings)

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads