Senin, 05 Agustus 2024

Sinopsis EP 42 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight for today episode :
Tae Hee and Ja Eun were absurdly adorable this episode. I loved how easily and casually they talked about marriage (even though they were awkward and a bit bashful, which just made it better). 


Tae Hee said “Do you by any chance want to get married early? Because of you, I thought we should do it after 3 years, but if you are okay, then we should marry before the end of next year.” It’s the proposal ^^ I love how Tae Hee propose to Ja Eun. Then how happy they were in the restaurant after they agree to get married next year. Love the way the proposal was done, so like Tae Hee and Ja Eun’s characters to somewhat ‘agree’ of their marriage so unlike normal korean dramas. I love the way he smiles at her, so loving, so tender.


I feel like a marriage discussion have never been wrapped up so neatly in a drama before, and it was incredibly refreshing when Ja Eun agreed that she wanted to get married soon, rather than saying that she wants a career for 3 years first (which seems like the trend in K-dramas these days).


But I hate the last part. HATE THAT!!!!! When they’re mentioning marriage, I knew it won’t be easy. It’ll be too easy for a drama if the family accepts their marriage without any barrier. I knew it, but this is sad. Tae Hee and Ja Eun was sooo happy in this episode and everything was working well, they even thought in marrying next year. That’s why I was fearing something would happen to make their relationship apart, something that would make things hard for them.



I love when Tae Hee & Ja Eun together, they are so cute and happy, I also love the way they care about each other and share their feelings. Anyone can tell me this is the way to work of a true love, right? But the news at the end, made me sad because we can predict that something bad will happen between the two of them due to Tae Hee’s Dad’s accident. When they talk about marriage, future (so sweet) and about ”the end of next year”,
 oh no, when their relationship becomes more deeply, this bad situation begins. the more they love each other, the more they will be hurt.

------00000------

Episode 42:
Setelah saling berpelukan mesra melihat matahari terbenam dengan indahnya di ujung cakrawala, Tae Hee dan Ja Eun melanjutkan kencan mereka hingga malam. Sepasang kekasih itu duduk saling berdampingan menghadap ke arah laut lepas dengan secangkir kopi panas di tangan mereka. 


Di depan mereka juga tampak api unggun untuk membantu menghangatkan udara malam yang semakin dingin saat malam menjelang.


“Apa mungkin kau tahu, bahwa orang yang melahirkan aku sudah meninggal?” tanya Tae Hee pada Ja Eun, memecahkan keheningan malam itu. Dia menyeruput segelas kopi di tangannya kemudian menoleh ke arah kekasihnya untuk melihat reaksi gadis itu.


Ja Eun mengangguk mantap dengan ekspresi sedih. Tae Hee mengangguk mengerti dan berkata pelan, “Aku punya feeling kau sudah mengetahuinya, karena kau tak pernah lagi bertanya padaku. Dari mana kau mengetahui hal itu? Kim Jae Ha?” tanya Tae Hee seraya kembali menatap Ja Eun.

“Ya.” Sahut Ja Eun dengan ekspresi bersalah, walaupun dia tidak melakukan kesalahan apa pun pada Tae Hee.


“Aku juga mendengar sesuatu dari Kim Jae Ha mengenai orang itu, sesuatu yang tidak ingin aku tahu. Dia membuatku menyadari betapa buruknya wanita itu,” ujar Tae Hee seraya menghembuskan napas dengan berat.

Ja Eun menoleh padanya dan memberikannya tatapan simpati. Tae Hee menceritakan tentang ibu kandungnya namun dia bahkan tak mau menyebutnya “Ibu” melainkan “wanita itu”. Menunjukkan bahwa Tae Hee sangat terluka hingga bahkan dia tak mau memanggil wanita itu dengan sebutan “Ibu”.


“Wanita itu meninggalkan luka yang sangat dalam, tak hanya untukku namun juga untuk Kim Jae Ha. Bila memang dia berniat pergi dan melepaskan segalanya, maka seharusnya dia melupakan semua masa lalunya dan menjalani hidup dengan baik di sana. Wanita itu seharusnya berpura-pura seolah-olah anak yang dia tinggalkan tak pernah ada,” lanjut Tae Hee lagi, bercerita dengan tatapan sedih.


Suaranya terdengar sangat kesepian dan penuh kerinduan yang tertahan. Namun dia tetap berusaha tegar dan menahan air matanya. Untuk pertama kalinya, Tae Hee menceritakan isi hatinya pada orang lain dengan gamblang dari mulutnya sendiri.


Tae Hee sudah mulai membuka dirinya dan menjadi pihak yang lebih dulu bercerita (alias curhat). Ini adalah sebuah kemajuan besar bagi Tae Hee karena pada akhirnya dia memiliki seseorang yang dia percayai untuk berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersamanya. Selama ini, dia selalu menutup mulutnya rapat-rapat dan tak pernah menceritakan tentang isi hatinya pada siapa pun juga di keluarganya. Bahkan tidak kepada Nenek dan kedua orangtua angkatnya. Tae Hee selalu berpura-pura semuanya baik-baik saja walaupun hatinya terluka.


Namun kini Tae Hee sendiri yang bercerita soal ibu kandungnya dengan mulutnya sendiri kepada sang kekasih, menunjukkan pada kita bahwa Ja Eun telah menempati posisi yang sangat penting, bahkan paling penting dalam hati Tae Hee. Hanya di hadapan Ja Eun, Tae Hee bisa menjadi dirinya sendiri dengan leluasa. Hanya di hadapan Ja Eun, Tae Hee mampu menceritakan isi hatinya, kegundahannya, kegelisahannya dan masalah dalam hatinya. Hanya Ja Eun-lah, satu-satunya orang yang dapat Tae Hee percaya untuk berbagi kesedihan dan kegembiraan bersamanya. Hanya Ja Eun-lah pelipur lara dalam hatinya. Hanya Ja Eun yang dapat mengisi kekosongan dalam hatinya dan juga menyembuhkan luka dalam hatinya.


Bagi Tae Hee, Ja Eun tak hanya seorang pacar namun juga belahan jiwanya, cinta sejati dan satu-satunya orang yang sanggup mengisi kekosongan dalam hatinya. Ja Eun adalah nahkoda dalam hidupnya, penunjuk arah bagi jiwanya yang tersesat dan juga bintang harapan yang membuatnya mampu keluar dari dalam isolasi dan memberinya kepercayaan dan kebahagiaan sekali lagi.


“Kim Jae Ha mengatakannya padaku hari ini kalau setiap tahun pada hari ulang tahunku, wanita itu membelikanku sepasang sepatu baru dan menyimpannya diam-diam di dalam lemarinya. Beberapa hari sebelum dia pergi meninggalkan rumah dan meninggalkanku seorang diri, pada hari ulang tahunku yang keenam, dia berjanji padaku, kalau setiap aku berulang tahun, dia akan membelikan aku sepasang sepatu baru,” Tae Hee melanjutkan ceritanya dengan mata berkaca-kaca dan suara serak menahan tangis.


Ja Eun hanya terdiam mendengarkan dan menatapnya dengan iba dan mata berkaca-kaca, dia memilih untuk menjadi pendengar yang setia dan menunggu dengan sabar Tae Hee menceritakan segala keluh kesahnya. Ja Eun seolah mengerti kalau Tae Hee membutuhkan tempat untuk bersandar dan hanya dialah satu-satunya yang Tae Hee butuhkan saat ini.


“Apakah dia berpikir dia sudah menepati janjinya dengan melakukan semua itu (membeli sepatu dan menyimpannya dalam lemari)?” ujar Tae Hee dengan seulas senyuman tipis seolah meledek perbuatan sang ibu kandung yang tampak konyol di matanya. Toh Tae Hee-nya gak tahu, buat apa juga dibeli? Namun walaupun bibirnya tersenyum tipis namun tatapan matanya terlihat sedih.

“Bila dia pergi untuk mencari kebahagiaan, maka seharusnya dia hidup dengan bahagia. Dia seharusnya menjalani hidup dengan baik, dan tak perlu menyembunyikan rasa bersalahnya dalam lemari. Dia harus hidup dengan baik,” lanjut Tae Hee dengan mata berkaca-kaca. Ja Eun meneteskan air mata ketika mendengarkan cerita Tae Hee yang terdengar menyayat hatinya.


“Dengan begitu, aku bisa tetap membencinya seumur hidup dan menyalahkannya hingga akhir. Aku juga tak perlu memaafkannya sampai kapanpun. Pada saat-saat terakhir hidupnya, dengan seorang putra yang dia besarkan menjaganya di sampingnya, dia tidak seharusnya memanggil nama putra yang telah dia telantarkan. Bila dia akan melakukan itu, dia seharusnya tidak meninggalkan anak itu sejak awal,” ujar Tae Hee lagi, air mata mulai menetes di pipinya.


“Bila dia memang menyesali semuanya, sebelum dia meninggal, bukankah seharusnya dia datang mencariku walau hanya sekali saja dan mendengarkan semua yang ingin kukatakan padanya? Dasar wanita jahat! Dia seharusnya datang dan mencariku saat dia masih hidup. Setidaknya sekali saja,” lanjut Tae Hee dengan suara terisak di tengah air matanya yang mengalir deras.



Ja Eun juga ikut menangis bersamanya, dia kemudian merentangkan tangannya ke punggung Tae Hee dan menarik Tae Hee ke dalam pelukannya, menyandarkan kepala Tae Hee di bahunya dan menangis bersamanya. Air mata Tae Hee berderai semakin deras ketika Ja Eun menarik tubuhnya dan membuatnya bersandar di bahunya, Tae Hee seolah melepaskan semua kesedihannya dalam pelukan hangat kekasihnya. Hanya di hadapan Ja Eun, Tae Hee menunjukkan sisi lemahnya. ( Ja Eun be like : “Show me the tears you never shed” T_T)


Akhirnya Tae Hee memiliki tempat untuk bersandar, seseorang yang akan mendengarkan segala keluh kesahnya, rasa sakitnya, kesedihannya, kegundahan, kemarahan dan kegelisahan dalam hatinya, akhirnya Tae Hee tidak akan sendiri lagi melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Dia punya Ja Eun, seseorang yang akan selalu ada di sisinya dan menghiburnya saat dia sedang sedih dan lelah, serta menjadi sandarannya saat dia membutuhkan bahu untuk bersandar. Hanya kepada Ja Eun, Tae Hee menunjukkan sisi lemahnya.


(Cari di mana lagi wanita modelan Ja Eun? Nenek, cucumu sangat membutuhkan Ja Eun di sisinya untuk menghibur hatinya yang sedih dan gundah, tolong jangan pisahkan mereka, ya! Pikirkanlah kebahagiaan Tae Hee. Tae Hee baru saja keluar dari lembah kekelaman dengan bantuan Ja Eun, dia akan kembali hancur kalau penopang dan cahaya dalam hidupnya, bintang harapannya dipaksa pergi dari sisinya. Tae Hee loves Ja Eun so much dan he needs her so bad >_<)


Mereka berpelukan beberapa saat di pinggir pantai itu sebelum akhirnya Ja Eun membawa Tae Hee ke kantornya, di mana di sana, semua peninggalan sang ibu sudah diatur sedemikian rupa di atas meja Ja Eun, sepertinya dengan bantuan asisten Kim Jae Ha.


Tae Hee melihat ada banyak sekali sepatu dengan berbagai ukuran dan berbagai model dan warna diletakkan di atas meja kerja kekasihnya. Tak hanya sepatu, namun juga bingkai berisi foto masa kecil Tae Hee dan juga lembaran surat yang dituliskan oleh sang ibu.


(Foto anak-anak itu adalah fotonya Joo Won asli alias foto masa kecilnya Joo Won. Baby Joo Won are so cute, right? ^^)

Tae Hee menatap semua itu dengan perasaan rumit dalam hatinya. Tae Hee perlahan melangkah masuk untuk melihat lebih dekat peninggalan sang ibu. Untuk memberi Tae Hee privasi, Ja Eun memutuskan untuk meninggalkan Tae Hee sendiri dan menunggunya di depan ruangannya.


Setelah Ja Eun pergi, Tae Hee menatap sedih pakaian bayi dan juga fotonya saat dia masih bayi. Tae Hee kemudian meraih sebuah buku kusam yang terlihat seperti sebuah buku diary dan membuka serta membaca isinya.


Halaman pertama buku diary itu, tertempel hasil foto USG yang memperlihatkan bayi Tae Hee saat masih dalam kandungan. Tae Hee membaca tulisan yang tertulis di bawahnya.

“Aku melihat bayiku melalui foto USG hari ini. Aku sangat tersentuh. Ini pertama kalinya aku merasakan ada seorang bayi di dalam perutku,” bunyi tulisan di dalam buku diary itu.

Tae Hee kemudian membalik lagi halaman di buku diary itu dan melihat foto USG yang lain dan tulisan yang lain di bawah foto itu.


“Bayiku tumbuh dengan sehat. Aku pergi ke Rumah Sakit hari ini dan mereka berkata bahwa dia tumbuh dengan sehat dan normal. Terima kasih sudah tumbuh dengan baik, bayiku. Ibu menyayangimu,” bunyi tulisan di dalam buku diary itu.

Tae Hee kembali membalik halaman di buku diary itu dan banyak sekali foto masa kecilnya ditempelkan di sana. (Itu foto Joo Won asli saat masih kecil ^^)

Tatapan Tae Hee jatuh pada foto masa kecil seorang anak laki-laki yang mengenakan kostum berwarna merah dan berdiri di atas panggung, di bawah foto itu terdapat tulisan, “Tae Hee kecil berdiri di atas panggung bagaikan aktor cilik yang tampan.” Tae Hee membaca tulisan itu dengan mata berkaca-kaca.


Di bawah foto Tae Hee kecil berkostum merah itu terdapat foto Tae Hee kecil mengenakan topi putih dan seperti sedang memegang buku dan pensil warna. Di bawahnya terdapat tulisan, “Tae Hee-yaa, apa yang sedang kau lihat? Tapi tidak peduli apa pun itu, kau melukis dengan sangat indah.”

Tae Hee kemudian menutup buku diary itu karena merasa tak sanggup melihat lebih banyak lagi, hatinya terasa sangat sakit dan dia merasa tak mampu menahannya lagi.

(Tae Hee uda nyesek ceritanya tapi masih berusaha agar tidak menangis T_T Ja Eun-ah, cepat masuk napa! Tae Hee uda mau nangis lagi tuh. He needs you, Ja Eun-ah T.T)


Tae Hee kemudian menyentuh beberapa pasang sepatu hingga akhirnya dia mengambil sebuah kartu ucapan ulang tahun dan membaca isinya, “Selamat ulang tahun ke-12 untuk putraku, Tae Hee. Ibu mencintaimu dan minta maaf padamu.”


Tae Hee meletakkan kartu ucapan itu dengan napas yang tiba-tiba saja terasa sesak, dia tampak berusaha menahan air matanya agar tidak kembali menetes namun sepertinya sia-sia. Tae Hee kemudian mengambil kartu ucapan yang lain dan kembali membaca isinya.


“Tae Hee-ku sekarang sudah dewasa. Selamat ulang tahun yang ke-20 tahun untuk putraku. Ibu minta maaf. Ibu menyayangimu. Dari : Eomma.”

Setelah membaca kartu ucapan itu, Tae Hee tak sanggup lagi membendung air matanya. Dia meletakkan kembali kartu ucapan itu di atas tumpukan Sepatu dan menangis terisak.



(Joo Won kalau akting nangis gini keren banget. Aku sampai ikutan nangis setiap kali nonton adegan Joo Won nangis. Sayang banget dia kurang terkenal kalau dibandingkan dengan Lee Min Ho dan Cha Eun Woo yang cuma jual tampang dan gak bisa akting, datar banget akting mereka. Jauh banget kelasnya kalau dibandingkan dengan aktingnya Joo Won yang di atas rata-rata, padahal waktu memerankan karakter Hwang Tae Hee, dia masih sangat muda, masih 24 tahun dan ini adalah drama keduanya, sekaligus drama pertamanya sebagai pemeran utama. Drama Joo Won yang pertama, dia berperan sebagai antagonis bernama Goo Ma Jun dalam “Baker King, Kim Tak Goo (Bread, Love and Dreams)”. Baru pertama kali jadi Main Lead tapi aktingnya uda sekeren ini. Joo Won adalah aktor Korea yang kukagumi kemampuan aktingnya ^^)


Saat Tae Hee dan Ja Eun sedang menghabiskan waktu bersama, Park Bok Ja di Ojakgyo Farm tampak cemas dan khawatir memikirkan Ja Eun yang tak kunjung pulang dan tak bisa dihubungi padahal sudah lewat tengah malam. Park Bok Ja berjalan mondar-mandir dengan cemas dengan ponsel menempel di telinganya. Dia tampak bagaikan seorang Ibu yang cemas menunggu anak perempuannya yang tak kunjung pulang ke rumahnya.

“Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia tidak mengangkat teleponnya? Jika dia ingin pulang malam, dia seharusnya menelponku lebih dulu. Dia biasanya tidak seperti ini,” omel Park Bok Ja dengan cemas pada dirinya sendiri.

Saat itulah Tae Phil berjalan keluar dari dalam dapur seraya membawa segelas air di tangannya dan bertanya pada ibunya apakah ibunya menunggu Tae Hee pulang.
“Apakah Ibu menunggu Tae Hee Hyung?” tanya Tae Phil ingin tahu.

Tae Hee sudah terbiasa pulang malam, bahkan sering tidak pulang bila dalam misi pengintaian, jadi aneh rasanya saat melihat ibunya menunggu dengan cemas seperti itu.

“Tidak. Ibu menunggu Ja Eun,” sahut Park Bok Ja.
“Ja Eun? Ja Eun juga belum pulang ke rumah sampai saat ini?” tanya Tae Phil tampak terkejut.
“Juga? Memangnya siapa lagi yang belum pulang?” Park Bok Ja balik bertanya.

Tae Phil menjawab dengan gugup, takut salah bicara, “Tae-Tae Hee Hyung,” sahutnya dengan gugup.

“Tae Hee pulang malam karena sibuk bekerja,” sahut Park Bok Ja dengan santai. Tampak tak khawatir sedikit pun karena Tae Hee sudah terbiasa pulang malam dan bahkan tidak pulang selama berhari-hari. Park Bok Ja hanya khawatir pada Ja Eun.

“Apa yang terjadi sebenarnya? Ini sudah sangat malam. Kenapa mereka berdua belum pulang?” omel Park Bok Ja sangat khawatir. Park Bok Ja menyayangi Ja Eun seperti putri kandungnya sendiri, tentu saja dia khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu.

Mendengar jawaban sang Ibu, pikiran Tae Phil langsung travelling ke mana-mana. Dia mulai memikirkan yang bukan-bukan tentang Tae Hee dan Ja Eun.

Penasaran dengan keduanya, Tae Phil pergi ke kamar Tae Hee dan menelpon kakak ketiganya. Namun seperti telah diduga, ponsel Tae Hee juga tak diangkat.

“Aku yakin mereka sedang bersama-sama. Lihatlah! Hwang Tae Hee juga tidak menjawab teleponnya. Mereka tidak seharusnya sudah melakukan itu, sudah menghabiskan malam bersama,” omel Tae Phil berspekulasi yang tidak-tidak. Raut wajahnya terlihat cemas.


Tae Phil kemudian memutuskan sambungan teleponnya dan kembali menelpon Tae Hee sekali lagi, “Dia tidak mengangkat. Tidak mengangkat. Ini masalah besar. Pada titik ini, aku akan berakhir memiliki 3 keponakan dalam satu tahun. Ah, benar-benar! Apa yang terjadi pada kakakku? Hyung, cepat angkat teleponnya!” omel Tae Phil pada dirinya sendiri saat lagi-lagi Tae Hee tak mengangkat teleponnya.

Tae Phil berpikir bahwa Tae Hee akan seperti Tae Shik dan Tae Bum yang titip saham duluan dan nikah belakangan. Namun sayangnya Tae Hee masih punya moral dan memegang tinggi norma-norma kesopanan. Tae Hee beraninya cuma ngayal doang tapi gak berani menjadikannya kenyataannya hahaha ^_^

(Percayalah, Tae Phil. Kami penonton justru malah ngarep Tae Hee lepas kendali dan meniduri Ja Eun lebih dulu, percayalah kami ingin melihat adegan itu. Kami ingin melihat Tae Hee menghamili Ja Eun lebih dulu agar Nenek dan Ayah tidak bisa memisahkan mereka berdua karena Tae Hee sudah terlanjur menghamili jadi Tae Hee harus bertanggung jawab menikahi Ja Eun. Sayangnya itu tidak terjadi. Alih-alih bermesraan bikin anak, Tae Hee lagi nangisin emak kandungnya tuh sekarang >_< Baru kali ini aku ngarep pemeran utama pria jadi brengsek dan menghamili pacarnya duluan. Geregetan soalnya ciuman hanya dua kali, itupun cuma nempel dan gak ada adegan kokop-kokopan karena karakternya Tae Hee emang introvert yang malu-malu *sigh*)

Tak lama kemudian, mobil Tae Hee bergerak memasuki pekarangan Ojakgyo Farm. Akhirnya sepasang kekasih yang menghabiskan waktu seharian dari pagi hingga malam ini pulang ke rumah mereka.

Setelah mematikan mesin mobilnya dan bersiap turun, Tae Hee bertanya lebih dulu pada Ja Eun, “Apa kau sudah menelpon Ibu sebelumnya?” tanya Tae Hee pada kekasihnya. Berpikir bahwa saat dia sendirian di dalam ruangan, sambil menunggunya, Ja Eun akan menelpon Park Bok Ja.


Dia seolah sudah menebak kalau sang Ibu pasti menunggu Ja Eun pulang sekarang. Karena Tae Hee sendiri sudah terbiasa pulang malam dan bahkan tidak pulang, jadi tidak mungkin Park Bok Ja menunggunya. Namun beda dengan Ja Eun, Ja Eun adalah seorang gadis muda jadi wajar bila orangtua merasa cemas bila seorang gadis muda tidak pulang ke rumah hingga malam.

“Tidak. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya,” sahut Ja Eun dengan raut wajah bersalah.

“Ibu pasti sangat khawatir saat ini karena sekarang sudah lewat jam 2 malam. Ibu pasti menunggu di dalam,” ujar Tae Hee, ikut merasa bersalah.

(Kalau gak mau Ibumu khawatir ya jangan diajak kencan sampai subuh kale, Tae Hee. Uda gitu gak diapa-apain pula? Kan rugi! Lah! Wkwkwk ^^ Malah ngarep diapa-apain ckckck...Yang ngeres sebenarnya Tae Hee atau penonton sih? Bwahaha ^^)

“Pada jam seperti ini? Bukankah seharusnya dia sudah tidur?” ujar Ja Eun tampak tak yakin.


“Kurasa tidak. Ayo masuk,” ajak Tae Hee dengan entengnya. Dia sepertinya lupa kalau mereka sedang pacaran diam-diam tanpa sepengetahuan keluarga Hwang, kecuali Hwang Tae Phil.

Saat Tae Hee akan membuka pintu mobilnya, Ja Eun segera menghentikannya, “Bersama?” tanya Ja Eun dengan ekspresi tidak percaya.

(Bisa dibayangkan bagaimana reaksi Park Bok Ja saat melihat Tae Hee dan Ja Eun pulang bersama dini hari seperti ini. Dia pasti berpikir yang nggak-nggak seperti Tae Phil, berpikir kalau Tae Hee dan Ja Eun sudah tidur bersama dan menghabiskan malam bersama)

Tae Hee baru tersadar setelah mendengar pertanyaan Ja Eun, “Ah. Kalau begitu kau masuklah lebih dulu. Aku akan masuk sepuluh menit kemudian,” ujar Tae Hee akhirnya. Tae Hee akan menunggu di dalam mobil selama sepuluh menit sebelum masuk ke dalam rumah agar tidak mencurigakan.

Ja Eun mengangguk mengerti, namun saat akan pergi, Ja Eun menatap Tae Hee sesaat sebelum akhirnya mencium pipi Tae Hee dengan cepat.


“Hari ini adalah hari yang panjang untukmu. Selamat malam, Ahjussi.” Ujar Ja Eun dengan tersenyum malu-malu setelah mencium pipi Tae Hee.


Tae Hee yang tampak terkejut saat Ja Eun mencium pipinya, bertindak cepat dengan menahan tangan Ja Eun sebelum kekasihnya itu membuka pintu mobilnya.



“Walaupun hanya sesaat, namun di luar sangat dingin,” ujar Tae Hee dengan lembut dan penuh cinta seraya merapatkan syal di leher Ja Eun.


“Hari ini juga hari yang berat untukmu. Terima kasih,” lanjut Tae Hee dengan lembut seraya mencium kening Ja Eun dengan lembut dan penuh cinta.  



(Maksud Tae Hee adalah terima kasih karena telah mendengar semua keluh kesahku dan menjadi sandaranku untuk menangis. Tae Hee mengembalikan ciuman Ja Eun dengan segera. Pasangan satu ini memang selalu take and give dalam menjalin hubungan ^^ )


“Masuklah,” tambahnya lagi dengan tatapan penuh cinta.

“Ya,” sahut Ja Eun seraya membuka pintu mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. 


Tae Hee menatap kekasihnya masuk ke dalam rumah dengan senyuman bahagia di wajahnya. Akhirnya malam ini, dengan bantuan Ja Eun, dia bisa membebaskan diri dari masa lalu yang menyakitkan yang selama ini membelenggu hatinya. Dan yang paling penting adalah Tae Hee akhirnya bisa move on dan melepaskan dendam masa lalunya kepada ibu kandung yang telah meninggalkannya sejak kecil dengan bantuan Ja Eun ^^


Seperti dugaan Tae Hee, Park Bok Ja tampak menunggu Ja Eun di ruang tamu. Saat Ja Eun melangkah masuk ke dalam rumah, Ja Eun terkejut saat melihat lampu masih menyala dan Park Bok Ja duduk menunggunya di ruang tamu dengan tatapan marah.

“Ahjumma, Anda belum tidur?” tanya Ja Eun dengan raut wajah bersalah dan sedikit takut.

“Apa yang kau lakukan hingga baru pulang sekarang? Apa yang kau lakukan hingga baru pulang larut malam seperti ini? Kenapa kau pulang terlambat? Jawab aku!” seru Park Bok Ja marah, mengomeli Ja Eun karena merasa cemas memikirkan keselamatan gadis itu.

“Aku minta maaf,” sahut Ja Eun lirih dengan wajah ketakutan. Ini pertama kalinya dia dibentak karena pulang terlambat.

“Aku bertanya kenapa kau pulang terlambat dan kau hanya mengucapkan kata maaf?” omel Park Bok Ja marah.

(Tanya aja putra ketigamu sana! Tae Hee tuh yang ngajakin Ja Eun kencan sampe dini hari, untung gak kebobolan xixixi ^^ Padahal penonton ngarepnya Tae Hee jebol gawang, untungnya (atau sialnya) Tae Hee adalah pria baik-baik dan bukan cowok mokondo kayak kedua kakaknya. Kalau Tae Hee yang jebol gawang kayaknya penonton gak masalah dan malah seneng aslinya hahaha ^^)


“Seorang anak yang merasa bersalah harusnya tidak pulang larut malam seperti ini tanpa menelpon orangtua! Kau seharusnya menelpon dan mengatakan kenapa kau pulang larut malam seperti ini. Bila seorang gadis muda pulang larut malam seperti ini tanpa menelpon, apa kau tidak berpikir betapa khawatirnya orangtua? Kenapa kau pulang larut malam? Katakan padaku!” sentak Park Bok Ja marah.

“Aku pergi ke Pantai dengan teman,” sahut Ja Eun lirih, separuh kebenaran.

(Ke pantainya bener, tapi “teman”-nya yang salah. Tae Hee bukanlah teman biasa tapi uda naik pangkat jadi pacar Ja Eun sekarang hehehe ^^)

“Siapa? Teman yang mana? Aku tanya teman yang mana?” seru Park Bok Ja masih menginterogasi Ja Eun.

“Teman kuliah. Ah Ra dan Nam Sook,” sahut Ja Eun berbohong.

“Kalau begitu kenapa kau tidak menelpon dan memberitahuku soal itu? Atau setidaknya jawab teleponmu saat aku menelponmu. Apa kau tahu betapa aku sangat mengkhawatirkanmu? Jika kau ingin hidup seenaknya seperti ini, lebih baik kemasi barang-barangmu dan pergilah dari sini! Aku tidak perlu asisten untuk mengurus pertanian ini. Pergilah dan lakukan apa pun yang kau inginkan!” sentak Park Bok Ja kesal.

Park Bok Ja sangat cemas hingga merasa kesal. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Ja Eun atau lebih buruknya lagi Ja Eun diperkosa atau dilecehkan seorang pria tidak bertanggung jawab. Seorang gadis muda tidak pulang ke rumah hingga larut malam, pastilah orangtua akan berpikir hal buruk menimpa mereka.

(Tenang aja, emak! Ja Eun sedang bersama pacarnya yang polisi. Polisinya aja gak berani macem-macem apalagi orang lain. Don’t worry, Tae Hee is a nice guy ^^)


Ja Eun yang merasa bersalah sekaligus tersentuh dengan perhatian Park Bok Ja seketika meneteskan air mata dan meminta maaf dengan menyesal, “Maafkan aku. Aku bersalah. Aku tidak akan melakukannya lagi lain kali,” ujar Ja Eun dengan air mata menetes.

“Apa kau tidak tahu betapa menakutkannya dunia ini? Lihat jam berapa sekarang!” bentak Park Bok Ja sekali lagi, seperti ibu yang mengomeli putri kandungnya.

Ja Eun membungkukkan tubuhnya dan meminta maaf dengan tulus dan menyesal, “Maafkan aku,” ujarnya dengan terisak.

“Jangan menangis! Untuk apa kau menangis? Apa yang kau lakukan hingga pantas untuk menangis? Aku tidak ingin melihatmu sekarang jadi naik dan tidurlah!” omel Park Bok Ja lagi, menyuruh Ja Eun segera naik dan tidur karena sebenarnya dia tidak tega melihat Ja Eun menangis.

Ja Eun membungkuk sekali lagi dan segera naik ke kamarnya di lantai atas. Setelah Ja Eun naik, Park Bok Ja bertanya dengan cemas pada dirinya sendiri, “Apa dia sudah makan malam?” ujar Park Bok Ja, tampak menyesal karena sudah terlanjur menyuruh Ja Eun naik tanpa bertanya dulu apa gadis itu sudah makan atau belum.


Di dalam kamarnya, Ja Eun justru tersenyum bahagia karena akhirnya dia bisa merasakan diperhatikan dan dimarahi oleh seorang Ibu saat dia pulang malam. Karena selama ini, tidak ada yang peduli padanya apakah dia pulang malam atau bahkan tidak pulang sekalipun. Ja Eun tahu kalau Park Bok Ja memarahinya karena menyayanginya dan peduli padanya.

Keesokan harinya, sebagai tanda permintaan maafnya pada Park Bok Ja, Ja Eun datang dengan memakai syal merah yang dirajut sendiri oleh Park Bok Ja sebagai hadiah untuknya. Syal yang dulu pernah dia injak-injak saat dia masih marah karena masalah kontrak. Saat dia kembali ke pertanian, Park Bok Ja memberikan kembali syal itu untuknya dan kini Ja Eun sengaja memakainya untuk menyenangkan hati Park Bok Ja sekaligus tanda permintaan maafnya.

“Selamat pagi, Ahjumma.” Sapa Ja Eun dengan ceria dan senyuman hangat di wajahnya.

“Tuangkan supnya,” sahut Park Bok Ja, kemudian dia menoleh ke arah Ja Eun dan melihat Ja Eun mengenakan syal merah yang dia rajut untuk gadis itu sebagai hadiah beberapa saat yang lalu. Park Bok Ja tampak senang melihatnya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

“Kenapa kau memakai syal di dalam rumah?” tanya Park Bok Ja pura-pura cuek.


“Tenggorokanku sakit saat aku bangun tidur pagi ini. Bukankah warnanya cocok untukku? Ahjumma punya selera yang bagus,” sahut Ja Eun dengan ceria, memuji Park Bok Ja untuk menyenangkan hatinya.

“Aku senang kau mengetahuinya. Syal itu cocok untukmu,” sahut Park Bok Ja seraya membalikkan tubuhnya dan melanjutkan masaknya, namun dia tampak senang karena Ja Eun mengenakan syal pemberiannya.

“Benar. Syal ini sangat cantik. Dan juga, aku tidak akan pulang malam lagi tanpa menelpon Anda. Aku bersalah. Maafkan aku,” ujar Ja Eun dengan menyesal.

“Cepat tuangkan supnya,” ujar Park Bok Ja dengan lembut, tak ingin membahas masalah itu lagi karena dia sudah memaafkan Ja Eun. Park Bok Ja marah karena dia khawatir kalau sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu.

Saat Ja Eun akan menuangkan supnya, dia melihat Nenek yang berjalan ke arah meja makan dan menyapanya dengan riang.

“Selamat pagi, Nenek.” Sapa Ja Eun dengan suara yang keras hingga membuat Nenek hampir terjungkal karena kaget.

“Ya ampun, kau mengagetkan aku! Gadis nakal ini, kau hampir saja membunuhku!” omel Nenek menggerutu namun Ja Eun hanya tertawa polos melihatnya, Park Bok Ja pun hanya tertawa melihat sikap Ja Eun yang ceria. Dia sudah terbiasa melihatnya.


Saat sarapan dimulai, Tae Hee dan Ja Eun saling mencuri-curi pandang dan tersenyum pada satu sama lain, senyuman bahagia yang tak luput dari tatapan Tae Phil yang usil.



“Ja Eun-ah, kau pulang sangat larut kemarin malam,” ujar Tae Phil pada Ja Eun namun dia tampak melirik Tae Hee sekilas.

“Ya. Aku pulang larut malam karena pergi ke Pantai bersama teman,” sahut Ja Eun dengan was-was.


“Benarkah? Cobalah pulang lebih awal lain kali. Semua pria di luar sana adalah serigala,” ucap Tae Phil, menyindir Tae Hee yang duduk di sampingnya. Tae Hee yang merasa tersindir, segera melirik Tae Phil dengan kesal.

“Aku pergi dengan teman wanita,” sahut Ja Eun menyangkal, namun tentu saja Tae Phil tahu bahwa Ja Eun sedang berbohong. 


Tae Hee menatap pacarnya dengan was-was juga, takut Ja Eun terjebak oleh Tae Phil yang licik. Tatapan Tae Hee tak pernah lepas dari Ja Eun.

“Benarkah? Apakah aku mengatakan sesuatu? Bagaimanapun juga, kau harus tahu kalau semua pria adalah serigala...” ujar Tae Phil seraya memegang tangan kiri Tae Hee seolah-olah dia sedang berbicara tentang Tae Hee saat ini dan “serigala”-nya adalah Tae Hee.


“Kecuali Oppa yang ini,” lanjut Tae Phil seraya menuding dirinya sendiri. Tae Hee spontan melirik Tae Phil dengan tatapan kesal.

“Apa yang sebenarnya kau katakan?" tanya Nenek tak mengerti.

Tae Hee segera mengalihkan topik pembicaraan kalau semalam dia bicara dengan Tae Bum di telepon yang mengatakan kalau semuanya berjalan lancar sekarang. Tae Bum sudah berbaikan dengan istrinya dan orangtua Cha Soo Yeong juga tak marah lagi sekarang.

“Aku baru saja bicara dengan kakak kedua. Dia bilang kalau semuanya baik-baik saja, sepertinya dia sudah berbaikan dengan kakak ipar. Mertuanya juga tak marah lagi sekarang,” ujar Tae Hee, mengalihkan topik dengan cepat.

“Apakah itu benar?” tanya Hwang Chang Sik. Sepertinya pengalihan topik Tae Hee berhasil.
“Apakah kakakmu tidak hanya asal bicara saja untuk membuat kita tenang?” tanya Park Bok Ja tetap cemas.

“Kurasa tidak. Suaranya terdengar normal, jadi kalian tidak perlu khawatir lagi sekarang,” sahut Tae Hee.

Nenek berkomentar kalau sekarang mereka tidak perlu lagi mengunjungi besan dan dipermalukan lagi seperti sebelumnya.

Melihat Nenek kesal jika bicara tentang besan mereka, Park Bok Ja segera mengalihkan lagi topik pembicaraan untuk membuat Nenek senang.

“Oh iya, Ibu. Aku punya sesuatu yang akan membuatmu senang. Aku sudah menemukan kencan buta untuk Tae Hee,” ujar Park Bok Ja dengan tersenyum gembira. Ja Eun tampak terkejut mendengarnya.

“Kau sudah menemukannya? Wanita seperti apa dia?” tanya Nenek dengan penuh antusias.

“Dia adalah keponakan kepala desa yang tinggal di Seoul. Dia bekerja sebagai guru sekolah dasar,” sahut Park Bok Ja menjelaskan tentang gadis yang dipilihnya sebagai kencan buta Tae Hee.

“Keponakan kepala desa dan seorang guru SD?” ulang Nenek mengkonfirmasi.

Park Bok Ja mengeluarkan sebuah foto dari dalam kantongnya, “Ya. Dia berusia 26 tahun. Aku memiliki fotonya. Wajahnya sangat cantik dan feminim,” ujar Park Bok Ja seraya menyerahkan fotonya pada Nenek yang menerimanya dengan gembira.

“Oh, lihatlah. Dia sangat cantik dan elegan,” puji Nenek gembira.

Ja Eun segera menatap Tae Hee dengan galau sementara Tae Hee membalas tatapannya dengan cemberut seolah mengatakan, “Bukan aku yang minta, percayalah padaku! Aku tidak tahu apa-apa!”

“Tae Hee-yya, lihatlah! Ibumu menemukan pasangan yang tepat untukmu,” seru Nenek dengan tersenyum gembira, menyodorkan fotonya pada Tae Hee yang sama sekali tidak digubris oleh Tae Hee.

Ja Eun menatap Tae Hee dengan berharap-harap cemas, takut pacarnya akan mengambil foto itu lalu kemudian memilih gadis itu dan meninggalkannya.


Menyadari Ja Eun terus menatapnya dengan kesal, membuat Tae Hee merasa tak nyaman dan merasa bersalah.

“Apa yang kau lakukan? Cepat ambil dan lihatlah!” perintah Nenek, namun Tae Hee tetap diam di tempatnya, tampak tak peduli dan hanya mencuri-curi pandang pada Ja Eun.

“Lihatlah betapa cantiknya dia,” ujar Park Bok Ja, mencoba membujuk Tae Hee.

Ayah dan Hwang Tae Shik bergantian melihat foto itu dan memuji betapa cantiknya wanita itu. Tae Shik pun menyuruh Tae Hee untuk melihatnya. Tae Phil merebut foto itu dan ikut melihatnya karena penasaran.

Sementara Tae Hee, tak sekalipun melirik foto itu, dia tampak tak tertarik sama sekali.
“Halmoni, aku tidak ingin pergi kencan buta,” ujar Tae Hee, menolak perintah itu. Ja Eun tampak lega mendengarnya.

“Kau mulai lagi. Mulai lagi. Kenapa tidak ingin pergi kencan buta? Lihat berapa umurmu dan berapa umurku!” omel Nenek kesal.

Tae Hee menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mencari alasan, “Saat ini aku sangat sibuk. Aku berencana untuk menyelidiki kasus baru,” Tae Hee mengelak, mencari alasan untuk menolak.

“Apa kau akan selamanya menghabiskan hidupmu hanya dengan bekerja? Sebelum aku mati, aku bisa melupakan keinginan kau akan memberiku seorang cucu untuk kugendong, tapi setidaknya aku ingin melihat cucu menantuku,” gerutu Nenek kesal.

“Halmoni, aku masih 30 tahun,” elak Tae Hee. Pacarnya ada di sini, di hadapannya, bagaimana bisa dia berjanji untuk berkencan dengan wanita lain? Jika ada hal di dunia ini yang paling tidak ingin Tae Hee lakukan, itu adalah kehilangan Ja Eun untuk yang kedua kalinya.

“Kau akan segera berusia 31 tahun. Apa kau tidak mendengar kabar kalau Chong Chul akan menikah? Dia bahkan akan segera menjadi seorang ayah. Bahkan bila kau tidak ingin menikah, pergilah berkencan dengan seorang wanita,” gerutu Nenek panjang lebar.

“Benar. Pergilah kencan buta,” sahut Park Bok Ja, mencoba membujuk Tae Hee dengan kelembutan.

“Pergilah kencan buta. Apa kencan buta begitu sulit untuk dilakukan?” tanya Hwang Chang Sik, ikut membujuk Tae Hee untuk pergi menemui wanita itu.

“Pergilah, ya. Ya? Ya? Ya?” bujuk Nenek memohon, membuat Tae Hee kesulitan menjawab.

Tae Hee menghela napas berat dan menolak untuk kesekian kalinya, “Aku bahkan tidak berpikir untuk menjalin hubungan dengannya, jadi apa gunanya aku bertemu dengannya? Bukankah itu justru sangat tidak sopan? Nanti, Nenek. Aku akan pergi kencan buta saat waktunya sudah tepat,” elak Tae Hee, mencari berbagai alasan untuk menghindari kencan buta itu.

“Lalu kapan waktu yang tepat itu?” gerutu Nenek kesal.


Ja Eun tersenyum lega mendengar Tae Hee tetap bersikeras menolak dengan tegas walaupun Nenek bersikeras memaksanya. Semua orang menatap Tae Hee dengan pasrah, sudah tahu kalau Tae Hee pasti akan menolaknya karena ini bukan yang pertama kalinya Tae Hee menolak kencan buta. Hanya Ja Eun yang tampak tersenyum senang.

Karena gagal memaksa Tae Hee mengikuti kencan buta itu, Nenek akhirnya melampiaskan kekesalannya pada Park Bok Ja.

“Apa yang kau lakukan saat menyiapkan sarapan? Apa ini bisa dimakan?” omel Nenek, menjadikan Park Bok Ja sasaran kekesalannya. Park Bok Ja yang mengetahui itu hanya mampu terdiam pasrah.

Setelah sarapan bersama, Ja Eun menelpon Kim Jae Ha dari kamarnya. Di Rumah Sakit, Kim Jae Ha tampak Bersiap-siap akan pulang, “Aku akan meninggalkan Rumah Sakit sekarang, tapi aku harus istirahat di rumah sampai besok. Besok kita ada jadwal meeting dengan Sutradara Yang, bisakah kau pergi sendiri?” ujar Kim Jae Ha di ponselnya. Asisten Kim Jae Ha tampak membereskan barang-barangnya.

“Tentu saja. Aku bisa melakukannya sendiri. Anda istirahat saja baik-baik,” ujar Ja Eun dari seberang saluran.

“Terima kasih. Kalau begitu, bisakah kau datang dan mengambil bahan untuk meeting besok? Datanglah ke rumahku satu jam ke depan,” pinta Kim Jae Ha pada Ja Eun.

Satu jam kemudian, Ja Eun datang ke apartment Kim Jae Ha dengan membawa sekeranjang buah. Asisten Kim Jae Ha mengatakan kalau Kim Jae Ha sedang tidur sekarang.

“Apa dia sudah baikan sekarang?” tanya Ja Eun ingin tahu.
“Ya. Tapi untuk sementara waktu, dia tidak boleh bekerja terlalu keras,” sahut Asisten Kim Jae Ha.
“Ah, begitu,” sahut Ja Eun seraya menyerahkan keranjang buah itu pada Asisten Kim Jae Ha.

Ja Eun kemudian meminta bahan meeting yang harus dia ambil dan asisten itu segera memberikannya pada Ja Eun.

“Bisakah aku minta tolong satu hal padamu, Writer Baek? Aku harus pergi selama satu jam untuk mengurus sesuatu tapi aku tidak bisa meninggalkan pasien seorang diri. Selama satu jam ini, bisakah kau membantuku menjaganya sebentar? Kurasa dalam waktu satu jam ke depan, dia tidak akan bangun. Jadi kau hanya perlu duduk saja dan menunggu hingga aku kembali. Bisakah?” pinta Asisten Kim Jae Ha pada Ja Eun, membuat Ja Eun tak bisa menolak.

“Baiklah. Aku akan menunggu di sini hingga Anda kembali. Cepatlah pergi dan cepatlah kembali,” ujar Ja Eun dengan sopan.

“Terima kasih banyak. Aku akan segera kembali secepatnya,” ujar Asisten Kim Jae Ha sebelum pergi dari sana.

Setelah Asisten Kim Jae Ha pergi, Ja Eun memeriksa isi dapur Kim Jae Ha dan melihat hanya ada ramen dan beras instant di sana. Akhirnya dia pun memutuskan untuk membuatkan bubur untuk Kim Jae Ha.

Setelah membuatkan bubur untuk Kim Jae Ha, Ja Eun tiba-tiba merasa mengantuk dan tanpa sadar ketiduran di meja makan. 

(Ya iyalah ya, Ja Eun baru pulang ke rumah jam 2 dini hari setelah kencan seharian sama Tae Hee, ya gimana gak ngantuk coba?)


Saat Ja Eun tertidur, Kim Jae Ha tiba-tiba terbangun dan tersenyum melihat Ja Eun tertidur di meja makan. Dia melihat bahwa cahaya matahari bersinar ke arah gadis itu dan spontan berdiri menghalangi cahaya matahari itu agar tidak mengenai kepala Ja Eun agar Ja Eun bisa tidur dengan nyenyak.


Di kantor polisi, tampak Hwang Tae Hee yang baru saja datang dan segera mendapatkan panggilan telepon dari seseorang.

“Yoboseyo (Hallo). Ya, aku Hwang Tae Hee,” sahut Tae Hee di ponselnya.


“Aku Detective Ahn dari kantor polisi wilayah Barat. Kau ingin aku menghubungimu bila aku mendapatkan informasi tentang nomor telepon orang yang menangani kasus tabrak lari di Choon Dong Street, kan?” ujar seseorang dari Seberang saluran.

“Ah ya, nomor telepon dari Polisi Bong Man Hee. Apa sudah ditemukan?” tanya Tae Hee antusias.


Tae Hee segera melangkah ke mejanya dan merebut pulpen di tangan Seo Dong Min yang saat itu kebetulan sedang menulis sesuatu. Dong Min hanya menarik napas pasrah saat Tae Hee merebut pulpennya begitu saja.


“Ya, tolong katakan padaku. Hyeoja-Dong, Jongno-Gu, Seoul. Bong Man Hee Rice Soup restaurant. Ya. Terima kasih. Sampai jumpa,” sahut Tae Hee seraya menuliskan sebuah alamat di secarik kertas.


Dong Min yang sedari melihat Tae Hee segera bertanya padanya, “Ada masalah apa?” tanya Dong Min dengan bingung.

“Ayo kita pergi,” ajak Tae Hee pada Dong Min. Seo Dong Min ini memang rekan Tae Hee yang paling setia, bisa dibilang kayak sahabatnya Tae Hee. Ke mana pun Tae Hee pergi dan menyelidiki kasus apa pun, Tae Hee selalu ngajak Seo Dong Min ikut serta.

Di dalam mobil Tae Hee, di mana Seo Dong Min yang menyetir, Dong Min tampak mengutarakan keraguannya.

“Itu sudah terjadi dua puluh enam tahun yang lalu, apa menurutmu ada kemungkinan kita bisa menangkap pelakunya?” tanya Seo Dong Min tampak skeptis.

“Kemungkinannya memang sangat kecil tapi setidaknya kita bisa mencoba menemui petugas polisi yang menangani kasus itu lebih dulu,” sahut Tae Hee, tak ingin berharap banyak namun juga tetap berharap ada satu persen kemungkinannya.

“Tapi kenapa tiba-tiba kau ingin menyelidiki kecelakaan lalu lintas?” tanya Dong Min, ingin tahu alasannya.

“Karena korbannya adalah ayah kandungku,” sahut Tae Hee dengan jujur. Jawaban yang membuat Seo Dong Min tampak terkejut.

Di saat yang bersamaan, di ruangan Lee Khi Chul, dia juga tampak terkejut saat mengetahui bahwa Hwang Chang Woon adalah ayah kandung Tae Hee.

“Apa? Hwang Chang Woon adalah ayah kandung Inspektur Hwang? Jadi Hwang Chang Sik sebenarnya adalah pamannya?” seru Lee Khi Chul terkejut, pada seseorang dari seberang saluran.

“Aku tahu. Kututup dulu,” ujarnya kemudian.

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana bisa? Sekarang saat Hwang Tae Hee melepaskan kasus penyuapan rektor Universitas, kenapa dia malah menyelidiki kasus kecelakaan lalu lintas dua puluh enam tahun yang lalu?” gumam Lee Khi Chul pada dirinya sendiri, kemudian membanting semua berkas di mejanya dengan marah.

Lee Khi Chul kemudian mengambil ponselnya dan menelpon seseorang, “Ini aku. Bantu aku mencari tahu apakah Hwang Tae Hee pernah mendatangi kantor polisi wilayah Barat,” tanya Lee Khi Chul pada seseorang di seberang saluran.

Di saat yang bersamaan, Hwang Tae Hee dan Seo Dong Min tiba di depan sebuah restaurant yang sedang tutup. Tae Hee tampak kecewa saat melihat pintu restaurant itu tutup.

Dong Min mengetuk pintu restaurant itu berkali-kali namun tidak ada seorangpun yang menjawab ataupun membukakan pintunya. Sementara Tae Hee tampak menelpon seseorang.

“Apakah ada orang di sini?” tanya Seo Dong Min seraya mengetuk pintu, namun tak ada seorangpun yang menjawabnya.

“Tak ada seorangpun di tempat ini,” lapor Seo Dong Min pada Tae Hee.
“Apa kau tidak memiliki nomor teleponnya?” tanya Dong Min lagi.

“Dia tidak menjawab panggilanku. Kita tinggalkan saja nomor telepon kita lalu pergi dari sini,” ujar Tae Hee seraya menuliskan nomor teleponnya di secarik kertas lalu memasukkan ke dalam rumah melalui celah pintu.

Setelah pergi mencari Polisi Bong Man Hee, kini Tae Hee sedang bersama Ja Eun di sebuah toko buku. Toko bukunya sepertinya terletak di dalam Mall. Ini adalah kencan mereka yang keenam. 

(Pantes aja Tae Hee cuma ninggalin catatan terus pergi dari sana buru-buru, ternyata dia ada janji kencan sama Ayang Baek Ja Eun hahaha ^^)


Tae Hee dan Ja Eun tampak sibuk memilih buku sebagai hadiah untuk Guksu.
“Guksu bisa bicara Bahasa Korea dengan fasih, jadi kurasa tidak masalah bila kita membelikannya buku sesuai dengan usianya, kan?” Tae Hee bertanya pada Ja Eun, meminta pendapatnya.

Namun sepertinya fokus Ja Eun bukan pada buku untuk Guksu melainkan pada kencan buta Tae Hee yang masih membuatnya resah dan gelisah.


“Pagi ini setelah kau pergi bekerja, Nenek melampiaskan kekesalannya pada Ahjumma lagi,” ujar Ja Eun, memancing Tae Hee.

“Kenapa?” tanya Tae Hee bingung. Namun setelah Ja Eun menatapnya sambil cemberut, dia seketika teringat, “Ah, karena kencan buta itu? Apa Nenek kejam pada ibu?” tanya Tae Hee dengan ekspresi khawatir.


“Ahjussi, bagaimana jika kita mengungkapkan hubungan kita pada mereka? Demi Ahjumma karena Nenek selalu melampiaskan kekesalannya pada Ahjumma,” ujar Ja Eun, dengan nada meminta.


Tae Hee hanya menatapnya dengan rumit sebelum kemudian berkata, “Kita tidak bisa melakukannya,” sahut Tae Hee singkat.

“Kenapa?” Ja Eun balik bertanya, ingin mendengar alasannya.

“Karena jika kita mengungkapkan hubungan kita, Nenek akan meminta kita untuk menikah. Kita tidak bisa mengungkapkannya,” sahut Tae Hee seraya menggeleng pelan.

Ja Eun terdiam mendengar jawaban itu, namun dia tampak tidak puas dengan jawaban Tae Hee dan wajahnya masih terlihat kesal.

Tapi Tae Hee sepertinya tidak menyadari kekesalan di wajah kekasihnya, dia justru mengambil sebuah buku dan menunjukkannya pada Ja Eun dengan wajah polos tanpa dosa, “Bagaimana dengan ini? Saat masih kecil aku suka sekali membaca buku ini?” tanya Tae Hee, menunjukkan sebuah buku pada Ja Eun dengan senyuman polos di wajahnya. (Bikin geregetan gak sih? Peka dikit dong, Pak Polisi >_<)


Karena kesal, Ja Eun mengabaikan Tae Hee. Merasa diabaikan, Tae Hee bertanya sekali lagi, “Bagaimana menurutmu dengan buku ini?” tanya Tae Hee dengan senyuman tanpa dosa. 

(Beneran pengen ditimpuk buku nih babang polisi satu. Hadeh >_< Harus panjang sabar sama cowok gak peka kayak Tae Hee. Eerrrggghh >_<)

“Aku tidak tahu. Kau yang lebih familiar dengan buku, jadi pilihlah sendiri sesuai keinginanmu. Aku akan pergi ke bagian seni,” sahut Ja Eun yang kesal dengan dingin dan datar.


“Baiklah. Cepatlah pergi dan cepatlah kembali ya,” sahut Tae Hee, masih dengan senyuman polos di wajahnya dan dia bahkan melambaikan tangannya dengan gembira. Wajah Tae Hee yang tersenyum tanpa dosa beneran pengen ditimpuk buku.


Ja Eun segera melangkah pergi, namun di tengah jalan, dia kembali berbalik untuk melihat reaksi Tae Hee. Ja Eun tampak kesal saat melihat Tae Hee yang bersikap baik-baik saja seolah tidak ada sesuatu yang salah.


Kesal, Ja Eun akhirnya kembali dan langsung menabrak sang pacar yang sama sekali tidak peka, “Kalau begitu apa kau tidak mau menikah denganku? Apa kau tak mau menikahiku?” seru Ja Eun dengan kesal,
  bertanya dengan blak-blakan tanpa rasa malu, sementara Tae Hee tampak kaget melihat kekasihnya tiba-tiba marah.


(Sifat Ja Eun yang terus terang dan blak-blakan akhirnya muncul lagi ya hahaha ^^ Karena uda dikode pun, si Tae Hee gak paham, jadi langsung disemprot aja deh biar paham. Susah emang sama pacar yang lemot kalau soal perasaan >_<)

Tae Hee sedikit tersentak kaget melihat Ja Eun yang tiba-tiba saja kembali dan menyerangnya dengan pertanyaan yang terdengar menyudutkan.


“Bukan seperti itu. Tentu saja aku ingin menikah denganmu,” sahut Tae Hee lirih, tampak masih shock karena Ja Eun tiba-tiba bertanya soal pernikahan.

(Tapi memang sih ya, Introvert kayak Tae Hee memang sangat cocok dengan Extrovert kayak Ja Eun, jadi kalau yang cowok diem dan gak peka kayak gini, ceweknya bisa langsung gerak mancing atau langsung semprot sekalian. Karena kalau sama-sama diem, ya kapan majunya, kan? Bisa-bisa malah ‘krik krik’ kayak kuburan kalau sama-sama diem. Uda bener kayak Tae Hee-Ja Eun, pasangan yang saling melengkapi ^^ Mereka seperti Yin dan Yang ^^)

“Lalu, tentang Nenek yang akan meminta kita menikah dan kau bilang tidak bisa, apa maksudnya itu?” tanya Ja Eun, menuntut penjelasan lengkap.


“Itu karenamu. Karena kau masih terlalu muda,” sahut Tae Hee, terdengar masuk akal.

(Ternyata alasan Tae Hee tidak ingin mengungkapkan hubungan mereka dan memilih pacaran diam-diam karena takut Ja Eun belum siap untuk menikah mengingat usianya yang masih terlalu muda. Tae Hee tahu begitu mereka mengungkapkan hubungan mereka, Nenek pasti akan meminta mereka menikah secepatnya. Itu sebabnya Tae Hee memilih diam, dia takut kalau Nenek memaksa Ja Eun untuk menikah sekarang, Ja Eun akan merasa terbebani dan ujung-ujungnya gadis itu akan meminta putus darinya karena tidak ingin dipaksa menikah di usia muda. Apalagi Tae Hee tahu kalau Ja Eun adalah wanita mandiri dan independent. Itu sebabnya Tae Hee berkata, “Tidak Bisa. Karena Nenek akan meminta kita untuk menikah.” Kelanjutan dari kalimatnya adalah “Aku takut kau belum siap untuk menikah karena masih terlalu muda.” So sweet Tae Hee ^^ Dia rela menunggu hingga pacarnya siap secara mental ^^)


Ja Eun tampak menyukai jawaban itu dan dia bisa menerimanya kali ini. Jawaban Tae Hee kali ini terdengar masuk akal di telinganya. Setelah mendengar jawaban Tae Hee, Ja Eun segera mengambil salah satu buku dan berpura-pura membacanya.


Tae Hee tampak terdiam sesaat lalu kemudian bertanya dengan wajah bingung, “Apa kau baru saja melamarku?” tanya Tae Hee dengan wajah polos tanpa dosa. Skakmat. Pertanyaan yang membuat Ja Eun merasa malu karena terkesan seperti dirinya yang ngebet pengen dinikahi Tae Hee hahaha ^^


“Tidak. Bukan seperti itu. Aku hanya bertanya. Yah, hanya bertanya,” sahut Ja Eun dengan tersenyum canggung. Dia tampak gugup dan salah tingkah mendengar pertanyaan Tae Hee yang terkesan menyudutkannya.


“Buku ini sepertinya cocok untuk Guksu. Ini akan memperkaya imajinasinya. Ilustrasinya juga sangat bagus,” ujar Ja Eun, mengalihkan pembicaraan dengan canggung. 

Tae Hee yang awalnya bingung, lama-lama tersenyum gemas melihat kekasihnya yang tampak gugup dan salah tingkah.



Tae Hee menatapnya dengan penuh cinta dengan senyuman bahagia di wajahnya, sebelum mengajak kekasihnya ke tempat lain untuk bicara, “Apa sebaiknya kita pergi makan sesuatu?” ajak Tae Hee dengan lembut seraya menatap kekasihnya dengan tatapan penuh cinta dan senyuman merekah di bibirnya.


(Tae Hee tersenyum bahagia karena dia akhirnya mengetahui kalau Ja Eun sebenarnya juga menginginkan pernikahan, jadi kekhawatirannya tentang Ja Eun terlalu muda dan tak siap untuk menikah ternyata tidak benar. Kalau mereka berdua sama-sama menginginkan pernikahan, kenapa tidak segera dibicarakan saja? Itu yang Tae Hee pikirkan saat ini. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh gadis yang dia cintai jadi dengan begitu, dia bisa segera membuat keputusan : tetap merahasiakan hubungan mereka karena Ja Eun belum siap jika Nenek meminta mereka menikah atau mengungkapkan hubungan mereka secara terang-terangan lalu memutuskan tanggal pernikahan karena mereka berdua sudah sama-sama siap. Intinya adalah Keputusan Tae Hee tergantung pada keinginan Ja Eun. So sweet boyfriend ^^)


Tae Hee akhirnya mengajak Ja Eun makan siang di sebuah restaurant, tentu saja restaurant ini Ja Eun yang memilihnya. Tae Hee hanya mengikuti keinginan kekasihnya, terlihat dari pertanyaan yang diajukan Ja Eun pada Tae Hee saat ini. Ini adalah kencan ketujuh mereka.



“Apa kau tidak suka bubur manis?” tanya Ja Eun saat menyadari bahwa kekasihnya hanya menatapnya penuh cinta tanpa berkedip.

“Ya. Sebenarnya, aku tidak menyukai makanan manis,” sahut Tae Hee lirih.

“Kalau begitu, kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal?” ujar Ja Eun dengan raut wajah bersalah.

“Tidak apa-apa. Yang penting kau menyukainya,” sahut Tae Hee dengan lembut, membuat Ja Eun tersenyum senang mendengarnya dan kembali menyantap semangkok bubur di hadapannya.


(Nah, kan? Prinsipnya Tae Hee adalah : I’d go anywhere for you, anywhere you asked me too. I’d do anything for you, anything you wanted me too. Baby, I’d go anywhere for you…” Tae Hee ini type cowok yang kalau uda jatuh cinta, uda bucin mampus, maka dia akan pergi ke mana pun dan melakukan apa pun yang pacarnya inginkan. Ja Eun ingin makan apa, dia juga akan makan. Ja Eun ingin pergi ke mana, dia akan setia menemaninya. Tanpa memprotes, tanpa berkomentar apa pun. Mengindikasikan jika setiap kencan mereka, pasti Ja Eun yang akan memilih tempatnya, Ja Eun yang memegang kendali dalam hubungan mereka. Seperti yang pernah Tae Phil katakan, “Ja Eun memulai hubungan ini dengan menarik Tae Hee sepenuhnya ke arahnya” dan Tae Hee membiarkan dirinya ikut tertarik ke arah Ja Eun dan membiarkan kekasihnya memegang kendali sepenuhnya atas hubungan mereka. Seperti sekarang ini, Ja Eun ingin makan manis, Tae Hee ikut. Ja Eun ingin menikah secepatnya, Oke, mereka akan menikah secepatnya. So sweet banget bucin versi babang polisi. Pengen satu cowok kayak Tae Hee ^^)

Setelah lama menimbang, Tae Hee akhirnya menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran, sesuatu yang berkaitan dengan kelanjutan hubungan mereka.


Dia menatap Ja Eun dengan gelisah sebelum bertanya dengan sedikit cemas, “Apa mungkin, kau ingin menikah muda? Tentu saja, aku juga hanya bertanya,” tanya Tae Hee pada Ja Eun dengan canggung dan tersenyum malu-malu. Indirect proposal alias lamaran tidak langsung ^^


(Dengan kata lain, lamaran terselubung. Melamar dengan kedok “bertanya” padahal aslinya ngajakin nikah. So sweet banget sih, Tae Hee ^^)

Ja Eun yang sedang makan seketika mengangkat kepalanya dan menatap Tae Hee dengan tatapan sendu, “Ya. Saat aku masih kecil, aku ingin melakukannya,” sahut Ja Eun dengan jujur.


Tae Hee menatapnya dengan lembut seolah berkata, “Teruskan ceritamu. Aku ingin mendengarnya lebih banyak lagi,” dan seolah mengerti arti tatapan Tae Hee, Ja Eun kembali melanjutkan kalimatnya.

“Saat aku masih kecil, aku hanya hidup berdua dengan ayahku, hanya kami berdua. Jadi aku selalu berpikir ingin menikah muda dan secepatnya membangun keluarga kecilku sendiri. Aku selalu iri dengan keluarga yang terdiri dari banyak anggota keluarga seperti Ojakgyo Farm,” sahut Ja Eun dengan pandangan menerawang, mengenang masa kecilnya yang tidak mudah, namun senyuman masih tersemat di bibirnya.


Tae Hee menundukkan kepalanya, dia merasa sedih mendengar kisah masa kecil kekasihnya yang bisa dibilang sangat tidak mudah. Untuk yang pertama kalinya dia merasa beruntung karena dikelilingi oleh keluarga besar yang menyayanginya, walaupun tumbuh tanpa kasih sayang orangtua kandungnya.

“Apakah ibumu meninggal saat kau masih kecil?” tanya Tae Hee ingin tahu kehidupan masa kecil kekasihnya.

“Ya. Ibu meninggal sebelum usiaku 2 tahun jadi aku tidak punya banyak kenangan tentangnya,” sahut Ja Eun dengan tatapan sedih.


Tae Hee tampak menatapnya dengan iba, namun Ja Eun yang mengerti arti tatapan kekasihnya dan tidak ingin dikasihani segera menambahkan dengan cepat, “Tidak apa-apa. Karena aku tidak punya kenangan tentangnya, jadi aku juga tidak merindukannya. Hanya memang sesekali, aku pernah merasa tidak nyaman dan mengalami saat-saat yang sulit. Ada saat-saat tertentu di mana seorang anak perempuan lebih membutuhkan ibunya daripada ayahnya,” tambah Ja Eun dengan memasang ekspresi tegar di wajahnya.


(Saat-saat itu adalah ketika seorang anak perempuan beranjak remaja, mereka pasti akan mengalami perubahan hormon dan fisik. Seorang anak perempuan yang tidak memiliki ibu pasti akan panik dan ketakutan ketika mengalami menstruasi pertama mereka. Mereka pasti akan panik dan ketakutan saat melihat darah keluar dari alat kemaluan mereka, tapi mereka tidak mungkin menanyakan hal itu pada ayah mereka karena hal itu sangat memalukan. Atau saat seorang anak perempuan mengalami perubahan fisik seperti dadanya yang mulai membesar dan tidak tahu bagaimana menutupinya, mereka juga tidak mungkin menanyakan hal itu pada ayah mereka yang seorang pria. Jadi pada akhirnya, anak perempuan tersebut terpaksa mencari tahu sendiri dengan berbagai cara, seperti bertanya pada guru dll. Itu maksud Ja Eun dengan saat-saat sulit di mana seorang anak perempuan lebih membutuhkan ibu mereka)


“Apa kau juga tidak memiliki kakek atau nenek?” tanya Tae Hee lagi dengan tatapan sedih. 

Tae Hee merasa kekasihnya ini jauh lebih menyedihkan daripada dirinya walau tumbuh dalam gelimang harta, Tae Hee setidaknya masih memiliki Nenek dan keluarga Paman (ayah angkatnya) yang sangat menyayangi dan selalu ada untuknya, tapi Ja Eun hanya seorang diri dengan sang ayah.

“Ya. Saat pembantu rumah tangga kami pulang sekitar jam 3 sore, hingga ayah pulang kantor di malam hari, aku selalu seorang diri. Tapi karena ada banyak malam di mana ayahku selalu pulang malam karena menghadiri meeting, ada banyak malam pula yang kuhabiskan seorang diri,” sahut Ja Eun dengan ekspresi sedih.


“Itulah sebabnya, kukatakan padamu sejujurnya, kemarin malam saat kita pulang terlambat dan Ahjumma memarahiku karena aku pulang terlambat tanpa menelponnya, aku justru merasa sangat bahagia. Rasanya seperti aku sedang dimarahi oleh ibu kandungku sendiri saat aku berbuat nakal. Sejak aku masih kecil, aku selalu bermimpi ada seorang ibu yang memarahiku hingga aku menangis keras. Aku seperti seorang masokis, benarkan?” Ja Eun bercerita dengan senyuman tipis di bibirnya namun tatapannya terlihat sedih.


“Itulah sebabnya saat aku masih kecil aku selalu berpikir, jika aku dewasa nanti, aku ingin menikah secepatnya. Aku ingin memiliki banyak anak, lalu memenuhi rumah dengan aroma masakan. Di hari minggu, seluruh keluarga akan pergi ke pemandian umum bersama. Saat malam selalu membiarkan lampu menyala jadi tidak peduli walau pulang selarut apa pun, perjalanan pulang tidak akan terasa kesepian,” ujar Ja Eun, masih bercerita mengenai Impian terbesar dalam hidupnya. Sementara Tae Hee hanya terdiam mendengarkan kekasihnya bercerita seraya menatapnya penuh cinta.


“Saat hari hujan, akan memasak mie bersama dan seluruh keluarga akan makan bersama-sama dengan gembira. Saat musim dingin, akan membuat boneka salju bersama. Tinggal bersama ayah, dan juga keluarga suamiku, aku ingin hidup dengan dikelilingi oleh suasana yang ramai dan obrolan yang hangat. Aku selalu memikirkan hal itu saat masih kecil,” lanjut Ja Eun lagi dengan mata berkaca-kaca.


Bagi Ja Eun, harta yang paling indah adalah keluarga. Ja Eun mengakhiri ceritanya dengan tersenyum sendu dan mata berkaca-kaca kemudian kembali menundukkan wajahnya untuk menikmati semangkok bubur di hadapannya.


Setelah mendengar ungkapan hati sang kekasih, Tae Hee semakin yakin bahwa sekarang sudah saatnya mereka mengungkapkan hubungan mereka dan melangkah lebih jauh lagi. Tae Hee serius dengan hubungan ini dan dia yakin Ja Eun pun begitu. Lalu apalagi yang mereka tunggu?


“Kalau begitu, kita harus secepatnya menikah. Karena kau masih muda, sebelumnya aku berpikir kita sebaiknya menikah tiga tahun lagi tapi jika kau tidak keberatan, maka sebaiknya kita menikah sebelum akhir tahun depan,” lamar Tae Hee dengan tersenyum malu-malu, tapi dia tampak yakin dan serius dengan ucapannya dan bahkan sudah menentukan waktunya (sebelum akhir tahun depan). 


Tae Hee menunjukkan kalau dia sangat serius dengan hubungan mereka saat ini, itu sebabnya dia langsung melamar Ja Eun walaupun tanpa persiapan dan mengajaknya untuk menikah secepatnya, bahkan sudah langsung menentukan waktunya tanpa ragu-ragu.

Ja Eun menatapnya terkejut untuk sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Baiklah,” sahut Ja Eun, menerima lamaran dadakan dari Tae Hee.


Tae Hee tersenyum bahagia saat mendengar Ja Eun menerima lamarannya tanpa ragu-ragu dan tanpa perlu memikirkannya lebih dulu.

“Baiklah. Aku mengerti,” ujar Tae Hee seraya menatap Ja Eun dengan tatapan penuh cinta dan senyuman bahagia di wajahnya.



Sepasang kekasih itu saling menatap malu-malu sambil menyantap makanan di hadapan mereka. Tae Hee pun tampak memakan bubur manis itu tanpa kata, walaupun dia mengaku tidak menyukai makanan manis, namun dia tetap memakannya dengan lahap seraya menatap kekasihnya dengan hati berbunga-bunga.


Namun tentu saja, tidak semudah itu bagi mereka untuk bersama dan menikah tanpa ada halangan dan rintangan. Cinta Tae Hee dan Ja Eun akan kembali diuji dengan cobaan yang lebih berat lagi kali ini. When the wedding bells is so near, but yet so far T_T


(Penulis skenario be like : “Tidak semudah itu, Bambang! Kalian harus disiksa dulu untuk membuktikan kalau cinta sejati itu ada. Enak aja langsung goolll. Ngimpi!” >_< Andai aku bisa mengirim penulis skenarionya ke Palung Mariana atau ke Segitiga Bermuda >_<)


Malam harinya di Ojakgyo Farm, saat Tae Hee sedang mandi, ponselnya berdering dengan keras. Hwang Chang Sik yang merasa berisik, masuk ke kamar Tae Hee.

“Berisik sekali. YYYAAA! Tae Hee-yyaa!” seru Hwang Chang Sik, memanggil Tae Hee.
“Tae Hee ada di kamar mandi,” seru Park Bok Ja menginformasikan.

Karena Tae Hee tak bisa mengangkatnya, Hwang Chang Sik mewakilinya untuk mengangkat telepon itu. Ternyata itu adalah telepon dari petugas polisi Bong Man Hee yang sekarang sudah pensiun dan membuka restaurant untuk bertahan hidup.

“Apakah kau yang mencariku siang tadi untuk menyelidiki kasus tabrak lari dua puluh enam tahun yang lalu? Aku petugas polisi Bong Man Hee,” ujar Bong Man Hee dari seberang saluran.

Setelah Tae Hee mandi, dia bergabung dengan seluruh keluarga Hwang (kecuali Hwang Chang Sik yang datang menemui petugas Bong Man Hee mewakili Tae Hee).

Park Bok Ja mencoba membujuk Nenek untuk makan strawberry dan mengatakan betapa manisnya strawberry itu.
“Eomonim, strawberry-nya sangat manis. Apa Ibu tak mau mencobanya?” bujuk Park Bok Ja dengan sabar.

“Aku tak mau makan,” ujar Nenek yang masih bad mood karena Tae Hee menolak kencan buta.
“Jangan seperti itu, Ibu. Cobalah sedikit saja. Strawberry-nya sangat manis, Ibu.” Bujuk Park Bok Ja lagi.

“Benar, Halmoni. Strawberry-nya sangat manis. Cobalah satu,” Tae Shik ikut membujuk sang Nenek seraya menyodorkan strawberry itu ke arah Neneknya.

Tapi Nenek yang masih sangat bad mood mendorong strawberry itu dengan kasar, “Aku sedang tidak ingin makan. Kenapa kalian semua memaksaku? Kalian makan saja dan tak usah pedulikan aku!” Seru Nenek marah.

“Strawberry-nya sangat manis,” ujar Guksu, ikut membujuk Nenek buyutnya.
“Benar. Makanlah yang banyak,” ujar Park Bok Ja seraya tersenyum pada cucunya.

Melihat Neneknya tampak bad mood dan semua orang menjadi sasaran, Tae Hee akhirnya berpikir bahwa sekaranglah saatnya untuk mengungkapkan semuanya pada keluarganya. Lagipula, bukankah Ja Eun sudah setuju untuk menikah? Nenek meminta mereka menikah pun, takkan ada masalah.

“Halmoni, sebenarnya aku sudah punya pacar,” ujar Tae Hee dengan tersenyum malu-malu. Dia akhirnya mengungkapkan bahwa dia sudah punya pacar dan sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita.

Ucapannya tentu membuat Nenek sangat terkejut sekaligus senang, “Omong kosong apa ini? Apa itu benar?” tanya Nenek yang seolah kembali “hidup”.


Tae Hee mengangguk malu-malu seraya tersenyum manis, “Ya. Aku punya pacar,” sahut Tae Hee dengan mantap namun wajahnya tersipu saat mengatakannya. Tae Hee akhirnya mengaku dengan mulutnya sendiri kalau dia punya pacar.


"Benarkah, Tae Hee-yyaa?" Park Bok Ja masih tampak tidak percaya mendengarnya, namun dia tersenyum gembira.

“Kau seharusnya mengatakannya pada kami lebih awal. Selamat,” seru Tae Shik ikut gembira.

“Selamat,” Tae Phil pun ikut memberikan ucapan selamat dengan tulus, walaupun dia sudah tahu sejak dulu. Tapi kan malam ini adalah pengakuan resmi di hadapan seluruh keluarga, jadi harus diucapkan selamat secara resmi juga dong.

Ja Eun tersenyum malu-malu mendengar Tae Hee mengungkapkan hubungan mereka. Dengan begini, Nenek tidak akan memaksa Tae Hee untuk kencan buta lagi.

“Demi Tuhan, aku tidak percaya ini. Rasanya aku baru saja kembali dari kematian,” seru Nenek dengan gembira.


Tae Hee hanya tersenyum malu-malu seraya menundukkan kepalanya dengan salah tingkah. Pertama kalinya punya pacar, langsung diledekin sama keluarganya. Segitunya heboh mendengar Tae Hee akhirnya punya pacar.

Nenek sangat gembira begitupun dengan Park Bok Ja, “Ya, Ibu. Aku juga merasa seperti itu. Bahkan bila aku mati sekarang, aku tidak memiliki penyesalan di dunia,” ujar Park Bok Ja dengan tersenyum senang.

“Kenapa kau yang mengatakan itu? Harusnya aku yang lebih cocok mengatakannya,” omel Nenek pada menantunya.

“Ibu, itu tidak penting sekarang,” jawab Park Bok Ja mengingatkan mertuanya kalau ada hal yang lebih penting yang harus mereka bahas sekarang yaitu pacar Tae Hee.

“Benar. Benar,” sahut Nenek seketika teringat.

“Tae Hee-yyaa, seperti apa gadis itu?” tanya Nenek antusias, memberikan perhatian penuh pada cucu kesayangannya. 

Tae Hee tidak mengatakan apa pun namun hanya menatap Ja Eun dengan tersenyum malu-malu. (Lesung pipinya Joo Won manis banget kayak gula ^^)


Di tempat lain, Hwang Chang Sik datang menemui petugas polisi Bong Man Hee.
“Jadi seperti itu? Itu sebabnya kenapa kasusnya tiba-tiba saja ditutup. Siapa sebenarnya pemilik mobil itu? Siapa pelakunya?” tanya Hwang Chang Sik dengan penasaran.

“Aku tidak bisa melanjutkan penyelidikan itu karena kurangnya bukti. Namun aku yakin 99% bahwa pelakunya adalah orang itu,” sahut Bong Man Hee. (B4ngsat nih polisi botak, beraninya fitnah orang dan menghancurkan kebahagiaan orang lain >_< Udah tahu buktinya kurang malah seenaknya main fitnah orang >_<)

“Siapa pelakunya?” tanya Hwang Chang Sik penasaran.

Di Ojakgyo Farm, Tae Hee masih “diinterogasi“ oleh Nenek dan keluarganya tentang gadis yang dia cintai dan sekarang menjadi pacarnya. Semua orang tampak penasaran seperti apa gadis yang mampu melelehkan hati Tae Hee yang sedingin es kutub utara dan gak pernah pacaran sekalipun sejak dia dilahirkan.


“Sebentar lagi, Nenek. Aku akan memperkenalkannya segera,” sahut Tae Hee, ingin memberi waktu untuk Ja Eun mempersiapkan mentalnya. (Setelah badai menghadang, Ja Eun akan menjadi menantu kesayangan keluarga Hwang, khususnya bagi Nenek dan Ibu ^^)

“Baiklah. Baiklah. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Aku sudah menunggu selama tiga puluh tahun lamanya, aku tidak keberatan jika harus menunggu sebentar lagi,” sahut Nenek dengan antusias dan penuh semangat.

Nenek kemudian mengambil sebuah strawberry dengan garpu dan memakannya dengan gembira, “Uummm...Strawberry-nya sangat manis seperti madu,” ujar Nenek dengan senyuman lebar, membuat semua orang tertawa.


Diam-diam, Tae Hee dan Ja Eun tampak saling melempar pandang dan tersenyum penuh malu-malu namun mereka tampak bahagia. (Lesung pipinya Joo Won itu loh, lebih manis dari strawberry ^^)


Di tempat lain, petugas Bong Man Hee sukses membuat mood penonton yang awalnya berbahagia untuk Tae Hee dan Ja Eun, kini berubah galau saat mendengar pria botak itu berkata pada Hwang Chang Sik, “Putra CEO Jim Shin Food, Baek In Ho.” Ujar Bong Man Hee. Hwang Chang Sik tampak sangat terkejut mendengarnya.

(Duh, biarin Tae Hee dan Ja Eun menikah secepat mungkin dan punya banyak anak aja, bisa kan? Kenapa harus bikin cerita macem “Romeo and Juliet”? Perseteruan dua keluarga dan cinta gak direstui karena
 terhalang dendam masa lalu? Terinspirasi William Shakespeare? Walau tahu endingnya, tapi nyeseknya itu loh. Mana aktingnya Joo Won keren banget pula, jadi bikin penonton ikut nangis dan menderita bersamanya. Bete tiap lihat adegan Tae Hee dan Ja Eun pisah T_T Drama lain rintangannya hanya sekali doang, Tae Hee dan Ja Eun rintangannya dua kali. Couple lain di drama ini juga rintangannya hanya sekali. Pemeran utama memang beda kale ya, menderitanya double >_<)

Cut Scenes :
1. Park Bok Ja mencarikan kencan buta untuk Tae Hee :



2. Hwang Tae Hee dan Baek Ja Eun berkencan di toko buku (kencan keenam) :




3. Hwang Tae Hee melamar Baek Ja Eun (kencan ketujuh) :






Blogger Opinion :
This episode was so nice until the end for Tae Hee and Ja Eun. They will make “The Romeo and Juliet Story” to make our main lead suffers. I hate you, scripwriter >_< It took a long time for them to get together and now there is a chance that they might break up. It just not fair😦 I’ll certainly hate it but I’m ready for sad episodes between my favorite couple, Tae Hee dan Ja Eun. I know those will come after the romantic, sweet and happy scenes. But I’m confident their love’s strong enough.

I have a faith in Tae Hee, I believe him, he will stand firm no matter what, maybe he will shocked and scared to loosing Ja Eun, he will have a complicated feeling for the first, but his love to Ja Eun too great, he can’t loosing her for the second times.

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/699 + https://gswww.tistory.com/700 + https://gswww.tistory.com/701)

Artikel terkait :

Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads