Highlight for today episode :
Today’s highlight is Tae Hee introduced Ja Eun as his girlfriend. I absolutely loved the family’s reaction to Ja Eun being Tae Hee’s girlfriend. THEY LOVE JA EUN! AWESOMEEEE. Love the mom’s and Grandma laughing. I love when Grandma and Mom welcomes Tae Hee’s girl. Park Bok Ja love her daughter in law so much. None of them had to mull the situation over for even a minute and their enthusiasm really showcased how much they love Ja Eun. Everybody was happy with Tae Hee’s choice of girl, until Hwang Chang Sik came and ruined everything. Just thought the Dad is just being mean to her is getting a really annoying. The love story between Tae Hee and Ja Eun is the most interesting, fascinating and heartbreaking.
I never falling in love before, I don’t know what love is and what real love feels like, but I think this is it It’s when you can let down your guard, feel safe and consoled just from hearing the voice of the person you love when you are troubled. Sharing this kind of vulnerability can bring them closer together more than any declarations or other romantic gestures. Watching Ja Eun cry here made me realize just how much they need each other. Without each other to lean on, I don’t think they can stand on their own anymore. They have come to depend on this security within their love. Watching how their love progressed to this stage makes it all the more difficult to see them in pain again. I felt so sad for Tae Hee and Ja Eun because they are really in love now. Wouldn’t it be sort of cruel to separate these two at this point over something that may not even be true?
--------0000000-------
Episode 44:
Setelah tak sengaja melihat seseorang yang mirip dengan ayahnya (Baek In Ho) di sebuah acara berita di televisi, Ja Eun segera bergegas pergi menuju ke salah satu stasiun kereta bawah tanah tersebut untuk mencari tahu kebenarannya dan memastikan apakah dia hanya salah melihat ataukah ayahnya memang benar-benar masih hidup?
(Perasaan stasiun kereta bawah tanahnya Seoul bersih dari gelandangan deh, Unlogical Plot ini, hanya untuk memberikan kesan seolah-olah selama ini Baek In Ho yang tidak punya rumah lagi, terpaksa harus tidur di sana)
Di tengah kerumunan orang, Ja Eun terus mencari dan mencari tapi setiap kali dia melihat seorang pria yang mirip dengan ayahnya, setiap kali juga dia salah mengenali orang. Dan itu terjadi beberapa kali hingga membuat Ja Eun sangat putus asa dan akhirnya menerima kenyataan bahwa dia hanya salah mengenali orang. Lelah dan putus asa, Ja Eun yang malang akhirnya hanya terduduk lemas di salah satu anak tangga.
Di Ojakgyo Farm, Park Bok dan Hwang Chang Sik tampak berdebat di kamar mereka. Park Bok Ja terang-terangan berdiri di pihak Ja Eun dan membelanya, dia tidak suka melihat suaminya membentak dan bersikap kasar pada Ja Eun seperti itu, apalagi kesalahan Ja Eun hanyalah kesalahan kecil semata. Nenek bahkan tidak marah dan berusaha menenangkan putranya, lalu kenapa Hwang Chang Sik harus sebegitu marahnya? Bukankah itu terlalu berlebihan?
“Kenapa kau harus bersikap seperti itu? Kenapa tiba-tiba memarahi seorang anak hanya karena masalah kecil? Apa kau tidak lihat betapa kagetnya dia? Bila dia melakukan kesalahan besar barulah dia pantas dibentak dan dimarahi seperti itu, tapi dia bahkan tidak melakukan kesalahan besar, itu hanya masalah sepele. Hanya karena masalah remote TV, pantaskah kau membentaknya dengan keras seperti itu? Apakah kau tidak memikirkan harga diri anak itu?” sergah Park Bok Ja tidak suka, terang-terangan memprotes suaminya.
Park Bok Ja tampak seperti Ibu yang sedang membela anak perempuannya. Seorang Ibu yang bahkan tidak rela suaminya memarahi anaknya karena hanya dia yang boleh melakukan itu, bukan orang lain, bahkan suaminya sendiri.
“Aku bilang ayo kita pindah dari rumah ini. Kenapa kau tidak mau mendengarkan aku?” seru Hwang Chang Sik, tak ada hubungannya.
“Kenapa tiba-tiba kau membicarakan sesuatu yang tak ada hubungannya? Kenapa harus membahas masalah pindah lagi?” tanya Park Bok Ja kesal, karena suaminya justru mengalihkan pembicaraan ke arah yang lain.
“Sejak awal, aku tidak ingin tinggal di pertanian ini lagi. Tapi aku memaksa diriku tetap tinggal di sini dan terpaksa melakukan apa yang kubenci, namun sejak aku melihatmu sakit, aku benar-benar kehilangan keinginan lagi untuk melakukan semua ini. Kau tidak mau mendengarkan omonganku, itulah sebabnya aku jadi berakhir tidak menyukai Ja Eun,” sahut Hwang Chang Sik.
(Lah, Bambang! Ja Eun gak salah apa-apa malah dibenci? Bukti-buktinya aja ilang tapi malah serta merta percaya ucapan Bong Man Hee. Harusnya selidiki dulu masalahnya baru menuduh orang. Tahu gak sih, Ahjussi? Tindakanmu gak lebih dari FITNAH dan Pencemaran Nama Baik orang lain!)
“Itulah sebabnya kau harus mengatakan padaku yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Kenapa harus memarahi seorang anak hanya karena masalah sepele?” seru Park Bok Ja, masuk akal.
“Apa?” seru Hwang Chang Sik, keukeuh menutupi.
“Katakan padaku apa masalahnya! Aku ingin mendengar alasan yang masuk akal jadi aku bisa memutuskan apakah kita harus pindah atau tidak,” seru Park Bok Ja, tak mau kalah. Dia tidak mau pergi begitu saja tanpa tahu alasan dibaliknya.
“Lupakan saja. Anggap saja aku tak pernah membicarakan masalah ini. Dan aku juga tidak membuat masalah,” ujar Hwang Chang Sik lalu pergi meninggalkan kamar dengan gusar. Dia masih tetap menolak memberikan alasannya.
Tae Hee menekuk kakinya namun tidak duduk di anak tangga tersebut seperti Ja Eun, dia kemudian memanggil nama kekasihnya dengan lembut dan penuh perhatian, “Baek Ja Eun.”
Merasa namanya disebut, Ja Eun mengangkat kepalanya dan menatap Tae Hee dengan tatapan sedih, “Ahjussi,” ujar Ja Eun seraya tersenyum sedih.
“Kenapa kau duduk di sini seperti ini?” tanya Tae Hee dengan nada khawatir.
“Karena aku tidak punya energi. Tapi sekarang aku baik-baik saja. Karena aku sudah melihatmu, aku merasa baik-baik saja sekarang. Beberapa saat yang lalu, rasanya aku seperti akan mati,” sahut Ja Eun dengan lesu dan tatapan sedih, serta senyuman terpaksa.
“Apa terjadi sesuatu?” tanya Tae Hee dengan lembut dan perhatian.
“Aku melihat ayahku. Itu kemungkinan besar hanyalah seseorang yang mirip dengan ayahku, tapi aku kehilangan orang itu jadi aku bahkan tidak bisa mengkonfirmasinya. Tapi aku masih tetap ingin memegang harapan itu. Itu sebabnya aku tetap menunggu di sini dan berharap dia akan kembali, tapi itu tidak terjadi,” sahut Ja Eun dengan sedih, menceritakan apa yang baru saja dia alami.
Sementara Tae Hee menatap Ja Eun dengan tatapan simpati. Dia ingin menghibur kekasihnya, namun sayangnya dia tidak tahu bagaimana caranya berkata manis. Jadi dia hanya diam dan mendengarkan segala keluh kesah kekasihnya.
(Di EP 42, Ja Eun yang mendengarkan Tae Hee menceritakan masalah dan keluh kesahnya, kini keadaan berbalik, di EP 44, Ja Eun yang menceritakan keluh kesahnya pada Tae Hee dan Tae Hee yang kini diam dan menjadi pendengar. Take and give ceritanya ^^ Mereka saling membuka diri kepada satu sama lain sebagai wujud saling percaya ^^)
“Benarkah?” Ja Eun bertanya dengan nada sedih dan kembali menundukkan wajahnya dengan lesu.
Tae Hee memegang lengan Ja Eun dan membantunya berdiri di anak tangga, “Ayahmu pasti selamat. Aku yakin,” sahut Tae Hee dengan yakin, seolah ingin memberikan harapan pada kekasihnya agar tidak bersedih lagi.
(Tae Hee menjilat ludahnya sendiri. Ucapan Tae Hee sekarang sangat berbanding terbalik dengan apa yang dia ucapkan di EP 6, saat Ja Eun ingin meminjam uang 30 juta won agar bisa menyewa regu penyelamat untuk mencari ayahnya yang diduga tenggelam, Tae Hee berkata dengan kejam kalau melihat kondisi cuaca dan medan di tengah lautan yang tidak memungkinkan ditambah lagi kecelakaan itu sudah terjadi hampir seminggu lamanya, kecil kemungkinan Baek In Ho akan selamat, jadi menyewa regu penyelamat adalah sesuatu yang sia-sia. Tapi lihat sekarang! Tae Hee yang dulu mengatakan “kecil kemungkinan Baek In Ho akan selamat”, kini justru mengatakan “Ayahmu pasti selamat.” Cinta membuat Tae Hee berkali-kali menjilat ludahnya sendiri dan kemakan omongannya sendiri hahaha ^^ Makanya jangan galak-galak, pak Polisi. Kena karma kan sekarang? Dulu gak suka, sekarang malah bucin mampus ckckck...)
Ja Eun menatap Tae Hee dengan mata berkaca-kaca, “Ahjussi, aku sangat merindukan ayahku. Aku belum mengucapkan terima kasih padanya, aku juga belum sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Walaupun ini terakhir kalinya aku bertemu dengannya, tidak apa-apa, aku hanya ingin bertemu dengan ayahku sekali saja. Bagiku, ayahku adalah ayah dan sekaligus ibu, dia adalah keluargaku satu-satunya. Jadi aku ingin mengatakan padanya agar tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bahwa putrinya, Baek Ja Eun, baik-baik saja. Bahwa putrinya bisa hidup dengan baik saat ini. Aku hanya ingin mengatakan ini, jadi dengan begitu ayahku bisa...” Ja Eun tak sanggup meneruskan kalimatnya, dia hanya mampu menangis terisak.
(Maksud Ja Eun adalah “Jadi dengan begitu ayahku bisa beristirahat dengan tenang.” Tapi Ja Eun gak sanggup mengatakannya karena dia masih berharap ayahnya masih hidup di luar sana dan akan segera kembali untuknya T_T)
Tae Hee kemudian memeluk Ja Eun dengan lembut membiarkan Ja Eun menangis di bahunya. Sama seperti saat Ja Eun memeluk Tae Hee yang sedang menangis dan membiarkannya menangis di bahu Ja Eun, Tae Hee pun kini melakukan hal yang sama untuk kekasihnya tercinta. Tae Hee tahu bahwa Ja Eun membutuhkan bahu untuk menangis dan bersandar.
Ja Eun terus menangis hingga akhirnya dia merasa lelah dan tertidur di dalam mobil Tae Hee saat mereka sudah meninggalkan stasiun kereta bawah tanah. Namun alih-alih membawa Ja Eun pulang, Tae Hee memutuskan untuk menghibur Ja Eun dan membuat suasana hati gadis itu kembali baik dengan melakukan sesuatu untuknya.
Ingat kan kalau Tae Hee ini gak pinter ngomong manis, dia lebih suka langsung action untuk menunjukkan cinta dan perhatiannya. Tae Hee akhirnya membawa Ja Eun ke tepi Sungai Han untuk berkencan.
(Pantulan bayangan Joo Won yang tersenyum manis dan memperlihatkan lesung pipinya terlihat di kaca jendela. Cute banget Joo Won kalau lagi senyum ^^)
Mendengar suara ketukan di jendela, Ja Eun perlahan membuka matanya dan saat melihat Tae Hee ada di luar, dia segera menurunkan kaca jendela mobil itu dan menatap Tae Hee dengan bingung.
“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Tae Hee dengan lembut.
“Ya,” sahut Ja Eun, kemudian melanjutkan, “Apa yang kau lakukan di luar?” tanyanya dengan bingung.
“Kalau begitu, bisakah kau keluar dari mobil sebentar?” pinta Tae Hee dengan tersenyum manis.
Ja Eun menurut dan segera keluar dari mobil Tae Hee dan begitu dia keluar, Ja Eun melihat sebuah tenda kecil yang sudah didirikan tak jauh dari mobil Tae Hee diparkirkan. Di belakang mereka, pemandangan Sungai Han di malam hari terlihat dengan indah.
“Mari kita rayakan Tahun Baru bersama,” ujar Tae Hee dengan lembut.
Ternyata di dalam tenda sudah ada sebuah kue tart, lengkap dengan lilinnya. Tae Hee dan Ja Eun duduk bersebelahan di dalam tenda.
“Aku sebenarnya ingin merayakan Tahun Baru sambil mendengarkan lonceng Tahun Baru dan juga petasan kembang api, tapi tiba-tiba saja aku ingin merayakannya lebih cepat hari ini. Tahun ini kita telah banyak mengalami masa-masa sulit dan menyedihkan, mari kita buang semua itu dan lupakan semuanya. Mari kita menjalani hidup yang lebih baik di tahun depan,” ujar Tae Hee seraya menatap kekasihnya lembut. Ja Eun hanya mengangguk sambil tersenyum saat mendengarnya.
“Tahun depan kau akan berusia 25 tahun, kan? Apa ada yang ingin kau sampaikan?” tanya Tae Hee dengan penuh perhatian.
“Tahun ini ada banyak sekali hal yang terjadi yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tiba-tiba saja kehilangan ayahku dalam sebuah kecelakaan. Itu sebabnya pada akhirnya aku datang ke pertanian. Dan karena aku bertemu denganmu dan juga Ahjumma, aku merasa semua itu tidak terlalu buruk. Tapi aku berharap di masa depan, hal yang buruk dan hal yang baik tidak terjadi padaku di saat yang bersamaan,” ujar Ja Eun dengan pandangan menerawang.
“Ahjussi, bila suatu saat nanti, salah satu dari kita sudah merasa lelah dan bosan dengan hubungan kita, kita harus memberitahu yang lainnya. Setelah mengucapkan selamat tinggal, kita bisa mengakhiri hubungan ini dengan baik-baik. Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh seperti ayahku, yang pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun padaku,” ujar Ja Eun dengan lirih.
(Ja Eun-ah, Tae Hee bahkan sudah melamarmu, kenapa harus bicara seperti itu seolah-olah kalian akan berpisah? Ucapan adalah doa. Tidak bisakah kau mengatakan sesuatu yang manis jadi biar menjadi doa baik untuk kalian? Kalian saling mencintai, bukan? Tae Hee sudah melamarmu dan bahkan akan mengakuimu secara resmi sebagai pacarnya di hadapan seluruh keluarganya, kenapa harus mengatakan kalimat itu seolah-olah kalian akan berpisah tak lama lagi? >_<)
Tae Hee mengangguk dan menjawab mantap, “Baiklah. Aku berjanji,” ujar Tae Hee tanpa berpikir panjang.
“Aku juga berjanji,” sahut Ja Eun dengan mata berkaca-kaca.
“Hah? Bernyanyi? Tapi aku bukan penyanyi yang baik,” ujar Tae Hee dengan ekspresi bingung.
“Tidak apa-apa walau kau tidak bisa bernyanyi dengan baik. Aku hanya ingin kau bernyanyi untukku. Kita sedang merayakan Tahun Baru, kan? Bukankah biasanya orang-orang merayakan Tahun Baru sambil bernyanyi?” pinta Ja Eun merayu sang kekasih dengan memasang ekspresi imut dan menggoyang-goyangkan lengan Tae Hee agar Tae Hee menurut.
Ja Eun mengangguk dengan gembira dan tatapan mata berbinar. Tae Hee berdehem sebentar sebelum kemudian menyanyikan lagu “Josh Groban – You Raise Me Up”.
When troubles come and my heart burdened be.
Then, I am still and wait here in the silence.
Until You come and sit awhile with me.
You raise me up, so I can stand on mountains.
You raise me up, to walk on stormy seas.
I am strong, when I am on your shoulders.
You raise me up to more than I can be.
You raise me up, so I can stand on mountains.
You raise me up, to walk on stormy seas.
I am strong, when I am on your shoulders.
You raise me up to more than I can be.
Ja Eun menyandarkan kepalanya di bahu Tae Hee selama Tae Hee bernyanyi, dan saat Tae Hee mulai menyanyikan lirik “I am strong when I am on your shoulder”, air mata Ja Eun menetes semakin deras. Salju perlahan mulai turun di luar tenda mengiringi suara merdu Tae Hee yang bernyanyi dengan penuh perasaan untuk menghibur kekasihnya yang sedang sedih dan gundah.
(Asli, suaranya Joo Won merdu banget. Anehnya aku merasa suaranya Joo Won bahkan lebih enak didengar daripada suaranya Park Hyung Sik ZE:A dan Rowoon SF9 yang notabene-nya adalah member boyband. Mungkin karena suara Hyung Sik dan Rowoon gede, berat dan ngebass kale ya dan jujur aja dari kecil aku gak suka suara cowok yang gede, ngebass dan berat kayak mereka.
Keesokan harinya, semua orang sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama seperti biasanya. Nenek yang sudah sangat penasaran dengan pacar Tae Hee bertanya lagi padanya kapan Tae Hee akan membawa pacarnya pulang.
“Tae Hee-yya, kita sudah membahas ini berhari-hari. Kapan kau akan membawa pacarmu pulang?” tanya Nenek tak sabar. Nenek sudah sangat penasaran dengan gadis muda yang mampu menarik hati Tae Hee yang dingin.
“Beberapa hari itu bagaikan beberapa bulan dan beberapa tahun bagiku. Aku tidak bisa tidur karena penasaran,” omel Nenek tak sabar.
“Halmoni, kalau begitu, apakah aku harus membawanya pulang malam ini?” tanya Tae Hee, tiba-tiba memutuskan bahwa sekarang saatnya mengakui hubungannya dengan Ja Eun. Tae Hee sudah sangat serius dan ingin menikahi Ja Eun secepatnya. Ja Eun seketika menatap Tae Hee dengan terkejut saat mendengar jawabannya.
“Ya. Tidak apa-apa, kan?” tanya Tae Hee dengan ragu seolah menatap kekasihnya meminta ijin.
Pertanyaan itu seolah ditanyakan kepada Nenek dan Ibunya namun tatapan matanya mengarah pada Ja Eun seolah bertanya padanya, “Apakah tidak apa-apa jika aku mengungkapkan hubungan kita nanti malam?”
Ja Eun yang menyadari tatapan Tae Hee dan tahu bahwa kekasihnya sedang meminta ijin padanya, segera mengangguk cepat. Tanda bahwa dia tidak keberatan dengan keputusan Tae Hee. Saat Ja Eun mengangguk, evil maknae Tae Phil melihat semua itu dan mulai menggoda kakaknya.
“Kenapa kau harus bertanya? Tentu saja tidak apa-apa,” sahut Nenek dengan tersenyum gembira. Seneng banget cucu kesayangannya punya pacar.
“Apa sungguh tidak apa-apa? Apa kau sudah bertanya dulu pada pacarmu?” tanya Park Bok Ja memastikannya, dengan wajah penuh senyuman gembira.
“Dia baru saja menanyakannya,” sahut Tae Phil dengan usilnya. Ja Eun tampak terkejut mendengarnya, sementara Tae Hee seketika melemparkan tatapan membunuh pada Tae Phil.
“OMO! Kau sudah bertanya? Secepat itu? Tunggu! Maknae, apa kau mengenal gadis itu? Apa kau pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya?” tanya Park Bok Ja tampak curiga.
“Ah, Ibu pikir kau sudah pernah bertemu dengan gadis itu. Ibu sangat penasaran seperti apa gadis itu,” ujar Park Bok Ja dengan tersenyum ceria, tampak tak sabar menantikan nanti malam. Ja Eun tampak tersenyum mendengar antusiasme Park Bok Ja, tanpa dia sadari Hwang Chang Sik diam-diam menatap gadis malang itu dengan tatapan tidak suka.
Setelah sarapan, Tae Hee mengantar kekasihnya, Ja Eun ke kantor sekaligus untuk menemui Kim Jae Ha. Karena Kim Jae Ha belum datang, jadi Tae Hee tampak menunggu pria itu di depan ruangannya. Kim Jae Ha tampak terkejut saat melihat Tae Hee ada di sana menunggunya.
“Ada apa ini? Rasanya aneh sekali melihatmu datang kemari mencariku,” tanya Kim Jae Ha dengan nada menyindir.
“Ah, jadi kau datang karena itu. Oke. Akan kuberikan padamu, tapi aku punya satu syarat. Syaratnya adalah kau harus melibatkan aku dalam proses penyelidikan,” ujar Kim Jae Ha mengajukan persyaratan.
“Kenapa? Apa hubungannya kecelakaan itu denganmu?” tanya Tae Hee tampak tak suka.
“Kenapa itu bisa tidak ada hubungannya denganku bila hal itu berkaitan dengan ibuku? Ibu merasa sangat marah saat dia masih hidup. Lupakan saja bila kau tidak mau!” sahut Kim Jae Ha seraya berbalik melangkah ke arah ruangannya berada.
“Kalau begitu, apa aku perlu bergabung denganmu hari ini juga?” tanya Kim Jae Ha antusias.
Akhirnya mereka berdua pergi menemui Bong Man Hee di restaurant miliknya.
“Apa kabar, Bong Yeongsa-nim?” ujar Tae Hee, menyapa dengan sopan.
Melihat itu, Kim Jae Ha mendapat ide, kemudian dia menelpon seseorang melalui ponselnya, “Kudengar kau ingin mencari tempat untuk gathering hari ini, benarkan?” ujar Kim Jae Ha di ponselnya.
Tak lama kemudian, restaurant Bong Man Hee tampak ramai oleh pengunjung yang merupakan orang-orang yang tadinya ingin melakukan gathering kantor tersebut. Bong Man Hee tampak senang saat melihat restaurannya ramai pengunjung karena itu berarti dia akan mendapat banyak uang.
Kim Jae Ha membantu melayani para tamu, sementara Tae Hee membantu mengelap piring dan gelas. Kim Jae Ha kemudian mendekati Bong Man Hee dan mulai berbasa-basi untuk memancing Bong Man Hee. (Pebisnis pasti tahu cara bicara yang manis, kan?)
“Bos, apa kami sudah membantu meningkatkan penjualanmu hari ini?” tanya Kim Jae Ha dengan bermulut manis.
“Tentu saja, kau sangat membantu. Katakan sekali lagi siapa namamu tadi?” tanya Bong Man Hee dengan senang.
“Kim Jae Ha Imnida,” sahut Kim Jae Ha dengan tersenyum manis ala pebisnis. Bong Man Hee hanya mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Bos, tentang insiden tabrak lari di Choon Dong Street, apakah tidak ada barang bukti yang tertinggal?” ujar Kim Jae Ha mulai memancing.
“Tentu saja ada. Ada beberapa barang bukti yang tertinggal di tempat kejadian,” sahut Bong Man Hee dengan jujur, membagi informasi.
Mendengar itu, Hwang Tae Hee seketika ikut nimbrung dan ingin mengetahui lebih banyak lagi, “Apa sajakah barang bukti itu?” tanya Tae Hee penasaran.
Begitu Tae Hee yang bertanya, Bong Man Hee seketika kembali menutup mulutnya, “Hari ini cukup sampai di sini saja,” ujar Bong Man Hee, mengusir secara halus.
“Ahjumma, apa supnya sudah siap?” seru Bong Man Hee kepada pegawainya, lalu pergi meninggalkan Tae Hee dan Kim Jae Ha di sana.
“Aaah, jinja... Dia baru saja mulai membuka mulutnya dan aku hampir mendapatkan informasi yang berharga,” omel Kim Jae Ha seraya menatap Tae Hee sebal.
Tae Hee yang mengetahui kalau ini salahnya, hanya menarik napas pasrah kemudian menggaruk kelopak matanya sebagai bentuk rasa frustasinya.
Di saat yang bersamaan, Ja Eun dan Park Bok Ja tampak pergi bersama mengunjungi salah satu peternakan bebek milik orang lain yang kabarnya bebek-bebek mereka terjual dengan harga yang sangat tinggi. Dan tujuan Ja Eun dan Park Bok Ja datang ke sana memang untuk mencari tahu rahasia pakan yang mereka berikan hingga bebek-bebek dari peternakan itu bisa terjual dengan harga yang sangat tinggi.
Ja Eun tampak mengagumi kandang bebeknya yang sangat luas, bersih dan terawat dengan baik. Park Bok Ja kemudian menambahkan, “Bebek-bebek di peternakan ini terkenal terjual dengan harga yang sangat tinggi. Daging bebeknya sangat lembut dan lezat. Mereka bahkan bilang kalau pemilik peternakan ini memberi makan bebek-bebeknya dengan madu,” ujar Park Bok Ja dengan tersenyum manis.
“Apakah Anda tidak bisa memberitahu kami apa yang Anda tambahkan dalam pakannya?” tanya Ja Eun pada wanita setengah baya pemilik peternakan itu dengan sopan dan penuh harap. Namun wanita itu hanya tersenyum sopan pada Ja Eun.
“Aku bisa mencium aroma bunga mugwort,” ujar Park Bok Ja, namun wanita itu tetap diam tak bicara.
“Kami sedang berusaha mengembangkan pakan bebek, tidak bisakah Anda berbagi tips?” pinta Ja Eun dengan memasang wajah memelasnya.
“Putrimu sangat cantik dan berbakti,” puji wanita pemilik peternakan itu yang membuat Park Bok Ja dan Ja Eun terperangah mendengarnya. Ini yang kedua kalinya ada yang mengatakan mereka adalah Ibu dan anak.
“Apa?” tanya Park Bok Ja tampak bingung.
“Apa dia bukan putrimu? Apa kalian bukan Ibu dan anak?” tanya wanita pemilik peternakan sekali lagi.
“Benar. Benar. Dia adalah putriku, putriku,” sahut Park Bok Ja akhirnya, kemudian mengusap-usap lengan Ja Eun dengan sayang, “Putriku adalah gadis yang sangat baik dan berbakti. Dia selalu mengikuti ibunya ke sana kemari dan membantuku mengurus pertanian kami. Agar bisa membayar biaya kuliahnya, kami harus bisa menjual bebek tahun ini,” lanjut Park Bok Ja.
“Ibuku berharap bisa mengembangkan pakan bebek berkualitas dan menjual bebek-bebeknya sendiri,” ujar Ja Eun dengan ekspresi memelas.
“Karena dalam dua tahun ini kami tidak berhasil menjual bebek satupun, putriku yang malang ini sampai tidur di kandang bebek siang dan malam. Semuanya demi mengembangkan pakan bebek yang berkualitas agar bisa mewujudkan keinginan ibunya. Itu sebabnya kami berharap bisa sukses tahun ini. Benarkan?” ujar Park Bok Ja, memulai drama “kasihanilah aku” agar mendapatkan informasi mengenai pakan bebek yang berkualitas. Ja Eun pun memasang wajah memelas untuk menarik simpati wanita setengah baya tersebut.
“Aku tidak hanya memakai satu bahan saja,” ujar wanita setengah baya itu.
“Kalau begitu, apa Anda mencampurkan dua atau tiga bahan sekaligus?” tanya Ja Eun antusias.
Alih-alih menjawab, wanita setengah baya itu justru berjalan masuk ke dalam kandang bebek dan memberi tanda agar Ja Eun dan Park Bok Ja berjalan mengikutinya. Ja Eun dan Park Bok Ja tampak tersenyum gembira satu sama lain.
Setelah mengunjungi peternakan bebek milik wanita setengah baya itu, Ja Eun dan Park Bok Ja tampak duduk menikmati makan siang bersama.
“Ah, kelihatannya lezat sekali. Makanlah yang banyak, Ahjumma.” Ujar Ja Eun dengan ceria seraya menuangkan air minum ke dalam gelas Park Bok Ja.
“Kau juga harus makan yang banyak. Kau juga hampir membeku, kan?” sahut Park Bok Ja dengan lembut, bagaikan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putri kandungnya.
“Aku tidak merasa kedinginan, karena aku memakai baju dalam thermal yang Ahjumma belikan waktu itu untukku,” sahut Ja Eun seraya menunjukkan bagian dalam lengan bajunya.
Park Bok Ja tampak senang melihat Ja Eun memakai hadiah darinya yang dia belikan untuk gadis itu di EP 24.
“Benarkah? Kau memakainya?” tanya Park Bok Ja dengan wajah berbinar seraya menarik tangan Ja Eun dengan lembut agar bisa melihat sebuah lengan baju rajutan yang Ja Eun pakai di dalam kaos dan mantelnya. Ja Eun tersenyum ceria saat menunjukkannya.
“Aku bahkan tidak mau melepaskannya bahkan jika Ahjumma yang menyuruhku, karena ini sangat hangat,” sahut Ja Eun dengan manis dan ceria.
“Makanlah,” lanjut Ja Eun lagi.
“Benar. Kau juga makan,” sahut Park Bok Ja lalu mulai menyantap makanannya.
Beberapa saat kemudian, Park Bok Ja tampak melirik Ja Eun dan bertanya dengan malu-malu, “Kau...Apa kau mau menjadi putriku?” tanya Park Bok Ja dengan penuh harap.
(Waduh, kalau Ja Eun diangkat anak sama Park Bok Ja dan jadi adeknya Tae Hee, Tae Hee pasti bakal kebakaran jenggot, mencak-mencak, depresi, frustasi dan gak terima tuh hahaha ^^ Tae Hee kan pengennya jadi suami Ja Eun, bukan jadi kakak angkat Ja Eun. Tae Hee pasti bakalan jadi orang pertama yang menentang ide tersebut wkwkwk ^^)
Ja Eun tampak terkejut mendengarnya namun kemudian menggelengkan kepalanya mantap, “Tidak. Aku tidak mau,” sahut Ja Eun dengan tak enak hati.
(Ja Eun gak mau jadi anakmu, emak. Ja Eun maunya jadi menantu aja. Kalau jadi anak angkatmu kan gak bisa nikah sama Tae Hee jadinya. Babang polisi juga pasti gak terima tuh kekasihnya mau dijadikan adik angkat *lirik Tae Hee yang ngangguk-ngangguk*)
Park Bok Ja tampak terluka mendengar jawaban Ja Eun yang tegas, “Kau tidak mau jadi putriku? Baiklah. Aku juga tidak mau kau jadi putriku. Makanlah!” ujar Park Bok Ja, dengan nada tidak terima. Untuk menutupi perasaan malunya karena Ja Eun menolak tawarannya, dia sengaja berkata sebaliknya.
“Ya. Aku tidak mau. Sebenarnya itu karena...” Ja Eun hampir saja mengatakan pada Park Bok Ja kalau dia dan Tae Hee adalah sepasang kekasih, namun Park Bok Ja memotong kalimatnya karena tidak ingin hatinya terluka lagi mendengar jawaban Ja Eun. Si emak ngambek ceritanya hahaha ^^
Ja Eun menatap Park Bok Ja dengan ekspresi bersalah dan tidak enak hati namun kemudian tetap makan dengan lahap, saat itulah Ja Eun menyadari kalau tas Park Bok Ja ternyata sudah jelek dan rusak, membuatnya tiba-tiba saja merasa kasihan.
(Sebagai mantan Nona Besar yang sebelumnya selalu membeli tas branded seharga jutaan won, terang aja dia jadi kasihan liat tas butut milik Park Bok Ja >_<)
Tae Hee tampak menjilat sendok es krimnya dengan asyik seperti anak kecil yang menggemaskan.
“Kau ingin aku membeli tas untuk Ibu dan bukan couple ring kita?” tanya Tae Hee, mengkonfirmasi.
“Ya,” sahut Ja Eun dengan santainya.
“Kenapa kau bertanya kenapa? Seorang putra membelikan hadiah untuk ibunya, kenapa harus bertanya alasannya? Aisshh jinjaa, anak laki-laki memang mengecewakan,” sahut Ja Eun dengan ekspresi kecewa di wajahnya.
“Tas Ahjumma sudah sangat tua dan rusak. Aku ingin membelikannya sendiri tapi aku tidak punya banyak uang dan tidak punya alasan melakukannya. Tapi kalau kau yang membelikan tas itu untuknya, Ahjumma pasti sangat senang,” sahut Ja Eun menjelaskan alasannya.
(Ja Eun yang baik hati, selalu memikirkan orang lain lebih dulu dibandingkan dirinya sendiri. Dia bahkan rela mengorbankan keinginan pribadinya demi melihat orang lain bahagia. Gimana Tae Hee gak jatuh cinta coba, kalau melihat seorang gadis muda sebaik Ja Eun yang tulus menyayangi ibunya seperti ibu kandungnya sendiri? Cari di mana lagi istri modelan Ja Eun? Kerugian besar bagi keluarga Hwang kalau sampe melepaskan Ja Eun >_<)
“Baiklah. Aku tahu,” sahut Tae Hee dengan tersenyum mengerti, kemudian dia melirik ke bawah, ke arah es krim di dalam gelas yang sudah habis dimakan oleh kekasihnya.
“YYYAAA!” protes Tae Hee dengan wajah kesal dan bibir cemberut, namun terlihat sangat menggemaskan bagaikan anak kecil yang makanan favoritnya dimakan orang.
“Kau bilang kau tak suka makanan manis,” sahut Ja Eun dengan raut wajah bersalah, mencoba membela diri.
Tae Hee mengerucutkan bibirnya cemberut dan menjawab kesal, “Tapi aku suka es krim,” protes Tae Hee seraya melemparkan sendok es krimnya ke atas meja dengan kesal.
Hwang Chang Sik menumpahkan kesedihan, kegelisahan dan semua frustasinya di depan kotak abu sang adik, “Chang Woon-ah, Hyung datang menjengukmu. Tae Hee hidup dengan baik. Dia sangat mirip denganmu, dia tidak pernah sekalipun membuat masalah seumur hidupnya dan menjadi anak yang baik,” ujar Hwang Chang Sik, melaporkan perkembangan Tae Hee pada adiknya.
“Aku seharusnya menangkap orang yang sudah membunuhmu dua puluh enam tahun yang lalu. Aku merasa sangat bersalah. Karena Hyung tidak punya kemampuan itu jadi kami tidak bisa menangkap pelakunya. Jika saja dulu aku bisa melakukan itu, maka sekarang aku tidak perlu hidup dengan melihat wajah In Ho dan kami juga tidak akan tinggal di pertanian miliknya selama sepuluh tahun,” lanjut Hwang Chang Sik, merasa bersalah pada adiknya.
“Kau pasti melihat semuanya dari Surga, kan? Kau sangat kejam. Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Kenapa kau membiarkan aku hidup di pertanian milik bajingan yang sudah membunuhmu, selama sepuluh tahun? Kenapa kau tidak mendatangiku melalui mimpi dan mengatakannya padaku? Kau seharusnya mengatakannya padaku, ‘Jangan tinggal di pertanian itu!’ sambung Hwang Chang Sik seraya menghapus air matanya.
“Kenapa Ibu kemari?” tanya Hwang Chang Sik, kaget saat melihat ibunya.
“Kau juga kenapa datang kemari? Kau tidak mengatakan apa pun pagi tadi,” tanya Nenek, balik bertanya.
“Aku baru saja bertemu seseorang di sekitar sini jadi aku sekalian datang menjenguk Chang Woon. Bagaimana dengan Ibu?” sahut Hwang Chang Sik.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Aku ingin memberitahunya tentang pacar Tae Hee,” ujar Nenek dengan gembira.
Nenek kemudian berdiri di depan kotak abu putra keduanya dan mulai mengajaknya bicara seperti yang tadi dilakukan Hwang Chang Sik.
“Putraku, Ibu datang. Bagaimana kabarmu? Ibu semakin tua sekarang,” sapa Nenek seraya mengusap lembut penutup kotak kaca tempat abu putranya disemayamkan.
“Tae Hee kita akhirnya punya pacar. Butuh waktu 30 tahun baginya hingga dia akhirnya memiliki pacar. Bila Tae Hee sepertimu, dia pasti akan menjadi pria yang sangat setia. Ibu sangat penasaran gadis seperti apa yang berhasil mendapatkan hatinya. Bila semuanya lancar, Ibu berharap Ibu bisa menikahkan Tae Hee musim semi tahun ini. Bila itu benar-benar terjadi, maka Ibu bisa segera datang menemanimu,” lanjut Nenek lagi.
“Katakan padaku, kenapa pacarmu belum tiba di sini?” tanya Nenek tak sabar.
“Apa mungkin kalian bertengkar? Karena kau ingin segera membawanya pulang ke rumah?” tebak Park Bok Ja, tampak khawatir. Tepat pada saat itu, Ja Eun berjalan turun dari loteng.
“Kau membuatku penasaran. Cepat katakan sesuatu!” protes Nenek dengan tidak sabar.
“Ya. Sebenarnya, dia sudah berada di sini,” ujar Tae Hee dengan tersenyum malu-malu.
“Mwo?” tanya Hwang Tae Shik bingung.
“Apa maksudmu dia sudah ada di sini?” protes Nenek seraya memutar tubuhnya ke arah pintu dengan bingung, seolah mengharapkan seorang gadis muncul dari sana.
“Apa dia ada di depan pintu? Di mana?” tanya Hwang Tae Shik sekali lagi.
Tae Hee menatap Ja Eun sekali lagi seraya tersenyum malu-malu sebelum membuat pengakuan yang menggemparkan, “Ja Eun adalah pacarku,” ujar Tae Hee dengan tersenyum malu-malu.
Semua orang tampak terkejut mendengarnya, situasi di rumah mendadak hening saat Tae Hee mengatakan bahwa Ja Eun adalah pacarnya dan itu berarti gadis yang dia cintai. Mereka kini menatap Ja Eun dengan terkejut.
“Apa kau bilang?” tanya Nenek tampak shock, tak menyangka jika Tae Hee dan Ja Eun diam-diam menjalin hubungan khusus tanpa seorang pun (kecuali Hwang Tae Phil) yang menyadarinya.
“Ja Eun?” ulang Park Bok Ja mengkonfirmasi.
“Ja Eun-ssi?” Tae Shik tampak terkejut mendengarnya. Guksu pun menatap bingung ke arah kakak cantik yang masih berdiri di sampingnya.
Ja Eun segera duduk dan menjawab dengan takut, “Ya. Itu aku, Nenek, Ahjumma.” Ujar Ja Eun, membuat pengakuan kalau dia adalah pacar Tae Hee.
Tae Phil hanya terdiam seraya tersenyum senang mendengar pengakuan Ja Eun, dia sudah merestui mereka sejak awal. Namun Nenek dan Park Bok Ja masih tampak terkejut dan tidak percaya.
“Ibu,” panggil Park Bok Ja dengan ekspresi terkejut yang sama.
“Benar. Aku juga sudah mendengarnya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Nenek dengan bingung seraya mengedip-ngedipkan matanya berulang kali karena berpikir ini hanyalah mimpi.
“Benar. Walaupun kita memang bingung, tapi ini memang membingungkan,” sahut Park Bok Ja seraya menatap Ja Eun yang tertunduk ketakutan, takut Nenek dan Park Bok Ja tidak akan merestui hubungannya dengan Tae Hee.
Nenek dan Ibu saling pandang dengan bingung, namun kemudian mereka tertawa gembira dan bahkan melakukan high five (tos) karena terlalu gembira mendengarnya. Mereka tampak bahagia karena ternyata Tae Hee tak salah memilih pasangan. Terlihat jelas bahwa Nenek dan Jbu sangat menyukai gadis pilihan Tae Hee.
Tae Hee tersenyum lega melihat reaksi Nenek dan Ibunya yang terlihat sangat merestui gadis pilihan hatinya. Ja Eun pun tampak tersenyum lega melihat reaksi Nenek dan Park Bok Ja.
“Ja Eun-ssi, Tae Hee si anak nakal, selamat untuk kalian,” seru Tae Shik seraya tertawa lebar. Dia pun terlihat sangat gembira saat mengetahui calon adik iparnya adalah Baek Ja Eun.
“Chukkae (Selamat),” ujar Tae Phil yang turut memberikan selamat kepada Tae Hee dan pasangannya.
“Halmoni, apakah Nenek menyukai calon cucu menantu Nenek?” tanya Tae Phil terang-terangan meminta pendapat sang Nenek mengenai calon istri pilihan Tae Hee. Ja Eun menatap Nenek dengan hati berdebar resah.
“Tentu saja. Apa aku masih perlu mengatakannya dengan kalimat bahwa aku sangat menyukainya?” tanya Nenek balik bertanya. Ja Eun tersenyum lega mendengarnya.
“Menantuku, bagaimana? Tidak ada lagi yang perlu dikatakan, bukan?” Nenek menanyakan pendapat menantunya sebagai calon mertua Ja Eun.
Park Bok Ja bercanda dengan mengatakan, “Sepertinya aku harus memikirkannya lebih dulu, Ibu,” ujarnya bercanda. Tae Shik segera tertawa mendengarnya, diikuti oleh tawa semua orang di ruangan itu.
Tae Hee dan Ja Eun saling melemparkan pandang sambil tersenyum malu-malu. Tatapan mata Tae Hee sangat penuh dengan cinta dan kebahagiaan.
“Oh Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi?” Nenek masih menganggap ini seperti keajaiban.
“Halmoni, bila Nenek bertanya seperti itu, Ja Eun-ssi akan merasa malu,” ujar Tae Shik.
“Apakah itu penting sekarang?” tanya Park Bok Ja, karena baginya yang penting adalah mereka saling mencintai jadi tidak penting kapan dan bagaimana hal itu terjadi, lagipula itu adalah privasi Tae Hee dan Ja Eun dan hanya merekalah yang berhak tahu.
“Oh, Hwang Chang Sik, kenapa kau pulang terlambat? Ada berita gembira di rumah,” ujar Nenek dengan antusias.
“Berita gembira apa, Ibu?” tanya Hwang Chang Sik dengan bingung.
“Duduklah dulu. Duduklah dulu,” ujar Nenek, dengan tidak sabar menyuruh putra pertamanya untuk duduk.
“Apa kau tahu, gadis yang dipacari Tae Hee kita adalah Ja Eun,” ujar Nenek, memberitahukan berita ini dengan tertawa gembira. Hwang Chang Sik spontan melemparkan tatapannya ke arah Ja Eun dengan tatapan ingin membunuhnya.
“Apa?” ulang Hwang Chang Sik shock.
“Gadis yang ingin dibawa pulang oleh Tae Hee dan diperkenalkan pada kita adalah Ja Eun,” ulang Park Bok Ja dengan tak kalah gembiranya.
“Demi Tuhan, ini adalah berita yang sangat membahagiakan. Yang harus kita lakukan sekarang adalah menentukan tanggal pernikahannya. Menikahlah musim semi tahun ini,” ujar Nenek dengan antusias, gercep langsung ingin menentukan tanggal pernikahan dan menikahkan Tae Hee dan Ja Eun.
“Tidak ada alasan untuk menundanya. Menikahlah musim semi tahun ini,” lanjut Nenek dengan tak sabar.
“Halmoni, musim semi rasanya terlalu cepat. Bagaimana bila musim gugur saja?” ujar Tae Hee berdiskusi dengan senyum merekah di wajahnya.
(Dia merasa Ja Eun masih belum siap jika mereka harus menikah di musim semi tahun ini, jadi dia meminta waktu hingga Musim Gugur tahun ini untuk menikah. Ceritanya saat itu masih awal Januari, jadi Musim Semi sekitar Februari atau Maret dan itu terlalu cepat bagi Tae Hee untuk mempersiapkan semuanya. Dia juga takut Ja Eun belum siap secara mental)
Park Bok Ja tampak terkejut mendengarnya, “Ibu pikir kau tidak akan pernah menikah seumur hidup, namun ternyata kau bahkan sudah menghitung hari? Ibu pikir kalian masih belum sampai di tahap itu. Apakah Musim Gugur tidak terlalu cepat juga? Apakah Ja Eun juga tidak keberatan?” tanya Park Bok Ja pada Tae Hee dan Ja Eun.
Park Bok Ja tampak terkejut karena untuk yang pertama kalinya dia mendengar kalau Tae Hee serius ingin menikah. Tae Hee tak hanya membawa pacarnya pulang untuk diperkenalkan kepada seluruh keluarganya, namun juga berencana untuk menikahi gadis itu.
Bukankah itu tandanya hubungan mereka sudah sangat serius jika sudah membicarakan pernikahan? Tae Hee yang selama ini tidak tertarik pada wanita, namun sekali pacaran langsung ingin menikah adalah sebuah gebrakan besar bagi mereka semua. Jika bukan karena Tae Hee benar-benar mencintai Ja Eun, dia tidak mungkin berencana menikahinya, benarkan?
“Jangan bicara omong kosong! Apa maksudnya dengan pernikahan?” seru Hwang Chang Sik, menolak dengan tegas rencana pernikahan itu.
Reaksi penolakan tegas Hwang Chang Sik membuat suasana di ruangan itu mendadak hening. Semua orang tampak terkejut karena sepertinya Hwang Chang Sik tidak merestui hubungan Tae Hee dan Ja Eun.
“Ibu, Ibu juga jangan katakan itu lagi. Tae Hee masih terlalu muda untuk menikah,” ujar Hwang Chang Sik, mencari alasan yang tak masuk akal.
“Tae Hee sudah berusia 31 tahun sekarang,” bantah Nenek.
“Umur bukanlah satu-satunya alasan. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan hanya karena mereka menginginkannya,” sahut Hwang Chang Sik berdalih.
“Kenapa kau bicara seperti itu?” tanya Park Bok Ja yang juga tampak bingung dengan sikap suaminya.
“Kenapa kau tidak mau mendengarkan aku? Bukankah aku sudah mengatakannya padamu berkali-kali agar tidak perlu membuang-buang waktu dan tenagamu untuk mengembangkan pakan bebek lagi? Kau belum sepenuhnya pulih namun kau sudah berkeliaran di peternakan orang lain?” seru Hwang Chang Sik, memarahi istrinya dengan suara keras.
“Dan kau! Apa yang kau pikirkan? Kau pergi berkeliaran di peternakan bebek orang lain dengan mengajak seseorang yang belum sepenuhnya pulih. Apa kau mau bertanggung jawab bila Ahjumma sakit lagi? Berapa lama lagi kau berencana merepotkan Ahjumma dengan masalah pertanianmu?” bentak Hwang Chang Sik pada Ja Eun.
Dia membentak dan memarahi Ja Eun di hadapan semua orang dan membuat gadis malang itu ketakutan. Dia sekali lagi menginjak-injak harga diri gadis itu. Semua orang terdiam membisu dan hanya mempu menundukkan kepala mereka, tak berani membuka suara. Bahkan Tae Hee pun tak tahu bagaimana harus bereaksi.
“Ayah Tae Shik, ada apa denganmu?” tanya Park Bok Ja dengan bingung. Tapi Hwang Chang Sik menolak menjawab dan berjalan keluar rumah.
“Menantuku, apa telah terjadi sesuatu padanya?” tanya Nenek pada Park Bok Ja setelah Hwang Chang Sik berjalan keluar.
“Tidak ada, Ibu. Tapi aku akan keluar melihatnya,” sahut Park Bok Ja kemudian pergi menyusul suaminya untuk bertanya ada masalah apa sebenarnya.
Hwang Chang Sik tampak berdiri di halaman saat Park Bok Ja berjalan menghampirinya, “Kenapa kau bersikap seperti itu? Katakan padaku. Pasti ada alasan khusus kenapa kau bersikap seperti itu, bukan? Kenapa kau berteriak seperti itu pada Ja Eun hingga membuatnya ketakutan dan tak mampu mengangkat kepalanya?” tanya Park Bok Ja.
“Walaupun aku berusaha untuk mengerti, tapi aku tak bisa mengerti. Kenapa kau bersikap aneh belakangan ini? Selalu mengatakan padaku ingin pindah dari sini dan berteriak memarahi Ja Eun di hadapan semua orang hingga membuatnya ketakutan dan tak mampu mengangkat kepalanya,” lanjut Park Bok Ja, tampak seperti ingin mencari keadilan bagi Ja Eun.
“In Ho yang membunuh Chang Woon kita,” ujar Hwang Chang Sik akhirnya.
“Apa? Kau bilang apa barusan?” tanya Park Bok Ja shock, mengira dia salah mendengar.
“Pelaku dalam insiden tabrak lari yang menewaskan Chang Woon adalah Baek In Ho. Baek In Ho yang telah membunuh Chang Woon kita,” ulang Hwang Chang Sik dengan air mata menetes pelan.
“Apa?” ulang Park Bok Ja, benar-benar shock kali ini.
“Baek In Ho, ayah Ja Eun yang telah membunuh Chang Woon kita,” ulang Hwang Chang Sik dengan hati yang perih.
Park Bok Ja seketika merasa lututnya terasa lemas, dia jatuh berlutut di tanah seraya menatap suaminya dengan shock, berharap bahwa suaminya sedang bercanda dengannya.
Hwang Tae Hee memperkenalkan Baek Ja Eun sebagai pacarnya :
Here come the angsts! We will start “The Love Story Of Romeo and Juliet” T_T Next, Ja Eun and Tae Hee will be suffering for “I-know-how-many-episodes-but-I-cannot-tell-you-that-because-I-don’t-want-to-give-you-spoiler!” My heart hurts for Tae Hee and Ja Eun.
See the way the Ajumma fell. Nearly sat on the dog. Mum gets a shock when she hears from Dad that the culprit of the hit and run was Baek In Ho. Poor lady. She loves both Tae Hee and Ja Eun so much. I hate this. Ja Eun will face the hardships once again >_< It’s just so sad for Ja Eun to be treated like that by Hwang Chang Sik. I really can not bear to see her get hurt again. Very pity to her. Poor Ja Eun. I really don’t want to see she cries and lonely again. After she wish to do not endure hardships again, but now she get this? I’m gonna cry T_T
But I know that the writers will make a way for Tae Hee to investigate this further before believing Ja Eun’s dad is the one who caused the hit and run, because he already knows that his Boss has something to do with Ja Eun’s Dad’, I know he will find out the truth.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/708 + https://gswww.tistory.com/709)
Video Credit : Meyahmjw.
Gift Credit : Cadence.
Artikel terkait :
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar