Senin, 19 Agustus 2024

Sinopsis EP 46 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight for today episode :
Today highlight is Hwang Tae Hee singing and dancing on the street for Ja Eun and hugging her. Tae Hee is the real definition of “I’d do anything for you, anything you wanted me too...” Just because Ja Eun’s calling him, crying and asked him singing for her. He must really be in love to sing in public like that, particularly in front of his fellow police men. I love that Tae Hee doesn’t say NO to Ja Eun! He love Ja Eun so much ^^ Totally loved that Tae Hee would do anything for Ja Eun, including looking silly amongst his fellow police men and strangers. So cute Tae Hee ^^ Tae Hee is the cutest boyfriend I’ve never seen. Tae Hee should win the “BEST BOYFRIEND” award ever! I need someone like Tae Hee, a boyfriend who sings for me ANYWHERE just because I ask for it. Tae Hee, you are one daebak boyfriend ^_^ Can I have a boyfriend like that? Does such boyfriend exists in real life? Doubt it! I don’t think so. Strong, silent ‘Dog Tae Hee’ singing a Josh Grobin song and dancing & singing to cartoon kiddie songs on the street, all because of his girl, it’s so obvious the writer is a woman & has made Tae Hee the ultimate boyfriend for the modern girl.

I also think that more than cute, what Tae Hee did (dancing on the street after having hesitated) was a very LOVING GESTURE that underscores how much Tae Hee not only loves Ja Eun, but also how much he CARES about her and about how she feels. Realistically, LOVE doesn’t stay at the same level all the time in a relationship. It has to become deeper if it is to be sustained over time. Caring about someone means that you put their needs above yours and that you might not always like them (want to be around them) but that because you care, you try to understand them and where they are coming from and you help them and try to make them feel better.


I think that scene was important because it spoke volumes about where Tae Hee and Ja Eun are regarding how they feel about each other. Ja Eun immediately thinks of Tae Hee and goes to him when she is having a hard time and Tae Hee (not really knowing what she has just gone through) does what he can to lift up her mood and comfort her. The fact that she ran to him on the street was also important because again, she was comforted and Tae Hee had just proven to her that he would be there for her and would be willing to stand by her side. He hugged her back, however I don’t think he knew and therefore understood how important what he had just done was.


His girlfriend, the woman he wants to marry, had just been rejected by his dad and that hurt deeply and she was upset. For him, to be willing to do a silly and humiliating thing said a lot to her and to us, the viewers. It might be embarrassing, but he do it anyway because he love her and care for her and his pride becomes less important. It becomes more about the relationship and about how to nurture that relationship. It becomes about the other person’s love language and about whether we are willing to speak that language, even at our expense.


I love scenes like that, where each person is feeling something completely different, but both are feeling what they’re feeling because of their love for the other person. I’ was relieved that Ja Eun didn’t waver long and so quickly begged the dad to reconsider. I was equally relieved that the dad did reconsider.


---------00000-----

Episode 46:
Setelah pembicaraan mereka, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja kembali ke rumah. Di luar rumah, Park Bok Ja berkata kalau Ja Eun sekarang pasti sudah pulang ke rumah.


“Aku akan ke atas dan mengatakan padanya soal pertanian ini,” ujar Park Bok Ja pada suaminya kemudian segera masuk ke dalam rumah meninggalkan Hwang Chang Sik yang masih ingin merenung di luar rumah.


Setelah mengganti baju dan membuatkan Ja Eun minuman hangat, Park Bok Ja segera naik ke loteng untuk bicara dengan Ja Eun dan membahas keinginannya untuk menjual pertanian ini dan pindah dari sini.

“Apa kau sibuk?” tanya Park Bok Ja dengan sabar.
“Tidak. Apa ada sesuatu yang ingin Ahjumma katakan padaku?” tanya Ja Eun setelah mempersilakan Park Bok Ja untuk duduk di lantai kamarnya.

“Bagaimana jika kita berhenti mengembangkan pakan bebek dan jual saja pertanian ini?” pinta Ahjumma, setengah tidak rela karena dia juga sangat mencintai pertanian ini, hingga dulu bahkan nekat mencuri surat kontrak milik Ja Eun.

“Kenapa, Ahjumma? Kenapa sangat tiba-tiba?” tanya Ja Eun dengan bingung.

“Itu karena Ahjumma sudah mulai lelah dan ini membuatku menjadi sangat mudah lelah. Setelah jatuh sakit waktu itu, rasanya tubuhku semakin lemah,” ujar Park Bok Ja, mencoba menutupi alasannya dengan menggunakan kesehatan sebagai alasannya.

“Apa Ahjumma merasa sakit di suatu tempat?” tanya Ja Eun dengan raut wajah khawatir.

“Bukan karena aku merasa sakit. Hanya saja bekerja di pertanian membuatku sangat lelah. Jika aku terus memaksakan diri, aku takut akan jatuh sakit sekali lagi,” sahut Park Bok Ja dengan lembut.


“Kalau begitu kita akan memperkerjakan seseorang untuk membantu kita dan kita hanya cukup mengawasinya saja. Sedangkan untuk pakannya, aku akan mengembangkan pakan itu seorang diri,” usul Ja Eun, mencoba mencari solusi lain untuk masalah mereka tanpa tahu masalah yang sebenarnya.

“Tidak perlu melakukan itu. Kita menyerah saja. Bila kau tidak ingin melakukannya, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Namun aku ingin menyerah saja lalu menjual pertanian ini dan pindah dari sini. Selain itu, ini juga karena Ahjussi,” ujar Park Bok Ja, masih berusaha membujuk dengan sabar.

“Setelah bekerja di pertanian, dia bilang aku tak pernah tidur dengan nyenyak lagi. Setiap kali dia melihatku seperti itu, dia merasa dia telah menjadi suami yang buruk untukku, karena telah membiarkan istrinya menderita seperti itu. Dan aku juga merasa lelah sekarang, rasanya ini sangat sulit,” lanjut Park Bok Ja, meminta dengan sabar.

“Lalu bagaimana dengan semua pohon pir itu dan juga bebek-bebek kita?” tanya Ja Eun dengan raut wajah tak rela.

“Aku tahu karenaku, kau berusaha keras untuk melindungi pertanian ini. Karena saat aku membayangkan semua pohon itu akan ditebang, hatiku terasa sakit. Tapi sekarang aku tak punya pilihan lain. Mari kita jual saja pertanian ini dan pindah. Bisakah kau memikirkannya?” pinta Park Bok Ja dengan memohon.

“Baiklah,” sahut Ja Eun dengan ekspresi sedih.

Park Bok Ja tersenyum lembut dan menyuruh Ja Eun agar cepat tidur, sementara dia juga akan kembali ke kamarnya. Setelah kembali ke kamarnya, Park Bok Ja setelah memberitahu suaminya kalau dia sudah meminta Ja Eun untuk menjual pertanian ini.

“Aku sudah meminta Ja Eun untuk menjual pertanian ini. Dia bilang dia akan memikirkannya. Jadi kau juga harus mengabulkan permintaanku, bukan?” ujar Park Bok Ja memastikan.

“Baru saja aku berpikir untuk memberitahu Ja Eun besok siang,” sahut Hwang Chang Sik tanpa perasaan.

Park Bok Ja seketika emosi saat mendengar rencana suaminya, “Apa yang kau katakan?” serunya marah.

“Aku tahu apa yang kau rasakan. Apa kau berpikir aku melakukan ini karena aku tidak menyukai Ja Eun? Hatiku juga sangat terluka dan rasanya seperti tercabik-cabik. Tapi ini tetaplah tidak benar!” seru Hwang Chang Sik membela diri.

“Kalau begitu jangan pikirkan tentang Ja Eun, cobalah pikirkan Tae Hee! Ini adalah pertama kalinya Tae Hee memperkenalkan seorang gadis di hadapan seluruh keluarga, pertama kalinya dia membawa seorang gadis pulang ke rumah. Bila dia hanya menyukai Ja Eun sedikit saja, bila perasaan Tae Hee tidak sedalam itu, apa kau pikir dia akan memperkenalkan Ja Eun sebagai pacarnya di hadapan seluruh keluarganya?” seru Park Bok Ja, meminta pada suaminya untuk memikirkan masalah ini dari sisi Ja Eun maupun Tae Hee.


“Itu sebabnya aku katakan padamu kalau kita tidak bisa membiarkan ini lebih lama lagi. Bahkan walau hanya sehari saja, kita harus secepatnya memisahkan mereka. Kenapa kau seperti ini? Aku sama sekali tidak memahamimu! Apakah kau akan bersikap seperti ini bila yang meninggal adalah adik kandungmu?” tanya Hwang Chang Sik, selalu hanya berfokus pada penderitaannya sendiri.

(Lalu apa, Hwang Chang Sik? Adikmu sudah meninggal 26 tahun yang lalu, bukan? Dia tidak akan bisa hidup kembali walaupun pelakunya tertangkap! Oke, fine! Dendam terbalas bila pelakunya tertangkap, tapi kenapa harus melibatkan dua orang anak muda yang tidak bersalah? Kalaupun memang Baek In Ho bersalah, itu tetaplah bukan kesalahan Ja Eun! Ja Eun bahkan belum lahir saat insiden itu terjadi! Kenapa harus menjadikan Ja Eun yang tidak bersalah sebagai sasaran balas dendammu dan memisahkan sepasang kekasih yang saling mencintai? Tahukah kamu kalau Tae Hee sudah berjuang keras untuk Move On dan melupakan masa lalunya yang menyakitkan, dan semuanya itu karena bantuan Ja Eun? Tae Hee sudah berjuang keras agar terlepas dari bayang-bayang masa lalu dan trauma masa lalunya, sekarang dia hanya ingin menatap ke depan, lalu kenapa sekarang kau membuat Tae Hee harus kembali ke titik awal dan kembali merasakan trauma itu sekali lagi? Tidak mudah bagi Ja Eun untuk membawa Tae Hee keluar dari “cangkangnya”. Tidak mudah bagi Ja Eun untuk membuat Tae Hee menghapus “dendam” masa lalunya kepada sang ibu dan orangtua yang meninggalkannya, sekarang saat Tae Hee ingin menyongsong masa depan yang bahagia bersama Ja Eun, kenapa kau harus memisahkan mereka? Mengapa dua orang yang saling mencintai tidak boleh bersama? Hwang Chang Sik, kau terlalu kejam! Move On, Hwang Chang Sik! MOVE ON! LIFE MUST GO ON!!!!)

“Ya. Aku akan menutupinya. Bahkan bila itu adalah adik kandungku, aku akan menutupinya. Ini untuk Ja Eun, jadi kau harus menutupinya!” sahut Park Bok Ja, tegas dan mantap.

“Apa?” Hwang Chang Sik tampak terkejut saat mendengar jawaban istrinya yang tegas.

“Aku tidak akan hidup bersamamu lagi. Aku akan menceraikanmu dan takkan hidup bersamamu lagi. Bila kau tetap nekat memberitahu Ja Eun tentang masalah ini dan membuatnya hidup dalam rasa sakit selamanya, maka aku akan meninggalkanmu! Aku akan menceraikanmu!” ancam Park Bok Ja sekali lagi. Bravo Ahjumma!
 


“Apa yang kau katakan?” Hwang Chang Sik tampak terkejut saat istrinya sekali lagi mengancam dengan perceraian.

“Aku sangat serius. Aku akan menceraikanmu. Kecelakaan itu sudah terjadi 26 tahun yang lalu. Ja Eun bukanlah pelakunya, dia tidak bersalah! Bagaimana mungkin aku akan membiarkan Ja Eun menderita seumur hidup jika mengetahui semua ini? Bagaimana aku bisa hidup dengan melihatnya menderita seperti itu?” sahut Park Bok Ja.

“Setelah aku menikah dan masuk ke dalam keluargamu, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk keluargamu. Aku membesarkan dan menyayangi Tae Hee lebih dari putraku sendiri. Bahkan walaupun kita hidup miskin di jalanan dan anak-anak hampir mati kelaparan, aku tak pernah sekalipun meminta cerai darimu, tapi sekarang aku akan mempertaruhkan statusku sebagai istrimu dan memohon padamu. Tak bisakah kau mengabulkan permintaanku sekali saja?” lanjut Park Bok Ja, mengancam sekaligus memohon pada suaminya, membuat Hwang Chang Sik tak mampu berkata-kata.

Di kamarnya, Ja Eun membuat daftar hal penting yang harus dia lakukan lebih dulu : 1. Kesehatan Ahjumma, 2. Perkebunan Pir, 3. Ojakgyo Family, 4. Mengembangkan pakan bebek, 5. Menepati janji pada Kim PD-nim.


Ja Eun akhirnya melingkari nomor 1 (Kesehatan Ahjumma) dan nomor 3 (Ojakgyo Family) sebagai dua hal terpenting dalam hidupnya.

Keesokan paginya, Ja Eun segera menghampiri Park Bok Ja yang sedang sibuk memasak di dapur. Park Bok Ja melihat kedatangan Ja Eun dan bertanya apakah dia akan ke kandang bebek sekarang?

“Ya. Karena hari-hariku untuk melihat anak-anak (Ja Eun menyebut bebek-bebek sebagai anak-anak) semakin singkat, jadi aku ingin mengurus dan merawat mereka dengan baik sebelum kita melepaskannya. Ahjumma, mari kita jual pertanian ini. Tapi hanya setelah minggu ke-3, saat kita sudah memperoleh hasil dari pakan yang kita uji coba sebelumnya. Walaupun kemungkinan berhasilnya sangat kecil, tapi aku tetap ingin melihat hasilnya,” ujar Ja Eun dengan penuh pengertian, mengalah dan melepaskan pertanian miliknya, hartanya satu-satunya demi Park Bok Ja.


“Kita sudah bekerja keras untuk ini jadi melepaskannya begitu saja tanpa melihat hasilnya rasanya sangat tidak adil. Bila kita gagal, maka kita bisa menjual pertanian ini dengan lapang dada tanpa adanya penyesalan lagi. Dan jika kita berhasil, maka kita tetap bisa menjualnya dengan hati gembira karena setidaknya perjuangan dan kerja keras kita ternyata tidak sia-sia,” lanjut Ja Eun dengan hati berat, namun memaksakan senyum di wajahnya.

“Baiklah. Kita lakukan seperti keinginanmu. Ahjumma minta maaf,” ujar Park Bok Ja dengan tatapan trenyuh.

“Tidak, Ahjumma. Aku juga sempat memikirkan hal ini. Jika Anda tidak merasa benar-benar kesulitan, maka Anda tidak mungkin mengatakan ini. Aku tahu dari semua orang di sini, Andalah yang paling berat menjual pertanian ini, tapi jika Anda sudah bicara seperti itu, maka itu berarti Anda benar-benar tidak sanggup lagi. Jangan meminta maaf padaku. Aku benar-benar tidak apa-apa. Daripada pertanian ini, kesehatan Ahjumma ribuan kali lebih penting bagiku,” ujar Ja Eun dengan tulus dan penuh perhatian.

Kalimat Ja Eun yang sangat tulus membuat Park Bok Ja semakin tidak tega melukai gadis malang itu dan hatinya semakin sakit saat mengingat semua ini. Matanya tampak berkaca-kaca namun dia berusaha tetap tersenyum.

“Baiklah. Terima kasih, Ja Eun-ah.” ucap Park Bok Ja dengan lembut.
“Aku akan pergi melihat bebek-bebek itu sebentar lalu segera kembali,” ujar Ja Eun lagi kemudian berjalan keluar rumah.

Ja Eun membuka kandang bebek itu untuk memberi mereka makan. Seperti biasa, Ja Eun menyapa bebek-bebek itu dengan riang, “Anak-anak, apa kalian tidur dengan nyenyak? Walaupun kalian memiliki bulu, tapi tetap terasa dingin saat malam hari, bukan?” seru Ja Eun pada bebek-bebek itu dengan sayang. Dia tersenyum namun matanya berkaca-kaca.


“Jika belum apa-apa saja, aku sudah merasa sedih, lalu bagaimana aku bisa berpisah dengan kalian? Aku harus cepat-cepat memberi kalian makan dan menaburkan lebih banyak lagi serbuk gergaji agar kalian merasa hangat,” lanjut Ja Eun lagi seraya menaburkan pakan bebek yang sudah dibawanya.

Ja Eun menatap bebek-bebek itu dengan seksama dan berkata lagi, “Kalian tumbuh besar dalam semalam. Akan sangat menyenangkan bila ada salah satu dari kalian yang berhasil, jadi dengan begitu, aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada kalian dengan senyuman,” ujarnya lagi dengan ekspresi sedih yang tampak nyata.

Setelah memberi makan bebek-bebek itu, Ja Eun kembali ke rumah untuk sarapan bersama keluarga Hwang. Park Bok Ja tampak berselera makan.

“Kapan Soo Yeong datang berkunjung? Bukankah besok adalah hari ulang tahunmu?” tanya Nenek pada Park Bok Ja.

“Ulang tahun kali ini aku tidak menginginkan perayaan, Ibu.” Sahut Park Bok Ja menolak halus.

“Apa yang kau bicarakan? Ini adalah ulang tahun pertamamu setelah memiliki seorang menantu, bukan? Kenapa tidak ingin merayakannya? Hubungi Soo Yeong sekarang,” ujar Nenek tak suka.


“Ini karena ada urusan yang lebih penting, Ibu.” Ujar Park Bok Ja lagi.
“Kenapa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Nenek dengan khawatir.
“Ibu, kami sudah memutuskan untuk menjual pertanian ini dan pindah,” ujar Hwang Chang Sik, menjelaskan rencana mereka.


Semua orang tampak terkejut mendengarnya dan Tae Hee spontan menatap Ja Eun dengan penuh tanya, tatapan mata yang seolah menanyakan, “Apa kau setuju soal ini?”

“Kenapa tiba-tiba saja ada pembicaraan seperti ini?” tanya Nenek tampak shock.

Tae Phil dan Tae Shik pun kompak bertanya bingung, “Kenapa, Ayah?” tanya Tae Phil.
“Ya, kenapa tiba-tiba?” Tae Shik menimpali.

“Ibumu semakin menua dan mengembangkan pakan bebek membuatnya kelelahan, kesehatannya juga semakin memburuk sejak sakit terakhir kali,” sahut Hwang Chang Sik, menggunakan Kesehatan Park Bok Ja sebagai alasannya.


“Eomma, apa Eomma merasa sakit di suatu tempat?” tanya Tae Hee dengan nada khawatir.

“Tidak. Bukan seperti itu. Itu karena aku semakin menua dan tidak sekuat dulu lagi. Setelah minggu ke-3 dan kami mendapatkan hasil dari uji coba pakan kami yang terakhir, kami berencana menjual pertanian ini,” sahut Park Bok Ja lagi.

“Ya, Nenek. Kami sudah memutuskan seperti itu,” sahut Ja Eun setuju.
“Kau sudah setuju?” tanya Nenek, masih tampak tak rela karena Ja Eun mendukung keputusan itu.

“Setelah kita menjual pertanian ini, kita akan mendapatkan banyak uang jadi kita bisa pindah ke rumah yang lebih besar lagi, Nenek. Karena kita memiliki banyak anggota keluarga, kita membutuhkan setidaknya 7 kamar. Lihat! Kamar Nenek, kamar Ahjumma dan Ahjussi, kamar Tae Shik Ahjussi, kamar Tae Hee Ahjussi, kamar Maknae Oppa, kamarku dan kamar Guksu,” ujar Ja Eun dengan ceria. Tae Hee tampak memikirkan ucapan Ja Eun.


(Lihat betapa baiknya Ja Eun. Pertanian itu adalah miliknya, secara logika, uang hasil penjualan pertanian itu adalah MILIK JA EUN SEPENUHNYA. Tapi dia malah ingin menggunakan uang itu untuk membeli rumah besar untuk keluarga Hwang, bukan untuknya sendiri. Dengan kata lain, Ja Eun ingin membelikan sebuah rumah besar untuk keluarga mertuanya. Nemu di mana lagi menantu perempuan baik hati dan berbakti kayak Ja Eun gini?)

“Bahkan Guksu juga?” tanya Tae Shik dengan gembira. Guksu seketika menatap Ja Eun dengan mata berbinar gembira.

“Tentu saja. Karena Guksu sudah mulai sekolah, kita harus memberikannya kamar sendiri agar dia bisa belajar dengan leluasa,” sahut Nenek.

“Tentu saja. Tapi bila Paman Kedua datang untuk menginap, kita tetap membutuhkan kamar tamu satu lagi,” sahut Ja Eun teringat Tae Bum.

“Jika itu terjadi, Tae Phil bisa tidur di kamarku jadi kita tak perlu lagi kamar tamu,” ujar Tae Shik memberi usulan.

“Ah, benar juga,” sahut Ja Eun baru sadar, toh Guksu kan rencananya punya kamar sendiri nantinya.


“Tunggu, tunggu! Kau salah menghitung jumlah kamarnya. Kita sama sekali tak perlu satu kamar lagi. Bukankah tak lama lagi kau dan Tae Hee akan tidur satu kamar?” ujar Nenek dengan nada menggoda sepasang kekasih itu.

“Benar juga,” sahut Tae Shik dengan tertawa jahil ke arah Tae Hee. Nenek, Tae Shik, Guksu dan Tae Phil tertawa gembira.


Sementara Ja Eun dan Tae Hee hanya tersenyum malu-malu saat mendengar itu namun tidak mengatakan apa-apa untuk menyanggah ucapan Nenek, memberikan kesan seolah-olah mereka tidak sabar untuk segera tidur di satu kamar.


“Kenapa kalian tidak membantahnya? Bukankah seharusnya kalian berkata ‘Kenapa Nenek berkata seperti itu?’ dengan malu-malu lalu kemudian membantahnya? Kalian memberikan kesan seolah-olah kalian sudah tidak sabar untuk tidur satu kamar,” goda Tae Phil dengan seringai nakalnya. Lagi-lagi Tae Hee hanya tersenyum malu-malu dengan wajah memerah melihat Tae Phil menggoda mereka.


Setelah sarapan, Tae Hee mengantar Ja Eun ke kantornya. Kim Jae Ha kebetulan juga baru tiba di kantor dan tak sengaja melihat sepasang kekasih itu turun dari mobil Tae Hee.

(Setelah pacaran terang-terangan, Tae Hee yang biasanya nganterin Tae Shik dan Tae Phil berangkat kerja, kini mengantar Ja Eun bekerja. Tae Shik dan Tae Phil mungkin sadar diri kale ya karena tahu kalau Tae Hee sudah punya pacar jadi yang lebih berhak untuk berada di mobil Tae Hee dan diantarkan berangkat kerja adalah pacarnya, bukan saudaranya lagi. Apalagi kan saudara-saudaranya Tae Hee itu laki-laki, uda dewasa pula. Gak bisa selamanya nebeng!)




Tae Hee keluar dari dalam mobilnya dengan tersenyum gembira, sementara Ja Eun dengan sedikit ngambek, entah karena apa, namun Tae Hee segera mencekal lengan Ja Eun dan menahannya agar tidak pergi begitu saja.


Tae Hee tampak merapikan syal Ja Eun dan sekaligus bermain-main dengan syal itu dengan berpura-pura menariknya agar leher Ja Eun tercekik, tapi tentu saja Tae Hee hanya main-main.


Ja Eun tertawa seraya memukul ringan lengan Tae Hee yang menarik syalnya usil. Tae Hee tertawa karena berhasil mengusili Ja Eun.


Ja Eun kemudian merapatkan mantel Tae Hee agar pacarnya tidak kedinginan. Setelah itu, Tae Hee dan Ja Eun saling melambaikan tangan saat akhirnya Ja Eun masuk ke dalam gedung kantornya.


Tae Hee dan Ja Eun tampak sangat mesra dan manis dan itu membuat Kim Jae Ha hanya mampu menatap sedih ke arah sepasang kekasih itu. Apalagi saat dia teringat nama Baek In Ho yang tertulis di dalam daftar para tersangka itu.


Setelah Ja Eun masuk ke dalam gedung kantornya, Tae Hee yang melihat Kim Jae Ha berdiri di depan pintu gedung, berjalan menghampirinya.



“Hwang Gyeonghwi-nim, apa yang membawamu menemuiku?” tanya Kim Jae Ha, berpura-pura bodoh.

“Aku kemari untuk meminta daftar nama para tersangka. Hari ini kau membawanya, bukan?” tanya Tae Hee tanpa basa-basi.



“Ah, bagaimana ini? Saat aku mencarinya kembali, daftar yang berisi kendaraan para tersangka itu sudah tidak ada lagi,” sahut Kim Jae Ha berbohong.

“Apa?” Tae Hee jelas tak percaya mendengarnya.



“Aku yakin itu masih ada saat aku membereskan barang-barangku bulan lalu, tapi saat aku mencarinya lagi kemarin, dokumen itu sudah tak ada di tempatnya. Aku juga sangat kaget jadi aku mencarinya di seluruh penjuru rumah sepanjang malam tapi aku benar-benar tidak tahu ke mana dokumen itu berada. Dokumen itu tiba-tiba saja hilang,” ujar Kim Jae Ha dengan santai.




“Apa kau sedang bercanda denganku sekarang?” ujar Tae Hee, masih mencoba bersabar.

“Aku minta maaf. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya,” ujar Kim Jae Ha, tidak ingin Tae Hee melihat nama Baek In Ho ada di dalam daftar tersebut.


“Apa Polisi Bong Man Hee tidak mengatakan apa pun padamu kemarin?” tanya Tae Hee lagi.

“Ya. Bukan hanya tidak mengatakan apa pun padaku, namun dia juga sangat marah. Dia benar-benar tidak ingat apa pun. Dia bilang bagaimana dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi dua puluh enam tahun yang lalu? Dia meminta kita untuk berhenti mendatanginya karena itu sangat mengganggunya,” sahut Kim Jae Ha.



“Lagipula bukankah sejak awal kau juga tidak terlalu berharap dia bisa memberimu sebuah petunjuk atau apa pun itu? Apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana jika kita menyerah saja sekarang?” lanjut Kim Jae Ha, mencoba membuat Tae Hee menghentikan penyelidikan ini.



Tae Hee menatap Kim Jae Ha dengan tatapan curiga sebelum kemudian menjawab, “Akulah yang akan memutuskan hal itu. Aku pergi sekarang,” ujarnya sinis.




Tae Hee berjalan pergi dengan penasaran, “Tiba-tiba saja dia ingin menghentikan penyelidikan dan kehilangan daftar para tersangka itu. Apa alasannya?” gumam Tae Hee pada dirinya sendiri dengan penasaran. 
Dia menoleh ke belakang dengan tatapan penuh tanya ke arah Kim Jae Ha tadi berada.



Menjelang makan siang, Ja Eun yang asyik menggambar di kantornya mendapat telepon dari Hwang Chang Sik yang memintanya untuk menemuinya di suatu tempat. Dengan gembira, tanpa tahu apa pun, Ja Eun segera datang menemui pria tua itu.


“Ahjussi, apa yang ingin Anda katakan padaku?” tanya Ja Eun saat melihat Hwang Chang Sik hanya menunduk seraya menatap cangkirnya dan tidak membuka mulut sedikit pun.

“Ja Eun-ah, aku sangat menyesal harus mengatakan ini padamu, tapi dari posisiku sebagai seorang Ayah, aku harus mengatakan ini padamu,” ujar Hwang Chang Sik, walaupun tampak ragu.

“Katakan saja, Paman.” Sahut Ja Eun.

“Aku harap kau tidak akan menemui Tae Hee lagi. Aku merasa kau bukanlah pasangan yang tepat untuk Tae Hee. Kau tidak memenuhi kualifikasi calon menantu yang kuinginkan. Kau sangat cantik dan pintar tapi kau memiliki kekurangan yang membuatmu tak pantas menjadi pasangan Tae Hee,” ujar Hwang Chang Sik, terdengar menyakitkan.

“Tae Hee adalah anak yang istimewa bagiku, jadi aku ingin dia menemukan pasangan hidup yang tepat untuknya yang tidak memiliki kekurangan apa pun. Jadi saat aku pergi ke Surga nanti dan bertemu dengan ayah kandung Tae Hee, adik kandungku, aku bisa mengatakan padanya bahwa aku telah menemukan pasangan yang tepat untuk Tae Hee,” lanjut Hwang Chang Sik. Ja Eun tampak shock mendengar ucapan Hwang Chang Sik yang begitu tiba-tiba padanya.

“Kau pasti ingin tahu apa yang tidak kusukai darimu, bukan?” tanya Hwang Chang Sik.
“Ya,” sahut Ja Eun dengan hati yang gundah.

“Aku tidak menyukaimu karena kau terlalu muda untuknya dan tidak memiliki pekerjaan yang stabil. Lebih dari itu, aku tidak menyukaimu karena tidak memiliki orangtua dan seorang anak yatim piatu,” ujar Hwang Chang Sik dengan dingin dan kejam.


(Look who’s talking! Hwang Chang Sik, Tae Hee juga anak yatim piatu! Itu sebabnya mereka berdua adalah pasangan yang serasi, hanya Ja Eun yang mengerti perasaan Tae Hee, karena mereka memiliki nasib yang hampir mirip. Apa kamu pikir, gadis lain dari keluarga lengkap akan bisa mengerti perasaan Tae Hee, perasaan seorang anak yang ditinggalkan dan selalu hidup dalam kepura-puraan? Pura-pura ceria, pura-pura tersenyum, pura-pura baik-baik saja, padahal hatinya merasa kosong. Bisakah gadis dengan orangtua lengkap mengerti perasaan seorang anak yatim piatu? NGGAK! Mereka yang gak pernah merasakan, gak akan pernah mengerti! Itu sebabnya Tae Hee merasa Ja Eun adalah belahan jiwanya, karena HANYA JA EUN yang MENGERTI APA YANG DIA RASAKAN : kesedihannya, rasa kesepiannya, lubang kosong dalam hatinya, hanya Ja Eun yang mengerti >_<)

“Walaupun aku membesarkannya dengan baik, Tae Hee kami sudah kehilangan ayahnya sejak kecil dan ditinggalkan ibunya begitu saja, hingga dia harus tumbuh seperti ini. Itulah sebabnya, seorang gadis sepertimu yang tidak memiliki orangtua ataupun saudara yang lain tidak akan cocok untuknya. Seorang gadis yang memiliki keluarga utuh, lengkap dengan orangtua yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang adalah seseorang yang kuinginkan untuk menjadi pasangan hidupnya,” lanjut Hwang Chang Sik, membuat hati Ja Eun hancur berkeping-keping mendengarnya.

Siapa yang bisa menolak takdir? Siapa yang bisa menolak kematian? Apakah salah jika seorang anak kehilangan orangtuanya karena kematian? Apakah anak yatim piatu tidak boleh mendapatkan kebahagiaan juga? Adilkah ini? Tidak ada seorangpun yang tahu kapan ajal akan menjemput dan Ja Eun pun tidak mengharapkan ibu kandungnya akan meninggal di saat dirinya sendiri belum genap dua tahun. Begitu juga dengan kecelakaan yang menimpa Baek In Ho. Siapa yang tahu bahwa kecelakaan akan terjadi? Menggunakan alasan yatim piatu adalah cara yang sangat keji, Hwang Chang Sik!

“Aku minta maaf. Putuslah dengan Tae Hee. Jangan temui dia lagi!” ujar Hwang Chang Sik, mempertegas kalimatnya.


“Ahjussi, aku bukan yatim piatu. Ayahku masih belum meninggal. Aku percaya kalau ayahku belum meninggal,” ujar Ja Eun dengan air mata yang bercucuran. Jahat banget nih Hwang Chang Sik T_T

“Kau adalah gadis yang pintar, itu sebabnya saat aku mengatakan ini padamu, kau pasti mengerti kalau apa pun yang kau katakan, tidak akan pernah membuatku berubah pikiran. Putuskan hubunganmu dengan Tae Hee. Jangan temui dia lagi,” ujar Hwang Chang Sik, masih dengan dingin dan kejam.

“Ahjussi,” panggil Ja Eun dengan nada memohon.
“Aku percaya kau mengerti maksudku. Aku pergi dulu,” sahut Hwang Chang Sik, tanpa perasaan.

Pria tua b4ngsat dan menyebalkan itupun berjalan pergi meninggalkan Ja Eun yang menangis tersedu, dia tampak menoleh ke arah Ja Eun sekilas sebelum kemudian terus berjalan tanpa ragu.

Setelah menemui Ja Eun, Hwang Chang Sik segera pulang ke rumahnya. Park Bok Ja yang saat itu sedang memotong sayur di dapur segera menghampiri suaminya.

“Ke mana kau pergi?” tanya Park Bok Ja dengan was-was.
“Aku pergi menemui Ja Eun,” sahut Hwang Chang Sik lirih.
“APA?” Park Bok Ja tampak shock mendengarnya. Dia segera mengikuti suaminya yang berjalan masuk ke dalam kamar.

“Apa kau sudah mengatakannya pada Ja Eun? Apa kau benar-benar sudah mengatakan padanya? Cepat jawab aku! Apa kau sudah memberitahu dia semuanya?” desak Park Bok Ja, menuntut jawaban.

“Aku tidak mengatakan padanya. Aku hanya mengatakan padanya bahwa aku tidak mau dia menjadi menantuku. Aku memintanya putus dengan Tae Hee serta tidak menemuinya lagi,” ujar Hwang Chang Sik.

“Alasan apa yang kau berikan padanya? Bagaimana kau menjelaskan hal itu?” Park Bok Ja bertanya dengan cemas, dia mengkhawatirkan apa pun itu yang akan dikatakan suaminya.


“Aku bilang aku tidak menyukainya karena dia yatim piatu,” sahut Hwang Chang Sik datar.

Park Bok Ja tampak terkejut dan memukuli suaminya dengan marah.
“Apa yang kau katakan? Kenapa kau tega mengatakan hal itu padanya?” seru Park Bok Ja dengan emosi dan air mata menetes dari sudut matanya. Merasa bahwa yang dikatakan suaminya sangat kejam. Tak ada seorang pun anak yang mau menjadi yatim piatu.

“Lalu apa yang harus kukatakan padanya? Aku harus mengatakan itu agar dia mau mengakhiri hubungannya dengan Tae Hee. Aku juga merasa sangat jahat. Hatiku juga sakit saat mengatakannya. Apa kau pikir aku merasa lebih baik setelah mengatakan ini semua padanya?” ujar Hwang Chang Sik, membela dirinya.

“Aku mengutuk Baek In Ho ratusan kali saat aku mengatakan semua itu. Lihatlah ini! Apa seorang manusia bisa melakukan ini? Kau pria brengsek! Gara-gara perbuatanmu, kau bukan hanya membuat adikku yang malang kehilangan nyawanya, namun anak kita juga ‘hampir mati’ karenanya,” lanjut Hwang Chang Sik, menyalahkan Baek In Ho.

(Woi, Bambang! Kalau mau nuduh, nyari bukti dulu! Pencemaran nama baik beneran nih bapak satu! Barang buktinya aja ilang, malah berani main tuduh! Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, you know! Hwang Chang Sik, kaulah pria brengsek di sini! >_<)

Park Bok Ja justru memukul suaminya berkali-kali dengan air mata bercucuran, dia merasa sedih dan sakit untuk Ja Eun karena ucapan suaminya yang sangat menyakitkan.

“DIAMLAH! DIAMLAH! DIAMLAH!” seru Park Bok Ja dengan penuh kemarahan dalam dadanya seraya tetap memukul-mukul dada suaminya.


“Apa kau pikir ini masuk akal? Aku memintamu menyelamatkan aku sekali saja. Aku sudah katakan jangan melukai Ja Eun lagi. Jangan mendorongnya ke dasar jurang sekali lagi, tapi apa yang kau lakukan? ‘Aku tidak suka kau menjadi menantuku karena kau adalah anak yatim piatu’. Bagaimana bisa kau mengatakannya? Dengan mengatakan semua itu, tak ada bedanya dengan kau menghujamkan sebilah pisau ke jantungnya!” seru Park Bok Ja dengan menangis tersedu.

Hwang Chang Sik balik berteriak, “Ini lebih baik daripada mengatakan ‘Ayahmu telah membunuh Ayah kandung Tae Hee!’ Apakah aku harus mengatakan itu?” seru Hwang Chang Sik, balik berseru pada istrinya. Park Bok Ja menangis tersedu-sedu seraya menatap suaminya dengan marah.

Di kantornya, Ja Eun tak bisa konsentrasi bekerja karena teringat ucapan kejam Hwang Chang Sik. Ucapan kejam yang mengatakan bagaimana Hwang Chang Sik tidak menyukainya karena dia yatim piatu, bahwa dia bukanlah pasangan yang tepat untuk Tae Hee dan memintanya untuk mengakhiri hubungannya dengan Tae Hee.

Tak bisa berkonsentrasi, Ja Eun segera mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan kantornya untuk menenangkan diri.

Ja Eun yang sedih ternyata menuju kantor polisi wilayah Timur tempat Tae Hee bertugas. Ja Eun berdiri di seberang jalan, tepat di mana kantor polisi wilayah Timur berada.



Bertepatan saat itu, Tae Hee berjalan keluar dari kantor polisi bersama teman-temannya dengan tujuan makan siang bersama. Tae Hee tampak sedang bercanda dengan teman-temannya karena dia terlihat tersenyum ceria.

“Kita makan apa siang ini?” tanya Tae Hee pada teman-temannya.
“Black Beans Noodles,” sahut Seo Dong Min mengusulkan.


Ja Eun yang melihat Tae Hee berjalan keluar seketika mengambil ponselnya dari dalam tas dan menelpon Tae Hee.


Tae Hee yang sedang berjalan mendengar suara ponselnya berdering, dia berhenti sejenak untuk melihat siapa yang menelponnya saat ini, dan dia seketika tersenyum lebar saat melihat Ja Eun-lah yang menelponnya saat ini.

“Yoboseyo (Hallo),” sahut Tae Hee di ponselnya dengan tersenyum gembira melihat kekasihnya menelpon.

“Apa yang kau lakukan sekarang?” tanya Ja Eun.


“Aku sedang pergi makan siang sekarang,” sahut Tae Hee, masih belum mengetahui kalau kekasihnya ada di seberang jalan.

“Bersama Officer Jang, Officer Kim dan Officer Seo, kan?” tanya Ja Eun, menyebut nama rekan polisi Tae Hee satu persatu.


Tae Hee tampak terkejut mendengar Ja Eun dapat menyebutkan semuanya dengan akurat, “Dari mana kau tahu?” tanya Tae Hee.

“Aku sedang melihatmu sekarang,” sahut Ja Eun dengan jujur.


“Ah, benarkah? Di mana?” tanya Tae Hee seraya melemparkan pandangannya ke semua arah.


Hingga akhirnya dia melihat Ja Eun berdiri di seberang jalan. Ja Eun melambaikan tangan ke arah Tae Hee dan Tae Hee membalas lambaian tangan Ja Eun dengan senyuman ceria di wajahnya.



“Kapan kau datang? Bagaimana jika seandainya aku tak ada di sini saat kau datang karena kau tidak menelpon lebih dulu?” tanya Tae Hee dengan penuh perhatian, senyuman kebahagiaan itu masih terpampang nyata.


(Untung aja papasan, untung aja aku belum pergi keluar. Kalau aku uda terlanjur pergi gimana? Harusnya telpon dulu, ayang. Maksudnya Tae Hee seperti itu ^^)

“Tiba-tiba saja aku merindukanmu,” sahut Ja Eun di ponselnya.


Tae Hee menatap penuh cinta saat mendengar Ja Eun merindukannya. Tae Hee terdiam sesaat tanpa mengatakan apa-apa seolah masih menikmati momen mendengar Ja Eun mengatakan padanya kalau dia merindukannya.

(Kali ini giliran Ja Eun yang bilang “Kangen” alias “Rindu”. Di Episode 41, Tae Hee-lah yang mengatakan kalau dia merindukan Ja Eun. Mereka selalu take and give, selalu berbalas perasaan satu sama lain. Kalau yang satu ngomong kangen, beberapa episode kemudian, pasti yang lain bakal bales ngomong kangen juga ^^)


“Tetaplah di sana. Aku akan segera ke tempatmu. Aku akan tutup dulu teleponnya,” ujar Tae Hee, meminta Ja Eun tetap diam di tempatnya dan dia yang akan menghampiri Ja Eun. Selama ini memang selalu Tae Hee yang lebih dulu “Menghampiri” Ja Eun.

Namun kali ini, Ja Eun ingin dialah yang berlari ke arah Tae Hee.
“Ahjussi,” panggil Ja Eun sebelum Tae Hee memutus sambungan teleponnya.
“Eoh (Ya),” sahut Tae Hee dengan bingung.
“Ahjussi, aku ingin kau bernyanyi untukku,” pinta Ja Eun pada Tae Hee.
“Lagi? Tapi aku tidak bisa bernyanyi,” sahut Tae Hee.


“Hari ini aku tidak bisa menggambar dengan baik. Dan tidak punya inspirasi untuk membuat cerita. Semuanya jadi berantakan. Aku sangat sedih sekarang. Tapi aku akan merasa lebih baik jika mendengarmu bernyanyi. Apa kau tak bisa melakukannya untukku?” pinta Ja Eun dengan memelas, membuat Tae Hee menjadi tidak tega untuk menolak. Kekasihnya sedang sedih, mana mungkin dia tega menolak?


“Baiklah. Ayo kita pergi ke karaoke,” ajak Tae Hee pada Ja Eun.

“Sekarang. Bernyanyilah di sana,” pinta Ja Eun lagi. Tae Hee sekarang sedang berdiri di seberang jalan dengan banyak orang di sekitarnya yang juga sedang menunggu lampu merah untuk menyeberang jalan.

“Di sini?” Tae Hee bertanya shock, seraya menunjuk bumi di bawahnya dengan ragu.


“Ya. Aku ingin kau menyanyikan lagu anak-anak berjudul ‘Tadpole becoming a frog’ lengkap dengan gerakannya,” pinta Ja Eun lagi.

Tae Hee mengulangi judul lagu itu, “Tadpole becoming a frog” seraya menarik napas berat, “Di sini?” ulangnya lagi sambil melirik orang-orang di sekitarnya.

“Ya. Atau kau ingin menyanyikan ‘My Ear’s Candy’ saja?” tanya Ja Eun, memberikan pilihan judul lagu yang lain.


Tae Hee merasa ‘My Ear’s Candy’ adalah pilihan yang buruk untuknya saat ini, lagu anak-anak sepertinya lebih baik.

“Tidak. Tidak. Lagu anak-anak lebih baik. Tapi apakah aku benar-benar harus menarikan gerakannya juga?” tanya Tae Hee menggelengkan kepalanya cepat, mengkonfirmasi sekali lagi, berharap kekasihnya berubah pikiran.

“Ya. Kau harus menarikan gerakannya dengan sempurna,” pinta Ja Eun, tak peduli walau Tae Hee harus melakukannya di pinggir jalan, di tengah kerumunan orang. Dia hanya ingin Tae Hee bisa menghibur hatinya yang sedih dan gundah.

“Gerakan?” gumam Tae Hee dengan menarik napas berat.


“Benarkah harus di sini?” tanya Tae Hee lagi, dia masih ragu dan malu-malu bila harus bernyanyi dan menari di depan kerumunan orang. Tapi demi agar gadis yang dia cintai tidak bersedih lagi, Tae Hee memutuskan untuk membuang jauh-jauh harga diri dan reputasinya.

(Bodo amat sama harga diri dan reputasi, yang penting ayang seneng ^^ Sejak Tae Hee sadar kalau dia punya rasa ke Ja Eun, Tae Hee sudah membuang harga diri dan reputasinya ke Palung Mariana, bahkan mungkin ke Segitiga Bermuda, lenyap tak berbekas hahaha ^^)

“Ya. Harus di sini,” sahut Ja Eun tegas dan mantap, tak bisa ditawar lagi.


“Setidaknya bukan ‘My Ear’s Candy,” gumam Tae Hee pelan dengan pasrah.

“Aku tahu. Tunggu sebentar,” ujar Tae Hee sebelum memutuskan sambungan teleponnya dan membuka Youtube untuk menghapalkan gerakan tarian lagu anak-anak itu dalam hitungan detik.





Tae Hee mempraktekkannya sekilas sebelum menarik napas dalam-dalam. Tae Hee kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, lalu melihat ke kanan dan ke kiri seolah sedang memantau situasi dan memantapkan keputusannya.


“Hyung, kau tidak bisa melakukannya di sini. Kau tidak benar-benar melakukannya di sini di mana semua orang bisa melihatmu, kan?” protes Seo Dong Min pada Tae Hee, tapi Tae Hee seakan tuli, tujuannya hanya satu, yaitu membuat Ja Eun, gadis yang dia cintai gembira lagi.



(So sweet boyfriend ^^ The real definition “I’d do anything for you”. Gimana bisa mutusin coba kalau cowoknya cute dan manis kayak gini? Tae Hee si polisi garang bahkan bersedia tampil konyol di hadapan semua orang, di pinggir jalan pula demi membuat kekasihnya kembali ceria. Mau request satu modelan Tae Hee bisa gak sih? ^^ My Only Wish was You, it’s too good to be true >_<)


Tae Hee mulai bernyanyi seraya menarikan gerakan lagu anak-anak itu di tengah keramaian orang dan di pinggir jalan raya. Ja Eun menatap Tae Hee dengan terharu dan air mata menetes pelan. Sementara Seo Dong Min dan kedua rekan polisi Tae Hee yang lain berjalan menjauh dan berpura-pura tidak mengenal Tae Hee karena malu.


Berbeda dengan semua orang di sekitar Tae Hee yang justru mengeluarkan ponsel mereka dan merekam Tae Hee yang sedang bernyanyi dan menari di pinggir jalan. Mungkin mereka merasa lucu saat melihat seorang polisi tampan tiba-tiba bernyanyi dan menari di pinggir jalan.

Tapi Tae Hee tidak peduli walaupun dirinya direkam, dia tetap fokus untuk bernyanyi dan menari demi gadisnya.


(Apa ini definisi “Suka”? Kamu tuh uda bucin mampus sama Ja Eun, Tae Hee-yaa! Itu bukan perasaan “Suka” lagi tapi udah “Cinta”! Kapan sih kamu sadar, pak polisi? Nunggu dipaksa putus sama Hwang Chang Sik baru nyadar kalau kamu uda cinta mati? Saat kamu nyadar kalau uda cinta mati, Ja Eun-nya uda pergi. Itu yang kamu mau? >_<)

Air mata Ja Eun menetes semakin deras saat melihat betapa Tae Hee mencintainya, hingga demi dia, Tae Hee tidak peduli walau menjadi tontonan semua orang. Pengorbanan Tae Hee membuat Ja Eun semakin tidak rela meninggalkannya.



Tae Hee dengan gelisah berdiri menunggu Ja Eun di seberang jalan, sambil berdoa agar tidak ada mobil yang menghantam tubuh pacarnya.


Saat tiba di seberang jalan, Ja Eun segera berlari ke dalam pelukan Tae Hee dan memeluknya erat. Tae Hee sempat terdorong mundur sedikit ketika Ja Eun menabrakkan dirinya ke dalam dadanya. Setelah sadar dari keterkejutannya, Tae Hee tersenyum penuh cinta seraya membalas pelukan kekasihnya. Ini adalah ke-4 kalinya mereka berpelukan dan yang pertama dilakukan di hadapan publik.



Seo Dong Min dan kedua rekannya juga tampak shock sesaat saat melihat Tae Hee dan Ja Eun bermesraan di pinggir jalan, namun kemudian mereka tertawa dan berdiri mengelilingi sepasang kekasih yang sedang berpelukan mesra itu seolah menjadi pagar penghalang agar orang-orang di sekitar mereka tak bisa mengambil foto atau video dan menganggu privasi Tae Hee dan Ja Eun.


Walau tidak tahu apa yang terjadi hingga membuat kekasihnya bertingkah aneh seperti ini, Tae Hee tetap tidak bertanya dan hanya memeluk Ja Eun dengan lebih erat seraya menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu. Seolah-olah dia berkata, “Berceritalah saat kau sudah tenang. Untuk sementara ini, biarkan aku memelukmu erat dan menghapus semua rasa sedih dalam hatimu.”


Saat itulah, mobil Lee Khi Chul melintas di tempat itu, sepertinya dia baru saja kembali ke kantor setelah pergi entah ke mana. Lee Khi Chul tampak mengenali wajah gadis yang sedang berpelukan dengan Tae Hee di depan kantor polisi wilayah Timur.


Pria tua itu segera pergi ke kantornya dan tiba-tiba teringat saat dia datang ke kantor Baek In Ho, Perusahaan Jim Shim Food dan Ja Eun yang tak mengetahui kalau ayahnya ada tamu, menerobos masuk ke dalam dan memanggil ayahnya dengan ceria, “APPA (Ayah).”

Lee Khi Chul melihat wajah Ja Eun saat Ja Eun berjalan masuk ke kantor ayahnya dan menundukkan kepalanya hormat pada Lee Khi Chul sebagai sapaan kepada orang yang lebih tua. Ja Eun berdiri di samping sang ayah dan Lee Khi Chul bertanya, “Ini pasti putri Presdir Baek, kan?”

Ja Eun tersenyum dan memperkenalkan diri dengan sopan, “Annyeonghaseyo.”


Lee Khi Chul baru tersadar dari lamunannya saat mendengar ponselnya berdering, “Yoboseyo (Hallo). Apa Hong Man Shik sudah kembali? Aku tahu. Kita bertemu lain kali. Apa Officer Hwang sudah mendengar sesuatu dari Bong Man Hee? Baiklah. Tetap awasi dia!” ujar Lee Khi Chul pada seseorang di ponselnya.

Setelah menutup sambungan teleponnya, Lee Khi Chul tampak heran saat mendengar kabar kalau Bong Man Hee tidak mengatakan apa-apa pada Tae Hee.

“Kenapa Bong Man Hee membungkam mulutnya?” Lee Khi Chul bergumam pelan pada dirinya sendirim merasa bingung dan heran.

Malam tiba dengan cepat, di Ojakgyo Farm, Park Bok Ja tampak berdiri menunggu Ja Eun di depan rumah seraya menelponnya dengan cemas.

“Ini sudah sangat malam. Apa yang terjadi padanya? Dia setidaknya harus menjawab teleponku jika ingin pulang malam. Dia tidak menjawab teleponnya sepanjang hari dan tidak juga pulang ke rumah,” gerutu Park Bok Ja dengan cemas, seperti seorang Ibu yang menunggu putrinya pulang ke rumah dengan cemas.

Hwang Chang Sik kemudian pulang ke rumah dan bertanya apa yang dilakukan istrinya di luar rumah malam-malam begini?

“Apa yang kau lakukan di luar rumah malam-malam begini?” tanya Hwang Chang Sik.

“Menurutmu apa yang kulakukan sekarang? Ja Eun belum pulang ke rumah sampai sekarang,” jawab Park Bok Ja dengan nada nge-gas seraya menatap tajam Hwang Chang Sik. (Gas Poll, Mak! Nyebelin emang suami loe ini >_<)

“Ja Eun belum pulang?” ulang Hwang Chang Sik, raut kecemasan muncul di wajahnya sekilas.


“Ya. Dan dia tidak menjawab teleponku ataupu menghubungiku. Seorang gadis yang tak pernah melakukan ini sebelumnya, kau pikir kenapa dia seperti ini?” sahut Park Bok Ja, kembali menjawab dengan nada ketus dan sinis pada suaminya, alias nge-gas. (Di gas pol mulu sama Park Bok Ja hahaha ^^ Aku dukung emak kali ini. Go, Park Bok Ja, Go! ^^)

Setelah menjawab dengan nada ketus, Park Bok Ja segera masuk ke dalam rumah karena malas melihat wajah suaminya.

Sekarang giliran Hwang Chang Sik yang berdiri di depan rumah dan menunggu Ja Eun pulang. Hwang Chang Sik teringat ucapan Ja Eun yang berkata sambil menangis kalau dia bukan anak yatim piatu. Hwang Chang Sik merasa bersalah kemudian mengeluarkan ponselnya dan berniat menelpon Ja Eun, tapi gadis itu sudah lebih dulu pulang ke rumah.


“Kenapa kau baru pulang sekarang? Kenapa kau tidak mengangkat teleponmu?” ujar Hwang Chang Sik dengan nada khawatir.

“Anda menelponku? Ponselku tertinggal dalam bus,” sahut Ja Eun beralasan.

(Sepertinya dia berbohong karena faktanya esok harinya, ponselnya sudah kembali. Kurasa setelah menemui Tae Hee, Ja Eun memutuskan untuk mematikan ponselnya karena dia ingin menenangkan diri dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun)

“Seharusnya kau meminjam ponsel seseorang untuk memberitahu kami keadaanmu. Ke mana saja kau pergi hingga pulang selarut ini? Kau tahu jam berapa sekarang?” Hwang Chang Sik memarahi Ja Eun karena dia merasa khawatir.


“Maafkan aku. Jam berapa sekarang? Setelah ponselku tertinggal di bus, karena aku tidak punya jam tangan, aku tidak tahu jam berapa sekarang. Apa benar sudah larut malam?” tanya Ja Eun dengan raut wajah bersalah.

Saat Hwang Chang Sik akan pergi, Ja Eun kembali memanggilnya, “Ahjussi, ada sesuatu yang ingin kukatakan pada Anda,” ujar Ja Eun dengan nada sungkan.

“Katakan,” ujar Hwang Chang Sik.

“Setelah yang Anda katakan padaku siang tadi, aku sudah banyak berpikir. Tentangku yang terlalu muda, aku akan menunggu hingga usiaku matang, mungkin 3 atau 5 tahun lagi. Tentang pekerjaanku yang tidak stabil, aku akan pastikan aku akan sukses dalam industri animasi dan debut secara resmi sebagai Official Creator/Writer. Hal terakhir yang tidak bisa kuusahakan, tidak peduli seberapa besar aku mencobanya adalah tidak memiliki orangtua yang masih hidup. Tidak bisakah Anda mempertimbangkan yang satu itu, Ahjussi?” pinta Ja Eun memohon.


“Aku akan memperlakukan Tae Hee Ahjussi, Ahjumma, Nenek dan juga Anda dengan sangat baik. Aku sangat menyukai Tae Hee Ahjussi, tapi aku juga sangat menyukai Anda dan Ahjumma juga. Aku juga menyukai Nenek, Tae Shik Ahjussi, Tae Bum Ahjussi dan juga Maknae Oppa. Keluarga ini bagaikan sebuah keluarga untukku, tapi jika aku putus dengan Tae Hee Ahjussi, maka aku juga tidak akan bisa bertemu mereka lagi. Jika itu terjadi, aku akan benar-benar merasa seperti anak yatim piatu,” lanjut Ja Eun memohon. Dia mengungkapkan betapa dia sangat menyayangi keluarga Hwang seperti keluarganya sendiri.

(Ja Eun-ah, kamu uda menjadi gadis yang mandiri dan kuat sejak awal. Itu sebabnya Tae Hee jatuh cinta padamu, karena kamu adalah gadis yang mandiri dan kuat, tidak pantang menyerah, berani, tulus, hangat, ceria dan baik hati. Kamu mau sekuat dan semandiri apalagi, Ja Eun-ah? Hwang Chang Sik itu hanya mencari-cari alasan >_<)

“Ahjussi, kumohon berikan aku restumu,” lanjut Ja Eun memohon dengan sungguh-sungguh.

Setelah mendengar permohonan Ja Eun yang terdengar tulus dan menyayat hati, Hwang Chang Sik pergi ke kamar Tae Hee untuk berpikir. Setelah terdiam beberapa saat, dia kembali ke kamarnya dan memberitahu Park Bok Ja tentang Keputusan yang dia ambil.

“Baiklah. Kita lakukan seperti yang kau inginkan. Kita akan menutupi masalah ini,” ujar Hwang Chang Sik akhirnya.


“Yeobo (Sayang),” Park Bok Ja tampak terkejut mendengarnya.

“Kita sembunyikan masalah ini. Seperti yang kau katakan, insiden ini telah terjadi 26 tahun yang lalu, jadi mari sembunyikan masalah ini,” ujar Hwang Chang Sik, mempertegas ucapannya.

“Yeobo,” panggil Park Bok Ja, masih tampak tak percaya.


“Aku bilang sembunyikan masalah ini,” ulang Hwang Chang Sik saat istrinya tampak tak percaya.

“Terima kasih. Terima kasih. Aku benar-benar berterima kasih,” ujar Park Bok Ja dengan penuh rasa syukur. Dia tersenyum lega mendengarnya.

“Tidurlah,” ujar Hwang Chang Sik kemudian pergi keluar rumah.


Park Bok Ja diam-diam mengikuti ke mana suaminya pergi dan melihat Hwang Chang Sik berjalan ke arah gudang dan duduk seorang diri di dalam gudang yang sepi dan gelap seraya memanggil nama adiknya, “Chang Woon-ah,” ratapnya sambil menangis sedih. Park Bok Ja menatap suaminya yang menangis dalam gudang tanpa kata.


Cut Scenes :
Hwang Tae Hee singing and dancing for Baek Ja Eun :




Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/714 + https://gswww.tistory.com/715)

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-a
n!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads