Highlight For today episode :
One of my favorite episode from “Ojakgyo Brothers”. Tae Hee
being jealous really made my day ^_^ Tae Hee jealous looks is just mighty
priceless!!! Tae Hee being jealous is my ultimate happiness (for now). I
screamed so hard during the harvest scene. How I love it that Tae Phil is being good to Ja Eun because of what he
knew. Tae Phil was really fast... I guess he was making up for all those episodes
he was bad to Ja Eun 🙂 Poor Tae Hee... getting
his first jealous moment... And i love it that Tae Hee is the first to be so into
Ja Eun ^_^ We know that by now they have this awareness of each other but for Tae
Hee to feel jealousy first hahaha ^_^ I am so darn happy.
Can’t wait for him to make his move to Ja Eun, although he doesn’t need to since he is already in Ja Eun’s heart. Tae Hee seems to be the type of guy that has a hard time expressing himself with words, so his actions get the better of him. The more his feelings develop for Ja Eun, the more aggressive his instincts will be. I get the feeling he’ll end up like a sort of possessive type of guy (not in a bad way anyway). Ja Eun might be the one crushing on Tae Hee first but it seems to me that Tae Hee would be the one falling deeply for Ja Eun first.
“Kemari! Cepat kemarilah!” perintah Baek Ja Eun dengan menggebu-gebu seraya memberi tanda dengan jarinya.
Tae Hee menarik napas pasrah seraya bergerak mendekat dengan terpaksa. Tae Hee segera memejamkan matanya setelah berada dalam jangkauan Ja Eun. Ja Eun yang penuh semangat ingin membalas, bahkan berdiri dari duduknya, meletakkan salah satu tangannya di pundak pria itu dan menyingkirkan poni Tae Hee ke samping wajahnya kemudian meniup keningnya.
Tae Hee spontan tersentak dan menatap Ja Eun dengan gugup, “Apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan gugup dan salah tingkah. Wajah Tae Hee tampak memerah karena malu dengan kedekatan mereka, tampak jelas kalau tiupan Ja Eun di keningnya memberikan efek luar biasa bagi Tae Hee jika melihat dari reaksinya yang terkejut, seolah terkena sengatan listrik statis yang tidak tampak oleh mata.
(Intinya adalah Tae Hee salting brutal xixixi ^_^ Tae Hee benar-benar uda ada rasa ke Ja Eun. Kalau gak, dia gak mungkin gugup dan salting brutal kayak gini hanya karena Ja Eun meniup keningnya ^^ Gantian salting dan gugupnya. Di EP 19, hanya Ja Eun yang gugup dan salting, sedang Tae Hee santai aja. Tapi di episode ini keadaan telah berbalik, Tae Hee-nya yang gugup dan salting brutal kekeke ^^)
“Sudah, diam saja!” ujar Ja Eun tidak peduli. Gadis itu tampak tak menyadari efek kedekatan mereka yang dirasakan oleh Tae Hee, dia tidak menyadari kegugupan Tae Hee, karena fokusnya adalah memenangkan permainan ini dan membalas dendam hahaha ^_^
Ja Eun tidak menyentil dengan cara biasa, melainkan menggunakan jari tengahnya yang panjang untuk dipukulkan ke kening Tae Hee. Ja Eun melakukannya dengan sangat keras hingga membuat Tae Hee kesakitan dan berteriak tidak terima.
“YYYAAA! Itu bukan menyentil tapi memukul, bagaimana bisa kau melakukan itu?” protes Tae Hee tidak terima.
“Itu juga termasuk menyentil kening,” ujar Ja Eun membela diri.
“Itu melanggar aturan! Memukul seperti ini sangat menyakitkan. Ini sama seperti melompati tiang dengan bantuan tongkat,” Tae Hee masih memprotes keras. Menyuarakan ketidakadilan yang diterimanya.
“Tapi itu tetap termasuk menyentil kening,” Ja Eun tak mau kalah, dia mencoba mengelak.
“Kau benar-benar! (Neo Jinja!)” seru Tae Hee tak habis pikir.
“Bagaimana jika kita berhenti bermain? Ramennya sudah matang,” ujar Ja Eun, mengalihkan pembicaraan. Dia baru saja akan membuka cup ramennya namun Tae Hee segera menyeret ramen di hadapan Ja Eun dan memindahkannya ke sisinya sendiri, menjauhkannya dari gadis itu.
“Persetan dengan ramen! Kita main lagi. Cepat!” ujar Tae Hee yang masih tidak terima. Dia tampak sangat kompetitif dan bertekad untuk menang dan membalas gadis itu. Tae Hee tampak seperti anak kecil yang sangat ingin memenangkan permainan itu tak peduli apa pun.
(Sepertinya hanya Ja Eun yang bisa membuat inner child Tae Hee keluar, setiap kali di dekat Ja Eun, Tae Hee yang biasanya sangat dewasa dan bisa diandalkan, mendadak berubah menjadi manja dan bersikap bagaikan anak kecil seperti ini hahaha ^^)
“Baiklah. Ayo main lagi,” ujar Ja Eun menerima tantangan itu.
Dan sialnya, keberuntungan berada di pihak Tae Hee karena Ja Eun mengalami 3 kali kekalahan beruntun. Dan Tae Hee selalu tersenyum gembira setiap kali melihat Ja Eun mengalami kekalahan. Dia benar-benar tersenyum lebar dan menyentil kening Ja Eun dengan semangat 45.
pada akhirnya Tae Hee mengalami kekalahan, Ja Eun yang ingin membalas dendam, menyentil kening Tae Hee dengan cara yang sama seperti sebelumnya, membuat Tae Hee kembali memprotes.
“YYYAAA! Sudah kubilang kau tidak boleh melakukan itu!” seru Tae Hee tidak terima.
“Tapi aku seorang gadis,” ujar Ja Eun membela diri sambil menahan tawa melihat Tae Hee marah karena kesakitan. Mereka tampak saling berdebat tanpa ada yang mau mengalah.
Dan setelah bermain cukup lama, mereka berdua berjalan
keluar dari dalam Mini market tersebut dengan saling melemparkan tatapan kesal.
Baik Tae Hee maupun Ja Eun sama-sama saling mengusap kening mereka yang tampak
memerah sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil dan kembali pulang.
Esok harinya adalah hari panen buah pir, Ja Eun berjalan
keluar dari rumah seraya merentangkan kedua tangannya dengan gembira, “Ah,
udaranya sangat sejuk,” ujarnya dengan gembira.
Ja Eun bermain dengan anjing keluarga Hwang sebentar sebelum kemudian mengambil sebuah ceret dan pergi ke tempat di mana tanaman sang ayah ditanam. Ja Eun berniat menyirami tanaman itu. Tapi sebelum Ja Eun menyiraminya, Hwang Chang Sik terlebih dulu menyirami tanaman itu.
Ja Eun tampak terkejut saat melihat Hwang Chang Sik ada di sana, “Ahjussi,” sapa Ja Eun dengan riang.
“Kenapa kau bangun pagi-pagi sekali?” tanya Hwang Chang Sik saat melihat Ja Eun di sana.
“Apa Anda sedang menyirami pohon ayahku?” tanya Ja Eun dengan tersenyum senang melihat tanaman sang ayah tampak basah.
“Aku hanya kebetulan lewat dan aku teringat kalau belakangan ini hujan sudah jarang turun, jadi aku sekalian menyiraminya,” sahut Hwang Chang Sik lirih.
“Sebenarnya aku juga datang untuk menyirami tanaman ini. Terima kasih, Ahjussi.” Ujar Ja Eun dengan sopan berterima kasih.
“Kenapa kau harus berterima kasih? Jika dipikir lagi, siapa yang seharusnya meminta maaf sekaligus berterima kasih? Aku yang seharusnya meminta maaf dan berterima kasih. Tidak hanya pada tanaman ini, namun semua yang ada di sini, aku bahkan tak sanggup menatap wajahmu,” ujar Hwang Chang Sik dengan kalimatnya yang membingungkan dan penuh arti terselubung.
“Ahjussi. Kenapa Anda bicara seperti itu? Anda tidak tahu kan betapa senangnya aku beberapa hari ini? Khususnya karena Ahjumma. Semakin aku mengenalnya, aku semakin menyadari kalau sebenarnya Ahjumma adalah orang yang baik juga sangat menggemaskan. Dia pasti akan selalu mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hatinya. Jika dia bilang dia tidak suka, sebenarnya dia sangat menyukainya. Aku bisa melihat dan mengetahui semua itu dari ekspresi wajahnya,” ujar Ja Eun dengan ceria, memuji Park Bok Ja dengan tulus. Membuat Hwang Chang Sik semakin tidak enak hati mendengarnya. (dengan kata lain : Malu)
“Tubuhnya sangat kecil dan mungil, aku tahu tidak sopan bila mengatakan ini namun kadang aku ingin mengantongi Ahjumma dan memasukkan ke dalam saku bajuku,” lanjut Ja Eun lagi, dengan senyuman hangat yang tak pernah lepas dari wajahnya.
“Ahjussi, Ahjumma bekerja terlalu keras seorang diri. Jadi bagaimana jika kita membagi tugas dalam mencuci piring dan membersihkan rumah? Untuk mencuci piring, ada Ahjussi, Paman pertama, Paman ketiga, Maknae Oppa dan aku, kita berlima bisa bergantian mencuci piring dari hari senin hingga jumat. Dan di akhir pekan, kita bisa membersihkan rumah bersama-sama,” usul Ja Eun dengan penuh perhatian karena dia kasihan melihat Park Bok Ja yang melakukan semuanya sendirian.
“Ide yang bagus. Aku akan mempertimbangkannya,” ujar Hwang Chang Sik dengan pelan. Hatinya terasa semakin berat dan merasa bersalah melihat kebaikan hati Ja Eun yang bahkan memikirkan istrinya.
“Ah, cuacanya sangat cerah, kan? Ahjussi, sepertinya Tuhan tahu kalau kita akan panen hari ini,” ujar Ja Eun lagi dengan ceria.
Tak lama kemudian, Ja Eun dan keluarga Hwang tampak berada di kebun buah pir dan semua orang tampak sibuk memetik buah pir tersebut untuk dimasukkan ke dalam keranjang. Ja Eun saat ini sedang bersama Park Bok Ja dan nenek sibuk memetik buah pir dengan gembira.
“Wah, buah pir-nya sangat cantik dan besar, Ahjumma.” Ujar Ja Eun gembira.
“Benar. Aku sempat khawatir karena mereka sempat terserang hama. Aku benar-benar sangat khawatir. Jadi ini sangat perlu disyukuri,” jawab Park Bok Ja, tak kalah senang.
Ja Eun memetik buah pir yang lain dan berseru senang sekali, “Lihatlah, Ahjumma! Semuanya sangat besar dan cantik, warnanya juga bagus. Aku yakin rasanya pasti sangat manis. Ini sangat menyenangkan. Terima kasih. Terima kasih telah tumbuh dengan baik,” Ja Eun tampak gembira karena kerja kerasnya membuahkan hasil.
Nenek hanya tersimpul simpul mendengar percakapan mereka hingga tanpa sengaja menjatuhkan salah satu buah itu ke tanah.
“Halmoni, hati-hati. Anda harus memetiknya dengan hati-hati. Jangan sampai jatuh ke tanah. Mereka sangat berharga jadi jangan menjatuhkannya. Sama seperti menggendong seorang bayi, Anda juga harus memetik buah ini dengan hati-hati,” Ja Eun mengomeli Nenek dengan menggebu-gebu.
“Aiigoo, aku tahu. Berhenti mengomel. Bila ada orang lain yang mendengarnya, mereka akan mengira hanya kaulah yang bekerja keras mengurus pertanian ini sendirian,” ujar Nenek, dengan kalimat sindiran halus namun dengan senyuman di wajahnya.
(Nenek dan Ja Eun sama dalam satu hal yaitu cara bicara yang blak-blakan, ceplas-ceplos alias terang-terangan, namun sebenarnya tidak bermaksud menyakiti)
“Aku bukannya mengomel. Itu karena Ahjussi, Ahjumma dan aku sudah bekerja keras selama musim panas ini untuk merawat mereka semua hingga tumbuh sebesar ini. Apa Anda tahu betapa banyak kami menderita? Khususnya Ahjumma yang sibuk menyemprotkan pestisida setiap hari,” ujar Ja Eun dengan cemberut.
(Padahal dia juga bekerja keras, namun dia hanya memuji Park Bok Ja, dan bukan dirinya sendiri)
Park Bok Ja sangat senang mendengar seseorang memuji kerja kerasnya, dia tertawa senang seraya mengelus-elus lengan Ja Eun dengan penuh kasih sayang.
“Ini bukanlah sekedar buah pir biasa bagi Ahjussi, Ahjuma dan aku, melainkan ini adalah buah pir yang dihasilkan dari setiap tetes keringat dan air mata kami, mereka sudah seperti bayi-bayi kami,” lanjut Ja Eun dengan penuh semangat.
“Benarkan, Ahjumma?” tanya Ja Eun meminta pendapat seraya melirik Park Bok Ja. Park Bok Ja menatapnya sambil tersenyum lalu mengangguk membenarkan.
“Aiggo, bayi? Kau bahkan menggunakan kata-kata ini?” ujar Nenek sambil tersenyum lucu.
“Kau sangat beruntung. Kau punya asisten yang baik,” puji Nenek dengan nada iri pada Park Bok Ja, yang hanya tertawa mendengarnya. Mereka bertiga tertawa bersama dan tampak bagaikan Nenek, Ibu dan cucu perempuan yang bahagia.
Di saat yang bersamaan, Tae Bum dan Su Young juga datang mengunjungi pertanian untuk membantu sekaligus memberikan salam resmi kepada keluarga mertua, mengingat Su Young belum pernah sekalipun mengunjungi mertuanya sejak menikah.
“Selamat datang,” ujar Tae Hee menyapa hangat.
“Adik ipar, senang bertemu denganmu,” ujar Tae Shik, juga turut menyapa hangat.
“Terima kasih sudah menyambut kami, kakak ipar,” ujar Su Young pada Tae Shik.
“Aku harus memanggilmu Duryeo-nim (adik ipar) mulai sekarang,” lanjut Su Young pada Tae Hee sambil tersenyum manis.
“Benar, Hyungsoo-nim (Kakak ipar). Biar kubawakan tasmu,” ujar Tae Hee menawarkan diri.
“YYYAAA! Apa kau tidak melihatku ada di sini? Kau harus membawakan tasku juga,” protes Tae Bum bercanda.
“Lihatlah wajahmu yang semakin berisi, kakak ipar sepertinya menjagamu dengan baik, jadi kau terlihat lebih baik dalam beberapa minggu,” ujar Tae Hee yang tidak tahu apa-apa.
“Wajahku bengkak karena mabuk. Di mana ayah dan Ibu?” jawab Tae Bum dengan canggung.
“Mereka sudah ada di Perkebunan bersama yang lain,” jawab Tae Shik menginformasikan.
“Adik ipar, kenapa kau datang di hari yang sama saat kami sedang panen? Kami jadi tidak bisa memberikan sambutan untukmu,” ujar Tae Shik lagi pada Su Young.
“Aku justru sengaja memilih hari ini jadi dengan begitu aku juga bisa belajar bagaimana cara memetik buah pir di kebun,” ujar Su Young dengan tersenyum sopan.
“Apakah itu benar?” jawab Tae Shik sambil tertawa ramah.
“Mari masuk, kakak ipar.” Ujar Tae Hee seraya memberi tanda masuk ke dalam rumah dengan dia berjalan di samping Su Young, sementara Tae Bum dan Tae Shik menyusul di belakang.
“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Su Young ingin tahu.
Di belakang mereka, Tae Shik dan Tae Bum tampak mengobrol sendiri, “Apa kau sudah menemukan kontak Angelica?” tanya Tae Shik dengan gelisah. (Angelica adalah wanita Filipina yang pernah ditiduri oleh Tae Shik dan Ibu dari anaknya, Guksu)
(Daripada minta tolong reporter, bukankah lebih gampang minta tolong polisi aka Tae Hee? Mencari orang hilang dan menyelidiki sesuatu adalah pekerjaan polisi. Kamu gak salah cari bantuan, Tae Shik? Minta bantuan ke Tae Hee, itu baru bener!)
“Bagaimana dengan anak itu?” tanya Tae Bum balik bertanya dengan penasaran.
“Aku menitipkannya pada Mi Sook untuk sementara waktu. Apa ada sesuatu yang kau temukan?” jawab Tae Shik sambil berbisik.
“Aku sedang berusaha mencarinya. Aku sudah mengatakannya padamu kalau ini butuh waktu, jadi sabarlah sebentar lagi. Belum ada seorangpun di keluarga kita yang tahu, bukan?” tanya Tae Bum memastikan.
“Mereka masih belum tahu,” sahut Tae Shik dengan lirih.
Tae Hee tiba-tiba menoleh karena melihat dua kakaknya masih tertinggal di belakang, “Apa yang kalian lakukan di sana?” tanya Tae Hee bingung.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Wah, udaranya sangat sejuk, bukan?” sahut Tae Bum mengelak.
“Mengapa kantor polisi wilayah timur sangat tenang sekarang? Apa kau tidak punya kasus besar?” tanya Tae Bum mengalihkan perhatian.
Mendengar itu, Tae Hee mengepalkan sebelah tangannya dan mengangkatnya untuk mengancam Tae Bum, “Kakak kedua,” ujarnya sambil tersenyum sinis mengancam.
“Aku hanya bercanda. Ayo pergi,” ujar Tae Bum dengan tersenyum canggung.
Akhirnya setelah meletakkan barang-barang yang dibawa Su Young di rumah, keempat orang itu menuju Perkebunan pir tempat semua orang berada saat ini.
Segera, semua orang tampak menyebar ke seluruh wilayah kebun untuk membantu memetik buah pir. Tae Bum dan Su Young, sedangkan yang lainnya berpencar sendiri-sendiri.
Tae Phil mengambil dua botol minuman berisi susu dingin dan mendekati Ja Eun yang tampak sedang meregangkan lengannya karena pegal. Tujuannya adalah untuk meminta maaf atas kekasarannya malam itu dan juga untuk menebus kesalahannya pada Ja Eun selama ini.
“Istirahatlah sebentar,” ujar Tae Phil yang tiba-tiba saja
bersikap ramah pada Ja Eun.
Ja Eun hanya menatapnya bingung dan menjawab seadanya, “Aku baik-baik saja,” sahut Ja Eun dengan malas. Dia tampak masih marah karena perlakuan kasar Tae Phil padanya malam itu.
“Kau sama sekali tidak baik-baik saja. Kau belum beristirahat sama sekali,” ujar Tae Phil dengan penuh perhatian.
Ja Eun hanya menatapnya bingung, tatapannya seolah mengatakan, “Nih bocah kesambet apa dah? Kenapa mendadak jadi baik sih? Bikin takut aja,” gitu kira-kira hahaha ^^
Melihat Ja Eun diam saja dan hanya menatapnya curiga, Tae Phil segera meraih salah satu keranjang yang masih kosong dan memposisikannya dalam keadaan terbalik agar bisa digunakan Ja Eun sebagai tempat duduk. Keranjang-keranjang seharusnya untuk tempat buah-buah pir itu diletakkan.
“Ayo, duduklah di sini,” ujar Tae Phil seraya mendorong Ja Eun dengan lembut agar duduk di atas keranjang yang sudah dibalik itu.
“Sudah kubilang aku baik-baik saja,” Ja Eun sempat memprotes karena kaget melihat sikap Tae Phil yang tiba-tiba berubah baik 180 derajat.
(“Nih bocah kesambet apa dah? Apa jangan-jangan kesambet setannya pohon pir?” mungkin itu yang ada dalam pikiran Ja Eun saat ini xixixi ^^)
Saat itulah, Tae Hee tiba-tiba datang dari arah seberang mereka, dia menatap penasaran ke arah Tae Phil dan Ja Eun yang tiba-tiba menjadi akrab. Ekspresi Tae Hee tampak tidak suka melihatnya, entah kenapa dia merasa terganggu melihat kedekatan Tae Phil dan Ja Eun yang sama sekali tidak dia sangka.
Alih-alih kembali bekerja dan memetik buah pir, Tae Hee justru berdiri diam mematung dan menatap tajam ke arah Tae Phil dan Ja Eun. Tae Phil tak hanya mendekati gadis itu, namun juga memberikan perhatian padanya dengan menawarkan sebotol minuman dingin, membuka tutupnya dan menyodorkannya kepada gadis itu, dan Tae Hee melihat semuanya dengan raut wajah cemberut.
(Gimana Tae Hee rasanya ditikung? Makanya gerak sana! Jangan cuma diem aja kayak patung pancoran! >_<)
“Kau tahu kalau kau melakukan kesalahan padaku saat mabuk malam itu, kan?” ujar Ja Eun, mengingatkan Tae Phil pada kekasarannya.
“Maafkan aku. Sesuatu seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Minumlah,” ujar Tae Phil dengan canggung, menawarkan minumannya dengan penuh rasa bersalah.
Can’t wait for him to make his move to Ja Eun, although he doesn’t need to since he is already in Ja Eun’s heart. Tae Hee seems to be the type of guy that has a hard time expressing himself with words, so his actions get the better of him. The more his feelings develop for Ja Eun, the more aggressive his instincts will be. I get the feeling he’ll end up like a sort of possessive type of guy (not in a bad way anyway). Ja Eun might be the one crushing on Tae Hee first but it seems to me that Tae Hee would be the one falling deeply for Ja Eun first.
And for Tae Hee and Ja Eun moments at the store : rock, papers and
scissors, it’s really funny, They are both very competitive and want to win. We
can also see Tae Hee smiling like a little boy who win the first prize of some
little kids competition. This is the first time since this drama aired, we can
see the baddas cop Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim smile like a liitle kid, his
smile look so genuine and innocent. Well, I really want the family to give back
the farm to Ja Eun and then Ja Eun says there is no need and they all can share
it and live all together, and since Ja Eun is going to marry Tae Hee, the farm
will be theirs anyway ^_^
-------00000--------
Episode 22:
Di tengah pembicaraan itu antara Park Bok Ja dan Hwang Tae Phil mengenai pencurian surat kontrak itu, Hwang Chang Sik tiba-tiba menerobos ke dalam kamar Tae Phil dengan penuh amarah.
“Apa maksudmu dengan mencuri kontrak?” seru Hwang Chang Sik tak percaya seraya menatap putra bungsunya yang hanya menatap sang ayah dengan terkejut. Tak menyangka sang ayah akan menguping dan mendengar semuanya.
Kemudian dia mengalihkan tatapannya ke sang istri dan
meminta penjelasan, “Aku bertanya apa maksud semua ini? Apa benar kau telah
mencuri kontraknya? Jadi Ja Eun bukan kehilangan kontrak itu melainkan kau yang
mencurinya?” seru Hwang Chang Sik untuk yang kedua kalinya, meminta penjelasan
segera.
“Jawab aku! Jawab aku segera! Park Bok Ja, apa kau sungguh-sungguh mencurinya?” seru Hwang Chang Sik dengan nada tinggi, tak percaya istrinya bisa bertindak sejauh ini dengan melakukan tindakan kriminal.
“Ya, aku mencurinya,” jawab Park Bok Ja, mengakui kejahatannya
dan bahkan tidak menyangkal lagi kali ini.
“Apa?” Hwang Chang Sik berseru tak percaya mendengar pengakuan sang istri.
“Aku mencuri kontrak itu dan menendang Ja Eun keluar. Apa kau puas?” jawab Park Bok Ja, mengakui kejahatannya.
“Baiklah. Karena Maknae dan kau ada di sini, maka aku akan menceritakan semuanya pada kalian,” ujar Park Bok Ja, memulai pengakuannya.
“Ya, aku mencuri kontrak itu. Bahkan walaupun aku mati, aku tidak akan pernah menyerahkan pertanian ini pada siapapun! Dan setelah aku mendengar bahwa gadis itu meminta kita untuk memberikan padanya 30 juta won, aku menjadi gelap mata. Malam itu, aku naik ke kamar loteng untuk mencuri kontraknya. Itu sama sekali tidak sulit. Karena gadis itu hanya menyimpan kontrak itu begitu saja di dalam tasnya dan meletakkan di lantai kamar saat dia tertidur. Jadi aku mengambil surat kontrak itu dan membawanya turun,” lanjut Park Bok Ja, menceritakan kronologi kejadiannya saat dia mencuri surat kontrak Ja Eun malam itu.
Hwang Chang Sik masih menatap tajam sang istri, sementara Tae Phil mengalihkan pandangannya ke tempat lain dengan kecewa, terlalu malas menatap sang ibu. Dia tampak masih kecewa dengan sang Ibu yang nekad mencuri kontrak di saat orang lain sedang tidur dan lengah. Tindakan itu terlalu rendah di matanya.
“Selama kontrak itu hilang, pertanian ini akan tetap jadi milikku. Jadi kenapa aku tidak bisa melakukan itu? Kenapa aku tidak bisa melakukannya? Bahkan bila aku diberikan kesempatan yang sama, aku akan tetap melakukannya. Aku akan melakukannya lagi. Aku akan mencurinya sekali lagi!” Seru Park Bok Ja tampak tak menyesal telah mencuri kontrak itu, dia bahkan tak malu-malu mengakui bahwa jika dia diberi kesempatan kedua, dia akan tetap mencurinya.
“Jadi di mana kontrak itu sekarang? Di mana kau menyimpannya?” tanya Hwang Chang Sik ingin tahu. Park Bok Ja tidak menjawab dan hanya menatap sang suami dengan tajam.
“Kenapa? Apa kau sudah merobeknya? Apa kau sudah menghancurkannya?” lanjut Hwang Chang Sik, dengan nada menginterogasi. Park Bok Ja tetap terdiam.
“Tidak. Ibu menyembunyikannya di lemari pakaian,” sahut Tae
Phil, menjelaskan apa yang dia lihat.
“Kenapa kau melakukan hal ini? Kenapa kau mencurinya?” Hwang Chang Sik bertanya sekali lagi, dia tampak masih sulit percaya jika istrinya adalah seorang pencuri.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Gadis itu sedang dalam situasi yang sulit dan ingin menjual pertanian ini. Bahkan bila aku mati, aku tetap tidak bisa menyerahkan pertanian ini. Jadi apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana aku bisa menyerahkan pertanian ini yang bagaikan darah dan dagingku sendiri? Bagaimana bisa aku memberikan pertanian ini padanya?” jawab Park Bok Ja dengan keras kepala.
“Apa kau pikir ini masuk akal? Apa itu bisa dijadikan alasan?” Hwang Chang Sik berseru tak percaya.
“Jadi kalau begitu, seharusnya kau tidak berbohong padaku sejak awal! Bila saja sejak awal kau memberitahuku bahwa pertanian ini adalah milik Presdir Baek In Ho, aku tidak akan begitu bersusah payah mengurus pertanian ini dengan darah, keringat dan air mata! Kenapa kau membohongiku? Kenapa kau membohongiku?” seru Park Bok Ja sambil menjerit dan menangis tersedu-sedu.
“Kenapa kau berbohong padaku sejak awal? Kenapa kau harus berbohong padaku? Selama 10 tahun terakhir ini, aku mengurus pertanian ini bagaikan mengurus anakku sendiri, aku mencintai pertanian ini dengan gila. Bagaimana bisa tiba-tiba saja di suatu pagi, seseorang datang dan memintaku untuk menyerahkan pertanian ini? Bagaimana bisa aku menyerahkannya? Kenapa kau menipuku? Kenapa?” seru Park Bok Ja dengan menangis histeris.
“Jangan menangis. Apa kau punya hak untuk menangis? Apakah yang kau lakukan itu benar hingga kau pantas untuk menangis? Harusnya kau merasa beruntung karena setidaknya kau masih bisa menangis. Aku bahkan terlalu terkejut untuk menangis. Bagaimana bisa istriku menjadi seperti ini? Ini terlalu sulit untuk dipercaya, terlalu menjijikkan. Bagaimana bisa kau berakhir seperti ini? Bagaimana bisa?” ujar Hwang Chang Sik dengan kecewa, masih terlalu shock dengan kenyataan yang didengarnya.
Park Bok Ja hanya menatap sang suami dengan tatapan tajam. Hwang Chang Sik kemudian memutuskan untuk keluar, sementara Tae Phil hanya mampu melihat Ibunya menangis seraya terduduk lemas di samping kasurnya. Hwang Chang Sik ternyata pergi ke halaman, dia duduk di sebuah bangku di luar rumah untuk menjernihkan pikirannya.
Di tempat lain, di saat yang bersamaan, Tae Hee tampak berjalan keluar dari sebuah mini market setelah membeli sebotol air mineral. Walaupun di episode sebelumnya, Ja Eun hanya ingin menumpang ke stasiun kereta bawah tanah, namun entah bagaimana, mereka justru terus bersama dari siang hingga malam dan bahkan Tae Hee memutuskan untuk pulang bersama ke pertanian.
(Ehem, dari siang sampe malem, ngapain aja ya mereka berdua?
Apa Tae Hee berusaha pedekate makanya Ja Eun dikekepin sampe malem? Xixixi ^^)
Sambil meminum air mineralnya, Tae Hee tampak bicara dengan Seo Dong Min di ponselnya. Tae Hee berkata pada Seo Dong Min bahwa dia akan pulang saat ini.
Namun saat Tae Hee membuka pintu mobil, dia melihat Ja Eun sedang tertidur di dalam mobilnya. Karena tidak ingin membangunkan gadis itu, Tae Hee pun menutup pintu mobilnya dengan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara dan mengagetkan gadis itu.
Entah kenapa, melihat Ja Eun tertidur membuat Tae Hee
menjadi gugup. Dia menenggak air itu sekali lagi untuk mengusir kegugupannya.
Sejak masuk ke dalam mobil, Tae Hee tampak berkali-kali mencuri pandang ke arah
Ja Eun.
Saat dia akan menyalakan mesin mobilnya, Tae Hee sekali lagi menoleh ke arah Jae Eun kemudian mengurungkan niatnya karena takut Ja Eun akan terbangun karena suara mesin mobilnya jadi dia memutuskan untuk menunggu Ja Eun hingga bangun sebentar lagi.
Sambil menunggu Ja Eun terbangun, Tae Hee mengambil berkas laporan di mobilnya dan berniat membacanya, namun entah kenapa fokusnya tiba-tiba saja terpecah, alih-alih menatap tulisan di berkasnya, Tae Hee justru mencuri-curi pandang ke arah Ja Eun yang tertidur dengan pulasnya.
Sadar bahwa dia tidak seharusnya memandangnya saat Ja Eun sedang tertidur, Tae Hee segera menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ingin mengusir bayang-bayang Ja Eun dari kepalanya. Tae Hee terus membolak-balik halaman kertas itu seolah tidak berniat membacanya dan pada akhirnya tatapannya kembali ke arah Ja Eun yang masih tertidur di sampingnya.
Saat itulah Ja Eun mulai terbangun dan Tae Hee segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain dengan gugup, tidak ingin tertangkap basah jika dia memandangi gadis itu saat gadis itu sedang tertidur.
Ja Eun akhirnya membuka matanya seraya menutupi mulutnya yang menguap, “Ahjussi, apa kau baru saja membeli air mineral?” tanya Ja Eun yang baru saja bangun tidur.
“Aku pasti ketiduran saat di jalan, tapi seharusnya kau membangunkan aku. Berapa lama aku tidur?" tanya Ja Eun lagi.
“Tidak lama. Kau masih memakai sabuk pengamanmu,” sahut Tae Hee yang masih gugup dengan singkat.
Ja Eun kemudian menolehkan wajahnya ke arah mini market itu
dan secara spontan mengulurkan tubuhnya ke arah Tae Hee, hingga membuat Tae Hee
menjadi gugup dan panik dan secara spontan
bergerak mundur hingga menabrak pintu mobilnya.
(Kali ini keadaan berbalik. Jika di EP 19, Ja Eun yang merasa gugup saat Tae Hee mendekatkan tubuhnya ke arahnya, namun kali ini, Tae Hee-lah yang tampak gugup saat Ja Eun mendekatkan tubuhnya ke arahnya. The role reverse now >_< Tae Hee mulai deg-degan kalau deketan sama Ja Eun xixixi ^^)
“Ahjussi,” panggil Ja Eun dengan nada merayu seraya membuat ekspresi menggemaskan, yang membuat Tae Hee semakin gugup.
“Kenapa kau tiba-tiba sedekat ini? Mundurlah sedikit dan katakan padaku,” ujar Tae Hee, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Apa kau tidak lapar? Apa tidak ingin makan ramen dan ‘Kid kimbap’ di Mini market itu?” rayu Ja Eun yang secara terang-terangan meminta dibelikan makanan. (Ja Eun uda mulai berani minta sesuatu sekarang)
Tae Hee menggelengkan kepalanya dan menjawab pelan, “Tidak. Aku tidak mau makan,” sahutnya pelan.
“Kenapa?” tanya Ja Eun ingin tahu, tampak kecewa dengan jawaban Tae Hee.
“Aku tidak menyukainya,” sahut Tae Hee singkat. (Gak suka ya, Tae Hee? Yakin gak suka?)
“Sayang sekali. Padahal rasanya sangat enak. Jika saja aku punya uang lebih banyak, aku pasti akan mentraktirmu makan agar kau tahu rasanya ramen dan kid kimbap yang dijual di Mini market,” ujar Ja Eun, dengan memasang ekspresi sedih dan kecewa, membuat Tae Hee tidak tega.
Kemudian Ja Eun kembali menatap Tae Hee dengan tatapan memelas dan memohon, disertai senyuman penuh harap. Dan akhirnya Ja Eun berhasil membujuk Tae Hee untuk membelikan makanan yang dia inginkan.
(Bravo, Baek Ja Eun! Pak Polisi uda mulai jatuh hati tuh, makanya walau awalnya bilang gak suka, pada akhirnya dengan sedikit rayuan pulau kelapa, ujung-ujungnya diturutin juga dan dia pun ikut makan xixixi ^^ Kalau Tae Hee gak ada rasa, sama seperti dulu, walau kamu minta dibeli’in berkali-kali pun gak bakal digubris, pasti tetap diabaikan dengan dingin. Tapi karena sekarang uda ada rasa, cukup sedikit rayuan, kamu uda mendapatkan Tae Hee dalam genggaman tanganmu. Minta apa aja pasti dibeli’in ^^ Walau dia bilang gak suka, ujung-ujungnya tetap dimakan ^^ Everything for loves ^_^)
Tae Hee dan Ja Eun akhirnya berada di dalam Mini Market dengan ramen dan kimbap di hadapan mereka. Ja Eun tampak tersenyum senang karena keinginannya dikabulkan, sementara Tae Hee menatap Ja Eun dan tersenyum melihat Ja Eun yang tersenyum gembira hanya karena makanan. (Pak Polisi kalau senyum manis deh ^^)
Sambil menunggu ramen mereka matang, Ja Eun menghitung jumlah kimbap yang hanya berjumlah 5. Ja Eun berkata jika dibagi dua maka akan tersisa satu, bagaimana mereka membaginya?
“Kau saja yang makan,” sahut Tae Hee dengan singkat.
“Ahjussi, sudah kubilang aku tidak suka barang gratisan tanpa alasan. Bagaimana jika kita suit saja? Siapa yang menang, dia yang makan sisanya,” jawab Ja Eun mengusulkan.
(Gak suka barang gratisan tanpa alasan? Lah kamu minta ramen dan mini kimbap ke Tae Hee, alasannya apa dong? Tae Hee kan gak berbuat salah, jadi sudah pasti itu bukan permintaan maaf, kan? Bukannya ramen dan mini kimbap itu juga barang gratisan? Tae Hee membelikanmu tanpa alasan karena kamu berhasil membujuknya, lalu apa bedanya dengan memakan kimbap yang sisa 1 buah itu?)
“Aku tidak tertarik makan kimbap, kau saja yang makan,” ujar Tae Hee dengan lempeng.
“Baiklah. Kalau begitu jika kau menang, kau boleh menyentil keningku. Seperti itu cara mainnya,” ujar Ja Eun yang keras kepala.
“Aku tidak akan mengalah padamu,” ujar Tae Hee
memperingatkan. Ingin mengatakan tidak peduli walau Ja Eun adalah seorang
gadis, Tae Hee akan menyentil keningnya dengan keras.
“Aku juga tidak berniat untuk mengalah,” jawab Ja Eun dengan percaya diri, seolah-olah dialah yang akan menang.
“Oke, Call!” jawab Tae Hee setuju.
(Kalimat ini biasanya diucapkan dalam acara “1 Night 2 Days” yang memiliki arti sama dengan “Oke, aku setuju”. Dan karena Joo Won saat itu adalah member “1 Night 2 Days” jadinya dia mengucapkan itu, entah sengaja, entah skenarionya memang seperti itu ^^)
Akhirnya mereka saling berhadapan dan memulai permainannya. Ja Eun sialnya kalah di ronde pertama dan Tae Hee memberi tanda pada gadis itu untuk mendekat ke arahnya agar bisa menyentil keningnya. Walaupun kesal karena kalah, Ja Eun memejamkan matanya seraya mendekat ke arah Tae Hee.
Namun bukannya menyentil kening gadis itu, Tae Hee justru menatap Ja Eun dengan ekspresi ragu dan pandangan yang menerawang. Tatapan matanya seolah mengatakan “Haruskah aku menciumnya atau menyentil keningnya saja?”
Ja Eun yang tidak sabar membuka matanya dan menyuruh Tae Hee
untuk segera melakukan hukumannya.
“Apa yang kau lakukan? Lakukan cepat!” ujar Ja Eun tak sabar.
Tae Hee pun seolah baru terbangun dari lamunannya dan segera menyentil kening Ja Eun dengan keras. Ja Eun menjerit kesakitan dan menatap Tae Hee kesal, namun Tae Hee berkilah, “Sudah kubilang, aku takkan mengalah padamu,” ujar Tae Hee berkilah.
“Aku tahu. Ayo main lagi,” jawab Ja Eun. Dan sialnya lagi-lagi dia kalah.
Tae Hee memberi tanda dengan jarinya agar Ja Eun mendekat untuk menerima hukumannya, namun Ja Eun menggenggam jari Tae Hee dan memohon dengan memelas, “Ahjussi, tidak bisakah kita berhenti bermain dan makan saja? Kau makan saja kimbapnya. Aku jamin itu enak,” ujar Ja Eun berusaha merayu dengan tersenyum manis.
Namun Tae Hee hanya tersenyum sinis seraya memberi tanda dengan tangannya yang satu lagi, yang tidak digenggam oleh Ja Eun. Ja Eun kesal karena rayuannya gagal jadi dia terpaksa mendekat ke arah Tae Hee seraya memejamkan matanya.
Dan seperti telah diduga, Tae Hee menyentil keningnya dengan keras.
“Ahjussi! Kau sangat keterlaluan! Bagaimana pun juga aku adalah National Goddess of Korea University!” seru Baek Ja Eun dengan kesal karena Tae Hee menyentil keningnya dengan keras hingga membuat keningnya memerah.
(Tae Hee-yaa, bukan begitu cara ngejar cewek kale! Nih bocah satu emang bener-benar ckckck…)
“Jadi? Apa sebaiknya kita berhenti bermain?” tanya Tae Hee dengan santai dan tanpa bersalah telah membuat kening Ja Eun memerah.
Ja Eun memprotes dan mengatakan kalau Tae Hee sudah membangunkan semangat persaingannya dan dia tidak akan berhenti sebelum dia berhasil menyentil kening Tae Hee untuk membalas dendam.
“Aku pasti akan menyentil keningmu bagaimana pun caranya, jadi bersiaplah! Ayo kita mulai lagi!” tantang Ja Eun dengan semangat 45.
Dan seolah Tuhan mendukungnya, Ja Eun akhirnya bisa memenangkan permainan suit “Batu, gunting, kertas” ini. Gadis itu tampak tertawa gembira saat akhirnya tiba saatnya untuk membalas. Tae Hee memasang raut wajah cemberut, tak suka dengan kemenangan Ja Eun dan tampak enggan untuk mendekat.
-------00000--------
Episode 22:
Di tengah pembicaraan itu antara Park Bok Ja dan Hwang Tae Phil mengenai pencurian surat kontrak itu, Hwang Chang Sik tiba-tiba menerobos ke dalam kamar Tae Phil dengan penuh amarah.
“Apa maksudmu dengan mencuri kontrak?” seru Hwang Chang Sik tak percaya seraya menatap putra bungsunya yang hanya menatap sang ayah dengan terkejut. Tak menyangka sang ayah akan menguping dan mendengar semuanya.
“Jawab aku! Jawab aku segera! Park Bok Ja, apa kau sungguh-sungguh mencurinya?” seru Hwang Chang Sik dengan nada tinggi, tak percaya istrinya bisa bertindak sejauh ini dengan melakukan tindakan kriminal.
“Apa?” Hwang Chang Sik berseru tak percaya mendengar pengakuan sang istri.
“Aku mencuri kontrak itu dan menendang Ja Eun keluar. Apa kau puas?” jawab Park Bok Ja, mengakui kejahatannya.
“Baiklah. Karena Maknae dan kau ada di sini, maka aku akan menceritakan semuanya pada kalian,” ujar Park Bok Ja, memulai pengakuannya.
“Ya, aku mencuri kontrak itu. Bahkan walaupun aku mati, aku tidak akan pernah menyerahkan pertanian ini pada siapapun! Dan setelah aku mendengar bahwa gadis itu meminta kita untuk memberikan padanya 30 juta won, aku menjadi gelap mata. Malam itu, aku naik ke kamar loteng untuk mencuri kontraknya. Itu sama sekali tidak sulit. Karena gadis itu hanya menyimpan kontrak itu begitu saja di dalam tasnya dan meletakkan di lantai kamar saat dia tertidur. Jadi aku mengambil surat kontrak itu dan membawanya turun,” lanjut Park Bok Ja, menceritakan kronologi kejadiannya saat dia mencuri surat kontrak Ja Eun malam itu.
Hwang Chang Sik masih menatap tajam sang istri, sementara Tae Phil mengalihkan pandangannya ke tempat lain dengan kecewa, terlalu malas menatap sang ibu. Dia tampak masih kecewa dengan sang Ibu yang nekad mencuri kontrak di saat orang lain sedang tidur dan lengah. Tindakan itu terlalu rendah di matanya.
“Selama kontrak itu hilang, pertanian ini akan tetap jadi milikku. Jadi kenapa aku tidak bisa melakukan itu? Kenapa aku tidak bisa melakukannya? Bahkan bila aku diberikan kesempatan yang sama, aku akan tetap melakukannya. Aku akan melakukannya lagi. Aku akan mencurinya sekali lagi!” Seru Park Bok Ja tampak tak menyesal telah mencuri kontrak itu, dia bahkan tak malu-malu mengakui bahwa jika dia diberi kesempatan kedua, dia akan tetap mencurinya.
“Jadi di mana kontrak itu sekarang? Di mana kau menyimpannya?” tanya Hwang Chang Sik ingin tahu. Park Bok Ja tidak menjawab dan hanya menatap sang suami dengan tajam.
“Kenapa? Apa kau sudah merobeknya? Apa kau sudah menghancurkannya?” lanjut Hwang Chang Sik, dengan nada menginterogasi. Park Bok Ja tetap terdiam.
“Kenapa kau melakukan hal ini? Kenapa kau mencurinya?” Hwang Chang Sik bertanya sekali lagi, dia tampak masih sulit percaya jika istrinya adalah seorang pencuri.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Gadis itu sedang dalam situasi yang sulit dan ingin menjual pertanian ini. Bahkan bila aku mati, aku tetap tidak bisa menyerahkan pertanian ini. Jadi apa yang bisa aku lakukan? Bagaimana aku bisa menyerahkan pertanian ini yang bagaikan darah dan dagingku sendiri? Bagaimana bisa aku memberikan pertanian ini padanya?” jawab Park Bok Ja dengan keras kepala.
“Apa kau pikir ini masuk akal? Apa itu bisa dijadikan alasan?” Hwang Chang Sik berseru tak percaya.
“Jadi kalau begitu, seharusnya kau tidak berbohong padaku sejak awal! Bila saja sejak awal kau memberitahuku bahwa pertanian ini adalah milik Presdir Baek In Ho, aku tidak akan begitu bersusah payah mengurus pertanian ini dengan darah, keringat dan air mata! Kenapa kau membohongiku? Kenapa kau membohongiku?” seru Park Bok Ja sambil menjerit dan menangis tersedu-sedu.
“Kenapa kau berbohong padaku sejak awal? Kenapa kau harus berbohong padaku? Selama 10 tahun terakhir ini, aku mengurus pertanian ini bagaikan mengurus anakku sendiri, aku mencintai pertanian ini dengan gila. Bagaimana bisa tiba-tiba saja di suatu pagi, seseorang datang dan memintaku untuk menyerahkan pertanian ini? Bagaimana bisa aku menyerahkannya? Kenapa kau menipuku? Kenapa?” seru Park Bok Ja dengan menangis histeris.
“Jangan menangis. Apa kau punya hak untuk menangis? Apakah yang kau lakukan itu benar hingga kau pantas untuk menangis? Harusnya kau merasa beruntung karena setidaknya kau masih bisa menangis. Aku bahkan terlalu terkejut untuk menangis. Bagaimana bisa istriku menjadi seperti ini? Ini terlalu sulit untuk dipercaya, terlalu menjijikkan. Bagaimana bisa kau berakhir seperti ini? Bagaimana bisa?” ujar Hwang Chang Sik dengan kecewa, masih terlalu shock dengan kenyataan yang didengarnya.
Park Bok Ja hanya menatap sang suami dengan tatapan tajam. Hwang Chang Sik kemudian memutuskan untuk keluar, sementara Tae Phil hanya mampu melihat Ibunya menangis seraya terduduk lemas di samping kasurnya. Hwang Chang Sik ternyata pergi ke halaman, dia duduk di sebuah bangku di luar rumah untuk menjernihkan pikirannya.
Di tempat lain, di saat yang bersamaan, Tae Hee tampak berjalan keluar dari sebuah mini market setelah membeli sebotol air mineral. Walaupun di episode sebelumnya, Ja Eun hanya ingin menumpang ke stasiun kereta bawah tanah, namun entah bagaimana, mereka justru terus bersama dari siang hingga malam dan bahkan Tae Hee memutuskan untuk pulang bersama ke pertanian.
Sambil meminum air mineralnya, Tae Hee tampak bicara dengan Seo Dong Min di ponselnya. Tae Hee berkata pada Seo Dong Min bahwa dia akan pulang saat ini.
Namun saat Tae Hee membuka pintu mobil, dia melihat Ja Eun sedang tertidur di dalam mobilnya. Karena tidak ingin membangunkan gadis itu, Tae Hee pun menutup pintu mobilnya dengan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara dan mengagetkan gadis itu.
Saat dia akan menyalakan mesin mobilnya, Tae Hee sekali lagi menoleh ke arah Jae Eun kemudian mengurungkan niatnya karena takut Ja Eun akan terbangun karena suara mesin mobilnya jadi dia memutuskan untuk menunggu Ja Eun hingga bangun sebentar lagi.
Sambil menunggu Ja Eun terbangun, Tae Hee mengambil berkas laporan di mobilnya dan berniat membacanya, namun entah kenapa fokusnya tiba-tiba saja terpecah, alih-alih menatap tulisan di berkasnya, Tae Hee justru mencuri-curi pandang ke arah Ja Eun yang tertidur dengan pulasnya.
Sadar bahwa dia tidak seharusnya memandangnya saat Ja Eun sedang tertidur, Tae Hee segera menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ingin mengusir bayang-bayang Ja Eun dari kepalanya. Tae Hee terus membolak-balik halaman kertas itu seolah tidak berniat membacanya dan pada akhirnya tatapannya kembali ke arah Ja Eun yang masih tertidur di sampingnya.
Saat itulah Ja Eun mulai terbangun dan Tae Hee segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain dengan gugup, tidak ingin tertangkap basah jika dia memandangi gadis itu saat gadis itu sedang tertidur.
Ja Eun akhirnya membuka matanya seraya menutupi mulutnya yang menguap, “Ahjussi, apa kau baru saja membeli air mineral?” tanya Ja Eun yang baru saja bangun tidur.
“Aku pasti ketiduran saat di jalan, tapi seharusnya kau membangunkan aku. Berapa lama aku tidur?" tanya Ja Eun lagi.
“Tidak lama. Kau masih memakai sabuk pengamanmu,” sahut Tae Hee yang masih gugup dengan singkat.
(Kali ini keadaan berbalik. Jika di EP 19, Ja Eun yang merasa gugup saat Tae Hee mendekatkan tubuhnya ke arahnya, namun kali ini, Tae Hee-lah yang tampak gugup saat Ja Eun mendekatkan tubuhnya ke arahnya. The role reverse now >_< Tae Hee mulai deg-degan kalau deketan sama Ja Eun xixixi ^^)
“Ahjussi,” panggil Ja Eun dengan nada merayu seraya membuat ekspresi menggemaskan, yang membuat Tae Hee semakin gugup.
“Kenapa kau tiba-tiba sedekat ini? Mundurlah sedikit dan katakan padaku,” ujar Tae Hee, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Apa kau tidak lapar? Apa tidak ingin makan ramen dan ‘Kid kimbap’ di Mini market itu?” rayu Ja Eun yang secara terang-terangan meminta dibelikan makanan. (Ja Eun uda mulai berani minta sesuatu sekarang)
Tae Hee menggelengkan kepalanya dan menjawab pelan, “Tidak. Aku tidak mau makan,” sahutnya pelan.
“Kenapa?” tanya Ja Eun ingin tahu, tampak kecewa dengan jawaban Tae Hee.
“Aku tidak menyukainya,” sahut Tae Hee singkat. (Gak suka ya, Tae Hee? Yakin gak suka?)
“Sayang sekali. Padahal rasanya sangat enak. Jika saja aku punya uang lebih banyak, aku pasti akan mentraktirmu makan agar kau tahu rasanya ramen dan kid kimbap yang dijual di Mini market,” ujar Ja Eun, dengan memasang ekspresi sedih dan kecewa, membuat Tae Hee tidak tega.
Kemudian Ja Eun kembali menatap Tae Hee dengan tatapan memelas dan memohon, disertai senyuman penuh harap. Dan akhirnya Ja Eun berhasil membujuk Tae Hee untuk membelikan makanan yang dia inginkan.
(Bravo, Baek Ja Eun! Pak Polisi uda mulai jatuh hati tuh, makanya walau awalnya bilang gak suka, pada akhirnya dengan sedikit rayuan pulau kelapa, ujung-ujungnya diturutin juga dan dia pun ikut makan xixixi ^^ Kalau Tae Hee gak ada rasa, sama seperti dulu, walau kamu minta dibeli’in berkali-kali pun gak bakal digubris, pasti tetap diabaikan dengan dingin. Tapi karena sekarang uda ada rasa, cukup sedikit rayuan, kamu uda mendapatkan Tae Hee dalam genggaman tanganmu. Minta apa aja pasti dibeli’in ^^ Walau dia bilang gak suka, ujung-ujungnya tetap dimakan ^^ Everything for loves ^_^)
Tae Hee dan Ja Eun akhirnya berada di dalam Mini Market dengan ramen dan kimbap di hadapan mereka. Ja Eun tampak tersenyum senang karena keinginannya dikabulkan, sementara Tae Hee menatap Ja Eun dan tersenyum melihat Ja Eun yang tersenyum gembira hanya karena makanan. (Pak Polisi kalau senyum manis deh ^^)
Sambil menunggu ramen mereka matang, Ja Eun menghitung jumlah kimbap yang hanya berjumlah 5. Ja Eun berkata jika dibagi dua maka akan tersisa satu, bagaimana mereka membaginya?
“Kau saja yang makan,” sahut Tae Hee dengan singkat.
“Ahjussi, sudah kubilang aku tidak suka barang gratisan tanpa alasan. Bagaimana jika kita suit saja? Siapa yang menang, dia yang makan sisanya,” jawab Ja Eun mengusulkan.
(Gak suka barang gratisan tanpa alasan? Lah kamu minta ramen dan mini kimbap ke Tae Hee, alasannya apa dong? Tae Hee kan gak berbuat salah, jadi sudah pasti itu bukan permintaan maaf, kan? Bukannya ramen dan mini kimbap itu juga barang gratisan? Tae Hee membelikanmu tanpa alasan karena kamu berhasil membujuknya, lalu apa bedanya dengan memakan kimbap yang sisa 1 buah itu?)
“Aku tidak tertarik makan kimbap, kau saja yang makan,” ujar Tae Hee dengan lempeng.
“Baiklah. Kalau begitu jika kau menang, kau boleh menyentil keningku. Seperti itu cara mainnya,” ujar Ja Eun yang keras kepala.
“Aku juga tidak berniat untuk mengalah,” jawab Ja Eun dengan percaya diri, seolah-olah dialah yang akan menang.
“Oke, Call!” jawab Tae Hee setuju.
(Kalimat ini biasanya diucapkan dalam acara “1 Night 2 Days” yang memiliki arti sama dengan “Oke, aku setuju”. Dan karena Joo Won saat itu adalah member “1 Night 2 Days” jadinya dia mengucapkan itu, entah sengaja, entah skenarionya memang seperti itu ^^)
Akhirnya mereka saling berhadapan dan memulai permainannya. Ja Eun sialnya kalah di ronde pertama dan Tae Hee memberi tanda pada gadis itu untuk mendekat ke arahnya agar bisa menyentil keningnya. Walaupun kesal karena kalah, Ja Eun memejamkan matanya seraya mendekat ke arah Tae Hee.
Namun bukannya menyentil kening gadis itu, Tae Hee justru menatap Ja Eun dengan ekspresi ragu dan pandangan yang menerawang. Tatapan matanya seolah mengatakan “Haruskah aku menciumnya atau menyentil keningnya saja?”
“Apa yang kau lakukan? Lakukan cepat!” ujar Ja Eun tak sabar.
Tae Hee pun seolah baru terbangun dari lamunannya dan segera menyentil kening Ja Eun dengan keras. Ja Eun menjerit kesakitan dan menatap Tae Hee kesal, namun Tae Hee berkilah, “Sudah kubilang, aku takkan mengalah padamu,” ujar Tae Hee berkilah.
“Aku tahu. Ayo main lagi,” jawab Ja Eun. Dan sialnya lagi-lagi dia kalah.
Tae Hee memberi tanda dengan jarinya agar Ja Eun mendekat untuk menerima hukumannya, namun Ja Eun menggenggam jari Tae Hee dan memohon dengan memelas, “Ahjussi, tidak bisakah kita berhenti bermain dan makan saja? Kau makan saja kimbapnya. Aku jamin itu enak,” ujar Ja Eun berusaha merayu dengan tersenyum manis.
Namun Tae Hee hanya tersenyum sinis seraya memberi tanda dengan tangannya yang satu lagi, yang tidak digenggam oleh Ja Eun. Ja Eun kesal karena rayuannya gagal jadi dia terpaksa mendekat ke arah Tae Hee seraya memejamkan matanya.
Dan seperti telah diduga, Tae Hee menyentil keningnya dengan keras.
“Ahjussi! Kau sangat keterlaluan! Bagaimana pun juga aku adalah National Goddess of Korea University!” seru Baek Ja Eun dengan kesal karena Tae Hee menyentil keningnya dengan keras hingga membuat keningnya memerah.
(Tae Hee-yaa, bukan begitu cara ngejar cewek kale! Nih bocah satu emang bener-benar ckckck…)
“Jadi? Apa sebaiknya kita berhenti bermain?” tanya Tae Hee dengan santai dan tanpa bersalah telah membuat kening Ja Eun memerah.
Ja Eun memprotes dan mengatakan kalau Tae Hee sudah membangunkan semangat persaingannya dan dia tidak akan berhenti sebelum dia berhasil menyentil kening Tae Hee untuk membalas dendam.
“Aku pasti akan menyentil keningmu bagaimana pun caranya, jadi bersiaplah! Ayo kita mulai lagi!” tantang Ja Eun dengan semangat 45.
Dan seolah Tuhan mendukungnya, Ja Eun akhirnya bisa memenangkan permainan suit “Batu, gunting, kertas” ini. Gadis itu tampak tertawa gembira saat akhirnya tiba saatnya untuk membalas. Tae Hee memasang raut wajah cemberut, tak suka dengan kemenangan Ja Eun dan tampak enggan untuk mendekat.
“Kemari! Cepat kemarilah!” perintah Baek Ja Eun dengan menggebu-gebu seraya memberi tanda dengan jarinya.
Tae Hee menarik napas pasrah seraya bergerak mendekat dengan terpaksa. Tae Hee segera memejamkan matanya setelah berada dalam jangkauan Ja Eun. Ja Eun yang penuh semangat ingin membalas, bahkan berdiri dari duduknya, meletakkan salah satu tangannya di pundak pria itu dan menyingkirkan poni Tae Hee ke samping wajahnya kemudian meniup keningnya.
Tae Hee spontan tersentak dan menatap Ja Eun dengan gugup, “Apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan gugup dan salah tingkah. Wajah Tae Hee tampak memerah karena malu dengan kedekatan mereka, tampak jelas kalau tiupan Ja Eun di keningnya memberikan efek luar biasa bagi Tae Hee jika melihat dari reaksinya yang terkejut, seolah terkena sengatan listrik statis yang tidak tampak oleh mata.
(Intinya adalah Tae Hee salting brutal xixixi ^_^ Tae Hee benar-benar uda ada rasa ke Ja Eun. Kalau gak, dia gak mungkin gugup dan salting brutal kayak gini hanya karena Ja Eun meniup keningnya ^^ Gantian salting dan gugupnya. Di EP 19, hanya Ja Eun yang gugup dan salting, sedang Tae Hee santai aja. Tapi di episode ini keadaan telah berbalik, Tae Hee-nya yang gugup dan salting brutal kekeke ^^)
“Sudah, diam saja!” ujar Ja Eun tidak peduli. Gadis itu tampak tak menyadari efek kedekatan mereka yang dirasakan oleh Tae Hee, dia tidak menyadari kegugupan Tae Hee, karena fokusnya adalah memenangkan permainan ini dan membalas dendam hahaha ^_^
Ja Eun tidak menyentil dengan cara biasa, melainkan menggunakan jari tengahnya yang panjang untuk dipukulkan ke kening Tae Hee. Ja Eun melakukannya dengan sangat keras hingga membuat Tae Hee kesakitan dan berteriak tidak terima.
“YYYAAA! Itu bukan menyentil tapi memukul, bagaimana bisa kau melakukan itu?” protes Tae Hee tidak terima.
“Itu juga termasuk menyentil kening,” ujar Ja Eun membela diri.
“Itu melanggar aturan! Memukul seperti ini sangat menyakitkan. Ini sama seperti melompati tiang dengan bantuan tongkat,” Tae Hee masih memprotes keras. Menyuarakan ketidakadilan yang diterimanya.
“Tapi itu tetap termasuk menyentil kening,” Ja Eun tak mau kalah, dia mencoba mengelak.
“Kau benar-benar! (Neo Jinja!)” seru Tae Hee tak habis pikir.
“Bagaimana jika kita berhenti bermain? Ramennya sudah matang,” ujar Ja Eun, mengalihkan pembicaraan. Dia baru saja akan membuka cup ramennya namun Tae Hee segera menyeret ramen di hadapan Ja Eun dan memindahkannya ke sisinya sendiri, menjauhkannya dari gadis itu.
“Persetan dengan ramen! Kita main lagi. Cepat!” ujar Tae Hee yang masih tidak terima. Dia tampak sangat kompetitif dan bertekad untuk menang dan membalas gadis itu. Tae Hee tampak seperti anak kecil yang sangat ingin memenangkan permainan itu tak peduli apa pun.
(Sepertinya hanya Ja Eun yang bisa membuat inner child Tae Hee keluar, setiap kali di dekat Ja Eun, Tae Hee yang biasanya sangat dewasa dan bisa diandalkan, mendadak berubah menjadi manja dan bersikap bagaikan anak kecil seperti ini hahaha ^^)
“Baiklah. Ayo main lagi,” ujar Ja Eun menerima tantangan itu.
Dan sialnya, keberuntungan berada di pihak Tae Hee karena Ja Eun mengalami 3 kali kekalahan beruntun. Dan Tae Hee selalu tersenyum gembira setiap kali melihat Ja Eun mengalami kekalahan. Dia benar-benar tersenyum lebar dan menyentil kening Ja Eun dengan semangat 45.
(Lihatlah betapa bahagianya Tae Hee saat dia menang. Senyumnya seperti anak kecil yang polos yang baru saja mendapatkan mainan baru. Ini pertama kalinya sejak episode 1, Tae Hee tersenyum bahagia dengan lepas seperti ini. Semuanya berkat Baek Ja Eun yang sukses membawa keluar inner child seorang Hwang Tae Hee yang biasanya hanya menunjukkan sisi kuatnya di depan orang lain. Dan melihat betapa bahagianya Tae Hee saat ini, sepertinya kemarahannya beberapa saat yang lalu memang benar-benar telah hilang karena Baek Ja Eun. Great job, Ja Eun-ah ^_^ Kamu memang obat yang dibutuhkan Tae Hee ^^)
pada akhirnya Tae Hee mengalami kekalahan, Ja Eun yang ingin membalas dendam, menyentil kening Tae Hee dengan cara yang sama seperti sebelumnya, membuat Tae Hee kembali memprotes.
“YYYAAA! Sudah kubilang kau tidak boleh melakukan itu!” seru Tae Hee tidak terima.
“Tapi aku seorang gadis,” ujar Ja Eun membela diri sambil menahan tawa melihat Tae Hee marah karena kesakitan. Mereka tampak saling berdebat tanpa ada yang mau mengalah.
Ja Eun bermain dengan anjing keluarga Hwang sebentar sebelum kemudian mengambil sebuah ceret dan pergi ke tempat di mana tanaman sang ayah ditanam. Ja Eun berniat menyirami tanaman itu. Tapi sebelum Ja Eun menyiraminya, Hwang Chang Sik terlebih dulu menyirami tanaman itu.
Ja Eun tampak terkejut saat melihat Hwang Chang Sik ada di sana, “Ahjussi,” sapa Ja Eun dengan riang.
“Kenapa kau bangun pagi-pagi sekali?” tanya Hwang Chang Sik saat melihat Ja Eun di sana.
“Apa Anda sedang menyirami pohon ayahku?” tanya Ja Eun dengan tersenyum senang melihat tanaman sang ayah tampak basah.
“Aku hanya kebetulan lewat dan aku teringat kalau belakangan ini hujan sudah jarang turun, jadi aku sekalian menyiraminya,” sahut Hwang Chang Sik lirih.
“Sebenarnya aku juga datang untuk menyirami tanaman ini. Terima kasih, Ahjussi.” Ujar Ja Eun dengan sopan berterima kasih.
“Kenapa kau harus berterima kasih? Jika dipikir lagi, siapa yang seharusnya meminta maaf sekaligus berterima kasih? Aku yang seharusnya meminta maaf dan berterima kasih. Tidak hanya pada tanaman ini, namun semua yang ada di sini, aku bahkan tak sanggup menatap wajahmu,” ujar Hwang Chang Sik dengan kalimatnya yang membingungkan dan penuh arti terselubung.
“Ahjussi. Kenapa Anda bicara seperti itu? Anda tidak tahu kan betapa senangnya aku beberapa hari ini? Khususnya karena Ahjumma. Semakin aku mengenalnya, aku semakin menyadari kalau sebenarnya Ahjumma adalah orang yang baik juga sangat menggemaskan. Dia pasti akan selalu mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hatinya. Jika dia bilang dia tidak suka, sebenarnya dia sangat menyukainya. Aku bisa melihat dan mengetahui semua itu dari ekspresi wajahnya,” ujar Ja Eun dengan ceria, memuji Park Bok Ja dengan tulus. Membuat Hwang Chang Sik semakin tidak enak hati mendengarnya. (dengan kata lain : Malu)
“Tubuhnya sangat kecil dan mungil, aku tahu tidak sopan bila mengatakan ini namun kadang aku ingin mengantongi Ahjumma dan memasukkan ke dalam saku bajuku,” lanjut Ja Eun lagi, dengan senyuman hangat yang tak pernah lepas dari wajahnya.
“Ahjussi, Ahjumma bekerja terlalu keras seorang diri. Jadi bagaimana jika kita membagi tugas dalam mencuci piring dan membersihkan rumah? Untuk mencuci piring, ada Ahjussi, Paman pertama, Paman ketiga, Maknae Oppa dan aku, kita berlima bisa bergantian mencuci piring dari hari senin hingga jumat. Dan di akhir pekan, kita bisa membersihkan rumah bersama-sama,” usul Ja Eun dengan penuh perhatian karena dia kasihan melihat Park Bok Ja yang melakukan semuanya sendirian.
“Ide yang bagus. Aku akan mempertimbangkannya,” ujar Hwang Chang Sik dengan pelan. Hatinya terasa semakin berat dan merasa bersalah melihat kebaikan hati Ja Eun yang bahkan memikirkan istrinya.
“Ah, cuacanya sangat cerah, kan? Ahjussi, sepertinya Tuhan tahu kalau kita akan panen hari ini,” ujar Ja Eun lagi dengan ceria.
Tak lama kemudian, Ja Eun dan keluarga Hwang tampak berada di kebun buah pir dan semua orang tampak sibuk memetik buah pir tersebut untuk dimasukkan ke dalam keranjang. Ja Eun saat ini sedang bersama Park Bok Ja dan nenek sibuk memetik buah pir dengan gembira.
“Wah, buah pir-nya sangat cantik dan besar, Ahjumma.” Ujar Ja Eun gembira.
“Benar. Aku sempat khawatir karena mereka sempat terserang hama. Aku benar-benar sangat khawatir. Jadi ini sangat perlu disyukuri,” jawab Park Bok Ja, tak kalah senang.
Ja Eun memetik buah pir yang lain dan berseru senang sekali, “Lihatlah, Ahjumma! Semuanya sangat besar dan cantik, warnanya juga bagus. Aku yakin rasanya pasti sangat manis. Ini sangat menyenangkan. Terima kasih. Terima kasih telah tumbuh dengan baik,” Ja Eun tampak gembira karena kerja kerasnya membuahkan hasil.
Nenek hanya tersimpul simpul mendengar percakapan mereka hingga tanpa sengaja menjatuhkan salah satu buah itu ke tanah.
“Halmoni, hati-hati. Anda harus memetiknya dengan hati-hati. Jangan sampai jatuh ke tanah. Mereka sangat berharga jadi jangan menjatuhkannya. Sama seperti menggendong seorang bayi, Anda juga harus memetik buah ini dengan hati-hati,” Ja Eun mengomeli Nenek dengan menggebu-gebu.
“Aiigoo, aku tahu. Berhenti mengomel. Bila ada orang lain yang mendengarnya, mereka akan mengira hanya kaulah yang bekerja keras mengurus pertanian ini sendirian,” ujar Nenek, dengan kalimat sindiran halus namun dengan senyuman di wajahnya.
(Nenek dan Ja Eun sama dalam satu hal yaitu cara bicara yang blak-blakan, ceplas-ceplos alias terang-terangan, namun sebenarnya tidak bermaksud menyakiti)
“Aku bukannya mengomel. Itu karena Ahjussi, Ahjumma dan aku sudah bekerja keras selama musim panas ini untuk merawat mereka semua hingga tumbuh sebesar ini. Apa Anda tahu betapa banyak kami menderita? Khususnya Ahjumma yang sibuk menyemprotkan pestisida setiap hari,” ujar Ja Eun dengan cemberut.
(Padahal dia juga bekerja keras, namun dia hanya memuji Park Bok Ja, dan bukan dirinya sendiri)
Park Bok Ja sangat senang mendengar seseorang memuji kerja kerasnya, dia tertawa senang seraya mengelus-elus lengan Ja Eun dengan penuh kasih sayang.
“Ini bukanlah sekedar buah pir biasa bagi Ahjussi, Ahjuma dan aku, melainkan ini adalah buah pir yang dihasilkan dari setiap tetes keringat dan air mata kami, mereka sudah seperti bayi-bayi kami,” lanjut Ja Eun dengan penuh semangat.
“Benarkan, Ahjumma?” tanya Ja Eun meminta pendapat seraya melirik Park Bok Ja. Park Bok Ja menatapnya sambil tersenyum lalu mengangguk membenarkan.
“Aiggo, bayi? Kau bahkan menggunakan kata-kata ini?” ujar Nenek sambil tersenyum lucu.
“Kau sangat beruntung. Kau punya asisten yang baik,” puji Nenek dengan nada iri pada Park Bok Ja, yang hanya tertawa mendengarnya. Mereka bertiga tertawa bersama dan tampak bagaikan Nenek, Ibu dan cucu perempuan yang bahagia.
Di saat yang bersamaan, Tae Bum dan Su Young juga datang mengunjungi pertanian untuk membantu sekaligus memberikan salam resmi kepada keluarga mertua, mengingat Su Young belum pernah sekalipun mengunjungi mertuanya sejak menikah.
“Selamat datang,” ujar Tae Hee menyapa hangat.
“Adik ipar, senang bertemu denganmu,” ujar Tae Shik, juga turut menyapa hangat.
“Terima kasih sudah menyambut kami, kakak ipar,” ujar Su Young pada Tae Shik.
“Aku harus memanggilmu Duryeo-nim (adik ipar) mulai sekarang,” lanjut Su Young pada Tae Hee sambil tersenyum manis.
“Benar, Hyungsoo-nim (Kakak ipar). Biar kubawakan tasmu,” ujar Tae Hee menawarkan diri.
“YYYAAA! Apa kau tidak melihatku ada di sini? Kau harus membawakan tasku juga,” protes Tae Bum bercanda.
“Lihatlah wajahmu yang semakin berisi, kakak ipar sepertinya menjagamu dengan baik, jadi kau terlihat lebih baik dalam beberapa minggu,” ujar Tae Hee yang tidak tahu apa-apa.
“Wajahku bengkak karena mabuk. Di mana ayah dan Ibu?” jawab Tae Bum dengan canggung.
“Mereka sudah ada di Perkebunan bersama yang lain,” jawab Tae Shik menginformasikan.
“Adik ipar, kenapa kau datang di hari yang sama saat kami sedang panen? Kami jadi tidak bisa memberikan sambutan untukmu,” ujar Tae Shik lagi pada Su Young.
“Aku justru sengaja memilih hari ini jadi dengan begitu aku juga bisa belajar bagaimana cara memetik buah pir di kebun,” ujar Su Young dengan tersenyum sopan.
“Apakah itu benar?” jawab Tae Shik sambil tertawa ramah.
“Mari masuk, kakak ipar.” Ujar Tae Hee seraya memberi tanda masuk ke dalam rumah dengan dia berjalan di samping Su Young, sementara Tae Bum dan Tae Shik menyusul di belakang.
“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Su Young ingin tahu.
Di belakang mereka, Tae Shik dan Tae Bum tampak mengobrol sendiri, “Apa kau sudah menemukan kontak Angelica?” tanya Tae Shik dengan gelisah. (Angelica adalah wanita Filipina yang pernah ditiduri oleh Tae Shik dan Ibu dari anaknya, Guksu)
(Daripada minta tolong reporter, bukankah lebih gampang minta tolong polisi aka Tae Hee? Mencari orang hilang dan menyelidiki sesuatu adalah pekerjaan polisi. Kamu gak salah cari bantuan, Tae Shik? Minta bantuan ke Tae Hee, itu baru bener!)
“Bagaimana dengan anak itu?” tanya Tae Bum balik bertanya dengan penasaran.
“Aku menitipkannya pada Mi Sook untuk sementara waktu. Apa ada sesuatu yang kau temukan?” jawab Tae Shik sambil berbisik.
“Aku sedang berusaha mencarinya. Aku sudah mengatakannya padamu kalau ini butuh waktu, jadi sabarlah sebentar lagi. Belum ada seorangpun di keluarga kita yang tahu, bukan?” tanya Tae Bum memastikan.
“Mereka masih belum tahu,” sahut Tae Shik dengan lirih.
Tae Hee tiba-tiba menoleh karena melihat dua kakaknya masih tertinggal di belakang, “Apa yang kalian lakukan di sana?” tanya Tae Hee bingung.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Wah, udaranya sangat sejuk, bukan?” sahut Tae Bum mengelak.
“Mengapa kantor polisi wilayah timur sangat tenang sekarang? Apa kau tidak punya kasus besar?” tanya Tae Bum mengalihkan perhatian.
Mendengar itu, Tae Hee mengepalkan sebelah tangannya dan mengangkatnya untuk mengancam Tae Bum, “Kakak kedua,” ujarnya sambil tersenyum sinis mengancam.
“Aku hanya bercanda. Ayo pergi,” ujar Tae Bum dengan tersenyum canggung.
Akhirnya setelah meletakkan barang-barang yang dibawa Su Young di rumah, keempat orang itu menuju Perkebunan pir tempat semua orang berada saat ini.
Segera, semua orang tampak menyebar ke seluruh wilayah kebun untuk membantu memetik buah pir. Tae Bum dan Su Young, sedangkan yang lainnya berpencar sendiri-sendiri.
Tae Phil mengambil dua botol minuman berisi susu dingin dan mendekati Ja Eun yang tampak sedang meregangkan lengannya karena pegal. Tujuannya adalah untuk meminta maaf atas kekasarannya malam itu dan juga untuk menebus kesalahannya pada Ja Eun selama ini.
Ja Eun hanya menatapnya bingung dan menjawab seadanya, “Aku baik-baik saja,” sahut Ja Eun dengan malas. Dia tampak masih marah karena perlakuan kasar Tae Phil padanya malam itu.
“Kau sama sekali tidak baik-baik saja. Kau belum beristirahat sama sekali,” ujar Tae Phil dengan penuh perhatian.
Ja Eun hanya menatapnya bingung, tatapannya seolah mengatakan, “Nih bocah kesambet apa dah? Kenapa mendadak jadi baik sih? Bikin takut aja,” gitu kira-kira hahaha ^^
Melihat Ja Eun diam saja dan hanya menatapnya curiga, Tae Phil segera meraih salah satu keranjang yang masih kosong dan memposisikannya dalam keadaan terbalik agar bisa digunakan Ja Eun sebagai tempat duduk. Keranjang-keranjang seharusnya untuk tempat buah-buah pir itu diletakkan.
“Ayo, duduklah di sini,” ujar Tae Phil seraya mendorong Ja Eun dengan lembut agar duduk di atas keranjang yang sudah dibalik itu.
“Sudah kubilang aku baik-baik saja,” Ja Eun sempat memprotes karena kaget melihat sikap Tae Phil yang tiba-tiba berubah baik 180 derajat.
(“Nih bocah kesambet apa dah? Apa jangan-jangan kesambet setannya pohon pir?” mungkin itu yang ada dalam pikiran Ja Eun saat ini xixixi ^^)
Saat itulah, Tae Hee tiba-tiba datang dari arah seberang mereka, dia menatap penasaran ke arah Tae Phil dan Ja Eun yang tiba-tiba menjadi akrab. Ekspresi Tae Hee tampak tidak suka melihatnya, entah kenapa dia merasa terganggu melihat kedekatan Tae Phil dan Ja Eun yang sama sekali tidak dia sangka.
Alih-alih kembali bekerja dan memetik buah pir, Tae Hee justru berdiri diam mematung dan menatap tajam ke arah Tae Phil dan Ja Eun. Tae Phil tak hanya mendekati gadis itu, namun juga memberikan perhatian padanya dengan menawarkan sebotol minuman dingin, membuka tutupnya dan menyodorkannya kepada gadis itu, dan Tae Hee melihat semuanya dengan raut wajah cemberut.
(Gimana Tae Hee rasanya ditikung? Makanya gerak sana! Jangan cuma diem aja kayak patung pancoran! >_<)
“Kau tahu kalau kau melakukan kesalahan padaku saat mabuk malam itu, kan?” ujar Ja Eun, mengingatkan Tae Phil pada kekasarannya.
“Maafkan aku. Sesuatu seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Minumlah,” ujar Tae Phil dengan canggung, menawarkan minumannya dengan penuh rasa bersalah.
Ja Eun berpura-pura akan memukulnya lalu berkata, “Untuk
kali ini, gadis cantik dengan kepribadian yang baik ini akan membiarkanmu. Cobalah
melakukannya sekali lagi lain kali dan lihat saja!” ujar Ja Eun pura-pura
galak, dengan mengangkat tangannya mengambang di udara seolah-olah akan memukul
Tae Phil.
Ja Eun kemudian menerima botol minuman itu dan meminumnya dengan hati yang gembira. Dan Tae Hee masih berada di seberang mereka dan melihat semuanya dalam diam. Dia tampak mengerucutkan bibirnya cemberut saat melihat Ja Eun menerima minuman dari Tae Phil dan bahkan meminumnya dengan gembira, Tae Hee tampak tak suka melihat ada pria lain yang memperhatikan Ja Eun di depan matanya.
(Nah, nah… kebakaran jenggot, kan? Cemburu brutal, kan? Ini baru pemanasan, Tae Hee. Kalau gak cepet gerak, Ja Eun akan beneran disamber orang. Selagi dia masih ada di sana, cepatlah bertindak, Pak Polisi! Ngejar penjahat jago, tapi ngejar cewek mati kutu ckckck... Tar kena tikung, nyesel dah, nangis-nangis ckckck...)
“Ah, sangat menyegarkan. Maknae Oppa, kau minumlah juga,” ujar Ja Eun dengan tersenyum ramah.
“Baiklah,” ujar Tae Phil lalu meminum bagiannya seraya berjongkok di samping Ja Eun.
Ja Eun kemudian menerima botol minuman itu dan meminumnya dengan hati yang gembira. Dan Tae Hee masih berada di seberang mereka dan melihat semuanya dalam diam. Dia tampak mengerucutkan bibirnya cemberut saat melihat Ja Eun menerima minuman dari Tae Phil dan bahkan meminumnya dengan gembira, Tae Hee tampak tak suka melihat ada pria lain yang memperhatikan Ja Eun di depan matanya.
(Nah, nah… kebakaran jenggot, kan? Cemburu brutal, kan? Ini baru pemanasan, Tae Hee. Kalau gak cepet gerak, Ja Eun akan beneran disamber orang. Selagi dia masih ada di sana, cepatlah bertindak, Pak Polisi! Ngejar penjahat jago, tapi ngejar cewek mati kutu ckckck... Tar kena tikung, nyesel dah, nangis-nangis ckckck...)
“Ah, sangat menyegarkan. Maknae Oppa, kau minumlah juga,” ujar Ja Eun dengan tersenyum ramah.
“Baiklah,” ujar Tae Phil lalu meminum bagiannya seraya berjongkok di samping Ja Eun.
Sementara itu, Tae Hee masih menjadi penonton setia dan
hanya menatap dengan tatapan tidak suka dan tidak nyaman melihat kedekatan Ja
Eun dengan Tae Phil yang tidak biasa di matanya.
Dia mencoba memfokuskan diri dengan kembali memetik buah pir untuk mengusir rasa tidak nyaman dalam hatinya. Saat Tae Hee mencoba fokus bekerja, Ja Eun yang masih beristirahat tampak memijat-mijat kakinya yang sakit karena terlalu lama berdiri.
Dia mencoba memfokuskan diri dengan kembali memetik buah pir untuk mengusir rasa tidak nyaman dalam hatinya. Saat Tae Hee mencoba fokus bekerja, Ja Eun yang masih beristirahat tampak memijat-mijat kakinya yang sakit karena terlalu lama berdiri.
“Kenapa? Apa pergelangan kakimu sakit?” tanya Tae Phil yang
melihat Ja Eun memijat kakinya.
“Sedikit. Karena aku terus berdiri selama ini,” sahut Ja Eun lirih.
Tae Phil segera meletakkan botol minumnya dan menawarkan diri untuk memijat pergelangan kaki Ja Eun, “Kemarikan kakimu. Biarkan aku pijat,” ujar Tae Phil kemudian meraih kaki Ja Eun dan bahkan melepas sepatunya.
“Ti-tidak perlu. Aku baik-baik saja,” tolak Ja Eun sungkan. Dia benar-benar shock melihat Tae Phil yang tiba-tiba saja bersikap baik dan berubah 180 derajat. Bagi Ja Eun, ini bagaikan matahari terbit dari barat, terlalu ajaib dan tidak masuk akal, hanya saja bedanya ini nyata.
Tae Phil tidak peduli dengan protes dari Ja Eun dan tetap memijat kakinya, “Kenapa? Apa kau melihatku sebagai seorang pria?” goda Tae Phil pada Ja Eun.
“Tidak,” sangkal Ja Eun tegas. (Bukan begono, Maknae Oppa! Lah kamu habis jahat tiba-tiba berubah jadi baik, ya siapa yang gak curiga coba? Ja Eun kan ngiranya kamu kesambet setannya pohon pir atau salah makan obat hahaha ^^)
“Kalau begitu diam saja. Aku melakukannya karena aku memang ingin,” jawab Tae Phil dengan santai. Dia sedang menebus rasa bersalah dalam hatinya. Ya, dia tahu kesalahannya sangat besar, tapi dia akan menebusnya dengan bersikap baik pada Ja Eun mulai sekarang.
Tae Hee yang sejak tadi sudah bad mood dan kesal melihat Tae Phil mendekati Ja Eun, kini semakin kesal melihat Tae Phil tampak memijat pergelangan kaki gadis itu dan melihat mereka tertawa bersama dengan gembira.
(Lucu banget liat ekspresi kecemburuan Tae Hee yang seolah ingin menghajar Tae Phil hahaha ^^ Edisi pak polisi lagi cembokur xixixi ^^)
“Ini geli,” ujar Ja Eun seraya memukul lengan Tae Phil dengan ringan.
“Baiklah, aku tahu,” sahut Tae Phil dengan pelan.
Tae Hee mengedipkan-ngedipkan matanya seolah mencoba menghilangkan pemandangan itu dari hadapannya dan berharap itu cuma imajinasinya semata, namun tetap tidak bisa. Mereka nyata. Mereka sedang tertawa gembira di depannya, sementara dia hanya mampu menatap dengan kesal.
Tae Hee tidak tahu kenapa suasana hatinya mendadak menjadi buruk saat melihat Tae Phil mendekati Ja Eun, dan kini semakin buruk ketika melihat Tae Phil memijat kaki gadis itu dan tertawa bersamanya. Bibir Tae Hee semakin cemberut dan ekspresi wajahnya benar-benar tampak tak suka. Tapi dia tidak tahu kenapa. (Itu namanya cemburu alias jealous, Pak Polisi. Gitu aja gak tahu? Payah deh, Pak Polisi ckckck...)
Tae Hee menggeleng-gelengkan kepalanya lagi seolah berusaha mengenyahkan pemandangan menyebalkan itu dari hadapannya dan mencoba kembali fokus pada kegiatannya memetik buah pir. Tapi tetap saja, tatapan matanya kembali pada Ja Eun dan Tae Phil. Dia benar-benar tampak cemburu melihat kedekatan mereka.
Tae Shik datang dengan membawa banyak buah pir dan menyuruh Tae Hee meletakkannya di dalam keranjang, tapi tentu saja, Tae Hee terlalu sibuk memantau kedekatan Ja Eun dan Tae Phil hingga mengabaikan panggilan Tae Shik padanya.
“Sedikit. Karena aku terus berdiri selama ini,” sahut Ja Eun lirih.
Tae Phil segera meletakkan botol minumnya dan menawarkan diri untuk memijat pergelangan kaki Ja Eun, “Kemarikan kakimu. Biarkan aku pijat,” ujar Tae Phil kemudian meraih kaki Ja Eun dan bahkan melepas sepatunya.
“Ti-tidak perlu. Aku baik-baik saja,” tolak Ja Eun sungkan. Dia benar-benar shock melihat Tae Phil yang tiba-tiba saja bersikap baik dan berubah 180 derajat. Bagi Ja Eun, ini bagaikan matahari terbit dari barat, terlalu ajaib dan tidak masuk akal, hanya saja bedanya ini nyata.
Tae Phil tidak peduli dengan protes dari Ja Eun dan tetap memijat kakinya, “Kenapa? Apa kau melihatku sebagai seorang pria?” goda Tae Phil pada Ja Eun.
“Tidak,” sangkal Ja Eun tegas. (Bukan begono, Maknae Oppa! Lah kamu habis jahat tiba-tiba berubah jadi baik, ya siapa yang gak curiga coba? Ja Eun kan ngiranya kamu kesambet setannya pohon pir atau salah makan obat hahaha ^^)
“Kalau begitu diam saja. Aku melakukannya karena aku memang ingin,” jawab Tae Phil dengan santai. Dia sedang menebus rasa bersalah dalam hatinya. Ya, dia tahu kesalahannya sangat besar, tapi dia akan menebusnya dengan bersikap baik pada Ja Eun mulai sekarang.
Tae Hee yang sejak tadi sudah bad mood dan kesal melihat Tae Phil mendekati Ja Eun, kini semakin kesal melihat Tae Phil tampak memijat pergelangan kaki gadis itu dan melihat mereka tertawa bersama dengan gembira.
(Lucu banget liat ekspresi kecemburuan Tae Hee yang seolah ingin menghajar Tae Phil hahaha ^^ Edisi pak polisi lagi cembokur xixixi ^^)
“Ini geli,” ujar Ja Eun seraya memukul lengan Tae Phil dengan ringan.
“Baiklah, aku tahu,” sahut Tae Phil dengan pelan.
Tae Hee mengedipkan-ngedipkan matanya seolah mencoba menghilangkan pemandangan itu dari hadapannya dan berharap itu cuma imajinasinya semata, namun tetap tidak bisa. Mereka nyata. Mereka sedang tertawa gembira di depannya, sementara dia hanya mampu menatap dengan kesal.
Tae Hee tidak tahu kenapa suasana hatinya mendadak menjadi buruk saat melihat Tae Phil mendekati Ja Eun, dan kini semakin buruk ketika melihat Tae Phil memijat kaki gadis itu dan tertawa bersamanya. Bibir Tae Hee semakin cemberut dan ekspresi wajahnya benar-benar tampak tak suka. Tapi dia tidak tahu kenapa. (Itu namanya cemburu alias jealous, Pak Polisi. Gitu aja gak tahu? Payah deh, Pak Polisi ckckck...)
Tae Hee menggeleng-gelengkan kepalanya lagi seolah berusaha mengenyahkan pemandangan menyebalkan itu dari hadapannya dan mencoba kembali fokus pada kegiatannya memetik buah pir. Tapi tetap saja, tatapan matanya kembali pada Ja Eun dan Tae Phil. Dia benar-benar tampak cemburu melihat kedekatan mereka.
Tae Shik datang dengan membawa banyak buah pir dan menyuruh Tae Hee meletakkannya di dalam keranjang, tapi tentu saja, Tae Hee terlalu sibuk memantau kedekatan Ja Eun dan Tae Phil hingga mengabaikan panggilan Tae Shik padanya.
“Tae Hee-yaa! Ambil ini,” ujar Tae Shik yang tiba-tiba
mendatangi Tae Hee, namun Tae Hee tidak mendengarnya karena terlalu fokus
memantau Ja Eun dan Tae Phil yang sedang tertawa bersama.
“YYYAAA! Jangan jatuhkan mereka! Masukkan mereka ke dalam keranjang,” seru Tae Shik dan akhirnya Tae Hee pun menoleh padanya. Tae Shik berkata akan memetik lebih banyak lagi, namun tentu saja Tae Hee tidak mendengarnya karena perhatian Tae Hee hanya fokus ke satu arah saja saat ini.
“Cukup. Sekarang sudah tidak sakit lagi. Terima kasih. Aku harus pergi ke kampus sekarang,” ujar Ja Eun menyudahi acara pijat memijat kaki yang dilakukan oleh Tae Phil.
“Benarkah? Aku juga punya janji di suatu tempat. Mari kita pergi bersama. Aku akan mengantarmu ke kampus sekalian,” ajak Tae Phil yang membuat Ja Eun semakin bingung.
(Wah, kesambetnya masih berlanjut ya? Mungkin itulah yang dipikirkan Ja Eun saat ini. Tenang aja, Ja Eun-ah. Tae Phil uda resmi bersikap baik mulai saat ini. Dia lagi feel guilty dan pengen menebus kesalahan soalnya ^^)
Tae Phil kemudian berpamitan pada ayahnya untuk pergi lebih dulu karena ada sesuatu yang harus dia lakukan, “Abeoji, ada sesuatu yang harus aku lakukan. Aku akan pergi keluar sebentar. Ja Eun juga akan pergi ke kampus. Kami akan pergi bersama,” seru Tae Phil, meminta ijin dari kejauhan.
Tae Hee yang tadi berjongkok karena memasukkan buah pir ke dalam keranjang, spontan berdiri saat mendengar bahwa Ja Eun dan Tae Phil akan pergi bersama. (Nah loh, kebakaran jenggot, kan?)
“YYYAAA! Jangan jatuhkan mereka! Masukkan mereka ke dalam keranjang,” seru Tae Shik dan akhirnya Tae Hee pun menoleh padanya. Tae Shik berkata akan memetik lebih banyak lagi, namun tentu saja Tae Hee tidak mendengarnya karena perhatian Tae Hee hanya fokus ke satu arah saja saat ini.
“Cukup. Sekarang sudah tidak sakit lagi. Terima kasih. Aku harus pergi ke kampus sekarang,” ujar Ja Eun menyudahi acara pijat memijat kaki yang dilakukan oleh Tae Phil.
“Benarkah? Aku juga punya janji di suatu tempat. Mari kita pergi bersama. Aku akan mengantarmu ke kampus sekalian,” ajak Tae Phil yang membuat Ja Eun semakin bingung.
(Wah, kesambetnya masih berlanjut ya? Mungkin itulah yang dipikirkan Ja Eun saat ini. Tenang aja, Ja Eun-ah. Tae Phil uda resmi bersikap baik mulai saat ini. Dia lagi feel guilty dan pengen menebus kesalahan soalnya ^^)
Tae Phil kemudian berpamitan pada ayahnya untuk pergi lebih dulu karena ada sesuatu yang harus dia lakukan, “Abeoji, ada sesuatu yang harus aku lakukan. Aku akan pergi keluar sebentar. Ja Eun juga akan pergi ke kampus. Kami akan pergi bersama,” seru Tae Phil, meminta ijin dari kejauhan.
Tae Hee yang tadi berjongkok karena memasukkan buah pir ke dalam keranjang, spontan berdiri saat mendengar bahwa Ja Eun dan Tae Phil akan pergi bersama. (Nah loh, kebakaran jenggot, kan?)
“Kami pergi dulu,” pamit Ja Eun seraya membungkuk pada semua
orang. Nenek dan Hwang Chang Sik memberikan tanda “ya, pergilah” dengan tangan
mereka. Sementara Tae Hee hanya memandang kesal ke arah Ja Eun dan Tae Phil
yang berjalan pergi berdua. Tak hanya itu, dia juga melihat bagaimana Tae Phil
melindungi kepala Ja Eun dari ranting-ranting pohon dengan tangannya.
Tae Hee hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal seraya mengerucutkan bibirnya cemberut dan mengedipkan matanya berkali-kali. Dia tampak bingung dengan perasaannya saat ini. Tatapan mata Tae Hee seolah bertanya, “Kenapa aku begitu tidak nyaman dan bahkan kesal melihat kedekatan antara Ja Eun dan Tae Phil? What wrong with me? Something happened in my heart.”
Tae Hee hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal seraya mengerucutkan bibirnya cemberut dan mengedipkan matanya berkali-kali. Dia tampak bingung dengan perasaannya saat ini. Tatapan mata Tae Hee seolah bertanya, “Kenapa aku begitu tidak nyaman dan bahkan kesal melihat kedekatan antara Ja Eun dan Tae Phil? What wrong with me? Something happened in my heart.”
(Pak Polisi gak pernah jatuh cinta soalnya, jadi dia bingung
sama perasaannya sendiri. Dia juga tidak tahu kalau perasaan tidak nyaman
melihat Ja Eun didekati oleh pria lain, itu dinamakan sebagai cemburu. Kayaknya
kamu perlu konsultasi sama Tae Phil deh tentang cara mendekati seorang gadis. Dia
kan playboy cap kapal yang kerjaannya cuma nyari wanita kaya biar bisa dikuras
duitnya. Tapi, tapi, tapi, kan kalian berdua gak akur? Repot dah >_<)
Di kampusnya, Ja Eun tampak asyik membuat sesuatu, entah apa itu dengan sangat serius. Dan tiba-tiba saja kedua sahabatnya mendekatinya dan menggodanya, “Ini sangat mencurigakan. Untuk siapa kau membuat ini?” tanya Ah Ra menggoda Ja Eun.
“Apa mungkin untuk seorang pria?” sambung Nam Suk atas pertanyaan Ah Ra, sambil tersenyum menggoda Ja Eun yang tampak salah tingkah karena tebakannya benar.
“Mwo (Apa)?” ujar Ja Eun menyangkal, namun tingkahnya menunjukkan sebaliknya.
“Apa itu benar? Siapa pria itu? Biarkan aku melihatnya,” goda Ah Ra sekali lagi.
“Benar. Itu pasti untuk seorang pria,” sahut Nam Suk masih ikut menggoda Ja Eun.
“Tidak. Pria apanya?” sangkal Ja Eun lagi dengan malu-malu.
“Aku yakin itu untuk seorang pria. Tapi siapa pria itu?” tanya Ah Ra masih bersikeras bahwa Ja Eun membuat apa pun itu untuk diberikan kepada seorang pria.
Ja Eun akhirnya memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan kedua sahabatnya itu dan fokus pada kegiatannya daripada terus digoda oleh mereka.
Saat kuliah berakhir, Ja Eun berjalan keluar dari kampus bersama kedua sahabatnya, tanpa dia sadari, sang Ibu tiri – Jung Yeon Suk tampak mengamatinya dan bahkan mengikutinya ke mana-mana.
(Btw, nih UEE After School emang bener-bener tinggi untuk ukuran wanita. Kedua sahabatnya memakai sepatu high heels sementara dia pake sepatu boots tanpa heels, namun dia tetap terlihat lebih tinggi menjulang dari kedua sahabatnya yang lain. Pantesan berdiri di sebelah Joo Won gak terlihat jomplang, justru terlihat serasi karena sama-sama tinggi)
Di kampusnya, Ja Eun tampak asyik membuat sesuatu, entah apa itu dengan sangat serius. Dan tiba-tiba saja kedua sahabatnya mendekatinya dan menggodanya, “Ini sangat mencurigakan. Untuk siapa kau membuat ini?” tanya Ah Ra menggoda Ja Eun.
“Apa mungkin untuk seorang pria?” sambung Nam Suk atas pertanyaan Ah Ra, sambil tersenyum menggoda Ja Eun yang tampak salah tingkah karena tebakannya benar.
“Mwo (Apa)?” ujar Ja Eun menyangkal, namun tingkahnya menunjukkan sebaliknya.
“Apa itu benar? Siapa pria itu? Biarkan aku melihatnya,” goda Ah Ra sekali lagi.
“Benar. Itu pasti untuk seorang pria,” sahut Nam Suk masih ikut menggoda Ja Eun.
“Tidak. Pria apanya?” sangkal Ja Eun lagi dengan malu-malu.
“Aku yakin itu untuk seorang pria. Tapi siapa pria itu?” tanya Ah Ra masih bersikeras bahwa Ja Eun membuat apa pun itu untuk diberikan kepada seorang pria.
Ja Eun akhirnya memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan kedua sahabatnya itu dan fokus pada kegiatannya daripada terus digoda oleh mereka.
Saat kuliah berakhir, Ja Eun berjalan keluar dari kampus bersama kedua sahabatnya, tanpa dia sadari, sang Ibu tiri – Jung Yeon Suk tampak mengamatinya dan bahkan mengikutinya ke mana-mana.
(Btw, nih UEE After School emang bener-bener tinggi untuk ukuran wanita. Kedua sahabatnya memakai sepatu high heels sementara dia pake sepatu boots tanpa heels, namun dia tetap terlihat lebih tinggi menjulang dari kedua sahabatnya yang lain. Pantesan berdiri di sebelah Joo Won gak terlihat jomplang, justru terlihat serasi karena sama-sama tinggi)
Ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk mengikuti gadis itu dari
kampus hingga dia sampai di Ojakgyo Farm. Dia melihat bagaimana Ja Eun dengan
ramah menyapa semua tetangga sekitar, menunjukkan kesan kalau gadis itu mengenal
mereka dengan cukup baik dan itu menandakan bahwa dia memang tinggal di sana
selama ini. Setelah membaca plang nama yang tertulis di depan pertanian, Jung
Yeon Suk segera menuju kantor real estate untuk menanyakan berapa harga jual untuk Ojakgyo Farm.
(Wah, nih pertanian cuma satu tapi dibuat rebutan banyak orang. Maklum sih ya, harga jualnya sekitar 10 Miliar won soalnya. Makanya sama Kakek Ja Eun, dititipin ke Hwang Chang Sik untuk sementara karena dia takut kalau dikasih langsung ke anaknya yaitu Baek In Ho, bisa-bisa langsung dijual untuk investasi bodong. Ja Eun kan pernah bilang kalau ayahnya sudah sangat sering ditipu oleh investasi bodong karena terlalu mudah percaya pada orang. Sebenarnya ada bagusnya sih disewakan ke Hwang Chang Sik jadi sebelum 10 tahun, Baek In Ho gak bisa jual. Tapi berhubung sekarang 10 tahun sudah berlalu dan jangka waktu kontrak telah habis, banyak pihak yang ingin menjual pertanian ini dengan berbagai alasan.
Ja Eun sebagai PEWARIS SAH, tentu punya hak untuk itu dan dia butuh uang untuk mencari tubuh ayahnya yang menghilang di tengah laut. Lalu pacar Tae Shik yaitu Yejin yang mau menikah dengan Tae Shik karena berpikir sebagai putra tertua, nantinya Ojakgyo Farm akan jadi milik Tae Shik dan dia berniat menyuruh Tae Shik menjualnya untuk membayar hutang-hutang Yejin sendiri, padahal Tae Shik gak berhak karena pertanian itu BUKAN MILIK KELUARGA HWANG! Dan sekarang Ibu tiri Ja Eun juga ingin menjualnya untuk membayar hutangnya. Nih Ibu tiri juga gak berhak lah, karena hak waris seharusnya jatuh ke tangan anak kandung (Ja Eun) dan bukan istri baru Baek In Ho!)
Malam harinya, ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk menelpon Ja Eun dan memintanya untuk bertemu di café. Ja Eun yang tak curiga sama sekali, tentu pasti akan datang untuk memenuhi undangan itu.
Di saat yang bersamaan, Tae Hee yang baru saja pulang, tiba-tiba teringat kembali dengan kedekatan antara Tae Phil dan Ja Eun siang tadi, khususnya saat Tae Phil memijat pergelangan kaki Ja Eun yang sakit. Tae Hee menggeleng-gelengkan kepalanya lagi seolah ingin mengusir bayangan menyebalkan itu dari pikirannya.
Saat baru saja keluar dari dalam mobilnya dan berniat masuk
ke dalam rumah, Tae Hee mendapat telepon dari Tae Bum agar datang menemuinya di
warung tempat mereka biasa berkumpul, warung yang sama dengan saat keempat bersaudara
Hwang terlibat baku hantam di EP 12.
Saat itulah Tae Hee berpapasan dengan Ja Eun yang baru saja melangkah keluar rumah untuk pergi menemui ibu tirinya.
“Ahjussi, apa kau baru saja pulang? Aku baru saja akan pergi keluar. Tiba-tiba saja Ib...” Ja Eun menyapa Tae Hee dengan riang setelah melihatnya datang, namun dia menghentikan kalimatnya saat akan mengatakan “Ibu tiriku”.
“Ah bukan, maksudku aku akan pergi menemui seseorang. Ahjussi, apa pekerjaanmu hari ini berjalan lancar?” lanjut Ja Eun, mengkoreksi ucapannya dan menanyakan kabar Tae Hee dengan ramah.
Namun Tae Hee hanya menatap gadis itu tanpa kata. Tatapan mata Tae Hee seolah menunjukkan kalau dia bingung dengan apa yang dirasakannya pada gadis itu. Antara marah, gugup dan kesal, semuanya bercampur jadi satu. Tae Hee merasa marah dan juga gugup di waktu yang bersamaan. Tatapan Tae Hee seolah mengatakan, “Bagaimana bisa Ja Eun bersikap ramah padanya setelah dia menggoda Tae Phil tadi siang?”
Setelah menatapnya intens selama beberapa saat, Tae Hee mendadak menjadi gugup dan segera mengalihkan pandangannya, kemudian kembali meliriknya lagi beberapa saat kemudian. Dan karena dia bingung harus bagaimana, alih-alih menjawab pertanyaan Ja Eun, Tae Hee justru memilih pergi dari sana, meninggalkan Ja Eun dalam kebingungan.
“Ahjussi! Ahjussi! Ahjussi! Gyeonghwi-nim (Inspektur)!” panggil Ja Eun yang juga tak kalah bingung, tapi Tae Hee tetap berjalan pergi.
“Ah, ada apa dengan semua anak di keluarga ini? Mereka selalu bersikap sesuai dengan mood mereka sendiri-sendiri. Jika mood mereka baik, mereka akan bersikap baik. Jika mood mereka sedang buruk, mereka akan mengabaikan orang lain,” omel Ja Eun cukup lantang.
Tae Hee yang mendengar omelan itu hanya menelengkan kepalanya seraya menghembuskan napas berat, dia tampak menyesal juga merasa bersalah telah mengabaikan Ja Eun, namun Tae Hee yang masih bingung dengan perasaannya sendiri tetap memilih melangkah pergi karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan gadis itu saat ini.
“Ini benar-benar membuatku kesal. Aku pasti akan membalas dendam di masa depan. Cobalah untuk bicara padaku lebih dulu dan lihat bagaimana aku mengabaikanmu!” Ja Eun mengomel sekali lagi sebelum pergi dari sana untuk menemui ibu tirinya. Tanpa dia ketahui, sang Ibu tiri, justru masuk ke dalam rumah dan berniat menemui Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja.
Sebenarnya ibu tiri Ja Eun sengaja membuat Ja Eun keluar dari rumah, agar bisa meminta Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja mengembalikan pertanian itu padanya, karena dia berpikir, sebagai istri Baek In Ho, dialah yang paling berhak atas tanah pertanian itu.
(Enak aja loe, Markonah! Ja Eun yang anak kandung dan pewaris sah aja sampai diusir dan menderita kayak gitu demi mengambil kembali tanah pertanian ayahnya tapi tetep gak dibalikin. Enak aja loe, dateng-dateng langsung minta gitu aja! Gak bakal lah dikasih. Aku dukung Park Bok Ja kali ini kalau lawannya si emak tiri…Jangan dikasih, Park Bok Ja! Kalau mau balikin, balikin ke Ja Eun aja!)
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja sedang berunding di dalam kamar mereka dan mempertimbangkan untuk mengembalikan tanah pertanian ini pada Ja Eun. Mereka sedang merundingkan untuk mencari waktu yang tepat untuk mengembalikan pertanian ini dan mencari cara agar Ja Eun tidak marah.
“Walaupun ini sangat berat. Namun ini tidaklah benar. Mari
kita kembalikan pertanian ini padanya, Bok Ja-yaa. Kau tahu aku tidak bisa hidup
dengan menanggung rasa bersalah seumur hidupku. Sejak aku tahu masalah ini, aku
bahkan tidak berani menatap langsung wajah Ja Eun. Beberapa hari ini, aku juga
tahu kalau kau tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jadi kembalikan padanya. Itu
adalah jalan terbaik untuk kita saat ini agar bisa tetap hidup dengan tenang.
Kembalikan pada Ja Eun,” ujar Hwang Chang Sik, berusaha membujuk sang istri
dengan baik-baik.
Saat itulah terdengar suara ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk berseru lantang, “Permisi,” serunya di depan pintu.
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja keluar untuk melihat siapa yang bertamu malam-malam begini ke rumah mereka.
“Siapa Anda?” tanya Hwang Chang Sik, tak mengenali wanita setengah baya itu.
“Aku adalah Jung Yeon Suk, istri Presdir Baek In Ho,” jawab Jung Yeon Suk dengan percaya diri.
“Ah, ibu tiri Ja Eun yang ketiga? Kau yang tinggal bersama Presdir Baek In Ho hingga hari dia menghilang dalam kecelakaan, kan?” tanya Park Bok Ja mengkonfirmasi.
“Ya, benar.” Jawab si emak tiri dengan senyuman iblisnya. (Aku pilih Park Bok Ja daripada dirimu, munak! Setidaknya Park Bok Ja sekarang tobat dan beneran sayang sama Ja Eun seperti putri kandungnya. Daripada nih emak tiri, gak pernah sayang sedikit pun, cuma butuh duitnya Ja Eun doang! Dia minta pertanian pun tanpa sepengetahuan Ja Eun, kan?)
“Tapi kenapa kau datang kemari? Ja Eun mengatakan dia tidak punya alasan untuk bertemu denganmu lagi,” ujar Park Bok Ja, sudah bisa mencium rencana jahat ibu tiri Ja Eun.
“Boleh aku duduk dulu?” pinta Jung Yeon Suk, masih berakting seperti orang baik.
“Baiklah, silakan duduk,” ujar Hwang Chang Sik, mempersilahkan.
“Tidak perlu. Tidak perlu duduk! Meski aku tidak tahu apa tujuanmu datang kemari, tapi tolong pergilah!” tolak Park Bok Ja.
“Tidak peduli apa pun, kau masihlah ibu tirinya yang tinggal bersamanya selama 5 tahun. Setelah anak itu kehilangan ayahnya dan begitu tidak berdaya, juga terlunta-lunta seorang diri, bagaimana bisa kau meninggalkannya begitu saja dan pergi seorang diri?” ujar Park Bok Ja, mengungkapkan fakta yang membuat Jung Yeon Suk tak bisa berkata-kata.
“Istriku, kita duduk dulu. Anda juga silakan duduk,” ujar Hwang Chang Sik, mempersilahkan tamu mereka duduk demi kesopanan.
“Setelah meninggalkan Ja Eun seperti itu, aku tidak tahu kenapa kau mencari Ja Eun saat ini...” kata-kata Park Bok Ja terpotong oleh ucapan Jung Yeon Suk.
“Aku bukan datang kemari untuk mencari Ja Eun. Aku datang untuk menemui kalian berdua untuk membicarakan masalah pertanian ini. Aku dengar bahwa tanah pertanian ini sebenarnya adalah milik suamiku. Tapi Ja Eun melakukan kesalahan dan menghilangkan kontraknya. Itu sebabnya kalian tidak mau untuk mengembalikan pertanian ini padanya. Bisakah seseorang yang melakukan itu (menolak mengembalikan pertanian) bertanya kenapa aku masih berani datang kemari?” ujar Jung Yeon Suk panjang lebar, menyindir Park Bok Ja.
“Bukankah Ja Eun adalah putri dari sahabatmu? Putri dari suamiku yang telah membiarkanmu dan keluargamu tinggal secara gratis di pertanian ini selama 10 tahun lamanya, benar begitu bukan? Tapi kau justru menendang Ja Eun keluar dan belum cukup dengan itu, kau membuatnya tidur di tenda di halaman dan membuatnya bekerja seperti budak, namun kalian tetap bertingkah seolah kalian tidak bersalah dan bersikeras memiliki pertanian ini?” seru Jung Yeon Suk, tepat sasaran.
“Aku tidak tahu di mana kau mendengar ini, tapi...” Park Bok Ja berusaha menyangkal dengan suaranya yang tampak gemetar ketakutan.
“Serahkan pertanian ini! Aku dengar kau memiliki anak-anak yang bekerja sebagai Reporter dan Polisi. Di rumah di mana seharusnya ada seseorang yang memegang teguh kebenaran dan hukum dan menjadi panutan masyarakat, keluarga ini justru melakukan tindakan yang melanggar hukum dan tidak etis? Apakah kau ingin semua orang tahu?” potong Jung Yeon Suk, tidak memberi kesempatan Park Bok Ja untuk mengelak.
“Aku juga memiliki kenalan yang memiliki posisi tinggi di kepolisian dan juga jurnalis di sebuah stasiun televisi,” lanjut Jung Yeon Suk dengan percaya diri.
“Apa Anda sedang mengancam kami sekarang?” tanya Hwang Chang Sik, terang-terangan.
“Aku sedang memberi kalian kesempatan. Untuk melakukan tindakan yang benar sebagai manusia dan menemukan kembali hati nurani kalian. Kembalikan pertanian ini secepatnya!” seru Jung Yeon Suk dengan berani dan nada mengintimidasi.
Blogger Opinion :
Si emak tiri uda mulai ikut campur nih. Makin runyam dah. Si emak tiri giliran Ja Eun susah malah ngilang, giliran Ja Eun uda mulai hidup tenang dan damai, malah datang ngerusak. Emak tiri sok-sok’an ngebela Ja Eun padahal aslinya dia punya motif tersembunyi dan ingin menguasai tanah pertanian itu seorang diri. Buktinya dia nyuruh Ja Eun pergi, kan? Emak tiri lebih parah dari Park Bok Ja >_< Untuk Pak Polisi, kalau gak mau kena tikung, cepet gerak, ya! Jangan sampe nyesel, Tae Hee-yaa ^^
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/605 + https://gswww.tistory.com/606
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
(Wah, nih pertanian cuma satu tapi dibuat rebutan banyak orang. Maklum sih ya, harga jualnya sekitar 10 Miliar won soalnya. Makanya sama Kakek Ja Eun, dititipin ke Hwang Chang Sik untuk sementara karena dia takut kalau dikasih langsung ke anaknya yaitu Baek In Ho, bisa-bisa langsung dijual untuk investasi bodong. Ja Eun kan pernah bilang kalau ayahnya sudah sangat sering ditipu oleh investasi bodong karena terlalu mudah percaya pada orang. Sebenarnya ada bagusnya sih disewakan ke Hwang Chang Sik jadi sebelum 10 tahun, Baek In Ho gak bisa jual. Tapi berhubung sekarang 10 tahun sudah berlalu dan jangka waktu kontrak telah habis, banyak pihak yang ingin menjual pertanian ini dengan berbagai alasan.
Ja Eun sebagai PEWARIS SAH, tentu punya hak untuk itu dan dia butuh uang untuk mencari tubuh ayahnya yang menghilang di tengah laut. Lalu pacar Tae Shik yaitu Yejin yang mau menikah dengan Tae Shik karena berpikir sebagai putra tertua, nantinya Ojakgyo Farm akan jadi milik Tae Shik dan dia berniat menyuruh Tae Shik menjualnya untuk membayar hutang-hutang Yejin sendiri, padahal Tae Shik gak berhak karena pertanian itu BUKAN MILIK KELUARGA HWANG! Dan sekarang Ibu tiri Ja Eun juga ingin menjualnya untuk membayar hutangnya. Nih Ibu tiri juga gak berhak lah, karena hak waris seharusnya jatuh ke tangan anak kandung (Ja Eun) dan bukan istri baru Baek In Ho!)
Malam harinya, ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk menelpon Ja Eun dan memintanya untuk bertemu di café. Ja Eun yang tak curiga sama sekali, tentu pasti akan datang untuk memenuhi undangan itu.
Di saat yang bersamaan, Tae Hee yang baru saja pulang, tiba-tiba teringat kembali dengan kedekatan antara Tae Phil dan Ja Eun siang tadi, khususnya saat Tae Phil memijat pergelangan kaki Ja Eun yang sakit. Tae Hee menggeleng-gelengkan kepalanya lagi seolah ingin mengusir bayangan menyebalkan itu dari pikirannya.
Saat itulah Tae Hee berpapasan dengan Ja Eun yang baru saja melangkah keluar rumah untuk pergi menemui ibu tirinya.
“Ahjussi, apa kau baru saja pulang? Aku baru saja akan pergi keluar. Tiba-tiba saja Ib...” Ja Eun menyapa Tae Hee dengan riang setelah melihatnya datang, namun dia menghentikan kalimatnya saat akan mengatakan “Ibu tiriku”.
“Ah bukan, maksudku aku akan pergi menemui seseorang. Ahjussi, apa pekerjaanmu hari ini berjalan lancar?” lanjut Ja Eun, mengkoreksi ucapannya dan menanyakan kabar Tae Hee dengan ramah.
Namun Tae Hee hanya menatap gadis itu tanpa kata. Tatapan mata Tae Hee seolah menunjukkan kalau dia bingung dengan apa yang dirasakannya pada gadis itu. Antara marah, gugup dan kesal, semuanya bercampur jadi satu. Tae Hee merasa marah dan juga gugup di waktu yang bersamaan. Tatapan Tae Hee seolah mengatakan, “Bagaimana bisa Ja Eun bersikap ramah padanya setelah dia menggoda Tae Phil tadi siang?”
Setelah menatapnya intens selama beberapa saat, Tae Hee mendadak menjadi gugup dan segera mengalihkan pandangannya, kemudian kembali meliriknya lagi beberapa saat kemudian. Dan karena dia bingung harus bagaimana, alih-alih menjawab pertanyaan Ja Eun, Tae Hee justru memilih pergi dari sana, meninggalkan Ja Eun dalam kebingungan.
“Ahjussi! Ahjussi! Ahjussi! Gyeonghwi-nim (Inspektur)!” panggil Ja Eun yang juga tak kalah bingung, tapi Tae Hee tetap berjalan pergi.
“Ah, ada apa dengan semua anak di keluarga ini? Mereka selalu bersikap sesuai dengan mood mereka sendiri-sendiri. Jika mood mereka baik, mereka akan bersikap baik. Jika mood mereka sedang buruk, mereka akan mengabaikan orang lain,” omel Ja Eun cukup lantang.
Tae Hee yang mendengar omelan itu hanya menelengkan kepalanya seraya menghembuskan napas berat, dia tampak menyesal juga merasa bersalah telah mengabaikan Ja Eun, namun Tae Hee yang masih bingung dengan perasaannya sendiri tetap memilih melangkah pergi karena dia tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan gadis itu saat ini.
“Ini benar-benar membuatku kesal. Aku pasti akan membalas dendam di masa depan. Cobalah untuk bicara padaku lebih dulu dan lihat bagaimana aku mengabaikanmu!” Ja Eun mengomel sekali lagi sebelum pergi dari sana untuk menemui ibu tirinya. Tanpa dia ketahui, sang Ibu tiri, justru masuk ke dalam rumah dan berniat menemui Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja.
Sebenarnya ibu tiri Ja Eun sengaja membuat Ja Eun keluar dari rumah, agar bisa meminta Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja mengembalikan pertanian itu padanya, karena dia berpikir, sebagai istri Baek In Ho, dialah yang paling berhak atas tanah pertanian itu.
(Enak aja loe, Markonah! Ja Eun yang anak kandung dan pewaris sah aja sampai diusir dan menderita kayak gitu demi mengambil kembali tanah pertanian ayahnya tapi tetep gak dibalikin. Enak aja loe, dateng-dateng langsung minta gitu aja! Gak bakal lah dikasih. Aku dukung Park Bok Ja kali ini kalau lawannya si emak tiri…Jangan dikasih, Park Bok Ja! Kalau mau balikin, balikin ke Ja Eun aja!)
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja sedang berunding di dalam kamar mereka dan mempertimbangkan untuk mengembalikan tanah pertanian ini pada Ja Eun. Mereka sedang merundingkan untuk mencari waktu yang tepat untuk mengembalikan pertanian ini dan mencari cara agar Ja Eun tidak marah.
Saat itulah terdengar suara ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk berseru lantang, “Permisi,” serunya di depan pintu.
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja keluar untuk melihat siapa yang bertamu malam-malam begini ke rumah mereka.
“Siapa Anda?” tanya Hwang Chang Sik, tak mengenali wanita setengah baya itu.
“Aku adalah Jung Yeon Suk, istri Presdir Baek In Ho,” jawab Jung Yeon Suk dengan percaya diri.
“Ah, ibu tiri Ja Eun yang ketiga? Kau yang tinggal bersama Presdir Baek In Ho hingga hari dia menghilang dalam kecelakaan, kan?” tanya Park Bok Ja mengkonfirmasi.
“Ya, benar.” Jawab si emak tiri dengan senyuman iblisnya. (Aku pilih Park Bok Ja daripada dirimu, munak! Setidaknya Park Bok Ja sekarang tobat dan beneran sayang sama Ja Eun seperti putri kandungnya. Daripada nih emak tiri, gak pernah sayang sedikit pun, cuma butuh duitnya Ja Eun doang! Dia minta pertanian pun tanpa sepengetahuan Ja Eun, kan?)
“Tapi kenapa kau datang kemari? Ja Eun mengatakan dia tidak punya alasan untuk bertemu denganmu lagi,” ujar Park Bok Ja, sudah bisa mencium rencana jahat ibu tiri Ja Eun.
“Boleh aku duduk dulu?” pinta Jung Yeon Suk, masih berakting seperti orang baik.
“Baiklah, silakan duduk,” ujar Hwang Chang Sik, mempersilahkan.
“Tidak perlu. Tidak perlu duduk! Meski aku tidak tahu apa tujuanmu datang kemari, tapi tolong pergilah!” tolak Park Bok Ja.
“Tidak peduli apa pun, kau masihlah ibu tirinya yang tinggal bersamanya selama 5 tahun. Setelah anak itu kehilangan ayahnya dan begitu tidak berdaya, juga terlunta-lunta seorang diri, bagaimana bisa kau meninggalkannya begitu saja dan pergi seorang diri?” ujar Park Bok Ja, mengungkapkan fakta yang membuat Jung Yeon Suk tak bisa berkata-kata.
“Istriku, kita duduk dulu. Anda juga silakan duduk,” ujar Hwang Chang Sik, mempersilahkan tamu mereka duduk demi kesopanan.
“Setelah meninggalkan Ja Eun seperti itu, aku tidak tahu kenapa kau mencari Ja Eun saat ini...” kata-kata Park Bok Ja terpotong oleh ucapan Jung Yeon Suk.
“Aku bukan datang kemari untuk mencari Ja Eun. Aku datang untuk menemui kalian berdua untuk membicarakan masalah pertanian ini. Aku dengar bahwa tanah pertanian ini sebenarnya adalah milik suamiku. Tapi Ja Eun melakukan kesalahan dan menghilangkan kontraknya. Itu sebabnya kalian tidak mau untuk mengembalikan pertanian ini padanya. Bisakah seseorang yang melakukan itu (menolak mengembalikan pertanian) bertanya kenapa aku masih berani datang kemari?” ujar Jung Yeon Suk panjang lebar, menyindir Park Bok Ja.
“Bukankah Ja Eun adalah putri dari sahabatmu? Putri dari suamiku yang telah membiarkanmu dan keluargamu tinggal secara gratis di pertanian ini selama 10 tahun lamanya, benar begitu bukan? Tapi kau justru menendang Ja Eun keluar dan belum cukup dengan itu, kau membuatnya tidur di tenda di halaman dan membuatnya bekerja seperti budak, namun kalian tetap bertingkah seolah kalian tidak bersalah dan bersikeras memiliki pertanian ini?” seru Jung Yeon Suk, tepat sasaran.
“Aku tidak tahu di mana kau mendengar ini, tapi...” Park Bok Ja berusaha menyangkal dengan suaranya yang tampak gemetar ketakutan.
“Serahkan pertanian ini! Aku dengar kau memiliki anak-anak yang bekerja sebagai Reporter dan Polisi. Di rumah di mana seharusnya ada seseorang yang memegang teguh kebenaran dan hukum dan menjadi panutan masyarakat, keluarga ini justru melakukan tindakan yang melanggar hukum dan tidak etis? Apakah kau ingin semua orang tahu?” potong Jung Yeon Suk, tidak memberi kesempatan Park Bok Ja untuk mengelak.
“Aku juga memiliki kenalan yang memiliki posisi tinggi di kepolisian dan juga jurnalis di sebuah stasiun televisi,” lanjut Jung Yeon Suk dengan percaya diri.
“Apa Anda sedang mengancam kami sekarang?” tanya Hwang Chang Sik, terang-terangan.
“Aku sedang memberi kalian kesempatan. Untuk melakukan tindakan yang benar sebagai manusia dan menemukan kembali hati nurani kalian. Kembalikan pertanian ini secepatnya!” seru Jung Yeon Suk dengan berani dan nada mengintimidasi.
Blogger Opinion :
Si emak tiri uda mulai ikut campur nih. Makin runyam dah. Si emak tiri giliran Ja Eun susah malah ngilang, giliran Ja Eun uda mulai hidup tenang dan damai, malah datang ngerusak. Emak tiri sok-sok’an ngebela Ja Eun padahal aslinya dia punya motif tersembunyi dan ingin menguasai tanah pertanian itu seorang diri. Buktinya dia nyuruh Ja Eun pergi, kan? Emak tiri lebih parah dari Park Bok Ja >_< Untuk Pak Polisi, kalau gak mau kena tikung, cepet gerak, ya! Jangan sampe nyesel, Tae Hee-yaa ^^
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/605 + https://gswww.tistory.com/606
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar