Kini sampailah kita di episode-episode
terakhir menuju ending yang diwarnai oleh kisah sedih di hari minggu, uuppss, maksudnya
diwarnai adegan yang bikin nyesek dan baper antara Guo Jing dan Huang Rong. Dan
episode kali ini adalah episode yang penuh dengan roller coaster. Awalnya
sepasang kekasih tersebut terlihat sangat sedih karena berpikir akan berpisah, kemudian
sebuah kebohongan yang dikarang Yang Kang membuat sepasang kekasih itu berpikir
bahwa Hua Cheng sudah bersedia mundur dan melepaskan Guo Jing jadi mereka bisa
bersama. Tapi ternyata kebahagiaan mereka hanya sesaat karena sebuah
kesalahpahaman kembali memisahkan mereka. See? Episodenya seperti Roller
Coaster, kan? Setelah dibuat sedih, bahagia lalu kembali sedih. Campur aduk
dalam satu episode. Sang Penulis Skenario pinter banget mengocok emosi
penonton.
Tapi memang, beberapa episode menuju
ending ini akan diwarnai oleh banyak sekali drama romantis dan menyayat hati
antara Guo Jing dan Huang Rong. Tak lama lagi, penonton akan disajikan adegan
menguras emosi dan air mata. Guo Jing dan Huang Rong untuk pertama kalinya akan
berpisah dalam jangka waktu yang lumayan lama akibat sebuah kesalahpahaman yang
diciptakan Yang Kang dan Wan Yen Hong Lieh. Dalam novel diceritakan bahwa Guo
Jing dan Huang Rong berpisah selama 1 tahun lamanya sebelum akhirnya Huang Rong
kembali menemui Guo Jing di Mongolia dan membantunya memenangkan setiap perang.
Tapi itu nanti, tak lama setelah ini. Intinya, episode-episode menuju ending
ini yang gak aku suka, karena banyak adegan sedihnya yang membuatku merasa
kasihan pada Huang Rong.
Oke deh, bagi yang merasa penasaran
dengan kelanjutan kisah ini. Mari kita simak potongan adegan di bawah ini...
Buat yang belum nonton, mungkin potongan adegan ini dapat memberikan sedikit
gambaran.
Dan kisahpun berlanjut...
Guo Jing dan Huang Rong masih
melanjutkan moment-moment perpisahan mereka yang menguras emosi penonton
(khususnya aku). Kali ini, sepasang kekasih yang akan berpisah itu berada di
tepi sebuah danau untuk menunggu fajar menyingsing, menunggu saat-saat di mana
Guo Jing menurut rencana akan pulang ke Mongol dan menikah dengan Hua Cheng.
Karena terlalu sedih, tak ada satupun
dari mereka yang bisa memejamkan mata dan tertidur, mereka sama-sama menganggap
bahwa waktu mereka yang hanya tinggal sedikit ini terlalu berharga untuk
dilewatkan dengan tidur di penginapan. Itu sebabnya mereka memutuskan untuk
menghabiskan saat-saat terakhir kebersamaan mereka dengan berada di tepi danau.
Guo Jing tampak berlutut di depan
sebuah api unggun dengan melamun, wajahnya menunjukkan kesedihan yang dalam
karena akan berpisah dengan gadis yang dicintainya dalam beberapa jam lagi.
Sementara itu, Huang Rong bermain wayang golek seraya menyanyikan sebuah lagu.
Lagu itu adalah lagu yang mengisahkan tentang kisah cinta Sampek Engtay alias
Liang Shan Pho dan Chu Ying Tay, yang saling mencintai namun tidak bisa bersatu
hingga akhirnya maut memisahkan mereka. (Note : Gak tahu kisahnya Sampek
Engtay, cari di google aja ya ^_^)
Guo Jing yang mendengar suara lembut
nyanyian sang kekasih, ditambah dengan lirik dan nada yang sedih, spontan
berdiri dan menghampiri gadis itu yang masih meneteskan air mata kesedihan.
“Jing Gege, apa kau ingat hari itu, aku
membohongimu dengan menyuruhmu membeli kue? Sebenarnya saat itu aku meminta
seorang seniman wayang untuk mengajariku lagu ini. Enak tidak lagunya?” tanya
Huang Rong dengan senyum terpaksa di bibirnya.
“Rong’er...” lagi-lagi Guo Jing tak
mampu bicara dan hanya bisa memanggil nama sang kekasih dengan mata
berkaca-kaca.
“Hari ini aku khusus nyanyikan lagu itu
untuk Jing Gege. Begitu fajar menyingsing, kau harus pergi mencari Putri Hua
Cheng. Kita berdua, selamanya tidak akan bisa bertemu lagi. Rong’er nyanyikan
lagu ini, dengan harapan agar lirik lagu ini bisa masuk ke dalam hatimu. Agar
kau selamanya tidak akan melupakan aku.” Ujar Huang Rong lirih dengan air mata
berderai.
Guo Jing yang awalnya hanya menatap
sang kekasih tanpa kata dengan air mata yang juga mengalir pelan dari kedua
sudut matanya, spontan menarik gadis itu ke dalam pelukannya dan memeluknya
erat sambil menangis.
Note : Aktingnya William bagus banget
di sini. Sejak awal emang udah bagus sih aktingnya ^_^ Tapi gaya memeluknya
William seolah kayak diprekes gitu ceweknya. Dipeluk erat gitu, seperti tak mau
melepaskan. Memeluk dengan penuh perasaan...
Paginya, sepasang kekasih tersebut
tampak akan berpisah dan Huang Rong terlihat memberikan bungkusan milik Guo
Jing saat tiba-tiba seorang pria berkuda datang membawakan sebuah pesan untuk
Guo Jing yang dimasukkan ke dalam kantong yang bertuliskan nama “Guo Jing”.
Note : Masih ingat di episode
pernikahan Yang Kang dan Mu Nian Chi saat Chiu Chian Ren (PALSU) ingin membawa
kabur harta Chiu Chian Ren (ASLI) tapi tak sengaja bertemu dengan si kepala
benjol 3 Hou Tong Hai dan bertabrakan dengannya hingga harta yang dicurinya
jatuh ke lantai? Saat itu Hou Tong Hai tak sengaja melihat kantong yang
bertuliskan nama “Guo Jing” yang
sebelumnya dicuri oleh Chiu Chiu Ren (PALSU) dari tangan Tuo Li saat Chiu Chian
Ren (PALSU) menangkap para utusan Mongol di Hutan, tak jauh dari Desa Nia.
Kantong bertuliskan nama “Guo Jing”
itulah yang sekarang dijadikan alat untuk menghalangi kepulangan Guo Jing ke
Mongolia, dengan tujuan agar mereka bisa merebut kitab Perang Wu Mu. Melihat
kantong itu yang seharusnya ada di tangah Tuo Li karena merupakan simbol
persaudaraan mereka, tentu membuat Guo Jing percaya bahwa Hua Cheng benar-benar
telah melepaskannya, padahal mah aslinya nggak mungkin.
“Numpang tanya, apakah kau Pendekar Guo
Jing?” tanya seorang pria tak dikenal pada Guo Jing.
“Benar.” Jawab Guo Jing.
“Akhirnya aku menemukanmu. Ada orang
yang memintaku untuk menyampaikan surat untukmu.” Ujar pria tak dikenal
tersebut seraya mengeluarkan sebuah kantong yang bertuliskan nama “Guo Jing”.
Setelah menyampaikan kantong berisi
surat tersebut, pria tak dikenal itu segera pergi dari sana, meninggalkan Guo
Jing yang membuka kantong tersebut dengan penasaran.
Setelah membuka kantong
tersebut dan membaca isi suratnya (yang tentu saja ditulis dalam bahasa
mongol), Guo Jing spontan berseru gembira.
“Rong’er, Rong’er, perjanjian tanggal 6
dibatalkan.” Ujarnya gembira.
“Kau bilang apa?” tanya Huang Rong tak
mengerti.
“Aku bilang...” Guo Jing tampak bingung
bagaimana harus menjelaskannya.
“Kau lihatlah sendiri. Kau lihatlah!
Cepat lihat!” ujar Guo Jing seraya menunjukkan suratnya, tapi tentu saja
Rong’er tak mengerti apa isinya.
“Rong’er tidak bisa membacanya.” Jawab
Huang Rong bingung.
“Tuo Li memberi pesan melalui surat,
Hua Cheng sudah mengerti. Perjanjian pernikahanku dengannya dibatalkan. Kita
bisa bersama.” Jawab Guo Jing dengan tersenyum gembira.
Mendengar berita baik ini, tentu saja
Huang Rong juga ikut gembira. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa ini hanya
jebakan Yang Kang untuk menghalangi Guo Jing pulang ke Mongolia.
Huang Rong menatap sang kekasih dengan
tidak percaya, karena ini seperti mimpi baginya.
“Jing Gege, apakah ini benar?” tanyanya
mengkonfirmasi.
“Tentu saja benar. Kantong ini adalah
kenang-kenangan dariku untuk Tuo Li saat kami mengangkat saudara. Tidak akan
salah.” Jawab Guo Jing dengan yakin.
Note : Iya kantongnya benar, tapi yang
tidak Guo Jing tahu adalah kantong itu sebelumnya telah dicuri oleh Chiu Chian
Ren (PALSU) dan kemudian jatuh ke tangan Yang Kang. Tapi gpp, diberi
kebahagiaan sesaat sebelum kemudian dipisahkan lagi sama penulis skenarionya.
Karena ini termasuk adegan yang masuk dalam Modifikasi Kecil Super Kreatif. Dalam novel, tak ada adegan
ini. Hanya tiba-tiba Guo Jing dan Huang Rong pulang ke Pulau Persik dan
menemukan kelima guru Guo Jing terbunuh di sana. Udah, gitu aja. Alasan kenapa
keenam guru Guo Jing datang ke sana dan kenapa Guo Jing dan Huang Rong kembali
ke sana, juga terlihat ngambang. Tiba-tiba ngumpul di sana semua macem
sinetron.
“Rong’er...” panggil Guo Jing dengan
bahagia.
“Jing Gege...” sahut Huang Rong juga
dengan senyum bahagia di wajahnya.
“Kita bisa bersama. Kita bisa bersama.”
Guo Jing berseru bahagia seraya spontan mengangkat tubuh Huang Rong dan
menggendongnya berputar-putar.
“Kita bisa bersama.” Serunya
berulang-ulang seraya menggendong Huang Rong berputar-putar. Mereka berdua
tertawa dengan bahagia, karena mengira pada akhirnya mereka bisa bersama
selamanya.
Di saat sepasang kekasih tersebut
saling berpelukan dengan bahagia, sementara itu di Ling’An, Hua Cheng dan Tuo
Li menunggu Guo Jing dengan gelisah karena pintu gerbang Ling’An akan segera
ditutup. Tuo Li meminta Hua Cheng untuk menyerah dan tidak menunggu Guo Jing
karena Guo Jing takkan pernah datang.
Note : Duh, nih cewek satu ya. Guo Jing
kan gak cinta sama elu. Gak punya harga diri banget deh. Jangan jadi pengemis
cinta gitu dong, kayak gak punya harga diri aja. Situ kan cantik, imut, masih
muda, putri pula, pasti yang ngantri pengen nikahin kan banyak, untuk apa masih
mengemis cinta pada Guo Jing yang jelas-jelas takkan bisa mencintaimu?? Apa kau
pikir Guo Jing adalah Wei Xiao Bao yang tak puas hanya dengan 1 wanita
sampai-sampai putri dan pelayannya dinikahin sekaligus? Istrinya sampai 7 pula.
Duh, kok ngenes rasanya cinta dibagi 7, dibagi 2 aja rasanya pengen ngebiri,
lah ini Wei Xiao Bao malah tujuh istri ckckck...Makanya karakter Favoritku
selamanya HANYA GUO JING !!!!
Di Pulau Persik, tampak Huang Yao Shi
sedang mengajari Sha Gu menulis, yang tentu saja karena merasa bosan, Sha Gu
tak mau menulis. Lalu kemudian datang seorang pelayan bisu yang menyampaikan pesan
bahwa Tujuh Pendekar Jiang Nan datang ke Pulau Persik. Huang Yao Shi yang tidak
mau menerima tamu menyuruh pelayannya untuk mengusir mereka. Tapi karena mereka
sudah terlanjur datang, Sha Gu akhirnya diminta untuk menjamu Tujuh Pendekar
Jiang Nan.
Saat Huang Yao Shi sedang sendiri di
dalam kamar, datang seorang pelayan bisu yang menyampaikan pesan bahwa Guo Jing
saat ini telah kembali ke Mongol dan meninggalkan Huang Rong seorang diri.
Huang Yao Shi yang tidak ingin melihat sang putri kesayangan bersedih karena
ditinggal oleh sang kekasih hati, tanpa pikir panjang segera pergi meninggalkan
Pulau Persik untuk mencari keberadaan Putri kesayangannya dan berniat
mengajaknya pulang ke Pulau Persik untuk menyembuhkan luka hatinya.
Dan saat Huang Yao Shi pergi
meninggalkan pulau itulah, Yang Kang dan Ou Yang Feng akhirnya membantai kelima
guru Guo Jing dan sengaja menyisakan satu si buta Khe Chen Erl sebagai saksi
hidup untuk mengadu domba Guo Jing dan Huang Rong. (Strategi “Devide Et Impera”
telah dimainkan.
Di saat sang ayah berpikir bahwa Putri
kesayangannya sedang bersedih seorang diri di Jia Xing dan ingin menyusulnya,
sang putri tercinta justru bergandengan tangan dengan gembira bersama kekasih
hatinya yang tak jadi pulang ke Mongol.
“Jing Gege, jika ayahku tahu kau tak
jadi pulang ke Mongol, ayah pasti gembira.” Ujar Huang Rong dengan tersenyum
gembira.
“Kebetulan para guruku juga ada di
Pulau Persik, sekalian saja aku minta para guruku untuk membuat keputusan
untukku.” Ujar Guo Jing dengan tersenyum gembira memandang sang kekasih.
“Ambil keputusan apa untukmu?” tanya
Huang Rong, sengaja memancing Guo Jing walaupun dia sudah tahu jawabannya.
Guo Jing pun menjawab dengan malu-malu,
“Tentu saja soal pernikahan kita.” Jawab Guo Jing dengan tersenyum canggung dan
malu-malu yang membuatnya semakin terlihat tampan.
Belum sehari Hua Cheng “membatalkan”
pernikahan mereka, Guo Jing sudah berencana menikahi gadis lain, dan dia
mengatakannya dengan wajah berseri-seri penuh kebahagiaan. Sama sekali tidak
peduli pada perasaan Hua Cheng yang mungkin sedang bersedih karena batal menikah
dengannya. Karena bagi Guo Jing, cintanya hanya untuk Rong’er jadi dia tidak
peduli pada perasaan gadis lain. Huang Rong is Guo Jing’s selfisnness. Huang
Rong adalah keegoisan Guo Jing. Pria yang baik pun bisa menjadi egois karena
cinta.
“Guruku di Pulau Persik, pasti sudah
menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi antara Tujuh Pendeta Chuan Chin dan
ayahmu. Pertarungan di Loteng Dewa Mabuk, jika ayahmu bersedia membantu, kita
tidak perlu takut lagi pada Ou Yang Feng.” Ujar Guo Jing masih dengan wajah
berseri-seri.
“Benar. Benar sekali.” Jawab Huang Rong
mengiyakan. Percaya pasti ayahnya akan membantu sang calon menantu.
Saat itulah mereka melihat pengemis
tua, Hong Chi Khong tampak berlari di antara kerumunan orang. Dia terlihat
seperti sedang mencari sesuatu atau seseorang. Guo Jing dan Huang Rong yang tak
sengaja melihat guru mereka, spontan memanggil sang guru.
“Guru.” Panggil Guo Jing dan Huang Rong
bersama.
“Jing’er, kenapa kau masih di sini?
Apakah kau tidak pulang ke Mongol dengan Putri Hua Cheng?” tanya Hong Chi Khong
bingung, karena yang dia tahu, Guo Jing harusnya sudah kembali ke Mongol.
“Tuo Li An Ta mengirim pesan padaku,
Putri Hua Cheng sudah memikirkannya dengan jelas dan membatalkan pernikahan
kami.” Jawab Guo Jing dengan gembira seraya menatap mesra kekasihnya, yang tentu saja berita tersebut disambut dengan gembira
oleh sang guru.
“Sungguh bagus sekali. Untuk apa
memperistri Putri Mongol? Rong’er bukankah jauh lebih baik?” Ujar Hong Chi
Khong gembira.
“Kalian ini mau ke mana?” tanya Hong
Chi Khong kemudian.
“Kami ingin ke Pulau Persik mencari
Ketua Huang.” Jawab Guo Jing.
“Guru, tadi kami lihat, guru seperti
sedang mencari seseorang. Guru sedang mencari siapa?” tanya Huang Rong
penasaran.
“Guru sedang mencari Pendekar Khe. Oh
ya, Jing’er, apa kau sudah bertemu dengan guru besarmu?”Hong Chi Khong justru
balik bertanya pada sang murid.
“Guru besarku bukankah ada di Pulau
Persik?” jawab Guo Jing bingung.
“Dia sudah pulang. Aku bertemu
dengannya di pelabuhan. Tapi...” ujar Hong Chi Khong, tampak ragu saat akan
mengatakannya.
“Tapi apa?” desak Guo Jing khawatir.
“Saat aku bertemu dengannya, rambutnya
berantakan dan penampilannya suram. Mulutnya terus berkata tidak jelas seperti
“tidak berhati nurani”. Dan dia juga bilang ingin bunuh Rong’er.” Jawab Hong
Chi Khong, membuat kedua muridnya tampak khawatir.
“Aku baru mau tanyakan dengan jelas
padanya, tapi Pendekar Khe sudah pergi.” Lanjut Hong Chi Khong.
“Kenapa bisa seperti ini? Guru besarku
baik-baik saja, kenapa bisa berkata seperti itu?” Guo Jing tampak tak mengerti.
“Sesat Tua Huang dan Pendekar Khe
sama-sama punya sifat yang aneh. Siapa yang tahu kedua orang ini ada masalah
apa?” jawab Hong Chi Khong.
“Lalu bagaimana?” Guo Jing tampak
panik.
“Jangan panik. Jangan panik.” Ujar Hong
Chi Khong menenangkan.
“Begini saja, kalian lakukan saja
sesuai rencana kalian. Pergi cari Sesat Huang ke Pulau Persik. Aku akan cari
Pendekar Khe, untuk bertanya dengan jelas ada masalah apa sebenarnya. Jika di
antara dia dan Sesat Huang ada kesalahpahaman, jelaskan saja, bukankah sudah
beres?” jawab Hong Chi Khong dengan bijaksana.
“Tapi jika bukan salah paham, aku juga
tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah. Aku harus mencari orang.” Lanjut Hong Chi
Khong sebelum melanjutkan pencariannya.
Guo Jing dan Huang Rong akhirnya
kembali ke Pulau Persik bersama. Dalam perjalanan, Huang Rong sudah mulai
merasakan sesuatu yang tidak beres, tapi dia tidak tahu apakah itu. Dalam hati,
dia hanya merasa sangat tidak tenang dan merasa galau.
Sampai di Pulau, Guo Jing tampak
menggandeng tangan Huang Rong dengan gembira. Tapi Huang Rong menarik tangan
Guo Jing dan memintanya menghentikan langkahnya sebentar. Huang Rong bertanya
apakah Guo Jing menyukainya?
Huang Rong merasa sesuatu yang buruk
akan terjadi pada hubungan mereka dan entah kenapa, dia merasa cinta Guo Jing
padanya tidak cukup kuat untuk menerjang apa pun itu yang menghadang di depan
mereka. Huang Rong merasa dia harus memastikan sekali lagi perasaan Guo Jing
padanya.
“Jing Gege, kau menyukai Rong’er,
tidak?” tanya Huang Rong lirih.
“Suka. Tentu saja suka. Saat kau
bersedih, aku juga merasakan kesedihanmu. Saat kau gembira, aku juga merasa
gembira untukmu. Aku bahkan tidak tega mengatakan satu katapun yang membuat
hatimu sakit. Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu?” Jawab Guo Jing cepat dan
mantap, tanpa perlu berpikir lagi.
“Jika keenam gurumu, ibumu dan semua
temanmu tidak menyukai Rong’er, bagaimana denganmu?” tanya Huang Rong gelisah.
“Kalau begitu akan kukatakan pada
mereka, Rong’er adalah wanita terbaik di dunia ini.” jawab Guo Jing mantap dengan
tersenyum ceria.
“Bagaimana jika mereka tidak percaya?’
tanya Huang Rong, sedikit mendesak.
“Rong’er, meskipun semua orang di dunia
ini menentang dan ingin menyakitimu, aku akan tetap di sampingmu untuk
melindungimu.” Jawab Guo Jing tulus dan mantap.
“Apakah kau bersedia demi aku, meninggalkan mereka semua?” tanya Huang Rong,
ingin meminta jaminan.
Tapi Guo Jing hanya menundukkan kepalanya terdiam.
Melihat Guo Jing terdiam ragu, Huang Rong akhirnya mengalah.
“Baik. Aku tidak akan memaksamu
meninggalkan semua orang. Tapi aku ingin kau berjanji padaku, selamanya kau
tidak akan meninggalkan aku.” Pinta Huang Rong lirih.
Untuk yang satu ini, Guo Jing bersedia
berjanji tanpa ragu. Dia segera meraih kedua tangan Rong’er dan menggenggamnya
erat.
“Tentu saja. Selama ini kita sudah
menghadapi banyak cobaan. Hua Cheng juga akhirnya mau mengerti. Kenapa kita
harus berpisah?” ujar Guo Jing dengan yakin.
“Jika guru besarmu ingin kau
meninggalkan aku, dan jika kau tidak meninggalkan aku, dia tidak mau mengakuimu
sebagai muridnya, apa yang akan kau lakukan?” tanya Huang Rong lagi, masih
merasa gelisah.
“Bagaimana mungkin? Guru besarku pasti
hanya salah paham. Nanti aku bisa jelaskan padanya. Bukankah tadi kita sudah
membahasnya?” jawab Guo Jing tulus.
“Jika, aku bilang jika, bagaimana jika
itu benar-benar terjadi?” Huang Rong masih tetap merasa tidak tenang.
“Rong’er, sebenarnya apa yang kau
khawatirkan?” tanya Guo Jing tak mengerti.
“Aku juga tidak tahu. Aku hanya merasa
hatiku sangat risau. Aku tidak takut gurumu memenggal kepalaku, aku hanya takut
kau akan mendengarkan ucapan gurumu lalu berpisah denganku. Bagiku, itu jauh
lebih menyakitkan daripada memenggal kepalaku.” Jawab Huang Rong gelisah.
“Rong’er, apa kau masih ingat saat kita
berada di Wisma Awan? Keenam guruku menentang keputusanku untuk bersamamu. Guru
besarku bahkan memukulku karena ini. Tapi saat mereka melihatmu demi membelaku,
sampai harus menentang ayahmu, sebenarnya dalam hati, mereka sangat tersentuh.”
Jawab Guo Jing, ingin mengatakan agar Huang Rong tak perlu khawatir.
“Mereka tersentuh atau tidak, aku tidak
tahu. Tapi Guru besarmu selalu memakiku “Iblis Kecil”. Marah-marah tidak
jelas.” Jawab Huang Rong sedih.
“Rong’er, semua guruku memang kelihatan
galak dan aneh, tapi sebenarnya mereka adalah orang yang sangat baik hati. Guru
keduaku sangat humoris dan suka bermain, dia pasti akan menyukaimu. Guru
ketigaku sangat mahir berkuda, kau nanti bisa adu balap kuda dengannya. Dia
pasti akan menyukaimu. Dan juga guru ketujuhku, dia sangat lembut, Dialah yang
paling menyayangiku. Oh ya, masakannya juga enak. Kalian bisa lomba masak dan
lihat masakan siapa yang paling enak.” Jawab Guo Jing, berusaha meyakinkan
kekasihnya jika semua gurunya pasti akan menyukai gadis pilihan hatinya.
“Tapi...” Huang Rong masih terlihat
cemas walaupun Guo Jing sudah menjelaskannya panjang lebar.
Melihat kekasihnya masih khawatir, Guo
Jing segera meraih kedua tangan Huang Rong dan menggenggamnya erat seraya
mengucapkan sebuah janji (yang diingkari).
“Rong’er, kau tenanglah. Aku Guo Jing,
seumur hidupku, di kehidupan berikutnya, dan kehidupan berikutnya lagi,
selamanya tidak akan berpisah denganmu.” Ujar Guo Jing dengan tegas dan mantap,
berjanji sepenuh hati untuk tidak meninggalkan gadis itu.
“Jing Gege, kita kaitkan jari.” Ujar
Huang Rong dengan tersenyum manis seraya mengulurkan jari kelingkingnya. Guo
Jing segera mengulurkan jari kelingkingnya dan mengkaitkannya dengan sang
kekasih kemudian mengulangi sumpahnya.
“Kita
seumur hidup, di kehidupan berikutnya, dan di kehidupan berikutnya lagi, tidak
akan pernah berpisah.” Ujar Guo Jing
dan Huang Rong bersama-sama.
Setelah mengucapkan janji akan selalu
bersama, sepasang kekasih itu berlari dengan bahagia ke arah hutan persik
seraya bergandengan tangan.
Karena terlalu bahagia, Huang Rong pun menari-nari
dengan gembira untuk Guo Jing yang hanya menatapnya dengan terpesona.
Note : Adegan Huang Rong menari ini
BUKAN MODIFIKASI ya karena dalam novel juga ada adegan Huang Rong menari untuk
sang kekasih yang menatapnya terpesona tanpa berkedip.
Setelah menari di atas pepohonan hutan
persik, Huang Rong segera menarik tangan sang kekasih dengan gembira.
“Jing Gege, ayo kita pergi.” Ujarnya
ceria.
Tapi keceriaan dan kegembiraan mereka
langsung musnah dalam sekejap saat mereka menemukan kuda guru ketiga Guo Jing
mati di tengah hutan persik. Melihat kuda guru ketiganya mati, mendadak Guo
Jing menjadi panik dan mencari guru ketiganya, hingga akhirnya mereka sampai di
depan makam rahasia Ibu Huang Rong yang entah kenapa bisa terbuka. Huang Rong
pun tampak terkejut saat melihat batu nisan sang ibu telah hancur.
Guo Jing tanpa pikir panjang segera
masuk ke dalam dan menemukan guru keenam, guru kedua, guru ketiga dan guru
ketujuh Guo Jing tewas mengenaskan di dalam makam rahasia tersebut. Guo Jing
semakin yakin bahwa yang membunuh guru-gurunya adalah Ketua Huang karena guru
ketiganya menuliskan sebuah huruf yang belum selesai, yang seolah menunjukkan
huruf “Dong” yang adalah “Timur” (padahal sebenarnya “Barat”)
Guo Jing yang kalap segera berlari ke
segala penjuru pulau persik untuk mencari Huang Yao Shi dan berniat
membunuhnya. Huang Rong berlari mengikuti di belakangnya. Guo Jing tak sengaja
menemukan bercak darah di baju milik Huang Yao Shi tepat pada saat Huang Rong
tiba di sana.
“Ini adalah baju milik ayahmu. Di baju
ini ada bekas darah guruku. Setelah membunuh beberapa guruku, ayahmu pasti
mengganti bajunya dan pergi begitu saja. Ini adalah buktinya!” ujar Guo Jing
dengan penuh kemarahan seraya menunjukkan baju berbekas darah itu pada Huang
Rong yang tampak menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Tidak mungkin! Aku tak percaya!”
sangkal Huang Rong dengan ekspresi shock.
“Sesat Huang, kenapa kau bunuh guruku? Kenapa? Keluarlah!” Guo Jing berteriak marah menyuruh Huang Yao Shi keluar.
“Jing Gege, kau jangan seperti ini.”
ujar Huang Rong sedikit takut. Dia tak pernah melihat Guo Jing semarah dan
sekalap ini.
Mendengar suara sang kekasih, Guo Jing
segera menghampiri gadis itu dan memegang kedua lengannya kuat, memberikan
pertanyaan yang lembut tapi dengan ekspresi menusuk.
“Ayahmu di mana? Katakan padaku!
Ayahmu, si Sesat Tua itu ada di mana?” tanya Guo Jing, menatap sang kekasih
dengan ekspresi tak terbaca.
“Aku tak tahu ayahku pergi ke mana. Di pulau ini tak ada seorangpun, bahkan pelayan bisu pun menghilang.” Jawab Huang Rong jujur. (ya iyalah, Huang Rong kan bersama Guo Jing ke mana-mana. Mana mungkin dia tahu ayahnya di mana???)
“Sesat Tua Huang, aku pasti akan
menemukanmu. Setelah menemukanmu, aku pasti akan membunuhmu.” Ujar Guo Jing
dengan penuh kemarahan seraya merobek baju milik Huang Yao Shi, membuat Huang
Rong terkejut dengan perubahan sikap Guo Jing seperti ini.
“Sekarang semuanya belum jelas. Belum tentu
ayahku pembunuhnya.” Huang Rong membela sang ayah.
“Kalau begitu siapa? Siapa? Siapa yang
cukup kejam membunuh guruku seperti itu? Siapa yang bisa keluar masuk Pulau
Persik dengan bebas? Siapa juga yang bisa masuk ke dalam makam rahasia ibumu
dan membunuh sesukanya di sana?” bentak Guo Jing dengan kasar.
Ini pertama kalinya Guo Jing membentak
Huang Rong dengan nada tinggi dan suara keras sejak mereka berkenalan dan ini
jelas melukai hati gadis itu. Untunglah Huang Rong yang ini sangat penyabar dan
menerima segala kemarahan Guo Jing dengan hati dingin dan bukan dengan emosi yang
sama.
“Aku tidak tahu. Tapi cinta ayahku pada
ibu sangat dalam. Ayah tidak mungkin membunuh di dalam makam ibu.” Jawab Huang
Rong lirih.
“Tapi...Tapi guru ketigaku menuliskan
kata “Timur” di sana. Bagaimana kau menjelaskannya?” sekali lagi Guo Jing membentak
Huang Rong.
Note : Duh, nih William ya, jangan
kasar-kasar dong, say. Kasihan Rong’er-nya. Melihat Guo Jing yang begitu galak
dan seolah menyia-nyiakan Rong’er, jadi ingin membuat Guo Jing menderita
sedikit dengan cara membuat Huang Rong tak mudah memaafkannya. Aku sebenarnya
ingin melihat Guo Jing lebih berusaha untuk mendapatkan Rong’er kembali sebagai
ganti sikapnya yang galak dan kasar pada Rong’er di Pulau Persik.
Kalau aku jadi Rong’er, aku mau Guo
Jing yang datang mencariku, bukan Rong’er yang datang mencari Guo Jing ke
Mongol. Enak aja! Tapi dalam novelnya pun, Huang Rongnya dengan mudah memaafkan
dan memaklumi sikap Guo Jing yang bodoh ini *Sigh* Berharap untuk adegan Guo
Jing dan Huang Rong baikan lagi dibuat lebih dramatis, tapi apa daya, episode
ke belakang ini aja banyak yang dipotong, entah karena apa. Padahal aslinya 56
tapi dipotong jadi 52 episode dan banyak adegan di episode terakhir yang hilang
hiks T__T
Back To Story...
“Mungkin saja itu bukan kata “Timur” tapi...” belum sempat Huang Rong
selesai bicara, Guo Jing sudah kembali membentaknya dengan kasar.
“Bukan kata “Timur” lalu apa?” bentak Guo Jing dengan kasar.
“Jika...Aku bilang jika.. Jika
seandainya memang benar ayahku yang...” Huang Rong mencoba berandai-andai, tapi
sekali lagi Guo Jing memotong kalimatnya dengan kasar.
“Tidak ada kata “Jika”. Sesat Tua Huang, aku pasti akan membunuhmu untuk membalas
dendam kematian guruku.” Bentak Guo Jing marah.
“Bagaimana dengan aku? Apa rencanamu
padaku?” tanya Huang Rong lirih dengan mata berkaca-kaca, membuat Guo Jing
sadar bahwa masih ada Rong’er yang tidak bersalah, terperangkap di tengah
masalah ini.
Guo Jing spontan menatap sang kekasih
dengan ekspresi tak terbaca dan menggeleng-gelengkan kepalanya seolah
menyangkal. Mungkin Guo Jing ingin menyangkal kenyataan bahwa gadis yang
dicintainya adalah putri dari pembunuh guru-gurunya.
“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.” Jawab
Guo Jing seraya berlari meninggalkan Huang Rong begitu saja.
Guo Jing seolah melupakan janji yang
baru saja dia ucapkan bahwa apa pun yang terjadi, “Dia, Guo Jing, tidak akan pernah berpisah dengan Rong’er”. But now
what? He leave her alone... “Broken Vow”
nih ceritanya, alias “Janji Yang
Diingkari”.
To Be Continued Part 2. Bersambung
karena terlalu panjang...
Berikutnya : Episode 44 Part 2
Written
by : Liliana Tan
NOTE
: DILARANG MENG-COPY PASTE TANPA IJIN DARI PENULIS !!! REPOST WITH FULL CREDITS
!!!
Credit
Pict : WEIBO ON LOGO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar