Masih dengan tema yang sama yaitu “Menyembuhkan
Luka”. Tapi kali ini, giliran Huang Rong yang terluka akibat pukulan Tapak Besi
Chiu Chian Ren. Guo Jing dan Huang Rong yang tak sengaja bertemu dengan wanita
berambut putih - Ying Gu akhirnya mendapat petunjuk untuk mencari orang hebat
yang konon di dunia ini, hanya dia saja yang bisa menyembuhkan gadis itu. Guo
Jing yang tentu tak ingin kehilangan sang kekasih, pasti akan rela melakukan
apa saja demi kesembuhan gadis yang dicintainya.
Dan kisahpun berlanjut...
Guo Jing memacu kuda merahnya dengan
cepat, secepat mungkin karena mereka sedang berpacu dengan waktu, mengingat
Huang Rong hanya mampu bertahan selama 3 hari ke depan. Saat sang kekasih
tengah tertidur karena lemah, Guo Jing membuka kantongnya yang pertama dan
membaca petunjuk di dalamnya.
“Di depan adalah Propinsi Tao Yuan, aku
sudah bisa membuka kantong berwarna putih.” Ujar Guo Jing pada dirinya sendiri
seraya memandang kekasihnya yang tertidur dalam pelukannya. Guo Jing
mengeluarkan kantong berwarna putih dan mengeluarkan isinya.
"Bila melihat peta ini, seharusnya
jalan lurus ke depan, hingga tiba di sebuah sungai kecil. Setelah sampai di
sungai kecil tersebut, bukalah kantong berwarna merah.” Guo Jing membaca
petunjuk di dalam kantong tersebut yang memperlihatkan gambar sebuah sungai.
Note : Guo Jing dan Huang Rong nantinya
akan bertemu dengan keempat murid Kaisar Selatan (yang sekarang telah menjadi
Biksu Selatan), Thuan Huang Ye yaitu : Nelayan, penebang kayu, peternak dan
pelajar. Sebenarnya mereka berempat adalah para jenderal kepercayaan Kaisar
Selatan yang ikut mengasingkan diri bersama tuannya.
Setelah menemukan sungai kecil
tersebut, Guo Jing segera membuka kantong berwarna merah dan membaca isinya. Di
sana dijelaskan bahwa yang bisa menyembuhkan luka Huang Rong adalah Kaisar
Selatan, Thuan Huang Ye. Guo Jing dan Huang Rong yang mengira bahwa Kaisar
Selatan masih tinggal di Dali (Tayli) merasa ini semua sangat aneh. Melihat
keadaan Huang Rong dan betapa jauhnya Kerajaan Dali (Tayli), sangat tidak
mungkin bagi mereka untuk sampai di tempat itu hanya dalam waktu 3 hari. Tapi
bagaimanapun juga, mereka tetap mengikuti instruksi di kantong tersebut tanpa
mempedulikan kemungkinan lain.
Dalam surat di kantong tersebut juga
dijelaskan, jika ingin Kaisar Selatan mengobati Huang Rong maka harus berbohong
dengan mengatakan bahwa mereka datang atas perintah Hong Chi Khong. Dan setelah
bertemu dengan Kaisar Selatan, barulah berikan surat yang ada di dalam kantong
berwarna kuning. Guo Jing yang memang pada dasarnya seorang pemuda yang jujur,
merasa sangat berat untuk berbohong.
“Kita harus berbohong dan mengatakan
bahwa ini perintah Guru Hong Chi Khong, baru bisa bertemu Kaisar Selatan. Tapi
aku tidak ingin berbohong hanya agar bisa bertemu dengannya. Tapi, jika aku
tidak berbohong, aku takut dia tidak akan bersedia menyelamatkanmu. Aku harus
bagaimana?” Guo Jing terlihat serba salah, sementara Huang Rong hanya tersenyum
mengerti melihat kekasihnya yang bodoh namun sangat jujur.
Note : Di mana lagi coba nyari cowok
jujur?? Cowok kayak Guo Jing tuh langka banget, kan? Yang ada banyak mah, cowok
pembohong besar kayak Yang Kang (Yokang) dan cowok pendendam kayak Yang Guo
(Yoko)
“Jing Gege, bisa bertemu denganmu yang
begitu baik dan jujur, aku benar-benar merasa seperti mendapatkan anugerah dari
Tuhan.” Ujar Huang Rong dengan tersenyum pengertian.
“Jangan khawatir. Katakan sejujurnya
saja.” Lanjut Huang Rong pasrah.
Rintangan pertama. Mereka bertemu
dengan sang nelayan. Walaupun tampaknya tak mudah, namun Huang Rong dengan
sedikit kelicikan dan kepintarannya berhasil menipu si nelayan dan melewati
rintangan pertama.
Guo Jing dengan hati-hati menggandeng
sang kekasih berjalan melewati jembatan kecil di atas sungai, mendekati si
nelayan. Ternyata nelayan tersebut sedang asyik memancing ikan emas, namun ikan
tersebut lepas karena kaget mendengar suara Guo Jing yang bertanya.
Huang Rong berkata bahwa di rumahnya
ada banyak ikan emas, sayangnya rumahnya sangat jauh dari sini. Si nelayan
akhirnya bertanya tujuan Guo Jing dan Huang Rong datang ke sana. Namun tanpa
perlu menjawab pun, si nelayan sudah bisa melihat bahwa Huang Rong sedang
terluka parah dan mereka pasti datang untuk minta berobat.
“Nona ini adalah putri Ketua Huang Yao
Shi dari Pulau Persik, juga murid Hong Chi Khong. Guru Chi Khong bahkan telah
mengangkatnya sebagai Ketua Baru Kaypang. Mohon Senior memandang kedua Tetua
ini dan ijinkan kami lewat.” Ujar Guo Jing menjelaskan status mereka, berharap
dengan memandang nama besar sang guru dan calon mertua, mereka akan diberi
jalan.
“Kau bilang gadis kecil ini adalah
Ketua Baru Kaypang? Aku tidak percaya!” cibir si nelayan.
Si nelayan awalnya terlihat tak
percaya, hingga Guo Jing bahkan memberikan “Tongkat Pemukul Anjing” milik sang
kekasih sebagai buktinya.
Namun walau begitu, dia tetap tidak
memberikan jalan untuk mereka. Huang Rong yang pintar akhirnya memutuskan untuk
membohongi si nelayan. Dia meminta Guo Jing untuk mengambilkan ikan emas itu
untuknya. Guo Jing tentu saja menurut apa kata kekasihnya. Dia melompat ke
dalam air dan segera mengambilkan ikan emas itu untuk Huang Rong. Kemudian
setelah menggendongnya sesaat, Huang Rong melemparkan ikan emas tersebut ke
arah si nelayan yang langsung menangkapnya dengan senang hati. Melihat si
nelayan tampak lengah, Guo Jing pun membawa sang kekasih menyeberangi jembatan
dan kemudian memutuskan jembatan itu. (Dirusak ceritanya)
Rintangan Kedua, adalah si penebang
kayu. Ini adalah rintangan yang paling sulit dan paling menyentuh hati hingga
membuat penonton (khususnya aku) ikut baper dan tersentuh melihat perjuangan
Guo Jing demi menyelamatkan gadis yang dicintainya. Akting William Yang Xuwen
benar-benar sangat bagus saat adegan ini, menunjukkan betapa cinta Guo Jing
sangatlah kuat hingga dia rela melakukan apa pun, menempuh rintangan sesulit
apa pun, demi menyembuhkan sang kekasih.
“Jika aku tak bisa sembuh, dikuburkan
di sini, bagus juga.” Ujar Huang Rong lemah saat Guo Jing sedang menggendongnya
berjalan menembus hutan.
“Rong’er, kau jangan bicara
sembarangan.” Jawab Guo Jing tak suka.
“Jika hari itu benar-benar ada, asalkan
setiap hari kau datang menjengukku, aku sudah sangat senang.” Ujar Huang Rong
lagi, masih tetap bicara soal kematian.
“Rong’er, kau jangan bicara
sembarangan! Jika hari itu benar-benar ada, aku juga tak mau hidup sendirian di
dunia ini.” jawab Guo Jing tegas. (Jika kau mati, aku juga akan mati, gitu
intinya...)
“Jing Gege, mendengar kata-katamu ini,
Rong’er sudah sangat puas.” Jawab Huang Rong tulus.
Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat
di mana tak ada lagi jalan yang bisa dilalui selain sebuah tebing yang tinggi.
“Jing Gege, di sini sepertinya sudah
tak ada jalan lagi.” Ujar Huang Rong lemah.
Namun tiba-tiba saja ada seorang Paman
yang membacakan sebuah puisi tentang kepahlawanan. Dia adalah si penebang kayu.
Demi mengambil hatinya, Huang Rong berkata bahwa dia menyukai puisi tersebut.
Kemudian setelah saling memuji puisi, si penebang kayu tersebut membiarkan
sepasang kekasih kecil itu untuk mendaki tebing tersebut karena Kaisar Selatan
ada di atas tebing tersebut.
Oke, ini saatnya nge-drama ^_^ Ini
adalah adegan favoritku sepanjang 52 episode serial ini. Kenapa? Karena di
episode ini, Guo Jing membuktikan kalau dia sangat mencintai Huang Rong dan tak
mau kehilangan gadis itu. Perjuangan Guo Jing demi menyembuhkan sang kekasih
benar-benar membuat orang tersentuh. Dan satu lagi, aktingnya Willam Yang Xuwen
sangat bagus di sini dan penuh penjiwaan. Great job, William ^_^ Kerja bagus
untuk ukuran seorang aktor pendatang baru ^_^
Back To Story...
Akhirnya Guo Jing dan Huang Rong mulai
mendaki tebing yang tinggi dan curam tersebut dengan berpegangan pada sebuah
ranting. Saat mereka mulai naik, Huang Rong berkata pada Guo Jing bahwa tadi
paman penebang kayu tersebut menyarankan mereka untuk menyerah saja.
“Paman penebang kayu itu mengatakan tak
ada gunanya pergi berobat.” Ujar Huang Rong lirih dan lemah saat Guo Jing
menggendongnya mendaki tebing yang tinggi itu.
“Kenapa?” tanya Guo Jing.
“Karena semua orang pada akhirnya akan mati.
Sembuh, kelak akan menjadi tanah, tidak
sembuh pun akan menjadi tanah.” Jawab Huang Rong menjelaskan makna puisi yang
tadi dibacakan oleh si penebang kayu.
“Rong’er, kau jangan dengarkan apa
katanya. Kaisar Selatan pasti mampu menyembuhkanmu.” Ujar Guo Jing penuh tekad,
dia tidak ingin menyerah, walaupun hanya 1% kesempatannya.
“Hidup, kau akan menggendongku. Mati,
kau juga akan menggendongku.” Ujar Huang Rong lemah.
Tak lama setelah mengatakan itu,
ranting yang dipegang Guo Jing mendadak terputus karena tidak sanggup menahan
berat mereka berdua. Guo Jing dengan sigap menarik ranting yang lain dan
berpegangan dengan sebelah tangannya. Sebelah tangan Guo Jing yang lain spontan
memegang tangan Rong’er erat agar sang kekasih tidak terjatuh.
“Rong’er, jangan takut. Ada aku.” Ujar
Guo Jing seraya memegang erat tangan Huang Rong di bahunya, sementara tangannya
yang lain mencengkeram ranting dengan erat.
Huang Rong yang menyadari bahwa ranting
tersebut tak sanggup menahan beban mereka berdua, meminta Guo Jing untuk
melepaskan tangannya dan membiarkannya jatuh.
“Jing Gege, kau cepat lepaskan aku!
Lepaskan aku! Ranting ini tidak kuat menahan beban kita berdua. Jika putus,
kita berdua akan jatuh bersama.” pinta Huang Rong pasrah, tak ingin melihat
pria yang dicintainya ikut mati bersamanya.
“Rong’er, kau peluk aku erat. Jangan
lepaskan! Aku pasti bisa membawamu naik.” ujar Guo Jing memberi instruksi.
Untuk kali ini, dia tidak mau menuruti apa kata sang kekasih.
“Jing Gege, kau lepaskan aku! Kau tak
boleh mati, kau harus tetap hidup.” Pinta Huang Rong sambil menangis.
“Rong’er, kau raih ranting tipis itu
dan ikat kita berdua bersama. Cepat!” Ujar Guo Jing, kembali memberi instruksi,
tidak mempedulikan permintaan Rong’er. Guo Jing dengan keras kepala menolak
untuk menyerah.
“Aku tidak mau. Bagaimana jika...”
Jawab Huang Rong, tapi Guo Jing memotong kalimatnya.
“Jika kau mati, aku juga tak mau hidup
lagi. Rong’er, kau dengarkanlah aku!” ujar Guo Jing lagi.
“Aku tidak mau!” Huang Rong tetap
bersikeras bahwa sebaiknya cukup dia saja yang jatuh dan mati, tetap berharap
Guo Jing melepaskanya agar mereka berdua tidak jatuh bersama dan mati dengan
konyol.
“Bukankah tadi kau sudah mengatakannya?
Hidup, aku akan menggendongmu. Matipun, aku akan tetap menggendongmu. Jadi
tidak peduli hidup atau mati, aku akan tetap menggendongmu.” Ujar Guo Jing
penuh tekad, benar-benar menolak untuk menyerah.
Guo Jing memilih untuk mati bersama. Membuat
Huang Rong tersentuh dan menangis terharu dan akhirnya meraih ranting kecil
tersebut untuk mengikat tubuh mereka berdua agar tidak terjatuh.
“Rong’er, peluk aku erat!” ujar Guo
Jing lembut seraya menatap mata Rong’er yang berurai air mata haru.
Guo Jing tetap menggendong Huang Rong
di punggungnya dan mendaki ke atas walaupun ranting yang dipegangnya kembali
terputus dan membuat tubuh mereka berdua terpelanting menabrak tebing saat
ranting yang dipegang Guo Jing berputar. (Apa ya istilahnya? Wes, lihat sendiri
aja ya, kalau lihat scene-nya pasti tahu deh apa yang kumaksud hihi ^_^)
Note : How sweet boyfriend...Guo Jing benar-benar
tulus mencintai Huang Rong dan tak mau kehilangan gadis itu. Oh ya, kalimat
yang diucapkan oleh Guo Jing, “Hidup, aku
akan menggendongmu. Matipun, aku akan tetap menggendongmu. Jadi tidak peduli
hidup atau mati, aku akan tetap menggendongmu” adalah Quote terfavorite
loh. Romantis aja gitu dengernya hihihi ^_^
Ini adalah modifikasi kecil super kreatif yang sengaja diselipkan oleh
sang penulis skenario untuk menciptakan moment romantis. Adegan kecil namun
mampu menyentuh hati penonton untuk memperlihatkan besarnya cinta seorang Guo
Jing. I Love this scene...Benar-benar menyentuh dan tidak terkesan berlebihan.
Akting William dan Li Yi Tong pun tidak berlebihan, semuanya PAS pada
takarannya. Thats why I love this new Guo Jing. Guo Jing-nya William Yang
benar-benar sangat romantis dan manis ^_^
Akhirnya setelah melalui perjuangan
yang sulit, Guo Jing berhasil membawa sang kekasih ke puncak gunung (tebing)
dan di sana mereka bertemu dengan si petani yang terlihat sedang berdiri seraya
menahan sebuah batu besar agar tidak jatuh menimpa kerbau miliknya.
Guo Jing yang kasihan melihatnya segera
datang membantu dan menggantikannya memegang batu besar tersebut. Paman petani
tersebut awalnya meminta Guo Jing untuk menahan batu besar itu sebentar saja
karena dia ingin memindahkan sapinya ke tempat yang aman. Tapi si petani ingkar
janji dan justru memukul Guo Jing agar tertimpa batu besar tersebut.
Melihat tubuh Guo Jing yang kuat, si
petani sudah bisa menebak bahwa ilmu Guo Jing pasti hebat dan bertanya siapa
gurunya.
“Guruku adalah Pengemis Utara Hong Chi
Khong.” Jawab Guo Jing jujur, membuat si petani tampak kaget.
Huang Rong memanfaatkan kesempatan ini
untuk menipu si petani.
“Guru, kau sudah datang.” Seru Huang
Rong, berpura-pura Hong Chi Khong ada di sana.
Saat si petani menoleh karena kaget,
saat itulah Huang Rong melepaskan jarumnya ke arah si kerbau sehingga
membuatnya menjadi liar dan membuat si petani terjatuh, saat itulah Guo Jing
melepaskan batu besarnya dan mengarahkannya ke arah si petani.
Setelah meninggalkan si petani,
sampailah Guo Jing dan Huang Rong pada rintangan keempat alias rintangan
terakhir yaitu si pelajar. Guo Jing melihat bahwa jembatan batu yang melintasi
sungai, rusak hingga membuat mereka tak bisa menyeberang. Dia mencoba bertanya
pada si pelajar bagaimana cara melintas namun si pelajar tidak mempedulikannya.
Akhirnya, Huang Rong bertukar puisi
dengan si pelajar untuk menyenangkan hatinya. Singkat kata (berhubung penulis
sendiri gak paham soal puisi), Huang Rong berhasil mengalahkan si pelajar saat
adu puisi dan akhirnya si pelajar membiarkan sepasang kekasih kecil tersebut
lewat. Tak lupa memberitahu mereka bagaimana caranya melintas.
“Di dalam hati ada jembatan, kaki juga
pasti menemukan jalannya.” Ujar si pelajar, memberi clue bagaimana cara
menyeberangi jembatan yang putus itu.
Guo Jing walau awalnya ragu, namun
setelah mendengar kalimat penyemangat dari Huang Rong, dia akhirnya berjalan
dengan berani melintasi jembatan putus itu. Dan ajaib, jembatan yang putus itu
mendadak kembali tersambung, namun kembali menghilang setelah Guo Jing dan
Huang Rong melintas. Benar-benar seperti sihir.
Setelah melewati keempat rintangan,
akhirnya sampailah Guo Jing dan Huang Rong di sebuah kuil yang ada di puncak
gunung. Di atas sana, mereka bertemu dengan biksu kecil yang mengatakan bahwa
Kaisar Selatan sudah tak ada lagi di dunia ini. Guo Jing yang mendengarnya
menjadi shock berat. Dia mencengkeram pundak biksu kecil itu dan berkata bahwa
dia tidak percaya, biksu kecil itu pasti sedang membohonginya.
“Kaisar Selatan sudah tak ada lagi di
dunia ini? Tidak mungkin! Aku tak percaya! Bagaimana bisa? Tidak mungkin!” ujar
Guo Jing seraya menggelengkan kepalanya menolak.
“Biksu kecil, kau sedang membohongiku,
kan?” lanjut Guo Jing dengan putus asa.
“Biksu tak boleh berbohong.” Jawab si
biksu kecil tersebut.
“Kenapa? Kenapa bisa seperti ini?
Bagaimana dengan Rong’er?” Guo Jing terlihat putus asa dan hampir menangis saat
mendengar berita ini.
“Jing Gege, kau jangan seperti ini.”
ujar Huang Rong lemah, tampak pasrah.
“Tidak bisa! Aku tak boleh menyerah
begitu saja. Rong’er, kita pergi.” Guo Jing sempat berpikir dia akan mencari
jalan lain untuk menyelamatkan kekasihnya.
“Kita akan pergi ke mana?” tanya Huang
Rong bingung.
“Kita segera turun gunung. Di dunia ini
ada banyak tabib hebat dan obat yang bagus, pasti ada cara untuk
menyembuhkanmu.” Jawab Guo Jing, tak mau menyerah.
“Jing Gege, aku tak punya waktu lagi.”
Jawab Huang Rong menolak. Dia sudah merasa putus asa dan pasrah bila Tuhan
mengambil nyawa kecilnya.
“Tidak! Kita sekarang segera turun
gunung. Pasti ada harapan.” Guo Jing membantah dengan keras kepala. Dia segera
membungkukkan badannya, ingin menggendong Rong’er tapi gadis itu menolak. Dia
berjalan mundur perlahan, tak mau naik ke punggung Guo Jing.
“Rong’er...” seru Guo Jing cemas saat
kekasihnya tak mau digendongnya.
Kemudian Huang Rong terbatuk-batuk dan
memuntahkan darah dari mulutnya. Tapi dia tetap mencoba tersenyum agar
kekasihnya tidak cemas.
“Jing Gege, ini adalah takdir Rong’er.
Kau bisa menemaniku sepanjang jalan kemari, Rong’er sudah sangat senang. Di
sini sangat tenang. Bagaimana jika kau menemaniku menjalani sisa hidupku di
sini?” pinta Huang Rong pasrah, membuat Guo Jing tak bisa berkata apa-apa dan
hanya bisa memeluknya erat.
Note :
Back to drama again... Mari kita
nge-drama lagi. Ini juga merupakan scene yang sangat menyentuh yang dibawakan
dengan sangat bagus oleh William Yang. Satu lagi modifikasi kecil super kreatif dari tim produksi dan penulis
skenario yang mampu membuat penonton tersentuh dan terharu. Akting William Yang
makin lama makin bagus. Sejak awal udah bagus sih menurutku, tapi semakin ke
belakang semakin bagus. Aku suka semua modifikasi kecil super kreatif yang ada
di serial ini, karena membuat karakter Guo Jing terlihat lebih romantis dan
manis. Ditambah lagi aktornya ganteng banget.
Akhirnya mereka berdua meminta ijin
untuk menginap di tempat ini. Di dalam kamar, Guo Jing segera memapah Huang
Rong ke atas ranjang dan memberinya tenaga dalam.
“Mari, Rong’er. Aku akan memberimu
tenaga dalam.” Ujar Guo Jing seraya menempelkan kedua telapak tangannya di
punggung Huang Rong.
Setelah beberapa saat, Huang Rong
merasa kondisinya tidak membaik dan justru semakin buruk, dia meminta Guo Jing
menghentikan apa yang dilakukannya saat ini.
“Jing Gege, ini tak ada gunanya. Jangan
habiskan tenaga dalammu lagi. Jika terus seperti ini, akan merusak tubuhmu.
Jangan sia-siakan masa mudamu.” Ujar Huang Rong pasrah.
“Asalkan kau baik-baik saja, aku
bersedia melakukan apa pun.” Jawab Guo Jing dengan mata memerah karena
menangis. Guo Jing tidak peduli pada dirinya sendiri, asalkan gadis yang
dicintainya baik-baik saja, dia tidak peduli walau nyawanya sendiri yang
menjadi ancamannya.
Tapi semakin dia berusaha menyalurkan
tenaga dalamnya, jusru membuat luka Rong’er semakin parah. Gadis itu kembali
memuntahkan darah segar. Guo Jing segera meraih tubuh kekasihnya dan membaringkannya
di lengannya.
“Rong’er, kau kenapa? Kenapa bisa
seperti ini? Rong’er, bicaralah! Katakan sesuatu!” ujar Guo Jing bingung dan
panik, air mata mulai menetes di pipinya.
“Jing Gege, mungkin kali ini, aku
takkan sanggup bertahan.” Ujar Huang Rong lemah, dengan wajah pucat dan darah
menetes dari mulutnya.
“Tidak! Tidak! Pasti ada cara. Rong’er,
kau sangat pintar, katakan aku harus bagaimana?” ujar Guo Jing panik dengan air
mata menetes dari sudut matanya, takut kehilangan Rong’er.
“Kelak...mungkin...aku tak bisa...aku
tak bisa lagi menemanimu. Jing Gege, jangan bersedih. Kau cukup peluk aku
dengan erat.” Ujar Huang Rong dengan tersendat-sendat.
“Rong’er...” Guo Jing tidak tahu harus
menjawab apa, itu sebabnya dia hanya dapat memanggil nama sang kekasih dengan
pilu.
“Jing Gege, apa kau masih ingat saat
pertama kali kita bertemu?” Huang Rong bertanya dengan tersendat-sendat.
“Aku ingat. Tentu saja aku ingat. Aku
juga ingat setiap hal yang kita lalui bersama.” Jawab Guo Jing dengan cepat,
dengan air mata berlinang.
“Semua kalimat yang kau katakan padaku,
semua hal yang kita lalui bersama...”Huang Rong menghentikan kalimatnya
sejenak.
“Rong’er, jangan katakan lagi.” Ujar
Guo Jing panik, memintanya untuk menghemat tenaganya.
“Rong’er juga ingat.” Lanjut Huang Rong
lagi dengan lemah.
“Jing Gege, jangan menangis. Sebenarnya
begini lebih baik. Setidaknya Rong’er bisa mati dalam pelukanmu.” Tambahnya
lagi seraya menghapus air mata di pipi Guo Jing.
“Jing Gege, Rong’er lelah. Rong’er
ingin tidur sebentar. Tapi kau harus ingat...untuk membangunkan aku.
Karena...karena Rong’er masih ingin menemanimu.” Ujar Huang Rong terpatah-patah
sebelum akhirnya mulai menutup matanya dan tertidur dalam pelukan sang kekasih
yang hanya mampu memeluknya sambil menangis.
Note : Akting luka parahnya Li Yi Tong
bagus juga. Padahal dia cuma tidur tuh, tapi aktingnya kayak orang mati,
menunjukkan bahwa dia benar-benar sekarat dan gak sanggup bertahan lagi...
Setelah Huang Rong tertidur, Guo Jing
berlutut di luar kuil dan mulai berdoa pada Tuhan dengan segenap hatinya.
“Tuhan, Ibuku sejak kecil mengajariku
bahwa setiap hal di dunia ini pasti ada karmanya. Yang baik ataupun yang jahat.
Walau Rong’er terkadang sedikit nakal, tapi dia tidak pernah melakukan sesuatu
yang menyakiti orang. Tuhan, jika Kau memang ingin Rong’er mati, jika pada
akhirnya dia harus mati, kenapa membiarkan kami sampai kemari? Jika sudah
membiarkan kami sampai di sini, aku mohon, aku mohon pada-Mu, tolong berikan
Rong’er kesempatan untuk hidup. Aku mohon pada-Mu.” Guo Jing berdoa dengan
tulus sambil tetap berlutut.
Guo Jing berlutut sejak siang hingga
malam hari, dari sejak matahari bersinar hingga hujan turun dengan sangat
deras. (Duh, kasian William Yang Xuwen sampai harus hujan-hujanan dan
basah-basahan >__< Profesional banget deh ^_^ Untung kamu gak masuk angin ya, William. Jie-jie khawatir loh hehehe ^_^ )
Guo Jing yang sempat ketiduran karena
lelah berlutut, kemudian terbangun dan kembali memohon pada Tuhan untuk
menyelamatkan sang kekasih.
“Tuhan, aku mohon pada-Mu. Tolong
selamatkan Rong’er. Tolong selamatkan Rong’er. Satu nyawa ditukar dengan satu
nyawa, aku rela mati untuk menggantikan Rong’er. Tuhan, aku mohon. Biarkan aku
melakukan sesuatu untuk Rong’er. Rong’er...” jerit Guo Jing pilu. Dia
memukul-mukul dirinya sendiri sebagai wujud pelampiasan rasa frustasi dan putus
asanya.
Namun untunglah, keesokan harinya,
Tuhan menjawab doa Guo Jing dan tersentuh dengan pengorbanan si pemuda lugu
tersebut. Kaisar Selatan yang mereka cari akhirnya datang menemuinya. (btw,
akting kedinginannya William Yang keren banget, sampai kelihatan benar-benar
gemetar gitu. Kalau orang Jatim bilang “Kathuk’en”)
“Mohon berdirilah. Aku Biksu Yideng.
Kaisar Selatan yang kau cari, itu adalah aku.” Ujar Kaisar Selatan atau yang
mulai sekarang dapat kita panggil dengan nama Biksu Yideng.
Guo Jing yang tadinya baru setengah
sadar, spontan segera membuka matanya dengan terkejut saat mendengar bahwa
Kaisar Selatan ternyata masih hidup.
“Anda belum mati? Anda adalah Kaisar Selatan?” ulang Guo Jing, masih tampak shock dan mungkin mengira dia bermimpi.
“Kaisar Selatan sudah tak ada lagi di
dunia ini, yang ada hanya Biksu Yideng.” Jawab Biksu Yideng dengan sabar dan
tenang.
Mendengar jawaban ini, Guo Jing spontan
tersenyum lega bercampur dengan rasa haru tampak di wajahnya yang tampan.
Saking gembiranya, Guo Jing bahkan merangkak ke arah Biksu Yideng dan berlutut
menyembah dan kembali memohon agar Biksu Yideng menyelamatkan kekasihnya.
“Mohon Guru Besar, tolong selamatkan
Rong’er.” Guo Jing memohon dengan segenap hatinya.
( Guo Jing bahkan sampai
nyembah-nyembah gitu demi memohon agar Kaisar Selatan bersedia menyelamatkan
hidup sang kekasih. Uda kayak gini masak sih masih gak kelihatan cintanya??
Serius nanya! >__<)
Akhirnya pengobatanpun dimulai. Guo
Jing menyerahkan kantong ketiga yang berwarna kuning kepada Biksu Yideng.
Ternyata isi kantong kuning tersebut adalah sebuah lukisan seorang bayi yang
tertusuk pisau dan puisi tentang sepasang belibis. Melihat lukisan tersebut,
keempat murid Biksu Yideng sempat melarang sang guru untuk menyelamatkan Huang
Rong.
Guo Jing kembali berlutut dan memohon
sekali lagi agar Biksu Yideng bersedia menyembuhkan kekasihnya. Biksu Yideng
berkata bahwa dia pasti akan berusaha menyelamatkan Huang Rong jadi Guo Jing
tak perlu cemas.
“Nona ini adalah Putri Saudara Yao dan
murid Saudara Chi, mana mungkin aku tak menolong. Bahkan walau dia adalah orang
yang kutemui di pinggir jalan, tetap harus kutolong.” Ujar Biksu Yideng.
Guo Jing tersenyum lega tapi keempat murid Biksu Yideng tampak tak puas dengan keputusan guru mereka. Kemudian, Biksu Yideng menyuruh Guo Jing untuk berjaga di luar agar tak seorangpun mengganggu selama proses pengobatan.
Guo Jing tersenyum lega tapi keempat murid Biksu Yideng tampak tak puas dengan keputusan guru mereka. Kemudian, Biksu Yideng menyuruh Guo Jing untuk berjaga di luar agar tak seorangpun mengganggu selama proses pengobatan.
Note : Kalau dalam novel aslinya dan
juga di versi LOCH 1994 versi Julian Cheung ada adegan Guo Jing berkelahi dengan
keempat murid Biksu Yideng yang berusaha masuk dan menggagalkan proses
pengobatan. Namun ternyata Guo Jing mampu mengalahkan mereka berempat. Tapi
dalam versi LOCH 2017 ini, adegan tersebut dihapuskan.
Mungkin dirasa tidak begitu perlu dan
lebih menyentuh bila diganti dengan : adegan memanjat tebing dengan tali yang hampir
putus (yang aslinya tidak sedramatis itu dalam novelnya), lalu adegan Huang
Rong muntah darah saat Guo Jing memberinya tenaga dalam dan adegan Guo Jing
berlutut semalaman diguyur hujan deras untuk meminta kesembuhan.
Tiga adegan romantis dan manis tersebut
sepertinya memang lebih pas jika dimasukkan ke dalam cerita. Kalau aku pribadi
disuruh memilih, aku pasti lebih
memilih ketiga adegan modifikasi
kecil super kreatif yang menyentuh dan romantis tersebut daripada
sekedar adegan Guo Jing bertarung
dengan keempat murid Biksu Yideng untuk menjaga pintu. Maklum, aku
memang haus adegan romantis antara Guo Jing dan Huang Rong. Jadi menurutku
keputusan sutradara mengubah adegan ini adalah KEPUTUSAN YANG SANGAT TEPAT
SEKALI ^_^
Setelah pengobatan telah selesai, Guo
Jing segera berlari masuk ke sisi sang kekasih dan memapah pundaknya karena
gadis itu masih sangat lemah. Melihat bagaimana Guo Jing sangat tulus menjaga
Huang Rong, Biksu Yideng berkata bahwa dia sangat tersentuh.
“Jing’er, melihat perasaanmu yang
sangat tulus pada gadis ini, kau sangat setia menemani gadis ini dalam hidup ataupun mati. Walaupun aku orang luar, aku merasa sangat tersentuh.” Ujar Biksu
Yideng.
Murid Biksu Yideng akhirnya mengatakan
bahwa karena menyembuhkan luka Huang Rong, kini Biksu Yideng telah kehilangan
ilmunya dan baru akan pulih setelah 5 tahun. Merasa bersalah, Huang Rong pun kemudian
memberikan “Pil Embun 9 Bunga” kepada
biksu Yideng dengan maksud untuk menolongnya. Tapi ternyata pil tersebut sudah
dibubuhi racun oleh Ying Gu.
Itu sebabnya di episode sebelumnya,
Ying Gu melarang Huang Rong meminum pil tersebut. Hal ini karena Ying Gu takut
jika Huang Rong lebih dulu mati sebelum Biksu Yideng kehabisan tenaga (karena
menyembuhkannya) maka rencana balas dendamnya akan berantakan.
Dia sengaja memberi jalan untuk Guo
Jing dan Huang Rong menyembuhkan luka karena tahu bahwa Biksu Yideng akan
kehilangan ilmunya selama 5 tahun setelah menggunakan ilmu “Jari Matahari” untuk menyembuhkan luka Huang Rong. Saat Biksu Yideng
kehilangan ilmunya itulah maka dia akan dengan mudah membunuhnya. Jadi Ying Gu
gak murni ingin menolong melainkan punya niat terselubung.
Keempat murid Biksu Yideng menuduh Guo
Jing dan Huang Rong sengaja meracuni guru mereka, tapi untunglah sang guru
mengerti bahwa sepasang kekasih kecil tersebut tak mungkin punya niat seperti
itu. Akhirnya Huang Rong yang nakal dan selalu ingin tahu bertanya apa yang
sebenarnya terjadi, kemudian Biksu Yideng mulai menceritakan awal mula dendam
tercipta di antara mereka.
Sebenarnya apa yang terjadi antara
Kaisar Selatan (eh salah, Biksu Selatan) dan Ying Gu di masa lalu? Kenapa Ying
Gu ingin sekali membunuh Biksu Yideng? Jawabannya ada di episode selanjutnya...
So, see you next episode...
Berikutnya : Episode 41
Blogger
Opinion :
Dalam episode kali ini, Guo Jing
benar-benar membuktikan cintanya pada Rong’er. Guo Jing tak hanya rela
bercapek-capek ria menggendong sang kekasih ke mana-mana, dia juga hampir
mempertaruhkan nyawanya sendiri saat harus mendaki tebing yang curam dengan
Rong’er di punggungnya.
Guo Jing menolak melepaskan Rong’er
walaupun gadis itu telah meminta Guo Jing untuk melepaskannya agar mereka
berdua tidak jatuh ke jurang bersama. Guo Jing rela mati bersama Rong’er
andaikata sang kekasih tak bisa disembuhkan.
Guo Jing pun rela berlutut semalaman di
tengah hujan deras untuk berdoa pada Tuhan agar Tuhan menyelamatkan kekasihnya.
Dia rela menggantikan Rong’er mati andai saja dia bisa melakukannya. How sweet
boyfriend.
Di antara 52 episode, episode 40 adalah
episode favorite penulis karena merupakan sebuah episode yang membuktikan
betapa Guo Jing mencintai Huang Rong dan demi agar tidak kehilangan Rong’er,
Guo Jing rela melakukan apa pun. Jadilah judul artikel ini, “Don’t Wanna Lose You Now”.
Written
by : Liliana Tan
NOTE
: DILARANG MENG-COPY PASTE TANPA IJIN DARI PENULIS !!! REPOST WITH FULL CREDITS
!!!
Credit
Pict : WEIBO ON LOGO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar