Selasa, 18 Desember 2018

Sinopsis Lengkap : Legend Of The Condor Heroes 2017 (Ep 40)

Masih dengan tema yang sama yaitu “Menyembuhkan Luka”. Tapi kali ini, giliran Huang Rong yang terluka akibat pukulan Tapak Besi Chiu Chian Ren. Guo Jing dan Huang Rong yang tak sengaja bertemu dengan wanita berambut putih - Ying Gu akhirnya mendapat petunjuk untuk mencari orang hebat yang konon di dunia ini, hanya dia saja yang bisa menyembuhkan gadis itu. Guo Jing yang tentu tak ingin kehilangan sang kekasih, pasti akan rela melakukan apa saja demi kesembuhan gadis yang dicintainya.






Dan kisahpun berlanjut... 
Guo Jing memacu kuda merahnya dengan cepat, secepat mungkin karena mereka sedang berpacu dengan waktu, mengingat Huang Rong hanya mampu bertahan selama 3 hari ke depan. Saat sang kekasih tengah tertidur karena lemah, Guo Jing membuka kantongnya yang pertama dan membaca petunjuk di dalamnya.


“Di depan adalah Propinsi Tao Yuan, aku sudah bisa membuka kantong berwarna putih.” Ujar Guo Jing pada dirinya sendiri seraya memandang kekasihnya yang tertidur dalam pelukannya. Guo Jing mengeluarkan kantong berwarna putih dan mengeluarkan isinya.


"Bila melihat peta ini, seharusnya jalan lurus ke depan, hingga tiba di sebuah sungai kecil. Setelah sampai di sungai kecil tersebut, bukalah kantong berwarna merah.” Guo Jing membaca petunjuk di dalam kantong tersebut yang memperlihatkan gambar sebuah sungai.


Note : Guo Jing dan Huang Rong nantinya akan bertemu dengan keempat murid Kaisar Selatan (yang sekarang telah menjadi Biksu Selatan), Thuan Huang Ye yaitu : Nelayan, penebang kayu, peternak dan pelajar. Sebenarnya mereka berempat adalah para jenderal kepercayaan Kaisar Selatan yang ikut mengasingkan diri bersama tuannya.

Setelah menemukan sungai kecil tersebut, Guo Jing segera membuka kantong berwarna merah dan membaca isinya. Di sana dijelaskan bahwa yang bisa menyembuhkan luka Huang Rong adalah Kaisar Selatan, Thuan Huang Ye. Guo Jing dan Huang Rong yang mengira bahwa Kaisar Selatan masih tinggal di Dali (Tayli) merasa ini semua sangat aneh. Melihat keadaan Huang Rong dan betapa jauhnya Kerajaan Dali (Tayli), sangat tidak mungkin bagi mereka untuk sampai di tempat itu hanya dalam waktu 3 hari. Tapi bagaimanapun juga, mereka tetap mengikuti instruksi di kantong tersebut tanpa mempedulikan kemungkinan lain.


Dalam surat di kantong tersebut juga dijelaskan, jika ingin Kaisar Selatan mengobati Huang Rong maka harus berbohong dengan mengatakan bahwa mereka datang atas perintah Hong Chi Khong. Dan setelah bertemu dengan Kaisar Selatan, barulah berikan surat yang ada di dalam kantong berwarna kuning. Guo Jing yang memang pada dasarnya seorang pemuda yang jujur, merasa sangat berat untuk berbohong.

“Kita harus berbohong dan mengatakan bahwa ini perintah Guru Hong Chi Khong, baru bisa bertemu Kaisar Selatan. Tapi aku tidak ingin berbohong hanya agar bisa bertemu dengannya. Tapi, jika aku tidak berbohong, aku takut dia tidak akan bersedia menyelamatkanmu. Aku harus bagaimana?” Guo Jing terlihat serba salah, sementara Huang Rong hanya tersenyum mengerti melihat kekasihnya yang bodoh namun sangat jujur.

Note : Di mana lagi coba nyari cowok jujur?? Cowok kayak Guo Jing tuh langka banget, kan? Yang ada banyak mah, cowok pembohong besar kayak Yang Kang (Yokang) dan cowok pendendam kayak Yang Guo (Yoko)


“Jing Gege, bisa bertemu denganmu yang begitu baik dan jujur, aku benar-benar merasa seperti mendapatkan anugerah dari Tuhan.” Ujar Huang Rong dengan tersenyum pengertian. 

“Jangan khawatir. Katakan sejujurnya saja.” Lanjut Huang Rong pasrah.

Rintangan pertama. Mereka bertemu dengan sang nelayan. Walaupun tampaknya tak mudah, namun Huang Rong dengan sedikit kelicikan dan kepintarannya berhasil menipu si nelayan dan melewati rintangan pertama.

Guo Jing dengan hati-hati menggandeng sang kekasih berjalan melewati jembatan kecil di atas sungai, mendekati si nelayan. Ternyata nelayan tersebut sedang asyik memancing ikan emas, namun ikan tersebut lepas karena kaget mendengar suara Guo Jing yang bertanya.

Huang Rong berkata bahwa di rumahnya ada banyak ikan emas, sayangnya rumahnya sangat jauh dari sini. Si nelayan akhirnya bertanya tujuan Guo Jing dan Huang Rong datang ke sana. Namun tanpa perlu menjawab pun, si nelayan sudah bisa melihat bahwa Huang Rong sedang terluka parah dan mereka pasti datang untuk minta berobat.

“Nona ini adalah putri Ketua Huang Yao Shi dari Pulau Persik, juga murid Hong Chi Khong. Guru Chi Khong bahkan telah mengangkatnya sebagai Ketua Baru Kaypang. Mohon Senior memandang kedua Tetua ini dan ijinkan kami lewat.” Ujar Guo Jing menjelaskan status mereka, berharap dengan memandang nama besar sang guru dan calon mertua, mereka akan diberi jalan.

“Kau bilang gadis kecil ini adalah Ketua Baru Kaypang? Aku tidak percaya!” cibir si nelayan. 
Si nelayan awalnya terlihat tak percaya, hingga Guo Jing bahkan memberikan “Tongkat Pemukul Anjing” milik sang kekasih sebagai buktinya.

Namun walau begitu, dia tetap tidak memberikan jalan untuk mereka. Huang Rong yang pintar akhirnya memutuskan untuk membohongi si nelayan. Dia meminta Guo Jing untuk mengambilkan ikan emas itu untuknya. Guo Jing tentu saja menurut apa kata kekasihnya. Dia melompat ke dalam air dan segera mengambilkan ikan emas itu untuk Huang Rong. Kemudian setelah menggendongnya sesaat, Huang Rong melemparkan ikan emas tersebut ke arah si nelayan yang langsung menangkapnya dengan senang hati. Melihat si nelayan tampak lengah, Guo Jing pun membawa sang kekasih menyeberangi jembatan dan kemudian memutuskan jembatan itu. (Dirusak ceritanya)

Rintangan Kedua, adalah si penebang kayu. Ini adalah rintangan yang paling sulit dan paling menyentuh hati hingga membuat penonton (khususnya aku) ikut baper dan tersentuh melihat perjuangan Guo Jing demi menyelamatkan gadis yang dicintainya. Akting William Yang Xuwen benar-benar sangat bagus saat adegan ini, menunjukkan betapa cinta Guo Jing sangatlah kuat hingga dia rela melakukan apa pun, menempuh rintangan sesulit apa pun, demi menyembuhkan sang kekasih.


“Jika aku tak bisa sembuh, dikuburkan di sini, bagus juga.” Ujar Huang Rong lemah saat Guo Jing sedang menggendongnya berjalan menembus hutan. 

“Rong’er, kau jangan bicara sembarangan.” Jawab Guo Jing tak suka.


“Jika hari itu benar-benar ada, asalkan setiap hari kau datang menjengukku, aku sudah sangat senang.” Ujar Huang Rong lagi, masih tetap bicara soal kematian.

“Rong’er, kau jangan bicara sembarangan! Jika hari itu benar-benar ada, aku juga tak mau hidup sendirian di dunia ini.” jawab Guo Jing tegas. (Jika kau mati, aku juga akan mati, gitu intinya...)


“Jing Gege, mendengar kata-katamu ini, Rong’er sudah sangat puas.” Jawab Huang Rong tulus.

Akhirnya mereka sampai di sebuah tempat di mana tak ada lagi jalan yang bisa dilalui selain sebuah tebing yang tinggi. 
“Jing Gege, di sini sepertinya sudah tak ada jalan lagi.” Ujar Huang Rong lemah.

Namun tiba-tiba saja ada seorang Paman yang membacakan sebuah puisi tentang kepahlawanan. Dia adalah si penebang kayu. Demi mengambil hatinya, Huang Rong berkata bahwa dia menyukai puisi tersebut. Kemudian setelah saling memuji puisi, si penebang kayu tersebut membiarkan sepasang kekasih kecil itu untuk mendaki tebing tersebut karena Kaisar Selatan ada di atas tebing tersebut.


Oke, ini saatnya nge-drama ^_^ Ini adalah adegan favoritku sepanjang 52 episode serial ini. Kenapa? Karena di episode ini, Guo Jing membuktikan kalau dia sangat mencintai Huang Rong dan tak mau kehilangan gadis itu. Perjuangan Guo Jing demi menyembuhkan sang kekasih benar-benar membuat orang tersentuh. Dan satu lagi, aktingnya Willam Yang Xuwen sangat bagus di sini dan penuh penjiwaan. Great job, William ^_^ Kerja bagus untuk ukuran seorang aktor pendatang baru ^_^

Back To Story... 
Akhirnya Guo Jing dan Huang Rong mulai mendaki tebing yang tinggi dan curam tersebut dengan berpegangan pada sebuah ranting. Saat mereka mulai naik, Huang Rong berkata pada Guo Jing bahwa tadi paman penebang kayu tersebut menyarankan mereka untuk menyerah saja.



“Paman penebang kayu itu mengatakan tak ada gunanya pergi berobat.” Ujar Huang Rong lirih dan lemah saat Guo Jing menggendongnya mendaki tebing yang tinggi itu.
“Kenapa?” tanya Guo Jing. 


“Karena semua orang pada akhirnya akan mati.  Sembuh, kelak akan menjadi tanah, tidak sembuh pun akan menjadi tanah.” Jawab Huang Rong menjelaskan makna puisi yang tadi dibacakan oleh si penebang kayu.


“Rong’er, kau jangan dengarkan apa katanya. Kaisar Selatan pasti mampu menyembuhkanmu.” Ujar Guo Jing penuh tekad, dia tidak ingin menyerah, walaupun hanya 1% kesempatannya. 

“Hidup, kau akan menggendongku. Mati, kau juga akan menggendongku.” Ujar Huang Rong lemah.


Tak lama setelah mengatakan itu, ranting yang dipegang Guo Jing mendadak terputus karena tidak sanggup menahan berat mereka berdua. Guo Jing dengan sigap menarik ranting yang lain dan berpegangan dengan sebelah tangannya. Sebelah tangan Guo Jing yang lain spontan memegang tangan Rong’er erat agar sang kekasih tidak terjatuh.


“Rong’er, jangan takut. Ada aku.” Ujar Guo Jing seraya memegang erat tangan Huang Rong di bahunya, sementara tangannya yang lain mencengkeram ranting dengan erat.

Huang Rong yang menyadari bahwa ranting tersebut tak sanggup menahan beban mereka berdua, meminta Guo Jing untuk melepaskan tangannya dan membiarkannya jatuh. 


“Jing Gege, kau cepat lepaskan aku! Lepaskan aku! Ranting ini tidak kuat menahan beban kita berdua. Jika putus, kita berdua akan jatuh bersama.” pinta Huang Rong pasrah, tak ingin melihat pria yang dicintainya ikut mati bersamanya.

“Rong’er, kau peluk aku erat. Jangan lepaskan! Aku pasti bisa membawamu naik.” ujar Guo Jing memberi instruksi. Untuk kali ini, dia tidak mau menuruti apa kata sang kekasih.


“Jing Gege, kau lepaskan aku! Kau tak boleh mati, kau harus tetap hidup.” Pinta Huang Rong sambil menangis.

“Rong’er, kau raih ranting tipis itu dan ikat kita berdua bersama. Cepat!” Ujar Guo Jing, kembali memberi instruksi, tidak mempedulikan permintaan Rong’er. Guo Jing dengan keras kepala menolak untuk menyerah.


“Aku tidak mau. Bagaimana jika...” Jawab Huang Rong, tapi Guo Jing memotong kalimatnya. 
“Jika kau mati, aku juga tak mau hidup lagi. Rong’er, kau dengarkanlah aku!” ujar Guo Jing lagi. 

“Aku tidak mau!” Huang Rong tetap bersikeras bahwa sebaiknya cukup dia saja yang jatuh dan mati, tetap berharap Guo Jing melepaskanya agar mereka berdua tidak jatuh bersama dan mati dengan konyol.

 

“Bukankah tadi kau sudah mengatakannya? Hidup, aku akan menggendongmu. Matipun, aku akan tetap menggendongmu. Jadi tidak peduli hidup atau mati, aku akan tetap menggendongmu.” Ujar Guo Jing penuh tekad, benar-benar menolak untuk menyerah.


Guo Jing memilih untuk mati bersama. Membuat Huang Rong tersentuh dan menangis terharu dan akhirnya meraih ranting kecil tersebut untuk mengikat tubuh mereka berdua agar tidak terjatuh.



“Rong’er, peluk aku erat!” ujar Guo Jing lembut seraya menatap mata Rong’er yang berurai air mata haru.


Guo Jing tetap menggendong Huang Rong di punggungnya dan mendaki ke atas walaupun ranting yang dipegangnya kembali terputus dan membuat tubuh mereka berdua terpelanting menabrak tebing saat ranting yang dipegang Guo Jing berputar. (Apa ya istilahnya? Wes, lihat sendiri aja ya, kalau lihat scene-nya pasti tahu deh apa yang kumaksud hihi ^_^)


Note : How sweet boyfriend...Guo Jing benar-benar tulus mencintai Huang Rong dan tak mau kehilangan gadis itu. Oh ya, kalimat yang diucapkan oleh Guo Jing, “Hidup, aku akan menggendongmu. Matipun, aku akan tetap menggendongmu. Jadi tidak peduli hidup atau mati, aku akan tetap menggendongmu” adalah Quote terfavorite loh. Romantis aja gitu dengernya hihihi ^_^


Ini adalah modifikasi kecil super kreatif yang sengaja diselipkan oleh sang penulis skenario untuk menciptakan moment romantis. Adegan kecil namun mampu menyentuh hati penonton untuk memperlihatkan besarnya cinta seorang Guo Jing. I Love this scene...Benar-benar menyentuh dan tidak terkesan berlebihan. Akting William dan Li Yi Tong pun tidak berlebihan, semuanya PAS pada takarannya. Thats why I love this new Guo Jing. Guo Jing-nya William Yang benar-benar sangat romantis dan manis ^_^


Akhirnya setelah melalui perjuangan yang sulit, Guo Jing berhasil membawa sang kekasih ke puncak gunung (tebing) dan di sana mereka bertemu dengan si petani yang terlihat sedang berdiri seraya menahan sebuah batu besar agar tidak jatuh menimpa kerbau miliknya.

Guo Jing yang kasihan melihatnya segera datang membantu dan menggantikannya memegang batu besar tersebut. Paman petani tersebut awalnya meminta Guo Jing untuk menahan batu besar itu sebentar saja karena dia ingin memindahkan sapinya ke tempat yang aman. Tapi si petani ingkar janji dan justru memukul Guo Jing agar tertimpa batu besar tersebut.

Melihat tubuh Guo Jing yang kuat, si petani sudah bisa menebak bahwa ilmu Guo Jing pasti hebat dan bertanya siapa gurunya. 
“Guruku adalah Pengemis Utara Hong Chi Khong.” Jawab Guo Jing jujur, membuat si petani tampak kaget.

Huang Rong memanfaatkan kesempatan ini untuk menipu si petani. 
“Guru, kau sudah datang.” Seru Huang Rong, berpura-pura Hong Chi Khong ada di sana.

Saat si petani menoleh karena kaget, saat itulah Huang Rong melepaskan jarumnya ke arah si kerbau sehingga membuatnya menjadi liar dan membuat si petani terjatuh, saat itulah Guo Jing melepaskan batu besarnya dan mengarahkannya ke arah si petani.

Setelah meninggalkan si petani, sampailah Guo Jing dan Huang Rong pada rintangan keempat alias rintangan terakhir yaitu si pelajar. Guo Jing melihat bahwa jembatan batu yang melintasi sungai, rusak hingga membuat mereka tak bisa menyeberang. Dia mencoba bertanya pada si pelajar bagaimana cara melintas namun si pelajar tidak mempedulikannya.


Akhirnya, Huang Rong bertukar puisi dengan si pelajar untuk menyenangkan hatinya. Singkat kata (berhubung penulis sendiri gak paham soal puisi), Huang Rong berhasil mengalahkan si pelajar saat adu puisi dan akhirnya si pelajar membiarkan sepasang kekasih kecil tersebut lewat. Tak lupa memberitahu mereka bagaimana caranya melintas.


“Di dalam hati ada jembatan, kaki juga pasti menemukan jalannya.” Ujar si pelajar, memberi clue bagaimana cara menyeberangi jembatan yang putus itu.
 

Guo Jing walau awalnya ragu, namun setelah mendengar kalimat penyemangat dari Huang Rong, dia akhirnya berjalan dengan berani melintasi jembatan putus itu. Dan ajaib, jembatan yang putus itu mendadak kembali tersambung, namun kembali menghilang setelah Guo Jing dan Huang Rong melintas. Benar-benar seperti sihir.

Setelah melewati keempat rintangan, akhirnya sampailah Guo Jing dan Huang Rong di sebuah kuil yang ada di puncak gunung. Di atas sana, mereka bertemu dengan biksu kecil yang mengatakan bahwa Kaisar Selatan sudah tak ada lagi di dunia ini. Guo Jing yang mendengarnya menjadi shock berat. Dia mencengkeram pundak biksu kecil itu dan berkata bahwa dia tidak percaya, biksu kecil itu pasti sedang membohonginya.


“Kaisar Selatan sudah tak ada lagi di dunia ini? Tidak mungkin! Aku tak percaya! Bagaimana bisa? Tidak mungkin!” ujar Guo Jing seraya menggelengkan kepalanya menolak.

“Biksu kecil, kau sedang membohongiku, kan?” lanjut Guo Jing dengan putus asa. 
“Biksu tak boleh berbohong.” Jawab si biksu kecil tersebut.

“Kenapa? Kenapa bisa seperti ini? Bagaimana dengan Rong’er?” Guo Jing terlihat putus asa dan hampir menangis saat mendengar berita ini. 


“Jing Gege, kau jangan seperti ini.” ujar Huang Rong lemah, tampak pasrah.

“Tidak bisa! Aku tak boleh menyerah begitu saja. Rong’er, kita pergi.” Guo Jing sempat berpikir dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan kekasihnya. 
“Kita akan pergi ke mana?” tanya Huang Rong bingung.

“Kita segera turun gunung. Di dunia ini ada banyak tabib hebat dan obat yang bagus, pasti ada cara untuk menyembuhkanmu.” Jawab Guo Jing, tak mau menyerah.

“Jing Gege, aku tak punya waktu lagi.” Jawab Huang Rong menolak. Dia sudah merasa putus asa dan pasrah bila Tuhan mengambil nyawa kecilnya.

“Tidak! Kita sekarang segera turun gunung. Pasti ada harapan.” Guo Jing membantah dengan keras kepala. Dia segera membungkukkan badannya, ingin menggendong Rong’er tapi gadis itu menolak. Dia berjalan mundur perlahan, tak mau naik ke punggung Guo Jing.


“Rong’er...” seru Guo Jing cemas saat kekasihnya tak mau digendongnya.

Kemudian Huang Rong terbatuk-batuk dan memuntahkan darah dari mulutnya. Tapi dia tetap mencoba tersenyum agar kekasihnya tidak cemas.


“Jing Gege, ini adalah takdir Rong’er. Kau bisa menemaniku sepanjang jalan kemari, Rong’er sudah sangat senang. Di sini sangat tenang. Bagaimana jika kau menemaniku menjalani sisa hidupku di sini?” pinta Huang Rong pasrah, membuat Guo Jing tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa memeluknya erat.


Note : 
Back to drama again... Mari kita nge-drama lagi. Ini juga merupakan scene yang sangat menyentuh yang dibawakan dengan sangat bagus oleh William Yang. Satu lagi modifikasi kecil super kreatif dari tim produksi dan penulis skenario yang mampu membuat penonton tersentuh dan terharu. Akting William Yang makin lama makin bagus. Sejak awal udah bagus sih menurutku, tapi semakin ke belakang semakin bagus. Aku suka semua modifikasi kecil super kreatif yang ada di serial ini, karena membuat karakter Guo Jing terlihat lebih romantis dan manis. Ditambah lagi aktornya ganteng banget.

Akhirnya mereka berdua meminta ijin untuk menginap di tempat ini. Di dalam kamar, Guo Jing segera memapah Huang Rong ke atas ranjang dan memberinya tenaga dalam. 


“Mari, Rong’er. Aku akan memberimu tenaga dalam.” Ujar Guo Jing seraya menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Huang Rong.

Setelah beberapa saat, Huang Rong merasa kondisinya tidak membaik dan justru semakin buruk, dia meminta Guo Jing menghentikan apa yang dilakukannya saat ini. 

“Jing Gege, ini tak ada gunanya. Jangan habiskan tenaga dalammu lagi. Jika terus seperti ini, akan merusak tubuhmu. Jangan sia-siakan masa mudamu.” Ujar Huang Rong pasrah.
“Asalkan kau baik-baik saja, aku bersedia melakukan apa pun.” Jawab Guo Jing dengan mata memerah karena menangis. Guo Jing tidak peduli pada dirinya sendiri, asalkan gadis yang dicintainya baik-baik saja, dia tidak peduli walau nyawanya sendiri yang menjadi ancamannya.


Tapi semakin dia berusaha menyalurkan tenaga dalamnya, jusru membuat luka Rong’er semakin parah. Gadis itu kembali memuntahkan darah segar. Guo Jing segera meraih tubuh kekasihnya dan membaringkannya di lengannya.


“Rong’er, kau kenapa? Kenapa bisa seperti ini? Rong’er, bicaralah! Katakan sesuatu!” ujar Guo Jing bingung dan panik, air mata mulai menetes di pipinya.

“Jing Gege, mungkin kali ini, aku takkan sanggup bertahan.” Ujar Huang Rong lemah, dengan wajah pucat dan darah menetes dari mulutnya.


“Tidak! Tidak! Pasti ada cara. Rong’er, kau sangat pintar, katakan aku harus bagaimana?” ujar Guo Jing panik dengan air mata menetes dari sudut matanya, takut kehilangan Rong’er.

“Kelak...mungkin...aku tak bisa...aku tak bisa lagi menemanimu. Jing Gege, jangan bersedih. Kau cukup peluk aku dengan erat.” Ujar Huang Rong dengan tersendat-sendat.

“Rong’er...” Guo Jing tidak tahu harus menjawab apa, itu sebabnya dia hanya dapat memanggil nama sang kekasih dengan pilu.

“Jing Gege, apa kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu?” Huang Rong bertanya dengan tersendat-sendat.

 

“Aku ingat. Tentu saja aku ingat. Aku juga ingat setiap hal yang kita lalui bersama.” Jawab Guo Jing dengan cepat, dengan air mata berlinang.

“Semua kalimat yang kau katakan padaku, semua hal yang kita lalui bersama...”Huang Rong menghentikan kalimatnya sejenak. 
“Rong’er, jangan katakan lagi.” Ujar Guo Jing panik, memintanya untuk menghemat tenaganya.

“Rong’er juga ingat.” Lanjut Huang Rong lagi dengan lemah. 
“Jing Gege, jangan menangis. Sebenarnya begini lebih baik. Setidaknya Rong’er bisa mati dalam pelukanmu.” Tambahnya lagi seraya menghapus air mata di pipi Guo Jing.



“Jing Gege, Rong’er lelah. Rong’er ingin tidur sebentar. Tapi kau harus ingat...untuk membangunkan aku. Karena...karena Rong’er masih ingin menemanimu.” Ujar Huang Rong terpatah-patah sebelum akhirnya mulai menutup matanya dan tertidur dalam pelukan sang kekasih yang hanya mampu memeluknya sambil menangis. 


Note : Akting luka parahnya Li Yi Tong bagus juga. Padahal dia cuma tidur tuh, tapi aktingnya kayak orang mati, menunjukkan bahwa dia benar-benar sekarat dan gak sanggup bertahan lagi...


Setelah Huang Rong tertidur, Guo Jing berlutut di luar kuil dan mulai berdoa pada Tuhan dengan segenap hatinya.
“Tuhan, Ibuku sejak kecil mengajariku bahwa setiap hal di dunia ini pasti ada karmanya. Yang baik ataupun yang jahat. Walau Rong’er terkadang sedikit nakal, tapi dia tidak pernah melakukan sesuatu yang menyakiti orang. Tuhan, jika Kau memang ingin Rong’er mati, jika pada akhirnya dia harus mati, kenapa membiarkan kami sampai kemari? Jika sudah membiarkan kami sampai di sini, aku mohon, aku mohon pada-Mu, tolong berikan Rong’er kesempatan untuk hidup. Aku mohon pada-Mu.” Guo Jing berdoa dengan tulus sambil tetap berlutut.

 

Guo Jing berlutut sejak siang hingga malam hari, dari sejak matahari bersinar hingga hujan turun dengan sangat deras. (Duh, kasian William Yang Xuwen sampai harus hujan-hujanan dan basah-basahan >__< Profesional banget deh ^_^ Untung kamu gak masuk angin ya, William. Jie-jie khawatir loh hehehe ^_^ )
 


Guo Jing yang sempat ketiduran karena lelah berlutut, kemudian terbangun dan kembali memohon pada Tuhan untuk menyelamatkan sang kekasih. 


 

“Tuhan, aku mohon pada-Mu. Tolong selamatkan Rong’er. Tolong selamatkan Rong’er. Satu nyawa ditukar dengan satu nyawa, aku rela mati untuk menggantikan Rong’er. Tuhan, aku mohon. Biarkan aku melakukan sesuatu untuk Rong’er. Rong’er...” jerit Guo Jing pilu. Dia memukul-mukul dirinya sendiri sebagai wujud pelampiasan rasa frustasi dan putus asanya.

 


Namun untunglah, keesokan harinya, Tuhan menjawab doa Guo Jing dan tersentuh dengan pengorbanan si pemuda lugu tersebut. Kaisar Selatan yang mereka cari akhirnya datang menemuinya. (btw, akting kedinginannya William Yang keren banget, sampai kelihatan benar-benar gemetar gitu. Kalau orang Jatim bilang “Kathuk’en”)


“Mohon berdirilah. Aku Biksu Yideng. Kaisar Selatan yang kau cari, itu adalah aku.” Ujar Kaisar Selatan atau yang mulai sekarang dapat kita panggil dengan nama Biksu Yideng.


 

Guo Jing yang tadinya baru setengah sadar, spontan segera membuka matanya dengan terkejut saat mendengar bahwa Kaisar Selatan ternyata masih hidup. 

 

“Anda belum mati? Anda adalah Kaisar Selatan?” ulang Guo Jing, masih tampak shock dan mungkin mengira dia bermimpi.


“Kaisar Selatan sudah tak ada lagi di dunia ini, yang ada hanya Biksu Yideng.” Jawab Biksu Yideng dengan sabar dan tenang.


Mendengar jawaban ini, Guo Jing spontan tersenyum lega bercampur dengan rasa haru tampak di wajahnya yang tampan. Saking gembiranya, Guo Jing bahkan merangkak ke arah Biksu Yideng dan berlutut menyembah dan kembali memohon agar Biksu Yideng menyelamatkan kekasihnya.



“Mohon Guru Besar, tolong selamatkan Rong’er.” Guo Jing memohon dengan segenap hatinya. 
( Guo Jing bahkan sampai nyembah-nyembah gitu demi memohon agar Kaisar Selatan bersedia menyelamatkan hidup sang kekasih. Uda kayak gini masak sih masih gak kelihatan cintanya?? Serius nanya! >__<)
 


Akhirnya pengobatanpun dimulai. Guo Jing menyerahkan kantong ketiga yang berwarna kuning kepada Biksu Yideng. Ternyata isi kantong kuning tersebut adalah sebuah lukisan seorang bayi yang tertusuk pisau dan puisi tentang sepasang belibis. Melihat lukisan tersebut, keempat murid Biksu Yideng sempat melarang sang guru untuk menyelamatkan Huang Rong.

Guo Jing kembali berlutut dan memohon sekali lagi agar Biksu Yideng bersedia menyembuhkan kekasihnya. Biksu Yideng berkata bahwa dia pasti akan berusaha menyelamatkan Huang Rong jadi Guo Jing tak perlu cemas. 


“Nona ini adalah Putri Saudara Yao dan murid Saudara Chi, mana mungkin aku tak menolong. Bahkan walau dia adalah orang yang kutemui di pinggir jalan, tetap harus kutolong.” Ujar Biksu Yideng. 

Guo Jing tersenyum lega tapi keempat murid Biksu Yideng tampak tak puas dengan keputusan guru mereka. Kemudian, Biksu Yideng menyuruh Guo Jing untuk berjaga di luar agar tak seorangpun mengganggu selama proses pengobatan.

Note : Kalau dalam novel aslinya dan juga di versi LOCH 1994 versi Julian Cheung ada adegan Guo Jing berkelahi dengan keempat murid Biksu Yideng yang berusaha masuk dan menggagalkan proses pengobatan. Namun ternyata Guo Jing mampu mengalahkan mereka berempat. Tapi dalam versi LOCH 2017 ini, adegan tersebut dihapuskan.


Mungkin dirasa tidak begitu perlu dan lebih menyentuh bila diganti dengan : adegan memanjat tebing dengan tali yang hampir putus (yang aslinya tidak sedramatis itu dalam novelnya), lalu adegan Huang Rong muntah darah saat Guo Jing memberinya tenaga dalam dan adegan Guo Jing berlutut semalaman diguyur hujan deras untuk meminta kesembuhan.

 

Tiga adegan romantis dan manis tersebut sepertinya memang lebih pas jika dimasukkan ke dalam cerita. Kalau aku pribadi disuruh memilih, aku pasti lebih memilih ketiga adegan modifikasi kecil super kreatif yang menyentuh dan romantis tersebut daripada sekedar adegan Guo Jing bertarung dengan keempat murid Biksu Yideng untuk menjaga pintu. Maklum, aku memang haus adegan romantis antara Guo Jing dan Huang Rong. Jadi menurutku keputusan sutradara mengubah adegan ini adalah KEPUTUSAN YANG SANGAT TEPAT SEKALI ^_^


Setelah pengobatan telah selesai, Guo Jing segera berlari masuk ke sisi sang kekasih dan memapah pundaknya karena gadis itu masih sangat lemah. Melihat bagaimana Guo Jing sangat tulus menjaga Huang Rong, Biksu Yideng berkata bahwa dia sangat tersentuh. 

“Jing’er, melihat perasaanmu yang sangat tulus pada gadis ini, kau sangat setia menemani gadis ini dalam hidup ataupun mati. Walaupun aku orang luar, aku merasa sangat tersentuh.” Ujar Biksu Yideng.


Murid Biksu Yideng akhirnya mengatakan bahwa karena menyembuhkan luka Huang Rong, kini Biksu Yideng telah kehilangan ilmunya dan baru akan pulih setelah 5 tahun. Merasa bersalah, Huang Rong pun kemudian memberikan “Pil Embun 9 Bunga” kepada biksu Yideng dengan maksud untuk menolongnya. Tapi ternyata pil tersebut sudah dibubuhi racun oleh Ying Gu.


Itu sebabnya di episode sebelumnya, Ying Gu melarang Huang Rong meminum pil tersebut. Hal ini karena Ying Gu takut jika Huang Rong lebih dulu mati sebelum Biksu Yideng kehabisan tenaga (karena menyembuhkannya) maka rencana balas dendamnya akan berantakan.

Dia sengaja memberi jalan untuk Guo Jing dan Huang Rong menyembuhkan luka karena tahu bahwa Biksu Yideng akan kehilangan ilmunya selama 5 tahun setelah menggunakan ilmu “Jari Matahari” untuk menyembuhkan luka Huang Rong. Saat Biksu Yideng kehilangan ilmunya itulah maka dia akan dengan mudah membunuhnya. Jadi Ying Gu gak murni ingin menolong melainkan punya niat terselubung.


Keempat murid Biksu Yideng menuduh Guo Jing dan Huang Rong sengaja meracuni guru mereka, tapi untunglah sang guru mengerti bahwa sepasang kekasih kecil tersebut tak mungkin punya niat seperti itu. Akhirnya Huang Rong yang nakal dan selalu ingin tahu bertanya apa yang sebenarnya terjadi, kemudian Biksu Yideng mulai menceritakan awal mula dendam tercipta di antara mereka.

Sebenarnya apa yang terjadi antara Kaisar Selatan (eh salah, Biksu Selatan) dan Ying Gu di masa lalu? Kenapa Ying Gu ingin sekali membunuh Biksu Yideng? Jawabannya ada di episode selanjutnya...

So, see you next episode...

Berikutnya : Episode 41

Blogger Opinion : 
Dalam episode kali ini, Guo Jing benar-benar membuktikan cintanya pada Rong’er. Guo Jing tak hanya rela bercapek-capek ria menggendong sang kekasih ke mana-mana, dia juga hampir mempertaruhkan nyawanya sendiri saat harus mendaki tebing yang curam dengan Rong’er di punggungnya.

Guo Jing menolak melepaskan Rong’er walaupun gadis itu telah meminta Guo Jing untuk melepaskannya agar mereka berdua tidak jatuh ke jurang bersama. Guo Jing rela mati bersama Rong’er andaikata sang kekasih tak bisa disembuhkan.


Guo Jing pun rela berlutut semalaman di tengah hujan deras untuk berdoa pada Tuhan agar Tuhan menyelamatkan kekasihnya. Dia rela menggantikan Rong’er mati andai saja dia bisa melakukannya. How sweet boyfriend.

Di antara 52 episode, episode 40 adalah episode favorite penulis karena merupakan sebuah episode yang membuktikan betapa Guo Jing mencintai Huang Rong dan demi agar tidak kehilangan Rong’er, Guo Jing rela melakukan apa pun. Jadilah judul artikel ini, “Don’t Wanna Lose You Now”.

Written by : Liliana Tan 
NOTE : DILARANG MENG-COPY PASTE TANPA IJIN DARI PENULIS !!! REPOST WITH FULL CREDITS !!! 
Credit Pict : WEIBO ON LOGO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads