Boleh saya copas artikel Anda? Saya setuju dengan
Anda, kawan =) Saya juga bukan Tim Sukses Pak Jokowi, saya tidak punya hubungan
apapun dengan Pak Jokowi ataupun PDIP. Saya hanyalah segelintir rakyat kecil
yang rindu akan adanya pemimpin yang adil dan tidak membeda-bedakan minoritas
dan mayoritas. Bukankah Indonesia adalah BHINEKA TUNGGAL IKA? Jadi saya
berharap, siapapun presiden yang terpilih nantinya agar TIDAK MEMBEDA-BEDAKAN
rakyatnya berdasarkan suku bangsa, agama ataupun RAS. CALON PEMIMPIN YANG
BERSIH.. Itu yang saya dan pasti Anda semua inginkan !!!
Bukan calon pemimpin BERLUMUR DARAH yang bekerja
sama dengan partai-partai koruptor dan punya catatan kelam. Seperti contohnya :
Seseorang yang terlibat masalah LUMPUR LAPINDO (Partai Kuning), atau seseorang
yang TERBUKTI melakukan KORUPSI DAGING SAPI IMPORT dan DANA HAJI, juga bukan
seseorang yang KEBAL HUKUM, yang sudah jelas-jelas anaknya MENABRAK MATI 7
ORANG tapi LEPAS dari JERATAN HUKUM. Tanpa perlu saya sebutkan nama, Anda PASTI
TAHU siapa saja yang saya maksud. Partai bermasalah seperti itu, mana mungkin
bisa di harapkan bisa membangun INDONESIA MAJU ??
“Jokowi atau Prabowo: Ketika Sentimen Agama Bertarung Dengan Nalar”
Saya
perhatikan, baik di sosial media maupun di lingkungan sekitar saya, sebagian
dari mereka yang memutuskan untuk mendukung Prabowo didasari oleh sentimen
agama. Rumor bahwa Jokowi adalah Kristen dan orang tuanya adalah keturunan Tionghoa
semakin menguatkan sentimen tersebut, walau tidak pernah diketahui secara pasti
seberapa besar pengaruhnya. Masyarakat yang gampang terhasut dan enggan
melakukan cek-recek informasi, dengan mudah termakan oleh rumor tersebut.
Mereka
yang melek informasi tahu bahwa Jokowi adalah seorang muslim. Orang tua dan
semua adik-adiknya sudah berhaji. Kampanye hitam yang menyerang keislaman
Jokowi menjadi bumerang ketika terungkap bahwa Ibu dari Prabowo beragama
Kristen, begitu pula dengan kakak dan adiknya, semuanya beragama Kristen. Adik
prabowo, Hashim S. Djojohadikusumo, merupakan Ketua Dewan Pembina KIRA (Kristen
Indonesia Raya), organisasi sayap Kristen partai GERINDRA (kepengurusan KIRA
dapat dilihat pada situs resmi KIRA di http://www.kiragerindra.org/index.php/content/page/11)
Walau
Jokowi terbukti seorang muslim, bagi sebagian muslim itu tidak cukup, karena di
belakangnya ada PDIP. Bagi mereka, PDIP adalah partai Kristen, sehingga
mendukung Jokowi sama saja dengan mendukung Kristen. Padahal kita semua tahu
bahwa baik PDIP maupun GERINDRA, keduanya bukanlah partai Kristen.
Saya
tidak pernah menjadi simpatisan partai manapun. Saya malah cenderung apatis
terhadap partai politik. Hal ini merupakan dampak dari kekecewaan saya terhadap
tingkah-laku sebagian anggota DPR yang korup dan seringkali tidak berpihak pada
rakyat. Jadi bagi saya sama saja, apakah itu partai islam atau partai
nasionalis, semuanya bermasalah.
Ketua Partai Demokrat tersangkut korupsi
Hambalang, presiden PKS tersangkut korupsi sapi, ketua PPP tersangkut korupsi
haji, ketua Partai Golkar tersangkut kasus lumpur, ketua Partai Gerindra pernah
dipecat dari TNI, dan sebagainya. Semua hal di atas bukanlah rumor, tapi fakta.
Jadi tidak ada satu pun partai di Indonesia ini yang bebas dari masalah.
Saya
bukan fans-nya
PDIP dan tidak pernah seumur hidup pun (sampai sekarang) menjadi simpatisan
PDIP. Namun harus saya akui secara objektif bahwa PDIP membuat terobosan baru
dengan menghadirkan Ibu Risma di Surabaya, Pak Ganjar di Jawa Tengah, serta Pak
Jokowi di Solo dan DKI. Saya juga mengapresiasi GERINDRA yang mengusung Ahok di
DKI dan Ridwan Kamil di Bandung. Ketika PILKADA dan PILEG, saya tidak peduli
dengan partai pengusungnya. Bagi saya semua partai politik sama bobroknya. Yang
saya lihat adalah tokohnya. Karenanya di PILEG kemarin, tiga tokoh yang saya
pilih untuk DPR, DPRD I dan DPRD II, berasal dari tiga partai yang berbeda.
Sebagian
orang masih saja mempermasalahkan bahwa jika Jokowi menjadi presiden, maka Ahok
yang diusung oleh GERINDRA di PILKADA DKI Jakarta akan menjadi gubernur.
Padahal Ahok itu non-muslim dan keturunan Tionghoa.
Kalau
Ahok non-muslim dan keturunan Tionghoa memangnya kenapa? Sepanjang ia
jujur, cerdas, tulus dan punya nyali untuk memberantas korupsi dan berbagai
penyimpangan, kenapa harus dipermasalahkan agama dan keturunannya.
Gubernur DKI
sebelumnya tidak ada yang berani menyentuh Tanah Abang, tapi Ahok dengan
keberaniannya membereskan Tanah Abang. DISKOTIK STADIUM di Jakarta sudah
berdiri 16 tahun, dan menjadi sarang maksiat, transaksi seks dan narkoba, namun
tidak ada satu pun gubernur Jakarta (yang notabene selalu muslim) yang berani
menutupnya, bahkan seorang Gubernur Jakarta yang berlatar belakang jenderal
militer sekalipun seperti Bang Yos. Tapi Ahok, begitu mendapat mandat menjadi
Plt Gubernur DKI, tanpa basa-basi langsung menutupnya.
Jadi ketegasan itu tidak
diukur dari apakah dia militer atau sipil; dan kejujuran juga tidak diukur dari
apakah dia muslim atau bukan. Orang yang jujur, cerdas, tulus dan berani mati
seperti Ahok ini yang kita perlukan untuk membenahi Jakarta. Tidak peduli apa
agama dan etnisnya.
Saya
bukan dan tidak pernah menjadi fans-nya
ibu Megawati. Namun untuk PILPRES 2014 ini, kurang fair rasanya jika saya tidak
memberikan apresiasi kepada Ibu Mega. Beliau adalah satu-satunya ketua partai
yang tidak mencalonkan dirinya menjadi presiden. PDIP sering diidentikkan
dengan keluarga Sukarno. Ibu Mega memiliki kesempatan dan kekuasaan untuk
mencalonkan dirinya menjadi capres, namun dengan legowo ia serahkan posisi
tersebut kepada Jokowi yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan
keluarga Sukarno. Untuk menjaga keberlanjutan trah Sukarno, maka sangat logis
jika Puan Maharani menjadi cawapres.
Namun lagi-lagi dengan legowo, posisi
cawapres diberikan kepada Jusuf Kalla, orang di luar PDIP. Saya sangat respek
dengan sikap ibu Megawati tersebut, apalagi di tengah-tengah ambisi semua ketua
partai politik yang berlomba-lomba ingin menjadi capres dan cawapres.
Ketika
diresmikan menjadi capres, Jokowi menegaskan bahwa tidak akan ada
bagi-bagi jatah kursi menteri dengan parpol koalisinya. Dia akan memilih
sendiri menterinya dengan penilaian kapasitas dan kualitas. Yang ingin bergabung
dengan koalisi PDIP, maka ia harus bergabung tanpa syarat, tanpa meminta jatah
cawapres atau menteri.
Terbukti, baik ketua partai NASDEM, PKB maupun HANURA,
tidak ada satupun yang menjadi cawapres. Jokowi membuktikan bahwa dirinya
memiliki sikap tegas, karena tegas itu bukan diukur dari suara yang tinggi
berapi-api, tapi dari keputusan yang tidak mengenal kompromi.
MataNajwa
edisi “Jokowi atau Prabowo” yang ditayangkan METRO TV tanggal 28 Mei yang lalu
membuka mata banyak orang tentang siapa orang-orang di balik Jokowi dan
Prabowo. Sebagian kawan yang tadinya masih bingung, akhirnya menetapkan pilihan
setelah melihat tayangan tersebut. Kubu Prabowo mengirimkan dua orang
terbaiknya, Mahfud M.D. (Ketua Tim Pemenangan Prabowo – Hatta) dan Fadli Zon (Wakil
Ketua Umum GERINDRA dan Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo – Hatta). Tidak ada
orang yang jabatannya lebih tinggi dari kedua orang ini di kubu Prabowo.
Kehadiran mereka berdua dilengkapi oleh Ahmad Yani (Ketua DPP PPP).
Sementara
kubu Jokowi diwakili oleh Anies Baswedan (Juru Bicara Tim Sukses Jokowi – JK),
Maruarar Sirait (Ketua DPP PDIP), dan Adian Napitupulu (aktivis ’98 dan pendiri
FORKOT). Bagi yang belum menonton, berikut link rekaman-nya: http://youtu.be/k-f7dEuydR0
Banyak
orang yang memuji Pak Anies Baswedan karena penuturannya yang sangat baik,
santun dan sistematis. Namun bagi saya informasi yang paling krusial malam itu
adalah pemaparan Pak Mahfud M.D. yang membeberkan secara blak-blakan bahwa
ia memilih bergabung ke kubu Prabowo karena sakit hati dengan PKB dan Pak
Muhaimin Iskandar. Keputusan ini memiliki beban psikologis yang sangat berat
ujar Pak Mahfud, sampai ia harus mengalami pergolakan batin selama tiga hari
tiga malam, bahkan sampai mengucurkan air mata. Berbeda sekali dengan Pak Anies
Baswedan yang dengan sangat rileks mengatakan “simpel”, tidak ada beban moral
sama sekali ketika memutuskan pilihan kepada Jokowi – JK.
Pak
Mahfud yang lugu kemudian membuka rahasia koalisi bahwa Fadli Zon mengatakan
kepada dirinya, sebenarnya dalam hatinya Fadli Zon ingin Pak Mahfud yang
menjadi cawapres bukan Pak Hatta. Bagi Fadli Zon “rayuan gombal” semacam itu
adalah praktek yang biasa, karenanya seringkali kata-katanya tidak bisa
dipegang dan dipertanggungjawabkan. Saya sangat bersimpati kepada Pak Mahmud
yang lugu. Benar kata banyak orang, janganlah belanja dikala lapar. Janganlah
membuat keputusan dikala sakit hati.
Hal
lain yang santer dikampanyekan untuk menyerang Jokowi adalah ia pemimpin yang
ingkar janji dan tidak jujur, karena belum dua tahun memimpin Jakarta sudah
pergi mencalonkan menjadi presiden R.I. Sedangkal itukah definisi jujur dan
ingkar janji? Sedangkal itukah kriteria yang kita gunakan dalam memilih calon
presiden yang akan menentukan nasib 240 juta penduduk Indonesia? Fadli Zon yang
selama ini sangat agresif menyerang Jokowi, tidak pernah bosan mengulang-ulang
retorika “ingkar janji”.
Namun
ketika Bang Ara mengatakan, bahwa Fadli Zon dan partai Gerindra lah yang
memboyong Jokowi dari Solo dan mencalonkannya menjadi gubernur DKI Jakarta
padahal masa tugasnya sebagai walikota Solo masih tiga tahun lagi, Fadli Zon
harus menelan ludahnya sendiri. Mengapa Fadli Zon, seringkali tidak bisa jujur
terhadap kata-kata yang diucapkannya? Sebagian dari kita tentu masih ingat
ketika Prabowo mengatakan bahwa Fadli Zon sangat cocok untuk menjadi menteri
pendidikan (Kompas, 12 Juli 2013).
Apa jadinya anak-anak kita nanti, jika
menteri pendidikan-nya memiliki sifat dan watak seperti Fadli Zon? Saya
membayangkan menteri pendidikan itu seharusnya orangnya santun, cerdas, dan
memiliki jiwa pendidik dan integritas moral yang tinggi seperti Pak Arief
Rachman atau Pak Anies Baswedan.
Pak
Jokowi tidak meninggalkan Jakarta. Tapi ia akan membangun Jakarta bukan dari
balai kota, tapi dari istana negara. Seperti yang pernah beliau contohkan,
untuk mengatasi macet di Jakarta, yang perlu dibangun bukan hanya di Jakarta
saja, tapi harus disambungkan dengan Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi.
Gubernur Jakarta tidak bisa mengkoordinir itu semua, semua kepala daerah harus
setuju dan menandatanganinya. Contoh kongkrit adalah otoritas transportasi
Jabodetabek yang sudah hampir 1,5 tahun tapi tidak pernah selesai karena
masalah wewenang dan koordinasi. Jika ia menjadi presiden maka segalanya akan
jauh lebih mudah, karena semua kepala daerah berada di bawahnya.
Pada
Pilkada kota Solo yang pertama Jokowi meraup 36,62% suara, dan didaulat menjadi
walikota Solo selama lima tahun (2005 - 2010). Tahun 2010, ia mencalonkan
kembali, dan meraup persentase suara sebesar 90,09%. Artinya Jokowi berhasil
membuktikan kinerjanya di Solo, dan rakyat memilihnya kembali. Oleh karena
itulah Fadli Zon dan partai Gerindra memboyong Jokowi ke Jakarta untuk
dicalonkan menjadi Gubernur DKI walaupun masa baktinya masih tiga tahun lagi,
karena urgensi Jakarta sebagai ibu kota lebih besar. Ketika itu, ia tidak
pernah melabeli Jokowi dengan sebutan pemimpin ingkar janji.
Terakhir,
saya ingin mengutip pesan Pak Anies Baswedan, “Kalau Anda ingin menjadi
pemimpin, lakukan sesuatu bagi rakyat, lakukan kerja untuk masyarakat. Bukan
semata-mata menggunakan dana untuk berkampanye dengan nilai yang fantastis.
Dana yang sama bisa dilakukan untuk petani, nelayan, untuk pendidikan, daripada
untuk beriklan selama bertahun-tahun. Kita membutuhkan orang yang bukan memburu
kekuasaan. Berikan amanat itu justru kepada orang yang tidak memburu amanat
itu.”
Saya
tidak punya afiliasi dengan partai politik manapun. Saya juga bukan bagian dari
tim sukses manapun. Sejujurnya saya ingin bergabung dengan tim relawan Jokowi,
namun kesibukan saya yang cukup padat dalam 2 – 3 bulan ke depan membuat saya
tidak bisa melakukannya. Namun demikian, mudah-mudahan tulisan sederhana ini
bisa memberikan pencerahan bagi teman-teman yang masih galau dalam menentukan
pilihannya.
Sebagian
orang berkata percuma kita menulis, toh hasilnya tidak akan memiliki dampak
apa-apa. Siapa sih yang akan baca tulisan kita, paling cuma segelintir orang
dibanding julah pemilih yang hampir 185 juta orang. Walaupun prosentasenya
hanya 1/1.000.000, namun saya tetap memilih untuk menulis.
Karena
walaupun amat sangat kecil, saya ingin ikut serta berkontribusi dalam membangun
negeri ini. Saya menulis semua ini atas inisiatif dan kesadaran pribadi, tanpa
ada insentif sepeser pun dari pihak manapun.
Bagi
yang merasa tulisan ini membawa manfaat, silahkan disebarkan. Tidak perlu minta
ijin kepada saya. Mudah-mudahan PEMILU 2014 berjalan lancar dan damai, dan kita
dikaruniai oleh Allah SWT pemimpin yang bisa membawa Indonesia ke arah yang
lebih baik. Amien.
Dari
Bandung untuk Indonesia,
Maulana
M. Syuhada
Pengunjung
setia perpus ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar