Sabtu, 31 Januari 2015

(FF) Legend Of The Condor Heroes After Story : Chapter 11

Author : Liana Hwie

Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
Michael Miu as Huang Yao Shi (Oey Yok Shu) 2017

 
 




“Chapter 11 – My Precious One”

“Tak ada seorangpun yang akan mati!” seru suara seseorang dengan tegas, sebelum akhirnya pintu kamar terbuka dan Sesat Timur, Huang Yao Shi melangkah masuk ke dalam kamar.

“Ayah mertua...” panggil Guo Jing senang. Hatinya merasa lega. Ayah Mertuanya pasti bisa membantunya menyelamatkan Rong Erl-nya.

“Ayah, kau datang!” Huang Rong tersenyum lemah melihat ayahnya, dia rindu sekali pada ayahnya. 
Huang Rong ingat ayahnya pernah berjanji bahwa dia akan pulang bila Rong'er melahirkan dan kini ayahnya telah menepati janjinya. 

Sebenarnya Huang Yao Shi sudah lama mempersiapkan kemungkinan bahwa nanti putrinya akan mengalami kesulitan seperti istrinya dulu, mengingat tubuh putrinya yang mungil dan rapuh. Dan kekhawatirannya terbukti saat dia melihat ekspresi sedih Khe Zhen Erl dan Nyonya Wang ketika dia kembali malam ini.

“Jing'er, minumkan 2 butir pil ini untuk Rong'er lalu coba salurkan lagi tenaga dalammu padanya. Pil itu bisa menutup lukanya jadi tenaga dalammu tidak akan mengalir keluar,” jelas Huang Yao Shi seraya memberikan botol berisi pil itu pada menantunya, yang langsung mengambilnya tanpa banyak bertanya. 

Guo Jing dengan tangannya yang gemetar hebat seraya mengeluarkan 2 butir itu dan meminta Rong'er meminumnya. Tak lama setelah Rong'er meminum pilnya, Guo Jing kembali mencoba menyalurkan tenaga dalamnya dan dia kaget saat merasakan efek obat itu mulai bekerja. 

Kekuatan yang dia salurkan mulai menunjukkan hasilnya, wajah Rong'er tak lagi pucat, mengindikasikan bahwa pendarahannya sudah berhenti. Ibu Wang kembali memeriksa tubuh Rong'er dan kaget saat mengetahui pendarahannya sudah berhenti. Dia lega sekaligus gembira mengetahuinya.

Guo Tha Ye (Tuan Besar Guo), anda tak perlu cemas lagi. Semuanya sudah terkendali,” ujar Ibu Wang memberitahu Guo Jing. Guo Jing berterima kasih pada Ibu Wang dan Ayah Mertuanya. Dia langsung memeluk Rong'er erat.

“Aku takut sekali. Takut jika seandainya aku kehilanganmu. Rong'er...Rong'er, terima kasih untuk tidak pergi.” Ujar Guo Jing menangis terharu sekaligus lega. Dia memeluk istrinya sangat erat, seolah-olah takut jika dia melepaskan pelukannya maka istrinya akan menghilang. 


Huang Rong balas memeluk suaminya dengan lega dan terharu. Dia tahu cinta Guo Jing padanya begitu dalam, dan hari ini dia sekali lagi membuktikan betapa besarnya cinta Guo Jing padanya.

“Jing Gege, sudah kubilang aku takkan meninggalkanmu, kan?” ujar Rong'er lembut seraya memeluk erat suaminya.

“Ayah, terima kasih.” Ujar Guo Jing dan Huang Rong bersamaan, saat pelukannya terlepas dan Guo Jing menyandarkan Rong'er di dadanya.


“Aku juga pernah mencoba menyelamatkan Ibu Rong'er dengan cara seperti yang kau lakukan tadi. Tapi tidak berhasil dan Ibu Rong'er tetap meninggal. Kau tahu kenapa? Karena luka akibat pendarahan setelah melahirkan tak sama dengan luka pendarahan akibat sabetan pedang. Untuk menyelamatkan luka pendarahan akibat melahirkan, kita harus menutup dulu luka di rahimnya, jika tidak, tenaga dalammu akan terbuang sia-sia dan istrimu tetap akan meninggal karena kehabisan darah,” jelas Huang Yao Shi sambil mengenang apa yang terjadi pada istrinya dulu.

“Terima kasih, Ayah. Ayah datang pada saat yang tepat,” ujar Guo Jing berterima kasih pada Ayah Mertuanya.

“Rong'er putriku, sebagai ayah, tentu aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada putriku, kan?” jawab Huang Yao Shi menatap sayang putri semata wayangnya.

“Kau mengalami kesulitan saat melahirkan karena usiamu masih terlalu muda untuk melahirkan, tubuhmu juga mungil tapi bayi yang kau lahirkan begitu besar. Tak heran kau mengalami kesulitan, Rong'er.” Omel Ayahnya dengan nada khawatir.

“Untung aku punya ayah yang hebat,” rayu Rong'er dengan senyumnya yang lemah pada ayahnya.

“Tapi setelah kejadian ini, rahimmu mengalami luka yang cukup parah. Rahimmu sangat lemah. Ayah takut kau akan kesulitan untuk mengandung anak kedua kalian. Mungkin kau akan bisa hamil lagi tapi satu kesalahan kecil saja bisa membuatmu mengalami keguguran,” Huang Yao Shi memperingatkan putri dan menantunya.

Guo Jing tak mengatakan apa pun, dia hanya memeluk istrinya lebih erat. Faktanya, Guo Jing tak peduli walau mereka tak bisa punya anak lagi. Dia tak peduli walau seandainya dia tidak memiliki penerus untuk namanya nanti. Baginya yang terpenting Rong'er-nya bisa selamat. 


Dia hampir saja kehilangan Rong'er-nya untuk selamanya. Guo Jing berpikir dia takkan sanggup hidup bila kejadian seperti ini terulang lagi. 

Dia tak sanggup jika harus melihat lagi bagaimana sakitnya Rong'er, bagaimana menderitanya dia saat melahirkan anak mereka. Dia juga tak sanggup bila harus mendengar jerit kesakitan wanita yang dicintainya.

“Tidak! Aku tak mau lagi. Cukup sekali ini saja aku hidup bagaikan mimpi buruk. Aku tak butuh penerus namaku. Aku hanya ingin istriku selamanya di sisiku. Hanya hal sederhana itu. Aku takkan memaksa Rong'er melahirkan anak laki-laki untukku. Tidak! Bila itu harus membuatnya menderita seperti ini lagi,” batin Guo Jing seraya memeluk istrinya, menenggelamkan wajahnya di rambut Rong'er yang lembut seraya menangis pelan. Cintanya pada Huang Rong jauh lebih besar dari keinginannya memiliki penerus nama keluarga.

Dia sangat lega. Lega karena istrinya telah selamat. Sepasang suami istri yang saling mencintai itu hanya saling berpelukan erat satu sama lain dalam kelegaan, mereka menyadari bahwa mereka masih sangat beruntung telah berhasil melalui ini semua. 


Terkurung di dalam dunia mereka sendiri-sendiri, tak pernah terpikirkan oleh mereka, jika karena luka pendarahan yang dialami Huang Rong di rahimnya ini akan membuat mereka benar-benar kesulitan untuk memiliki anak lagi, dan mereka baru akan memiliki anak lagi setelah 16 tahun berlalu. Setelah 16 tahun berlalu barulah mereka memiliki sepasang anak kembar, Guo Xiang dan Guo Polu.

Huang Yao Shi yang mengerti bahwa putri dan menantunya butuh waktu untuk berdua dan tak ingin mengganggu kemesraan mereka, memutuskan meninggalkan kamar itu seraya berkata, “Ayah akan istirahat di kamar. Nanti Ayah akan kembali untuk melihat anak kalian,” ujar Huang Yao Shi lalu segera pergi dari sana, diikuti oleh Ibu Wang dan juga pelayan mereka yang bisu.

“Jing Gege, kau bisa melonggarkan pelukanmu sekarang. Aku janji takkan menghilang.” ujar Huang Rong lembut pada suaminya. 

Guo Jing tertawa pelan di tengah air matanya, dia melonggarkan sedikit pelukannya, seolah masih takut istrinya akan menghilang jika pelukannya terlepas. Dia memandang wajah istrinya yang masih tampak pucat, raut kelelahan terlihat di wajah cantiknya. 

Guo Jing tahu Rong'er-nya telah berjuang sangat keras demi melahirkan anak mereka, dia bahkan mempertaruhkan nyawanya. Dalam hati Guo Jing berjanji, dia takkan membiarkan istrinya sedih atau meneteskan air mata. Kebahagiaan Rong'er dan putrinya adalah yang paling penting baginya sekarang.

“Apa kau ingin istirahat sekarang? Kau pasti lelah setelah 10 jam berjuang melahirkan anak kita,” tawar Guo Jing lembut seraya mengelus rambut Rong'er dengan penuh cinta. 

Huang Rong menggeleng pelan lalu kembali menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing.
“Tidak! Aku masih ingin bersandar dalam pelukanmu,” jawabnya lemah. 

Guo Jing tak menjawab dan hanya memeluknya makin erat. Tapi tak lama kemudian, sebuah suara kecil menyadarkan mereka bahwa mereka tak sendirian di kamar itu.

“Dia sudah bangun. Bawa dia kemari, Jing Gege!” pinta Rong'er pada suaminya. 
Guo Jing mengangguk lalu berjalan ke arah tempat tidur bayi tempat bayi mereka diletakkan. Dengan lembut dia meraih bayi mungilnya dan menggendongnya dalam pelukannya, membawanya kepada ibunya.

Huang Rong menggendong bayi mungilnya dan membelai wajah mungilnya, dia menoleh pada Guo Jing dan bertanya, “Kita harus panggil dia apa?” tanyanya penasaran. 

Guo Jing tidak menjawab, dia hanya menatap kagum dan lega istri dan anaknya, hartanya yang paling berharga. Berpikir dia hampir saja kehilangan salah satu dari mereka, membuat hatinya bagai tersayat. 

Huang Rong yang tak sabar, kembali mengulangi pertanyaannya.
“Jing Gege, putrimu masih belum memiliki nama.” Protes Huang Rong saat Guo Jing masih tak menjawab. 

Lagi, Guo Jing hanya memandang istri dan anaknya dengan bahagia dan menyadari bahwa mereka sangat cantik bagai bunga, bunga miliknya. Bunga yang paling indah dan elegan, dan akhirnya sebuah ide melintas di kepalanya, Bunga lotus (Fu Rong), singkatan dari Guo Fu dan Huang Rong.

“Kalian berdua adalah Bunga Lotusku... Aku ingin menamai putri kita, Guo Fu. Apa tak masalah bagimu?” tanya Guo Jing dengan lembut. Huang Rong menatapnya tak mengerti.
“Bunga Lotus? Maksudmu Fu Rong?” ulang Huang Rong lagi. Guo Jing mengangguk bangga.

“Singkatan dari nama Guo Fu dan Huang Rong. Dua bunga terindah dalam hidupku.” Jawab Guo Jing lagi, menjelaskan arti nama putri mereka. Huang Rong tersenyum bangga pada suaminya.

“Nama yang indah, Jing Gege. Bunga Lotus (Fu Rong), singkatan dari nama Guo Fu dan Huang Rong. Aku menyukainya. Bunga lotus merupakan representasi spiritualitas dalam kehidupan manusia. Bunga Lotus menyimbolkan kejernihan hati dan pikiran. Beberapa percaya bahwa Lotus juga simbol dari kekuatan, keberuntungan, dan kehidupan. Bunga Lotus juga menyimbolkan kelahiran dan kecantikan,” ujar Rong'er, senang dengan arti dari nama anaknya.

“Jing Gege, sejak kapan kau jadi puitis dan pintar?” goda Huang Rong iseng pada suaminya. 

Guo Jing hanya bisa tersenyum bodoh dengan wajah memerah malu karena istrinya menggodanya.
“Aku tak bermaksud puitis, hanya saja, saat melihat kalian berdua, aku merasa kalian berdua sangat cantik bagai bunga. Bungaku, bunga milikku.” Ujar Guo Jing seraya mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya yang malu-malu.

“Sepertinya sudah lama aku tidak menciummu,” bisik Guo Jing pada istrinya lalu kemudian mencium bibirnya mesra. 

Guo Jing merasakan bibir istrinya sangat kering dan dingin, mungkin karena selama 10 jam ini dia telah merasakan sakit. Tak ingin membuat lelah istrinya dan takut jika dia tak mampu menahan dirinya, Guo Jing segera melepaskan ciumannya dan menatap bayinya lembut. Bayi mungil itu bergerak-gerak lucu.

Guo Jing meraih tangan mungilnya dan berbisik lirih padanya, “Hallo, Guo Fu... Putri kecilku, Fu'Er. Aku ayahmu. Apa kabar sayang?” 

Guo Jing berkata lembut pada putri mungilnya, dan seolah mengerti ucapan ayahnya, bayi mungil itu segera menggenggam erat jari telunjuk ayahnya dan tertawa pelan, menunjukkan mulut mungilnya yang masih ompong, dia meremas jari telunjuk Guo Jing dengan kelima jari mungilnya, tertawa senang. Seolah-olah dia menyukai namanya.

“Jing Gege, sepertinya putri kita menyukai namanya,” ujar Huang Rong bahagia. 
Guo Jing dan Huang Rong tertawa bahagia dan saling menatap penuh cinta. Dunia mereka sekarang sempurna. Mereka saling memiliki dan putri kecil mereka akan semakin membuat hidup mereka bertambah indah.

“Aku mencintaimu, Rong'er. Kau dan anak kita.” Ujar Guo Jing tiba-tiba sambil melingkarkan lengannya di pundak istrinya yang kembali bersandar di dadanya bersama bayi dalam gendongannya.

“Aku juga mencintaimu, Jing Gege. Kau dan anak kita.” Huang Rong mengucapkan hal yang sama. 
Guo Jing memeluk mereka berdua, istri dan anaknya dalam pelukannya, seolah ingin melindungi mereka dari semua hal buruk yang mungkin akan terjadi nantinya.

Malam itu, bulan bersinar terang dan bintang-bintang berkelap-kelip dengan indah di angkasa, menambah keindahan dan kedamaian di Pulau Bunga Persik, seolah-olah sebagai tanda bahwa dunia menyambut lahirnya Sang Putri Kecil.

The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads