Sabtu, 31 Januari 2015

(FF) Legend Of The Condor Heroes After Story : Chapter 8

Author : Liana Hwie

Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
All cast from "Legend Of The Condor Heroes 2017"






“Chapter 8 – Dont Wanna Lose You Now”
 
Malam itu, Guo Jing tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. Walaupun sebelumnya, Rong'er sudah menjelaskan bahwa dia tak perlu cemas, tapi tetap saja, Guo Jing takkan tenang sebelum bayi mereka benar-benar lahir ke dunia dan Rong'er-nya selamat dan sehat. 

Suasana malam hari di Pulau Bunga Persik sangat tenang dan damai, bulan bersinar terang di langit yang bertabur bintang, ombak di laut pun terlihat tenang, bunga-bunga bermekaran dengan indah menyambut datangnya musim semi yang hangat. Sangat damai, indah dan tenang. Tapi tidak dengan hati dan pikirannya.

Guo Jing, berbaring di tempat tidurnya dengan menatap kosong langit-langit kamarnya. Seluruh tubuhnya lelah dan sakit karena terlalu banyak berlatih, tapi otak dan hatinya menolak untuk beristirahat. 

Di sampingnya, Huang Rong tertidur dengan nyenyak, dia meletakkan kepalanya di dada Guo Jing seperti biasanya, memeluk suaminya erat sejauh yang bisa dijangkau olehnya karena perutnya yang membuncit membatasi tubuh Huang Rong lebih dekat dengan suaminya. 

Huang Rong tampak menggigil kedinginan, tangannya yang memeluk Guo Jing sedikit gemetar. Guo Jing mengerti bahwa istrinya merasa kedinginan jadi dia segera menarik selimut untuk membuatnya merasa lebih hangat.

Perlahan, Guo Jing mengangkat tubuhnya naik dalam posisi duduk. Pergerakannya membuat kepala Huang Rong merosot dari berada di dadanya kini berada di perutnya.

“Jing Gege...” gumamnya lirih, masih dengan mata terpejam. Seolah tahu bahwa suaminya melakukan perubahan posisi.

“Ssshhh...Tidurlah. Maaf. Tidurlah, sayang,” Guo Jing berbisik pelan di telinga istrinya seraya menepuk-nepuk lembut punggungnya.
“Jangan menikah dengan Hua Zheng. Aku ingin jadi istrimu,” gumamnya lagi. 

Guo Jing terharu mendengarnya. Sampai sekarang pun ternyata Rong'er masih merasa takut jika suatu hari Guo Jing kembali ke Mongolia dan menikah dengan Hua Zheng. 

Hatinya mendadak sakit. Dia baru menyadari kesalahannya saat dulu pernah memilih untuk menepati janjinya menikah dengan Hua Zheng. Dia baru menyadari bahwa keputusannya itu ternyata meninggalkan luka yang dalam di hati Rong'er. 

Syukurlah Tuhan masih berbaik hati padanya, memberikan kesempatan agar dia bisa mengejar kembali kebahagiaannya yang hampir lepas dari tangannya.

“Sssttt! Aku di sini. Aku tak pernah menikah dengan Hua Zheng. Aku di sini bersamamu. Aku suamimu dan kau istriku. Tidurlah, sayang. Aku mencintaimu. Aku takkan pernah meninggalkanmu,” ujar Guo Jing lirih seraya membelai-belai lembut rambut Rong'er.

Mendengar ucapannya, sebuah senyuman kecil tersungging di bibir mungil Rong'er. Seolah dia mendengar apa yang Guo Jing katakan. Guo Jing tersenyum lagi. Dia tahu mungkin Rong'er-nya, bahkan walau berada di bawah alam sadarnya, mengetahui dengan jelas bahwa dia mencintainya.  

Guo Jing menatap samar-samar wajah istrinya dalam kegelapan kamar yang hanya diterangi sinar bulan yang menerobos melalui jendela kamar. Dia memandang lekat wajah Rong'er yang cantik bagai Dewi.

Matanya yang berbinar indah, bulu matanya yang lentik, bibirnya yang mungil, hidungnya yang mancung, kulitnya yang seputih salju dan rambutnya yang sehitam malam. Dia tertawa sekali lagi membayangkan kebodohannya yang sempat mengira bahwa gadis secantik ini adalah seorang pria.

“Bagaimana gadis yang sempurna sepertimu, bisa jatuh cinta pada pria sederhana sepertiku? Mungkin aku sudah melakukan sesuatu yang hebat di masa lalu sehingga aku pantas mendapatkanmu.” batin Guo Jing dalam hati, sambil tersenyum penuh syukur seraya membelai pipi istrinya yang tertidur. 

Tanpa diduga, Rong'er justru tiba-tiba menggenggam tangannya. Guo Jing kaget saat tiba-tiba jari Rong'er menggenggam tangannya.

“Jing Gege...” gumamnya lagi, dengan mata terpejam. 
“Dingin sekali. Peluk aku lebih erat,” lanjutnya sambil tetap bergumam pelan. 
Guo Jing tersenyum lalu kembali menurunkan tubuhnya agar kembali tertidur dan bisa memeluk istrinya lebih erat.

“Sssttt! Tidurlah, Ronger.” Bisiknya lembut seraya memeluk tubuh mungilnya yang membuncit dengan erat.

“Hhhmmm,” Huang Rong menjawab sambil bergumam lalu tak lama kemudian napasnya mulai teratur, menandakan bahwa dia benar-benar terlelap. Sementara Guo Jing yang masih tak bisa menutup matanya hanya memandang wajah istrinya dalam kegelapan.


Dia ingat saat pertama kali Rong'er membuka penyamarannya, Guo Jing hanya bisa menatap tak percaya. Dia berdiri bagaikan patung dan tak mampu bicara, berkali-kali dia harus mengucek matanya hanya untuk memastikan bahwa dia sedang tidak bermimpi indah, jantungnya berdetak kencang saat mendengar suara tawanya yang bagaikan nyanyian Surgawi. 


Saat itulah dia tahu, Rong'er adalah belahan jiwanya. Walau masih tak mengerti apa yang dirasakannya saat itu, Guo Jing tahu bahwa perasaannya pada gadis ini sangatlah dalam. Tak lama kemudian, dia menyadari bahwa getar yang ada di jiwa, ternyata itulah yang dinamakan cinta. Cinta yang semakin dalam dari waktu ke waktu.



Dia tahu istrinya sangat cantik, cerdas, ceria dan banyak akal tapi dia juga mencintai sisi diri istrinya yang lain : yang nakal, manja, keras kepala dan terkadang liar, tapi bagi Guo Jing, semua itu adalah paket komplit yang membuatnya terlihat sempurna di matanya, Rong'er-nya.




Apa yang harus dia lakukan bila dia harus kehilangan Rong'er? 
Tidak. Rasa sakit yang sama setiap kali dia memikirkan ini kembali muncul di dadanya, membuatnya tak bisa bernapas. Pertanyaan itu yang selalu dia tanyakan pada dirinya sendiri selama dua bulan terakhir ini.

Apa yang harus kulakukan tanpamu? Terus dan terus, membuatnya semakin takut dari hari ke hari. 

Dia bahkan sempat berpikir, “Andai aku tak pernah menyentuh Rong'er. Tidak membuatnya hamil, aku pasti takkan merasa setakut ini,” tapi dia segera mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. Dia ingin memiliki Rong'er, secara insting tak mungkin dia tak ingin menyentuhnya.

Dia juga ingat saat dia mengira dia telah kehilangan Rong'er di Mongolia. Jika saja saat itu dia tidak ingat masih memiliki seorang ibu, mungkin dia akan segera meraih belati lalu membunuh dirinya sendiri. 

Dia tidak bersedia bicara pada siapa pun selama sebulan lamanya, bahkan tidak pada ibunya sendiri. Dia menghabiskan waktu dengan berkelana di padang rumput Mongolia dengan hanya ditemani Kuda Merahnya juga sepasang rajawali, mencari Rong'er-nya tanpa lelah. 


Bahkan hingga sekarang, rasa sakit dalam hatinya masih ada setiap kali mengingat kenangan itu, bagaikan pisau yang dihujamkan ke jantungnya.

Rong'er memang sudah menenangkannya dengan penjelasannya mengenai kematian ibunya. 
Saat siang hari, Guo Jing masih bisa merasa tenang tapi ketika malam tiba, saat dia dikelilingi kegelapan seperti ini, hatinya kembali merasa gelisah dan rasa takut itu kembali menghantuinya. 

Guo Jing melihat tempat tidur bayi mungil yang mereka buat untuk bayi mereka nantinya dan tak bisa menahan dirinya untuk kembali gemetar ketakutan. Mendadak hatinya menjadi dingin, ketakutan itu mencengkeramnya dan mencabik-cabik hatinya sekali lagi. 

“Rong'er, jangan tinggalkan aku! Aku tak bisa hidup tanpamu,” dia berbisik lirih pada istrinya yang tertidur lelap seraya menenggelamkan kepalanya pada rambut istrinya yang wangi, memeluknya erat.

Esoknya matahari kembali bersinar cerah, bunga-bunga masih bermekaran menyambut musim semi yang indah. Seperti biasa, Guo Jing melampiaskan kegelisahannya dengan berlatih kungfu di hutan. 

Sementara di dapur, Rong'er sibuk menyiapkan mantau daging untuk suaminya. Dia sudah dilarang keras untuk memasak atau melakukan apa pun yang bisa membuatnya lelah, tapi bukan Rong'er namanya jika dia menurut, kan?

“Guo Fu Ren (Nyonya Guo), apa yang kau lakukan di sini? Suamimu melarangmu untuk memasak. Jika dia tahu, dia bisa memarahiku,” ujar seorang wanita tua berusia enam puluh lima tahunan. 

Rong'er hanya tersenyum sambil berkata, “Ibu Wang, sudah kubilang panggil saja aku Rong'er,” jawabnya, mengalihkan perhatian.

“Jangan mengalihkan perhatian,” jawab Ibu Wang, tabib wanita yang mereka sewa untuk membantu proses kelahiran Rong'er nantinya.

“Rong'er takut kita akan membuat Jing Gege-nya kelaparan, itu sebabnya dia sendiri yang memasak untuk Jing'er,” ujar Guru ke-1 Guo Jing, Khe Zhen Erl sambil tersenyum menggoda.


“Tha Shi Fu (Guru ke-1), aku hanya membuat beberapa potong mantau daging untuk Jing Gege. Dia sudah lama tidak makan mantau daging buatanku sejak perutku mulai membesar.” Jawab Rong'er semanis mungkin.

“Tapi jika Guo Tha Ye (Tuan Besar Guo) tahu, dia akan memarahiku,” protes Ibu Wang.
“Tidak akan. Hanya sekali ini saja. Lain kali aku akan menurut,” ujar Rong'er keras kepala.
“Nah, sudah jadi.” Tambahnya kemudian seraya memasukkan mantaunya ke dalam keranjang.
“Biar Guru yang antarkan untuk Jing'er,” tawar Khe Zhen Erl, tapi Rong'er menolak pelan.

“Tha Shi Fu (Guru Ke-1) istirahat saja. Aku sendiri yang akan antarkan pada Jing Gege,” ujarnya merayu sambil meraih keranjang itu.

“Kau yang harusnya istirahat, anak nakal.” Ujar Guru Ke-1 sambil tersenyum, tahu bahwa Rong'er sangat keras kepala.

“Kenapa? Guru ingin memanggilku Xiao Yao Ni (Iblis Kecil) lagi?” tanya Rong'er sambil tersenyum mengingat dulu guru ke-1 sangat tidak menyukainya dan selalu memanggilnya Iblis Kecil. Guru ke-1 hanya bisa menyerah menghadapi istri muridnya ini.

“Baiklah. Hanya sekali ini saja,” akhirnya dia terpaksa memberi Rong'er ijin.
“Aku tahu guru sayang padaku,” ujar Rong'er seraya memberikan pelukan singkat pada guru suaminya.
“Ibu Wang, aku akan segera kembali,” janji Rong'er sambil mengerlingkan matanya.

Sambil berjalan riang, Rong'er menjinjing keranjang makanannya ke tempat Guo Jing berlatih kungfu, saat tiba-tiba dia merasakan sakit ketika berada di dalam formasi hutan persik.

“Ouch,” rintihnya lirih saat rasa sakit itu menyerangnya. Rong'er bersandar di salah satu pohon persik untuk sekedar mengambil napas dan beristirahat.

“Apa mungkin aku terlalu lelah?” tanyanya pada dirinya sendiri seraya duduk sebentar di atas sebuah batu besar. 

Melihat batu besar itu, Rong'er tertawa kecil sambil membelai lembut perutnya yang hamil. 
“Kau tahu, sayang? Ibu dan ayahmu pernah berpikir bahwa kau keluar dari dalam batu. Jika memang seperti itu, maka ayahmu tidak akan cemas dan khawatir setengah mati,” batinnya sambil terkikik geli setiap mengingat kepolosan mereka saat itu.

“Jing Gege tidak boleh tahu kalau aku sempat merasakan sakit. Jika dia tahu dia pasti akan mengomeliku lagi,” batin Rong'er saat dia memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanannya setelah rasa sakitnya menghilang. 

Bagi Rong'er yang baru mengalami kehamilan pertama, tentu takkan tahu bila rasa sakit itu adalah kontraksi pertama yang akan dilaluinya sebelum proses melahirkan yang sesungguhnya.

Setelah berjalan melewati beberapa pohon lagi, dia merasakan hembusan angin yang cukup kencang bertiup ke arahnya. Dia tahu jika hembusan angin itu berasal dari tenaga dalam Guo Jing yang sedang berlatih 18 Jurus Penakluk Naga. 


Takut jika tenaga dalam itu akan melukai bayi mereka, Rong'er menggunakan tenaga dalamnya sendiri untuk melindungi bayi dalam perutnya. 

Setelah agak dekat, diapun berteriak kencang untuk memberitahukan kedatangannya, “Jing Gege, Rong'er datang membawakanmu makanan,” teriaknya sekencang mungkin.

Mendengar suara istrinya, Guo Jing spontan menghentikan latihannya. Dan tak lama kemudian, Rong'er muncul dari balik salah satu pohon seraya tersenyum manis padanya.
“Rong'er, kau tidak seharusnya berada di sini? Bagaimana jika tenaga dalamku melukaimu?” Guo Jing bertanya khawatir seraya mendekati istrinya dan membantunya berjalan seraya meraih keranjang makanannya. 

Hatinya gembira melihat istrinya, tapi dia juga merasa sangat cemas, khawatir dan takut bila dia tak sengaja melukai mereka.

“Melukai bayimu tersayang maksudmu?” canda Rong'er seraya membuka keranjangnya saat dia sudah duduk di atas sebuah batu besar.

“Aku ingin membuatkan makanan untukmu. Sepertinya aku sudah lama tidak memasak untukmu, kan?” lanjut Rong'er seraya menyodorkan mantaunya, tapi Guo Jing hanya terdiam memandangnya.

“Jing Gege, kau tak suka masakanku lagi?” tanya Rong'er dengan ekspresi sedih saat Guo Jing tak juga mengambil mantaunya. 

 

Faktanya, Guo Jing sangat terharu melihat perhatian istrinya yang walaupun sudah hamil tua seperti ini masih ingin membuatkan makanan untuknya dan bahkan mengantarnya kemari.

“Jangan lakukan ini lagi, oke!” ujar Guo Jing tak suka, matanya terlihat ketakutan dan kecemasan juga tergambar jelas di sana.

“Kau mau makan tidak? Aku khusus bangun pagi agar bisa memasakkannya untukmu. Jing Gege, kau tak suka masakanku lagi?” Rong'erbertanya dengan mata sedih seraya tetap menyodorkan piringnya. 

Guo Jing menarik napas, Rong'er selalu menggunakan ekspresi sedih seperti ini agar Guo Jing tidak memarahinya. Tapi melihat Rong'er sedih adalah hal yang tidak ingin dilakukannya.

“Tidak. Masakan Rong'er nomor 1 di dunia. Aku hanya cemas kalau terjadi sesuatu padamu saat kau berjalan kemari,” jawab Guo Jing lalu segera meraih mantaunya. 

Huang Rong terdiam, faktanya dia memang sempat merasakan sakit dalam perjalanannya kemari. Tapi melihat Guo Jing makan dengan lahap, dia tak bisa memberitahunya.

“Rong'er, mantaumu adalah mantau terbaik di dunia,” puji Guo Jing dengan mulut penuh mantau. Huang Rong kembali tertawa, ekspresi sedih itu mendadak menghllang.


“Jing Gege, kau selalu berkata seperti itu setiap kali makan mantau. Guru bilang kau sudah gila karena lebih memilih mantau daripada masakanku lainnya yang lebih lezat,” ujar Rong'er tertawa geli saat melihat suaminya makan dengan lahap. Rong'er suka memasak, apalagi jika memasak untuk orang yang dia cintai.

“Jing Gege, kau berkeringat. Biar kuhapus keringatmu,” ujarnya seraya mengeluarkan saputangan dari dalam bajunya dan menyeka keringat di kening Guo Jing. 

 

Lalu Huang Rong bercerita tentang banyak hal, seperti musim semi yang indah, ikan-ikan kecil di laut, formasi ayahnya yang membuatnya bingung akibat perutnya yang membesar dan banyak lagi yang lain, saat tiba-tiba rasa sakit itu datang lagi.

“Aarggh...” jeritnya lirih seraya memegangi perut buncitnya. Guo Jing spontan menjatuhkan mantaunya dan memeluk istrinya panik.

“Apa yang terjadi? Rong'er, ada apa?” tanya Guo Jing panik. Huang Rong menggelengkan kepalanya lemah dan tersenyum lembut pada suaminya.

“Tidak apa-apa. Beberapa saat yang lalu aku juga merasakan sakit yang sama. Mungkin karena aku terlalu lelah,” ucapan yang awalnya bermaksud untuk menenangkan suaminya justru berubah menjadi kemarahan.

“KAU MERASA SAKIT DAN TIDAK MEMBERITAHUKU?” Guo Jing membentak istrinya spontan. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya. Huang Rong terkejut melihat reaksi Guo Jing marah seperti itu.

Tak pernah sebelumnya, sejak mereka berkenalan, Guo Jing membentaknya dengan nada tinggi seperti itu. 

Air mata mengalir pelan dari matanya, “Aku hanya tidak ingin kau terlalu cemas memikirkan aku. Aku takut kau akan jatuh sakit jika terlalu stres... Maafkan aku, Jing Gege!” Huang Rong berkata pelan, nada penyesalan terdengar dari suaranya. 


Guo Jing merasakan hatinya sakit melihat istrinya menangis. Dia sadar, semakin dia ingin melindungi Rong'er dengan menyimpan masalahnya sendiri, semakin Rong'er juga akan menyimpan masalahnya sendiri demi untuk tidak membuat suaminya mencemaskannya.

“Tapi aku suamimu. Kau harus memberitahuku semuanya.” Ujar Guo Jing dengan suara lebih lembut, dia kembali memeluk hangat istrinya.


“Jing Gege...” Huang Rong ingin mengatakan sesuatu tapi tak tahu harus mengatakan apa.

“Rong'er, Maafkan aku telah membentakmu. Tapi aku tidak bisa tidak khawatir. Kau istriku. Aku mencintaimu. Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk membagi setengah rasa sakitmu padaku, aku bersedia melakukannya. Tapi tak ada yang bisa kulakukan,” suara Guo Jing terlihat sedih dan putus asa.

“Jing Gege, aku...” Huang Rong baru saja ingin mengatakan sesuatu saat rasa sakit itu kembali menyerangnya.

“Aargghh!” jeritnya lagi, kali ini lebih sakit dari sebelumnya. 
Spontan dia mencengkeram tangan Guo Jing erat. Guo Jing mulai panik, merasakan eratnya genggaman Rong'er di tangannya, menandakan rasa sakitnya memang sudah terlampau sakit.

“Rong'er, apa sakitnya muncul lagi?” tanyanya panik, keringat dingin muncul di keningnya. Huang Rong hanya bisa mengangguk pelan.

“Jing Gege, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku merasakan sesuatu mengalir keluar dari tubuhku. Mungkin sekarang bayinya akan lahir,” ujar Rong'er lirih dan lemah. 

Guo Jing segera mengalihkan pandangan matanya ke arah kaki istrinya dan dia melihat darah bercampur air ketuban mengalir keluar dari sana.

“Rong'er...” Guo Jing mulai gemetar karena panik.
“Jing Gege, bayinya akan lahir.” ujar Huang Rong lirih, wajahnya mengernyit menahan sakit.

“DI SINI? SEKARANG?” Guo Jing berteriak panik, dia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya, mereka sedang ada di tengah hutan.

Apa yang harus kita lakukan? Rong'er...Rong'er.” Guo Jing benar-benar panik, dia memeluk erat tubuh istrinya yang juga mulai berkeringat.

“Jing Gege, tenanglah. Kau harus gendong aku kembali ke rumah. Ibu Wang bisa membantu kita,” Huang Rong dengan lemah menenangkan suaminya.

“Benar!” Guo Jing segera menggendong istrinya dan membawanya terbang dengan ilmu meringankan tubuhnya. 

Huang Rong merasakan ilmu Guo Jing meningkat lagi karena dia tidak merasakan goncangan sama sekali saat Guo Jing menggendongnya sambil terbang melewati hutan-hutan Persik. Belum pernah dia melihat suaminya bertindak begitu cepat tapi juga sangat lembut.

“Selamat Jing Gege, ilmu kungfumu meningkat lagi,” ujar Huang Rong lirih seraya tersenyum lemah tapi tentu saja Guo Jing tidak mendengarnya. Perhatiannya hanya tertuju pada istrinya yang kini kesakitan.

To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads