Author : Liana Hwie
Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
All cast from "Legend Of The Condor Heroes 2017"
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
All cast from "Legend Of The Condor Heroes 2017"
Malam itu, Guo Jing tetap tak bisa tidur dengan
nyenyak. Walaupun sebelumnya, Rong'er sudah menjelaskan bahwa dia tak perlu
cemas, tapi tetap saja, Guo Jing takkan tenang sebelum bayi mereka benar-benar
lahir ke dunia dan Rong'er-nya selamat dan sehat.
Suasana malam hari di Pulau Bunga Persik sangat tenang dan damai, bulan bersinar terang di langit yang bertabur bintang, ombak di laut pun terlihat tenang, bunga-bunga bermekaran dengan indah menyambut datangnya musim semi yang hangat. Sangat damai, indah dan tenang. Tapi tidak dengan hati dan pikirannya.
Suasana malam hari di Pulau Bunga Persik sangat tenang dan damai, bulan bersinar terang di langit yang bertabur bintang, ombak di laut pun terlihat tenang, bunga-bunga bermekaran dengan indah menyambut datangnya musim semi yang hangat. Sangat damai, indah dan tenang. Tapi tidak dengan hati dan pikirannya.
Guo Jing, berbaring di tempat tidurnya dengan
menatap kosong langit-langit kamarnya. Seluruh tubuhnya lelah dan sakit karena
terlalu banyak berlatih, tapi otak dan hatinya menolak untuk beristirahat.
Di sampingnya, Huang Rong tertidur dengan nyenyak, dia meletakkan kepalanya di
dada Guo Jing seperti biasanya, memeluk suaminya erat sejauh yang bisa
dijangkau olehnya karena perutnya yang membuncit membatasi tubuh Huang Rong
lebih dekat dengan suaminya.
Huang Rong tampak menggigil kedinginan, tangannya yang memeluk Guo Jing sedikit gemetar. Guo Jing mengerti bahwa istrinya merasa kedinginan jadi dia segera menarik selimut untuk membuatnya merasa lebih hangat.
Huang Rong tampak menggigil kedinginan, tangannya yang memeluk Guo Jing sedikit gemetar. Guo Jing mengerti bahwa istrinya merasa kedinginan jadi dia segera menarik selimut untuk membuatnya merasa lebih hangat.
Perlahan, Guo Jing mengangkat tubuhnya naik dalam
posisi duduk. Pergerakannya membuat kepala Huang Rong merosot dari berada di
dadanya kini berada di perutnya.
“Jing Gege...” gumamnya lirih, masih dengan mata
terpejam. Seolah tahu bahwa suaminya melakukan perubahan posisi.
“Ssshhh...Tidurlah. Maaf. Tidurlah, sayang,” Guo
Jing berbisik pelan di telinga istrinya seraya menepuk-nepuk lembut punggungnya.
“Jangan menikah dengan Hua Zheng. Aku ingin jadi
istrimu,” gumamnya lagi.
Guo Jing terharu mendengarnya. Sampai sekarang pun ternyata Rong'er masih merasa takut jika suatu hari Guo Jing kembali ke Mongolia dan menikah dengan Hua Zheng.
Hatinya mendadak sakit. Dia baru
menyadari kesalahannya saat dulu pernah memilih untuk menepati janjinya menikah
dengan Hua Zheng. Dia baru menyadari bahwa keputusannya itu ternyata
meninggalkan luka yang dalam di hati Rong'er.
Syukurlah Tuhan masih berbaik hati padanya, memberikan kesempatan agar dia bisa mengejar kembali kebahagiaannya yang hampir lepas dari tangannya.
Syukurlah Tuhan masih berbaik hati padanya, memberikan kesempatan agar dia bisa mengejar kembali kebahagiaannya yang hampir lepas dari tangannya.
“Sssttt! Aku di sini. Aku tak pernah menikah dengan
Hua Zheng. Aku di sini bersamamu. Aku suamimu dan kau istriku. Tidurlah, sayang.
Aku mencintaimu. Aku takkan pernah meninggalkanmu,” ujar Guo Jing lirih seraya
membelai-belai lembut rambut Rong'er.
Mendengar ucapannya, sebuah senyuman kecil
tersungging di bibir mungil Rong'er. Seolah dia mendengar apa yang Guo Jing
katakan. Guo Jing tersenyum lagi. Dia tahu mungkin Rong'er-nya, bahkan walau
berada di bawah alam sadarnya, mengetahui dengan jelas bahwa dia mencintainya.
Guo Jing menatap samar-samar wajah istrinya dalam
kegelapan kamar yang hanya diterangi sinar bulan yang menerobos melalui jendela
kamar. Dia memandang lekat wajah Rong'er yang cantik bagai Dewi.
Matanya yang berbinar indah, bulu matanya yang lentik, bibirnya yang mungil, hidungnya yang mancung, kulitnya yang seputih salju dan rambutnya yang sehitam malam. Dia tertawa sekali lagi membayangkan kebodohannya yang sempat mengira bahwa gadis secantik ini adalah seorang pria.
Matanya yang berbinar indah, bulu matanya yang lentik, bibirnya yang mungil, hidungnya yang mancung, kulitnya yang seputih salju dan rambutnya yang sehitam malam. Dia tertawa sekali lagi membayangkan kebodohannya yang sempat mengira bahwa gadis secantik ini adalah seorang pria.
“Bagaimana gadis yang sempurna sepertimu, bisa
jatuh cinta pada pria sederhana sepertiku? Mungkin aku sudah melakukan sesuatu
yang hebat di masa lalu sehingga aku pantas mendapatkanmu.” batin Guo Jing dalam
hati, sambil tersenyum penuh syukur seraya membelai pipi istrinya yang
tertidur.
Tanpa diduga, Rong'er justru tiba-tiba menggenggam tangannya. Guo Jing kaget saat tiba-tiba jari Rong'er menggenggam tangannya.
Tanpa diduga, Rong'er justru tiba-tiba menggenggam tangannya. Guo Jing kaget saat tiba-tiba jari Rong'er menggenggam tangannya.
“Jing Gege...” gumamnya lagi, dengan mata terpejam.
“Dingin sekali. Peluk aku lebih erat,” lanjutnya sambil tetap bergumam pelan.
Guo Jing tersenyum lalu kembali menurunkan tubuhnya agar kembali tertidur dan bisa memeluk istrinya lebih erat.
“Dingin sekali. Peluk aku lebih erat,” lanjutnya sambil tetap bergumam pelan.
Guo Jing tersenyum lalu kembali menurunkan tubuhnya agar kembali tertidur dan bisa memeluk istrinya lebih erat.
“Sssttt! Tidurlah, Ronger.” Bisiknya lembut seraya
memeluk tubuh mungilnya yang membuncit dengan erat.
“Hhhmmm,” Huang Rong menjawab sambil bergumam lalu
tak lama kemudian napasnya mulai teratur, menandakan bahwa dia benar-benar
terlelap. Sementara Guo Jing yang masih tak bisa menutup matanya hanya
memandang wajah istrinya dalam kegelapan.
Dia ingat saat pertama kali Rong'er membuka
penyamarannya, Guo Jing hanya bisa menatap tak percaya. Dia berdiri bagaikan
patung dan tak mampu bicara, berkali-kali dia harus mengucek matanya hanya
untuk memastikan bahwa dia sedang tidak bermimpi indah, jantungnya berdetak
kencang saat mendengar suara tawanya yang bagaikan nyanyian Surgawi.
Saat
itulah dia tahu, Rong'er adalah belahan jiwanya. Walau masih tak mengerti apa
yang dirasakannya saat itu, Guo Jing tahu bahwa perasaannya pada gadis ini
sangatlah dalam. Tak lama kemudian, dia menyadari bahwa getar yang ada di jiwa,
ternyata itulah yang dinamakan cinta. Cinta yang semakin dalam dari waktu ke
waktu.
Dia tahu istrinya sangat cantik, cerdas, ceria dan
banyak akal tapi dia juga mencintai sisi diri istrinya yang lain : yang nakal,
manja, keras kepala dan terkadang liar, tapi bagi Guo Jing, semua itu adalah
paket komplit yang membuatnya terlihat sempurna di matanya, Rong'er-nya.
Apa yang harus dia lakukan bila dia harus
kehilangan Rong'er?
Tidak. Rasa sakit yang sama setiap kali dia memikirkan ini kembali muncul di dadanya, membuatnya tak bisa bernapas. Pertanyaan itu yang selalu dia tanyakan pada dirinya sendiri selama dua bulan terakhir ini.
Tidak. Rasa sakit yang sama setiap kali dia memikirkan ini kembali muncul di dadanya, membuatnya tak bisa bernapas. Pertanyaan itu yang selalu dia tanyakan pada dirinya sendiri selama dua bulan terakhir ini.
Apa yang harus kulakukan tanpamu? Terus dan terus, membuatnya
semakin takut dari hari ke hari.
Dia bahkan sempat berpikir, “Andai aku tak pernah menyentuh Rong'er. Tidak membuatnya hamil, aku pasti takkan merasa setakut ini,” tapi dia segera mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. Dia ingin memiliki Rong'er, secara insting tak mungkin dia tak ingin menyentuhnya.
Dia bahkan sempat berpikir, “Andai aku tak pernah menyentuh Rong'er. Tidak membuatnya hamil, aku pasti takkan merasa setakut ini,” tapi dia segera mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh. Dia ingin memiliki Rong'er, secara insting tak mungkin dia tak ingin menyentuhnya.
Dia juga ingat saat dia mengira dia telah
kehilangan Rong'er di Mongolia. Jika saja saat itu dia tidak ingat masih
memiliki seorang ibu, mungkin dia akan segera meraih belati lalu membunuh
dirinya sendiri.
Dia tidak bersedia bicara pada siapa pun selama sebulan lamanya, bahkan tidak pada ibunya sendiri. Dia menghabiskan waktu dengan berkelana di padang rumput Mongolia dengan hanya ditemani Kuda Merahnya juga sepasang rajawali, mencari Rong'er-nya tanpa lelah.
Bahkan hingga sekarang,
rasa sakit dalam hatinya masih ada setiap kali mengingat kenangan itu, bagaikan
pisau yang dihujamkan ke jantungnya.
Dia tidak bersedia bicara pada siapa pun selama sebulan lamanya, bahkan tidak pada ibunya sendiri. Dia menghabiskan waktu dengan berkelana di padang rumput Mongolia dengan hanya ditemani Kuda Merahnya juga sepasang rajawali, mencari Rong'er-nya tanpa lelah.
Rong'er memang sudah menenangkannya dengan
penjelasannya mengenai kematian ibunya.
Saat siang hari, Guo Jing masih bisa merasa tenang tapi ketika malam tiba, saat dia dikelilingi kegelapan seperti ini, hatinya kembali merasa gelisah dan rasa takut itu kembali menghantuinya.
Guo Jing melihat tempat tidur bayi mungil yang mereka buat untuk bayi mereka nantinya dan tak bisa menahan dirinya untuk kembali gemetar ketakutan. Mendadak hatinya menjadi dingin, ketakutan itu mencengkeramnya dan mencabik-cabik hatinya sekali lagi.
Saat siang hari, Guo Jing masih bisa merasa tenang tapi ketika malam tiba, saat dia dikelilingi kegelapan seperti ini, hatinya kembali merasa gelisah dan rasa takut itu kembali menghantuinya.
Guo Jing melihat tempat tidur bayi mungil yang mereka buat untuk bayi mereka nantinya dan tak bisa menahan dirinya untuk kembali gemetar ketakutan. Mendadak hatinya menjadi dingin, ketakutan itu mencengkeramnya dan mencabik-cabik hatinya sekali lagi.
“Rong'er, jangan tinggalkan aku! Aku tak bisa hidup tanpamu,” dia berbisik lirih pada istrinya yang tertidur lelap seraya menenggelamkan kepalanya pada rambut istrinya yang wangi, memeluknya erat.
Esoknya matahari kembali bersinar cerah,
bunga-bunga masih bermekaran menyambut musim semi yang indah. Seperti biasa,
Guo Jing melampiaskan kegelisahannya dengan berlatih kungfu di hutan.
Sementara di dapur, Rong'er sibuk menyiapkan mantau daging untuk suaminya. Dia sudah dilarang keras untuk memasak atau melakukan apa pun yang bisa membuatnya lelah, tapi bukan Rong'er namanya jika dia menurut, kan?
Sementara di dapur, Rong'er sibuk menyiapkan mantau daging untuk suaminya. Dia sudah dilarang keras untuk memasak atau melakukan apa pun yang bisa membuatnya lelah, tapi bukan Rong'er namanya jika dia menurut, kan?
“Guo Fu Ren (Nyonya Guo), apa yang kau lakukan di sini? Suamimu melarangmu untuk
memasak. Jika dia tahu, dia bisa memarahiku,” ujar seorang wanita tua berusia
enam puluh lima tahunan.
Rong'er hanya tersenyum sambil berkata, “Ibu Wang, sudah kubilang panggil saja aku Rong'er,” jawabnya, mengalihkan perhatian.
Rong'er hanya tersenyum sambil berkata, “Ibu Wang, sudah kubilang panggil saja aku Rong'er,” jawabnya, mengalihkan perhatian.
“Jangan mengalihkan perhatian,” jawab Ibu Wang,
tabib wanita yang mereka sewa untuk membantu proses kelahiran Rong'er
nantinya.
“Rong'er takut kita akan membuat Jing Gege-nya
kelaparan, itu sebabnya dia sendiri yang memasak untuk Jing'er,” ujar Guru
ke-1 Guo Jing, Khe Zhen Erl sambil tersenyum menggoda.
“Tha Shi Fu (Guru ke-1), aku hanya membuat beberapa
potong mantau daging untuk Jing Gege. Dia sudah lama tidak makan mantau daging
buatanku sejak perutku mulai membesar.” Jawab Rong'er semanis mungkin.
“Tapi jika Guo Tha Ye (Tuan Besar Guo) tahu, dia
akan memarahiku,” protes Ibu Wang.
“Tidak akan. Hanya sekali ini saja. Lain kali aku
akan menurut,” ujar Rong'er keras kepala.
“Nah, sudah jadi.” Tambahnya kemudian seraya
memasukkan mantaunya ke dalam keranjang.
“Biar Guru yang antarkan untuk Jing'er,” tawar Khe
Zhen Erl, tapi Rong'er menolak pelan.
“Tha Shi Fu (Guru Ke-1) istirahat saja. Aku sendiri
yang akan antarkan pada Jing Gege,” ujarnya merayu sambil meraih keranjang itu.
“Kau yang harusnya istirahat, anak nakal.” Ujar
Guru Ke-1 sambil tersenyum, tahu bahwa Rong'er sangat keras kepala.
“Kenapa? Guru ingin memanggilku Xiao Yao Ni (Iblis
Kecil) lagi?” tanya Rong'er sambil tersenyum mengingat dulu guru ke-1 sangat
tidak menyukainya dan selalu memanggilnya Iblis Kecil. Guru ke-1 hanya bisa
menyerah menghadapi istri muridnya ini.
“Baiklah. Hanya sekali ini saja,” akhirnya dia
terpaksa memberi Rong'er ijin.
“Aku tahu guru sayang padaku,” ujar Rong'er seraya
memberikan pelukan singkat pada guru suaminya.
“Ibu Wang, aku akan segera kembali,” janji Rong'er
sambil mengerlingkan matanya.
Sambil berjalan riang, Rong'er menjinjing
keranjang makanannya ke tempat Guo Jing berlatih kungfu, saat tiba-tiba dia
merasakan sakit ketika berada di dalam formasi hutan persik.
“Ouch,” rintihnya lirih saat rasa sakit itu
menyerangnya. Rong'er bersandar di salah satu pohon persik untuk sekedar
mengambil napas dan beristirahat.
“Apa mungkin aku terlalu lelah?” tanyanya pada
dirinya sendiri seraya duduk sebentar di atas sebuah batu besar.
Melihat batu besar itu, Rong'er tertawa kecil sambil membelai lembut perutnya yang hamil.
“Kau tahu, sayang? Ibu dan ayahmu pernah berpikir bahwa kau keluar dari dalam batu. Jika memang seperti itu, maka ayahmu tidak akan cemas dan khawatir setengah mati,” batinnya sambil terkikik geli setiap mengingat kepolosan mereka saat itu.
Melihat batu besar itu, Rong'er tertawa kecil sambil membelai lembut perutnya yang hamil.
“Kau tahu, sayang? Ibu dan ayahmu pernah berpikir bahwa kau keluar dari dalam batu. Jika memang seperti itu, maka ayahmu tidak akan cemas dan khawatir setengah mati,” batinnya sambil terkikik geli setiap mengingat kepolosan mereka saat itu.
“Jing Gege tidak boleh tahu kalau aku sempat
merasakan sakit. Jika dia tahu dia pasti akan mengomeliku lagi,” batin Rong'er
saat dia memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanannya setelah rasa
sakitnya menghilang.
Bagi Rong'er yang baru mengalami kehamilan pertama, tentu takkan tahu bila rasa sakit itu adalah kontraksi pertama yang akan dilaluinya sebelum proses melahirkan yang sesungguhnya.
Bagi Rong'er yang baru mengalami kehamilan pertama, tentu takkan tahu bila rasa sakit itu adalah kontraksi pertama yang akan dilaluinya sebelum proses melahirkan yang sesungguhnya.
Setelah berjalan melewati beberapa pohon lagi, dia
merasakan hembusan angin yang cukup kencang bertiup ke arahnya. Dia tahu jika
hembusan angin itu berasal dari tenaga dalam Guo Jing yang sedang berlatih 18
Jurus Penakluk Naga.
Takut jika tenaga dalam itu akan melukai bayi mereka, Rong'er menggunakan tenaga dalamnya sendiri untuk melindungi bayi dalam perutnya.
Setelah agak dekat, diapun berteriak kencang untuk memberitahukan kedatangannya, “Jing Gege, Rong'er datang membawakanmu makanan,” teriaknya sekencang mungkin.
Mendengar suara istrinya, Guo Jing spontan
menghentikan latihannya. Dan tak lama kemudian, Rong'er muncul dari balik
salah satu pohon seraya tersenyum manis padanya.
“Rong'er, kau tidak seharusnya berada di sini?
Bagaimana jika tenaga dalamku melukaimu?” Guo Jing bertanya khawatir seraya
mendekati istrinya dan membantunya berjalan seraya meraih keranjang makanannya.
Hatinya gembira melihat istrinya, tapi dia juga merasa sangat cemas, khawatir dan takut bila dia tak sengaja melukai mereka.
Hatinya gembira melihat istrinya, tapi dia juga merasa sangat cemas, khawatir dan takut bila dia tak sengaja melukai mereka.
“Melukai bayimu tersayang maksudmu?” canda Rong'er
seraya membuka keranjangnya saat dia sudah duduk di atas sebuah batu besar.
“Aku ingin membuatkan makanan untukmu. Sepertinya
aku sudah lama tidak memasak untukmu, kan?” lanjut Rong'er seraya menyodorkan
mantaunya, tapi Guo Jing hanya terdiam memandangnya.
“Jing Gege, kau tak suka masakanku lagi?” tanya
Rong'er dengan ekspresi sedih saat Guo Jing tak juga mengambil mantaunya.
Faktanya, Guo Jing sangat terharu melihat perhatian istrinya yang walaupun sudah hamil tua seperti ini masih ingin membuatkan makanan untuknya dan bahkan mengantarnya kemari.
Faktanya, Guo Jing sangat terharu melihat perhatian istrinya yang walaupun sudah hamil tua seperti ini masih ingin membuatkan makanan untuknya dan bahkan mengantarnya kemari.
“Jangan lakukan ini lagi, oke!” ujar Guo Jing tak
suka, matanya terlihat ketakutan dan kecemasan juga tergambar jelas di sana.
“Kau mau makan tidak? Aku khusus bangun pagi agar
bisa memasakkannya untukmu. Jing Gege, kau tak suka masakanku lagi?” Rong'erbertanya dengan mata sedih seraya tetap menyodorkan piringnya.
Guo Jing menarik napas, Rong'er selalu menggunakan ekspresi sedih seperti ini agar Guo Jing tidak memarahinya. Tapi melihat Rong'er sedih adalah hal yang tidak ingin dilakukannya.
Guo Jing menarik napas, Rong'er selalu menggunakan ekspresi sedih seperti ini agar Guo Jing tidak memarahinya. Tapi melihat Rong'er sedih adalah hal yang tidak ingin dilakukannya.
“Tidak. Masakan Rong'er nomor 1 di dunia. Aku
hanya cemas kalau terjadi sesuatu padamu saat kau berjalan kemari,” jawab Guo Jing
lalu segera meraih mantaunya.
Huang Rong terdiam, faktanya dia memang sempat merasakan sakit dalam perjalanannya kemari. Tapi melihat Guo Jing makan dengan lahap, dia tak bisa memberitahunya.
Huang Rong terdiam, faktanya dia memang sempat merasakan sakit dalam perjalanannya kemari. Tapi melihat Guo Jing makan dengan lahap, dia tak bisa memberitahunya.
“Rong'er, mantaumu adalah mantau terbaik di
dunia,” puji Guo Jing dengan mulut penuh mantau. Huang Rong kembali tertawa,
ekspresi sedih itu mendadak menghllang.
“Jing Gege, kau selalu berkata seperti itu setiap
kali makan mantau. Guru bilang kau sudah gila karena lebih memilih mantau
daripada masakanku lainnya yang lebih lezat,” ujar Rong'er tertawa geli saat
melihat suaminya makan dengan lahap. Rong'er suka memasak, apalagi jika
memasak untuk orang yang dia cintai.
“Jing Gege, kau berkeringat. Biar kuhapus
keringatmu,” ujarnya seraya mengeluarkan saputangan dari dalam bajunya dan
menyeka keringat di kening Guo Jing.
Lalu Huang Rong bercerita tentang banyak hal, seperti musim semi yang indah, ikan-ikan kecil di laut, formasi ayahnya yang membuatnya bingung akibat perutnya yang membesar dan banyak lagi yang lain, saat tiba-tiba rasa sakit itu datang lagi.
Lalu Huang Rong bercerita tentang banyak hal, seperti musim semi yang indah, ikan-ikan kecil di laut, formasi ayahnya yang membuatnya bingung akibat perutnya yang membesar dan banyak lagi yang lain, saat tiba-tiba rasa sakit itu datang lagi.
“Aarggh...” jeritnya lirih seraya memegangi perut
buncitnya. Guo Jing spontan menjatuhkan mantaunya dan memeluk istrinya panik.
“Apa yang terjadi? Rong'er, ada apa?” tanya Guo
Jing panik. Huang Rong menggelengkan kepalanya lemah dan tersenyum lembut pada
suaminya.
“Tidak apa-apa. Beberapa saat yang lalu aku juga
merasakan sakit yang sama. Mungkin karena aku terlalu lelah,” ucapan yang
awalnya bermaksud untuk menenangkan suaminya justru berubah menjadi kemarahan.
“KAU MERASA SAKIT DAN TIDAK MEMBERITAHUKU?” Guo
Jing membentak istrinya spontan. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya. Huang
Rong terkejut melihat reaksi Guo Jing marah seperti itu.
Tak pernah sebelumnya, sejak mereka berkenalan, Guo
Jing membentaknya dengan nada tinggi seperti itu.
Guo Jing merasakan
hatinya sakit melihat istrinya menangis. Dia sadar, semakin dia ingin
melindungi Rong'er dengan menyimpan masalahnya sendiri, semakin Rong'er juga
akan menyimpan masalahnya sendiri demi untuk tidak membuat suaminya mencemaskannya.
Air mata mengalir pelan dari
matanya, “Aku hanya tidak ingin kau terlalu cemas memikirkan aku. Aku takut kau
akan jatuh sakit jika terlalu stres... Maafkan aku, Jing Gege!” Huang Rong
berkata pelan, nada penyesalan terdengar dari suaranya.
“Tapi aku suamimu. Kau harus memberitahuku
semuanya.” Ujar Guo Jing dengan suara lebih lembut, dia kembali memeluk hangat
istrinya.
“Jing Gege...” Huang Rong ingin mengatakan sesuatu
tapi tak tahu harus mengatakan apa.
“Rong'er, Maafkan aku telah membentakmu. Tapi aku
tidak bisa tidak khawatir. Kau istriku. Aku mencintaimu. Andai saja ada yang
bisa kulakukan untuk membagi setengah rasa sakitmu padaku, aku bersedia
melakukannya. Tapi tak ada yang bisa kulakukan,” suara Guo Jing terlihat sedih
dan putus asa.
“Jing Gege, aku...” Huang Rong baru saja ingin mengatakan
sesuatu saat rasa sakit itu kembali menyerangnya.
“Aargghh!” jeritnya lagi, kali ini lebih sakit dari
sebelumnya.
Spontan dia mencengkeram tangan Guo Jing erat. Guo Jing mulai panik, merasakan eratnya genggaman Rong'er di tangannya, menandakan rasa sakitnya memang sudah terlampau sakit.
Spontan dia mencengkeram tangan Guo Jing erat. Guo Jing mulai panik, merasakan eratnya genggaman Rong'er di tangannya, menandakan rasa sakitnya memang sudah terlampau sakit.
“Rong'er, apa sakitnya muncul lagi?” tanyanya panik,
keringat dingin muncul di keningnya. Huang Rong hanya bisa mengangguk pelan.
“Jing Gege, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi
aku merasakan sesuatu mengalir keluar dari tubuhku. Mungkin sekarang bayinya
akan lahir,” ujar Rong'er lirih dan lemah.
Guo Jing segera mengalihkan pandangan matanya ke arah kaki istrinya dan dia melihat darah bercampur air ketuban mengalir keluar dari sana.
Guo Jing segera mengalihkan pandangan matanya ke arah kaki istrinya dan dia melihat darah bercampur air ketuban mengalir keluar dari sana.
“Rong'er...” Guo Jing mulai gemetar karena panik.
“Jing Gege, bayinya akan lahir.” ujar Huang Rong
lirih, wajahnya mengernyit menahan sakit.
“DI SINI? SEKARANG?” Guo Jing berteriak panik, dia
benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya, mereka sedang ada di tengah
hutan.
“Apa yang harus kita lakukan? Rong'er...Rong'er.”
Guo Jing benar-benar panik, dia memeluk erat tubuh istrinya yang juga mulai
berkeringat.
“Jing Gege, tenanglah. Kau harus gendong aku
kembali ke rumah. Ibu Wang bisa membantu kita,” Huang Rong dengan lemah
menenangkan suaminya.
“Benar!” Guo Jing segera menggendong istrinya dan
membawanya terbang dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Huang Rong merasakan ilmu Guo Jing meningkat lagi karena dia tidak merasakan goncangan sama sekali saat Guo Jing menggendongnya sambil terbang melewati hutan-hutan Persik. Belum pernah dia melihat suaminya bertindak begitu cepat tapi juga sangat lembut.
Huang Rong merasakan ilmu Guo Jing meningkat lagi karena dia tidak merasakan goncangan sama sekali saat Guo Jing menggendongnya sambil terbang melewati hutan-hutan Persik. Belum pernah dia melihat suaminya bertindak begitu cepat tapi juga sangat lembut.
“Selamat Jing Gege, ilmu kungfumu meningkat lagi,”
ujar Huang Rong lirih seraya tersenyum lemah tapi tentu saja Guo Jing tidak mendengarnya. Perhatiannya
hanya tertuju pada istrinya yang kini kesakitan.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar