Rabu, 28 Januari 2015

(FF) Legend Of The Condor Heroes After Story : Chapter 5

Author : Liana Hwie

Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017

= 



 


“Chapter 5 – The Great News”

Malam hari di Pulau Bunga Persik sungguh sangat indah. Bintang berkelap-kelip dengan sangat indahnya dan suara burung malam yang bernyanyi semakin menambah indahnya malam. 

Guo Jing sedang duduk di beranda kamarnya seraya menikmati indahnya malam dan memandang kelap-kelip bintang di angkasa. Setiap kali memandang kelap-kelip bintang itu dia teringat hidupnya saat di Mongolia, masa kecilnya di sana serta ibunya yang dia rindukan. 

Guo Jing sangat menyukai Pulau Persik karena sekarang ini adalah rumahnya, tapi kenangan masa kecilnya tak bisa begitu saja dilupakan.

Guo Jing telah membawa mayat ibunya dari Mongolia untuk dipindahkan ke Pulau Persik dan dimakamkan di samping kelima gurunya, jadi kapan pun dia merindukan mereka, dia bisa mengunjunginya. 

Tapi sekarang saat memandang langit yang bertabur bintang, dia tidak bisa tidak teringat kenangannya bersama ibunya, saat mereka berbincang-bincang di bawah langit Mongolia.

Di dalam kamar, Guo Jing mendengar suara langkah kaki seseorang. Guo Jing tahu itu pasti suara langkah istrinya. Sejak mereka menikah, setiap malam setelah makan malam, mereka pasti akan menghabiskan waktu beberapa saat untuk sekedar mengagumi keindahan kelap-kelip bintang di angkasa.

Rong'er dan bintang, bagi Guo Jing, mereka berdua sama indahnya. Mengingat istrinya, tanpa sadar sebuah senyuman penuh cinta terukir di bibirnya. 

Dia sangat mencintai Rong'er, terlalu mencintainya hingga tak sanggup berkata “Tidak” padanya jadi apa pun yang Rong'er inginkan atau minta dia lakukan, Guo Jing tanpa ragu melakukannya. Bagi Guo Jing, kenangan saat dia hampir kehilangan Rong'er masih terpatri dalam ingatannya. Bukan hanya sekali tapi 3 kali dia hampir kehilangan cinta dalam hidupnya.



Dia ingat ketika Ketua Partai Tapak Besi, Chiu Chien Ren memukul Rong'er dan membuatnya terluka parah. Saat itu dia berpikir, jika Rong'er tak bisa disembuhkan lagi maka dia pun tak punya alasan lagi untuk hidup di dunia ini. Dia tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Rong'er. Tapi untunglah jurus “Jari Matahari” dari Biksu Yi Deng mampu menyelamatkan hidup kekasihnya.



Lega sesaat, tapi ternyata takdir kembali mempermainkan mereka saat mereka melihat kelima guru Guo Jing tewas di Pulau Bunga Persik. Guo Jing yang bodoh langsung menyalahkan Ayah Rong'er yang melakukan semua pembunuhan keji ini. 




Jika dia kembali mengingat hal ini, hatinya sangat sakit dan perih. Bukan hanya kematian kelima gurunya tapi juga karena kebodohannya yang hampir membuatnya kehilangan Rong'er sekali lagi. Dia sangat lega tapi juga sedih saat mengetahui kebenarannya, bahwa Rong'er telah mengorbankan kebebasannya demi mencari kebenaran.

 

Demi membuktikan ayahnya tidak bersalah dan mencari pelaku sebenarnya yang ternyata adalah Ou Yang Feng dan Yo Kang, Rong'er membiarkan dirinya ditawan oleh Ou Yang Feng. Setahun lamanya mereka terpisah. 



Setahun lamanya Guo Jing hampir gila dan putus asa mencari keberadaan kekasihnya. Dia ingin meminta maaf, dia ingin Rong'er tahu dia sangat merindukannya. Walau kemudian mereka kembali bertemu di Mongolia dan Rong'er bahkan membantunya memenangkan setiap perang, tapi sekali lagi sebuah kesalahpahaman memisahkan mereka.

 

Guo Jing yang sudah membuat jasa besar untuk Jenghis Khan, bukannya memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta pembatalan pernikahannya dengan Hua Zheng tapi justru meminta kebebasan seluruh penduduk kota yang telah dia taklukkan. 

 

Rong'er yang salah paham mengira Guo Jing tidak mencintainya dan ingin menikahi Hua Zheng. Guo Jing yang bodoh bahkan mengira Rong'er meninggal di dalam pasir hisap di Mongolia.

Hingga akhirnya mereka bertemu kembali 6 bulan kemudian di Gunung Hua saat turnament pedang kedua diadakan. Tapi Rong'er pun tak mau memaafkannya. Rong'er yang masih marah meminta Guo Jing melupakan cinta mereka, menganggap bahwa cinta mereka tak pernah ada. 

Hati Guo Jing menjerit sakit, dia merasa putus asa, sedih, kecewa, dan frustasi. Begitu putus asanya hingga dia rela melompat dari atas tebing dan mati dihadapan Rong'er saat gadis itu dengan marah menyuruhnya melompat.

“Aku tidak akan memaafkanmu, kecuali bila kau mati.” Ujar Rong'er dengan dingin dan sakit hati karena mengira Guo Jing telah mencampakkannya. 

Demi membuktikan cintanya, Guo Jing hampir saja melompat dari atas tebing bila saja Rong'er tidak menahannya.

“Baik. Aku tahu kau sama sekali tak peduli padaku. Aku mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal karena kemarahanku dan kau langsung menurutinya. Sekarang kuberitahu padamu, kau tak perlu melompat dari sana, cukup tak perlu temui aku lagi. Anggap saja semua tak pernah terjadi.” Ujar Rong'er sambil menangis di pinggir tebing. 

Guo Jing yang takut kekasihnya terpeleset dari sana segera menggeser tubuhnya ke tempat yang aman. “Kemarilah. Di sana berbahaya.” Ujar Guo Jing lembut dan penuh perhatian.

Mendengar kata-katanya, Rong'er spontan menangis keras, “Siapa yang ingin mendengar kata-kata palsumu? Saat aku sakit di Shandong, tak ada seorangpun yang peduli padaku. Kau bahkan tak datang untuk merawatku. Aku ditangkap oleh Ou Yang Feng, kau juga tak datang menyelamatkanku. Ibuku tidak menginginkanku, dia meninggal setelah melahirkanku. Ayahku juga tak peduli padaku, dia selalu sibuk berlatih kungfu. Dan sekarang, kau juga tak peduli padaku. Tak ada seorangpun di dunia ini yang menginginkanku. Tak ada seorangpun yang mencintaiku.” Ujar Rong'er dengan terisak, airmata mengalir deras di matanya yang indah.

Guo Jing tahu bahwa dialah yang sudah membuat Rong'er-nya sedih dan menderita, hatinya sangat sakit bagaikan ditusuk ribuan pedang, semakin dia mendengar kata-katanya, semakin dia sadari bahwa Rong'er benar, dan dia semakin membenci dirinya sendiri. 

Melihat Rong'er-nya menangis adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Tapi dia terlalu bodoh untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam hati Guo Jing bersumpah, bahwa kelak dia takkan lagi membiarkan Rong'er-nya meneteskan air mata. 

Asalkan Rong'er bahagia, Guo Jing akan melakukan apa pun untuknya. Apa pun. Selama dia mampu melakukannya, dia takkan menolak.

 

“Aku akan selamanya mengikutimu. Aku takkan pernah meninggalkanmu sepanjang sisa hidupku,” itu yang pernah dia janjikan pada Rong'er. Dia bahagia karena akhirnya Rong'er memaafkannya dan mereka bisa bersama seperti sekarang. 

Tapi kenangan saat dia hampir 3 kali kehilangan cinta dalam hidupnya selalu menghantuinya. Seperti saat ini, kenangan itupun masih teringat jelas dalam hatinya. Setiap kali dia sendirian dan termenung, dia teringat bagaimana dia hampir kehilangan Rong'er-nya dan itu selalu membuatnya hampir tak bisa bernapas.



Lalu dia teringat selama sebulan ini dia merasa Rong'er berbeda dari biasanya. Setiap pagi dia selalu muntah. Diapun sering pusing dan mual. Wajahnya kadang sangat pucat, kadang dia terlihat lelah. 

Guo Jing mulai bertanya-tanya apakah mungkin luka akibat pukulan Ketua Tapak Besi itu kini kambuh lagi? Saat itu Rong'er-nya hampir kehilangan nyawanya karena terluka parah akibat pukulan Ketua Tapak Besi. Guo Jing ingat saat itu dia ketakutan setengah mati, takut Rong'er-nya akan mati.

“Aku akan tanyakan padanya setelah ini. Aku harus tahu apa yang terjadi pada Rong'er-ku.” Ujar Guo Jing dalam hati, hatinya mulai cemas. 

Dia baru saja akan bangkit dan masuk ke dalam kamar untuk bertanya pada istrinya saat tiba-tiba sebuah suara lebih dulu mengejutkannya.
“Jing Gege, apa yang kau pikirkan?” sebuah suara lembut menyapanya. 

Guo Jing merasakan pemilik suara itu kini duduk di sampingnya dan dia merasakan sebuah kepala mungil bersandar di dadanya dengan nyaman. 


Rong'er-nya yang baru saja dipikirkannya mendadak muncul di sampingnya, bersandar dengan nyaman dalam pelukannya. Guo Jing mengangkat kedua lengannya dan melingkarkannya di tubuh mungil istrinya.

“Kau. Aku memikirkanmu.” Jawab Guo Jing jujur, karena memang dia baru saja memikirkan Rong'er.

Rong'erterlihat kaget, dia mengangkat wajahnya memandang wajah suaminya heran.
“Aku? Kau memikirkanku?” tanyanya tak percaya.

“Rong'er...” panggil Guo Jing lembut, dia meraih tubuh istrinya lebih tegak agar bisa menatap matanya.
“Hhhmmm,” jawab Rong'er menggumam.

“Apa kau sakit? Apa lukamu yang dulu kambuh lagi?” tanya Guo Jing tiba-tiba, wajahnya tampak serius dan ketakutan terpancar di matanya. 

 

Rong'er tersenyum kecil, dia tahu suaminya sudah merasakan sesuatu yang tidak biasa pada dirinya.
“Aku tidak apa-apa. Jing Gege, lukaku sudah lama sembuh.” Jawabnya menenangkan suaminya, tapi tatapan mata Guo Jing mengindikasikan bahwa dia tak percaya.

“Tapi kau selalu muntah setiap pagi. Kau sering mual dan pusing, bahkan pingsan. Kau selalu tampak lelah dan pucat. Ada apa? Kau merasa tak sehat? Haruskah kita ke China Daratan untuk mencari tabib untukmu?” Guo Jing benar-benar terlihat cemas dan takut. 

Matanya memancarkan kepanikan dan kekhawatiran. Rong'er tahu Guo Jing sangat mencintainya dan begitu memperhatikan dirinya, dia merasa sangat bersyukur karena mendapatkan suami seperti suaminya saat ini.

“Jing Gege, sungguh aku tak apa-apa.” Jawabnya lagi seraya tersenyum semanis mungkin.
“Jing Gege, apa kau ingat apa yang kita bicarakan saat di Pulau Lembayung?” tanya Rong'er seraya kembali menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing.

“Tentu. Saat itu aku dan Rong'er membicarakan tentang bagaimana mendapatkan seorang anak.” Jawab Guo Jing sambil tersenyum lucu.

“Kita berdua masih sangat polos saat itu, kita berpikir seorang bayi akan keluar dari dalam batu.” Lanjut Guo Jing lalu tertawa lagi. 

Rong'er pun ikut tertawa mendengarnya. Mereka benar-benar tak mengerti saat itu. Tapi kini mereka mulai mengerti, apalagi jika anak itu kini berada dalam perutnya. Rong'er menyentuh perutnya yang masih langsing, tempat di mana bayinya yang masih berusia 1 bulan ada di sana.


“Apa kau ingat aku ingin ada seseorang yang memanggilku ibu?” tanya Rong'er lagi, mencoba memberi petunjuk.

“Tentu. Kau marah saat aku tak mau memanggilmu Ibu.” Jawab Guo Jing sambil tertawa lucu. Dia tak mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

“Jing Gege tidak mengerti maksudku.” Ujar Huang Rong kesal dalam hatinya.
“Apa kau tahu kenapa aku selalu muntah setiap pagi? Apa kau tahu kenapa aku selalu mual dan pusing? Kau tahu tidak kenapa aku selalu tampak lelah dan pucat?” tanya Rong'er lagi, memutar tubuhnya ke arah suaminya yang bodoh, yang tetap tak mengerti maksudnya.

“Bukankah tadi aku sudah menanyakannya? Apa kau sakit? Kau ingin istirahat sekarang?” wajah Guo Jing kembali terlihat cemas. Dia memandang istrinya dengan panik. Huang Rong mendesah kesal.

“Jing Gege, kenapa kau begitu bodoh? Mengesalkan.” Rong'er memasang wajah cemberut melihat suaminya masih belum mengerti juga. 

Dia membalikkan wajahnya membelakangi Guo Jing dan bertanya dalam hati, “Apa aku harus memberitahunya sekarang?” batin Rong Erl berperang. Dia ragu karena usia mereka masih sangat muda. Tapi melihat Guo Jing begitu mencintainya, tentu tak ada yang perlu dia khawatirkan.

“Jing Gege...” panggilnya lagi, lebih lembut dan lirih.
“Hhhmm..Apa kau ingin istirahat sekarang?” jawab Guo Jing seraya membelai lembut rambut istrinya yang duduk membelakanginya sambil menatap bintang di angkasa.
“Delapan bulan lagi, akan ada seseorang yang akan memanggilku ibu.” Ujar Rong'er akhirnya, masih membelakangi Guo Jing. Jantungnya berdetak kencang. Dalam hati dia merasa malu sekali.

“Hah?” hanya kalimat itu yang meluncur dari bibir suaminya. 
Huang Rong memutar tubuhnya lagi dan menatap suaminya dengan wajah memerah karena tersipu malu.

“Delapan bulan lagi, akan ada seseorang yang akan memanggilmu ayah.” Lanjut Huang Rong seraya menundukkan wajahnya.

Setelah beberapa menit dalam keheningan, wajah Guo Jing menyiratkan kebahagiaan, senyum bahagia terkembang di bibirnya dan matanya bersinar penuh kebanggaan. Akhirnya dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Dia mengerti kenapa istrinya begitu aneh selama sebulan terakhir ini.


“Rong'er, kau hamil? Apa kau baik-baik saja? Apa bayi kita baik-baik saja? Berapa usia kandunganmu sekarang? Apa Ayah Mertua sudah tahu? Haruskah kita memberitahu Guruku sekarang? Ah, kita harus mulai memilihkan nama untuknya.” Guo Jing memberikan banyak sekali pertanyaan pada istrinya, wajahnya begitu ceria. 

Dia tampak sangat bahagia mendengarnya. Huang Rong merasa lega karena Guo Jing begitu bahagia, awalnya dia mengira bahwa Guo Jing mungkin akan merasa tertekan karena mereka masih sangat muda.

“Segera beritahu Jing Erl tentang kehamilanmu, ayah yakin dia akan menyambut bahagia anak itu.” Huang Rong teringat ucapan ayahnya. 

Dalam hati dia tersenyum lega, “Ayah benar. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Jing Gege, menyambut bahagia berita ini.” Ujarnya lega.

“Rong'er...Rong'er, kau tak apa-apa? Benarkah kau sedang hamil?” Guo Jing terlihat lebih perhatian dari sebelumnya.

“Aku tidak apa-apa.” Jawabnya singkat sambil tertunduk malu.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Ujar Guo Jing menuntut jawaban. Huang Rong teringat dia belum memberikan jawabannya.

“Baik. Aku akan menjawab pertanyaanmu. Benar. Aku hamil, Jing Gege. Aku mengandung anakmu. Aku baik-baik saja. Bayi kita juga baik-baik saja. Sekarang usia kandunganku baru 1 bulan. Ayahku sudah tahu. Tapi sebaiknya kita memberitahu Guru besok saja. Dan soal nama, aku ingin kau yang mencarikan nama untuknya nanti. Tapi itu bisa kau lakukan setelah bayinya lahir. Bagaimana?” jawab Rong'er, menjawab semua pertanyaan suaminya yang mendengarkan dengan penuh minat. 

Guo Jing memandang istrinya penuh cinta lalu setetes air jatuh dari matanya. Dia sangat terharu lalu memeluk istrinya erat.

“Terima kasih. Kau membuat hidupku sempurna. Aku mencintaimu, Rong'er. Kau yang terindah yang pernah kudapatkan dalam hidupku.” Ujarnya tulus dan lembut. 

Huang Rong merasakan setetes air jatuh di pundaknya saat Guo Jing memeluknya. Dia balas memeluk suaminya erat dan untuk sesaat, mereka menikmati kehangatan di tubuh masing-masing.

“Tapi ayahku akan segera pergi dari sini. Aku sedikit sedih.” Ujar Rong'er teringat ayahnya. 
Guo Jing terlonjak kaget mendengar mertuanya akan pergi. Dia melonggarkan pelukannya dan menatap istrinya bingung.

“Kenapa tiba-tiba? Kapan ayah akan pergi?” tanya Guo Jing ingin tahu.
“Ayah memang suka seperti itu. Dia bilang akan pergi besok pagi dan akan memberikan pulau ini padaku.” Jawab Huang Rong sedih, diapun ikut menangis.

“Rong'er, kau jangan sedih. Jika kau sedih, bayinya juga akan ikut sedih.” Ujar Guo Jing lembut seraya menghapus air mata di pipi istrinya.

“Bagaimana jika besok kita mengantar ayah?” Guo Jing berusaha menghibur istrinya.
“Ayah tak suka diantar.” Jawab Huang Rong sambil menggeleng pelan. 
“Ohh.” Jawab Guo Jing terlihat kecewa.

“Jing Gege, setelah ayah pergi dari sini, Rong'er hanya punya kau. Kau takkan meninggalkan aku, kan? Kau akan tetap di sisi Rong'er, kan?” Huang Rong tiba-tiba merasa takut Guo Jing juga akan meninggalkannya seperti ayahnya.

Kau ini bicara apa? Aku tak mungkin meninggalkanmu. Apalagi kau sedang mengandung anakku. Kelak kita bertiga, kau, aku dan anak kita, akan terus bersama selamanya, takkan pernah terpisah.” Janji Guo Jing seraya menghapus air mata di pipi istrinya lalu meraih tubuh Rong'er dan kembali memeluknya hangat.

Perlahan, dia meletakkan sebelah tangannya di perut Rong'er dan berkata lirih, “Anakku ada di sini. Penerus keluarga Guo. Dan aku akan segera menjadi seorang Ayah.” Ucapnya lembut seraya membelai perut istrinya. Huang Rong tersenyum dalam pelukan suaminya, hatinya merasa sangat hangat.

“Rong'er, kita akan segera memiliki seorang anak, nanti aku akan mengajarkan semua ilmuku padanya.” Guo Jing berkata dengan bahagia, nada suaranya terdengar tidak sabar.

“Guo Da Xia (Pendekar Guo), anakmu baru akan lahir ke dunia 8 bulan lagi. Bisakah kau menunggu hingga dia lahir dan cukup umur baru mengajarkan ilmumu padanya?” goda istrinya sambil tersenyum geli melihat suaminya sangat tidak sabar.

“Peluk aku lebih erat. Kau membuatku lelah dengan semua pertanyaanmu.” Lanjut Huang Rong seraya menggerakkan kepalanya untuk membuat dirinya senyaman mungkin dalam pelukan Guo Jing. 

Guo Jing mengangguk pelan dan kembali melingkarkan kedua lengannya di tubuh mungil istrinya, memeluknya lebih erat agar tidak kedinginan. Dengan tangan kanannya diletakkan di atas perut Rong'er, seolah-olah ingin melindungi anaknya dari bahaya.

“Aku mencintaimu, Rong'er. Kau dan anak kita. Kalian berdua adalah harta terindah dalam hidupku.” Bisiknya lembut di telinga istrinya.

Huang Rong menegakkan kepalanya dan memutar tubuhnya sedikit kearah suaminya, dia menangkupkan kedua tangannya di pipi Guo Jing dan berkata pelan, “Aku juga mencintaimu, Jing Gege. Kau dan anak kita. Kalian berdua adalah harta terindah dalam hidupku. Aku bahagia bisa menjadi Ibu dari anakmu.” Ujarnya tak kalah lembut seraya menatap Guo Jing penuh cinta lalu kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium bibir suaminya dengan lembut.

Ciuman yang awalnya direncanakan hanya sebuah ciuman singkat kini berubah menjadi menuntut saat tiba-tiba Guo Jing menggendong tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam kamar. 

Guo Jing membaringkan tubuh istrinya keatas ranjang dengan lembut dan bertanya, “Aku takut jika perutmu semakin besar, kita akan kesulitan melakukannya. Apakah bayi kita akan terluka jika kita melakukannya?” tanya Guo Jing memastikan walau tatapan matanya sudah berkobar penuh gairah.

“Kurasa tidak.” Jawab Huang Rong sambil tersenyum, mengerti apa yang diinginkan suaminya. 
Guo Jing tersenyum lega mendengarnya lalu kembali mencium bibir istrinya dan dengan lembut dia melepas pakaian yang membatasi mereka.

“Sepertinya suamiku sudah mulai tidak sabar. Jing Gege, sejak kapan kau jadi begitu bergairah?” goda Huang Rong saat dengan tak sabar Guo Jing menarik lepas bajunya.

“Entahlah. Mungkin sejak aku sadar, aku tak bisa hidup tanpamu.” Jawabnya penuh cinta lalu kembali membenamkan dirinya di dada Rong'er.

Guo Jing membelai, mencium dan mencumbu dada istrinya yang ranum, membuat Rong'er mendesah lirih. Dan saat dia tiba di tempat tujuannya, Rong'er menahannya sesaat, “Jing Gege, pelan-pelan. Ingatlah aku sedang mengandung anakmu,” Huang Rong dengan lembut mengingatkan. 

Guo Jing mengangguk mantap dan menjawab, “Aku tahu. Aku takkan menyakiti kalian berdua,” jawabnya lalu tanpa menunggu lama, mereka berdua kembali tenggelam dalam kenikmatan.

“Rong'er, aku tidak menyakitimu, kan?” tanya Guo Jing cemas sambil membelai lembut rambut istrinya setelah sesi percintaan panas mereka .

Huang Rong menggeleng pelan di dada suaminya. “Kau tak pernah menyakitiku, Jing Gege,” Rong'er meyakinkan suaminya. 

Guo Jing menarik napas lega, “Kupikir aku menyakitimu saat mendengarmu menjerit tadi.” Ujar Guo Jing tegang. 

Huang Rong tertawa sambil memukul pelan dada Guo Jing. 
Aku menjerit karena nikmat. Dasar kakak bodoh.” Huang Rong menjawab dengan malu. Lalu kemudian dia teringat ucapan ayahnya lagi lalu tertawa pelan.

“Rong'er, ada apa? Kenapa tiba-tiba kau tertawa?” tanya Guo Jing tak mengerti.
“Aku ingat ucapan ayah yang mengatakan dia justru akan sangat heran bila aku tidak hamil mengingat seringnya kita berhubungan.” Jawab Huang Rong dengan wajah memerah malu. 

Namun Guo Jing terdiam, dia juga merasa sangat malu pada ayah mertuanya karena tidak mampu menahan dirinya.
“Ayah mertua pasti berpikir kalau aku adalah pria brengsek seperti Ou Yang Khe karena tidak mampu menahan diriku. Aku sungguh bodoh dan tak tahu malu.” Guo Jing menyalahkan dirinya sendiri.

“Tidak. Kau tak sama seperti Ou Yang Khe. Kita sudah menikah, tentu kasusnya beda. Tapi Ou Yang Khe, dia...” Huang Rong terdiam seketika saat teringat Ou Yang Khe hampir saja memperkosanya saat mereka terdampar di pulau terpencil saat itu. 

Melihat istrinya terdiam, Guo Jing menyadari ada yang tidak beres.
“Ada apa? Apa Ou Yang Khe telah melakukan sesuatu yang tidak pantas padamu?” Guo Jing bertanya dengan marah. Tiba-tiba dia merasa marah membayangkan ada pria lain yang menyentuh gadis yang dicintainya.

“Saat di pulau terpencil, Ou Yang Khe hampir saja memperkosaku. Untung saja ada Guru, bila tidak, mungkin aku sudah...” Huang Rong kembali terdiam, perlahan air matanya menetes lagi. Dia sangat takut bila mengingat hal itu. 

Guo Jing merasakan kemarahan dalam dadanya saat membayangkan Rong'er-nya begitu ketakutan saat pria brengsek itu hampir memperkosanya. Dia menarik Rong'er ke dalam pelukannya dan memeluknya semakin erat.

“Jangan menangis. Maafkan aku tidak bisa melindungimu saat itu.” Jawab Guo Jing menyesal.
Tapi Huang Rong menggeleng pelan, “Itu bukan salahmu. Kami semua berpikir kau sudah mati tenggelam di laut.” Jawab Huang Rong menenangkan suaminya.

“Untung saja dia sudah mati. Jika tidak, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Guo Jing masih merasakan kemarahan dalam dadanya. Dia tidak rela ada pria lain yang menyentuh Rong'er-nya walau hanya seujung rambut saja.

“Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?” Guo Jing menuntut jawaban.
“Sudahlah Jing Gege, bukankah sekarang Ou Yang Khe sudah mati? Dia sudah mendapatkan balasannya.” Huang Rong berusaha menenangkan. Guo Jing terdiam, Rong'er benar. Tak ada gunanya mengingat masa lalu.

“Mulai sekarang lupakan masa lalu dan kita mulai hidup baru yang lebih indah. Kau, aku dan anak kita. Bagaimana?” rayu Rong'er sambil membelai lembut dada suaminya dengan tangannya. Guo Jing tersenyum lega, bukankah yang terpenting sekarang Rong'er miliknya.

“Benar. Aku akan melindungimu mulai sekarang. Selama ada aku di sisimu, tak ada seorangpun yang bisa menyakitimu. Kita lupakan masa lalu dan mulai hidup baru. Kau, aku dan anak kita.” Jawab Guo Jing setuju, hatinya dipenuhi kegembiraan dan kehangatan setiap kali mengingat soal bayi mereka.

“Dengan 18 Jurus Penakluk Naga-mu yang begitu hebat, siapa yang berani mencari masalah denganmu?” goda istrinya sambil tersenyum nakal.
“Rong'er, aku serius.” Jawab Guo Jing serius.

“Aku juga serius. Dengan Jing Gege (Kakak Jing) di sisiku, aku tak takut pada apa pun.” Jawab Huang Rong sambil tersenyum gembira. Guo Jing membalas senyuman manis itu dengan sebuah pelukan erat di tubuh mungilnya.

“Kau begitu cantik dan menawan, tak heran Ou Yang Khe begitu terpesona. Tapi kau milikku sekarang. Hanya milikku!” Guo Jing berkata tegas dan dalam, tapi tatapan penuh cinta tergambar jelas di matanya.

“Benar. Aku hanya milikmu.” Jawab Huang Rong sambil tersenyum penuh cinta lalu kembali menyandarkan kepalanya di dada suaminya lalu perlahan tertidur pulas.

To Be Continued....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads