Jumat, 30 Januari 2015

(FF) Legend Of The Condor Heroes After Story : Chapter 7

Author : Liana Hwie

Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017

 





“Chapter 7 – Afraid Of Losing You”

Musim semi di Pulau Bunga Persik sangatlah indah. Bunga-bunga Persik bermekaran menambah indah suasana pulau tersebut di bulan kelima. Dunia seolah ikut tersenyum menantikan kelahiran bayi mungil Guo Jing dan Huang Rong. 

Saat ini, kehamilan Huang Rong sudah memasuki bulan kesembilan, hanya beberapa minggu lagi Huang Rong akan melahirkan bayi pertama mereka.

“Rong'er lahir di pulau yang indah ini, dan anak kami juga akan lahir di pulau yang indah ini,” ujar Guo Jing dalam hati sambil mengagumi indahnya musim semi di Pulau Persik.


Tapi indahnya pemandangan musim semi di Pulau Bunga Persik tidak seiring dengan suasana hati Guo Jing belakangan ini. Seharusnya Guo Jing merasa bahagia karena akan menyambut kelahiran anak pertamanya, tapi entah kenapa, kebahagiaan itu langsung hilang bila mengingat apa yang terjadi dengan Ibu Mertuanya. 


Dia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa Ibu Mertuanya meninggal setelah melahirkan Huang Rong ke dunia. Dia takut. Takut sekali. Sangat takut bila nanti istrinya akan mengalami hal yang sama seperti Ibu Mertuanya. Guo Jing tak bisa membayangkan bagaimana seandainya ketakutannya menjadi kenyataan.


Sejak dua bulan yang lalu dia terus gelisah dan khawatir sepanjang waktu. Tidak peduli bagaimanapun dia berusaha menghilangkan kekhawatiran itu, faktanya dia tetap gelisah sepanjang waktu. Tidur tak nyenyak, makan pun tak enak. 

Di depan Rong'er, dia berusaha tersenyum. Berpura-pura tak terjadi apa-apa, tapi sebenarnya dalam hatinya dia sangat tersiksa. Ketakutan mencengkeramnya setiap hari. 

Semakin hari dia semakin takut kehilangan istrinya. Dia tak tahu harus mencurahkan isi hatinya pada siapa. Jadi yang bisa dia lakukan adalah mengunjungi makam ibunya dan menceritakan semua kekhawatirannya pada makam itu. Berdoa, meminta restu dari ibunya agar melindungi istri dan calon anaknya.

Dia pun berlatih lebih keras dari biasanya. Dengan harapan bila tubuhnya lelah, maka saat malam pun dia bisa tidur dengan nyenyak. Dengan begitu dia takkan memimpikan mimpi buruk yang belakangan ini selalu membuatnya terbangun saat malam. 

Tapi semua sia-sia, walau tubuhnya merasa sangat lelah, tapi otaknya tak mau bekerja sama. Dia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia takut saat dia membuka matanya, Rong'er akan menghilang dari hadapannya.

Aku tidak bisa hidup tanpamu. Rong'er, apa yang harus kulakukan bila sesuatu yang buruk menimpamu?” ujar Guo Jing dalam hati setiap dia memandangi wajah istrinya yang tertidur di sampingnya. 

Berbeda dengan dirinya yang selalu cemas setiap waktu, Rong'er justru terlihat sangat bahagia. Dia tak sabar menantikan kelahiran anak pertama mereka. 

Guo Jing selalu menangkap basah istrinya dengan asyik merajut baju bayi mungil yang cantik. Guo Jing tak mau istrinya terlalu lelah, jadi dia selalu mengomel setiap kali melihat Rong'er melakukannya.

“Sudah kubilang kau tak boleh terlalu lelah. Berikan itu padaku!” ujar Guo Jing merampas rajutan baju bayi itu lalu menyimpannya.

“Jing Gege, kau tak mengizinkan aku melakukan apa pun. Aku sangat bosan. Kau melarangku memasak, kau melarangku merajut. Kau hanya menyuruhku tidur sepanjang waktu. Apa kau ingin mengubahku menjadi babi?” Rong'er memprotes suaminya sambil merengut saat suaminya merampas rajutan baju bayi itu.

“Aku tak mau kau terlalu lelah.” Guo Jing beralasan.
“Merajut takkan membuatku lelah,” protes Huang Rong lagi.
Siapa bilang itu tidak membuat lelah? Matamu harus selalu jeli jika tak mau tertusuk jarum, benar kan?” Guo Jing tetap bersikeras melarang.

“Tapi bayi kita butuh baju. Apa kau mau dia telanjang?” Huang Rong tetap memprotes.
“Nyonya Wang sudah membantu kita untuk membuat baju untuknya,” bujuk Guo Jing lembut seraya duduk di samping istrinya yang masih cemberut dan melingkarkan lengannya di pundaknya.

“Tapi Nyonya Wang hanya membuat baju bayi perempuan. Aku ingin anak laki-laki yang bisa meneruskan namamu. Itu sebabnya aku membuat baju bayi laki-laki untuknya,” protes Huang Rong lagi. Faktanya, dia memang menginginkan seorang anak laki-laki yang bisa menjadi penerus nama keluarga Guo.

Guo Jing tersenyum seraya berkata pelan, “Aku yang memintanya untuk merajut baju untuk anak perempuan,” jawabnya ringan.

“Kenapa?” tanya Rong'er seraya menatap suaminya heran.
“Apanya yang kenapa?” tanya Guo Jing tak mengerti.
“Kenapa kau memintanya merajut baju untuk anak perempuan?” Huang Rong memperjelas pertanyaannya.

“Karena aku menginginkan seorang anak perempuan yang nantinya akan cantik seperti ibunya,” jawab Guo Jing tulus dengan mata menatap Huang Rong penuh cinta. 

Huang Rong merasakan rasa haru di hatinya.
Apa kau tak ingin anak laki-laki yang bisa meneruskan namamu?” tanya Huang Rong lagi, ingin tahu.

“Sebenarnya bagiku laki-laki atau perempuan sama saja, asal kau bisa selamat saat melahirkan anak itu, aku tak peduli dia laki-laki atau perempuan,” jawab Guo Jing jujur. 

Faktanya, yang terpenting baginya sekarang adalah istrinya bisa selamat. Bayi laki-laki atau perempuan, dia sama sekali tidak memikirkannya.

“Lagipula, aku takut jika yang lahir anak laki-laki, dia akan bodoh sama seperti ayahnya,”  jawab Guo Jing dengan ekspresi sedih. 

Dia menyadari bahwa dia memang bodoh, jadi dia takut anaknya nanti akan sebodoh dirinya. Mendengar ini, Huang Rong tertawa terpingkal-pingkal.

“Jing Gege, kau memang bodoh. Untuk apa kau pikirkan hal itu? Lagipula, apa karena ayahnya bodoh lantas anaknya juga ikut bodoh? Sama seperti yang pernah kukatakan pada Guru ke-1, apa karena dia buta, lantas anaknya juga ikut buta? Tidak, kan? Jangan pernah berpikir seperti itu.” Jawab Huang Rong membesarkan hati suaminya yang sedih.

“Lagipula...” tambahnya lagi seraya menangkup wajah Guo Jing dengan kedua tangannya dan menatap matanya lembut. 

“Walau kau bodoh, kau memiliki hati yang baik, jujur, polos, selalu membela kebenaran dan berjiwa ksatria. Dan yang paling penting, kau sepenuh hati mencintaiku. Jika aku menginginkan suami yang pintar, aku pasti sudah memilih Ou Yang Khe, benarkan? Jangan memandang rendah dirimu sendiri dan jangan memandang rendah anakmu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin kelak salah satu anak kita, bisa menjadi Pendekar Besar sepertimu. Mungkin bukan yang ini, tapi mungkin anak kita yang lain, siapa yang tahu,” jawab Huang Rong membesarkan hati suaminya. 

Tanpa dia sadari, ucapannya akan menjadi kenyataan. Karena kelak anak kedua mereka, Guo Xiang, akan menjadi Pendekar Wanita yang hebat dan mendirikan partai besar dan ternama, Gobi Pay.

Guo Jing tersenyum mendengar ucapan istrinya tapi dia tetap berkata, “Tapi aku tetap menginginkan seorang bayi perempuan. Bayi perempuan yang akan secantik ibunya.” Jawab Guo Jing bangga pada istrinya. Huang Rong menarik napas, mengalah pada keinginan suaminya.

“Baiklah. Terserah kau saja bila kau menginginkan anak perempuan. Kita lihat saja apa yang Tuhan berikan pada kita. Laki-laki atau perempuan sama saja, benarkan? Yang penting aku sangat bahagia bisa menjadi Ibu dari anakmu,” jawab Rong Erl akhirnya, sambil tersenyum penuh cinta pada suaminya. Guo Jing balas tersenyum lalu menarik istrinya ke dalam pelukannya erat.

Hari itu, Guo Jing berlatih seperti biasanya di dalam hutan Persik. Hatinya semakin cemas karena menurut prediksi Nyonya Wang, Huang Rong akan melahirkan kurang dari seminggu ini. 

Rasa takut semakin mencengkeramnya. Karena dia tidak memiliki siapa pun untuk berbagi cerita, dia melampiaskan kekesalan, kesedihan, ketakutan, dan kegelisahan dalam hatinya dengan berlatih kungfu di hutan.

Rong'er yang cerdas bisa merasakan ada sesuatu yang salah dengan suaminya. Sesuatu telah membebani pikirannya. Guo Jing jadi sering melamun, tak banyak bicara, kadang dia menangkap basah Guo Jing memandanginya dengan sorot mata penuh kesedihan dan ketakutan. 

Beberapa bulan belakangan ini bahkan Guo Jing berlatih lebih keras dari biasanya. Tapi Rong'er tak bisa menebak apa sebabnya.

Sama seperti malam ini, Rong'er yang menunggu suaminya pulang dari berlatih kungfu hanya bisa mengeluh pada bayi dalam perutnya. 

“Semakin hari ayahmu semakin aneh dan aneh. Ibu tahu ada yang membebani pikirannya tapi ayahmu tak mau mengatakannya pada Ibu...” tiba-tiba kalimatnya terhenti saat dia mendengar suara langkah kaki di depan pintu.

“Ayahmu sudah pulang,” ujarnya ceria, tahu bahwa itu adalah suara langkah kaki Guo Jing. 
Tak lama kemudian Guo Jing muncul dari balik pintu dan tersenyum lembut melihat istrinya menyambutnya dengan senyuman. Guo Jing yang melihat istrinya sedang berdiri di beranda, perlahan menghampirinya.

“Kau sedang memandang bintang?” tanyanya lembut seraya memeluk tubuh mungil istrinya dan mereka berdua kembali memandang bintang di angkasa. 

Huang Rong menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing seraya mengangguk pelan.
“Bintangnya sangat indah, kan?” tanyanya seraya mengagumi ciptaan Tuhan.

Guo Jing mengangguk pelan, “Sama indah seperti dirimu. Rong'er dan bintang, aku tak tahu mana yang lebih indah?” jawab Guo Jing jujur, membuat pipi Rong Erl memerah karena malu.

Sejak kapan kau jadi puitis?” goda istrinya malu-malu.
“Benarkah? Aku tak bermaksud menjadi puitis, hanya saja memang itu yang kurasakan dalam hatiku,” jawab Guo Jing polos seraya menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum bodoh. 

Huang Rong terdiam, terharu mendengar ucapan suaminya, lalu dia teringat dengan sikap Guo Jing yang aneh belakangan ini dan memutuskan untuk bertanya.

“Jing Gege, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Rong'er lirih, dia mendongakkan kepalanya dan menatap mata Guo Jing yang terlihat terkejut akan pertanyaannya.

“Kau tahu?” Guo Jing balik bertanya, dia tak menyangka istrinya akan tahu. 
Selama ini dia berpikir sudah menyembunyikan rapat-rapat apa yang ada dalam hatinya.

“Aku istrimu. Tentu saja aku tahu. Apa yang kau pikirkan? Apa yang membebanimu selama ini? Apa kau sakit?” tanya Huang Rong terlihat sangat khawatir. Dia memutar tubuhnya dan membelai pipi suaminya dengan penuh cinta.

“Rong'er, aku...” Guo Jing tak bisa menjawab. Dia tak ingin membuat Rong'er-nya menjadi ikut cemas.


“Aku sering melihatmu melamun. Tubuhmu ada di sini, tapi pikiranmu melayang entah ke mana. Aku sering melihatmu menangis di depan makam Ibu Mertua. Kau juga berlatih sangat keras dan lebih keras setiap hari, seolah-olah kau sengaja ingin membuat tubuhmu kelelahan. Jing Gege, apa yang terjadi? Katakan padaku apa yang terjadi! Aku tak mau kau sakit,” ujar Rong Erl tetap membelai pipi suaminya dengan setetes air jatuh dari matanya.

“Kau harus memberitahuku. Jangan buat aku cemas!” ujar Rong'er, tetap dengan air mata menetes pelan. 

Dia benar-benar takut telah terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya. Melihat Rong'erl-nya menangis, Guo Jing tak tahu harus bagaimana.

“Rong'er, jangan menangis. Aku tak bermaksud untuk membuatmu cemas,” ujarnya lembut, meraih tangan Rong'er di pipinya dan menggenggamnya erat, lalu dia kembali memeluk istrinya dan mendekapnya ke dalam dadanya.


“Yang sebenarnya terjadi adalah...” Guo Jing terdiam sesaat sebelum melanjutkan.
“Aku sangat takut. Takut sekali. Aku tak pernah merasa setakut ini sebelumnya dalam hidupku.” Guo Jing berbisik dengan suaranya yang terdengar sangat tertekan dan menderita, dia mengeratkan pelukannya di tubuh istrinya, seolah-olah takut istrinya akan menghilang bila dia melepaskan pelukannya.

“Apa yang kau takutkan?” tanya Huang Rong tak mengerti. Yang dia tahu, Guo Jing adalah orang yang sangat berani.
“Aku takut kehilanganmu,” jawab Guo Jing dengan suara gemetar. 

Huang Rong merasakan setetes air jatuh di pundaknya. Dia tahu Guo Jing sedang meneteskan air mata. Hatinya merasa sangat sakit sekaligus menjadi hangat. 

Dia tahu Guo Jing sangat mencintainya, tapi mendengarnya mengatakan ini langsung padanya, membuat hatinya sangat terharu dan bahagia. Air mata itu menandakan bahwa dia sangat penting di hati suaminya.


“Dan kenapa kau harus kehilanganku?” tanya Huang Rong lembut, sambil tetap menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing yang bidang, menikmati kehangatan pelukannya. Dan perlahan dia mendongakkan kepalanya lagi seraya menghapus air mata di pipi suaminya.

“Kita semua tahu bahwa Ibumu meninggal setelah melahirkanmu. Aku takut...aku takut kau akan mengikuti jejak ibumu, akan meninggalkanku setelah anak kita lahir ke dunia,” jawab Guo Jing jujur, tetap dengan sorot mata penuh ketakutan dan airmata kesedihan jatuh dipipinya. 

Hati Huang Rong lega sekaligus sedih. Dia lega karena ternyata hal inilah yang membebani hati suaminya, awalnya dia sangat takut jika ada sesuatu yang lain. Mungkin serangan Mongol ke China atau entah apalagi.

Di sisi lain, Guo Jing merasa sedikit lega setelah menceritakan apa yang mengganggu pikirannya. Ini adalah alasan kenapa dia merasa sangat frustasi, depresi, cemas dan putus asa selama beberapa bulan terakhir ini. 

Berbagai bayangan menakutkan menghantui pikirannya, sejujurnya, dia bukanlah orang yang imajinatif tapi bila itu menyangkut orang yang dicintainya, dalam hal ini istri dan anaknya, Guo Jing mendadak menjadi orang yang penuh dengan imajinasi. 

Mengetahui kenyataan bahwa Ibu Huang Rong meninggal saat melahirkannya, membuatnya semakin takut. Dia sering terbangun di tengah malam karena bermimpi buruk, dia bermimpi Ronger-nya meninggal saat melahirkan anak mereka.

Sebagai pelariannya, dia berlatih lebih keras dari sebelumnya, sengaja membuat tubuhnya kelelahan. 
Dan karena tidak ingin membuat istrinya cemas, dia juga lebih sering mengunjungi makam ibunya untuk meminta restu dari Ibunya di Surga agar memberkati istri dan anaknya. 

Tapi siapa sangka, justru tindakannya ini membuat Rong'er jauh lebih cemas.


“Sha Gege (Kakak Bodoh), aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku janji. Kau takkan pernah  kehilangan aku!” ujar Huang Rong mencoba menenangkan suaminya yang masih terlihat ketakutan.

“Ibuku meninggal saat melahirkan aku karena sebelumnya Ibu telah kelelahan saat menulis ulang Kitab 9 bulan untuk ayahku. Tapi lihat aku sekarang, aku sangat sehat. Kau sudah menjagaku dengan sangat baik. Aku makan dengan teratur, aku tidur dengan teratur, aku juga minum obat dengan teratur. Jadi aku takkan pergi dan meninggalkanmu. Kau tak perlu terlalu cemas seperti itu,” Huang Rong menjelaskan dengan sangat sabar pada suaminya. 

Dia kembali menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing dan merasakan jantung suaminya sudah kembali berdetak normal, dia sudah lebih tenang sekarang.

“Kau takkan pernah meninggalkan aku sendirian di dunia ini, kan? Berjanjilah padaku kau takkan pernah lagi tinggalkan aku,” Guo Jing berbisik lembut seraya membelai rambut istrinya.

Huang Rong mengangguk mantap dalam pelukan Guo Jing, “Ya. Aku berjanji. Kita bertiga takkan pernah berpisah. Kau, aku dan bayi kita. Apa itu cukup untukmu?” tanya Huang Rong lagi dengan lembut. 

Guo Jing adalah orang yang kuat dan tegar, melihatnya menjadi begini rapuh dan tertekan, benar-benar membuatnya hatinya sakit.


“Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisimu. Kau milikku dan aku milikmu. Bukankah sebelumnya kita sudah berjanji bahwa kita akan hidup dan mati bersama?” Huang Rong kembali menenangkan suaminya, dia berbisik di dada suaminya yang bidang. Huang Rong merasakan Guo Jing menganggukkan kepalanya kuat.

“Benar. Kita sudah berjanji akan selamanya bersama. Hidup dan mati bersama (Yi chi cheng, yi chi she). Aku mencintaimu. Rong'er, jangan pernah tinggalkan aku sendiri di dunia ini," Ujar Guo Jing penuh cinta, seraya merengkuh Rong Erl semakin erat dalam pelukannya.

To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads