Author : Liana Hwie
Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
Li Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017
“Chapter 7 – Afraid Of Losing You”
Musim semi di Pulau Bunga Persik sangatlah indah.
Bunga-bunga Persik bermekaran menambah indah suasana pulau tersebut di bulan
kelima. Dunia seolah ikut tersenyum menantikan kelahiran bayi mungil Guo Jing
dan Huang Rong.
Saat ini, kehamilan Huang Rong sudah memasuki bulan kesembilan, hanya beberapa minggu lagi Huang Rong akan melahirkan bayi pertama mereka.
Saat ini, kehamilan Huang Rong sudah memasuki bulan kesembilan, hanya beberapa minggu lagi Huang Rong akan melahirkan bayi pertama mereka.
“Rong'er lahir di pulau yang indah ini, dan anak
kami juga akan lahir di pulau yang indah ini,” ujar Guo Jing dalam hati sambil
mengagumi indahnya musim semi di Pulau Persik.
Tapi indahnya pemandangan musim semi di Pulau Bunga
Persik tidak seiring dengan suasana hati Guo Jing belakangan ini. Seharusnya
Guo Jing merasa bahagia karena akan menyambut kelahiran anak pertamanya, tapi
entah kenapa, kebahagiaan itu langsung hilang bila mengingat apa yang terjadi
dengan Ibu Mertuanya.
Dia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa Ibu Mertuanya meninggal setelah melahirkan Huang Rong ke dunia. Dia takut. Takut sekali. Sangat takut bila nanti istrinya akan mengalami hal yang sama seperti Ibu Mertuanya. Guo Jing tak bisa membayangkan bagaimana seandainya ketakutannya menjadi kenyataan.
Dia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa Ibu Mertuanya meninggal setelah melahirkan Huang Rong ke dunia. Dia takut. Takut sekali. Sangat takut bila nanti istrinya akan mengalami hal yang sama seperti Ibu Mertuanya. Guo Jing tak bisa membayangkan bagaimana seandainya ketakutannya menjadi kenyataan.
Sejak dua bulan yang lalu dia terus gelisah dan
khawatir sepanjang waktu. Tidak peduli bagaimanapun dia berusaha menghilangkan
kekhawatiran itu, faktanya dia tetap gelisah sepanjang waktu. Tidur tak
nyenyak, makan pun tak enak.
Di depan Rong'er, dia berusaha tersenyum. Berpura-pura tak terjadi apa-apa, tapi sebenarnya dalam hatinya dia sangat tersiksa. Ketakutan mencengkeramnya setiap hari.
Di depan Rong'er, dia berusaha tersenyum. Berpura-pura tak terjadi apa-apa, tapi sebenarnya dalam hatinya dia sangat tersiksa. Ketakutan mencengkeramnya setiap hari.
Semakin hari dia semakin takut kehilangan
istrinya. Dia tak tahu harus mencurahkan isi hatinya pada siapa. Jadi yang bisa
dia lakukan adalah mengunjungi makam ibunya dan menceritakan semua
kekhawatirannya pada makam itu. Berdoa, meminta restu dari ibunya agar
melindungi istri dan calon anaknya.
Dia pun berlatih lebih keras dari biasanya. Dengan
harapan bila tubuhnya lelah, maka saat malam pun dia bisa tidur dengan nyenyak.
Dengan begitu dia takkan memimpikan mimpi buruk yang belakangan ini selalu membuatnya
terbangun saat malam.
Tapi semua sia-sia, walau tubuhnya merasa sangat lelah, tapi otaknya tak mau bekerja sama. Dia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia takut saat dia membuka matanya, Rong'er akan menghilang dari hadapannya.
Tapi semua sia-sia, walau tubuhnya merasa sangat lelah, tapi otaknya tak mau bekerja sama. Dia tetap tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia takut saat dia membuka matanya, Rong'er akan menghilang dari hadapannya.
“Aku tidak bisa hidup tanpamu. Rong'er, apa yang
harus kulakukan bila sesuatu yang buruk menimpamu?” ujar Guo Jing dalam hati
setiap dia memandangi wajah istrinya yang tertidur di sampingnya.
Berbeda
dengan dirinya yang selalu cemas setiap waktu, Rong'er justru terlihat sangat
bahagia. Dia tak sabar menantikan kelahiran anak pertama mereka.
Guo Jing selalu menangkap basah istrinya dengan asyik merajut baju bayi mungil yang cantik. Guo Jing tak mau istrinya terlalu lelah, jadi dia selalu mengomel setiap kali melihat Rong'er melakukannya.
Guo Jing selalu menangkap basah istrinya dengan asyik merajut baju bayi mungil yang cantik. Guo Jing tak mau istrinya terlalu lelah, jadi dia selalu mengomel setiap kali melihat Rong'er melakukannya.
“Sudah kubilang kau tak boleh terlalu lelah.
Berikan itu padaku!” ujar Guo Jing merampas rajutan baju bayi itu lalu
menyimpannya.
“Jing Gege, kau tak mengizinkan aku melakukan
apa pun. Aku sangat bosan. Kau melarangku memasak, kau melarangku merajut. Kau
hanya menyuruhku tidur sepanjang waktu. Apa kau ingin mengubahku menjadi babi?”
Rong'er memprotes suaminya sambil merengut saat suaminya merampas rajutan baju
bayi itu.
“Aku tak mau kau terlalu lelah.” Guo Jing
beralasan.
“Merajut takkan membuatku lelah,” protes Huang Rong
lagi.
“Siapa bilang itu tidak membuat lelah? Matamu harus
selalu jeli jika tak mau tertusuk jarum, benar kan?” Guo Jing tetap bersikeras
melarang.
“Tapi bayi kita butuh baju. Apa kau mau dia
telanjang?” Huang Rong tetap memprotes.
“Nyonya Wang sudah membantu kita untuk membuat baju
untuknya,” bujuk Guo Jing lembut seraya duduk di samping istrinya yang masih
cemberut dan melingkarkan lengannya di pundaknya.
“Tapi Nyonya Wang hanya membuat baju bayi
perempuan. Aku ingin anak laki-laki yang bisa meneruskan namamu. Itu sebabnya
aku membuat baju bayi laki-laki untuknya,” protes Huang Rong lagi. Faktanya, dia
memang menginginkan seorang anak laki-laki yang bisa menjadi penerus nama
keluarga Guo.
Guo Jing tersenyum seraya berkata pelan, “Aku yang
memintanya untuk merajut baju untuk anak perempuan,” jawabnya ringan.
“Kenapa?” tanya Rong'er seraya menatap suaminya
heran.
“Apanya yang kenapa?” tanya Guo Jing tak mengerti.
“Kenapa kau memintanya merajut baju untuk anak
perempuan?” Huang Rong memperjelas pertanyaannya.
“Karena aku menginginkan seorang anak perempuan
yang nantinya akan cantik seperti ibunya,” jawab Guo Jing tulus dengan mata
menatap Huang Rong penuh cinta.
Huang Rong merasakan rasa haru di hatinya.
Huang Rong merasakan rasa haru di hatinya.
“Apa kau tak ingin anak laki-laki yang bisa
meneruskan namamu?” tanya Huang Rong lagi, ingin tahu.
“Sebenarnya bagiku laki-laki atau perempuan sama
saja, asal kau bisa selamat saat melahirkan anak itu, aku tak peduli dia
laki-laki atau perempuan,” jawab Guo Jing jujur.
Faktanya, yang terpenting baginya sekarang adalah istrinya bisa selamat. Bayi laki-laki atau perempuan, dia sama sekali tidak memikirkannya.
Faktanya, yang terpenting baginya sekarang adalah istrinya bisa selamat. Bayi laki-laki atau perempuan, dia sama sekali tidak memikirkannya.
“Lagipula, aku takut jika yang lahir anak
laki-laki, dia akan bodoh sama seperti ayahnya,” jawab Guo Jing dengan ekspresi sedih.
Dia menyadari bahwa dia memang bodoh, jadi dia takut anaknya nanti akan sebodoh dirinya. Mendengar ini, Huang Rong tertawa terpingkal-pingkal.
Dia menyadari bahwa dia memang bodoh, jadi dia takut anaknya nanti akan sebodoh dirinya. Mendengar ini, Huang Rong tertawa terpingkal-pingkal.
“Jing Gege, kau memang bodoh. Untuk apa kau
pikirkan hal itu? Lagipula, apa karena ayahnya bodoh lantas anaknya juga ikut
bodoh? Sama seperti yang pernah kukatakan pada Guru ke-1, apa karena dia buta,
lantas anaknya juga ikut buta? Tidak, kan? Jangan pernah berpikir seperti itu.” Jawab
Huang Rong membesarkan hati suaminya yang sedih.
“Lagipula...” tambahnya lagi seraya menangkup wajah
Guo Jing dengan kedua tangannya dan menatap matanya lembut.
“Walau kau bodoh, kau memiliki hati yang baik, jujur, polos, selalu membela kebenaran dan berjiwa ksatria. Dan yang paling penting, kau sepenuh hati mencintaiku. Jika aku menginginkan suami yang pintar, aku pasti sudah memilih Ou Yang Khe, benarkan? Jangan memandang rendah dirimu sendiri dan jangan memandang rendah anakmu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin kelak salah satu anak kita, bisa menjadi Pendekar Besar sepertimu. Mungkin bukan yang ini, tapi mungkin anak kita yang lain, siapa yang tahu,” jawab Huang Rong membesarkan hati suaminya.
“Walau kau bodoh, kau memiliki hati yang baik, jujur, polos, selalu membela kebenaran dan berjiwa ksatria. Dan yang paling penting, kau sepenuh hati mencintaiku. Jika aku menginginkan suami yang pintar, aku pasti sudah memilih Ou Yang Khe, benarkan? Jangan memandang rendah dirimu sendiri dan jangan memandang rendah anakmu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin kelak salah satu anak kita, bisa menjadi Pendekar Besar sepertimu. Mungkin bukan yang ini, tapi mungkin anak kita yang lain, siapa yang tahu,” jawab Huang Rong membesarkan hati suaminya.
Tanpa dia sadari, ucapannya akan menjadi kenyataan.
Karena kelak anak kedua mereka, Guo Xiang, akan menjadi Pendekar Wanita yang
hebat dan mendirikan partai besar dan ternama, Gobi Pay.
Guo Jing tersenyum mendengar ucapan istrinya tapi
dia tetap berkata, “Tapi aku tetap menginginkan seorang bayi perempuan. Bayi
perempuan yang akan secantik ibunya.” Jawab Guo Jing bangga pada istrinya.
Huang Rong menarik napas, mengalah pada keinginan suaminya.
“Baiklah. Terserah kau saja bila kau menginginkan
anak perempuan. Kita lihat saja apa yang Tuhan berikan pada kita. Laki-laki
atau perempuan sama saja, benarkan? Yang penting aku sangat bahagia bisa
menjadi Ibu dari anakmu,” jawab Rong Erl akhirnya, sambil tersenyum penuh cinta
pada suaminya. Guo Jing balas tersenyum lalu menarik istrinya ke dalam
pelukannya erat.
Hari itu, Guo Jing berlatih seperti biasanya di
dalam hutan Persik. Hatinya semakin cemas karena menurut prediksi Nyonya Wang,
Huang Rong akan melahirkan kurang dari seminggu ini.
Rasa takut semakin mencengkeramnya. Karena dia tidak memiliki siapa pun untuk berbagi cerita, dia melampiaskan kekesalan, kesedihan, ketakutan, dan kegelisahan dalam hatinya dengan berlatih kungfu di hutan.
Rasa takut semakin mencengkeramnya. Karena dia tidak memiliki siapa pun untuk berbagi cerita, dia melampiaskan kekesalan, kesedihan, ketakutan, dan kegelisahan dalam hatinya dengan berlatih kungfu di hutan.
Rong'er yang cerdas bisa merasakan ada sesuatu
yang salah dengan suaminya. Sesuatu telah membebani pikirannya. Guo Jing jadi
sering melamun, tak banyak bicara, kadang dia menangkap basah Guo Jing
memandanginya dengan sorot mata penuh kesedihan dan ketakutan.
Beberapa bulan belakangan ini bahkan Guo Jing berlatih lebih keras dari biasanya. Tapi Rong'er tak bisa menebak apa sebabnya.
Beberapa bulan belakangan ini bahkan Guo Jing berlatih lebih keras dari biasanya. Tapi Rong'er tak bisa menebak apa sebabnya.
Sama seperti malam ini, Rong'er yang menunggu
suaminya pulang dari berlatih kungfu hanya bisa mengeluh pada bayi dalam
perutnya.
“Semakin hari ayahmu semakin aneh dan aneh. Ibu tahu ada yang membebani pikirannya tapi ayahmu tak mau mengatakannya pada Ibu...” tiba-tiba kalimatnya terhenti saat dia mendengar suara langkah kaki di depan pintu.
“Semakin hari ayahmu semakin aneh dan aneh. Ibu tahu ada yang membebani pikirannya tapi ayahmu tak mau mengatakannya pada Ibu...” tiba-tiba kalimatnya terhenti saat dia mendengar suara langkah kaki di depan pintu.
“Ayahmu sudah pulang,” ujarnya ceria, tahu bahwa
itu adalah suara langkah kaki Guo Jing.
Tak lama kemudian Guo Jing muncul dari balik pintu dan tersenyum lembut melihat istrinya menyambutnya dengan senyuman. Guo Jing yang melihat istrinya sedang berdiri di beranda, perlahan menghampirinya.
Tak lama kemudian Guo Jing muncul dari balik pintu dan tersenyum lembut melihat istrinya menyambutnya dengan senyuman. Guo Jing yang melihat istrinya sedang berdiri di beranda, perlahan menghampirinya.
“Kau sedang memandang bintang?” tanyanya lembut
seraya memeluk tubuh mungil istrinya dan mereka berdua kembali memandang
bintang di angkasa.
Huang Rong menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing seraya mengangguk pelan.
Huang Rong menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing seraya mengangguk pelan.
“Bintangnya sangat indah, kan?” tanyanya seraya mengagumi
ciptaan Tuhan.
Guo Jing mengangguk pelan, “Sama indah seperti dirimu. Rong'er dan bintang, aku tak tahu mana yang lebih indah?” jawab Guo Jing jujur, membuat pipi Rong Erl memerah karena malu.
“Sejak kapan kau jadi puitis?” goda istrinya
malu-malu.
“Benarkah? Aku tak bermaksud menjadi puitis, hanya
saja memang itu yang kurasakan dalam hatiku,” jawab Guo Jing polos seraya
menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum bodoh.
Huang Rong terdiam, terharu mendengar ucapan suaminya, lalu dia teringat dengan
sikap Guo Jing yang aneh belakangan ini dan memutuskan untuk bertanya.
“Jing Gege, apa ada sesuatu yang mengganggu
pikiranmu?” tanya Rong'er lirih, dia mendongakkan kepalanya dan menatap mata
Guo Jing yang terlihat terkejut akan pertanyaannya.
“Kau tahu?” Guo Jing balik bertanya, dia tak
menyangka istrinya akan tahu.
Selama ini dia berpikir sudah menyembunyikan rapat-rapat apa yang ada dalam hatinya.
Selama ini dia berpikir sudah menyembunyikan rapat-rapat apa yang ada dalam hatinya.
“Aku istrimu. Tentu saja aku tahu. Apa yang kau
pikirkan? Apa yang membebanimu selama ini? Apa kau sakit?” tanya Huang Rong
terlihat sangat khawatir. Dia memutar tubuhnya dan membelai pipi suaminya
dengan penuh cinta.
“Aku sering melihatmu melamun. Tubuhmu ada di sini,
tapi pikiranmu melayang entah ke mana. Aku sering melihatmu menangis di depan
makam Ibu Mertua. Kau juga berlatih sangat keras dan lebih keras setiap hari,
seolah-olah kau sengaja ingin membuat tubuhmu kelelahan. Jing Gege, apa yang
terjadi? Katakan padaku apa yang terjadi! Aku tak mau kau sakit,” ujar Rong Erl
tetap membelai pipi suaminya dengan setetes air jatuh dari matanya.
“Kau harus memberitahuku. Jangan buat aku cemas!” ujar
Rong'er, tetap dengan air mata menetes pelan.
Dia benar-benar takut telah terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya. Melihat Rong'erl-nya menangis, Guo Jing tak tahu harus bagaimana.
Dia benar-benar takut telah terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya. Melihat Rong'erl-nya menangis, Guo Jing tak tahu harus bagaimana.
“Rong'er, jangan menangis. Aku tak bermaksud untuk
membuatmu cemas,” ujarnya lembut, meraih tangan Rong'er di pipinya dan
menggenggamnya erat, lalu dia kembali memeluk istrinya dan mendekapnya ke dalam dadanya.
“Yang sebenarnya terjadi adalah...” Guo Jing
terdiam sesaat sebelum melanjutkan.
“Aku sangat takut. Takut sekali. Aku tak pernah merasa
setakut ini sebelumnya dalam hidupku.” Guo Jing berbisik dengan suaranya yang
terdengar sangat tertekan dan menderita, dia mengeratkan pelukannya di tubuh
istrinya, seolah-olah takut istrinya akan menghilang bila dia melepaskan
pelukannya.
“Apa yang kau takutkan?” tanya Huang Rong tak
mengerti. Yang dia tahu, Guo Jing adalah orang yang sangat berani.
“Aku takut kehilanganmu,” jawab Guo Jing dengan
suara gemetar.
Huang Rong merasakan setetes air jatuh di pundaknya. Dia tahu Guo Jing sedang meneteskan air mata. Hatinya merasa sangat sakit sekaligus menjadi hangat.
Dia tahu Guo Jing sangat mencintainya, tapi mendengarnya mengatakan ini langsung padanya, membuat hatinya sangat terharu dan bahagia. Air mata itu menandakan bahwa dia sangat penting di hati suaminya.
“Dan kenapa kau harus kehilanganku?” tanya Huang
Rong lembut, sambil tetap menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing yang bidang,
menikmati kehangatan pelukannya. Dan perlahan dia mendongakkan kepalanya lagi
seraya menghapus air mata di pipi suaminya.
“Kita semua tahu bahwa Ibumu meninggal setelah
melahirkanmu. Aku takut...aku takut kau akan mengikuti jejak ibumu, akan
meninggalkanku setelah anak kita lahir ke dunia,” jawab Guo Jing jujur, tetap
dengan sorot mata penuh ketakutan dan airmata kesedihan jatuh dipipinya.
Hati Huang Rong lega sekaligus sedih. Dia lega karena ternyata hal inilah yang membebani hati suaminya, awalnya dia sangat takut jika ada sesuatu yang lain. Mungkin serangan Mongol ke China atau entah apalagi.
Hati Huang Rong lega sekaligus sedih. Dia lega karena ternyata hal inilah yang membebani hati suaminya, awalnya dia sangat takut jika ada sesuatu yang lain. Mungkin serangan Mongol ke China atau entah apalagi.
Di sisi lain, Guo Jing merasa sedikit lega setelah
menceritakan apa yang mengganggu pikirannya. Ini adalah alasan kenapa dia
merasa sangat frustasi, depresi, cemas dan putus asa selama beberapa bulan
terakhir ini.
Berbagai bayangan menakutkan menghantui pikirannya, sejujurnya, dia bukanlah orang yang imajinatif tapi bila itu menyangkut orang yang dicintainya, dalam hal ini istri dan anaknya, Guo Jing mendadak menjadi orang yang penuh dengan imajinasi.
Berbagai bayangan menakutkan menghantui pikirannya, sejujurnya, dia bukanlah orang yang imajinatif tapi bila itu menyangkut orang yang dicintainya, dalam hal ini istri dan anaknya, Guo Jing mendadak menjadi orang yang penuh dengan imajinasi.
Mengetahui kenyataan bahwa Ibu Huang Rong
meninggal saat melahirkannya, membuatnya semakin takut. Dia sering terbangun di
tengah malam karena bermimpi buruk, dia bermimpi Ronger-nya meninggal saat
melahirkan anak mereka.
Sebagai pelariannya, dia berlatih lebih keras dari
sebelumnya, sengaja membuat tubuhnya kelelahan.
Dan karena tidak ingin membuat istrinya cemas, dia juga lebih sering mengunjungi makam ibunya untuk meminta restu dari Ibunya di Surga agar memberkati istri dan anaknya.
Tapi siapa sangka, justru tindakannya ini membuat Rong'er jauh lebih cemas.
Dan karena tidak ingin membuat istrinya cemas, dia juga lebih sering mengunjungi makam ibunya untuk meminta restu dari Ibunya di Surga agar memberkati istri dan anaknya.
Tapi siapa sangka, justru tindakannya ini membuat Rong'er jauh lebih cemas.
“Sha Gege (Kakak Bodoh), aku tidak akan pernah
meninggalkanmu. Aku janji. Kau takkan pernah kehilangan aku!” ujar Huang Rong mencoba
menenangkan suaminya yang masih terlihat ketakutan.
“Ibuku meninggal saat melahirkan aku karena sebelumnya
Ibu telah kelelahan saat menulis ulang Kitab 9 bulan untuk ayahku. Tapi lihat
aku sekarang, aku sangat sehat. Kau sudah menjagaku dengan sangat baik. Aku
makan dengan teratur, aku tidur dengan teratur, aku juga minum obat dengan
teratur. Jadi aku takkan pergi dan meninggalkanmu. Kau tak perlu terlalu cemas
seperti itu,” Huang Rong menjelaskan dengan sangat sabar pada suaminya.
Dia kembali menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing dan merasakan jantung suaminya sudah kembali berdetak normal, dia sudah lebih tenang sekarang.
Dia kembali menyandarkan kepalanya di dada Guo Jing dan merasakan jantung suaminya sudah kembali berdetak normal, dia sudah lebih tenang sekarang.
“Kau takkan pernah meninggalkan aku sendirian di dunia ini,
kan? Berjanjilah padaku kau takkan pernah lagi tinggalkan aku,” Guo Jing
berbisik lembut seraya membelai rambut istrinya.
Huang Rong mengangguk mantap dalam pelukan Guo Jing,
“Ya. Aku berjanji. Kita bertiga takkan pernah berpisah. Kau, aku dan bayi kita.
Apa itu cukup untukmu?” tanya Huang Rong lagi dengan lembut.
Guo Jing adalah orang yang kuat dan tegar, melihatnya menjadi begini rapuh dan tertekan, benar-benar membuatnya hatinya sakit.
Guo Jing adalah orang yang kuat dan tegar, melihatnya menjadi begini rapuh dan tertekan, benar-benar membuatnya hatinya sakit.
“Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku akan selalu
ada di sisimu. Kau milikku dan aku milikmu. Bukankah sebelumnya kita sudah
berjanji bahwa kita akan hidup dan mati bersama?” Huang Rong kembali
menenangkan suaminya, dia berbisik di dada suaminya yang bidang. Huang Rong
merasakan Guo Jing menganggukkan kepalanya kuat.
“Benar. Kita sudah berjanji akan selamanya bersama.
Hidup dan mati bersama (Yi chi cheng, yi chi she). Aku mencintaimu. Rong'er, jangan pernah tinggalkan aku sendiri di dunia ini," Ujar Guo Jing penuh cinta, seraya merengkuh Rong Erl semakin
erat dalam pelukannya.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar