Kamis, 29 Januari 2015

(FF) Legend Of The Condor Heroes After Story : Chapter 6

Author :: Liana Hwie
Starring :
William Yang Xuwen as Guo Jing (Kwee Cheng) 2017
LI Yi Tong as Huang Rong (Oey Yong) 2017





 
“Chapter 6 – Travelling To Mainland”
 
Pulau Bunga Persik adalah pulau yang sangat indah, pulau yang dipenuhi bunga-bunga berwarna merah muda dan pepohonan rindang di tengah pulau serta dikelilingi karang dan tebing yang terjal di sekeliling pulau tersebut. 


Secara kasat mata, pulau itu bagaikan Surga di dunia. Tapi justru semua orang takut pada pulau tersebut. Tak ada seorangpun yang berani mendekatinya dalam radius ½ mil. Padahal untuk sampai ke Pulau tersebut, orang-orang cukup menaiki sebuah perahu selama 1 hari 1 malam, mengingat letaknya yang berdekatan dengan China Daratan. 


Saking takutnya, bahkan para nelayan setempat menjulukinya sebagai Pulau Iblis. Apa gerangan yang membuat pulau tersebut begitu mengerikan di mata semua orang?

Tak lain dan tak bukan adalah karena rumor yang sengaja dibuat oleh si Sesat Timur, Huang Yao Shi untuk membuat orang-orang menjauh dari pulaunya. Di samping itu, reputasi Huang Yao Shi yang dijuluki Si Sesat Timur yang konon sering membunuh orang tanpa berkedip membuat para penduduk takut dan memilih menjauhi pulau tersebut. 



Bukan hanya itu saja, Pulau Bunga Persik juga sangat penuh dengan perangkap dan formasi-formasi rumit yang menghalangi siapa saja yang ingin masuk ke dalam pulau tersebut. Singkat kata, pulau tersebut sengaja ditutup untuk umum.


“Pulau itu memang indah, tapi sangat menakutkan. Konon, pulau tersebut dimiliki oleh seorang Iblis tua dan putrinya yang sangat buruk rupa. Tapi walau begitu, mereka punya kemampuan untuk mengubah wujud menjadi makhluk yang sangat indah. Aku pernah melihat sosok menyerupai Putri Duyung yang sangat cantik berenang di pulau tersebut. Menurut kepercayaan penduduk setempat, putri Iblis itu mengubah wujudnya menjadi seorang Putri Duyung yang sangat cantik untuk menarik perhatian para pria untuk kemudian membunuh mereka dan menjadikan mereka sebagai santapannya.” Ujar si Nelayan pada para penduduk yang tampak mendengarkan omong kosongnya dengan antusias.


“Dan beberapa bulan belakangan ini, aku juga melihat putri duyung itu berenang bersama pasangannya. Aku tak melihat dengan jelas seperti apa wujud sosok itu, tapi dari kejauhan dia tampak menyerupai seekor anjing laut.” Tambah si nelayan lagi dengan gaya sok tahunya.

“Anjing laut? Yang benar saja? Jika kau tidak melihat dengan jelas, bagaimana bisa kau berkata seperti itu?” ujar seorang gadis tak senang, tapi tak lama kemudian dia tertawa keras membayangkannya. 

Semua mata menoleh ke arahnya, ingin melihat siapa orang yang berani memotong cerita dari si nelayan itu. Dan mata mereka hampir copot melihat kecantikan gadis itu.



Dia sangat cantik bagaikan seorang Dewi, kulitnya seputih salju, rambutnya sehitam langit malam, matanya begitu indah dengan alisnya yang sangat lentik, bibir mungilnya sangat kontras dengan hidungnya yang mancung, pipinya bersemu merah dan saat tertawa, suaranya sangat indah bagaikan nyanyian Malaikat Surgawi. 

Semua orang terpesona menatapnya, tapi mereka langsung terlihat kecewa begitu melihat gadis cantik yang berusia sekitar 19 tahunan itu ternyata sedang hamil. Di sampingnya berdiri seorang pria bertubuh tinggi dan kekar yang melingkarkan lengannya di pundak gadis itu dengan sangat protektif. 


Mereka bisa melihat bahwa pria yang berdiri di samping gadis itu kemungkinan adalah suaminya. Semua pria langsung menggumamkan kekecewaan mereka, “Beruntung sekali pria itu mendapatkan istri secantik nona itu,” gumam seorang pria seraya menatap Guo Jing dengan iri.

Yup, mereka adalah pasangan Guo Jing dan Huang Rong yang sedang berjalan-jalan ke China Daratan untuk mencari seorang Tabib Beranak saat tak sengaja mendengar perbincangan si nelayan dengan para penduduk setempat.

“Nona, apa kau tak pernah mendengar soal gosip menakutkan di Pulau tersebut?” tanya si nelayan sok tahu. Huang Rong hanya tertawa mendengarnya, dia tahu semua itu adalah gosip yang sengaja diciptakan ayahnya agar tak seorangpun berani mendekati pulau mereka.

“Pertama, aku sudah menikah. Jangan panggil aku Nona. Kedua, bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu jika kau sendiri tak pernah mendekati pulau itu?’ tantang Huang Rong, mulai tak suka mendengar orang lain menghina pulaunya.

“Apa kau tahu kalau ada Iblis setinggi sembilan meter yang tinggal di sana, dia sangat mengerikan dan jahat. Dan putrinya yang konon buruk rupa itu juga sangat jahat. Dia akan mengubah dirinya menjadi Putri Duyung yang sangat cantik untuk menarik perhatian para nelayan dan pelaut yang kebetulan lewat di depan pulau tersebut untuk kemudian membunuh dan memakan mereka. Membayangkannya saja sudah takut, bagaimana mungkin ada yang berani mendekat?” jawab si nelayan sok tahu itu.

“Ditambah lagi sekarang, putri si Iblis tua itu sudah memiliki pasangan hidup. Aku pernah melihat 2 sosok berenang di antara karang tak jauh dari pulau tersebut. Seorang putri duyung yang cantik serta sesosok makhluk yang menyerupai anjing laut.” Lanjut si nelayan.

“Apa? Beraninya kau bilang suamiku...” kalimatnya terputus saat Guo Jing berbisik di telinganya.
“Rong'er, sudahlah,” bisik Guo Jing sabar, seraya mengeratkan pelukannya di pundak istrinya.
“Tapi Jing Gege, mereka bilang kau...” lagi-lagi kalimatnya terpotong oleh suaminya.

“Rong'er, kita kemari bukan untuk bertengkar dengan orang. Ayo kita pergi!” Guo Jing mengingatkan dengan sabar. Dia tahu istrinya tak suka bila ada yang berbicara buruk tentang pulau persik mereka.

“Baiklah.” Jawab Rong Erl lemah lalu menurut saat Guo Jing membimbingnya menjauh dari sana.
Kalimat, “Siapa wanita cantik itu?” terdengar saat mereka mulai pergi dari sana.

Walau awalnya kesal, tapi tak lama kemudian Rong Erl mulai tertawa lagi, “Masa mereka bilang suamiku seperti anjing laut? Hahaha...” Rong'er tertawa terbahak-bahak membayangkannya.

Dalam kepalanya dia membayangkan seekor anjing laut berkepala Guo Jing, baginya itu sangat lucu sekali. Guo Jing terdiam menatap istrinya yang tertawa. Sekali lagi Rong'er membuatnya terpesona, melihatnya tertawa bahagia seperti ini adalah sesuatu yang sangat dia inginkan.

“Asal bisa membuatmu tertawa seperti tadi, menjadi anjing laut pun aku rela,” ujar Guo Jing lembut dan penuh cinta, menatap istrinya dengan dalam seraya mengeratkan pelukan di pundaknya. Kalimat sederhana tadi sudah cukup membuat Rong'er terharu.

“Jing Gege, aku tak mau kau jadi anjing laut,” jawab Rong Erl sambil cemberut tapi sangat terharu, dia membenamkan kepalanya di dada Guo Jing yang bidang. Mereka berpelukan dalam diam sesaat sebelum Huang Rong menjerit kecil.

“Ouch,” dia menjerit kecil saat merasakan tendangan di perutnya.
“Rong'er, kau kenapa?” Guo Jing mendadak panik. 
Dia melonggarkan pelukannya dan menjauhkan sedikit tubuh istrinya seraya menatapnya khawatir.

Huang Rong tersenyum kecil dan berkata, “Jing Gege, sepertimu bayimu sedang berlatih 18 Jurus Penakluk Naga di dalam perutku. Hehehe...” Rong'er masih bisa bercanda di saat Guo Jing sedang panik-paniknya.

“Rong'er, aku serius. Aku takut setengah mati tapi kau malah bercanda,” Guo Jing merengut sesaat tapi melihat senyum di wajah istrinya, diapun ikut tertawa mendengarnya.

“Ouch,” kembali, bayi itu menendang perut Rong'er. 
“Rong'er.” lagi, Guo Jing berseru panik.

“Jing Gege, sepertinya bayimu suka sekali berlatih kungfu di dalam perutku. Kurasa ini adalah jurus ke empat belas dari 18 Jurus Penakluk Naga. Hehehe...” ujar Rong'er lagi, tetap dengan senyuman di wajahnya dan dengan nada bercanda.

“Rong'er, seriuslah sedikit. Aku takut sekali,” Guo Jing memprotes kesal. Dia selalu panik setiap kali mendengar Rong Erl menjerit.

Jing Gege, aku serius. Aku baik-baik saja. Kau tak usah cemas. Sekarang belum saatnya melahirkan. Santailah sedikit.” Rong'er menenangkan suaminya yang entah sejak kapan, mudah sekali menjadi panik.

Guo Jing hanya memandang istrinya tanpa mengatakan apapun. Entah sejak kapan dia mulai jadi paranoid seperti ini. Mungkin sejak 2 bulan yang lalu, saat kandungan Rong'er menginjak bulan ke 6, rasa takut dan gelisah ini mulai melandanya. 

Awalnya semua baik-baik saja. Guo Jing sangat bahagia menyambut berita kehamilan Rong'er. Dia memperhatikan istrinya semakin menawan dari hari ke hari, wajahnya selalu ceria, binar bahagia selalu tergambar di wajah cantik istrinya, senyum tak pernah lepas setiap hari. Selain mual dan muntah yang melandanya di bulan pertama kehamilan, segalanya tampak sempurna di mata Guo Jing. 

Dia sering mendengar Rong'er mendendangkan sebuah lagu untuk bayi mereka yang belum lahir, tapi begitu menyadari suaminya sedang memandangnya, Rong'er menghentikan nyanyiannya seraya tersenyum malu. Guo Jing hanya bisa tersenyum melihat ekspresi Rong'er yang malu-malu. 

Setiap malam saat Rong'er berpikir suaminya sudah tidur, Guo Jing sering mendengar istrinya bicara pada bayi mereka dan menceritakan pada bayinya betapa hebatnya ayahnya. Guo Jing sangat tersentuh mendengarnya, hatinya mendadak dipenuhi kehangatan dan perasaan cinta yang semakin dalam. Dia merasa tak pernah begitu dicintai dengan begitu dalam sebelumnya.


“Kau tahu sayang, ayahmu adalah pria yang hebat. Dia sangat baik hati, jujur, dan sangat mencintai Ibu. Dia tak pernah punya prasangka buruk pada orang lain, di mata ayahmu, semua orang itu adalah orang baik. Aahh, ibu tidak tahu dia bodoh atau baik. Tapi walau bodoh, tapi Ibu sangat mencintainya. Kau tahu? Saat pertama kali kami bertemu, ayahmu bahkan memberikan semua miliknya pada Ibu. Uang, mantel bulu yang begitu mahal, bahkan kuda kesayangannya. Dia bodoh, kan?” ujar Rong'er pada bayinya sambil mengelus-elus perutnya yang sudah membuncit, sambil tertawa cekikikan.


“Ahh, tidak-tidak. Ayahmu tidak bodoh, eehhmm...Mungkin sedikit bodoh, tapi dia adalah pria yang sangat baik. Dia juga pendekar yang hebat. Ayahmu selalu ingin menolong sesama. Bagi ayahmu, menolong orang adalah suatu kewajiban, tidak peduli walau dia harus mempertaruhkan nyawanya. Tapi kadang Ibu kesal dengan sifat ayahmu yang terlalu baik, sikapnya yang terlalu baik itu kadang membuatnya selalu dimanfaatkan orang lain,” Rong'er terlihat kesal, tapi suaranya masih terdengar penuh cinta.

 

“Tapi entah kenapa, justru itulah yang membuat Ibu sangat mencintainya,” lanjutnya lagi dengan sayang.

“Kau tahu? Sejak ayahmu tahu Ibu sedang membawamu di perut Ibu, ayahmu menjadi sangat over protektif pada Ibu. Dia melarang Ibu melakukan apa pun, selalu dengan cerewet bertanya setiap menit “Apa kau baik-baik saja?”. Lihat, kan? Ayahmu cerewet sekali. Tapi, ibu diam-diam menyukai perhatiannya. Semakin protektif ayahmu, itu berarti dia sangat mencintai Ibu,” Rong'er kembali bercerita pada bayinya.

“Ah tidak, ayahmu mencintai kita berdua. Kelak bila kau lahir, kau harus jadi anak yang baik dan menurut pada ayah dan ibu. Kau mengerti anakku?” ujar Rong'er sambil tersenyum. Guo Jing mendengarkan dalam diam sambil tersenyum haru. 

Sejak Rong'er hadir dalam hidupnya, dia merasa hidupnya menjadi lebih berwarna, penuh keceriaan, penuh kehangatan. Walau banyak orang yang mengatakan istrinya seperti “Iblis Kecil” karena sikapnya yang nakal, manja, dan terkadang liar, tapi di balik semua itu, Rong'er juga adalah gadis yang baik, penuh cinta padanya, cerdas, punya banyak ide yang membuatnya tak pernah bosan bila berada di dekatnya, dan juga sangat cantik.

Guo Jing merasakan wajahnya memerah dan jantungnya berdetak kencang setiap kali dia memikirkan betapa cantiknya Rong'er. Dan betapa bodohnya dia tidak menyadari jika Rong'er adalah seorang gadis saat mereka pertama kali bertemu. Dia tersenyum dalam hati saat mengingat reaksinya sendiri yang seperti orang tolol karena terpesona oleh kecantikan Rong'er saat akhirnya Rong'er membuka penyamarannya.


Dia ingat dia mengucek matanya berkali-kali hanya demi memastikan dia tidak sedang bermimpi, dia hanya menatap Rong'er tanpa berkedip hingga akhirnya dia menjadi malu sendiri. Detik itulah, instingnya mengatakan bahwa Rong'er adalah belahan jiwanya yang satu lagi. 


Tanpa sadar dia jatuh cinta padanya. Bukan karena kecantikannya, hhmm, mungkin kecantikannya juga adalah salah satu faktornya, tapi sejujurnya Guo Jing jatuh cinta pada perhatian Rong'er padanya, sifatnya yang ceria, lincah, dan hangat, juga ide-idenya yang membuatnya merasa bersama Rong'er, dia takkan pernah merasa bosan.

Setelah setahun lebih pernikahan mereka, Guo Jing masih tak percaya jika gadis sesempurna Rong'er memilihnya sebagai tambatan hatinya dibandingkan pria lain di luar sana. Dia yang sederhana, bodoh, miskin, tidak berpendidikan dan tak punya apa-apa untuk ditawarkan padanya. 

Tapi Rong'er memilihnya, bahkan mungkin cinta Rong'er padanya jauh lebih besar dari cintanya pada Rong'er. Guo Jing selalu merasa sebesar apa pun cintanya pada Rong'er, cinta Rong'er padanya jauh lebih besar lagi. Guo Jing merasa tak pernah ada seorangpun yang mencintainya seperti Rong'er mencintainya saat ini, tidak juga Ibu dan keenam gurunya.

Bulan-bulan pertama kehamilan Rong'er diwarnai dengan kegembiraan mereka berdua, mereka bahkan dengan bahagia membuat sebuah tempat tidur bayi bersama. Tapi sejak 2 bulan yang lalu saat dia melihat Rong'er selalu tampak lelah, sinar keceriaan di matanya mulai berkurang. 

Guo Jing juga sering melihat istrinya diam-diam memijat punggungnya karena lelah membawa beban di perutnya, mau tidak mau membuat Guo Jing merasa takut dan gelisah. Lebih takut lagi saat teringat bahwa ibu Rong'er meninggal saat melahirkannya.

Ketakutan dan kepanikan mulai melanda Guo Jing, tapi dia tidak menceritakannya pada orang lain dan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Dia juga tidak siap untuk menceritakan kegelisahannya pada Rong'er-nya. Setiap malam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak, itu sebabnya sejak 2 bulan yang lalu dia berlatih dengan lebih keras. 

Dia sengaja ingin membuat tubuhnya lelah agar bisa tidur nyenyak di malam hari tapi tetap saja mimpi buruk itu menghantuinya. Sekarang, bahkan mimpi buruknya itu mulai menghantuinya bahkan di siang hari. 

Seperti tadi saat dia melihat Rong'er kesakitan ketika bayi dalam perutnya menendangnya. Kepanikan mencengkeram Guo Jing. Dia sangat takut Rong'er akan bernasib sama seperti Ibunya.

“Ouch,” untuk yang ketiga kalinya Rong'er merasakan tendangan di perutnya. Dia berhenti berjalan dan memegangi perut buncitnya sambil mengernyit sakit.

“Ada apa denganmu, sayang? Apa kau tidak sabar ingin segera keluar dari perut Ibu dan berlatih 18 Jurus Penakluk Naga?” di saat seperti ini Rong'er masih bisa bercanda.

“Rong'er, ada apa? Kau sakit lagi? Lebih baik kita istirahat sebentar di restoran,” Guo Jing kembali panik saat untuk yang ketiga kalinya Rong'er merasa kesakitan. 

Rong'er hanya tersenyum menenangkan dan menganggukkan kepalanya singkat. Guo Jing dengan sangat hati-hati memapah istrinya menuju rumah makan terdekat dari mereka dan beristirahat sejenak di sana.

“Bagaimana sekarang? Apa masih sakit? Bagaimana jika kau istirahat di sini, biar aku yang mencari Tabib beranak sendiri?” tawar Guo Jing dengan wajah cemas. 

Tapi Rong'er menggenggam tangannya dan menggeleng mantap.
“Jing Gege, kau berjanji takkan meninggalkan aku sendiri,” ujar Rong'er menolak sambil cemberut.

“Aku tidak akan meninggalkanmu, aku hanya akan pergi sebentar lalu kembali,” tawar Guo Jing lembut, meyakinkan istrinya yang masih menggeleng keras.

“Tidak mau! Bagaimana jika seandainya aku sakit lagi saat kau tak ada?” Rong'er tahu suaminya sangat mencemaskannya, jadi dia sengaja memakai cara ini agar Guo Jing tidak meninggalkannya.

“Tapi aku tak mau kau lelah,” Guo Jing mencoba berunding.
“Baik. Pergilah! Tapi jika terjadi sesuatu denganku, ini adalah salahmu,” ujar Rong'er sambil cemberut, berpura-pura marah. Dia melepaskan genggaman tangannya di tangan Guo Jing dan mengelus-elus perutnya lembut.

“Rong'er...” Guo Jing memanggil istrinya lembut.
“Untuk apa kau masih di sini? Pergilah!” ujar Rong'er cuek, dia berpura-pura tak peduli. 

Guo Jing tahu dia sudah membuat Rong'er marah, dan melihatnya marah adalah sesuatu yang paling dia benci di dunia ini. Menarik napas, akhirnya dia mengalah.

“Aku hanya tak ingin kau lelah. Tapi baiklah, kita akan pergi bersama,” Guo Jing akhirnya mengalah. Rong'er tersenyum senang karena Guo Jing akhirnya mengalah.

“Jing Gege, aku tidak apa-apa. Setelah makan dan istirahat sebentar, kita bisa mencari tabibnya. Kau tidak perlu terlalu cemas. Lihat! Aku baik-baik saja, kan?” ujar Rong'er dengan mata berbinar ceria. 

Hanya menatapnya dalam diam, Guo Jing menganggukkan kepalanya menyerah. Lalu mengambilkan makanan diatas meja untuk istrinya, menyuruhnya untuk makan yang banyak.

“Jing Gege, banyak sekali. Kau ingin mengubahku menjadi babi?” Rong'er merengut lagi saat Guo Jing menyuruhnya untuk makan lebih banyak.

“Itu untuk kesehatanmu dan bayinya. Kau harus makan banyak makanan bergizi,” ujar Guo Jing tak peduli. Rong'er tahu Guo Jing mengkhawatirkan dan memperhatikannya, itu sebabnya walau dia tak suka, dia tetap memakannya.

“Baiklah. Demi anakmu tersayang, akan kumakan,” omel Rong'er tapi tetap melahap habis makanannya. Guo Jing tersenyum lega mendengarnya. Dia pun memakan makanannya sendiri dengan lahap. 

Beberapa bulan ini, Rong'er memang lebih rewel dari biasanya, dan Guo Jing tahu bahwa mungkin ini adalah pengaruh dari kehamilannya, jadi dia dengan sabar menuruti apa pun keinginan Rong'er. Selama dia bahagia, Guo Jing tak pernah mengeluh.

Setelah istirahat sejenak dan makan siang, sepasang suami istri muda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tabib beranak yang bersedia ikut dengan mereka ke Pulau Persik untuk membantu proses persalinan Huang Rong nantinya. 

Setelah mencari rekomendasi dari para penduduk setempat, akhirnya mereka menemukan seseorang yang mungkin bisa membantu mereka. Seorang wanita berusia sekitar enam puluh lima tahun yang menurut penduduk setempat sudah berpengalaman membantu para ibu melahirkan. 

Dengan harapan besar wanita tersebut bersedia membantu mereka, Guo Jing dan Huang Rong mendatangi rumah wanita tua itu.

Mengingat reputasi Pulau Persik yang menakutkan, Guo Jing sudah siap jika dia harus berlutut dan memohon pada wanita itu agar mau menolong mereka, tapi ternyata Guo Jing tak perlu melakukannya karena wanita tersebut dengan senang hati membantu mereka. 

Guo Jing dan Huang Rong terlihat bingung dan tak percaya, tapi mereka juga sangat bahagia karena akhirnya ada seseorang yang bisa membantu mereka sekarang.

Sebenarnya wanita itu sudah bisa melihat dari tatapan mata Guo Jing saat dia mengatakan bahwa mereka membutuhkan bantuannya untuk proses kelahiran, bahwa Guo Jing sangat mencintai istrinya. 

Begitupun juga sebaliknya, Huang Rong yang walau kadang mengomeli suaminya karena terlalu cemas dan panik, tapi matanya memancarkan kebahagiaan dan cinta. Bahagia karena dia tahu dia memiliki seorang suami yang mencintainya sepenuh hati dan begitu memperhatikan dirinya. 

Wanita itu tersenyum dalam hati, dia merasa sedih karena mengingat suaminya dulu juga bersikap seperti itu padanya, itu jauh sebelum suaminya meninggal dunia. 

Melihat betapa pasangan muda ini begitu saling mencintai, dia tidak tega untuk menolak. Lagipula untuk ukuran orang setua dirinya, sudah bukan saatnya untuk percaya pada gosip-gosip yang menakutkan tentang Pulau Bunga Persik.

“Mereka terlihat seperti orang baik dan mereka terlihat saling mencintai, tidak mungkin bila mereka adalah Iblis. Orang-orang itu suka sekali menyebarkan rumor tanpa tahu apa-apa,” batin wanita itu saat melihat betapa senang dan leganya Guo Jing saat dia setuju membantu mereka. 

Guo Jing memeluk istrinya dengan erat sambil menggumamkan kalimat, “Kau akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja,” entah untuk menenangkan dirinya sendiri atau istrinya.

“Tentu saja aku akan baik-baik saja. Sudah kubilang kau tak perlu terlalu cemas. Jing Gege, kau memelukku terlalu erat. Hati-hati kau bisa melukai bayinya,” omel Huang Rong walau senyum bahagia terukir di wajahnya. Wanita tua yang bernama Nyonya Wang, hanya tersenyum melihat kemesraan mereka berdua.

Setelah membuat kesepakatan soal uang dan lain sebagainya, akhirnya Guo Jing dan Huang Rong membawa serta Nyonya Wang ikut dengan mereka ke Pulau Persik bersama. Dalam perjalanan, Guo Jing tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih padanya.

Khe Zhen Erl pun bahagia mendengar bahwa mereka telah berhasil menemukan seorang tabib beranak yang bisa membantu proses persalinan Huang Rong nantinya. Dia sedikit lega karena beberapa bulan ini, Guo Jing dengan kecemasannya yang berlebihan sudah hampir membuatnya gila.

“Kau senang sekarang, Jing'er? Istrimu akan baik-baik saja. Berhentilah terlalu cemas dan khawatir. Kadang kecemasanmu yang berlebihan membuatku jadi gila,” ujar guru ke-1nya menggoda Guo Jing.

“Guru, kau tak pernah punya istri, jadi tak tahu bagaimana rasanya,” jawab Guo Jing dengan polosnya, membuat wajah Khe Zhen Erl semerah tomat karena menahan malu.

“Rong'er, kau mau makan sekarang? Atau kau mau istirahat? Kau tidak merasa sakit lagi, kan?” tanya Guo Jing perhatian pada istrinya, seraya membantunya masuk ke dalam rumah mereka.

“Guru, kemana para pelayan? Mereka harus menyiapkan kamar untuk Nyonya Wang, juga makan malam untuk Rong'er. Ah, juga air mandi yang hangat untuk Rong'er membersihkan diri,” ujar Guo Jing, memulai perhatiannya yang berlebihan. Huang Rong hanya tertawa geli melihat perhatian suaminya.

“Rong'er, kau mau istirahat dulu sambil menunggu makan malam? Atau kau ingin aku memijat punggungmu? Kau pasti lelah berjalan seharian,” tawar Guo Jing dengan cerewet.

“Jing Gege, sejak kapan kau jadi lebih cerewet dibanding aku? Pertanyaanmu yang terlalu banyak membuatku bingung harus menjawab yang mana dulu,” omel Rong'er sambil tersenyum geli.

“Guo Fu Ren (Nyonya Guo), anda sangat beruntung punya suami yang sangat mencintai Anda,” goda Nyonya Wang sambil tersenyum penuh arti. 

Guo Jing hanya tertawa bodoh mendengar pujian itu. Dia tidak menjawab tapi kembali memandang Rong'er dengan mesra.
“Jadi, kau mau yang mana dulu?” tawarnya lagi sambil tersenyum penuh cinta.

“Bagaimana dengan memijat punggungku saja?” jawab Rong'er malu-malu. 
Guo Jing mengangguk mantap, “Baiklah.” 
Dia hampir saja duduk di belakang Rong'er dan memijat punggungnya saat tiba-tiba Rong'er menghentikannya.

“Jing Gege, lakukan di kamar saja,” ujar Rong'er malu-malu dengan wajah memerah.  
Guo Jing mengangguk lagi dan segera menggendong istrinya dengan lembut.
“Jing Gege, aku tak minta kau menggendongku,” protes Rong'er malu-malu.

“Aku tahu kau lelah karena berjalan jauh. Biarkan aku menggendongmu ke kamar,” jawab Guo Jing lalu segera menggendong istrinya ke kamar tanpa banyak bicara lagi, dengan diiringi senyum lucu dari Nyonya Wang dan Khe Zhen Erl.

To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Native Ads