Highlight for today episode :
I am not going to lie – the first thing I do after I
download a new episode of "Ojakgyo Brothers" is fast forward to this couple and
their scenes. It’s a really great when I can find a few of them, but it’s a
perfect when I see them not fighting and getting along.
Di episode 15 ini, shipper Tae Hee – Ja Eun dimanjakan oleh
kemunculan 2 scene bareng antara kedua pemeran utama drama ini, di pertengahan
dan di akhir episode. Dan khususnya di episode terakhir saat Tae Hee
menggendong Ja Eun yang sedang sakit ke dalam rumah. Sebelum kembali ke
kamarnya, tatapan mata Tae Hee menunjukkan kecemasan dan kekhawatiran, dia seolah
tidak ingin pergi dan ingin menjaga Ja Eun yang sedang sakit, namun karena
Ibunya menyuruhnya kembali ke kamarnya sendiri, membuat Tae Hee tak punya pilihan
lain selain menuruti sang ibu. Tak punya alasan untuk berada di sana, walaupun
dari tatapan matanya, Tae Hee seolah tak ingin pergi dari sana.
I am really, really enjoying the expressions on Tae Hee’s
face. It’s like he doesn’t understand what feelings are and is continuously
confused by his own sympathy towards Ja Eun. No, Tae Hee-ya! I think it’s not only
sympathy, but you starting feel something for her, unfortunately, you doesn’t even know it. I can’t wait to see how he changes. I think they’re both already a
little interested in each other, but as we all know, k-drama characters are
typically a little slow on the uptake when it comes to realizing such things.
-------000000------
Episode 15 :
Setelah pulang kuliah, Ja Eun bertemu dengan Park Bok Ja berbelanja
di toko tetangga. Di sana Ja Eun mendengar kalau Park Bok Ja berkata pada
tetangga mereka kalau keluarga Hwang akan segera memiliki menantu dari
pernikahan Hwang Tae Bum.
Ja Eun menyapa Park Bok Ja dengan tersenyum riang, “Ahjumma, aku baru saja kembali dari kampus. Karena sesuatu terjadi di kampus, aku memutuskan untuk pulang,” ujar Ja Eun tanpa ditanya.
Namun Park Bok Ja menjawab dengan ketus, “Untuk apa kau kembali? Cepat kemasi barang-barangmu dan pergilah!”
Mendengar itu, Ja Eun hanya tersenyum tipis dan berkata dengan menyesal, “Aku tidak akan seperti itu lagi lain kali. Aku mengerti kenapa Anda marah padaku. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi.” ujar Ja Eun dengan tersenyum manis dan mengambil tas belanjaan Park Bok Ja, “Berikan ini padaku. Aku akan membawakannya,” ujar Ja Eun seraya menyusul langkah Park Bok Ja.
“Jadi Paman kedua akan menikah? Itu sebabnya Anda sangat
gembira?” lanjut Ja Eun, masih mencoba mengambil hati Park Bok Ja.
“Selama aku tidak melihatmu, aku sangat gembira,” sahut Park Bok Ja ketus.
“Ahjumma, Anda sengaja berkata kejam seperti itu padaku agar aku segera pergi dan menyerah, bukan?” ujar Ja Eun dengan keras kepala.
Tapi Park Bok Ja masih mengabaikannya dan berjalan dengan cepat, “Ahjumma, walaupun Anda berjalan cepat, kaki Anda lebih pendek dariku jadi Anda tidak bisa mengalahkanku. Aku bisa mengejarmu dengan cepat. Apa yang akan kita lakukan siang ini? Kebun Pir? Memetik cabai? Memberi makan bebek?” seru Ja Eun dengan riang.
Begitu sampai di kebun Pir, Park Bok Ja menyadari bahwa kebun pir mereka terserang oleh hama, jadi mereka memutuskan untuk segera menyemprotkan pestisida untuk mengusir hama ke selurun pohon pir yang ada di pertanian.
Selain menyemprot dengan pestisida, Park Bok Ja juga memerintahkan Ja Eun untuk memetik semua daun yang sudah menghitam agar tidak menyebar ke daun lainnya. Karena daun yang menghitam menunjukkan kalau pohon pir mereka telah terserang hama. Saat hari telah siang, Park Bok Ja berkata bahwa dia khawatir Tae Bum dan Su Young akan datang namun dia tidak bisa mengabaikan pohon pir yang terserang hama. Itu sebabnya Ja Eun menawarkan diri untuk mengurus semuanya.
Di kantor polisi, Seo Dong Min memberitahu Tae Hee pada berdasarkan hasil penyelidikannya, pena itu digunakan sebagai souvenir untuk acara Ulang Tahun Restauran yang ke-10.
“Hyung, aku sudah menghubungi pihak restaurant. Mereka mengatakan kalau pena itu digunakan sebagai hadiah souvenir untuk merayakan hari Ulang Tahun restaurant yang ke-10,” ujar Seo Dong Min, melaporkan hasil penyelidikannya.
Tae Hee seraya melemparkan pandangannya ke sekitarnya, takut
bila ada yang mendengar percakapan mereka, “Benarkah? Kalau begitu mereka
memberikannya kepada semua pelanggan yang hadir di sana? Kapan acara itu berlangsung?”
tanya Tae Hee lebih detil lagi.
“9 Januari 2007 dan itu hanya diberikan untuk satu hari saja,” jawab Seo Dong Min.
“Januari 2007?” ulang Tae Hee mengkonfirmasi.
“Di antara tamu yang datang hari itu, hanya ada 3 orang berkebangsaan Korea Selatan yang menghadiri acaranya,” ujar Dong Min memberikan informasi tambahan.
“Daftar nama? Apa kau sudah mendapatkan daftar namanya?” tanya Tae Hee, tampak penasaran.
“Belum. Besok mereka akan mengirimkan daftar nama tamunya pada kita melalui Fax. Bagaimana jika ketiga orang itu adalah Pimpinan Department kita, Baek In Ho dan Profesor Seo?” ujar Seo Dong Min menebak.
“Kemungkinan besar sepertinya nama merekalah yang akan muncul. Dapatkan dulu daftar nama mereka, lalu berikan padaku,” sahut Tae Hee, merasa sangat yakin.
“Baik. Oh ya, kita makan siang apa? Bagaimana kalau kita makan sup seafood?” tanya Dong Min, mengubah topik pembicaraan mereka menjadi makan siang.
Saat itulah mereka melihat Lee Seung Mi berada di depan ruangan Divisi Penyelidikan Kriminal tampak seperti sedang menunggu seseorang. Tae Hee menahan langkahnya dan wajahnya menunjukkan rasa malas, kesal dan tidak suka melihat gadis itu di sana.
“Dia di sini lagi? Dia sering sekali kemari. Apa mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara kalian berdua?” tebak Seo Dong Min dengan usil, membuat Tae Hee jengah dan kesal.
“YYAAA! Jangan mengatakan hal-hal konyol seperti itu!” sentak Tae Hee tampak jengah.
Mendengar suara Tae Hee, Seung Mi langsung menyapa dengan riang, “Oppa!” seraya mendekat ke arah mereka berdua. Seo Dong Min segera merebut berkas di tangan Tae Hee dan memohon diri pergi dari sana, meninggalkan Tae Hee dan Seung Mi berdua.
“Kalau begitu aku akan mohon diri lebih dulu,” ujar Seo Dong Min dengan tersenyum usil.
“YYYAAA! SEO DONG MIN! DONG MIN-AH!” panggil Tae Hee dengan lantang, tampak kesal dan tidak suka ditinggalkan berdua dengan Lee Seung Mi.
“Kau ingin makan siang, kan? Ayo kita makan siang bersama,” ajak Lee Seung Mi tanpa malu-malu bergelayut di lengan Tae Hee. Tae Hee tampak tak suka lalu segera menarik lengannya dengan kasar.
(Tae Hee gak suka dikejar, Tae Hee lebih suka kalau dialah yang mengejar! Jadi dia malah benci kalau ada cewek yang ngejar-ngejar dia karena Tae Hee menganggap cewek yang ngejar cowok itu murahan. Untunglah Baek Ja Eun gak pernah ngejar Tae Hee, Tae Hee-lah yang mengejar Baek Ja Eun mati-matian!)
“Aku sibuk. Aku tak punya waktu untuk makan denganmu!” Seru Tae Hee dengan dingin dan kasar. (Coba sama Ja Eun, Tae Hee-lah yang selalu ngajakin makan karena selalu pengen deketan sama si ayang xixixi ^_^)
“Kalau begitu kapan kau punya waktu luang? Aku akan menunggumu!” seru Lee Seung Mi tak menyerah, dia sekali lagi tanpa tahu malu memeluk lengan Tae Hee dengan genitnya, membuat Tae Hee semakin jengah dan kesal.
“Ada apa denganmu?” sentak Tae Hee dengan nada tinggi seraya kembali menarik lengannya yang dipeluk Lee Seung Mi dan menatapnya jengkel. Ekspresi Tae Hee terlihat seperti antara marah, kesal, malas dan jijik melihat Lee Seung Mi yang seolah tak punya harga diri.
“Aku katakan sekali lagi padamu, bicaralah sambil menjaga jarak. Aku punya pendengaran yang bagus, aku tidak tuli. Tidak perlu dekat-dekat!” lanjut Tae Hee, dengan nada lebih rendah setelah membentaknya dan membuat Seung Mi terkejut.
Tapi emang dasar ni cewek gatel dan gak punya harga diri, tetep aja nekat nyoba peluk-peluk Tae Hee lagi, “Bagaimana dengan minum kopi? Hanya 10 menit saja,” ujar Lee Seung Mi seraya kembali memeluk lengan Tae Hee untuk yang ketiga kalinya.
“YYYAAA!” sentak Tae Hee lebih keras kali ini, dan kembali menarik lengannya dengan kesal seraya mendorong Lee Seung Mi menjauh dengan kuat.
(Udahlah, Lee Seung Mi! Kau bukan type-nya Tae Hee. Type-nya Tae Hee yang modelan Baek Ja Eun : tak hanya cantik, tinggi, seksi dan pintar, namun juga berani, mandiri, baik, ceria, hangat, perhatian, pengertian dan blak-blakan kalau ngomong, bukan cewek Pick Me Girl, pembully, muka dua kayak dirimu! Hush hush hush...Sono pergi jauh-jauh! Jangan godain calon pacar orang! *usir Lee Seung Mi jauh-jauh*)
“Pakai ini! Kau bisa terserang flu!” lanjut Tae Hee seraya melepas jaketnya dan memberikannya pada gadis itu, kemudian berjalan pergi dari sana. Kalau bukan anaknya bos, pasti uda digibeng sama Tae Hee saking jengkelnya. Karena anaknya bos jadi disabar-sabarin sama Tae Hee.
“Oppa, ayo kita pergi bersama!” seru Lee Seung Mi dengan tersenyum ceria, berpikir bahwa Tae Hee memberikannya jaket karena perhatian padanya. Faktanya Tae Hee hanya risih melihat pakaian Lee Seung Mi yang kurang bahan.
Malamnya, Tae Hee kembali ke pertanian dengan membawa seplastik penuh berisi roti kacang manis kesukaan neneknya. Ja Eun yang baru saja kembali dari menyemprot pestisida menyapanya dengan riang.
“Ahjussi, kau pulang malam juga hari ini,” sapa Ja Eun
dengan ceria.
“Ya. Ah, tunggu sebentar. Aku akan mengembalikan penamu,” ujar Tae Hee seraya mencari sesuatu di dalam kantong celananya namun tidak menemukan apa pun di sana.
“Ah, maaf. Sepertinya aku menjatuhkannya di kantor. Aku akan mengembalikannya padamu lain kali,” ujar Tae Hee dengan raut wajah bersalah karena membuat gadis itu berharap senang.
Ja Eun tampak kecewa mendengarnya namun tatapan matanya teralihkan pada bungkusan plastik di tangan Tae Hee.
“Apa itu?” tanya Ja Eun penasaran.
“Ini? Ini adalah roti kacang manis. Nenek menyukainya,” jawab Tae Hee menjelaskan seraya mengangkat plastiknya.
Ja Eun mengangguk seraya mengamati Tae Hee lekat, membuat Tae Hee merasa salah tingkah dan gugup, “Ada apa?” tanya Tae Hee dengan ekspresi gugup saat Ja Eun menatapnya dari atas ke bawah dengan lekat.
“Aku hanya bertanya, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Kupikir kau akan membelikanku segelas Ice Charamel Macchiato,” sahut Ja Eun dengan wajah kecewa.
(Ja Eun bener-bener ingin minum kopi tapi gak punya duit. Lah Ja Eun mintanya kopi modelan Starbuck, mahal cuyy! Coba kopi item di warkop pinggir jalan, pasti dibeli’in deh hahaha ^_^)
Tae Hee berdehem lalu melemparkan tatapannya ke arah lain dengan tak nyaman saat mendengarnya.
“Kau ingin menyuruhku untuk berhenti bermimpi, kan? Aku tahu. Sepertinya ini salahku karena terlalu berharap pada pria dingin sepertimu untuk membelikanku segelas kopi. Aku sangat lelah jadi aku ingin tidur sekarang. Pergilah! Aku akan masuk ke dalam tendaku,” ujar Ja Eun dengan cemberut dan ketus, membuat Tae Hee merasa bersalah mendengarnya.
“Itu... Ehem, apa kau mau sepotong roti?” tawar Tae Hee akhirnya, sebagai pengganti kopi, dia menawarkan roti di tangannya dengan ekspresi wajah sungkan. Tae Hee bahkan menarik keluar satu bungkus roti dari dalam plastik dan menawarkannya dengan malu-malu.
“Tidak usah. Bukankah roti itu untuk Nenek?” jawab Ja Eun, masih ketus dan cemberut.
Ja Eun kemudian masuk ke dalam tendanya dengan kesal, namun kemudian dia kembali menyembulkan kepalanya keluar dan berkata dengan nada menyindir sekali lagi, “Setelah kupikirkan sekali lagi, bukankah ini sudah waktunya mengembalikan penaku karena kau sudah meminjamnya begitu lama? Kalau kau meminjam barang milik seseorang namun kau datang mengembalikannya dengan tangan kosong begitu saja, apa menurutmu itu pantas? Kau benar-benar dingin dan pelit,” seru Ja Eun seraya menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tak percaya melihat Tae Hee yang begitu pelit.
Ja Eun mengatakannya secara blak-blakan, tanpa rasa sungkan mengatai Tae Hee "Pelit". Kalimatnya sekali lagi membuat Tae Hee merasa bersalah, saat Tae Hee akan menjawab, “Itu…Lain kali—” Tae Hee akan mengatakan sesuatu namun Ja Eun sudah lebih dulu menutup pintu tendanya dengan kesal, membuat Tae Hee hanya mampu menarik napas pasrah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Kena mental lagi si Tae Hee, setelah dikatain "Pria brengsek, pengecut dan polisi tidak kompeten", sekarang bertambah lagi jadi "Pelit" hahaha ^_^
Setelah masuk ke dalam rumah, Tae Hee segera ke kamar sang nenek dan meletakkan kopi tersebut di samping kepala Neneknya.
Pagi harinya, saat seluruh anggota keluarga Hwang (termasuk
Tae Bum) akan menikmati sarapan, terdengar suara Ja Eun yang memanggil Ha Na
dengan suara lantang, dengan nada seperti orang bernyanyi.
“Ha Na-yaa, apa kau bisa membawakan Eonnie tissue? Gadis tercantik kedua di dunia, Ha Na, tolong bawakan Eonnie tissue!” teriak Ja Eun lantang dari arah kamar mandi luar, meminta tolong pada gadis kecil bernama Ha Na. Ja Eun menyebut Ha Na sebagai gadis tercantik kedua di dunia, karena Ja Eun menganggap dialah yang paling cantik hahaha ^_^
“Aku tidak bisa hidup…Aku tidak bisa hidup,” omel Ha Na seraya berjalan keluar dari rumahnya dengan membawakan tissue untuk Ja Eun.
Semua orang di dalam rumah, masih mendengar Ja Eun berseru lantang meminta tissue, “Bila kau membawakan Eonnie tissue, kau akan menjadi gadis tercantik kedua di dunia ini. Ha Na, gadis tercantik kedua di dunia ini, tolong bawakan Eonnie tissue. Ha Na-yaa, kakiku kram lagi. Ha Na-yaaa, Help me!” teriak Ja Eun, membuat kehebohan di pagi hari.
Kehebohannya membuat seluruh Keluarga Hwang tertawa lucu mendengarnya, kecuali Park Bok Ja dan Nenek.
Tae Hee tertawa tiada henti saat mendengar suara lantang Ja Eun yang meminta tissue. Mungkin ini pertama kalinya bagi Tae Hee bertemu gadis aneh seperti Baek Ja Eun, jadi baginya ini seperti hiburan tersendiri dan tanpa sadar dia tertawa geli seperti anak kecil melihat mainan baru.
“Aigoo, gadis ini mulai lagi. Dia mulai lagi,” omel Nenek yang mendengar kehebohan yang dibuat Ja Eun di pagi hari. Tae Hee lagi-lagi hanya tertawa lucu mendengar neneknya mengomeli Ja Eun.
Tae Bum pun tersenyum dan bertanya penasaran, “Apa dia sering seperti ini?” tanyanya penasaran.
Hwang Chang Sik (papa Hwang) menjawab sambil tersenyum geli, “Dia kadang-kadang seperti ini jika kehabisan tissue. Sangat lucu dan menghibur. Dia selalu mengubah panggilannya terhadap Ha Na setiap kali meminta bantuannya,” sahut Hwang Chang Sik sambil tertawa geli.
“Sepertinya Ja Eun adalah gadis yang menarik,” ujar Tae Bum sambil tersenyum lucu. Tae Hee, Tae Shik, Tae Bum dan Papa Hwang tertawa lucu lagi sementara Tae Phil hanya tersenyum tipis menanggapi.
“Oh, sudah mulai tenang sekarang. Ha Na pasti sudah membawakan tissue-nya, kan?” ujar Tae Bum lagi sambil tersenyum ke arah Tae Hee yang juga tertawa mendengarnya.
“Sepertinya begitu,” sahut Tae Hee singkat, namun senyuman ceria tetap muncul di wajah tampannya. (Pak Polisi banyak senyum hari ini. Senyumnya gara-gara Ja Eun pula. Apa hatimu sudah mulai menghangat, Tae Hee?)
Akhirnya Nenek pun memberi instruksi pada semua orang untuk mulai makan dan setelah mendengar instruksi tersebut, semua orang memulai sarapan mereka.
Setelah sarapan, Ja Eun dan Park Bok Ja mulai kembali mengurus kebun pir yang diserang oleh Hama. Park Bok Ja yang tahu bahwa Ja Eun belum sarapan, memberikannya jagung rebus untuk makan. Ja Eun mengambilnya dan memakannya dengan penuh sukacita karena dia memang sedang lapar dan belum sarapan.
“Jagung rebus? Aku memang sedang kelaparan. Kamsahamnida (Terima kasih), Ahjumma,” sahut Ja Eun riang dan memakannya dengan penuh sukacita.
“Wah, ini sangat lezat. Apa Ahjumma tidak mau memakannya sedikit?” tanya Ja Eun yang sedang asyik makan.
“Kau makanlah saja! Aku tidak mood makan karena memikirkan hama ini,” sahut Park Bok Ja sambil tetap menyemprot pestisida.
Mendengar itu, Ja Eun merasa sungkan lalu meletakkan kembali jagung rebusnya, “Kenapa kau tidak makan lagi?” tanya Park Bok Ja dengan tatapan simpati.
“Karena tiba-tiba aku merasa khawatir. Aku akan makan lagi nanti. Sekarang kita harus meneruskan pekerjaan ini,” jawab Ja Eun dan segera kembali menyemprotkan pestisida.
Ja Eun dan Park Bok Ja bekerja di pertanian hingga malam. Hingga Ja Eun menjerit ketakutan karena dia menginjak cacing tanah yang berukuran besar. Park Bok Ja lalu berkata bahwa keluarnya cacing tanah adalah pertanda buruk.
Ja Eun bertanya ingin tahu, “Memangnya kenapa?” tanyanya tak mengerti.
“Karena itu artinya akan turun hujan dengan deras nanti malam. Jika sampai turun hujan, maka semua yang kita lakukan sekarang akan sia-sia saja. Semua pestisida yang kita semprotkan sekarang akan hilang terkena air hujan,” jawab Park Bok Ja dengan khawatir.
"Jadi semua pekerjaan kita akan sia-sia saja?" tanya Ja Eun dengan raut wajah tak terima. Ya gimana lagi, Ja Eun-ah? Kan ujan, say...
Akhirnya karena cuaca semakin gelap, Park Bok Ja memutuskan untuk mengakhiri pekerjaan mereka sampai di sini saja.
Dan sesuai prediksi Park Bok Ja, malam harinya hujan turun dengan sangat deras. Suara hujan yang deras dan guntur yang menggelegar di angkasa, membuat wanita tua itu terbangun di tengah malam dengan khawatir.
Park Bok Ja keluar dari kamarnya dan menyibak tirai di ruang tamu untuk melihat keadaan di luar rumah. Ekspresi wajahnya tampak khawatir.
“Hujannya sangat deras. Apakah gadis itu akan baik-baik saja tidur di tenda di tengah hujan deras seperti itu? Bagaimana jika tendanya bocor? Bagaimana jika ada genangan atau banjir di halaman?” gumam Park Bok Ja dengan ekspresi khawatir dan mondar-mandir dengan gelisah.
Dia kemudian berbalik memunggungi jendela ruang tamu dan bergumam sendiri, “Tidak. Aku tidak khawatir! Kenapa aku harus peduli padanya?” gumamnya namun hati nuraninya merasa terganggu dengan hujan deras yang turun malam ini. Akhirnya Park Bok Ja kembali mengintip dari balik tirai sekali lagi.
Di saat yang bersamaan, Tae Hee tampak baru saja pulang ke
rumah. Tae Hee tampak berhenti di depan tenda Ja Eun dan mencoba memanggilnya.
“Apa kau sudah tidur? Baek Ja Eun! Apa kau sudah tidur? Baek Ja Eun!” panggil Tae Hee berulang kali, namun tak mendapat jawaban dari gadis muda itu. Tae Hee pun sepertinya tampak khawatir dengan keadaan tenda Ja Eun.
Saat itulah Park Bok Ja juga keluar dari dalam rumah dengan membawa sebuah payung.
“Tae Hee-ya, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Park Bok Ja saat melihat putra ketiganya berdiri di depan tenda Ja Eun.
“Aku baru saja pulang ke rumah. Namun karena hujannya sangat deras, aku sangat khawatir padanya,” jawab Tae Hee seraya menuding ke arah tenda Ja Eun.
(Tae Hee ngaku terang-terangan kalau dia memang khawatir pada Ja Eun. Yakin hanya khawatir, Tae Hee-yya?)
“Eomma, apa Eomma juga khawatir padanya, itu sebabnya Eomma keluar?” tanya Tae Hee memastikan, tapi Park Bok Ja menyangkal karena gengsi.
“Tidak. Siapa yang khawatir padanya? Ibu hanya keluar untuk melihat keadaan karena hujannya terlalu deras. Apa kau sudah memeriksa keadaannya?” tanya Park Bok Ja seraya menuding ke arah tenda.
(Ya mana bisalah Tae Hee meriksa? Dia kan cowok, gak sopan kale membuka tenda seorang gadis malem-malem? Apalagi di malam hujan berbadai kayak gini?)
“Aku sudah memanggilnya berkali-kali namun dia tidak menjawab,” sahut Tae Hee tampak khawatir.
“Apa kau sudah tidur? Ja Eun-ah! Ja Eun-ah! Apa kau sudah tidur?” panggil Park Bok Ja memastikan kondisi gadis itu.
“Aku juga sudah memanggilnya berkali-kali namun tak ada suara apa pun dari dalam sana. Aku takut terjadi sesuatu padanya,” seru Tae Hee, menjelaskan sekali lagi di tengah suara air hujan yang berisik.
Mendengar ucapan Tae Hee, Park Bok Ja menjadi semakin khawatir, dia menyerahkan payungnya pada Tae Hee dan memintanya memegang payung itu sebentar, sementara dia akan membuka tendanya untuk melihat keadaan Ja Eun.
Park Bok Ja duduk di dalam tenda dan memanggil Ja Eun berkali-kali seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya yang berada di dalam kantong tidur, namun Ja Eun tertidur seperti orang mati.
“Pantas saja dia tidak merespon saat kita memanggilnya. Dia tidur seperti orang mati,” seru Park Bok Ja pada Tae Hee. (Woi, emak! Ja Eun tuh pingsan kale, bukan tidur!)
“Ja Eun-ah, kenapa kau tidur seperti ini? (Seperti orang mati maksudnya). Ja Eun-ah, jangan menakuti kami! Ja Eun-ah, ada apa denganmu? Ja Eun-ah!” panggil Park Bok Ja sekali lagi.
Saat itulah dia melihat gadis itu tampak mengernyitkan dahinya dalam tidurnya seperti orang yang kesakitan dan tubuhnya gemetar kedinginan. Park Bok Ja segera mengarahkan tangannya untuk memeriksa kening Ja Eun dan menyadari jika gadis itu sedang demam tinggi dan rupanya sedang pingsan. Dia tampak terkejut saat melihat suhu tubuhnya yang panas membara.
“Kepalanya seperti terbakar api. Tae Hee-yya!” seru Park Bok Ja panik, seraya memanggil Tae Hee yang segera berjongkok untuk melihat.
“Ya, Eomma.” Sahut Tae Hee.
“Ja Eun demam tinggi dan sedang pingsan saat ini. Cepat! Kau gendong dia sekarang dan bawa masuk ke dalam rumah! Cepat gendong dia! Cepat!” perintah Park Bok Ja pada Tae Hee, yang langsung diangguki dengan cepat oleh Tae Hee.
“Eomma, keluarlah dulu dari dalam tenda! Aku akan menggendongnya!” seru Tae Hee lalu segera masuk ke dalam tenda dan bertukar posisi dengan sang ibu. Dengan hati-hati, Tae Hee mengeluarkan tubuh Ja Eun dari dalam kantong tidurnya dan menggendongnya di tengah hujan.
Tae Hee dapat merasakan tubuh Ja Eun yang panas membara bagaikan terbakar dan tatapan mata Tae Hee menunjukkan kalau dia sangat khawatir akan kondisi gadis itu.
Dengan hati-hati, Tae Hee menggendong Ja Eun ke loteng, tempat di mana Ja Eun tidur sebelum diusir keluar oleh Park Bok Ja. Park Bok Ja segera membuka alas tidur di lantai kamar dan juga menata bantal dengan cepat. Setelah siap, Tae Hee segera membaringkan Ja Eun yang sedang pingsan dengan lembut di sana.
“Aduh, bajunya basah semua. Aku harus segera mengganti bajunya,” ujar Park Bok Ja dengan cemas, kemudian melihat Tae Hee yang saat itu masih menatap Ja Eun dengan lekat.
“Bajumu juga basah. Mandilah dengan air hangat dan ganti bajumu juga,” lanjut Park Bok Ja, mengusir sang putra dengan halus dari dalam kamar karena dia harus mengganti baju Ja Eun dengan baju yang kering.
“Baiklah. Eomma, panggillah aku jika Ibu membutuhkan bantuan,” ujar Tae Hee sebelum beranjak berdiri. Ekspresi wajahnya masih tampak tak rela pergi dari sana, namun ibunya telah mengusirnya, jadi tak ada yang bisa Tae Hee lakukan selain pergi dari sana.
“Ibu tahu. Pergilah!” sahut Park Bok Ja. Akhirnya Tae Hee beranjak pergi dari sana, namun sebelum benar-benar melangkah keluar pintu, Tae Hee menatap Ja Eun sekali lagi dengan ekspresi khawatir, cemas, gelisah dan tak rela terpancar dari matanya.
Begitu Tae Hee pergi, Park Bok Ja segera turun ke bawah dan mengambil banyak es batu untuk mengompres kening Ja Eun. Park Bok Ja merawat Ja Eun yang sedang sakit dengan penuh perhatian bagaikan seorang Ibu. Sepertinya hati Park Bok Ja mulai tersentuh akan keberadaan Ja Eun.
Benar kata Tae Bum di ep 13, jika terlalu lama mereka bersama, sang ibu pasti akan tersentuh olehnya dan berbalik menyayangi gadis itu dan berujung akan mengembalikan pertanian milik Ja Eun. Itu sebabnya Park Bok Ja menolak berdekatan dengan Ja Eun di awal eps, karena dia takut hatinya akan tersentuh dan berbalik jadi sayang. Hatinya Tae Hee aja jadi tersentuh juga kok lama-lama dan jadi bucin mampus sama Ja Eun hahaha ^_^ *lirik Tae Hee yang mulai ada rasa*
Saat merasakan rasa basah di keningnya, Ja Eun tersadar sesaat.
“Di mana aku?” tanya Ja Eun dengan suaranya yang lemah dan masih sulit membuka mata karena terlalu lemah.
“Di mana lagi menurutmu? Tentu saja di loteng. Di luar hujan turun sangat deras,” jawab Park Bok Ja, sengaja berpura-pura ketus untuk menutupi gengsinya.
“Apakah Ahjumma yang membawaku masuk ke dalam?” tanya Ja Eun dengan lemah.
(Bukan! Mana kuat lah si Ahjumma gendong kamu sendirian? Siapa lagi yang menggendongmu kalau bukan calon pacar, Inspektur Hwang Tae Hee kita yang cute namun dingin abiz kayak kulkas 2 pintu?)
“Aiiggooo… Hanya karena kau bekerja keras selama 2 hari di pertanian, kau langsung demam tinggi? Bagaimana kau bisa bekerja di pertanian dengan tubuhmu yang lemah ini? Cepat tidurlah!” omel Park Bok Ja, walau ketus namun tersirat perhatian di sana.
“Bukan seperti itu. Itu karena aku juga sedang menstruasi. Saat aku mengalami menstruasi, aku akan merasakan sakit seperti ini. Biasanya aku hanya tertidur dan akan baik-baik saja setelah itu, tapi karena aku harus bekerja jadi akhirnya aku demam seperti ini. Perutku juga sangat sakit,” jawab Ja Eun menjelaskan kondisinya.
(Intinya itu Ja Eun lagi nyeri haid, harusnya dia bobok cantik dan istirahat, tapi sekarang dia harus bekerja makanya jadi demam kayak gini karena badannya dipaksa beraktivitas walaupun kesakitan)
“Perutmu terasa sakit?” tanya Park Bok Ja lagi.
“Ya,” jawab Ja Eun dengan lemah.
“Ahjumma, aku akan kembali tidur. Aku tak punya tenaga untuk bicara lagi,” lanjut Ja Eun lemah seraya memejamkan matanya letih.
“Biar aku lihat! Di mana yang sakit? Sesakit apa perutmu?” tanya Park Bok Ja dengan penuh perhatian seraya memasukkan sebelah tangannya ke dalam piyama Ja Eun dan mengusapnya perlahan.
Park Bok Ja tampak terkejut saat merasakan perut Ja Eun terasa sangat dingin, “Kenapa perutmu sedingin ini?” seru Park Bok Ja semakin khawatir, namun Ja Eun masih tertidur karena lemah.
(Lah iyalah, emak. Ja Eun tidur di tenda, di tanah yang dingin, hujan deres pula, plus dia lagi nyeri haid dan kecapekan. Uda paket lengkap kan itu? Ya gimana gak dingin coba perutnya? Tidurnya aja di tanah >_<)
Tak lama kemudian, Ja Eun membuka matanya perlahan dan memanggil Park Bok Ja dengan suara yang lemah, nyaris berbisik, “Ahjumma.”
“Kenapa kau bangun lagi? Aku menyuruhmu untuk memejamkan matamu dan tidur. Aku akan mengusap perutmu hingga hangat, jadi tidurlah!” omel Park Bok Ja, sedikit ketus namun tampak adanya perhatian dan rasa khawatir dari suaranya.
Ja Eun meneteskan air mata haru saat Park Bok Ja mengusap perutnya dan berkata lirih sambil menangis, “Ahjumma, tanganmu sangat hangat. Apa ini yang namanya sentuhan lembut seorang Ibu?” bisik Ja Eun lemah dengan air mata menetes pelan dari sudut matanya. Park Bok Ja hanya terdiam dan menatapnya tanpa kata.
Blogger Opinion :
Akhirnya es di hati Park Bok Ja mulai mencair secara perlahan, dimulai dari hujan berbadai malam ini. Inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh Park Bok Ja kalau sampai Ja Eun berada di dekatnya. Dia tahu dia takkan bisa menolak pesona Ja Eun lebih lama.
Ja Eun adalah gadis yang ramah, ceria, hangat, suka berterus terang, juga sangat manis, pengertian dan perhatian, walaupun terkadang manja, siapa pun, tak hanya Park Bok Ja, pasti akan jatuh hati pada kepribadian Ja Eun yang menyenangkan. Bahkan si polisi dingin dan garang Hwang Tae Hee pun sampai tergila-gila padanya.
Apalagi mengingat kisah hidup Ja Eun juga tak bisa dibilang mudah. Walau dia terlahir sebagai Nona Besar kaya raya, namun Ja Eun kekurangan kasih sayang dari seorang Ibu. Ibu kandungnya meninggal sebelum dia berusia 2 tahun, jadi Ja Eun tak memiliki ingatan apa pun tentang sang ibu. Ayahnya pun menikah 3 kali tapi tak ada seorang pun dari semua ibu tirinya yang menyayanginya seperti menyayangi putri mereka sendiri. Singkatnya, Ja Eun tak pernah merasakan kasih sayang dan kehangatan seorang Ibu. Walau Baek In Ho sangat menyayangi putri semata wayangnya, namun kasih sayang ayah berbeda dengan seorang Ibu.
Baek In Ho pun hanya melimpahi putrinya dengan harta dan uang, namun Ja Eun kekurangan kasih sayang. Ayahnya yang seorang pengusaha seringkali pulang malam dan sering meninggalkannya sendirian jika sedang mengurus bisnis ke luar kota atau luar negeri. Ja Eun tidak memiliki siapa pun untuk bercerita, tak ada saudara, tak ada kakek atau nenek, tak ada paman atau Bibi, hanya pembantu rumah tangga yang akan pulang pukul 3 sore jika pekerjaan mereka telah selesai.
Jadi sudah tentu, sentuhan hangat Park Bok Ja saat dia sedang sakit membuat Ja Eun sangat tersentuh dan menganggapnya seperti sentuhan hangat seorang Ibu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sentuhan hangat seorang Ibu yang sangat diinginkan dan dirindukan oleh Ja Eun yang tak pernah memiliki seorang Ibu selama hidupnya.
Bagi Park Bok Ja, ini juga pertama kalinya dia merawat seorang anak Perempuan yang mengalami nyeri perut akibat menstruasi. Karena semua anak-anaknya adalah seorang anak laki-laki, tentu saja perlakuan dalam membesarkan mereka sangat berbeda.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (King)
---------000000---------
Ja Eun menyapa Park Bok Ja dengan tersenyum riang, “Ahjumma, aku baru saja kembali dari kampus. Karena sesuatu terjadi di kampus, aku memutuskan untuk pulang,” ujar Ja Eun tanpa ditanya.
Namun Park Bok Ja menjawab dengan ketus, “Untuk apa kau kembali? Cepat kemasi barang-barangmu dan pergilah!”
Mendengar itu, Ja Eun hanya tersenyum tipis dan berkata dengan menyesal, “Aku tidak akan seperti itu lagi lain kali. Aku mengerti kenapa Anda marah padaku. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi.” ujar Ja Eun dengan tersenyum manis dan mengambil tas belanjaan Park Bok Ja, “Berikan ini padaku. Aku akan membawakannya,” ujar Ja Eun seraya menyusul langkah Park Bok Ja.
“Selama aku tidak melihatmu, aku sangat gembira,” sahut Park Bok Ja ketus.
“Ahjumma, Anda sengaja berkata kejam seperti itu padaku agar aku segera pergi dan menyerah, bukan?” ujar Ja Eun dengan keras kepala.
Tapi Park Bok Ja masih mengabaikannya dan berjalan dengan cepat, “Ahjumma, walaupun Anda berjalan cepat, kaki Anda lebih pendek dariku jadi Anda tidak bisa mengalahkanku. Aku bisa mengejarmu dengan cepat. Apa yang akan kita lakukan siang ini? Kebun Pir? Memetik cabai? Memberi makan bebek?” seru Ja Eun dengan riang.
Begitu sampai di kebun Pir, Park Bok Ja menyadari bahwa kebun pir mereka terserang oleh hama, jadi mereka memutuskan untuk segera menyemprotkan pestisida untuk mengusir hama ke selurun pohon pir yang ada di pertanian.
Selain menyemprot dengan pestisida, Park Bok Ja juga memerintahkan Ja Eun untuk memetik semua daun yang sudah menghitam agar tidak menyebar ke daun lainnya. Karena daun yang menghitam menunjukkan kalau pohon pir mereka telah terserang hama. Saat hari telah siang, Park Bok Ja berkata bahwa dia khawatir Tae Bum dan Su Young akan datang namun dia tidak bisa mengabaikan pohon pir yang terserang hama. Itu sebabnya Ja Eun menawarkan diri untuk mengurus semuanya.
Di kantor polisi, Seo Dong Min memberitahu Tae Hee pada berdasarkan hasil penyelidikannya, pena itu digunakan sebagai souvenir untuk acara Ulang Tahun Restauran yang ke-10.
“Hyung, aku sudah menghubungi pihak restaurant. Mereka mengatakan kalau pena itu digunakan sebagai hadiah souvenir untuk merayakan hari Ulang Tahun restaurant yang ke-10,” ujar Seo Dong Min, melaporkan hasil penyelidikannya.
“9 Januari 2007 dan itu hanya diberikan untuk satu hari saja,” jawab Seo Dong Min.
“Januari 2007?” ulang Tae Hee mengkonfirmasi.
“Di antara tamu yang datang hari itu, hanya ada 3 orang berkebangsaan Korea Selatan yang menghadiri acaranya,” ujar Dong Min memberikan informasi tambahan.
“Daftar nama? Apa kau sudah mendapatkan daftar namanya?” tanya Tae Hee, tampak penasaran.
“Belum. Besok mereka akan mengirimkan daftar nama tamunya pada kita melalui Fax. Bagaimana jika ketiga orang itu adalah Pimpinan Department kita, Baek In Ho dan Profesor Seo?” ujar Seo Dong Min menebak.
“Kemungkinan besar sepertinya nama merekalah yang akan muncul. Dapatkan dulu daftar nama mereka, lalu berikan padaku,” sahut Tae Hee, merasa sangat yakin.
“Baik. Oh ya, kita makan siang apa? Bagaimana kalau kita makan sup seafood?” tanya Dong Min, mengubah topik pembicaraan mereka menjadi makan siang.
Saat itulah mereka melihat Lee Seung Mi berada di depan ruangan Divisi Penyelidikan Kriminal tampak seperti sedang menunggu seseorang. Tae Hee menahan langkahnya dan wajahnya menunjukkan rasa malas, kesal dan tidak suka melihat gadis itu di sana.
“Dia di sini lagi? Dia sering sekali kemari. Apa mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara kalian berdua?” tebak Seo Dong Min dengan usil, membuat Tae Hee jengah dan kesal.
“YYAAA! Jangan mengatakan hal-hal konyol seperti itu!” sentak Tae Hee tampak jengah.
Mendengar suara Tae Hee, Seung Mi langsung menyapa dengan riang, “Oppa!” seraya mendekat ke arah mereka berdua. Seo Dong Min segera merebut berkas di tangan Tae Hee dan memohon diri pergi dari sana, meninggalkan Tae Hee dan Seung Mi berdua.
“Kalau begitu aku akan mohon diri lebih dulu,” ujar Seo Dong Min dengan tersenyum usil.
“YYYAAA! SEO DONG MIN! DONG MIN-AH!” panggil Tae Hee dengan lantang, tampak kesal dan tidak suka ditinggalkan berdua dengan Lee Seung Mi.
“Kau ingin makan siang, kan? Ayo kita makan siang bersama,” ajak Lee Seung Mi tanpa malu-malu bergelayut di lengan Tae Hee. Tae Hee tampak tak suka lalu segera menarik lengannya dengan kasar.
(Tae Hee gak suka dikejar, Tae Hee lebih suka kalau dialah yang mengejar! Jadi dia malah benci kalau ada cewek yang ngejar-ngejar dia karena Tae Hee menganggap cewek yang ngejar cowok itu murahan. Untunglah Baek Ja Eun gak pernah ngejar Tae Hee, Tae Hee-lah yang mengejar Baek Ja Eun mati-matian!)
“Aku sibuk. Aku tak punya waktu untuk makan denganmu!” Seru Tae Hee dengan dingin dan kasar. (Coba sama Ja Eun, Tae Hee-lah yang selalu ngajakin makan karena selalu pengen deketan sama si ayang xixixi ^_^)
“Kalau begitu kapan kau punya waktu luang? Aku akan menunggumu!” seru Lee Seung Mi tak menyerah, dia sekali lagi tanpa tahu malu memeluk lengan Tae Hee dengan genitnya, membuat Tae Hee semakin jengah dan kesal.
“Ada apa denganmu?” sentak Tae Hee dengan nada tinggi seraya kembali menarik lengannya yang dipeluk Lee Seung Mi dan menatapnya jengkel. Ekspresi Tae Hee terlihat seperti antara marah, kesal, malas dan jijik melihat Lee Seung Mi yang seolah tak punya harga diri.
“Aku katakan sekali lagi padamu, bicaralah sambil menjaga jarak. Aku punya pendengaran yang bagus, aku tidak tuli. Tidak perlu dekat-dekat!” lanjut Tae Hee, dengan nada lebih rendah setelah membentaknya dan membuat Seung Mi terkejut.
Tapi emang dasar ni cewek gatel dan gak punya harga diri, tetep aja nekat nyoba peluk-peluk Tae Hee lagi, “Bagaimana dengan minum kopi? Hanya 10 menit saja,” ujar Lee Seung Mi seraya kembali memeluk lengan Tae Hee untuk yang ketiga kalinya.
“YYYAAA!” sentak Tae Hee lebih keras kali ini, dan kembali menarik lengannya dengan kesal seraya mendorong Lee Seung Mi menjauh dengan kuat.
(Udahlah, Lee Seung Mi! Kau bukan type-nya Tae Hee. Type-nya Tae Hee yang modelan Baek Ja Eun : tak hanya cantik, tinggi, seksi dan pintar, namun juga berani, mandiri, baik, ceria, hangat, perhatian, pengertian dan blak-blakan kalau ngomong, bukan cewek Pick Me Girl, pembully, muka dua kayak dirimu! Hush hush hush...Sono pergi jauh-jauh! Jangan godain calon pacar orang! *usir Lee Seung Mi jauh-jauh*)
“Pakai ini! Kau bisa terserang flu!” lanjut Tae Hee seraya melepas jaketnya dan memberikannya pada gadis itu, kemudian berjalan pergi dari sana. Kalau bukan anaknya bos, pasti uda digibeng sama Tae Hee saking jengkelnya. Karena anaknya bos jadi disabar-sabarin sama Tae Hee.
“Oppa, ayo kita pergi bersama!” seru Lee Seung Mi dengan tersenyum ceria, berpikir bahwa Tae Hee memberikannya jaket karena perhatian padanya. Faktanya Tae Hee hanya risih melihat pakaian Lee Seung Mi yang kurang bahan.
Malamnya, Tae Hee kembali ke pertanian dengan membawa seplastik penuh berisi roti kacang manis kesukaan neneknya. Ja Eun yang baru saja kembali dari menyemprot pestisida menyapanya dengan riang.
“Ya. Ah, tunggu sebentar. Aku akan mengembalikan penamu,” ujar Tae Hee seraya mencari sesuatu di dalam kantong celananya namun tidak menemukan apa pun di sana.
“Ah, maaf. Sepertinya aku menjatuhkannya di kantor. Aku akan mengembalikannya padamu lain kali,” ujar Tae Hee dengan raut wajah bersalah karena membuat gadis itu berharap senang.
Ja Eun tampak kecewa mendengarnya namun tatapan matanya teralihkan pada bungkusan plastik di tangan Tae Hee.
“Apa itu?” tanya Ja Eun penasaran.
“Ini? Ini adalah roti kacang manis. Nenek menyukainya,” jawab Tae Hee menjelaskan seraya mengangkat plastiknya.
Ja Eun mengangguk seraya mengamati Tae Hee lekat, membuat Tae Hee merasa salah tingkah dan gugup, “Ada apa?” tanya Tae Hee dengan ekspresi gugup saat Ja Eun menatapnya dari atas ke bawah dengan lekat.
“Aku hanya bertanya, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Kupikir kau akan membelikanku segelas Ice Charamel Macchiato,” sahut Ja Eun dengan wajah kecewa.
(Ja Eun bener-bener ingin minum kopi tapi gak punya duit. Lah Ja Eun mintanya kopi modelan Starbuck, mahal cuyy! Coba kopi item di warkop pinggir jalan, pasti dibeli’in deh hahaha ^_^)
Tae Hee berdehem lalu melemparkan tatapannya ke arah lain dengan tak nyaman saat mendengarnya.
“Kau ingin menyuruhku untuk berhenti bermimpi, kan? Aku tahu. Sepertinya ini salahku karena terlalu berharap pada pria dingin sepertimu untuk membelikanku segelas kopi. Aku sangat lelah jadi aku ingin tidur sekarang. Pergilah! Aku akan masuk ke dalam tendaku,” ujar Ja Eun dengan cemberut dan ketus, membuat Tae Hee merasa bersalah mendengarnya.
“Itu... Ehem, apa kau mau sepotong roti?” tawar Tae Hee akhirnya, sebagai pengganti kopi, dia menawarkan roti di tangannya dengan ekspresi wajah sungkan. Tae Hee bahkan menarik keluar satu bungkus roti dari dalam plastik dan menawarkannya dengan malu-malu.
“Tidak usah. Bukankah roti itu untuk Nenek?” jawab Ja Eun, masih ketus dan cemberut.
Ja Eun kemudian masuk ke dalam tendanya dengan kesal, namun kemudian dia kembali menyembulkan kepalanya keluar dan berkata dengan nada menyindir sekali lagi, “Setelah kupikirkan sekali lagi, bukankah ini sudah waktunya mengembalikan penaku karena kau sudah meminjamnya begitu lama? Kalau kau meminjam barang milik seseorang namun kau datang mengembalikannya dengan tangan kosong begitu saja, apa menurutmu itu pantas? Kau benar-benar dingin dan pelit,” seru Ja Eun seraya menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tak percaya melihat Tae Hee yang begitu pelit.
Ja Eun mengatakannya secara blak-blakan, tanpa rasa sungkan mengatai Tae Hee "Pelit". Kalimatnya sekali lagi membuat Tae Hee merasa bersalah, saat Tae Hee akan menjawab, “Itu…Lain kali—” Tae Hee akan mengatakan sesuatu namun Ja Eun sudah lebih dulu menutup pintu tendanya dengan kesal, membuat Tae Hee hanya mampu menarik napas pasrah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Kena mental lagi si Tae Hee, setelah dikatain "Pria brengsek, pengecut dan polisi tidak kompeten", sekarang bertambah lagi jadi "Pelit" hahaha ^_^
Setelah masuk ke dalam rumah, Tae Hee segera ke kamar sang nenek dan meletakkan kopi tersebut di samping kepala Neneknya.
“Ha Na-yaa, apa kau bisa membawakan Eonnie tissue? Gadis tercantik kedua di dunia, Ha Na, tolong bawakan Eonnie tissue!” teriak Ja Eun lantang dari arah kamar mandi luar, meminta tolong pada gadis kecil bernama Ha Na. Ja Eun menyebut Ha Na sebagai gadis tercantik kedua di dunia, karena Ja Eun menganggap dialah yang paling cantik hahaha ^_^
“Aku tidak bisa hidup…Aku tidak bisa hidup,” omel Ha Na seraya berjalan keluar dari rumahnya dengan membawakan tissue untuk Ja Eun.
Semua orang di dalam rumah, masih mendengar Ja Eun berseru lantang meminta tissue, “Bila kau membawakan Eonnie tissue, kau akan menjadi gadis tercantik kedua di dunia ini. Ha Na, gadis tercantik kedua di dunia ini, tolong bawakan Eonnie tissue. Ha Na-yaa, kakiku kram lagi. Ha Na-yaaa, Help me!” teriak Ja Eun, membuat kehebohan di pagi hari.
Kehebohannya membuat seluruh Keluarga Hwang tertawa lucu mendengarnya, kecuali Park Bok Ja dan Nenek.
Tae Hee tertawa tiada henti saat mendengar suara lantang Ja Eun yang meminta tissue. Mungkin ini pertama kalinya bagi Tae Hee bertemu gadis aneh seperti Baek Ja Eun, jadi baginya ini seperti hiburan tersendiri dan tanpa sadar dia tertawa geli seperti anak kecil melihat mainan baru.
“Aigoo, gadis ini mulai lagi. Dia mulai lagi,” omel Nenek yang mendengar kehebohan yang dibuat Ja Eun di pagi hari. Tae Hee lagi-lagi hanya tertawa lucu mendengar neneknya mengomeli Ja Eun.
Tae Bum pun tersenyum dan bertanya penasaran, “Apa dia sering seperti ini?” tanyanya penasaran.
Hwang Chang Sik (papa Hwang) menjawab sambil tersenyum geli, “Dia kadang-kadang seperti ini jika kehabisan tissue. Sangat lucu dan menghibur. Dia selalu mengubah panggilannya terhadap Ha Na setiap kali meminta bantuannya,” sahut Hwang Chang Sik sambil tertawa geli.
“Sepertinya Ja Eun adalah gadis yang menarik,” ujar Tae Bum sambil tersenyum lucu. Tae Hee, Tae Shik, Tae Bum dan Papa Hwang tertawa lucu lagi sementara Tae Phil hanya tersenyum tipis menanggapi.
“Oh, sudah mulai tenang sekarang. Ha Na pasti sudah membawakan tissue-nya, kan?” ujar Tae Bum lagi sambil tersenyum ke arah Tae Hee yang juga tertawa mendengarnya.
“Sepertinya begitu,” sahut Tae Hee singkat, namun senyuman ceria tetap muncul di wajah tampannya. (Pak Polisi banyak senyum hari ini. Senyumnya gara-gara Ja Eun pula. Apa hatimu sudah mulai menghangat, Tae Hee?)
Akhirnya Nenek pun memberi instruksi pada semua orang untuk mulai makan dan setelah mendengar instruksi tersebut, semua orang memulai sarapan mereka.
Setelah sarapan, Ja Eun dan Park Bok Ja mulai kembali mengurus kebun pir yang diserang oleh Hama. Park Bok Ja yang tahu bahwa Ja Eun belum sarapan, memberikannya jagung rebus untuk makan. Ja Eun mengambilnya dan memakannya dengan penuh sukacita karena dia memang sedang lapar dan belum sarapan.
“Jagung rebus? Aku memang sedang kelaparan. Kamsahamnida (Terima kasih), Ahjumma,” sahut Ja Eun riang dan memakannya dengan penuh sukacita.
“Wah, ini sangat lezat. Apa Ahjumma tidak mau memakannya sedikit?” tanya Ja Eun yang sedang asyik makan.
“Kau makanlah saja! Aku tidak mood makan karena memikirkan hama ini,” sahut Park Bok Ja sambil tetap menyemprot pestisida.
Mendengar itu, Ja Eun merasa sungkan lalu meletakkan kembali jagung rebusnya, “Kenapa kau tidak makan lagi?” tanya Park Bok Ja dengan tatapan simpati.
“Karena tiba-tiba aku merasa khawatir. Aku akan makan lagi nanti. Sekarang kita harus meneruskan pekerjaan ini,” jawab Ja Eun dan segera kembali menyemprotkan pestisida.
Ja Eun dan Park Bok Ja bekerja di pertanian hingga malam. Hingga Ja Eun menjerit ketakutan karena dia menginjak cacing tanah yang berukuran besar. Park Bok Ja lalu berkata bahwa keluarnya cacing tanah adalah pertanda buruk.
Ja Eun bertanya ingin tahu, “Memangnya kenapa?” tanyanya tak mengerti.
“Karena itu artinya akan turun hujan dengan deras nanti malam. Jika sampai turun hujan, maka semua yang kita lakukan sekarang akan sia-sia saja. Semua pestisida yang kita semprotkan sekarang akan hilang terkena air hujan,” jawab Park Bok Ja dengan khawatir.
"Jadi semua pekerjaan kita akan sia-sia saja?" tanya Ja Eun dengan raut wajah tak terima. Ya gimana lagi, Ja Eun-ah? Kan ujan, say...
Akhirnya karena cuaca semakin gelap, Park Bok Ja memutuskan untuk mengakhiri pekerjaan mereka sampai di sini saja.
Dan sesuai prediksi Park Bok Ja, malam harinya hujan turun dengan sangat deras. Suara hujan yang deras dan guntur yang menggelegar di angkasa, membuat wanita tua itu terbangun di tengah malam dengan khawatir.
Park Bok Ja keluar dari kamarnya dan menyibak tirai di ruang tamu untuk melihat keadaan di luar rumah. Ekspresi wajahnya tampak khawatir.
“Hujannya sangat deras. Apakah gadis itu akan baik-baik saja tidur di tenda di tengah hujan deras seperti itu? Bagaimana jika tendanya bocor? Bagaimana jika ada genangan atau banjir di halaman?” gumam Park Bok Ja dengan ekspresi khawatir dan mondar-mandir dengan gelisah.
Dia kemudian berbalik memunggungi jendela ruang tamu dan bergumam sendiri, “Tidak. Aku tidak khawatir! Kenapa aku harus peduli padanya?” gumamnya namun hati nuraninya merasa terganggu dengan hujan deras yang turun malam ini. Akhirnya Park Bok Ja kembali mengintip dari balik tirai sekali lagi.
“Apa kau sudah tidur? Baek Ja Eun! Apa kau sudah tidur? Baek Ja Eun!” panggil Tae Hee berulang kali, namun tak mendapat jawaban dari gadis muda itu. Tae Hee pun sepertinya tampak khawatir dengan keadaan tenda Ja Eun.
Saat itulah Park Bok Ja juga keluar dari dalam rumah dengan membawa sebuah payung.
“Tae Hee-ya, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Park Bok Ja saat melihat putra ketiganya berdiri di depan tenda Ja Eun.
“Aku baru saja pulang ke rumah. Namun karena hujannya sangat deras, aku sangat khawatir padanya,” jawab Tae Hee seraya menuding ke arah tenda Ja Eun.
(Tae Hee ngaku terang-terangan kalau dia memang khawatir pada Ja Eun. Yakin hanya khawatir, Tae Hee-yya?)
“Eomma, apa Eomma juga khawatir padanya, itu sebabnya Eomma keluar?” tanya Tae Hee memastikan, tapi Park Bok Ja menyangkal karena gengsi.
“Tidak. Siapa yang khawatir padanya? Ibu hanya keluar untuk melihat keadaan karena hujannya terlalu deras. Apa kau sudah memeriksa keadaannya?” tanya Park Bok Ja seraya menuding ke arah tenda.
(Ya mana bisalah Tae Hee meriksa? Dia kan cowok, gak sopan kale membuka tenda seorang gadis malem-malem? Apalagi di malam hujan berbadai kayak gini?)
“Aku sudah memanggilnya berkali-kali namun dia tidak menjawab,” sahut Tae Hee tampak khawatir.
“Apa kau sudah tidur? Ja Eun-ah! Ja Eun-ah! Apa kau sudah tidur?” panggil Park Bok Ja memastikan kondisi gadis itu.
“Aku juga sudah memanggilnya berkali-kali namun tak ada suara apa pun dari dalam sana. Aku takut terjadi sesuatu padanya,” seru Tae Hee, menjelaskan sekali lagi di tengah suara air hujan yang berisik.
Mendengar ucapan Tae Hee, Park Bok Ja menjadi semakin khawatir, dia menyerahkan payungnya pada Tae Hee dan memintanya memegang payung itu sebentar, sementara dia akan membuka tendanya untuk melihat keadaan Ja Eun.
Park Bok Ja duduk di dalam tenda dan memanggil Ja Eun berkali-kali seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya yang berada di dalam kantong tidur, namun Ja Eun tertidur seperti orang mati.
“Pantas saja dia tidak merespon saat kita memanggilnya. Dia tidur seperti orang mati,” seru Park Bok Ja pada Tae Hee. (Woi, emak! Ja Eun tuh pingsan kale, bukan tidur!)
“Ja Eun-ah, kenapa kau tidur seperti ini? (Seperti orang mati maksudnya). Ja Eun-ah, jangan menakuti kami! Ja Eun-ah, ada apa denganmu? Ja Eun-ah!” panggil Park Bok Ja sekali lagi.
Saat itulah dia melihat gadis itu tampak mengernyitkan dahinya dalam tidurnya seperti orang yang kesakitan dan tubuhnya gemetar kedinginan. Park Bok Ja segera mengarahkan tangannya untuk memeriksa kening Ja Eun dan menyadari jika gadis itu sedang demam tinggi dan rupanya sedang pingsan. Dia tampak terkejut saat melihat suhu tubuhnya yang panas membara.
“Kepalanya seperti terbakar api. Tae Hee-yya!” seru Park Bok Ja panik, seraya memanggil Tae Hee yang segera berjongkok untuk melihat.
“Ya, Eomma.” Sahut Tae Hee.
“Ja Eun demam tinggi dan sedang pingsan saat ini. Cepat! Kau gendong dia sekarang dan bawa masuk ke dalam rumah! Cepat gendong dia! Cepat!” perintah Park Bok Ja pada Tae Hee, yang langsung diangguki dengan cepat oleh Tae Hee.
“Eomma, keluarlah dulu dari dalam tenda! Aku akan menggendongnya!” seru Tae Hee lalu segera masuk ke dalam tenda dan bertukar posisi dengan sang ibu. Dengan hati-hati, Tae Hee mengeluarkan tubuh Ja Eun dari dalam kantong tidurnya dan menggendongnya di tengah hujan.
Tae Hee dapat merasakan tubuh Ja Eun yang panas membara bagaikan terbakar dan tatapan mata Tae Hee menunjukkan kalau dia sangat khawatir akan kondisi gadis itu.
Dengan hati-hati, Tae Hee menggendong Ja Eun ke loteng, tempat di mana Ja Eun tidur sebelum diusir keluar oleh Park Bok Ja. Park Bok Ja segera membuka alas tidur di lantai kamar dan juga menata bantal dengan cepat. Setelah siap, Tae Hee segera membaringkan Ja Eun yang sedang pingsan dengan lembut di sana.
“Aduh, bajunya basah semua. Aku harus segera mengganti bajunya,” ujar Park Bok Ja dengan cemas, kemudian melihat Tae Hee yang saat itu masih menatap Ja Eun dengan lekat.
“Bajumu juga basah. Mandilah dengan air hangat dan ganti bajumu juga,” lanjut Park Bok Ja, mengusir sang putra dengan halus dari dalam kamar karena dia harus mengganti baju Ja Eun dengan baju yang kering.
“Baiklah. Eomma, panggillah aku jika Ibu membutuhkan bantuan,” ujar Tae Hee sebelum beranjak berdiri. Ekspresi wajahnya masih tampak tak rela pergi dari sana, namun ibunya telah mengusirnya, jadi tak ada yang bisa Tae Hee lakukan selain pergi dari sana.
“Ibu tahu. Pergilah!” sahut Park Bok Ja. Akhirnya Tae Hee beranjak pergi dari sana, namun sebelum benar-benar melangkah keluar pintu, Tae Hee menatap Ja Eun sekali lagi dengan ekspresi khawatir, cemas, gelisah dan tak rela terpancar dari matanya.
Begitu Tae Hee pergi, Park Bok Ja segera turun ke bawah dan mengambil banyak es batu untuk mengompres kening Ja Eun. Park Bok Ja merawat Ja Eun yang sedang sakit dengan penuh perhatian bagaikan seorang Ibu. Sepertinya hati Park Bok Ja mulai tersentuh akan keberadaan Ja Eun.
Benar kata Tae Bum di ep 13, jika terlalu lama mereka bersama, sang ibu pasti akan tersentuh olehnya dan berbalik menyayangi gadis itu dan berujung akan mengembalikan pertanian milik Ja Eun. Itu sebabnya Park Bok Ja menolak berdekatan dengan Ja Eun di awal eps, karena dia takut hatinya akan tersentuh dan berbalik jadi sayang. Hatinya Tae Hee aja jadi tersentuh juga kok lama-lama dan jadi bucin mampus sama Ja Eun hahaha ^_^ *lirik Tae Hee yang mulai ada rasa*
Saat merasakan rasa basah di keningnya, Ja Eun tersadar sesaat.
“Di mana aku?” tanya Ja Eun dengan suaranya yang lemah dan masih sulit membuka mata karena terlalu lemah.
“Di mana lagi menurutmu? Tentu saja di loteng. Di luar hujan turun sangat deras,” jawab Park Bok Ja, sengaja berpura-pura ketus untuk menutupi gengsinya.
“Apakah Ahjumma yang membawaku masuk ke dalam?” tanya Ja Eun dengan lemah.
(Bukan! Mana kuat lah si Ahjumma gendong kamu sendirian? Siapa lagi yang menggendongmu kalau bukan calon pacar, Inspektur Hwang Tae Hee kita yang cute namun dingin abiz kayak kulkas 2 pintu?)
“Aiiggooo… Hanya karena kau bekerja keras selama 2 hari di pertanian, kau langsung demam tinggi? Bagaimana kau bisa bekerja di pertanian dengan tubuhmu yang lemah ini? Cepat tidurlah!” omel Park Bok Ja, walau ketus namun tersirat perhatian di sana.
“Bukan seperti itu. Itu karena aku juga sedang menstruasi. Saat aku mengalami menstruasi, aku akan merasakan sakit seperti ini. Biasanya aku hanya tertidur dan akan baik-baik saja setelah itu, tapi karena aku harus bekerja jadi akhirnya aku demam seperti ini. Perutku juga sangat sakit,” jawab Ja Eun menjelaskan kondisinya.
(Intinya itu Ja Eun lagi nyeri haid, harusnya dia bobok cantik dan istirahat, tapi sekarang dia harus bekerja makanya jadi demam kayak gini karena badannya dipaksa beraktivitas walaupun kesakitan)
“Perutmu terasa sakit?” tanya Park Bok Ja lagi.
“Ya,” jawab Ja Eun dengan lemah.
“Ahjumma, aku akan kembali tidur. Aku tak punya tenaga untuk bicara lagi,” lanjut Ja Eun lemah seraya memejamkan matanya letih.
“Biar aku lihat! Di mana yang sakit? Sesakit apa perutmu?” tanya Park Bok Ja dengan penuh perhatian seraya memasukkan sebelah tangannya ke dalam piyama Ja Eun dan mengusapnya perlahan.
Park Bok Ja tampak terkejut saat merasakan perut Ja Eun terasa sangat dingin, “Kenapa perutmu sedingin ini?” seru Park Bok Ja semakin khawatir, namun Ja Eun masih tertidur karena lemah.
(Lah iyalah, emak. Ja Eun tidur di tenda, di tanah yang dingin, hujan deres pula, plus dia lagi nyeri haid dan kecapekan. Uda paket lengkap kan itu? Ya gimana gak dingin coba perutnya? Tidurnya aja di tanah >_<)
Tak lama kemudian, Ja Eun membuka matanya perlahan dan memanggil Park Bok Ja dengan suara yang lemah, nyaris berbisik, “Ahjumma.”
“Kenapa kau bangun lagi? Aku menyuruhmu untuk memejamkan matamu dan tidur. Aku akan mengusap perutmu hingga hangat, jadi tidurlah!” omel Park Bok Ja, sedikit ketus namun tampak adanya perhatian dan rasa khawatir dari suaranya.
Ja Eun meneteskan air mata haru saat Park Bok Ja mengusap perutnya dan berkata lirih sambil menangis, “Ahjumma, tanganmu sangat hangat. Apa ini yang namanya sentuhan lembut seorang Ibu?” bisik Ja Eun lemah dengan air mata menetes pelan dari sudut matanya. Park Bok Ja hanya terdiam dan menatapnya tanpa kata.
Blogger Opinion :
Akhirnya es di hati Park Bok Ja mulai mencair secara perlahan, dimulai dari hujan berbadai malam ini. Inilah yang sebenarnya ditakutkan oleh Park Bok Ja kalau sampai Ja Eun berada di dekatnya. Dia tahu dia takkan bisa menolak pesona Ja Eun lebih lama.
Ja Eun adalah gadis yang ramah, ceria, hangat, suka berterus terang, juga sangat manis, pengertian dan perhatian, walaupun terkadang manja, siapa pun, tak hanya Park Bok Ja, pasti akan jatuh hati pada kepribadian Ja Eun yang menyenangkan. Bahkan si polisi dingin dan garang Hwang Tae Hee pun sampai tergila-gila padanya.
Apalagi mengingat kisah hidup Ja Eun juga tak bisa dibilang mudah. Walau dia terlahir sebagai Nona Besar kaya raya, namun Ja Eun kekurangan kasih sayang dari seorang Ibu. Ibu kandungnya meninggal sebelum dia berusia 2 tahun, jadi Ja Eun tak memiliki ingatan apa pun tentang sang ibu. Ayahnya pun menikah 3 kali tapi tak ada seorang pun dari semua ibu tirinya yang menyayanginya seperti menyayangi putri mereka sendiri. Singkatnya, Ja Eun tak pernah merasakan kasih sayang dan kehangatan seorang Ibu. Walau Baek In Ho sangat menyayangi putri semata wayangnya, namun kasih sayang ayah berbeda dengan seorang Ibu.
Baek In Ho pun hanya melimpahi putrinya dengan harta dan uang, namun Ja Eun kekurangan kasih sayang. Ayahnya yang seorang pengusaha seringkali pulang malam dan sering meninggalkannya sendirian jika sedang mengurus bisnis ke luar kota atau luar negeri. Ja Eun tidak memiliki siapa pun untuk bercerita, tak ada saudara, tak ada kakek atau nenek, tak ada paman atau Bibi, hanya pembantu rumah tangga yang akan pulang pukul 3 sore jika pekerjaan mereka telah selesai.
Jadi sudah tentu, sentuhan hangat Park Bok Ja saat dia sedang sakit membuat Ja Eun sangat tersentuh dan menganggapnya seperti sentuhan hangat seorang Ibu yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sentuhan hangat seorang Ibu yang sangat diinginkan dan dirindukan oleh Ja Eun yang tak pernah memiliki seorang Ibu selama hidupnya.
Bagi Park Bok Ja, ini juga pertama kalinya dia merawat seorang anak Perempuan yang mengalami nyeri perut akibat menstruasi. Karena semua anak-anaknya adalah seorang anak laki-laki, tentu saja perlakuan dalam membesarkan mereka sangat berbeda.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (King)
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar