Jumat, 21 Juni 2024

Sinopsis EP 24 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight for today episode :
The secret reveals! Ja Eun finally know that Ahjumma stole her contract. Poor Ja Eunie T_T The betrayal is real. Ja Eun thinks she is holding onto her future, she think she will have a woman who is going to be like a mom to her from now on. But the fact is that woman betrayed her, stole her contract, chased her out and make her suffered T_T Poor Ja Eunie! She loves Ahjumma like her own Mom, a mom that she never had T_T


Ah, and we have the second male lead coming to the scenes. Tae Hee-yaa, your love rival is coming. If you don’t wanna lose Ja Eun, do some action now! I hope Tae Hee realize he is feeling something for the girl he dragged out of that store to the police station before it’s too late. Actions speak louder than words, Tae Hee-yaa! Show her that you love her and want to win her back. Show her, not only tell !!! Fighting, Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim ^^ It’s time for you to chase after her ^^


Ah, not to forget about sweet Tae Hee. How lovely that we got to see Tae Hee smiling a bit more (those dimples) and how cute is it that Ja Eun knows she can get him to help her in an instant. That giggling after she called him was so adorable! I laughed so hard at that duck scaring scene, don’t know why since it wasn’t all that funny but I found it just so. I guess this scene sorta broke down the “Young girl – Ahjussi” wall between these two, ok well may be mostly for Ja Eun at the moment.

-------000000--------

Episode 24:
Setelah pengakuan Tae Hee yang membingungkan tentang wanita di dalam foto tua yang ternyata adalah ibu kandungnya, Ja Eun dan Tae Hee pulang ke rumah bersama.

Ja Eun kembali ke kamarnya di loteng dan memikirkan kembali pengakuan Tae Hee padanya, “Jadi apa maksudnya adalah Bok Ja Ahjumma bukanlah ibu kandungnya? Lalu apakah Chang Sik Ahjussi juga bukan ayah kandungnya? Bila dia ingin memberitahuku, dia seharusnya memberitahuku semuanya, jangan setengah-setengah seperti ini. Aku berharap dia memberitahuku cerita lengkapnya,” gerutu Ja Eun pada dirinya sendiri, yang tampak kesal karena Tae Hee hanya memberinya setengah informasi.


Ja Eun kemudian duduk dan mulai membuka buku sketsanya untuk menggambar seraya melanjutkan monolognya, “Aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau Bok Ja Ahjumma bukan ibu kandungnya,” ujar Ja Eun, berbicara sendiri.

“Apakah Ahjumma di sana baik-baik saja?” tanya Ja Eun tiba-tiba teringat pada Park Bok Ja.

Dan pucuk dicinta ulam tiba, baru saja dibicarakan, Park Bok Ja tiba-tiba menelpon Ja Eun dan mengajaknya jalan-jalan serta makan siang bersama keesokan harinya.

Setelah sambungan telpon dengan Park Bok Ja berakhir, Ja Eun berbaring di lantai kamarnya dan kembali teringat kata-kata Tae Hee, “Dan juga, jika bukan hari ini, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk mengatakannya padamu di masa depan.”

“Apa maksudnya itu? Apa dia akan pergi ke suatu tempat dalam waktu dekat? Apa dia akan dipindahtugaskan?” ujar Ja Eun pada dirinya sendiri dengan berbagai pertanyaan dalam hatinya.

Keesokan paginya, Ja Eun pergi ke kandang bebek untuk memberi makan bebek-bebek itu seperti biasanya. Gadis muda itu tampak bersemangat menyambut pagi yang indah di pertanian.


“Selamat pagi. Apa kalian tidur dengan baik, anak-anak? Pagi ini udaranya sedikit dingin, benarkan?” ujar Ja Eun, menyapa bebek-bebek itu dengan ceria.

“Aku tahu. Aku tahu. Sekarang saatnya memberi kalian makan,” ujar Ja Eun seraya menaburkan pakan bebek itu ke berbagai arah.

Ja Eun kemudian membungkuk untuk melihat bahwa bubuk gergaji yang ditebarkan di tanah, yang berfungsi untuk menghangatkan bebek-bebek itu telah habis dan harus kembali ditaburkan.

“Sepertinya serbuk gergajinya sudah habis,” ujar Ja Eun kemudian pergi menuju ke gudang untuk mengambilnya. Tapi sialnya, serbuk gergaji dengan ukuran karung kecil sudah habis dan hanya tersisa ukuran karung besar yang tidak mampu dia angkat.

“Bagaimana caraku mengangkatnya? Ini terlalu berat,” gerutu Ja Eun dengan bingung. Dia mencoba mengangkatnya berkali-kali tapi selalu gagal. Jangankan terangkat, bergeser saja tidak.

Dan entah darimana datangnya, tiba-tiba saja Ja Eun terpikirkan untuk menelpon Tae Hee agar bisa membantunya. Dengan hati berdebar kencang, dia mengambil ponselnya dan menelpon nomor Tae Hee dengan berharap-harap cemas.

Tanpa diduga, tanpa disangka, tanpa dikira, Tae Hee yang biasanya selalu tidak membalas pesannya dan selalu mengabaikan panggilannya, kini mengangkat teleponnya.

(Tae Hee kesambet juga kayaknya, tapi Tae Hee kesambet panahnya Cupid xixixi ^_^ Kalau Tae Phil kan kesambet setannya pohon pir hahaha ^^ *abaikan*)



“Yoboseyo,” ujar Tae Hee dari seberang saluran.
“Ahjussi, selamat pagi. Ini aku, Ja Eun.” Ujar Ja Eun dengan jantung berdebar kencang. Dia menarik napas sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Maafkan aku menganggumu pagi-pagi begini, tapi bila kau ada waktu, bisakah kau membantuku memindahkan serbuk gergaji? Itu sangat berat, aku tak sanggup mengangkatnya,” ujar Ja Eun di telepon seraya menggigit bibirnya dengan gugup.


“Baiklah. Kau ada di gudang, kan? Aku akan segera ke sana,” sahut Tae Hee menyanggupi.

Setelah telepon terputus, Ja Eun tampak tersenyum gembira karena memiliki alasan untuk bertemu dengan Tae Hee. Sementara Tae Hee menatap ponselnya kemudian menarik napas berat.




Ja Eun tampak merapikan rambutnya sebelum Tae Hee tiba di sana (Ja Eun pengen tebar pesona maksudnya xixixi ^^ Gak perlu repot tebar pesona, Tae Hee uda ada rasa kok, hanya saja dia belum menyadarinya ^_^)

Tak lama kemudian, Tae Hee tiba di sana dan segera berjalan mendekati Ja Eun yang sudah menunggu di depan gudang dengan gugup namun gembira sekaligus.


“Apa aku membangunkanmu?” tanya Ja Eun dengan tak enak hati.
“Tidak. Aku sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Yang itu, kan?” ujar Tae Hee seraya menuding karung besar berwarna hijau yang tergeletak di lantai gudang.

“Ya,” sahut Ja Eun.


Namun saat Tae Hee akan melangkah masuk ke dalam gudang, Ja Eun menghentikan langkahnya, “Ahjussi, tentang yang kau katakan kemarin kalau kau tidak mengatakannya hari ini maka tidak ada kesempatan untuk mengatakannya di masa depan, apa itu karena kau akan pergi jauh? Kau akan dipindahtugaskan? Apa itu maksudmu?” tanya Ja Eun ingin tahu, bertanya dengan sedikit takut dan ragu, takut kalau Tae Hee akan marah dengan pertanyaannya.


Tae Hee menggelengkan kepalanya dan menjawab tegas, “Tidak.”

Ja Eun tersenyum lega mendengarnya, “Aku lega mendengarnya. Lupakan saja kalau begitu. Ah, itu karungnya. Sangat berat. Aku sanggup mengangkatnya,” ujar Ja Eun menginformasikan, sementara Tae Hee tampak menatapnya dengan lekat. (Aku bisa melihat tatapan penuh cinta di mata itu).


Setelah Ja Eun masuk ke dalam gudang, Tae Hee mengikutinya masuk dan berjalan menuju karung berisi serbuk gergaji itu berada kemudian mengangkatnya dengan sekali percobaan seolah karung tersebut sangatlah ringan. Ja Eun tampak memandang Tae Hee dengan terpesona.



“Apa ada lagi yang perlu dipindahkan? Apa aku harus memindahkan pakannya juga?” tawar Tae Hee seraya menunjuk karung yang berisi pakan bebek.

“Tidak. Tidak perlu. Masih ada cukup pakan,” sahut Ja Eun yang masih terpesona dengan gugup.


“Benarkah? Ayo kita pergi,” ujar Tae Hee seraya memberi tanda ke arah pintu gudang. Ja Eun mengangguk dan berjalan  di belakang Tae Hee.

Setelah keluar dari gudang, Ja Eun berlari lebih dulu untuk membuka pintu kandangnya.

Ja Eun segera menaburkan kembali pakan bebeknya seraya menunggu Tae Hee masuk ke dalam. Tapi Tae Hee tampak terdiam di depan pintu, dengan ekspresi tak yakin, membuat Ja Eun menjadi penasaran.

“Masuklah,” ajak Ja Eun pada Tae Hee yang hanya menatapnya memelas seperti anak kecil yang tidak mau makan namun dipaksa makan.

“Kenapa? Masuklah,” ujar Ja Eun sekali lagi saat Tae Hee masih belum bergerak dari posisinya semula.


Ja Eun menyadari ekspresi gugup Tae Hee saat melihat ke arah bebek-bebek itu dan sebuah pikiran lucu terlintas dalam otaknya, “Ahjussi, apa mungkin kau takut bebek?” tebak Ja Eun dengan akurat.

(Tuh, kan? Ja Eun tuh pakar pembaca ekspresi wajah Tae Hee. Sejak awal dia sudah bisa menebak apakah Tae Hee marah, kesal, gembira, takut, hanya dengan melihat ekspresi wajahnya saja. Walau tanpa Tae Hee menjelaskan, Ja Eun uda bisa menebaknya dengan akurat. Emang dasar Soulmate kale ya, diem doang uda bisa nebak apa yang dipikirkan pasangannya ^^)

Tae Hee segera menggelengkan kepalanya dan menyangkal dengan kuat, demi melindungi harga dirinya, “Tidak.”


“Kalau begitu masuklah. Apa yang kau lakukan di depan pintu?” tantang Ja Eun dengan tersenyum penuh arti.

Merasa tertantang dan tak ingin dipermalukan karena takut pada bebek, Tae Hee mencoba memberanikan dirinya untuk masuk ke dalam kandang, dia berjalan perlahan kemudian mengangkat dan meletakkan karung berisi serbuk gergaji itu ke sudut ruangan yang jauh dari berkumpulnya bebek-bebek itu.

Namun Ja Eun yang iseng justru sengaja menaburkan pakan bebek ke tempat di mana Tae Hee berdiri saat ini hingga membuat bebek-bebek itu berlari ke arah Tae Hee karena mengejar pakan mereka.


“Ahjussi, kau takut pada bebek?” ulang Ja Eun ingin tahu.
“Sudah kubilang tidak,” sangkal Tae Hee dengan kuat dengan wajah cemberut tak terima.

“Aku juga takut pada bebek awalnya tapi sekarang aku menyadari kalau mereka sangat menggemaskan,” ujar Ja Eun mencoba memberi keberanian pada Tae Hee.


Ja Eun kemudian mengangkat salah satu bebek itu seraya berkata, “Anak-anak, Oppa itu...” kemudian menerbangkan bebek itu ke arah Tae Hee yang berlari ketakutan. Ja Eun sebenarnya ingin berkata, “Anak-anak, Oppa itu takut pada kalian.”


 
“Lihatlah! Ahjussi, kau takut pada bebek, kan? Hahahaha...” seru Ja Eun tertawa terbahak-bahak melihat Tae Hee yang tampak berlari ketakutan.

Mendengar tawa Ja Eun, Tae Hee yang tadinya sempat merasa kesal segera berbalik menghadapnya, namun alih-alih memarahinya atau membentaknya, Tae Hee justru menatapnya dengan terpesona.


(Apakah kalian menyadari bagaimana tatapan Tae Hee pada Ja Eun sekarang? Tatapan Tae Hee yang menatap Ja Eun dengan lekat memberikan kesan seolah-olah dia ingin memandang Ja Eun sebelum mereka memutuskan untuk pindah dari sana, seolah-olah mereka takkan pernah bertemu lagi dan Tae Hee ingin menyimpan ekspresi tawa Ja Eun yang ceria dengan baik-baik dalam memori otaknya. I am sure he’s going to miss her a lot >_<)


Menyadari Tae Hee hanya menatapnya tanpa kata, Ja Eun menjadi gugup dan salah tingkah sendiri, kemudian berkata, “Baiklah, aku akan berhenti tertawa. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Kau boleh pergi,” ujar Ja Eun dengan tersenyum manis.

“Aku ingin membantumu tapi aku harus berangkat kerja. Aku punya pekerjaan penting pagi ini,” ujar Tae Hee, menjelaskan tanpa diminta.

“Ahjussi, kenapa kau takut pada bebek? Ahjumma memelihara bebek, jadi kenapa kau takut pada bebek?” tanya Ja Eun dengan penasaran.


“Aku tidak menyukai sesuatu yang berbulu dan bisa terbang,” sahut Tae Hee.
“Ahh… aku lega mendengarnya,” sahut Ja Eun dengan absurd namun wajahnya terlihat lega.
“Apa? Apanya yang melegakan?” tanya Tae Hee bingung dengan jawaban Ja Eun yang absurd.



“Karena aku tidak punya bulu,” sahut Ja Eun, membuat ekspresi Tae Hee semakin bingung. Mendadak suasana menjadi canggung karena jawaban absurd Ja Eun, jadi Ja Eun menyuruh Tae Hee cepat pergi saja agar tidak terjadi kecanggungan lebih lama lagi.

“Pergilah bekerja. Nanti kau bisa terlambat,” ujar Ja Eun mengalihkan pembicaraan.



Tae Hee mengangguk dan berbalik pergi, namun kemudian dia kembali berbalik menghadap Ja Eun dan mengatakan sesuatu yang membingungkan, “Sama seperti sekarang, tetaplah tersenyum seperti itu,” ujar Tae Hee dengan tersenyum manis pada Ja Eun yang memamerkan lesung pipitnya, sebelum kemudian berjalan pergi.


Setelah Tae Hee pergi dan pekerjaan mengurus bebek sudah selesai, Ja Eun kembali ke rumah dan melihat Nenek sedang memasak sarapan.

“Nenek sudah bangun? Nenek membuat nasi juga? Aku baru saja akan melakukannya,” ujar Ja Eun merasa bersalah.

“Semuanya sudah selesai. Kau pergilah mengelap meja,” ujar Nenek dengan perasaan bersalah. Nenek sudah mengetahui bahwa menantunya, Park Bok Ja sudah mencuri surat kontrak Ja Eun, karena Hwang Chang Sik telah memberitahukan pada Nenek semalam mengenai alasan yang sebenarnya Park Bok Ja mengunjungi makam ibunya di gunung.

“Aku berencana akan melakukannya tapi aku harus memberi makan bebek dan menaburkan serbuk gergaji lebih dulu, jadi aku terlambat,” ujar Ja Eun dengan menyesal.

“Sudah kubilang tidak apa-apa. Kau cukup mengelap meja dan bawalah semua makanan itu keluar,” ujar Nenek, tak sanggup memandang wajah Ja Eun, karena dia pun pernah bersikap buruk pada gadis itu sebelumnya.

“Baiklah,” sahut Ja Eun dengan menurut seraya mengambil lap dan mulai mengelap meja makannya. Tanpa Ja Eun sadari, Nenek memandang punggung Ja Eun dari belakang dengan tatapan sedih, menyesal dan merasa bersalah. Nenek sebenarnya sudah menyayangi Ja Eun seperti cucu kandungnya sendiri, cucu perempuan yang tak pernah dimilikinya.

Selama sarapan, semua orang di meja tampak begitu murung, mereka semua seolah sudah bisa tahu apa yang akan terjadi setelah ini, kecuali Ja Eun yang masih tidak mengetahui apa-apa dan merasa situasi di meja makan terlihat sangat aneh.

Ja Eun akhirnya mencoba memecahkan kesunyian di meja makan dengan membuka sebuah obrolan, “Halmoni, apa Anda sudah memutuskan sebuah nama yang cocok untuk Anda? Aku sudah memikirkannya, kurasa nama Shim Mi Yeon adalah yang paling indah. Shim Eun Ha dan Shim Yu Jin terlihat terlalu anak muda,” ujar Ja Eun dengan ceria.

“Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya,” sahut Nenek dengan lesu dan hati yang berat, dia masih belum sanggup menatap wajah Ja Eun setelah apa yang dilakukan oleh sang menantu. Rasa bersalah dalam hati Nenek sangatlah besar, karena diapun pernah ikut mengusir gadis malang itu setelah insiden hilangnya kontrak.

“Halmoni, sup buatan Anda sangat lezat. Bahkan lebih lezat dari buatan Ahjumma,” seru Ja Eun dengan ceria, memuji dengan tulus.

“Benarkah? Baguslah. Makanlah yang banyak,” ujar Nenek dengan sedih.

“Bahkan walaupun hanya semangkok sup, tapi jika aku tahu masalah ini lebih awal, aku pasti akan membuatkannya untukmu setiap hari,” lanjut Nenek bergumam sedih. Nenek tampak ingin menebus rasa bersalahnya pada Ja Eun namun sialnya dia adalah orang yang tahu paling akhir jadi dia tidak memiliki banyak kesempatan untuk membahagiakan gadis itu.

“Apa?” tanya Ja Eun yang merasa seperti mendengar Nenek mengatakan sesuatu namun terlalu lirih jadi dia tidak bisa mendengarnya.

“Tidak. Bukan apa-apa. Aku hanya bilang makanlah yang banyak,” sahut Nenek cepat-cepat seraya menyendok supnya ke dalam mulut dengan hati yang berat.

“Ahjussi, kemarin malam Ahjumma menelponku dan memintaku untuk menemuinya di terminal bus antar kota siang ini, Ahjumma bilang dia akan mengajakku jalan-jalan dan juga mentraktirku makan enak,” ujar Ja Eun dengan ceria, mengalihkan perhatiannya pada Hwang Chang Sik.

Mendengar ucapan Ja Eun, Hwang Tae Shik dan Hwang Tae Phil spontan menatap Ja Eun dengan sedih dan gelisah, mereka tahu apa yang akan terjadi setelah ini jadi mereka tampak seolah-olah sedang menyiapkan mental untuk melihat apa yang akan terjadi setelah ini.

“Benarkah?” tanya Hwang Chang Sik, berpura-pura tidak tahu.

“Ahjussi, aku merasa Ahjumma mulai menyukaiku, benarkan?” tanya Ja Eun dengan tatapan polos dan senyum ceria, membuat hati semua orang di meja makan semakin merasa bersalah.

“Tentu saja. Ahjumma sudah menyukaimu sejak lama, hanya saja dia tidak bisa mengatakannya,” ujar Hwang Chang Sik, menyenangkan hati Ja Eun.

“Pergi dan katakan padanya untuk mentraktirmu makanan yang paling enak,” ujar Nenek menimpali.
“Ya,” jawab Ja Eun dengan semangat 45.

Setelah acara sarapan berakhir, Ja Eun berjalan keluar rumah untuk menemui Park Bok Ja di terminal bus antar kota sesuai dengan kesepakatan mereka tadi malam, namun siapa sangka dia melihat Hwang Chang Sik sudah menunggu di luar rumah.

“Ahjussi, kenapa Anda ada di luar?” tanya Ja Eun dengan polosnya.
“Ahjussi ingin mengantarmu ke sana. Ayo!” jawab Hwang Chang Sik seraya memberi tanda pada Ja Eun untuk mengikutinya ke arah truk keluarga.

“Apa Anda tidak sibuk saat ini? Terima kasih,” ujar Ja Eun dengan tak enak hati karena merepotkan Hwang Chang Sik.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di depan terminal bus antar kota, Ja Eun mengucapkan terima kasih karena Chang Sik sudah mengantarnya tiba di tempat tujuan dengan selamat.

Terima kasih, Ahjussi. Karena bantuan Anda, aku tiba dengan selamat,” ujar Ja Eun mengucapkan terima kasih, tapi saat Ja Eun akan turun dari sana, Hwang Chang Sik menghentikannya.

“Ahjussi-lah yang bersalah sejak awal. Ahjussi-lah penjahat yang sebenarnya,” ucap Hwang Chang Sik dengan nada menyesal, membuat Ja Eun menatapnya dengan bingung.

“Ahjussi, kenapa Anda tiba-tiba mengatakan itu?” tanya Ja Eun tak mengerti.

“Kau tidak bersalah, kau tidak seharusnya menderita. Ahjussi tahu aku tak punya hak untuk meminta maaf padamu, tapi Ahjussi benar-benar ingin meminta maaf. Maafkan Ahjussi, Ja Eun-ah.” Ujar Hwang Chang Sik lagi dengan mata berkaca-kaca, rasa bersalah memenuhi hatinya.

“Ahjussi,” panggil Ja Eun dengan bingung seolah memintanya untuk menjelaskan apa maksud perkataannya itu.

Ahjussi tahu ini tidaklah mudah, tapi tolong jangan terlalu membenci Ahjumma. Ini salahku karena Ahjumma selalu menderita sejak dia menikah denganku. Ini bukan salah Ahjumma, ini salah Ahjussi! Ahjussi-lah yang bersalah padamu. Pergilah bersenang-senang dan saat kau bertemu Ahjumma nanti, mintalah padanya untuk memberikanmu sesuatu yang lezat. Pastikan kau melakukan itu,” ujar Hwang Chang Sik sebelum menyuruh Ja Eun segera turun.

“Baik. Aku mengerti. Aku pergi dulu, Ahjussi.” Ujar Ja Eun dengan sorot mata bingung. Dia merasa semua orang bertingkah aneh pagi ini.

Di dalam terminal bus, Park Bok Ja tampak duduk seraya mengelus-elus syal merah yang telah dia rajut semalaman untuk Ja Eun. Park Bok Ja ingin memberikan syal merah itu sebagai hadiah sekaligus ucapan symbol permintaan maafnya untuk Ja Eun.

Saat melihat Ja Eun datang, Park Bok Ja segera menyimpan kembali syal merah itu di dalam tasnya.
“Ahjumma, Anda sudah tiba?” tanya Ja Eun saat melihat Park Bok Ja sudah duduk menunggunya.
“Busnya tiba lebih cepat dari jadwal yang diperkirakan,” sahut Park Bok Ja sambil tersenyum.

“Aiigoo, sudah kukatakan padamu untuk memakai pakaian yang lebih tebal karena udara semakin dingin, tapi kau malah keluar dengan pakaian tipis seperti ini dan rok mini? Kau bisa masuk angin,” omel Park Bok Ja seraya mengeratkan mantel biru Ja Eun ke depan dadanya.

“Karena kupikir udaranya sedikit sejuk hari ini dan tak sedingin kemarin,” elak Ja Eun sambil tersenyum merayu.


“Ahjumma, padahal baru sehari saja aku tidak melihatmu, tapi rasanya sangat menyenangkan melihatmu lagi saat ini,” ujar Ja Eun dengan manja, seperti bersikap dengan ibu kandungnya sendiri.

(Jalannya Ja Eun bakal lancar setelah nikah sama Tae Hee kelak, karena Ibu mertuanya udah sayang banget sama dia bahkan sebelum mereka resmi pacaran. Calon mantu kesayangan keluarga ^_^ Enak ya kalau uda ngambil hati mertua dan ipar duluan, gak bakal ada drama menantu dizolimi mertua)


"Benarkah? Sejujurnya, aku juga merasa seperti itu,” sahut Park Bok Ja dengan tersenyum sayang.
“Benarkah?” sahut Ja Eun dan mereka berdua tampak tertawa dengan gembira.

“Apa yang ingin kau makan? Bila ada sesuatu yang ingin kau makan, maka katakan saja. Hari ini Ahjumma akan membelikanmu apa pun yang kau inginkan. Aku juga akan tetap membelikannya meskipun kau meminta sesuatu yang mahal yang akan membuat mataku melompat keluar. Apa sebaiknya kita makan saja di hotel mewah?” usul Park Bok Ja, tampak sekali ingin menyenangkan gadis itu untuk menebus rasa bersalahnya.

(Jika Ja Eun yang dulu, si Nona Besar yang manja, yang baru saja kehilangan semua kekayaannya, sudah pasti dia akan meminta makanan yang mahal, namun Ja Eun yang sekarang, yang sudah tidak memiliki apa-apa lagi, yang sudah mengerti susahnya mencari uang dan bekerja keras, tentu dia menganggap uang sangatlah berharga. Pengalaman hidup membuat Ja Eun lebih menghargai uang sekarang. Experience is the best teacher for Ja Eun ^^)

“Saat aku masih kekanakan dan belum dewasa, aku sudah pasti ingin pergi ke tempat seperti itu, tapi sekarang, aku tidak menginginkannya lagi. Jadi bagaimana kalau kita makan mie seafood saja?” pinta Ja Eun dengan tulus, benar-benar tidak ingin sesuatu yang mahal.

“Hanya itu? Makanlah yang lebih mahal,” ujar Park Bok Ja dengan tersentuh melihat ketulusan dan kerendahan hati Ja Eun.

“Daripada menghabiskan uang hanya untuk membeli makanan mahal, bagaimana jika kita berjalan-jalan ke pasar? Dalam perjalanan kemari, aku sempat melihat pasar tradisional. Dulu aku sudah sering pergi ke Department Store atau Mall, tapi aku belum pernah pergi ke pasar tradisional,” pinta Ja Eun dengan rendah hati.

(Ya itu karena pasarnya Korea bersih keles, coba kotor kayak pasar tradisional Indonesia, males dah jalan-jalan ke pasar T_T Kecuali kalau pasarnya “Pasar Atom” ya? Namanya doang “pasar” tapi aslinya Mall gede dan bersih, tempatnya para keturunan Tionghoa suka nongkrong dan jalan-jalan ^^)

“Baiklah kalau begitu. Ayo kita pergi. Itu tidak sulit. Ayo kita pergi sekarang,” ajak Park Bok Ja dengan penuh semangat. Karena Ja Eun bersikeras menginginkan sesuatu yang sederhana, tentu dia tidak bisa memaksa.

Ja Eun mengambil tas Park Bok Ja dan membawakannya seperti seorang anak yang membawakan tas ibunya, kemudian mereka berjalan seraya bergandengan tangan dengan gembira.

Mereka mampir sejenak di tempat penjualan makanan laut yang masih fresh dan Ja Eun sempat menyentuh gurita hidup dengan ekspresi geli. (Maklum, Nona Besar sebelumnya gak pernah ke tempat seperti ini ^^)

Mereka juga mampir di sebuah toko yang menjual jajanan pasar dan mencicipinya bersama-sama, karena penjualnya mengijinkan pembeli untuk memcicipi dulu sebelum membelinya. Dan mereka tertawa geli namun gembira saat mendengar sang penjual memuji mereka seperti sepasang ibu dan anak.


“Aiggooo... Bagaimana bisa ibu dan anak tampak begitu mirip?” puji sang penjual yang membuat Ja Eun dan Park Bok Ja saling memandang dan tersenyum geli.

Tak hanya mampir di toko penjual makanan, mereka juga sempat mampir di toko yang menjual pakaian wanita. Ja Eun dengan iseng mengambil sebuah pakaian seksi dan memberikannya pada Park Bok Ja yang tentu saja segera menolaknya dan justru mengangkatnya di depan Ja Eun seolah-olah membayangkan betapa cantik dan seksinya Ja Eun jika memakainya. (Jangan pakai pakaian model begono di depan Tae Hee saat ini, tar bisa-bisa dia gelap mata dan Ja Eun langsung diseret ke depan Pendeta untuk dinikahi xixixi ^_^ Kalau Tae Hee yang dulu mah bodo amat karena gak ada rasa, tapi Tae Hee yang sekarang kan uda ada rasa ^^)


Setelah melihat-lihat baju, mereka mengambil foto bersama melalui ponsel Ja Eun. Park Bok Ja membelai rambut Ja Eun dengan penuh kasih sayang, dan saat gadis itu sedang asyik melihat hasil fotonya, Park Bok Ja masuk ke dalam toko untuk membeli pakaian dalam musim dingin.

“Apa itu pakaian dalam musim dingin? Ternyata masih ada hal-hal seperti ini?” tanya Ja Eun seperti baru mengetahuinya. Dia baru saja menyusul Park Bok Ja masuk ke dalam toko setelah selesai melihat-lihat foto di ponselnya.

“Walaupun ini kelihatannya kuno tapi tidak ada orang lain yang akan melihatnya jadi pastikan kau memakai ini saat akan pergi keluar,” ujar Park Bok Ja seraya menyerahkan barang yang dibelinya pada Ja Eun.

“Anda membelinya untukku?” tanya Ja Eun dengan terharu dan mata berkaca-kaca.
Tentu saja. Ada perbedaan yang besar antara apa yang kau kenakan dan tidak saat musim dingin tiba,” sahut Park Bok Ja menjelaskan.
“Ahjumma...” Ja Eun merasa sangat tersentuh dan tidak tahu bagaimana berkata-kata jadi hanya bisa memanggil namanya saja.

“Kau selalu mengalami sakit perut saat sedang menstruasi, itu karena temperatur tubuhmu sangat dingin. Seorang wanita harus selalu menjaga tubuhnya agar selalu hangat. Tubuhmu harus selalu hangat jadi saat kau hamil nanti, bayimu akan sehat dan saat tiba wakktunya melahirkan, kau akan melahirkan dengan lancar. Kau harus selalu menjaga tubuhmu tetap hangat sepanjang waktu. Saat perutmu mengalami kram ketika menstruasi itu karena tubuhmu sangat dingin. Ini. Ambillah,”
ujar Park Bok Ja menjelaskan panjang lebar, memberikan wejangan dan nasihat sebagai calon mertua yang baik.


Park Bok Ja menyerahkan shopping bag tersebut pada Ja Eun yang segera meraihnya dan kemudian memeluk Park Bok Ja dengan sayang.

“Ahjumma, aku akan mengingat semua nasihatmu. Anda adalah orang pertama yang mengatakan semua ini padaku,” ujar Ja Eun dengan menangis terharu.


“Aiigooo… Kau memelukku terlalu erat. Aku tak bisa bernapas,” ujar Park Bok Ja, berpura-pura mengeluh namun Ja Eun justru semakin memeluknya erat. Park Bok Ja kemudian membalas pelukan gadis itu seraya menepuk-nepuk punggung Ja Eun dengan sayang.


“Maaf, aku minta maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Sampai mati aku ingin meminta maaf. Betapa menyenangkannya andai saja kita tidak bertemu dalam situasi seperti ini,” ujar Park Bok Ja menyerukan penyesalannya dalam hati. Sementara Ja Eun memeluknya semakin erat.


Di saat yang bersamaan, di kantor polisi, Tae Hee yang tampak gelisah mengambil ponselnya dari dalam saku mantelnya, namun tanpa sengaja ikut menarik gantungan kunci bebek (yang disebut Ja Eun sebagai Jimat Keberuntungan) hingga terjatuh ke lantai kantornya.


Tae Hee segera memungutnya, mengamatinya dengan lekat dan seketika teringat pada Ja Eun, dan itu membuatnya kembali merasa bersalah. Tae Hee menarik napas berat sebelum kembali menyimpan gantungan kunci bebek itu di saku mantelnya.


Saat Tae Hee akan pergi menenangkan dirinya, Tim Leader Eum tiba-tiba saja memanggilnya, “Inspektur Hwang, tunggu sebentar!” panggilnya, menghentikan langkah Tae Hee.

“Sebuah Perusahaan animasi ‘Good Film’ menghubungiku dan ingin kau menyelidiki masalah insiden Kim Dong Min,” ujar Tim Leader Eum seraya menyerahkan sebuah kartu nama pada Tae Hee.

“Seo Dong Min lebih tahu soal insiden Kim Dong Min. Berikan saja padanya!” ujar Tae Hee dengan malas.

“Bagaimana aku bisa percaya pada Seo Dong Min? Aku sudah memberikan nomor teleponmu pada mereka, mereka akan segera menghubungimu. Berikan informasi pada mereka. Ini adalah kesempatan yang baik untuk mempromosikan Department kita. Ini. Ambillah,” ujar Tim Leader Eum seolah meremehkan kemampuan Seo Dong Min, dia tetap menyerahkan kasus itu pada Tae Hee yang mengambil kartu nama itu dengan ogah-ogahan.

(Nih Boss gak tahu apa kalau Uri Tae Hee lagi banyak pikiran dalam otaknya. Gak konsen pasti >_<)

“Kau harus mengangkat teleponnya,” seru Tim Leader Eum sebelum Tae Hee pergi.
“Ya,” sahut Tae Hee tanpa berbalik.


Tak lama setelah meninggalkan ruangan, seseorang menelpon Tae Hee dan bertanya apakah dia sudah mendengar dari bosnya, dan Tae Hee hanya menjawab, “Ya, tapi aku sibuk sekarang. Hubungi aku nanti,” ujar Tae Hee dengan acuh. (Tae Hee lagi sumpek dan banyak pikiran, tolong jangan diganggu dulu ^^)

Setelah Tae Hee menghilang di balik koridor, seorang pria bertubuh tinggi tiba-tiba saja muncul dari balik koridor di belakang Tae Hee dan menatapnya penuh arti.

Yup, dia adalah Our Second Male Lead yang nantinya akan merecoki hubungan Tae Hee dan Ja Eun.

Untuk melampiaskan rasa bersalah, frustasi dan kekecewaan yang menumpuk dalam hatinya, Tae Hee memutuskan untuk bermain basket kali ini. Setidaknya ini lebih baik daripada menghajar tersangka atau memukul bingkai piagam sampai pecah, bukan?


Tae Hee teringat bagaimana Ja Eun datang menemuinya di kantor polisi dan meminta tolong padanya untuk membantunya mencari surat kontraknya yang hilang, dia ingat bagaimana gadis itu dengan yakin berkata bahwa surat kontraknya telah hilang di dalam rumah.



Dia ingat bagaimana dia menolak membantu gadis itu dan justru menyalahkannya karena menghilangkan surat kontrak itu, padahal yang sebenarnya terjadi adalah ibu angkatnya, Park Bok Ja yang mencuri surat kontrak itu. Dia juga ingat bagaimana Ja Eun harus mengalami tuduhan diterima masuk melalui jalan belakang dan membuatnya dihujat semua orang.


Semua itu membuat Tae Hee semakin menyesal dan merasa bersalah karena menolak membantu gadis itu sebelumnya, Tae Hee menyalahkan dirinya sendiri yang tidak cukup berani berdiri di pihak gadis itu lebih cepat karena tidak ingin mengecewakan sang ibu yang telah membesarkannya. Tapi apa ini? Ibu yang telah membesarkannya, yang menyayanginya seperti menyayangi anak sendiri dan yang dia sayangi seperti ibu kandungnya sendiri ternyata seorang pencuri?




Tak hanya itu, perbuatan sang Ibu benar-benar mencederai harga dirinya sebagai seorang polisi. Tae Hee kecewa, sangat kecewa. Kekecewaannya bahkan lebih parah dari Tae Phil, karena sialnya Tae Hee justru mengetahui semua ini di saat dia justru sudah memiliki rasa terhadap gadis itu, Baek Ja Eun. Gadis tidak bersalah yang harus menderita karena keserakahan ibunya.


Tae Hee melempar bola basket itu ke tanah dengan keras untuk melampiaskan kekesalannya. Lalu seorang pria tidak dikenal mengambil bola basket itu dan melemparkannya ke arah Tae Hee yang menangkapnya dengan bingung.



Kemudian pria misterius itu kembali mengambil bola basket itu dari tangan Tae Hee dan memasukkannya ke dalam keranjang. Dan akhirnya tanpa mengatakan apa pun, mereka bermain bola basket bersama.




Hingga akhirnya Tae Hee memasukkan bola basket itu dari jarak yang sangat jauh dengan sangat akurat dan mengakhiri permainan mereka.



“Tidak buruk, Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim (Inspektur Hwang Tae Hee),” puji pria misterius itu.
“Siapa kau?” tanya Tae Hee pada pria misterius itu.

“Aku orang yang baru saja menelponmu. Produser Film, Kim Jae Ha.” Ujar Kim Jae Ha memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangannya untuk mengajak Tae Hee bersalaman.


“Ah, Hwang Tae Hee imnida,” ujar Tae Hee seraya menyambut uluran tangan itu dan kedua pria itu resmi berkenalan. (Rivalmu telah tiba, Tae Hee. Bersiaplah!)

“Aku ingin bertemu denganmu lain kali,” ujar Kim Jae Ha dengan ramah. Tae Hee segera menarik tangannya dengan canggung tanpa menjawab ucapannya.

Di rumah, Nenek dan Ayah (Hwang Chang Sik) tampak menunggu kabar dengan gelisah.
“Aku sangat ingin tahu apakah dia sudah mengatakan semuanya pada Ja Eun saat ini?” tanya Nenek dengan resah dan gelisah pada putranya, Hwang Chang Sik.

“Mereka mungkin sudah selesai bicara atau mungkin sedang di tengah pembicaraan, Ibu.” Sahut Hwang Chang Sik mengira-ngira karena dia pun ikut gelisah menunggu kabar.

“Aku benar-benar gelisah. Aku tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan ini. Musim dingin sudah di depan mata kita, kita hanya memiliki sedikit uang, dan kita harus segera pindah? Dan untuk gadis itu, setelah sangat mempercayai kita, kini dia menyadari kalau dia telah ditipu, hidup ini rasanya  sangat menyedihkan,” ujar Nenek dengan sedih dan menyesal.

“Jika dilihat kembali, hidup kita selama 10 tahun ini sangatlah baik, tapi kenapa tiba-tiba sekarang banyak sekali masalah di depan mata kita? Ini membuatku sulit untuk bernapas. Berapa lama lagi aku harus hidup dan mengalami hal-hal yang mengejutkan seperti ini?” lanjut Nenek dengan pasrah.

Saat itulah, tiba-tiba saja ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk berjalan masuk bersama 3 orang pria berbadan besar tanpa sopan santun sama sekali.

“Permisi. Aku tahu ini tidak sopan, tapi aku tidak memiliki pilihan lain, aku memerlukan pertanian ini,” ujar Jung Yeon Suk tanpa tahu malu.
“Mulailah mencari!” perintah Jung Yeon Suk kepada tiga orang berbadan besar itu.

Mereka mulai mencari ke semua kamar dan sudut rumah dan memporak-porandakan semua barang di dalam rumah dengan kasar.

Nenek berteriak kepada orang-orang itu dengan marah, “Apa yang kalian lakukan? Bagaimana bisa kau masuk ke kamar seseorang tanpa ijin? Hentikan sekarang!” seru Nenek dengan marah, namun tidak digubris.

“Apa yang kalian lakukan? Siapa kalian? Keluar dari rumah kami sekarang!” seru Hwang Chang Sik pada mereka, tapi tentu saja ketiga pria berbadan besar itu tampak tak peduli sama sekali.

Nenek akhirnya mencengkeram lengan Jung Yeon Suk dan bertanya siapa wanita itu, “Siapa kau sebenarnya?”

Aku istri Baek In Ho dan kami datang untuk mencari kontrak! Kontrak yang hilang di dalam rumah ini!” seru Jung Yeon Suk dengan berani.
“Apa yang kau katakan?” tanya Nenek gugup.

“Para tetangga mencurigai kalian. Mereka mendengar Ja Eun menuduh menantumu mencuri kontrak, jadi sudah jelas jika kontrak itu hilang di rumah ini dan disembunyikan di suatu tempat!” sahut Jung Yeon Suk dengan percaya diri.

Di tempat lain, Ja Eun dan Park Bok Ja tampak menikmati hidangan mie seafood yang diminta oleh Ja Eun, namun sebenarnya hanya Ja Eun yang tampak menikmati makanan itu.

“Makanlah lagi. Kenapa Anda tidak makan lebih banyak?” tanya Ja Eun dengan penuh perhatian saat melihat mangkok Park Bok Ja masih penuh.

“Aku sudah makan banyak. Apa kau sudah makan dengan kenyang?” tanya Park Bok Ja dengan perhatian.

Ja Eun mengangkat mangkoknya yang telah kosong dan menjawab sambil tersenyum, “Aku sudah menghabiskan semuanya,” ujar Ja Eun ceria.
“Ahjumma, makanlah sedikit lagi,” bujuk Ja Eun perhatian.

“Ahjumma juga sudah makan banyak,” jawab Park Bok Ja berkilah. Namun yang sebenarnya dia tak punya selera makan karena terlalu gugup dan takut saat akan mengakui kejahatannya di depan Ja Eun, dia takut Ja Eun akan membencinya dan tidak bisa memaafkannya.

“Supnya sangat menyegarkan dan kekenyalan mie-nya juga sangat pas,” ujar Ja Eun dengan gembira.

Park Bok Ja tampak meminum segelas air lebih dulu untuk menenangkan dirinya, sebelum mulai bicara, “Ja Eun-ah, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu,” ujar Park Bok Ja dengan gugup dan ragu.

“Apa itu? Katakan saja!” ujar Ja Eun dengan tatapan mata polosnya yang ingin tahu.

Park Bok Ja tampak memeluk tas birunya dengan gemetar seraya menatap Ja Eun gelisah.
“Ahjumma?” tanya Ja Eun yang tampak bingung.

“Aku ingin mengatakan kalau... Ja Eun-ah, Ahjumma sebenarnya...” baru saja Park Bok Ja akan membuat pengakuan dosa, tiba-tiba saja dia mendapat telepon dari Nenek di rumah.

“Jawab dulu teleponnya, Ahjumma.” Ujar Ja Eun dengan sopan.
“Ini dari rumah,” ujar Park Bok Ja menginformasikan.

“Menantuku, ada masalah besar terjadi di rumah kita. Ibu tiri Ja Eun datang bersama tiga orang pria berbadan besar dan mengobrak-abrik rumah kita karena ingin mencari surat kontrak. Satu dari mereka bahkan tidak melepas sepatunya!” seru Nenek dengan panik setelah telepon diangkat.

Saat Nenek menelpon, Jung Yeon Suk memerintahkan ketiga pria berbadan besar itu untuk memeriksa lemari pakaian.

“Hentikan sekarang! Apa kalian baru akan berhenti bila kami memanggil polisi? Bagaimana bisa kalian masuk ke rumah orang lain tanpa ijin dan mengobrak-abrik rumah mereka?” seru Hwang Chang Sik marah.

“Kalau begitu berikan padaku kontraknya atau kembalikan pertanian ini sekarang juga!” seru Ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk dengan berani menantang.

“Aku tidak tahu di mana kalian sekarang, tapi cepatlah bawa Ja Eun pulang sekarang!” seru Nenek di teleponnya, menyuruh Park Bok Ja untuk segera pulang membawa Ja Eun.

“Baik, Eomonim. Kami akan pulang sekarang juga,” jawab Park Bok Ja panik di ponselnya.
“Ada apa, Ahjumma?” tanya Ja Eun penasaran saat melihat Park Bok Ja tampak panik.

“Ibu tirimu datang ke rumah dengan membawa tiga orang pria berbadan besar dan mengobrak-abrik rumah kita,” sahut Park Bok Ja menginformasikan.
“Apa? Ibu tiriku?” Ja Eun tampak shock mendengarnya.

Di kantor polisi, Tae Hee yang sedang berjalan bersama Seo Dong Min juga mendapatkan telepon dari sang ayah yang menginformasikan hal yang sama dan menyuruhnya untuk segera pulang saat ini juga.


“Ya, Ayah. Apa?” Tae Hee juga tampak terkejut mendengarnya.
“Baiklah. Aku akan pulang sekarang!” ujar Tae Hee dengan segera.

“Pergilah sendiri. Aku harus pergi. Ada sesuatu yang mendesak sedang terjadi di rumah. Aku akan menelponmu nanti,” ujar Tae Hee pada Seo Dong Min sebelum berlari meninggalkan kantor polisi dan pulang ke rumahnya.

“Hyung! Hyung, ada apa? Hyung!” panggil Seo Dong Min, namun tentu saja Tae Hee tidak peduli.

Di rumah, ketiga pria itu melaporkan kalau tidak peduli bagaimana mereka mencari, surat kontrak itu tidak ditemukan di rumah ini. Bahkan di kamar loteng juga tidak ada. Kemungkinan besar surat kontrak itu tak ada di dalam rumah.

“Itu tidak mungkin! Aku yakin surat kontrak ini pasti disembunyikan di rumah ini!” seru Jung Yeon Suk tak terima.

“Berapa kali harus kukatakan padamu kalau surat kontrak itu tak ada di rumah ini? Tidak peduli berapa kali kau mencari, kau takkan menemukannya!” seru Nenek marah. (Ya iyalah, lah wong dibawa Park Bok Ja)

“Kami akan berhenti mencari,” ujar salah satu dari mereka.
“Tidak bisa! Tetaplah mencari!” perintah Jung Yeon Suk tak terima.

“Benar. Mereka tak boleh pergi! Cucuku adalah Inspektur Hwang Tae Hee dari kantor polisi wilayah Timur, dan dia sedang dalam perjalanan kemari untuk menangkap kalian semua! Jangan pergi! Tetaplah di sini hingga cucuku datang!” ancam Nenek, mengatakan yang sebaliknya untuk menakut-nakuti orang-orang itu.

Akhirnya ketiga pria berbadan besar itu akhirnya memutuskan untuk berhenti mencari dan pergi dari rumah itu sebelum polisi datang dan menangkap mereka.

“Hei, ke mana kalian pergi? Kembali mencari!” seru Jung Yeon Suk namun ketiga pria itu tidak peduli, mereka tentu tidak mau berurusan dengan polisi.

Saat Jung Yeon Suk ingin mengejar dan menghentikan ketiga pria itu pergi, Nenek segera mencengkeram lengan wanita setengah baya itu dan menahannya.

“Ke mana kau ingin pergi? Hingga cucuku tiba di sini, jangan berani bergerak satu inchi pun. Kau tidak boleh kabur!” seru Nenek marah.

“Kenapa aku harus kabur? Kejahatan apa yang sudah kulakukan? Keluarga ini adalah satu-satunya pihak yang melakukan kejahatan. Kalian mencuri pertanian ini dari teman kalian, dengan mencuri kontrak dari putri teman kalian, juga mengusirnya dengan kejam dan membuatnya bekerja bagai budak!” seru Jung Yeon Suk dengan berapi-api.

Saat itulah, Ja Eun datang bersama Park Bok Ja dan Hwang Tae Hee yang juga tiba di saat yang bersamaan.

“Ibu tiri, apa yang kau lakukan?” tanya Ja Eun shock melihat keadaan rumah yang berantakan seperti dihantam badai besar.

“Apa yang kau pikir telah kau lakukan? Bila kau menemukan kontrak ayahmu, kau seharusnya memberitahuku lebih dulu, bagaimana bisa kau membuatnya berakhir seperti ini?” seru Jung Yeon Suk memarahi Ja Eun dengan suara keras.

“Ibu tiri,” panggil Ja Eun dengan sedikit takut.

“Eomma? Kau memanggilku Eomma dengan mulutmu tapi kau tak pernah memperlakukan aku seperti Ibumu. Itu sebabnya kau tidak memberitahuku saat ini terjadi, kan?” seru Jung Yeon Suk menyalahkan Ja Eun.

(Woi, kebalik emak! Kamu yang gak pernah menganggap Ja Eun seperti putri kandungmu sendiri. Datang kalau butuh duit doank! Gak usah sok perhatian! Aslinya kamu pengen mendapatkan pertanian ini untuk membayar hutang-hutangmu, kan? Bukan tulus murni sayang sama Ja Eun! Tapi butuh warisan ayahnya >_<)

“Aku ingin memberitahumu. Aku bukan sengaja tidak mau memberitahumu. Tapi kau sudah lebih dulu meninggalkan aku, jadi...” Ja Eun tidak sempat melanjutkan kalimatnya karena Jung Yeon Suk telah menamparnya dengan keras.


PLLAAKKKK… Ja Eun memegangi pipinya yang terkena tamparan dengan gemetar dan ketakutan, Tae Hee spontan maju dan melindunginya, dia menarik Ja Eun sedikit mundur.




“Hei, kenapa kau menamparnya?” seru Tae Hee tak terima seraya menarik Ja Eun mundur dan sedikit menjaga jarak dari emak tiri dajal itu.

“Eomma…” ujar Ja Eun dengan gemetar.

“Eomma? Apa kau masih menganggapku Eomma? Seorang anak yang menganggapku Ibu, tidak akan mengatasi masalah ini tanpa mengatakan apa pun padaku dan membuat kontraknya dicuri?” seru Jung Yeon Suk, berakting sok peduli, padahal jelas kalau yang diinginkannya hanyalah pertanian ini untuk membayar semua hutangnya.

“Bukan seperti itu. Kontraknya tidak dicuri,” ujar Ja Eun lirih.

“Belum cukup apa yang dilakukan ayahmu padaku dan sekarang kau juga? Kau melakukan semua ini dan membuatku, Jung Yeon Suk menderita lagi? Kau seharusnya memberitahuku lebih awal. Kau seharusnya mengatakannya padaku!” teriak Jung Yeon Sek kembali membentak Ja Eun dengan keras.

(Memang apa yang dilakukan ayah Ja Eun padamu? Karena salah investasi dan jatuh bangkrut jadi membuatmu terlilit hutang begitu? Membuatmu menderita? Karena semua harta kekayaan Baek In Ho disita bank hingga kamu gak bisa menikmati lagi harta kekayaannya Baek In Ho hingga harus berhutang untuk menyokong gaya hidupmu yang mewah? Itu sebabnya kamu menderita, Jung Yeon Suk?

Ja Eun juga menderita keles! Apalagi dia hanya seorang anak polos yang belum pernah mengetahui kejamnya dunia sebelumnya. Kamu pikir Ja Eun gak menderita? Siapa suruh kamu pergi ninggalin Ja Eun sendirian? Coba kamu gak ninggalin Ja Eun, kamu pasti tahu soal masalah kontrak lebih awal. Salah sendiri mencampakkan Ja Eun seorang diri dan pergi dengan selingkuhan? Sekarang begitu tahu kalau Baek In Ho meninggalkan warisan pertanian bernilai 10 miliar won, langsung nyari Ja Eun dan bertindak seperti pahlawan kesiangan. Emak tiri di mana-mana bangsat emang ckckck >_<)


Park Bok Ja segera berlari ke depan Ja Eun dan melindunginya, “Kenapa? Kenapa? Kenapa kau seperti ini? Kenapa kau membentak seorang anak yang tak bersalah? Apa belum cukup kau menamparnya?” seru Park Bok Ja tak terima.

“Ahjumma,” panggil Ja Eun dengan lemah.
“Apa kau sudah gila? Kenapa kau menampar seorang anak yang tidak melakukan kesalahan apa pun? Kenapa memukulnya?” lanjut Park Bok Ja ikut emosi melihatnya.
“Kau yang mencuri kontraknya, bukan? Apa kau yang mencuri kontrak itu?” tuduh Jung Yeon Suk dengan kasar.

“Hei, kau!” seru Tae Hee.
“Ibu tiri, Ahjumma tidak pernah mencurinya,” ujar Ja Eun, membela Park Bok Ja. Percaya bahwa Park Bok Ja tidak bersalah.


Semua tetangga mengatakan hal yang sama, kalau Park Bok Ja sangat kejam dan tak punya belas kasihan. Setelah mencuri kontrak, dia menendang keluar anak itu dan membuatnya menderita. Kau yang mencuri kontraknya, bukan?” tuduh Jung Yeon Suk, masih dengan nada tinggi. Hwang Chang Sik dan Nenek hanya terdiam di sudut ruangan dan tampak panik.

“Aku bilang Ahjumma tidak melakukannya. Ibu tiri, apa kau sudah gila? Tidak masalah jika kau lakukan itu padaku, tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu melakukan itu pada Ahjumma, jadi hentikan sekarang!” seru Ja Eun, mulai melawan.

“Jika kau tidak mencurinya, maka katakan saja tidak!” tantang Jung Yeon Suk dengan nada menghina.
“Tunggu! Apa mungkin kau menyimpannya di dalam tas itu?” lanjut Jung Yeon Suk seraya menatap tas itu dengan curiga.

“Berikan padaku! Aku harus melihatnya!” seru Jung Yeon Suk seraya seraya merebut tas itu dari tangan Park Bok Ja dengan kasar.
“Kenapa kau harus melakukan ini?” seru Park Bok Ja, berusaha mempertahankan tasnya.

“Kenapa Ibu harus seperti ini?” ujar Ja Eun, berusaha menghentikan Ibu tirinya dan merebut kembali tas Park Bok Ja tapi sang ibu tiri lebih kuat, dia berhasil merebut tas biru milik Park Bok Ja dan menumpahkan semua isi tasnya keluar.

Semua barang yang ada di dalam tas Park Bok Ja berhamburan keluar, termasuk surat kontrak yang ada di dalam amplop coklat milik Ja Eun yang telah dicurinya. Semua orang melihat ke arah lantai dengan tatapan kosong dan pasrah, termasuk Tae Hee yang hanya mampu memandang surat kontrak di lantai rumah dengan penuh amarah dan kekecewaan, dia akhirnya melihat sendiri bagaimana sang Ibu memang mencuri surat kontrak itu dengan mata kepalanya, dan itu membuatnya sangat frustasi dan kecewa pada ibunya.


Namun ada satu orang yang hanya mampu memandang shock dengan air mata yang bercucuran. Ya, dia adalah Baek Ja Eun, yang tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan ditikam dari belakang. Ditikam oleh seseorang yang sudah dianggapnya seperti ibu kandungnya sendiri, yang dia sayangi sepenuh hati, yang dia percayai sebagai wanita berhati lembut dan penuh kasih. Ternyata tak lebih dari seorang pencuri. Ja Eun benar-benar merasa dikhianati.

“Apa ini? Apa ini kontraknya?” seru Jung Yeon Suk seraya mengambil amplop berwarna coklat itu dan membuka isinya.

“Aku menemukannya. Ini adalah kontraknya, Ja Eun-ah. Benarkan apa yang kukatakan? Sudah kukatakan padamu kalau wanita itu mencuri kontraknya! Aku benar, bukan?” seru Jung Yeon Suk dengan tertawa menang.

Ja Eun menatap Park Bok Ja dengan hati yang hancur berantakan dan air mata berlinang membasahi pipinya.

“Sekarang kau percaya apa yang kukatakan? Sekarang kau percaya bukan kalau wanita itulah yang telah mencuri kontraknya? Aku akan menuntut kalian semua! Bagaimana bisa kalian melakukan semua ini? Bagaimana bisa kalian mencuri surat kontrak putri teman kalian sendiri? Tak cukup mencuri kontraknya, kalian juga mengusir anak malang itu dengan kejam, membuatnya mendirikan tenda di halaman untuk tidur dan menderita?” seru Jung Yeon Suk dengan berapi-api, berakting bagaikan pahlawan yang kesiangan.


“Benarkah itu kau, Ahjumma? Sungguh? Apa kau yang mencurinya? Itu bukan kau kan, Ahjumma? Katakan bahwa bukan kau yang mencurinya!” pinta Ja Eun dengan memohon dan air mata berlinang.

“Ahjumma, bukan kau yang mencurinya. Tolong katakan itu!” pinta Ja Eun dengan memohon dan menangis terisak. Tae Hee, Nenek dan Hwang Chang Sik hanya mampu terdiam menunduk dengan raut wajah bersalah.


“Bila kau berkata bukan kau yang mencurinya, aku akan percaya padamu. Jadi kumohon katakan! Katakan kau tidak melakukannya! Cepat katakan! Ahjumma!” seru Ja Eun dengan putus asa, dia seolah masih sulit mempercayai kenyataan di depan matanya. Itu sebabnya Ja Eun bahkan memohon dengan berlinang air mata agar Park Bok Ja menyangkalnya.

Namun Park Bok Ja hanya memeluk dirinya sendiri sambil menangis dan tak mampu berkata-kata. Semua orang yang sana pun hanya mampu terdiam membisu tanpa mengatakan apa pun juga.


Blogger Opinion :
Ja Eun sudah bertekad, asalkan Park Bok Ja berkata, “Tidak. Bukan aku yang mencurinya”, walaupun bukti ada di depan matanya, Ja Eun akan menutup matanya dan berpura-pura ini hanya mimpi semata. Sebesar itu rasa sayang Ja Eun pada Park Bok Ja yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri, itu sebabnya dia sangat sakit hati dan terluka akibat pengkhianatan ini.

Ja Eun yang malang, dia pikir dia sudah menemukan sosok ibu kandung yang sudah lama dia rindukan dalam diri Park Bok Ja. Siapa sangka Park Bok Ja menikamnya dari belakang seperti ini? Selama ini dia sudah berbuat baik kepada keluarga Hwang, berusaha membantu mereka di pertanian dengan sangat tulus, bahkan tulus menyayangi semua anggota keluarga Hwang seperti keluarganya sendiri, keluarga yang tak pernah dimilikinya karena dia hanya hidup berdua dengan ayahnya yang kini telah menghilang dalam kecelakaan.

Ja Eun melewati hari-hari yang sulit di keluarga Hwang, menahan semua kebencian mereka saat pertama kali dia tiba di sana dan berusaha bersikap baik walau mereka semua bersikap buruk padanya. Tapi sekarang apa? Ternyata dia ditipu mentah-mentah oleh Park Bok Ja yang telah mencuri surat kontraknya dan dengan kejam menendangnya keluar. Poor Ja Eunie T_T

Mulai episode depan, genre-nya berubah jadi Angst. Dramanya berubah menjadi Dark karena sedih mulu ceritanya. Khususnya untuk Tae Hee dan Ja Eun.

Untuk Tae Hee, siapkan mentalmu mulai sekarang! Bersiaplah untuk mengejar cintamu yang telah hilang. Jalan untuk mengambil kembali hati Ja Eun tidaklah mudah, apalagi dengan adanya saingan cintamu yang sudah muncul di depan mata. Kau harus bekerja keras untuk memenangkan hati dan juga kepercayaan Ja Eun sekali lagi. Dia terluka, dia merasa dikhianati, jadi kau harus mengerti dan berusahalah lebih keras lagi untuk mendapatkan hati Ja Eun sekali lagi.

Actions speak louder than words, Tae Hee-yaa! Tunjukkan cintamu dengan tindakan nyata dan bukan sekedar kata-kata! Show her, not only tell !!! Fighting, Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim ^^ Sekarang saatnya kau mengejar ^^

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (King)

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads