Senin, 24 Juni 2024

Sinopsis EP 26 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight For today episode :
Two Confession in one episode ^_^ And Hwang Tae Hee’s First Confession...YESSS! It finally happened! “Baek Ja Eun, I think I like you,” it’s really Tae Hee confession style! Never thought Tae Hee would admit that he likes her just like that. It’s so HIM ^_^ Simply love the writer for making Tae Hee so dense when it come to his own feeling and loved the way he confessed it! Finally Tae Hee admits his feelings for Ja Eun. But judging from the look on Ja Eun’s face, quick acceptance is not realistic at this point since she is still raw from the open wound the mom already gave her. There is nothing left in Ja Eun’s heart right now except for feeling betrayed.


This is like the best love story in a drama in recent times. I love how Tae Hee and Ja Eun’s relationship seems to be seesawing between their emotions for each other. Last episode it was tipping with the weight of Ja Eun’s affections for Tae Hee and now we finally have movement from Tae Hee’s side. He finally stood up a little bit and now it’s going to be more even. I just know he is going to do everything it takes to win her back. Fighting, Tae Hee-yaa! Prove your love! Show her, not only tell. Actions speak louder than words!!!


For Tae Hee’s declaration to have any effect, he is going to have to clear away a lot of mistrust for his words to have the desired impact. I know Ja Eun not accept his feeling now and we will see more scenes of Tae Hee pursuing her and that will be so awesome! Fighting Tae Hee & Ja Eun ^^

But how perfect would it be if Tae Hee’s words tonight start to chip away at the wall of cynicism Ja Eun has put up to protect herself. As far as the first blow goes, this one had perfect aim and there is no way his words didn’t make her knees go weak even a little bit. And don’t forget about the Stalker Tae Hee ^^


Ja Eun’s confession to Tae Hee was also greaaaaat! This girl doesn’t fear her feeling and doesn’t deny them the way Tae Hee is doing in EP 25. She really knows what she wants and she just says it but alas it wasn’t the good moment for this confession. The minute I saw Ja Eun declaring her feelings. Then did you all noticed how Tae Hee looked? He knows right he just lost something precious.

Look at him! He looked so regretful. Don’t even know what to say. It’s like he only knows he lost something precious which was Ja Eun looking towards him and teasing him and paying attention to him. When she is gone, it’s like he doesn’t even think he has a chance to get her back. Not in a romantic sense but even back into his life. That is what is making me sad even though I know eventually they will end up together. However it is no help now is it when we’re right in the whole separation episodes.

-----000000-----

Episode 26 :
Ja Eun naik ke kamarnya di loteng dan mulai mengemasi barang-barangnya. Dia meraih foto ayahnya dan menangis pilu seraya menatap foto itu.

Hwang Chang Sik kemudian pulang ke rumah (setelah pertemuannya dengan Cha Su Young) dan bertanya kenapa semua orang berdiri membeku di ruang tamu.

“Ja Eun sedang ada di atas sekarang. Dia sedang mengemasi barang-barangnya,” ujar Nenek dengan hati berat.

“Benarkah? Saat aku mengunjunginya di penginapan beberapa saat yang lalu, aku tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas,” sahut Hwang Chang Sik sedikit lega karena bisa bertemu Ja Eun tanpa campur tangan ibu tirinya.

“Apa kau sakit? Wajahmu terlihat pucat,” tanya Hwang Chang Sik pada Park Bok Ja dengan cemas.
“Tidak. Aku baik-baik saja,” sahut Park Bok Ja menyangkal.

“Dia tidak baik-baik saja. Sejak beberapa waktu yang lalu saat makan siang, dia sudah terlihat seperti orang demam, tapi dia tidak mau mendengarkan aku saat aku mengatakan padanya untuk tidur dan beristirahat di kamar,” omel Nenek pada menantunya.

“Setelah Ja Eun pergi, ajaklah dia ke kamar untuk tidur dan istirahat,” lanjut Nenek pada putranya, Hwang Chang Sik.

Tak lama kemudian, Ja Eun turun seraya membawa barang-barangnya, Hwang Chang Sik segera mengalihkan perhatiannya pada gadis itu.

“Ja Eun-ah, kapan kau datang? Jika aku tahu kalau kau akan datang, kita bisa pergi bersama-sama,” ujar Hwang Chang Sik penuh perhatian.


“Jual peternakan secepatnya! Karena sertifikat tanah dan rumah ini atas nama Paman, pergilah ke Agen Property untuk memasang iklan penjualan. Juallah mulai hari ini!” seru Ja Eun dengan dingin, mengabaikan ucapan Hwang Chang Sik sebelumnya.

“Baiklah,” sahut Hwang Chang Sik menyetujui.


“Dan pindahlah dalam waktu sebulan. Aku tak peduli kalian punya tempat untuk pindah atau tidak. Tidak peduli apa pun yang terjadi, kalian punya waktu satu bulan untuk pindah, dimulai dari hari ini,” seru Ja Eun, mengusir tanpa belas kasihan.

(Setelah sebelumnya dia selalu diusir Park Bok Ja dengan kejam dan tanpa belas kasihan (EP 4, EP 7, EP 12), now the table turns, keadaan telah berbalik, dialah yang kini mengusir seluruh Keluarga Hwang keluar dari rumah itu dengan kejam dan berhati dingin. Nah kan? Ini yang namanya karma is real >_< Tapi Ja Eun masih baik hati karena memberi keluarga Hwang waktu 1 bulan untuk pindah, dia dulu malah diusir detik itu juga oleh Park Bok Ja dan bahkan barang-barangnya dilempar keluar T_T )

“Baiklah, aku mengerti. Jangan khawatir, kami akan pindah dalam waktu satu bulan,” sahut Hwang Chang Sik pasrah.

“Aku tidak akan memberikan kalian uang sepeser pun untuk biaya pindahan. Kalian juga tidak mungkin mengharapkan itu, bukan?” sindir Ja Eun dengan dingin dan datar.

Maksudnya adalah setelah mencuri kontraknya, lalu menendangnya dengan kejam, menipunya mentah-mentah, tentu mereka tidak seharusnya mengharapkan Ja Eun untuk memberi mereka uang pindahan, kan?

“Aku tahu,” sahut Hwang Chang Sik.
“Baiklah kalau begitu,” ujar Ja Eun dengan dingin.

Namun saat dia akan pergi, Hwang Chang Sik menghentikannya lagi, “Ja Eun-ah, saat hari penjualan pertanian itu, kau harus datang sendiri, jangan kirim ibu tirimu, kami tidak bisa mempercayai wanita itu,” pinta Hwang Chang Sik pada Ja Eun.

“Apakah menurutmu dia lebih tidak bisa dipercaya daripada Ahjussi dan Ahjumma?” sindir Ja Eun dengan dingin.

“Tapi tetap saja, tidak bisakah kau datang sendiri? Aku tidak akan tenang sebelum menyerahkan pertanian ini langsung ke tanganmu,” ujar Hwang Chang Sik, bersikeras ingin Ja Eun sendiri yang menangani masalah ini.

“Baiklah, aku mengerti,” sahut Ja Eun menyetujui. Gadis itu menatap Park Bok Ja dengan tatapan tajam sekali lagi sebelum melangkah pergi.

Setelah Ja Eun keluar dari dari rumah itu, Park Bok Ja segera berlari menyusul Ja Eun dan memanggilnya sambil memohon, “Ja Eun-ah, tolong lihatlah Ahjumma sebentar saja,” pinta wanita itu, namun Ja Eun tetap berjalan pergi tanpa peduli panggilan itu.


Tak punya pilihan, Park Bok Ja akhirnya menarik jaket Ja Eun untuk menghentikan langkah gadis itu, “Ja Eun-ah, Ahjumma....” belum selesai dia bicara, Ja Eun sudah memotongnya lebih dulu.

“Jangan sentuh aku!” teriak Ja Eun dengan emosi seraya menghentakkan tangan Park Bok Ja di jaketnya.


“Baiklah. Ahjumma minta maaf. Ini adalah syal untukmu. Cuacanya semakin dingin, jadi pastikan kau selalu memakainya saat akan keluar rumah, ya.” Ujar Park Bok Ja dengan lembut seraya menyerahkan syal merah yang dia rajut sendiri dan belum sempat dia berikan pada gadis itu.

“Syal? Untukku?” ujar Ja Eun dengan sarkas, seraya tersenyum sinis walaupun tatapannya tampak sangat terluka.

“Ya, ini untukmu. Aku yang merajutnya dengan tanganku sendiri,” ujar Park Bok Ja dengan nada lembut dan sayang.


“Benarkah?” tanya Ja Eun dengan sinis seraya mengambil syal merah itu dari dalam shopping bag yang diserahkan oleh Park Bok Ja padanya.

Tak lama kemudian, Ja Eun membuang syal merah itu ke tanah dan menginjaknya berkali-kali, “Gomawoyo (terima kasih),” ujarnya sarkas dengan tersenyum sinis kemudian berjalan pergi setelah menginjak-injak syal merah itu.


Setelah Ja Eun pergi, Park Bok Ja berlutut di tanah seraya mengambil syal merah itu dan memeluknya erat sambil menangis tersedu-sedu seolah-olah dia sedang memeluk Ja Eun, hatinya tampak sangat hancur saat Ja Eun menginjak-injak syal merah yang telah dia rajut sendiri.



Wanita itu tampak sangat menyesal karena telah menyakiti Ja Eun separah itu. Melihat bagaimana dia menangis, memberikan kesan andai saja dia bisa mengulang waktu, Park Bok Ja pasti akan memilih Ja Eun daripada pertanian ini. Tangisan Park Bok Ja menunjukkan bahwa dia sebenarnya sudah sangat menyayangi Ja Eun seperti putri kandungnya sendiri dan dia tampak hancur seolah telah kehilangan putrinya yang berharga.


Di sisi lain, Ja Eun juga menangis tersedu-sedu di dalam bus saat perjalanan kembali ke penginapan ibu tirinya. Setelah turun dari bus, Ja Eun tampak menyeret kopernya sambil melamun. Siapa sangka Tae Hee sudah berdiri menunggunya di sudut jalan menuju tempat tinggal sementara gadis itu.





Tae Hee-lah yang pertama menyadari kehadiran Ja Eun di sana, dia melihat Ja Eun datang dengan menyeret kopernya. Barulah kemudian Ja Eun melihatnya setelah jarak mereka sudah begitu dekat. Tae Hee segera berjalan mendekati gadis itu saat melihat Ja Eun hanya menatapnya sinis.



“Apa yang kau lakukan di sini? Apa jangan-jangan kau datang kemari untuk menemuiku?” ujar Ja Eun dengan dingin.

(Ah, kalau Ja Eun lagi marah, dia ngomongnya banmal alias bahasa santai, bukan Jeon danmal alias bahasa formal. Biasanya dia ngomong sama Tae Hee dengan bahasa formal karena Tae Hee lebih tua 6 tahun darinya, tapi kalau marah, Ja Eun langsung respeknya ilang dan cara ngomongnya kayak ngomong sama temen seumuran gitu. Intinya, Ja Eun ilang respek ke Tae Hee >_<)

“Ya,” jawab Tae Hee singkat, yang tidak tahu harus bicara apa.

“Benarkah? Apa yang membuatmu datang kemari mencariku?” tanya Ja Eun dengan sinis, entah kenapa nadanya terdengar seperti sindiran tajam.


“Apa kau baru saja datang dari suatu tempat?” tanya Tae Hee lembut. (Apa itu perlu ditanyakan, Tae Hee-yaa?)

“Seperti yang bisa kau lihat, aku baru saja kembali dari rumahmu setelah mengemasi barang-barangku,” sahut Ja Eun dengan dingin. (Nah, kan kena skak! Uda tahu ngapain tanya, Tae Hee-yaa?)

“Kau tahu, kan? Kau tahu bahwa Ahjumma mencuri kontrakku, kan? Itu sebabnya saat kontrak itu muncul kau tidak sanggup menatap mataku,” tanya Ja Eun meminta konfirmasi, Tae Hee tidak menjawab tapi raut wajahnya yang tampak bersalah dan hanya menundukkan kepalanya serta tidak berani menatap mata Ja Eun, sudah menjawab semua itu.


(Ingat, kan? Ja Eun ini pakar pembaca wajahnya Tae Hee, jadi tanpa perlu Tae Hee mengatakannya, Ja Eun sudah bisa menebak apa yang ada di pikiran Tae Hee ^^)

“Jadi kau benar-benar tahu? Kupikir kau ‘mungkin’ tahu, namun ternyata kau benar-benar tahu. Sejak kapan kau tahu?” lanjut Ja Eun dengan sindiran tajam dan nada yang sedingin salju di musim dingin.

“Aku minta maaf,” ujar Tae Hee dengan lirih dan merasa bersalah.

“Untuk apa? Aku bertanya sejak kapan kau tahu, bukan menyuruhmu meminta maaf! Apa karena terlalu lama hingga kau tidak ingat lagi kapan tepatnya?” seru Ja Eun, membentak Tae Hee dengan nada tinggi.

“Bukan seperti itu,” sahut Tae Hee membela diri dengan lemah.
Jadi kapan kau tahu? Jawab aku! Bagiku ini adalah masalah yang sangat penting,” ujar Ja Eun, menuntut jawaban.


“Aku baru tahu saat hari panen buah pir,” sahut Tae Hee lirih, lagi-lagi dengan raut wajah bersalah dan menundukkan kepalanya menyesal.

“Jadi kau sudah tahu cukup lama? Seperti inikah caramu menghandel masalah ini? Inspektur Hwang Tae Hee yang selalu berkata angkuh tentang menegakkan kebenaran dan keadilan, pada akhirnya semua itu tidak berguna! Kau hanya kasar dan tegas dalam pekerjaanmu dengan orang lain, tetapi dengan kejahatan ibumu sendiri, kau terlalu murah hati,” sindir Ja Eun, dengan nada yang lebih rendah namun kalimatnya menikam bagai belati.

Dengan kata lain, “Polisi tidak kompeten!” seperti yang dikatakan oleh Ja Eun di EP 9 waktu itu. Kena mental lagi deh, Hwang Tae Hee.

Tae Hee hanya mampu mengalihkan pandangannya ke tempat lain mendengar sindiran tajam Ja Eun padanya, dia tidak tahu bagaimana membantahnya karena itu memang benar adanya.

“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Jika diingat kembali, kau bisa memberitahuku hari itu atau mungkin keesokan harinya. Kau punya banyak waktu untuk mengatakannya,” lanjut Ja Eun, menuntut jawaban kenapa Tae Hee memilih menutup mulutnya.

“Aku minta maaf,” ujar Tae Hee lirih, merasa bersalah.


Ja Eun kemudian berkata dengan berlinang air mata, “Apa kau tahu? AKU MENYUKAIMU, Ahjussi. Sejak hari itu (hari saat Tae Hee yang mabuk masuk ke dalam tendanya) hatiku berdebar kencang kapanpun aku melihatmu, tanpa tahu bahwa kau orang bermuka dua seperti ini,” ujar Ja Eun dengan tatapan sendu dan air mata menetes deras dan Tae Hee hanya menatapnya tanpa kata


(Ja Eun adalah gadis yang berani, dia berani mengakui perasaannya di hadapan pria yang dia sukai. Berbeda dengan Tae Hee yang bahkan harus menyangkal berkali-kali dan menolak mengakui perasaannya sendiri (EP 25). Dan keberanian Ja Eun inilah yang akhirnya menjadi pemicu bagi Tae Hee untuk mengakui perasaannya sendiri dan mengejar Ja Eun lebih kuat lagi, tidak peduli walau harus ditolak berkali-kali. Ja Eun seolah menjadi pembuka gerbang dan juga kunci keberanian Tae Hee dalam mengekspresikan perasaannya sendiri ^^)

“Kaulah yang mengajariku untuk mengambil hati Ahjumma. Bila aku sungguh percaya bahwa ayahku masih hidup, aku harus kembali pada akal sehatku dan hidup dengan baik. Kaulah yang mengajariku hal itu, Ahjussi.
Saat aku membutuhkan bantuan, kaulah yang selalu mengulurkan tanganmu untuk menolongku. Itulah mengapa aku memintamu untuk membelikanku kopi. Apa kau berpikir aku benar-benar ingin minum kopi?” lanjut Ja Eun dengan tatapan terluka, dia merasa sudah ditikam dari belakang oleh orang yang paling dia cintai.


“Aku benar-benar mempercayaimu tanpa keraguan. Setelah ayahku, kaulah satu-satunya pria tempatku bergantung. Kenapa semua orang yang kupercayai, mereka semua, satu persatu mengkhianatiku? Suatu hari ayahku tiba-tiba meninggalkanku sendirian dan membuatku merasa sangat dikhianati, sekarang ahjumma begitu, kau pun begitu. Bila hal seperti ini terus terjadi padaku, bukankah ini berarti ada yang salah denganku?” ujar Ja Eun dengan dengan kesedihan dan keputusasaan dalam suaranya, dia tampak sangat terluka, air mata itu terus turun dari sudut matanya.

“Ini mungkin karena aku terlalu mudah percaya pada orang lain dan mudah tersentuh, pada akhirnya ini adalah salahku karena terlalu mudah untuk percaya, benarkan?” lanjutnya dengan nada menyedihkan.

“Baek Ja Eun,” Tae Hee memanggil nama Ja Eun tanpa bisa berkata-kata.

Ja Eun menghapus air matanya sebelum kembali menatap Tae Hee dengan sengit, “Apa kau masih
membawa pendant (gantungan kunci) yang kuberikan padamu?” tanyanya, tiba-tiba menanyakan gantungan kunci yang dia berikan pada Tae Hee sebagai jimat keberuntungan.



Tae Hee berkata, “Ya, di sini,” dan mengeluarkan pendant itu dari dalam sakunya jaketnya, kemudian menyodorkannya pada Ja Eun. Ja Eun menatapnya sejenak sebelum mengambil pendant itu lalu melemparkannya ke jalanan tepat pada saat sebuah mobil lewat dan tampak melindasnya.




Tae Hee tampak terkejut saat Ja Eun melempar pendant itu ke jalanan.





“Sudah berakhir sekarang. Pergilah dan jangan pernah datang mencariku lagi. Bahkan jika kita tidak sengaja bertemu di tengah jalan, berpura-puralah tidak mengenalku,” seru Ja Eun dengan sinis sebelum menyeret kopernya pergi dengan berlinang air mata.




Tae Hee hanya berdiri membatu saat Ja Eun berjalan meninggalkannya. Entah kenapa hatinya terasa sangat sakit dan terluka saat melihat Ja Eun melempar pendant itu ke jalanan dan setelah mendengar kata-kata terakhirnya.




Dengan hati yang hancur, Tae Hee perlahan memutar tubuhnya dan menatap ke arah Ja Eun pergi dari kejauhan. Akhirnya setelah Ja Eun benar-benar pergi Tae Hee berlari dan memungut kembali the duck pendant itu dan tampak menarik napas lega saat menyadari kalau pendant itu tidak patah atau rusak. Berikutnya, Tae Hee menggenggam pendant itu erat-erat seraya menatap ke arah Ja Eun pergi sekali lagi.



Walaupun Ja Eun sudah mengusirnya pergi dan mengatakan kata-kata kejam padanya, tapi bukan Tae Hee namanya kalau menyerah begitu saja. Malam harinya setelah pulang dari kantornya, Tae Hee kembali menunggu di depan penginapan Ja Eun tinggal selama ini. Sama seperti kemarin, dia berencana berjaga di sana dalam diam.



Tae Hee duduk di dalam mobilnya dan memainkan duck pendant (gantungan kunci bebek) yang dia gantung di kaca depan mobilnya seraya mengenang kata-kata yang diucapkan oleh Ja Eun siang tadi.



“Apa kau tahu? AKU MENYUKAIMU, Ahjussi. Sejak hari itu (hari saat Tae Hee yang mabuk masuk ke dalam tendanya) hatiku berdebar kencang kapanpun aku melihatmu. Saat aku membutuhkan bantuan, kaulah yang selalu mengulurkan tanganmu untuk menolongku. Aku benar-benar mempercayaimu tanpa keraguan,” kenang Tae Hee pada ucapan Ja Eun yang membuatnya semakin resah dan gelisah. (Nah kan kepikiran?)




Tidak tahu harus berbuat apa untuk meredakan kemarahan gadis itu, Tae Hee akhirnya memutuskan untuk membelikan Ja Eun dan ibu tirinya makan malam dan dua gelas kopi favorit Ja Eun. Dengan harapan, kopi itu bisa sedikit meredakan kemarahan gadis itu. (Ja Eun butuh lebih dari sekedar kopi, Tae Hee-yaa!)







Setelah membeli makan malam dan dua gelas kopi, Tae Hee meletakkannya di depan pintu kamar gadis itu. Dia baru saja akan melangkah pergi namun tak sengaja melihat tali sepatu Ja Eun yang tidak diikat sebelumnya. Akhirnya Tae Hee memutuskan untuk membantu mengikatkan tali sepatu Ja Eun sebelum pergi dari sana dengan diam-diam.



Ja Eun sedang duduk termenung di dalam kegelapan. Beberapa saat kemudian, dia membuka pintu dan melihat bingkisan makanan di depan pintu kamarnya. Seolah bisa menebak kalau itu dari Tae Hee, Ja Eun segera mengambil bingkisan itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Di Ojakgyo Farm, Park Bok Ja tampak berbaring di kamarnya karena sakit dan Hwang Chang Sik datang dan membawakannya minum serta obat untuk menurunkan demamnya. Park Bok Ja sepertinya jatuh sakit karena terlalu memikirkan Ja Eun. Rasa bersalah, penyesalan serta kerinduannya pada gadis itu yang sudah dianggapnya seperti putrinya sendiri, membuat wanita itu akhirnya tumbang karena beban mentalnya yang terlalu berat.

“Aku membawakanmu obat untuk kau minum. Bangunlah sebentar,” ujar Hwang Chang Sik pada Park Bok Ja yang perlahan bangun.

Hwang Chang Sik meletakkan sebelah tangannya di kening Park Bok Ja untuk memeriksa suhu tubuhnya, “Aiggooo, kau demam tinggi. Apakah obat saja cukup? Apa kau mau pergi ke rumah sakit?“ tanya Hwang Chang Sik dengan cemas.

Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat sejenak dan minum obat,” tolak Park Bok Ja, karena dia tahu sumber penyakitnya adalah dari pikiran. Asalkan Ja Eun memaafkannya, dia pasti akan segera sembuh.

“Tae Hee dan Tae Phil baru saja pulang ke rumah, hanya Tae Shik yang tak pulang karena lembur. Aku berencana memberitahu mereka tentang kedatangan Ja Eun siang tadi dan tentang rencana kepindahan kita,” ujar Hwang Chang Sik.

“Istirahatlah. Jika besok kau belum sembuh juga, lebih baik kita ke rumah sakit.” lanjut Hwang Chang Sik sebelum pergi menemui kedua putranya.

Yup, Hwang Chang Sik menelpon Tae Hee agar pulang ke rumah malam ini karena ada masalah penting yang akan mereka bicarakan, itulah sebabnya setelah membelikan makan malam dan dua gelas kopi untuk Ja Eun, Tae Hee akhirnya pulang ke rumah malam ini dan tidak bisa menjaga gadis itu lagi di depan pintu penginapannya seperti malam sebelumnya.

Setelah membawakan obat untuk istrinya, Hwang Chang Sik kemudian menuju ke ruang tamu di mana Nenek, Tae Hee dan Tae Phil sudah duduk di sana menunggunya.

Melihat sang ayah datang, Tae Phil segera bertanya dengan khawatir, “Aku dengar Ibu sakit,” ujar Tae Phil dengan cemas.

“Ibu kalian sedang demam. Tapi dia menolak pergi ke rumah sakit, jadi aku hanya memberinya obat dan dia sedang tidur sekarang,” jawab Hwang Chang Sik, menjelaskan kondisi Park Bok Ja.


“Bagaimana mungkin dia tidak sakit? Dia menderita seorang diri seperti ini ditambah dengan hatinya yang terluka. Siang ini juga, Ja Eun datang kemari dan bersikap dingin dan kejam. Dia datang kemari dengan aura yang sangat kuat, dingin dan mencekam. Anak itu yang dulu sehangat sinar mentari, sekarang berubah menjadi sedingin salju di musim dingin,” ujar Nenek dengan sedih.

“Ja Eun datang kemari?” tanya Tae Phil mengkonfirmasi, sementara Tae Hee hanya terdiam karena dia sudah mengetahui hal ini dari Ja Eun sendiri siang tadi.


“Itu sebabnya Ayah memanggil kalian untuk pulang. Ja Eun datang kemari siang tadi untuk mengemasi barang-barangnya dan pergi dari sini. Dan kami juga sudah selesai membicarakan masalah pertanian ini. Ja Eun menyuruh Ayah untuk menjual pertanian ini secepatnya, jadi besok pagi, Ayah akan pergi ke agen property untuk mulai memasang iklan penjualan. Dia juga menyuruh kita semua untuk keluar dari rumah ini dan pindah ke tempat lain dalam kurun waktu satu bulan,” ujar Hwang Chang Sik, menyampaikan apa yang dikatakan Ja Eun padanya tadi siang


Dalam sebulan? Kita tidak punya banyak waktu tersisa,” protes Tae Phil.
“Kita memang tidak punya banyak waktu,” ujar Nenek resah.
“Itu sebabnya kita harus menemukan rumah baru untuk pindah,” jawab Hwang Chang Sik.

“Saat Ja Eun mengatakan ingin menjual pertanian ini, jujur saja, hati ayah menjadi sedikit lebih tenang. Sekarang Ibu kalian bisa tidur dengan nyenyak lagi. Pada akhirnya semuanya tetap berakhir seperti ini (dijual seperti keinginan Ja Eun). Selama ini, karena banyak hal yang terjadi, hati Ayah menjadi tidak tenang, tapi sekarang walau hati Ayah sudah tenang, namun kita harus bekerja keras dari awal. Ayah dan ibu juga harus beradaptasi lagi di rumah baru kita,” ujar Hwang Chang Sik, lega sekaligus sedikit was-was. Karena bagaimana pun mereka harus pindah di musim dingin dan itu tidaklah mudah mengingat cuaca semakin dingin.


“Ya,” sahut Tae Hee dan Tae Phil bersamaan. Tae Phil terlihat tak rela meninggalkan rumah itu, namun Tae Hee tampak sedikit lega karena setidaknya rasa bersalah dalam hatinya bisa sedikit berkurang.

Keesokan paginya, Park Bok Ja sudah berada di dapur saat Tae Hee akan berangkat bekerja.
“Apa kau akan berangkat bekerja pagi-pagi begini?” tanya Park Bok Ja pada Tae Hee.
“Eomma, kenapa sudah bangun? Bukankah Ayah bilang Ibu sakit?” tanya Tae Hee dengan cemas.


“Ibu hanya sedikit demam, tapi sekarang sudah lebih baik. Pekerjaan apa yang harus kau lakukan hingga harus pergi pagi-pagi begini?” omel Park Bok Ja khawatir.

“Itu karena kemarin aku pulang kerja lebih awal, jadi kupikir aku harus datang lebih awal hari ini,” sahut Tae Hee menjelaskan.

(Ya iyalah, Bambang, eh Tae Hee maksudku, kamu bukannya kerja tapi malah nungguin Ja Eun di sudut jalan, uda gitu, uda diusir, eh malamnya datang lagi nungguin. Coba gak dipanggil pulang sama si bapak, pasti kemarin malam begadang lagi nungguin Ja Eun semalaman di depan pintu penginapannya ckckck…uda gitu masih ngaku gak ada rasa pula. Hadeh >_<)

“Kalau begitu makanlah sedikit protein sebelum kau pergi untuk menambah energimu,” ujar Park Bok Ja setengah memaksa.

Tae Hee sudah menolaknya karena tidak ingin merepotkan sang ibu, tapi Park Bok Ja bersikeras ingin membuatkan sesuatu untuk putra ketiganya sebelum dia pergi bekerja, lagipula membuatnya juga tak akan lama.

Park Bok Ja masih mengomel dan mengatakan karena sekarang Tae Hee masih muda jadi dia tidak merasa ada yang salah dengan tubuhnya, tapi jika sudah tua nantinya, Tae Hee baru akan merasakan imbas akibat selalu makan terlambat dan tidak tepat pada waktunya. (Maag, asam lambung dsb maksud si emak)

Akhirnya Tae Hee pun terpaksa menurut pergi ke dapur karena tidak ingin mengecewakan Park Bok Ja. Tae Hee melihat ibunya membuatkan sesuatu untuknya dengan tergesa-gesa. Tak hanya membuatkan minuman untuk Tae Hee, namun juga menghangatkan kue beras untuk sekedar menahan lapar di pagi hari.

Park Bok Ja akhirnya menghidangkan segelas minuman hangat (sesuatu yang dicampur dengan susu) serta dua buah kue beras untuk Tae Hee, dia bercanda dengan mengatakan bahkan untuk membuat sesuatu yang sederhana seperti ini saja sudah membuatnya berkeringat sekarang.


“Maafkan aku, Eomma. Kupikir aku terlalu keras padamu waktu itu,” ujar Tae Hee, meminta maaf dengan tulus.

“Apa yang kau bicarakan? Jangan katakan hal itu. Bila kau kembali mengungkitnya, Ibu akan merasa lebih malu dan menyesal. Saat kau yang adalah anak yang baik dan penurut, namun tiba-tiba saja mengetahui bahwa ibumu melakukan kejahatan seperti itu, bagaimana marah dan kecewanya dirimu saat itu, Ibu sangat mengerti. Ibu bahkan masih merasa malu menatap wajahmu saat ini, jadi jangan bahas itu lagi,” ujar Park Bok Ja dengan sedih dan malu, malu karena perbuatannya yang tidak bisa dibenarkan.


Tae Hee hanya terdiam mengerti, “Terima kasih atas makanannya (Jeo mokgo seumnida),” ujar Tae Hee seraya meminum susu yang telah disiapkan oleh ibunya.

“Minumlah pelan-pelan,” ujar Park Bok Ja dengan sayang. Tae Hee kemudian memakan kue berasnya seraya tersenyum lembut pada ibunya.

Di penginapan kecil itu, Ja Eun masih tampak tak memiliki gairah hidup, dia hanya berbaring seharian di kamar dan itu membuat sang ibu tiri menjadi kesal.

“Apa kau hanya akan berbaring seharian seperti itu? Mengapa kau harus merasa depresi karena orang-orang seperti itu? Meraka sama sekali tidak berharga!” sindir Jung Yeon Suk.

“Jangan seperti ini lagi. Hari ini, ayo kita pergi ke mall. Jalan-jalan dan berbelanja akan membuatmu jauh lebih baik,” Jung Yeon Suk masih mencoba membujuk Ja Eun, namun Ja Eun tetap membisu.

“Baiklah. Berbaringlah seharian bila memang itu yang kau inginkan. Tapi kita harus menyelesaikan masalah pertanian itu lebih dulu. Apa kau hanya akan membiarkan mereka hidup dengan nyaman begitu saja di pertanian itu dan tidak melakukan apa pun pada mereka?” lanjut Jung Yeon Suk dengan kesal.

Ujung-ujungnya dia kembali membahas pertanian, karena memang sejak awal, dia kembali mendekati Ja Eun karena menginginkan pertanian yang diwariskan Baek In Ho pada putrinya, hanya demi uang 10 miliar won semata, bukan karena menyayangi Ja Eun dengan tulus.

“Aku sudah menyuruh mereka untuk menjual pertanian itu secepatnya,” jawab Ja Eun dengan lesu.

“Benarkah? Kapan? Kau melakukannya dengan baik, Ja Eun-ah. Lokasi pertanian itu sangat bagus dan strategis, aku yakin setelah kita memasang iklan penjualan, pertanian itu pasti akan terjual cepat dengan harga yang mahal,” ujar Jung Yeon Suk dengan senyum sumringah begitu mendengar Ja Eun akan menjual pertanian itu.

(Nah, kan? Nah, kan? Langsung senyum sumringah tuh si emak tiri dajjal. Di mata Jung Yeon Suk, Ja Eun bagaikan mesin ATM berjalan. Didekati hanya kalau dia membutuhkan uang, begitu gak butuh, langsung Ja Eun dicampakkan seperti di EP 3, EP 5 dan EP 10)

“Baiklah, kalau begitu. Aku akan keluar dulu jadi kau bisa berbaring sesukamu,” ujar Jung Yeon Suk lalu segera meraih tasnya dan meninggalkan kamar sempit itu.

Ja Eun tidak mengatakan apa pun dan hanya memejamkan matanya seolah-olah lelah menghadapi hidup ini. Sementara di pertanian, Park Bok Ja tampak membelai lembut syal merah untuk Ja Eun yang kemarin diinjak oleh gadis itu karena marah, dia kemudian menyimpannya dengan rapi kembali di dalam lemari setelah menatapnya penuh kasih sayang.

Di kantor Perusahaan animasi, Kim Jae Ha tampak mengamati kertas-kertas berisi gambar-gambar animasi dari para peserta yang mengikuti perlombaan animasi yang diselenggarakan oleh Good Film beberapa waktu yang lalu.

Lomba Animasi inilah yang diikuti oleh Baek Ja Eun saat di EP 14, saat itu, Ja Eun yang kembali ke kampusnya setelah sempat absen karena masalah tuduhan masuk melalui jalan belakang menyeret namanya dan dia dibully habis-habisan oleh para mahasiswa di kampusnya, akhirnya kembali lagi ke kampus untuk belajar.

Saat itulah di papan pengumuman, dia tak sengaja melihat pengumuman tentang lomba animasi ini. Tak hanya hadiah uang, pemenang pertama yang terpilih, karyanya akan diangkat dan dijadikan film animasi dan tentu saja royaltinya juga tidak sedikit. Itulah sebabnya di EP 21, Ja Eun berkata kepada ibu tirinya kalau dia akan mendapatkan uang untuk membantunya membayar hutang, maksudnya adalah dengan memenangkan lomba ini, bukan menjual pertanian, tapi Jung Yeon Suk yang tidak tahu, mengira Ja Eun akan menjual pertanian.

Kembali ke cerita, seorang pria berkacamata tam[ak memberikan selembar kertas berisi gambar animasi yang dia pilih untuk dijadikan pemenang pertama lomba yang mereka adakan.

“Ini adalah juara pertama yang kupilih untuk lomba yang kita adakan,” ujar pria berkacamata itu menjelaskan.
“Paroro?” Kim Jae Ha mengamati gambar itu kemudian menggelengkan kepalanya tak suka.
“Anda sama sekali tidak punya selera,” ujar pria itu, tampak tak terima Kim Jae Ha menolak pilihannya.

Kim Jae Ha tidak peduli, dia kemudian kembali melihat-lihat gambar-gambar animasi yang bertebaran di atas meja dan tampak tertarik dengan selembar kertas yang berisi gambar lima ekor bebek dengan karakter yang berbeda-beda, salah satu gambar bebek itu sangat mirip dengan gantungan kunci milik Tae Hee yang diberikan Ja Eun padanya.


“Untuk apa melihat gambar-gambar itu? Mereka adalah peserta yang sudah tereliminasi,” ujar si pria berkacamata itu meremehkan.

“Aku ingin mengambil yang ini,” ujar Kim Jae Ha tak peduli.
“Anda benar-benar menyukainya? Anda sungguh tak punya selera. Karakternya tidak menarik dan alur ceritanya juga membosankan,” ujar pria berkacamata itu, masih tak rela jika pilihannya tak dimenangkan.

(Lah loe siapa, pak? Ini kan masalah selera, seleramu gak sama dengan bos, kok maksa? Yang bosnya siapa? Yang punya duit siapa? Produser dan Presdir Good Film kan Kim Jae Ha, terserah dia dong mau pilih pemenang lomba seperti apa. Dia yang bikin lomba, dia yang ngasih hadiah, dia yang ngeluarin biaya produksi, dia yang bayar royalty, kenapa situ yang bawel deh? Loe punya duit, loe punya kuasa! Pilihanmu gak diterima, ya udah diem aja. Gak ikut punya duit tapi banyak protes nih Nobita ckckck...)

“Aku rasa ini cukup bagus,” ujar Kim Jae Ha dengan santai, tak peduli komentar bawahannya.
“Baek Ja Eun,” lanjutnya lagi seraya membaca nama yang tertulis di pojok kanan atas kertas tersebut.

(Bos uda menentukan pilihan ya, jadi terima aja pilihan bos. Gak perlu banyak bacot, Oke Nobita?)

Sementara itu di penginapannya, Ja Eun tak lagi berbaring namun terduduk lesu seraya bersandar ke koper putihnya yang disandarkan di dinding di bawah jendela kamarnya, saat tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.

Dengan enggan, gadis muda itu mengangkatnya, “Yoboseyo (hallo),” sahutnya malas.
“Hallo, apa aku bicara dengan Baek Ja Eun-ssi?” tanya Kim Jae Ha. Yup, yang menelpon itu adalah Kim Jae Ha.

(Kim Jae Ha sudah mulai mendekati Baek Ja Eun. Tae Hee, bergeraklah cepat sebelum Ja Eun direbut orang)

“Siapa ini?” tanya Ja Eun datar tanpa semangat.
“Apa kabar? Aku adalah Kim Jae Ha, produser dari Good Film. Beberapa waktu yang lalu kau mengikuti sebuah perlombaan animasi dan mengirimkan sebuah karya yang berjudul ‘O-Duck Family’, bukan? ” sahut Kim Jae Ha dari seberang saluran.


“Ya, benar.” Sahut Ja Eun tanpa semangat.
“Sebenarnya karyamu tidak lolos tahap eliminasi, namun aku menyukai karakter yang kau buat jadi aku memutuskan untuk memilihmu,” ujar Kim Jae Ha menjelaskan maksudnya.

Tidak apa-apa. Aku juga tidak tertarik,” sahut Ja Eun dengan datar kemudian langsung menutup teleponnya.

(Yaelah, Bambang, ngapain juga pake disebutin kalau sebenarnya gak lolos tahap eliminasi sih? Bikin Ja Eun jadi makin down aja. Kalau gak lolos ya ngapain dipanggil? Kesannya jadi kayak ban serep, gitu kan Ja Eun mikirnya. Ibarat orang interview kerja, gak lolos seleksi tahap awal, tapi tetap dipanggil suruh datang walau gak lolos dan dikasih tahu pula kalau sebenarnya gak lolos, buat apa gitu loh? Belum apa-apa orang jadi males kan dengernya?)

Kim Jae Ha kembali menelpon Ja Eun dan bertanya, “Apa jangan-jangan kau ada di dalam lift?” tanya Kim Jae Ha dengan polosnya.

(Dia kira Ja Eun ada di dalam lift jadi gak ada sinyal dan itu sebabnya sambungan teleponnya jadi mendadak terputus.)

Setelah menghubungi Ja Eun, Kim Jae Ha kembali mendatangi Tae Hee di kantornya yang belakangan tampak sibuk menginterogasi tersangka.


Dia menyapa Tae Hee namun Tae Hee mengabaikannya, kemudian dia menyapa Seo Dong Min dan duduk di antara Tae Hee dan Dong Min.

Tae Hee sedang menginterogasi pria yang sama seperti di episode sebelumnya dan Kim Jae Ha tampak mennyimak pertanyaan yang diajukan Tae Hee kepada pria itu.


“Aku bertanya sekali lagi. Tanggal berapa tepatnya kau menerima barang itu?” tanya Tae Hee tampak tidak sabar.

“Aku tidak ingat, antara tanggal 5 atau 10. Ah tidak, sepertinya tanggal 25 jadi...” tersangka yang satu ini selalu saja mengubah jawabannya dari waktu ke waktu dan itu membuat Tae Hee menjadi sangat kesal.

“Apa kau sedang mempermainkan aku sekarang? Katakan yang sebenarnya! Cepat!” tanya Tae Hee mulai emosi.

“Ahjussi, cepat jawab dengan jujur!” ujar Kim Jae Ha, mengulangi ucapan Tae Hee.


“Diamlah!” ujar Tae Hee seraya menatap Kim Jae Ha dengan kesal.
“Cepat katakan! Tanggal berapa tepatnya?” ujar Tae Hee, kembali menatap si tersangka seolah ingin menghajarnya karena sudah menguji kesabarannya

“Cepat katakan!” bisik Kim Jae Ha, membuat Tae Hee kembali menatapnya tajam.


“Aku tidak akan mengganggu lagi,” ujar Kim Jae Ha akhirnya kemudian mengeluarkan ponselnya dan mulai bermain games dengan seru.

“Kau tidak akan lepas begitu saja hanya karena kau mengatakan tidak tahu apa-apa. Sebaliknya, posisimu akan semakin berbahaya. Jadi katakan kapan tanggal tepatnya!” ujar Tae Hee sekali lagi. Namun konsentrasinya terganggu karena suara games dari ponsel Kim Jae Ha.


“YYYYAAAA! KIM JAE HA-ssi!” seru Tae Hee dengan nada penuh peringatan.
“Aku akan menggunakan mode getar,” jawab Kim Jae Ha dengan tersenyum kikuk.

“Aku bertanya sekali lagi, kapan tanggal tepatnya?” seru Tae Hee, mengulangi pertanyaan yang sama dengan nada membentak karena kesal.
“Sepertinya itu tanggal 15,” sahut si tersangka.
“Lokasi? Kau masih tidak mau mengatakan di mana lokasinya?” tanya Tae Hee, mengubah pertanyaannya.

Si tersangka baru saja akan menjawabnya, saat tiba-tiba terdengar suara dering telepon masuk.
“HEI, KAU!” seru Tae Hee seraya menatap Kim Jae Ha kesal.


Tapi kali ini, Kim Jae Ha menjawab, “Sepertinya itu bunyi ponselmu, Hwang Gyeonghwi-nim.”
“Suaranya dari dalam saku,” ujar si tersangka, membenarkan dari mana asal suara telepon itu.


Tae Hee akhirnya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku mantelnya dan menyadari jika itu memang bunyi dering dari ponselnya sendiri, dengan enggan Tae Hee mengangkat teleponnya yang ternyata dari Tim Leader mereka.




Setelah proses interogasi yang melelahkan, Tae Hee sepertinya ingin mencari penghiburan dengan mendatangi penginapan Baek Ja Eun sekali lagi. Entah sejak kapan, bagi Tae Hee, tidak melihat Baek Ja Eun sehari, membuatnya begitu rindu, itu sebabnya setiap pulang kerja, Tae Hee selalu berakhir mendatangi gadis itu. Walau tak bisa melihat wajahnya, setidaknya mengetahui bahwa dia ada di dalam sana, aman dan terlindungi, Tae Hee merasa sudah cukup.


(Ah, sebenarnya sejak EP 25 lalu, Tae Hee sudah masuk dalam mode “mengejar” walaupun di Episode sebelumnya, dia masih mengejar secara diam-diam tanpa sepengetahuan gadis itu. Baru di EP 26 ini, Tae Hee mulai “mengejar” secara terang-terangan dengan muncul di hadapan gadis itu. Dan di EP 26 ini pula, THE STALKER TAE HEE resmi dimulai ^^)


Saat ini, Tae Hee sedang duduk di dalam mobilnya, mengintai dan mengamati dalam diam. Kali ini Tae Hee menggunakan kemampuan dan pengalamannya dalam mengintai penjahat untuk mengintai gadis pujaan hatinya. Gak sia-sia juga dia punya pengalaman mengintai penjahat selama ini, karena sekarang dia jadi punya kesabaran tingkat tinggi dalam mengintai Baek Ja Eun.





Entah berapa lama dia menunggu, namun saat Tae Hee baru saja akan menghidupkan mesin mobilnya, dia melihat Ja Eun berjalan keluar dari dalam penginapan itu dengan tatapan kosong di matanya. Tae Hee melihat Ja Eun berjalan lesu tanpa semangat dan tampak tak punya semangat hidup. (Ja Eun masih dalam fase "Hidup segan mati tak mau.")






Merasa gelisah dan khawatir, Tae Hee turun dari mobilnya dan mengikutinya secara diam-diam dari kejauhan. Tae Hee melihat bagaimana Ja Eun berjalan sambil melamun dengan tatapan kosong dan menabrak orang-orang di sekitarnya.




Tae Hee melihat Ja Eun tak sengaja menendang penjual buah hingga membuat buah-buah yang dijual itu berjatuhan ke tanah, Tae Hee segera berlari mendekat dan membantu si penjual membereskan kembali kekacauan itu dan meminta maaf atas nama Baek Ja Eun.


Ja Eun berjalan lagi dan melihat seorang penjual yang menjual jajanan pasar yang sama dengan yang pernah dia makan bersama Park Bok Ja. Ja Eun mengambil sepotong jajanan pasar itu yang memang diijinkan untuk dicicipi dan memakannya, namun tiba-tiba saja dia teringat pada kenangan saat penjual jajanan itu mengatakan bahwa Ja Eun dan Park Bok Ja terlihat sangat mirip bagaikan ibu dan anak, dan itu membuat Ja Eun kembali terluka.



Dia spontan menjatuhkan kembali sepotong jajanan yang sudah digigitnya itu dan berjalan pergi dari sana tanpa kata. Tae Hee yang melihatnya tampak terkejut namun segera berlari ke arah warung itu untuk membayar jajajan yang dimakan oleh Ja Eun dan meminta maaf atas namanya.

“Maafkan aku, maafkan aku. Berapa harganya?” tanya Tae Hee dengan sungkan seraya menyodorkan beberapa lembar uang pada penjual itu.


Kemudian dia berlari secepat kilat untuk menyusul Ja Eun agar tidak kehilangan jejak gadis itu. Tapi terlambat, Tae Hee melihat Ja Eun sudah berada di tengah jalan untuk menyeberang.





Namun sepertinya gadis itu tampak tak peduli dengan keadaan sekitarnya, termasuk pada lampu lalu lintas, karena Ja Eun nekad menyeberang walaupun kendaraan masih berjalan.


Tae Hee tampak cemas saat melihatnya, dia takut Ja Eun tertabrak atau semacamnya. Dia baru bisa menarik napas lega saat melihat gadis itu sampai dengan selamat di seberang jalan.



Ja Eun masih berjalan dengan tatapan kosong jadi Tae Hee menemani dan menjaganya dari seberang jalan dan selalu menatap ke arah mana gadis itu berjalan. Namun Tae Hee tampak panik saat melihat Ja Eun tiba-tiba saja masuk ke dalam sebuah gang kosong dan tak lagi berjalan di tepi jalan.



Seperti sudah diduga, Tae Hee pun mengejarnya. Dia masuk ke dalam gang tersebut untuk mencari keberadaan Ja Eun, namun sayang dia kehilangan jejaknya. Tae Hee menarik napas kecewa saat dia kehilangan jejak gadis itu namun tiba-tiba saja Baek Ja Eun muncul di belakangnya.




“Apa kau seorang penguntit (stalker), Ahjussi? Kenapa kau mengikutiku ke mana-mana?” tanya Ja Eun dengan sinis, tiba-tiba muncul di belakang Tae Hee.


Tae Hee seketika berbalik menghadapnya dan tampak lega sekaligus gugup saat tertangkap basah sedang menguntit gadis itu.


“Aku tanya kenapa kau mengikutiku ke mana-mana?” tanya Ja Eun lagi dengan nada tinggi.

Namun alih-alih menjawab pertanyaan Ja Eun, Tae Hee justru mengajukan pertanyaan untuknya, “Apa kau sudah makan?” tanya Tae Hee lembut dan perhatian, tatapan matanya terlihat cemas.


“Kenapa kau sangat penasaran dengan hal itu, Ahjussi? Apa kau mencemaskan aku? Atau karena Ahjumma mengirimmu? Apa Ahjumma menyuruhmu untuk datang kemari dan melihat keadaanku? Apa dia bahkan peduli padaku walau hanya sedikit saja?” tanya Ja Eun dengan sarkas dan nada yang dingin.

“Bukan seperti itu,” sahut Tae Hee lirih.



“Bila bukan seperti itu lalu seperti apa? Kenapa kau mengikuti ke mana-mana? Sudah kubilang jangan mencariku lagi, bukan? Aku bilang walaupun kita tak sengaja bertemu di jalan, berpura-puralah tidak mengenalku. Pergilah dan jangan ikuti aku lagi!” seru Ja Eun seraya menaikkan nada suaranya. Dia masih terlihat marah.


Setelah mengatakan itu, Ja Eun segera meninggalkan Tae Hee dan berjalan pergi, Tae Hee menoleh ke arah gadis itu melangkah dan menatapnya dengan sedih dan cemas.


Tatapan matanya menunjukkan seperti dia tidak rela mereka berpisah begitu saja, seperti dia ingin menahannya namun dia tak mampu melakukannya, jadi Tae Hee hanya mampu menatapnya dengan hati berat.

Menyadari bahwa Ja Eun tidak memakai mantel atau apa pun selain pakaian tipis yang dipakainya, hati Tae Hee menjadi semakin cemas. Dia mengejar Ja Eun sekali lagi seraya melepas mantelnya.






“Pakai ini. Udaranya sangat dingin,” ujar Tae Hee dengan lembut seraya memakaikan mantelnya di pundak Ja Eun. Ja Eun berhenti sejenak kemudian membuang mantel itu.


Tae Hee menahan mantelnya agar tidak jatuh ke tanah lalu kembali memakaikannya ke pundak gadis itu, “Kubilang pakailah ini,” ujarnya lagi, lebih seperti memohon. Namun kali ini, Ja Eun meraih mantel Tae Hee dan melemparkannya dengan kasar ke arah pria itu.




“Apa kau sedang bercanda denganku, Ahjussi? Kenapa kau seperti ini? Aku bilang aku tidak mau melihatmu lagi! Melihatmu, Ahjussi…Aku sama sekali tidak menyukainya! Aku sama sekali tidak ingin melihatmu!” seru Ja Eun kesal.





Namun Tae Hee tidak peduli, dia terlalu mengkhawatirkan gadis ini, jadi dia menarik lengan Ja Eun dan berteriak padanya, “Dengarkan aku dan pakailah ini sebelum kau pergi!” seru Tae Hee dengan nada tinggi, hingga membuat Ja Eun terdiam membeku.





Tae Hee kemudian menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengendalikan emosinya, dia tahu dia tidak boleh lepas kendali. Dia harus tenang dan tidak boleh semakin menyulut emosi. Tae Hee hanya terlalu mengkhawatirkan gadis ini, itu sebabnya dia membentaknya agar mau menuruti kata-katanya.





“Walaupun kau tidak ingin bertemu denganku, sekarang aku ingin bertemu denganmu. Aku tidak bisa melakukan apa pun karena aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku ingin tahu apakah kau sudah makan, apakah kau tidur dengan nyenyak. Seperti beberapa saat yang lalu saat kau hampir berada dalam bahaya karena berjalan sambil melamun. Baek Ja Eun, sepertinya aku menyukaimu.” Ujar Tae Hee mengungkapkan apa yang dia rasakan pada gadis itu dengan lembut dan penuh perasaan.


Tae Hee menatap Ja Eun dengan tatapan lembut penuh cinta,
 tampak terbersit setitik harapan di sana. Harapan agar perasaannya ini bisa terbalas. Agar perasaannya ini bisa sedikit meredakan kemarahan di hati gadis itu, berharap agar dia bisa menemaninya menghadapi saat-saat sulit ini bersama. Harapan agar Ja Eun memaafkannya dan menerimanya sekali lagi dalam hidupnya. Tapi sayangnya, harapan tak seindah kenyataan.



Mendengar pengakuan cinta Tae Hee, Ja Eun yang sedari tadi hanya menatap tanah seketika mengangkat wajahnya dan menatap Tae Hee tak percaya. 


Cut Scene :
1. Baek Ja Eun's Confession Scenes :


2. Hwang Tae Hee's Confession Scene :


Blogger Opinion :
Hwang Tae Hee mulai mengejar. But don’t you think it’s too late, Tae Hee-yaa? Sebenarnya Tae Hee sudah mulai mengejar sejak EP 25, hanya saja dia tidak muncul secara terang-terangan di depan Ja Eun dan hanya menjaganya diam-diam. Baru di EP 26, Tae Hee berani menampakkan wajahnya. Dimulai dari bermalam di depan rumahnya, lalu mengikutinya dan melindunginya ke mana-mana, lalu pengakuan cinta.


Sebenarnya daripada “Baek Ja Eun, I think I like you” harusnya langsung aja ya, "Saranghae, mianhanda..." Tapi walaupun begitu, great job buat Tae Hee yang sudah mulai bergerak dan gak malu-malu lagi mengakui perasaannya. 

Ehem, siapa nih yang di episode sebelumnya mengaku gak ada rasa? Kok tiba-tiba gak ada angin, gak ada ujan langsung membuat pengakuan, langsung "nembak" gak pake pedekate dulu? *lirik Tae Hee* Pengakuan cinta pertama dari Hwang Tae Hee yang sudah pasti berujung penolakan, karena Ja Eun masih dikuasai oleh amarah. Saking marahnya, bahkan ungkapan cinta Tae Hee seolah tak berarti apa-apa baginya. Hwang Tae Hee yang malang >_<


Mulai episode 26, penderitaan cinta Tae Hee resmi dimulai. Mulai episode ini, mental Tae Hee akan dihajar habis-habisan oleh Baek Ja Eun. Yang sabar ya, Tae Hee *cini, cini Noona peyuk* Jalanmu masih panjang, jadi kau harus kuat mental dalam mengejar cintamu yang telah hilang, Ja Eun hanya marah, jadi kamu harus sabar, oke? Kalau kamu ingin menyerah, ingatlah masih ada Chu Pat Kay yang sudah menjalani 501 kali penderitaan cinta hahaha ^^ Dan ingatlah petuahnya Pat Kay, “Sejak dahulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir” *dijitak Pat Kay karena dibawa-bawa* ^_^

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/611 + https://gswww.tistory.com/612 + https://gswww.tistory.com/613

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads