Highlight For today episode :
Hwang Tae Hee first smile to Ja Eun. Senang sekali melihat perubahan sikap Tae
Hee. Hwang Tae Hee akhirnya bersikap baik kepada Ja Eun dan tidak menatapnya
dengan aura permusuhan lagi. Ini adalah pertama kalinya Tae Hee tertawa saat
berbicara dengan Ja Eun, biasanya mereka hanya adu mulut dan bertatapan dengan
sinis. Perkembangan pesat untuk karakter Tae Hee. Gitu dong, Joo Won. Kan
ganteng kalau senyum gitu *wink*
Tapi sialnya karena Hwang Tae Phil, si rambut sarang burung
dan pengangguran tidak berguna, beban keluarga Hwang mengatai Tae Hee sebagai
anak yang tidak tahu balas budi karena diam-diam membantu gadis yang dibenci
oleh sang Ibu, membuat Tae Hee kembali menjaga jarak dengan Ja Eun karena
merasa bersalah pada sang ibu angkat yang telah membesarkannya. Namun walau
begitu, Tae Hee tidak memperlakukan Ja Eun dengan kasar lagi, melainkan lebih
ke arah mencoba mengabaikannya.
Tae Hee mencoba bersikap netral, tidak terlalu dekat dengan
Ja Eun karena merasa berhutang budi pada Park Bok Ja namun juga tidak memusuhi
Ja Eun seperti di awal episode. Tatapan
mata Tae Hee pun berubah menjadi tatapan rasa bersalah sekaligus merasa kasihan
pada Ja Eun. Dia ingin membantu sebagai hutang moral karena menghancurkan
reputasi Ja Eun dan membuatnya dihujat publik, namun di lain sisi, dia juga
berhutang budi pada sang Ibu angkat. Jadinya Tae Hee hanya bisa menatap Ja Eun
dengan rasa kasihan dan feel guilty. Dilema banget jadi Tae Hee >_< That’s okay, Tae Hee-yaa. Yang penting
kamu gak memusuhi terang-terangan seperti dulu.
------000000------
Episode 11 :
Park Bok Ja yang keluar rumah karena ingin menjemur selimutnya,
merasa sangat shock saat dia melihat Baek Ja Eun berdiri di hadapannya dengan senyuman
ceria dan sapaan hangatnya.
“Annyeonghaseyo, Ahjumma.” Sapa Ja Eun dengan
tersenyum manis, membuat Park Bok Ja hampir terkena serangan jantung.
“Aku datang kembali. Apa Ahjumma ingin menjemur selimut?
Berikan padaku, aku akan membantumu,” lanjut Ja Eun dengan ramah dan
senyuman sehangat sinar mentari pagi.
Namun Park Bok Ja menolak memberikan selimut tersebut padanya,
dan sebaliknya bertanya dengan sinis, “Apa yang kau pikir sedang kau lakukan
sekarang?” tanya Park Bok Ja dengan tetapan permusuhan.
“Aku akan tinggal di sini,” jawab Ja Eun tanpa
basa-basi. Ja Eun mah bukan orang yang suka basa-basi, dia adalah orang yang
blak-blak’an.
“Di sini? Di mana?” tanya Park Bok Ja ketus.
“Di sini. Di Ojakgyo Farm, di sampingmu dan Ahjussi,”
sahut Ja Eun dengan kepercayaan diri yang tinggi. Yang aku suka dari Ja Eun
adalah karena dia seorang gadis yang berani dan percaya diri.
“Kenapa kau harus tinggal di sini?” sergah Park Bok
Ja tak suka.
“Pertama-tama, aku ingin meminta maaf lebih dulu atas
perbuatanku yang tidak menyenangkan di masa lalu, karena sudah merusak kebun
pir dan membuat kacau pertanian. Aku benar-benar menyesal dan minta maaf. Aku
berjanji hal kekanak-kanakan seperti itu tidak akan terjadi lagi,” ujar Ja
Eun dengan tulus, sepenuh hati meminta maaf.
Nenek datang bersama Tae Phil dan bertanya apa yang terjadi
di sini.
Ja Eun kemudian menyapa mereka dengan senyuman di wajahnya, “Annyeonghaseyo,
Halmoni…Maknae Ahjussi,” sapa Ja Eun dengan ramah dan wajah tersenyum
manis.
“Aku sedang berhalusinasi atau aku benar-benar melihat Siluman
Rubah Baek di hadapanku?” tanya Nenek dengan tak yakin.
“Ya, Halmoni. Dia benar-benar Baek Ja Eun,” sahut Tae
Phil membenarkan.
“Apa yang kau lakukan di sini? Dan apa maksudnya dengan
tenda yang ada di sana itu?” tanya Tae Phil pada Ja Eun.
“Itu adalah tendaku. Mulai hari ini aku akan tinggal di
sini, di dalam tenda itu,” sahut Ja Eun, dengan penuh keberanian dan
kepercayaan dirinya yang tidak luntur, ah, tak lupa senyuman ceria di wajahnya.
“Apa yang kau katakan?” Nenek tampak shock
mendengarnya.
“Kau ingin tinggal di sini? Di dalam tenda itu?”
ulang Tae Phil tak bisa berkata-kata.
“Benar. Untuk membeli tenda itu, aku menguras seluruh
tabunganku. Bukankah tendanya sangat cantik?” jawab Ja Eun dengan senyuman
polos di wajahnya.
Nenek berteriak memanggil Hwang Chang Sik untuk keluar dan
melihat apa yang terjadi di sana. Hwang Chang Sik akhirnya keluar dan melihat
Ja Eun ada di sana.
“Ahjussi, apa kabar? Karena Ahjussi sudah keluar, aku
akan mengatakannya sekali lagi. Terakhir kali aku datang dan membuat kacau
seluruh pertanian ini, aku benar-benar menyesal dan minta maaf. Aku tidak akan
pernah melakukan hal konyol dan kekanak-kanakan seperti itu lagi di masa depan.
Tolong maafkan aku sekali ini,” ujar Ja Eun, meminta maaf dengan tulus,
seraya membungkukkan tubuhnya 90 derajat.
“Sangat bagus kau datang untuk meminta maaf, tapi apa itu
di sana? Kenapa ada tenda di sini?” ujar Hwang Chang Sik, baru menyadari
ada sebuah tenda yang didirikan di halaman mereka.
“Itu adalah tenda miliknya. Dia ingin tinggal di sini dan
tidur di dalam tenda,” jawab Tae Phil pada ayahnya.
“Tidur di dalam tenda?” ulang Hwang Chang Sik tak
percaya.
“Kumohon ijinkan aku, Ahjussi (Paman). Aku tidak akan memberikan
kesulitan pada siapa pun, kalian cukup mengijinkan aku untuk tidur di halaman.
Aku tak punya tempat lain untuk pergi. Karena kasus penyuapan rektor
Universitas itu, aku tak punya tempat untuk pergi, aku juga sudah dipecat dari
pekerjaan paruh waktuku. Tapi aku benar-benar tidak bersalah. Hal ini bahkan
sudah diketahui oleh putra ketigamu. Aku benar-benar tidak masuk melalui jalan
belakang. Jadi tolong ijinkan aku tinggal di sini. Dan selama ini aku tinggal
di sini, aku ingin membantu kalian mengurus pertanian ini. Sebentar lagi adalah
musim panen, bukan? Kalian bisa memperkerjakan aku sebagai pekerja sambilan.
Aku akan benar-benar bekerja keras,” ujar Ja Eun panjang lebar, menjelaskan
alasannya berada di sana.
“Apa yang dikatakan oleh Siluman Rubah ini? Kau bilang
apa tadi? Kau ingin tinggal di sini dan membantu mengurus pertanian?” Nenek
meminta Ja Eun mengulangi kata-katanya karena dia masih sulit percaya jika
gadis kaya yang manja bisa berubah dalam sekejap. Ya bisa ajalah kalau keadaan
memaksa, manusia kan harus bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
“Benar. Dan juga membantu mengurus bebek. Aku sangat suka
animasi, jadi aku juga sangat menyukai bebek,” jawab Ja Eun dengan
tersenyum ceria tanpa dosa. Namun hanya dia satu-satunya yang tersenyum di sana
karena yang lain masih menatapnya dengan shock dan tak bisa berkata-kata.
Keluarga Hwang akhirnya merundingkan masalah ini di dalam
rumah.
“Sepertinya gadis itu sudah tidak waras,” ujar Nenek
tak percaya.
“Dia bilang dia tak punya tempat untuk pergi, itu
sebabnya dia berada di sini,” jawab Hwang Chang Sik yang merasa kasihan.
“Dia kemari karena ingin mengambil kembali pertanian
ini,” sahut Park Bok Ja yang sepertinya ketakutan sendiri.
Nenek pun berkata kalau dia tidak tahan melihat Ja Eun di
sekitar mereka, punggungnya pun masih sakit setelah membereskan kekacauan yang
dibuat Ja Eun dua hari yang lalu. Mendapat dukungan, Park Bok Ja kemudian
berkata bahwa dia akan mengusir gadis itu pergi.
Hwang Chang Sik melarang sang istri, “Kenapa kau tidak
menanyakan pendapatku?”
“Bukankah seharusnya kita sependapat?” ujar Park Bok
Ja meminta dukungan.
“Biarkan saja Ja Eun tidur di loteng lagi. Dia tidak
punya tempat untuk tinggal, jadi ke mana dia harus pergi jika kau mengusirnya?
Kenapa menurutmu dia rela tidur di tenda bila bukan karena dia sudah putus
asa?” ujar Hwang Chang Sik, merasa bersalah pada Ja Eun.
“Kenapa kau hatimu begitu lemah? Dia memang sengaja
seperti itu untuk menarik simpati kita dan membuat kita merasa kasihan
padanya,” tegur Nenek pada Hwang Chang Sik.
“Ja Eun sudah terlanjur datang, jadi bagaimana bisa kita menendangnya keluar? Jika kita menendangnya keluar, hatiku tidak akan
tenang,” jawab Hwang Chang Sik, membela Ja Eun.
Tapi Park Bok Ja tak peduli dan tetap keluar untuk mengusir
Ja Eun. Saat itu Ja Eun sedang makan ramen saat Park Bok Ja tiba-tiba keluar
rumah dengan marah. Ja Eun mencoba menawarinya ramen yang dia buat?
“Ahjumma, aku sedang masak ramen (mie), apa Anda mau
mencicipinya?” tanya Ja Eun, tetap dengan senyuman di wajahnya, menawarkan
makanannya.
“Apa kau sedang mempermainkan kami sekarang? Kau ingin
pergi dengan baik-baik dari sini atau perlu aku menyeretmu pergi dengan kasar
seperti terakhir kali?” ujar Park Bok Ja dengan kejam.
“Aku tidak ingin pergi, aku ingin tinggal di sini.
Kumohon biarkan aku tinggal di sini. Aku benar-benar tidak menginginkan yang
lain,” ujar Ja Eun memohon.
“Apa kau benar-benar tidak tahu tentang dunia ini dan
berpikir semua ini hanyalah lelucon? Apa kau masih berpikir kau bisa melakukan
apa pun yang kau inginkan? Setelah kehancuran yang kau lakukan pada pertanian
ini, kau masih berharap bisa tinggal di sini? Apa yang kau katakan? Membantu di
pertanian?” sindir Park Bok Ja dengan sinis dan ketus.
“Aku benar-benar menyesal telah melakukan itu,” ujar
Ja Eun dengan ekspresi sedih.
“Pergi! Cepat pergi!” usir Park Bok Ja sekali lagi.
Tapi Ja Eun adalah gadis yang keras kepala dan punya
keinginan yang kuat, jadi dia tidak akan menyerah begitu saja bila ada sesuatu
yang dia inginkan.
“Aku tidak mau pergi!” sahut Ja Eun keras kepala.
Akhirnya karena kesal, Park Bok Ja menendang tenda Ja Eun
dan menggulingkannya dengan kejam. Ja Eun yang malang mencoba menghentikannya
namun Park Bok Ja mendorongnya ke belakang.
Saat itulah Hwang Chang Sik dan Tae Phil berlari keluar rumah dan berusaha
menghentikan Park Bok Ja. Tak hanya menendang dan menggulingkan tenda Ja Eun,
Park Bok Ja pun dengan kejam menendang makanan (ramen) milik Ja Eun hingga
membuat isinya tumpah ke tanah.
“Sekarang kau takkan bisa makan lagi!” Seru Park Bok
Ja dengan kejam, sementara Ja Eun hanya memandang ramennya dengan mata
berkaca-kaca dan berusaha menahan air matanya yang hampir menetes.
“Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau harus bertindak
sejauh ini? Apa pun itu, kau tidak seharusnya menendang makanan milik orang
lain, tapi kau malah menendang ramennya dengan sengaja dan bahkan membuatnya
tidak bisa makan sekarang! Kenapa kau begitu kejam?” seru Hwang Chang Sik
dengan penuh kemarahan pada sang istri.
Hwang Tae Phil pun memandang Ja Eun dengan iba karena sadar
bahwa menendang makanan orang lain adalah perbuatan yang tidak sopan dan
melanggar etika kesopanan, namun dia tidak bisa apa-apa karena dia berpihak
pada ibunya.
“Ahjussi, tidak apa-apa. Aku akan membersihkannya. Jangan
marah kepada Ahjumma,” ujar Ja Eun lirih dengan air mata yang hampir
menetes.
“Membersihkan apa? Yang harus kau lakukan adalah pergi
dari sini!” seru Park Bok Ja dengan tak punya perasaan.
“Apa kau harus seperti ini? Cukup! Hentikan!” seru
Hwang Chang Sik, memperingatkan sang istri agar tidak keterlaluan.
“Tae Phil, dirikan tendanya lagi! Malam ini biarkan dia
tinggal di dalam tenda,” ujar Hwang Chang Sik menyuruh Tae Phil
mengembalikan tenda Ja Eun seperti semula lagi.
Awalnya Tae Phil hanya diam saja seraya menatap sang ibu,
barulah saat sang ayah berteriak sekali lagi, Tae Phil bergerak membantu.
“Apa yang kau lakukan, anak nakal? Aku menyuruhmu dengan cepat
mendirikan kembali tendanya seperti semula!” seru Hwang Chang Sik pada Tae
Phil dengan marah.
“Ya,” jawab Hwang Tae Phil akhirnya, dengan terpaksa.
“Tidak perlu, Ahjussi. Aku bisa melakukannya sendiri,”
ujar Ja Eun dengan berbesar hati, dan segera membantu Tae Phil mendirikan
kembali tendanya. Park Bok Ja pun akhirnya hanya bisa masuk ke dalam rumah
dengan kesal.
Di kamar mereka, Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja bertengkar
hebat. Park Bok Ja tidak terima karena suaminya memarahinya di depan Ja Eun.
“Kau tidak seharusnya memarahiku di depan gadis itu!”
seru Park Bok Ja tidak terima.
“Lalu kenapa kau harus bertindak keterlaluan seperti itu?
Kenapa kau tidak mau berkompromi denganku? Kenapa kau harus menendang panci
ramennya?” jawab Hwang Chang Sik kesal.
“Aku sengaja melakukannya karena jika aku tidak
melakukannya, gadis itu akan semakin berani!” seru Park Bok Ja dengan
kejam.
“Tapi bagaimana bisa kau bertindak sejauh itu dengan
menendang makanannya? Lalu apa bedanya kau dengan Ja Eun yang merusak pohon
pir? Apa bedanya kau dengannya? Apa bedanya?” seru Hwang Chang Sik, balik
menyindir sang istri.
“Tidak peduli apa pun itu, bagaimana bisa kau memintanya
tinggal di sini, di depan mataku?” tanya Park Bok Ja tidak terima.
“Apa alasanmu sebenarnya? Kenapa kau begitu tidak
manusiawi? Kenapa kau begitu kejam padanya? Apa kau punya alasan khusus untuk
itu?” sergah Hwang Chang Sik dengan nada curiga, membuat Park Bok Ja
seketika terdiam tidak menjawab. Ya iyalah, dia takut ketahuan mencuri surat
kontraknya Ja Eun.
Malam harinya di tenda, Ja Eun berteriak ketakutan saat
beberapa ekor serangga (kecoak mungkin ya? Kalau cuma nyamuk gak mungkin
lebay), masuk ke dalam tendanya. Ja Eun berteriak heboh dan memukul-mukul
serangga itu dengan buku-buku kuliahnya.
Ha Na, gadis berusia 9 tahun yang merupakan keponakan Mi Suk
(yang dia akui sebagai putrinya), tak sengaja melihat sebuah tenda asing
bergerak-gerak dari dalam, dia memperhatikan tenda itu dengan penasaran, hingga
tiba-tiba saja Ja Eun membuka resleting tenda itu dan membuat Ha Na terjatuh
karena kaget.
“Apa kau baik-baik saja? Maaf, aku mengagetkanmu,”
ujar Ja Eun meminta maaf dengan raut wajah bersalah.
“Aku baik-baik saja. Tapi siapa kau?” tanya Ha Na
bingung.
“Annyeong. Namaku Baek Ja Eun. Siapa namamu?” seru Ja Eun dengan ramah seraya
mengulurkan tangannya mengajak gadis itu berkenalan.
“Annyeong, Eonnie. Aku Ha Na. Aku dan ibuku tinggal di
rumah di bawah sana,” sahut Ha Na dengan ramah.
“Ah, jadi kau tinggal di bawah sana? Eonnie akan tinggal
di sini sementara waktu, di dalam tenda. Ha Na-ya, tolong jaga aku, ya.”
Ujar Ja Eun dengan ramah seraya mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.
“Baik,” jawab Ha Na dengan ramah, menerima uluran
tangan Baek Ja Eun.
Lalu kemudian, dia menambahkan, “Ha Na-ya, apa ada toilet
di sekitar sini?” tanya Ja Eun dengan ragu-ragu.
Hingga akhirnya Ha Na mengajak Ja Eun ke sebuah toilet kotor
yang tidak terpakai yang terletak di samping kandang bebek. Toilet tersebut
sangat kotor, tidak ada lampu, tidak ada air dan juga tidak ada tissue toilet
di tempat itu. Benar-benar tidak layak pakai. Tapi karena Ja Eun tidak punya
pilihan, dia terpaksa menggunakannya. Ja Eun masih belum tahu kalau tak ada tissue
toilet di tempat itu.
Mi Suk, Ibu angkat Ha Na yang naksir Hwang Tae Shik, tidak
mengijinkan Ja Eun menggunakan kamar mandinya karena dia ingin caper pada Park
Bok Ja. Mi Suk berpikir jika ingin mendapatkan anaknya maka harus menjilat
ibunya, itu sebabnya Mi Suk tidak mau menolong Ja Eun. Barulah setelah Mi Suk
ditolak Tae Shik dan dihina Nenek Shim, saat itu baru dia mengijinkan Ja Eun
meminjam kamar mandinya.
Awalnya Ja Eun tidak menyadari bila tidak ada tissue toilet
di sana, saat dia menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Ja Eun pun berteriak
keras memanggil siapa pun yang bisa dipanggilnya. Baik itu Hwang Chang Sik,
Park Bok Ja dan yang terakhir adalah Ha Na.
Saat itu keluarga Hwang (minus Tae Hee, Tae Bum dan Tae
Shik) sedang makan malam saat mendengar suara Ja Eun meminta tolong dibawakan
tissue toilet. Awalnya tak ada yang mau membantunya. Hwang Tae Phil menawarkan
diri untuk mengantarkan tissue-nya, namun Hwang Chang Sik mencegahnya.
“Tidak. Ayah saja yang pergi. Aku lebih tua, aku yang seharusnya
pergi,” sahut Chang Sik melarang.
Hwang Chang Sik yang tidak tahan mendengar teriakan Ja Eun
yang meminta tolong, berniat pergi mengantarnya, namun sang Ibu melarang dengan
alasan tidak akan membiarkan Hwang Chang Sik menjadi budak gadis itu. Padahal
hanya mengantar tissue di saat genting aja, uda merasa jadi budak. Keluarga
miskin, numpang tinggal gratis di rumah orang, tapi sombongnya setinggi langit
ckckck...
Nenek mengatakan jika dia yang akan pergi sebagai gantinya,
hingga akhirnya, Park Bok Ja yang tidak enak pada mertuanya, segera bangkit
berdiri dan terpaksa menawarkan dirinya.
Tapi dia terlambat, karena Hwang Tae Hee yang lebih dulu
tiba di sana untuk memberikan tissue untuk Ja Eun. Namun Ja Eun berpikir bahwa
itu adalah Ha Na. Karena keadaan sangat gelap, tak ada lampu di sana, jadinya
Ja Eun tidak bisa melihat dengan benar tangan siapa di sana.
Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, Tae Hee membuka
pintunya dan menyodorkan tissue di tangannya.
“Gomayo, Ha Na-yaa. Aku tidak bisa meraih tanganmu,
bisakah kau lebih mendekat?” pinta Ja Eun putus asa.
Tae Hee kemudian mengulurkan tangannya lebih dalam. Ja Eun
menarik tangan Tae Hee dengan kedua tangannya dan berpegangan di sana, hingga
membuat Tae Hee hampir terseret masuk ke dalam
“Maafkan Eonnie, Ha Na-yaa. Kakiku kram karena terlalu
lama duduk,” ujar Ja Eun meminta maaf.
Tae Hee kemudian mengibas-ngibaskan sebelah tangannya yang
bebas untuk mengusir baunya, namun tidak berhasil hingga akhirnya dia menutup
hidungnya dengan tangannya yang bebas. Hahaha ^_^
Ja Eun mengejan lagi seraya berpegangan pada tangan Tae Hee,
sementara Tae Hee menahan dirinya agar tidak terdorong masuk ke dalam karena
tarikan tangan Ja Eun yang cukup kuat. Lucu banget ekspresi Joo Won di sini,
jadi ngebikin orang pengen ngakak ^_^
“Ah, akhirnya aku bisa bernapas lega. Terima kasih, Ha Na-ya,”
ujar Ja Eun dengan ceria. Uda lega karena e’ek-nya keluar semua. Busyet! Calon
pacarnya Tae Hee emang agak beda hahaha ^_^
Ja Eun kemudian mengambil tissue toilet itu dan berterima
kasih pada Ha Na, namun tiba-tiba dia menyadari keanehan saat Tae Hee menarik
tangannya ke luar.
“Ha Na-ya, kenapa tanganmu begitu besar? Kau adalah Ha
Na, kan? Kau Ha Na, bukan?” Seru Ja Eun di tengah kebingungannya. Tae Hee
buru-buru menutup pintu itu dan kabur secepat kilat, karena akan malu rasanya
jika ketahuan.
Saat keluar dari dalam toilet, Ja Eun berpapasan dengan Park
Bok Ja yang masih menatapnya sinis dan menanyakan tujuannya datang kemari.
“Jawab aku dengan jujur. Kenapa kau datang kemari? Apa
yang kau rencanakan dengan mendirikan tenda di halaman?” sergah Park Bok Ja
dengan sinis.
“Seperti yang kukatakan sebelumnya kalau aku tak punya
tempat untuk tinggal. Itu sebabnya aku datang kemari dan berniat membantu
mengurus pertanian. Aku tidak minta imbalan apa pun dari kalian, cukup ijinkan
aku tidur di halaman. Aku akan tenang dan tidak membuat masalah,” sahut Ja
Eun dengan tersenyum.
“Jadi kau hanya perlu tempat untuk tinggal? Apa kau akan
pergi jika kau punya tempat untuk tinggal?” tanya Park Bok Ja lagi.
“Tidak perlu mencarikan aku tempat tinggal. Aku cukup
tinggal di tenda,” ujar Ja Eun menolak. Dia tidak mau dicarikan apartment
dengan uang 30 juta won yang ditawarkan Hwang Chang Sik.
“Kau datang karena pertanian ini, kan? Kau mencoba
mendekatiku demi merebut kembali pertanian ini, kan?” sindir Park Bok Ja.
Ja Eun terdiam sejenak dan mencoba mengatakan kebohongan
yang masuk akal, “Tidak. Bukan seperti itu. Aku hanya ingin mengubah diriku.
Seperti yang Anda ketahui bahwa dulu aku adalah gadis muda yang selalu dimanja,
apa pun yang kuinginkan selalu dikabulkan oleh ayahku. Tapi sekarang aku
sendirian di dunia ini, itu sebabnya aku ingin belajar menjadi lebih kuat.
Dengan begitu, aku bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan,” jawab Ja
Eun, terdengar meyakinkan, namun Park Bok Ja tetap tidak percaya.
“Sungguh? Jadi kau datang bukan demi pertanian ini?”
tanya Park Bok Ja memancing.
“Ya,” jawab Ja Eun lirih.
“Baguslah. Kalau begitu besok pagi, kemasi
barang-barangmu dan pergi dari sini. Jika kau ingin menjadi kuat, kau tidak
harus berkemah di depan rumah kami. Kau bisa melakukannya di tempat yang lain.
Mulutku sudah lelah, jadi aku tidak ingin bicara lagi. Aku jelas-jelas sudah
memperingatkanmu. Bila aku masih melihatmu besok pagi, kau ada dan aku akan
bertarung hingga ada salah satu dari kita yang akan mati,” ujar Park Bok Ja
dengan kejam sebelum pergi dari sana.
Setelah kepergian Park Bok Ja, Ja Eun berjalan dengan lesu
kembali ke tendanya dan dia melihat Tae Hee berdiri melihat tendanya,
membelakanginya. Ja Eun terlihat senang saat melihat Tae Hee dan menyapanya
dengan ramah dan bersemangat.
“Ahjussi!” panggil Ja Eun dengan bersemangat dan
senyum ceria di wajahnya.
Tae Hee menoleh dan menunjuk ke arah tenda Ja Eun dengan
bingung, “Apa ini tendamu?” tanya Tae Hee bingung.
Ja Eun mengangguk mantap, “Benar.”
“Aku akan tinggal di sini. Selama tinggal di sini, aku
akan bekerja keras dan belajar soal pertanian. Seperti yang kau ajarkan padaku,
aku akan menunjukkan pada Ahjumma bahwa aku adalah orang yang bisa diandalkan,”
sahut Ja Eun dengan ceria dan percaya diri. Senyum tak pernah hilang dari
wajahnya.
Mendengar jawaban Ja Eun, Tae Hee hanya bisa menggaruk tengkuknya
yang tidak gatal dengan kikuk, “Jadi, kau ingin tinggal di dalam tenda mulai
sekarang?” ulang Tae Hee mengkonfirmasi.
Ja Eun menjawab riang, “Benar. Karena aku tidak bisa
masuk ke dalam rumah, jadi aku hanya bisa melakukan ini agar bisa berada di
sisi Ahjumma. Bukankah ini ide yang bagus? Walaupun dia membenciku sekarang,
tapi jika aku terus berada di sisinya, seperti yang kau katakan, suatu saat dia
pasti akan membuka hatinya dan mengembalikan pertanian ini padaku,” ujar Ja
Eun dengan blak-blakan.
Tae Hee kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan
memasang ekspresi seperti mengatakan, “Aku tak yakin soal itu.”
“Kenapa? Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak
percaya aku bisa melakukannya? Tapi jika aku mengatakan aku akan melakukan
sesuatu, aku pasti akan melakukannya tidak peduli sesulit apa pun itu. Dan
lagipula tenda ini sangat bagus. Aku menghabiskan seluruh tabunganku untuk
membelinya,” ujar Ja Eun dengan ceria dan tekad yang kuat.
“Ini adalah model terbaru,” lanjutnya dengan ekspresi
wajah yang menggemaskan, hingga membuat Tae Hee tertawa.
Ini adalah pertama kalinya Tae Hee tertawa saat berbicara
dengan Ja Eun, biasanya mereka hanya adu mulut dan bertatapan dengan sinis.
Perkembangan pesat untuk Tae Hee. (Gitu dong, Joo Won. Kan ganteng kalau senyum
gitu *wink* )
Sialnya, Hwang Tae Phil melihat dan mendengar semuanya Tae
Phil kembali masuk ke dalam dan menyerahkan selimut berwarna pink kembali ke
tangan ayahnya, yang mau tidak mau harus keluar rumah untuk menyerahkan selimut
itu untuk Ja Eun.
Saat keluar, Hwang Chang Sik melihat Tae Hee ada di depan
rumah, berbincang dengan Ja Eun.
“Tae Hee, kau baru pulang?” tanya Hwang Chang Sik
pada Tae Hee.
“Ya, ayah. Berikan padaku,” jawab Tae Hee seraya
mengambil alih selimut pink itu.
“Udara di luar sangat dingin, jadi mungkin di dalam tenda
juga ikut jadi dingin. Kau pakai saja selimut itu untuk menghangatkan dirimu,”
ujar Hwang Chang Sik pada Ja Eun.
“Terima kasih, Ahjussi (Paman)”, sahut Ja Eun dengan
tersenyum tulus, dan Tae Hee pun segera meletakkan selimutnya di dalam tenda Ja
Eun.
“Sebenarnya aku ingin membiarkanmu tidur di loteng tapi
aku tidak bisa melakukan itu,” ujar Hwang Chang Sik lagi, dengan rasa
bersalah. (Yeah, yeah, yeah, penonton tahu kok kalau Anda adalah type suami
takut istri >_<)
“Aku benar-benar baik-baik saja, Ahjussi,” ujar Ja
Eun, masih dengan senyuman di bibirnya, sementara Tae Hee hanya menatapnya lekat.
“Hari sudah malam, kau tidurlah. Untuk malam ini tidurlah
di sini. Besok pagi ikutlah aku untuk mencari tempat tinggal untukmu. Uang 30
juta won yang kukatakan padamu beberapa hari yang lalu telah siap,” ujar
Hwang Chang Sik lagi.
Note: Uang 30 juta won itu sebenarnya adalah milik Tae Hee
yang diberikan pada ayahnya dengan tujuan untuk mencarikan Ja Eun tempat
tinggal yang layak. Calon pacar perhatian banget, ya? Uda nyiapin uang 30 juta
won untuk Ja Eun. Walau Tae Hee tidak sekaya ayahmu dulunya, setidaknya dia
yang paling kaya di antara 4 bersaudara Hwang dan juga paling tampan, kamu gak
salah pilih, Ja Eun-ah (^_^)
“Tidak perlu, Ahjussi. Jika aku menginginkan uang itu,
aku pasti memintanya padamu lebih awal. Aku baik-baik saja tidur di dalam
tenda,” tolak Ja Eun dengan sopan.
“Jangan keras kepala! Kau ini seorang gadis, bukan
seorang pria! Bagaimana kau bisa tidur setiap hari di dalam tenda?” ujar
Hwang Chang Sik dengan khawatir.
“Aku punya kantong tidur dan Anda baru saja memberiku
selimut, bukan? Lagipula aku adalah penggemar 1 Night 2 Days jadi aku selalu
ingin memiliki pengalaman tidur di dalam tenda. Walaupun aku sangat sedih
karena tidak bisa menonton 1 Night 2 Days lagi,” sahut Ja Eun, tampak sedih
saat teringat dia tidak bisa lagi menonton program televisi kesayangannya. Sementara Tae Hee hanya melemparkan tatapannya ke dalam tenda Ja Eun dengan hati tak nyaman.
(Gimana bisa nonton TV, lah wong hartanya Ja Eun hanya baju
sekoper? Mau beli TV pake duit dari mana? Lagian ditancapin mana listriknya
kalau tidur di tenda? >_< Btw, saat drama ini ditayangkan, sebenarnya Joo
Won adalah member dari 1 Night 2 Days, namun harus rehat sementara karena
padatnya jadwal syuting “Ojakgyo Brothers”)
Hwang Chang Sik hanya menatap Ja Eun pasrah, begitupun
dengan Tae Hee yang tak bisa berkata-kata, karena Ja Eun sepertinya adalah
seorang gadis keras kepala yang berkeinginan kuat. Akhirnya mereka hanya bisa
masuk ke dalam rumah dan dengan berat hati meninggalkan Ja Eun sendirian di
luar rumah.
“Baiklah. Kau pasti sudah lelah dan mengantuk. Tidurlah.
Tae Hee, ayo kita masuk,” ujar Hwang Chang Sik yang diiringi anggukan
kepala Baek Ja Eun.
Saat Tae Hee masuk ke dalam kamarnya, Hwang Tae Phil sudah
menunggunya dan dengan kurang ajarnya duduk di ranjang Tae Hee.
“Apa yang kau lakukan di di sini, di dalam kamarku?”
tanya Tae Hee saat melihat Tae Phil ada di kamarnya, karena biasanya Tae Phil
tak pernah masuk ke kamarnya, mengingat mereka berdua bagaikan musuh.
“Aku dengar kau sudah mendapat pekerjaan paruh waktu,”
ujar Tae Hee, mengingatkan akan ancamannya melaporkan penipuan Tae Phil ke
orang tua mereka kalau Tae Phil tidak segera mencari pekerjaan.
“Kau ketinggalan berita. Itu sudah terjadi beberapa hari
yang lalu, karena sekarang aku berhenti lagi,” jawab Tae Phil dengan
santainya.
“Mwo?” Tae Hee tampak tak percaya saat mendengar
bahwa Tae Phil hanya bekerja selama beberapa hari saja.
Tae Phil menatap Tae Hee dengan sengit dan penuh permusuhan
sebelum melemparkan sebuah bola ke arah Tae Hee dengan marah.
“Refleksmu sangat bagus,” ujar Hwang Tae Phil sinis.
“Apa yang kau lakukan?” seru Tae Hee kesal.
“Apa kau tidak bisa melihat betapa marahnya Ibu? Kau, apa
mungkin sebenarnya kau menyukai gadis manja di luar sana?” tuduh Tae Phil
pada Tae Hee dengan sengit.
(Ya, Tae Hee gak hanya suka tapi uda jatuh cinta dan bucin
mampus sama Ja Eun, tapi itu nanti sih, sekarang masih belum. Tanyakan itu lagi
nanti ya, Tae Phil?)
Tae Hee tertawa sinis dan balik bertanya, “APA?”
“Bahkan bila kau tidak memiliki perasaan padanya,
bagaimana bisa kau mengkhianati Ibu demi gadis manja itu?” seru Tae Phil
emosi.
“Katakan dengan jelas apa maksudmu jadi aku bisa
mengerti!” ujar Tae Hee, mencoba bersabar menghadapi kekurangajaran adik
(sepupunya).
“Kaulah yang mengajarinya untuk tinggal di sini dan
mengambil hati Ibu, kan? Apa jangan-jangan kaulah yang membelikan tenda
untuknya? Apa kau juga yang membantu semua rencananya hingga sekarang? Kau
pengkhianat sialan! Kau tidak seharusnya menusuk keluargamu dari belakang
seperti itu! Apa kau lupa apa yang dilakukan Ibu untukmu? Apa kau lupa
bagaimana dia membesarkanmu? Ibuku – Ah salah, seharusnya yang benar adalah
Bibimu, bahkan lebih menyayangimu daripada kami – aku dan kedua kakakku!”
seru Tae Phil, mengungkit kebaikan ibunya dalam membesarkan Tae Hee.
Dan sialnya Tae Hee terpengaruh, dia adalah orang yang
selalu merasa berhutang budi pada Paman dan Bibinya (Hwang Chang Sik dan Park
Bok Ja) yang telah mengadopsinya dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang,
itu sebabnya Tae Hee tak pernah membantah mereka.
“Bahkan saat keluarga kita kekurangan uang sekalipun,
Ibuku tetap berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Dia selalu mengusahakan
agar bekal makan siangmu terpenuhi setiap hari, agar kau punya peralatan tulis,
baju seragam, Sepatu, semuanya selalu tersedia untukmu. Bahkan Tae Bum Hyung
juga harus merelakan uang kuliahnya agar kau bisa mendaftar masuk SMA. Kau
masih mengingat itu juga, kan?” sindir Tae Phil lagi, mengungkit masa lalu
mereka untuk membuat Tae Hee merasa bersalah.
Poor Baby Tae Hee >_< Dia aslinya orang yang mudah
merasa bersalah pada orang lain dan selalu merasa berhutang budi.
“Tapi lihat apa yang kau lakukan sekarang! Kau mengajari
gadis manja di luar itu untuk mengambil hati Ibu jika ingin mendapatkan kembali
pertanian ini? Kau benar-benar anak tetangga! Betapa kasihannya ibuku yang
malang. Apa yang telah dia lakukan sehingga pantas mendapatkan semua ini
setelah semua yang telah dia lakukan untukmu?” sindir Tae Phil lagi,
sebelum melangkah keluar, membuat Tae Hee merasa bersalah.
(Apa yang dilakukan Ibumu? Woi, ibumu seorang PENCURI! Orang
yang kamu bela mati-matian adalah seorang Pencuri, Hwang Tae Phil! Kamu akan
menyesali ini dalam beberapa episode lagi. Lihat saja betapa Ibu yang kau
banggakan tertangkap basah mencuri surat kontrak orang lain dan kau akan
menyesali sikapmu yang jahat pada Ja Eun saat itu juga! Dan kau juga akan
kecewa karena mempercayai orang yang salah!)
Tae Hee memanggil nama Tae Phil, Tae Phil berbalik kemudian
memukul Tae Hee hingga tersungkur di lantai kamarnya.
“Jangan pernah memanggil namaku, kau anak tetangga!”
seru Tae Phil sinis sebelum melangkah keluar.
Di dalam tenda, Ja Eun tidur sendirian seraya menyemangati
dirinya sendiri, “Aku tidak takut. Aku tidak takut. Aku adalah anak yang
berani. Bahkan bila lampunya kumatikan dan keadaan di sekitarku menjadi gelap gulita,
aku tidak akan takut. Aku pasti bisa tidur dengan nyenyak,” ujarnya seraya memeluk
foto dirinya dan sang ayah.
Ja Eun kemudian mematikan lenteranya dan mulai menghitung
bebek : satu bebek, dua bebek, tiga bebek, terus hingga dia tertidur di dalam
tenda.
Paginya, Ja Eun terbangun dengan ceria, seraya kembali
menyemangati dirinya sendiri, “Lihat, kan? Aku bisa melakukannya. Tidak ada
yang terjadi dan aku tidur dengan aman. Kau sudah bekerja keras, Baek Ja Eun.
Kau hebat! Kau hebat!” ujar Ja Eun pada dirinya sendiri.
(Aku suka karakter Ja Eun ini karena dia adalah karakter
yang kuat dan ceria, tidak pantang menyerah, selalu optimis, berani, penuh percaya
diri dan kalau dia menginginkan sesuatu pasti akan berusaha dia raih, apa pun
rintangannya, ditambah lagi, dia juga sangat blak-blakan mengatakan
perasaannya, bukan type munafik yang menye-menye. Kalau suka ya suka, gak suka
ya gak suka. Jujur apa adanya)
Ja Eun mencoba untuk membantu Park Bok Ja di kandang bebek,
namun wanita setengah baya itu mengusir gadis itu pergi dan bahkan menutup tirai di kandang bebek
tersebut yang pada akhirnya menyebabkan bebek-bebek tersebut menjadi kepanasan
dan kekurangan oksigen hingga menjadi lemas dan hampir mati. Ja Eun pergi dari
sana dengan lesu dan kembali ke tendanya.
Di saat yang bersamaan, ketiga bersaudara Hwang : Hwang Tae
Shik, Hwang Tae Hee dan Hwang Tae Phil lewat di depan tenda Ja Eun.
Tae Shik, si putra sulung yang sejak awal bersikap baik pada
Ja Eun tampak memperhatikan tenda itu dengan khawatir, “Bagaimana bisa
seorang gadis tinggal di dalam tenda? Bagaimana caranya dia makan dan
membersihkan diri?” ujar Tae Shik dengan nada khawatir terlihat jelas.
“Hyung, apa kau sedang mengkhawatirkannya sekarang?”
sergah Tae Phil tak suka.
Sementara Tae Hee hanya memandang tenda itu dengan ekspresi yang tak terbaca, Entah apa yang Tae Hee pikirkan, tapi ekspresinya menunjukkan raut penyesalan, rasa kasihan dan juga rasa bersalah.
“Aku mengkhawatirkan semua orang, aku juga mengkhawatirkan
ayah dan ibu juga. Tapi ini masalahnya Ja Eun-ssi adalah seorang gadis muda,”
sahut Tae Shik mengelak.
Tak lama kemudian, Ja Eun tiba di sana dan menyapa Tae Shik
dengan riang, “Oh, Annyeonghaseyo, Ahjussi pertama,” sapa Ja Eun dengan
tersenyum ceria.
“Ah, Ja Eun-ssi. Bagaimana keadaanmu sendiri?” ujar
Tae Shik, balik bertanya dengan sopan dan ramah dengan senyuman di wajahnya.
"Baik. Omong-omong, cukup panggil aku Ja Eun-ah saja. Bukankah Ahjussi lebih tua dariku?” pinta Ja Eun dengan sopan. Tae Phil melirik Tae Hee, ingin melihat reaksinya, namun Tae Hee menghindari tatapan Tae Phil dan menoleh ke arah lain.
"Baik. Omong-omong, cukup panggil aku Ja Eun-ah saja. Bukankah Ahjussi lebih tua dariku?” pinta Ja Eun dengan sopan. Tae Phil melirik Tae Hee, ingin melihat reaksinya, namun Tae Hee menghindari tatapan Tae Phil dan menoleh ke arah lain.
“Ya. Aku akan mengubahnya pelan-pelan. Tapi apa kau
benar-benar berpikir untuk tinggal di sini, di dalam tenda ini?” tanya Tae
Shik memastikan sekali lagi.
“Ya. Tolong bantu aku, Ahjussi. Bantu aku bicara pada
Ahjumma. Aku benar-benar ingin membantunya bekerja di pertanian dan hidup
dengan baik di sini,” jawab Ja Eun dengan ekspresi memohon.
Tae Hee kembali memandang Ja Eun, sebelum akhirnya mengubah
topik segera, “Hyung, ayo pergi!” ajak Tae Hee pada Tae Shik, karena
hati nuraninya merasa bersalah jika melihat Ja Eun lebih lama.
Tae Hee yang sedari tadi hanya diam dan melihat, merasa hatinya
mulai tidak tenang setiap kali dia melihat Ja Eun. Bukan cinta, Tae Hee belum
jatuh cinta, namun lebih ke sebuah rasa bersalah karena tak bisa membantu Ja
Eun mengingat Tae Hee juga merasa bersalah pada ibu angkatnya. Jadi Tae Hee
tampaknya lebih memilih untuk menjaga jarak dari Ja Eun agar hati nuraninya
tidak bertambah buruk.
Intinya Tae Hee merasa serba salah. Tae Hee merasa bersalah
pada mereka berdua, pada Ja Eun karena telah menghancurkan hidupnya akibat
kasus fitnah itu dan pada sang Ibu yang telah membesarkannya.
Tae Phil yang tidak suka melihat kedekatan Ja Eun dan Tae
Shik spontan menendang peralatan makan Ja Eun dengan kasar, membuat gadis
malang itu tersentak kaget dan tampak takut.
“Siapa bilang kau bisa tinggal di sini, gadis busuk? Apa kau
tidak takut pada Ibuku? Bukankah kau dengar dengan jelas bahwa dia menyuruhmu
untuk pergi dari sini?” seru Tae Phil dengan kasar.
Tae Hee semakin tidak enak melihat kekasaran Tae Phil tapi
dia tidak bisa membantu Ja Eun karena takut dianggap sebagai anak tidak tahu
terima kasih, jika dia membela orang luar dibandingkan ibu angkat yang sudah membesarkannya
selama ini.
“Maknae, kenapa kau seperti ini?” seru Tae Shik
dengan tak enak hati, memarahi adik bungsunya.
“Kenapa kau harus membantu di pertanian? Lebih baik kau
mengemasi barang-barangmu dan pergi dari sini secepatnya!” seru Tae Phil,
masih emosi dan tidak mengindahkan ucapan kakak sulungnya.
Sementara Ja Eun hanya menundukkan kepalanya dengan sedih dengan raut wajah terluka. Ja Eun yang punya rumah, tapi dia malah diperlakukan seperti pengemis rendahan. Duh, nih keluarga kecuali (Paman Chang Sik, Tae Hee dan Tae Shik) semuanya gak punya moral.
“YYAAAA! HWANG TAE PHIL!” seru Hwang Tae Shik dengan
keras, merasa jengah dengan sikap kasar adik bungsunya, sementara Tae Hee hanya
menatap Ja Eun dengan tidak enak hati. He feels guilty inside.
“Pergilah selama aku bisa mengatakannya dengan baik. Lain kali aku akan menendang tendamu!”
seru Tae Phil, masih dengan penuh kemarahan, sebelum pergi ke arah mobil Tae
Hee.
Nih rambut sarang burung, uda pengangguran gak berguna,
lebih kasar dari Tae Hee pula. Berangkat kerja masih nebeng Tae Hee aja sok-sok’an
ngatain kakak sepupunya.
“Ja Eun-ssi, apa kau tidak apa-apa?” tanya Tae Shik tak
enak hati, saat melihat Ja Eun menundukkan kepalanya dan hampir menangis.
“Hyung, ayo pergi!” ajak Tae Hee sekali lagi,
kemudian melangkah pergi. Semakin lama di sana, perasaan bersalah Tae Hee semakin
bertumpuk.
“YAAA! Tae Hee-ya! Dasar anak-anak nakal!" Tae Shik memanggil nama Tae Hee karena
tidak enak melihat Tae Hee juga acuh pada Ja Eun.
"Maaf, aku harus pergi dulu. Kami harus pergi berangkat kerja bersama,” lanjut Tae Shik lagi, dengan raut wajah sungkan.
"Maaf, aku harus pergi dulu. Kami harus pergi berangkat kerja bersama,” lanjut Tae Shik lagi, dengan raut wajah sungkan.
“Aku baik-baik saja. Terima kasih,” sahut Ja Eun lirih
dengan senyum yang dipaksakan.
“Kalau begitu aku pergi,” ujar Tae Shik dengan
canggung pada Ja Eun.
Tae Shik pun mengikuti kedua adiknya pergi dengan rasa bersalah dalam hatinya. Namun untunglah, Ja Eun setegar rumput liar. Dia tidak akan menyerah begitu saja.
Tae Shik pun mengikuti kedua adiknya pergi dengan rasa bersalah dalam hatinya. Namun untunglah, Ja Eun setegar rumput liar. Dia tidak akan menyerah begitu saja.
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (King)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan.
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia.
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar