Highlight for today episode :
Here we come, the most funny scene in OB, “Ahjussi, do you
like guy too?” Just kiss her already! Show her that you are not gay at all, Tae Hee-yaa! Aiggoo, jinja! Ja Eun-ah, You are the one he loves, don’t you
know that? The random question coming from the girl he loves, and Tae Hee’s
expression like, “Are you kidding me? So, how can I fall in love with you?”
hahaha ^^ Ja Eun is really random sometimes, she is so unique and extraordinary
girl, that’s why she can easily steal Tae Hee’s heart. I always love the
screencaps with Tae Hee and Ja Eun, this one in the car is a nice one.
But I’m wonder why they make the scene in the car with Tae
Hee and Ja Eun? What was his goal? Doesn’t leaning in like that while staying
completely calm make him seem more likely to be gay? Was he planning to kiss
her and then wussed out? Was he trying
to mess with her to get her to shut up?
Or was he teaching her a lesson because she was bragging about what an
effect she has on men, and he wanted to prove that he is the one who has an
effect on her? So many options, and of
course he is not one to wear his heart on his sleeve. It’s sort of funny that he’s usually so
uncomfortable around her (like in the bakery shop or when she tied his tie) but
that he managed to pull it together to lean in like that. Regardless of his intentions, I bet he was
freaking out inside! I think the heart beat is also his, and he is trying to
confirm his own feelings too.
“Itu memang kenyataannya,” ujar Ja Eun membela diri. Ja Eun kemudian meminum air untuk anak bebek itu dan mengulurkan gelasnya pada Park Bok Ja.
“Ahjumma, tolong berikan segelas soju untukku juga. Aku juga merasa hatiku sangat sedih dan tertekan,” pinta Ja Eun dengan cemberut dan wajah memelas.
“Kau masih sangat muda, apa yang membuatmu begitu sedih dan tertekan?” tanya Park Bok Ja seraya menuangkan soju untuk Ja Eun.
“Aku tidak semuda itu,” protes Ja Eun lalu meminum gelas sojunya, lalu kemudian dia melanjutkan, “Aku melihat ibu tiriku,” lanjutnya.
“Ibu tiri yang meninggalkanmu dan melarikan diri seorang diri? Ibu tirimu yang ketiga?” Park Bok Ja tampak mengkonfirmasi.
“Anda juga tahu mengenai hal itu? Kalau ayahku menikah lagi sebanyak 3 kali? Ya, ibu tiri yang itu,” sahut Ja Eun dengan canggung.
“Dia sudah meninggalkanmu seorang diri, kenapa kau harus merasa sedih untuknya?” ujar Park Bok Ja tampak tak terima.
“Bagaimanapun juga, dia adalah ibu tiri yang tinggal paling lama bersama kami. Karena kami hidup bersama selama 5 tahun. Ibu tiriku yang pertama dan kedua bahkan hanya bertahan tak sampai 1 tahun. Sementara ibu kandung yang melahirkanku, meninggal saat usiaku kurang dari 2 tahun. Jadi aku merasa dialah yang paling dekat denganku. Beberapa hari yang lalu aku melihatnya hidup menderita dan tinggal di sebuah penginapan kecil. Sepertinya setelah mengkhianatiku dan ayahku, sekarang dia mendapatkan karmanya,” ujar Ja Eun panjang lebar. Pidato yang tampak menyentuh hati Park Bok Ja.
“Jadi kau tidak mengingat apa pun tentang ibu kandungmu?” tanya Park Bok Ja seraya menatap Ja Eun dengan iba.
Ja Eun mengangguk dengan ekspresi sedih, “Ya. Aku tidak ingat apa pun tentangnya,” sahut Ja Eun seraya menarik napas berat, sementara Park Bok Ja masih menatapnya dengan ekspresi iba.
“Tidak perlu menatapku seperti itu. Karena aku tidak ingat apa pun tentangnya, jadi hal-hal seperti merindukannya atau ingin bertemu dengannya, itu tak pernah ada,” sangkal Ja Eun berbohong.
“Kau sangat pandai berbohong,” sindir Park Bok Ja tak percaya.
“Bagaimana mungkin kau tidak ingin bertemu ibu kandungmu dan tidak merindukannya? Itulah yang dinamakan orang sebagai ikatan darah. Bahkan walau kau tak pernah mengingat wajahnya, dia mengandungmu di perutnya selama 9 bulan, kau adalah darah dan dagingnya, bagian dari dirinya. Tentu saja kalian memiliki ikatan darah yang kuat. Dan itu tidak bisa diputuskan begitu saja,” ujar Park Bok Ja, tampak menghibur Ja Eun yang sedih.
“Aku dulu juga pernah memiliki seorang anak perempuan, adik Tae Phil. Selama 9 bulan, aku mengandungnya dalam perutku, saat melahirkannya aku jatuh koma tapi mereka bilang anak itu sempat lahir ke dunia. Setelah aku tersadar dari koma, mereka bilang anak itu sudah meninggal. Dia hanya mampu bertahan beberapa hari saja, aku bahkan belum sempat melihat wajahnya saat itu. Dan 3 hari kemudian, aku baru mengetahui bahwa bayiku adalah anak perempuan,” lanjut Park Bok Ja sambil menangis mengingat putri satu-satunya keluarga Hwang yang tidak selamat.
Ja Eun pun ikut menangis mendengarnya.
“Jika aku kembali mengingat saat-saat itu, aku hanya bisa menyesal karena tak mampu melindungi putriku, aku masih merasa tidak rela hingga sekarang. Aku yakin Ibu kandungmu juga merasakannya. Ibumu pasti juga merasa sangat tidak rela meninggalkanmu sendirian di dunia ini, namun dia tidak berdaya dan tidak bisa melawan takdirnya. Aku yakin ibumu pasti tidak akan sanggup memejamkan matanya saat itu,” tambah Park Bok Ja lagi, membuat Ja Eun menangis semakin terisak.
“Di dunia ini, orang yang paling dicintai oleh ibumu, pastilah kau. Aku bisa menjamin hal itu. Kau tidak boleh melupakan itu. Aku yakin cintanya padamu sangat luas seluas bumi dan langit,” ujar Park Bok Ja menghibur gadis malang itu.
“Benarkah seperti itu?” tanya Ja Eun ragu seraya mengusap air matanya.
“Tentu saja. Aku bisa menjamin hal itu,” ujar Park Bok Ja, dengan penuh keyakinan dalam suaranya.
“Ahjumma, bila bayi Anda tetap hidup, berapa usianya sekarang? Apa mungkin seumuran denganku?” tanya Ja Eun ingin tahu.
“Dia mungkin lebih tua satu atau dua tahun darimu, tapi kenapa kau menanyakannya?” ujar Park Bok Ja tak mengerti.
“Tidak ada apa-apa, hanya… Ahjumma, bisakah aku menjadi putrimu?” tanya Ja Eun dengan mata berbinar penuh harap.
“Kenapa kau ingin menjadi putriku?” tanya Park Bok Ja terkejut.
“Itu karena Anda tidak memiliki putri dan aku tidak memiliki Ibu. Aku tulus mengatakan ini dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertanian. Anda mungkin tidak percaya namun ini sungguh berasal dari lubuk hatiku yang paling dalam,” ujar Ja Eun dengan mata yang memancarkan ketulusan.
“Tidak. Kau tidak terlihat tulus saat mengatakannya. Ditambah lagi, aku sudah cukup pusing dengan keempat putraku sekarang, aku tidak ingin bebanku bertambah lagi. Kau minta saja hal itu di tempat lain,” jawab Park Bok Ja berlagak ketus.
Walaupun dari ekspresi wajahnya, dia tampak merasa tersentuh, sedih dan menyesal terhadap gadis itu. Kemudian dia menawarkan Ja Eun untuk meminum satu gelas lagi untuk mengalihkan topik pembicaraan. Ja Eun berterima kasih kemudian meminum sojunya.
Pagi harinya setelah acara minum-minum di loteng, Park Bok Ja dan Ja Eun tetap harus bangun pagi untuk mengurus pertanian. Ja Eun tampak duduk di depan pintu rumah saat Park Bok Ja membuka pintu rumahnya.
Wanita tua itu mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak berencana untuk membangunkan Ja Eun mengingat mereka kemarin tidur larut malam dan bahkan sempat minum alkohol. Ja Eun menjawab karena Park Bok Ja juga sama sepertinya dan masih bisa bangun, lalu kenapa dia tidak bisa? Jawaban tulus yang membuat Park Bok Ja tersentuh.
Lalu Ja Eun bertanya apa perut Park Bok Ja baik-baik saja karena mereka semalam minum soju tanpa makanan pendamping. Park Bok Ja mengakui bahwa perutnya sedikit tidak enak. Dia pun bertanya pada Ja Eun, bagaimana keadaan perut gadis itu, namun Ja Eun menjawab riang, karena dia masih muda jadi daya tahan tubuhnya lebih kuat.
Park Bok Ja berjalan pergi dengan bergumam iri, “Betapa enaknya menjadi muda.”
Mereka berdua pergi ke arah kebun pir untuk melihat keadaan pohon-pohon pir yang saat itu terserang hama dan mereka tampak lega dan gembira karena sekarang semua hamanya telah lenyap dan pohon-pohon pir itu sudah terbebas dari hama. Karena terlalu senang, Ja Eun memeluk Park Bok Ja secara spontan sambil bersorak girang.
Park Bok Ja berpura-pura terkejut dan mendorong Ja Eun menjauh namun diam-diam dia tersenyum gembira dan merasa tersentuh.
Keluarga Hwang akhirnya terbangun dan siap memulai sarapan mereka. Nenek tampak bingung saat melihat ada sup untuk menghilangkan mabuk dihidangkan di atas meja.
“Siapa yang semalam minum alkohol? Kenapa ada sup ini di atas meja sarapan?” tanya Nenek bingung.
Park Bok Ja mencoba menutupi dengan mengatakan, “Ayahnya anak-anak ingin memakan ini, Ibu.”
“Benarkah? Tapi aku tidak suka sup ini,” protes Nenek kesal seraya melirik putranya.
Hwang Chang Sik tampak terkejut sesaat, namun kemudian menutupi istrinya, “Ini lezat, Ibu. Rasanya sangat menyegarkan. Nikmati saja untuk hari ini,” ujar Hwang Chang Sik.
Sementara Nenek mengomel, Tae Phil menghitung mangkok di atas meja, “Eomma, 6 mangkok sudah cukup,” ujar Tae Phil mengingatkan.
Tepat pada saat itu, pintu terbuka dan Ja Eun berjalan masuk
dengan riang. Ja Eun menyapa semua orang dengan riang, “Selamat pagi. Apa
kalian tidur dengan nyenyak?” sapa Ja Eun dengan riang seperti biasa.
“Aha…jadi ini untuk Ja Eun? Ja Eun-ah, Paman senang melihatmu. Duduk dan makanlah bersama kami,” ujar Hwang Chang Sik dengan tersenyum senang.
“Terima kasih, Ahjussi.” Jawab Ja Eun sopan lalu segera duduk di samping Park Bok Ja.
“Apa Nenek tidur dengan nyenyak?” tanya Ja Eun pada Nenek yang hanya mengangguk dalam diam.
“Selamat pagi, Paman Pertama, Maknae Oppa, Paman Ketiga,” sapa Ja Eun kepada Tae Shik, Tae Phil dan Tae Hee.
“Eomma, apa ini akan menjadi aktivitas normal mulai sekarang?” tanya Tae Phil pada ibunya. Maksudnya apa Ja Eun akan makan bersama mereka mulai sekarang?
Park Bok Ja dengan salah tingkah menyangkal, “Tidak. Hanya untuk hari ini saja,” ujarnya berpura-pura ketus demi menjaga harga dirinya.
“Benar. Hanya untuk hari ini saja karena kemarin malam aku dan Ahjumma minum soju bersama di loteng,” sahut Ja Eun dengan polos dan blak-blakan, membongkar rahasia mereka.
Semua orang tampak terkejut mendengar Park Bok Ja dan Baek Ja Eun yang sebelumnya bagaikan musuh, justru malah diam-diam minum soju bersama di loteng tengah malam.
“Soju?” ulang Nenek terkejut.
“Jadi kau minum soju bersama Ja Eun?” tanya Hwang Chang Sik mengkonfirmasi.
“Tidak. Kami hanya minum fermentasi buah anggur,” sangkal Park Bok Ja, untuk menutupi rasa malunya, namun Ja Eun menyangkalnya dengan kuat.
“Kita minum soju, Ahjumma. Dan tak hanya itu, kami minum soju yang sangat kuat bahkan tanpa makanan pendamping apa pun,” ujar Ja Eun dengan bangga dan dengan wajah tanpa dosa, mengatakannya dengan terus terang dan blak-blakan.
“Hanya soju?” ulang Nenek lagi dengan kaget. Park Bok Ja hanya melemparkan tatapan maut ke arah Ja Eun yang tidak mengerti di mana salahnya.
“Dan kau bilang ayah anak-anak yang meminta sup penghilang mabuk ini?” sindir Nenek pada Park Bok Ja.
“Tidak bisakah kau menutup mulutmu?” tegur Park Bok Ja.
“Kenapa, Ahjumma? Apa yang salah dengan minum soju? Aku minum soju, katakan itu dengan bangga. Anda punya hak untuk melakukannya,” sahut Ja Eun dengan percaya diri dan ceplas-ceplos, benar-benar tak mengerti di mana salahnya.
Tae Hee, Tae Phil dan Hwang Chang Sik tersenyum lucu melihat kepolosan dan keterusterangan Ja Eun yang tampak menggemaskan di mata mereka. Ini yang ketiga kalinya, Tae Hee tersenyum di meja makan karena melihat tingkah Ja Eun yang unik dan tidak biasa.
(Yeah, Tae Hee yang pendiam memang butuh gadis ceria dan hangat seperti Ja Eun yang akan mewarnai hari-harinya dan membuat dunianya yang sebelumnya membosankan menjadi ramai)
Nenek akhirnya mengalah dan menyuruh semua orang untuk makan.
Di tengah sarapan, Nenek bertanya tentang kabar Tae Bum setelah melarikan diri dari pesta pernikahannya sendiri. Park Bok Ja menjelaskan kalau Tae Bum langsung pindah ke rumah baru mereka setelah pulang dari kantor.
Kemudian perhatian Nenek beralih pada Hwang Tae Shik, “Sekarang giliran kita mengirim putra sulung untuk menikah,” ujar Nenek pada Tae Shik.
“Kenapa wajahmu tampak lusuh seperti itu?” lanjut Nenek bertanya dengan penasaran saat melihat wajah Tae Shik yang dipenuhi bulu-bulu halus tidak dicukur.
“Kenapa kau tidak bercukur? Kau juga tidak makan dan hanya menatap mangkokmu,” tanya Hwang Chang Sik heran.
“Aku hanya merasa lelah dan tidak tidur dengan baik, Ayah.” Sahut Tae Shik menutupi. Faktanya dia sedang galau dan ketakutan karena mengetahui fakta bahwa dia memiliki anak di luar nikah dengan wanita Filipina dan wanita itu sudah mengirim putranya ke Korea dan akan tiba di bandara nanti malam.
“Kapan Ye Jin akan datang menemui kita? Ayah dan Nenek sangat menyukainya,” tanya Park Bok Ja tanpa tahu apa-apa.
“Semua orang sudah bertemu dengannya? Sepertinya hanya aku yang belum pernah bertemu dengannya,” ujar Tae Hee tampak menyesal dan merasa bersalah karena kemarin datang terlambat.
Seperti biasa, Tae Phil mulai berkata ngegas, “Kau...” kalimatnya spontan terhenti saat mendapat tatapan maut dari sang ayah, “Hyung, sejak kapan kau peduli pada urusan keluarga? Bagaimana bisa kau tidak datang kemarin? Itu adalah peristiwa yang terjadi seumur hidup, kakak kedua tidak menikah untuk yang kedua kalinya,” ujar Tae Phil, terpaksa memanggil Tae Hee dengan sebutan “Hyung”.
“Benar, Tae Hee. Ibu sangat sedih saat kau tidak ada di sana kemarin dan tidak bisa bergabung dalam foto pengantin,” ujar Park Bok Ja, mendukung Tae Phil, walau kalimatnya terdengar halus.
“Apa kalian pikir Tae Hee terlambat karena sengaja? Dia terlambat karena harus menangkap orang jahat. Dan lagipula, apakah pernikahannya berjalan dengan baik? Sepasang pengantin bahkan melarikan diri sebelum acara berakhir dan meninggalkan para tamu begitu saja. Mereka juga tidak ada dalam foto pengantin. Ini bukan salah Tae Hee! Tae Bum-lah yang harus disalahkan,” omel Nenek marah, membela cucu kesayangannya.
Kalimatnya membuat semua orang terdiam dan Tae Hee hanya bisa memakan makanannya dengan cepat, karena merasa bersalah telah merusak suasana sarapan mereka karena ikut berkomentar. (Memang diam itu emas ya, Tae Hee ^^)
Begitu tiba di kantor polisi, Tae Hee yang baru saja datang langsung ditarik oleh Dong Min ke pojok.
“Ada apa?” tanya Tae Hee bingung.
“Aku tidak bisa tidur semalaman. Jantungku rasanya berdetak
kencang hingga rasanya akan mati. Apa yang akan kau lakukan dengan buku besar
itu? Apa kau akan benar-benar mengungkapkannya ke publik? Bila buku besar itu
diungkapkan maka Pimpinan Department kita pasti mati, karirnya di kepolisian
akan tamat bila semua orang mengetahui dia menerima suap untuk menutupi sebuah
kejahatan besar. Tapi dia akan tamat atau tidak, kita tetap harus mengungkapkan
kebenaran, bukan?” ujar Seo Dong Mi, dengan agak berbisik.
“Untuk sementara ini, tutup mulutmu rapat-rapat dan jangan lakukan apa pun! Aku akan mencoba mengatasinya. Serahkan padaku!” ujar Tae Hee, masih memiliki keyakinan pada Pimpinan Department tidak akan sebejat itu.
“Baiklah. Aku mengerti,” sahut Seo Dong Min mengerti.
Di kantornya, Pimpinan Department Lee Khi Chul pun mendapatkan laporan bahwa Jung Il Do telah tertangkap dan salinan buku besar itu sudah berada di tangan polisi. Saat bertanya siapa nama polisi yang memegang buku besar tersebut, penelpon tersebut mengatakan adalah Hwang Tae Hee.
Tepat pada saat itulah. Tae Hee datang menemui Lee Khi Chul. Tae Hee bertanya apakah Lee Khi Chul ada sedikit waktu untuknya, karena ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Lee Khi Chul mempersilahkan Tae Hee untuk duduk agar mereka bisa bicara dengan nyaman.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Lee Khi Chul dengan was-was, jujur, dia merasa takut kejahatannya akan terungkap.
“Apa mungkin Anda tahu kapan terakhir kali aku bertemu Anda?
Saat aku pertama kali bergabung dalam Police Academy, aku tak sengaja mendengar
pidato Anda. Saat itu Anda berkata bahwa kita harus menjadi polisi kebanggaan masyarakat,
bahwa kita harus selalu melindungi dan mengayomi masyarakat. Kita tidak boleh
melindungi kejahatan, sebaliknya kita harus selalu menegakkan kebenaran dan
keadilan untuk masyarakat dan memberantas kejahatan. Apa Anda ingat apa yang
Anda katakan saat itu? Sejak saat itu aku selalu ingin menjadi polisi yang
seperti itu. Saat aku mengalami kesulitan dan ingin menyerah, aku selalu
teringat dengan kata-kata Anda dan itu selalu menjadi penyemangat untukku dan
membimbingku hingga menjadi sekarang ini. Anda adalah role model bagiku, panutan
untukku,” ujar Tae Hee dengan panjang lebar.
“Jadi apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?” tanya Pimpinan Department, Lee Khi Chul tampak gugup.
“Aku menemukan nama Anda dalam buku besar itu. Aku tidak ingin tahu alasannya. Aku juga tidak akan bertanya kenapa atau kenapa hal itu bisa terjadi. Karena walaupun aku mendengar alasan Anda, aku tidak akan pernah mengerti dan aku juga tidak mampu untuk memaafkan. Untuk seseorang yang sudah kujadikan panutan selama 10 tahun ini, aku hanya ingin memberi Anda kesempatan terakhir untuk mengakuinya sendiri. Akuilah sendiri apa yang sudah kau lakukan, ungkapkan semuanya dan terimalah hukumanmu,” jawab Tae Hee dengan berat hati.
(Tae Hee-yaa, maling ngaku penjara penuh, sayang >_< Kamu gak usah susah-susah mengintai lalu menangkap sampe kejar-kejaran dan terluka kayak gitu kalau semua penjahat ngaku sendiri ckckck…)
“Hwang Gyeonghwi, sebenarnya...” Lee Khi Chul mencoba menjelaskan namun Tae Hee tak ingin mendengarnya.
Tae Hee segera berdiri dan mengulangi kalimatnya, “Aku bilang aku tidak ingin mendengar alasan Anda. Jika Anda tidak ingin mengaku dengan sendirinya, maka aku terpaksa harus mengungkapkan kebenarannya,” ujar Tae Hee tegas, terdapat nada ancaman di dalam kalimatnya.
“Beri aku waktu beberapa hari. Jantung istriku sangat lemah, aku takut dia terkejut,” ujar Lee Khi Chul memohon waktu.
“Paling lambat besok pukul 9 pagi! Atau aku akan membongkar kejahatan Anda!” putus Tae Hee final.
Di luar toko, Tae Hee yang sedang menunggu Ja Eun di mobilnya, kembali melihat buku besar transaksi narkoba tersebut sekali lagi, sebelum akhirnya menyimpannya kembali saat Ja Eun berjalan masuk ke dalam mobil.
Tae Hee baru saja akan mengenakan sabuk pengamannya saat
tiba-tiba saja Ja Eun menatapnya dengan tatapan aneh, “Ada apa?” tanya Tae Hee, batal
memakai sabun pengaman.
Ja Eun tiba-tiba menjadi sangat serius dan mulai mengatakan
sesuatu yang random, “Ahjussi, aku menyukai pria,” ujarnya, membuat Tae Hee
spontan memandang Ja Eun dengan bingung.
Ja Eun kemudian menolehkan wajahnya ke arah Tae Hee dan menatapnya dengan penuh keseriusan, “Apa mungkin, kau juga menyukai pria?” tanya Ja Eun dengan tatapan mata yang polos namun mengandung keseriusan dan ekspresinya menunjukkan kecurigaan, curiga jika Tae Hee memang ‘belok’ seperti kecurigaan sang Nenek.
Tae Hee yang kaget, hanya bisa memandangnya bingung tanpa bisa berkata-kata dan hanya menjawab, “MWO (Apa)?”
Ja Eun kemudian meletakkan kopinya dan meneruskan analisanya yang absurd, “Aku orang yang berpikiran terbuka dan pasti akan menjaga rahasiamu, jadi kau tak perlu cemas. Kau bisa mengatakan semuanya yang ada dalam hatimu padaku. Apa mungkin, kau juga menyukai pria?” dengan wajah polos yang sok tahu, Ja Eun bertanya tanpa dosa.
Tae Hee hanya bisa menarik napas dengan sabar dan berkata pelan, “Pasang sabuk pengamanmu.”
Tapi bukannya memasang sabuk pengamannya, Ja Eun terus bertanya dengan nada sok tahu dan penasaran.
“Tunggu sebentar. Ibumu dan Nenekmu sangat khawatir jika seandainya kau punya selera yang berbeda dari saudaramu yang lain (homo maksudnya). Kudengar kau tak pernah pacaran sampai sekarang. Kau sungguh tak punya pacar atau sebenarnya kau punya hanya saja tidak memberitahukan siapa pun di rumah?” tanya Ja Eun dengan tatapan polos namun sangat serius saat mengatakannya.
Tae Hee hanya menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk bersabar. (Tae Hee’s inner mind : “Duh, calon pacar gue kok setengah gila gini, ya? Untung cinta, kalau gak, uda gue lempar ke segitiga bermuda.”)
“Jika kau punya pacar tapi tak mau mengatakannya, maka sebaiknya kau memberitahu mereka sekarang. Tapi jika benar kau tak pernah pacaran, kupikir sebaiknya kau mulai menanyakan seleramu. Pertama, jika kau melihat gadis cantik sepertiku tapi kau tak merasakan apa pun, itu berarti masalahmu sangat serius, Ahjussi,” lanjut Ja Eun, masih dengan nada sok tahu dan serius.
Tae Hee hanya menatapnya dengan pandangan kosong dan dengan ekspresi tak habis pikir. Saat melihat Tae Hee tak memberikan reaksi apa pun, Ja Eun kembali melanjutkan pertanyaannya absurdnya, “Benarkan? Kau tak merasakan apa pun saat melihat gadis cantik sepertiku?” tanya Ja Eun sekali lagi.
Lagi-lagi Tae Hee hanya menatapnya bingung seraya mengedipkan matanya berkali-kali dan menarik napas pasrah.
“Kau tak merasakan apa pun, kan? Ini benar-benar serius,” lanjut Ja Eun dengan ekspresi shock.
Tapi kali ini tanpa banyak kata, Tae Hee langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Ja En seolah-olah ingin menciumnya. Ja Eun yang kaget setengah mati dengan reaksi Tae Hee, spontan bergerak mundur karena takut seraya memegangi dadanya.
Setelah saling memandang dalam jarak yang sangat dekat selama beberapa saat, Tae Hee akhirnya berkata dengan pelan dan dalam, “Jangan bercanda lagi,” lalu segera kembali ke posisinya semula.
Ja Eun yang kaget hanya mampu memegangi jantungnya yang berdebar kencang tanpa bisa memberikan reaksi apa pun, selain menjawab dengan gugup, “Ya.” (Kena mental kali ini Baek Ja Eun hahaha ^^)
Setelah memperingatkan Ja Eun, Tae Hee kembali ke tempat duduknya dan memasang sabuk pengamannya. Dia memandang ke arah Ja Eun yang masih tetap pada posisinya semula dan tampak masih shock dengan apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
“Apa yang kau lakukan? Cepat pasang sabuk pengamanmu,” ujar Tae Hee dengan datar.
(Sepertinya hanya Ja Eun yang terpengaruh dengan kejadian ini, tapi aku yakin jauh dalam lubuk hatinya, Tae Hee sebenarnya juga merasakan debaran yang sama. Hanya saja, kita semua tahu kalau Tae Hee adalah karakter yang sangat pandai menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, dia sangat pandai berpura-pura tidak ada apa-apa. Dia sendiri yang mengakui ini di episode berikutnya. He is lacking of expressing his feeling. Jadi walaupun dia terlihat gak terpengaruh, aku yakin hati kecilnya juga berdebar tak tenang)
Di pertanian, mesin pencuci piring yang dipesan Ja Eun akhirnya tiba di rumah. Hwang Chang Sik segera membawanya masuk dan memasangnya di dapur untuk diuji coba.
Nenek tampak kagum melihat bagaimana dunia menjadi serba canggih sekarang, tak hanya mesin pencuci baju, kini mesin pencuci piring pun juga ada.
“Ini fungsinya sama seperti mesin cuci mencuci baju, bukan?” tanya Nenek dengan kagum.
“Benar, Halmoni. Nenek kami sangat pintar karena mengerti dengan cepat,” puji Hwang Tae Phil pada neneknya.
Hwang Chang Sik menyuruh sang istri untuk mencoba mesinnya namun Park Bok Ja yang masih gengsi, pura-pura tak suka.
“Kenapa barang ini harus diterima? Siapa yang akan menyukainya?” sangkal Park Bok Ja untuk menutupi perasaannya.
“Bagaimana kita bisa mengembalikan barang yang sudah dikirim?” sahut Hwang Chang Sik, masuk akal.
Kemudian Hwang Chang Sik berkata bahwa dia harus pergi ke suatu tempat bersama Nenek dan Tae Phil akan mengantar mereka.
Sebelum pergi, Nenek berkata dengan nada iri pada Park Bok Ja, “Kau sangat beruntung. Tak cukup memiliki suami dan anak-anak yang baik, sekarang bahkan ada seorang gadis yang tiba-tiba saja muncul dalam hidupmu dan melakukan banyak hal untuk menyenangkan hatimu. Aku sangat iri padamu,” ujar Nenek, membuat rasa bersalah dalam hati Park Bok Ja semakin bertumpuk.
Setelah mereka semua pergi, Park Bok Ja tampak mencoba mesin pencuci piring tersebut seolah menemukan mainan baru. Dia juga mengelap mesin tersebut walaupun mesin tersebut sudah sangat bersih.
Saat itulah, tiba-tiba saja Ja Eun masuk dan mengejutkannya, “Ah, akhirnya datang juga. Ahjumma, apa Anda menyukai hadiahku?” tanya Ja Eun dengan tersenyum ceria.
“Siapa yang menyukainya jika kau melakukan ini?” tegur Park Bok Ja dengan pura-pura galak, menahan air matanya agar tidak terjatuh.
“Menit pertama aku melihatnya, aku langsung teringat pada Anda.
Apa Ahjumma benar-benar tidak menyukainya?” tanya Ja Eun dengan tatapan
polosnya penasaran, membuat rasa bersalah dalam hati Park Bok Ja semakin besar. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jahat pada gadis sebaik Ja Eun.
“Berapa banyak uang yang kau miliki untuk membeli sesuatu yang mahal seperti ini? Setelah bekerja keras selama ini, apa kau masih belum sadar juga? Apa kau sedang dalam posisi untuk menghabiskan uang sebanyak yang kau mau?” omel Park Bok Ja, memarahi Ja Eun karena menghamburkan uangnya yang memang sangat sedikit.
“Ini bukan barang sembarangan, ini adalah hadiah untuk Anda. Aku membelinya dengan tulus dan Ikhlas, karena melihat Anda melakukan pekerjaan yang sangat banyak. Aku ingin setidaknya membantu untuk meringankan pekerjaan Anda dalam mencuci piring,” sahut Ja Eun dengan cemberut dan sedih, takut Park Bok Ja tidak menyukai hadiahnya.
“Siapa yang menyuruhmu untuk mencemaskan hal itu?” seru Park Bok Ja, masih mengomeli Ja Eun.
“Dari apa yang kulihat, pekerjaan yang Anda lakukan terlalu banyak. Anda memasak, mencuci baju, mencuci piring, membersihkan rumah, bekerja di pertanian, merawat bebek dan Anda melakukan semua itu sendiri tanpa ada anggota keluarga lain yang membantu Anda. Chang Sik Ahjussi memang membantu di pertanian, tapi Anda juga melakukan semua pekerjaan di rumah ini. Ini sangat tidak adil dan aku merasa sedih untuk Anda, jadi setidaknya aku ingin sedikit membantu meringannya,” ujar Ja Eun dengan tulus dan penuh perhatian.
Park Bok Ja tampak tersentuh mendengarnya, air matanya kini benar-benar hampir jatuh karena perhatian dan kasih sayang Ja Eun padanya.
“Ahjumma, benarkah Anda tidak menyukainya?” tanya Ja Eun, dengan ekspresi kecewa.
“Bagaimana bisa hatimu begitu lemah? Bagaimana kau akan bertahan hidup di tengah kerasnya dunia di luar sana? Kau sendirian sekarang, kau harus kuat dan tangguh. Hingga akhir, kau harus tetap membenciku dan memusuhiku,” seru Park Bok Ja menutupi perasaannya yang hampir hancur karena melihat kebaikan hati Ja Eun. Ja Eun sangat tulus dan baik padanya, tapi dia justru mencuri kontrak gadis itu.
Ja Eun hanya tersenyum canggung dan menjawab, “Aku tidak mau melakukannya,” ujar Ja Eun dengan mengerucutkan bibirnya dan tersenyum canggung. (Ja Eun gak mau membenci dan memusuhi Park Bok Ja maksudnya)
“Jangan tersenyum! Kau lebih baik tidak melakukan hal-hal seperti ini lagi atau aku tidak akan membiarkanmu begitu saja,” ancam Park Bok Ja kemudian berjalan meninggalkan dapur dan menuju ke kamarnya.
Setelah sampai di kamar, Park Bok Ja mengeluarkan surat kontrak yang dia curi dari Ja Eun dari dalam tumpukan baju. Dia memeluk amplop coklat yang berisi surat kontrak itu sambil berguling-guling di lantai kamar dan menangis keras, menyesali perbuatannya.
“Apa yang harus kulakukan? Ibu, apa yang harus kulakukan sekarang?” seru Park Bok Ja, memanggil mendiang ibunya seraya berguling-guling di lantai dan memeluk surat kontrak Ja Eun.
Saat itulah secara tak sengaja, Tae Phil membuka pintu kamar itu dan terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ibunya, ibu yang selalu dibela dan dibanggakannya, ternyata tak lebih dari seorang pencuri. Sementara Ja Eun, yang sama sekali tidak bersalah, harus menanggung semua penderitaan ini.
Blogger Opinion :
Nah, kan? Nah, kan? Feel guilty juga kan kamu, Hwang Tae Phil? Setelah kamu segitu jahatnya sama Ja Eun, sejak awal memusuhi, sekarang melihat dengan mata kepala sendiri kalau Ja Eun tidak bersalah, sebaliknya, Ibu yang kau banggakan, tak lebih dari seorang pencuri yang tak cukup mencuri kontrak, dia juga dengan kejam menendang Ja Eun keluar dari rumahnya sendiri, lalu membuatnya tidur di tenda dan menderita. How do you feel, Hwang Tae Phil? Feeling guilty now?
Bersambung…
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/616 + https://gswww.tistory.com/617)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
And I am very happy because Mom is now all praises to Ja Eun,
I am really so happy about that and soon Ja Eun will be moving in… prelude to
more Tae Hee-Ja Eun moments. ^one happy soul here^ I love this drama so much! Ja
Eun and Tae Hee are so cute together 🙂 btw, finally Hwang Tae Phil know that his
mom, Park Bok Ja indeed stealing the contract. How do you feel, Hwang Tae Phil?
Feeling guilty now?
-------000000-----
Episode 19:
Adegan dimulai dengan Park Bok Ja yang minum alkohol seorang diri di atas loteng dan tiba-tiba saja Ja Eun masuk ke sana tanpa permisi dengan membawa dua cangkir gelas berisi air dan juga pakan bebek. Park Bok Ja mengomeli Ja Eun yang sekarang semakin berani keluar masuk rumahnya tanpa permisi.
“Ahjumma, Anda minum alkohol sendirian?” tanya Ja Eun yang tampak kaget melihat Ja Eun datang ke loteng.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau seenaknya keluar masuk rumahku?” tegur Park Bok Ja yang melihat Ja Eun semakin berani keluar masuk rumah itu seolah sudah terbiasa.
“Aku pikir Anda sudah tidur, itu sebabnya aku datang kemari untuk memeriksa anak bebek. Aku membawakan mereka makan dan minum,” sahut Ja Eun seraya menunjukkan dua gelas di tangannya yang masing-masing berisi air dan pakan bebek.
“Rajin sekali kau. Ya sudah, sana. Berikan mereka makan dan setelah itu keluarlah,” usir Park Bok Ja lagi.
Ja Eun memeriksa anak bebek di dalam kardus dan berkata senang, “Wah, akhirnya kalian tampak lebih baik. Mereka berdua tampak lebih sehat sekarang, Ahjumma.” ujarnya lega.
Tapi Park Bok Ja tidak menanggapi karena sibuk melihat album foto dengan tatapan sedih. Ja Eun yang penasaran bertanya padanya, “Kenapa Anda minum sendirian? Album foto siapa itu?” tanya Ja Eun yang memang selalu ingin tahu urusan orang.
Park Bok Ja tidak menjawab pertanyaannya dan Ja Eun
mengulanginya lagi dengan sedikit memaksa, “Album foto siapa itu?” tanyanya
ingin tahu.
“Kenapa kau begitu berisik? Bila kau selesai memberi makan anak bebek, kembalilah ke tendamu,” ujar Park Bok Ja dengan berlagak ketus.
Wanita tua itu kemudian menuangkan lagi segelas soju ke dalam gelasnya, tapi Ja Eun menawarkan diri untuk menuangkannya. Ja Eun pun mencuri-curi lihat album foto tersebut dan menyadari bahwa Park Bok Ja ternyata sedang melihat album foto Hwang Tae Bum.
“Apa itu Paman Kedua? Dia sangat tampan saat muda,” puji Ja Eun saat melihat foto masa muda Tae Bum.
“Apa sekarang dia tidak tampan? Dia bahkan lebih tampan sekarang,” protes Park Bok Ja tidak terima.
(Aduh, emak. Nanti kamu juga bakal tahu kenapa Ja Eun ngomong gitu. Itu karena di mata Ja Eun, Tae Hee-lah yang paling tampan mempesona dan membuat jantungnya berdebar kencang. Tae Bum mah bukan apa-apa dibandingkan Hwang Tae Hee xixixi ^^)
“Ah, jadi Anda seperti ini karena sedih melihat Paman Kedua menikah?” tebak Ja Eun dan Park Bok Ja mengangguk membenarkan.
“Ya. Itu membuatku sangat sedih. Pernikahan mereka terlalu terburu-buru, aku bahkan tak pernah memikirkan ini sebelumnya. Anak itu bagaikan pilar bagiku. Dia adalah anak yang bisa diandalkan. Dia bagaikan tebing yang tinggi jadi saat ada angin berhembus kencang, aku bisa bersembunyi di belakangnya. Dia bagaikan sinar Mentari di musim panas. Saat masih kecil dulu, ayahnya selalu bermasalah dengan keuangan dan kami pernah tidur di jalan dengan hanya makan kimchi dan segelas air setiap hari, namun ketika Tae Bum pulang dengan membawa nilai ujiannya yang mendapatkan 100, aku merasa beban di pundakku menjadi lebih ringan,” sahut Park Bok Ja, bercerita panjang lebar tanpa diminta.
“Wah, Paman kedua ternyata sangat pintar,” puji Ja Eun kagum.
“Tentu saja dia pintar. Dia sangat pintar. Saat masih kecil, dia memiliki banyak bakat. Dia bisa bernyanyi, menggambar, olahraga, tidak ada yang tidak bisa dia lakukan. Sayangnya dia memiliki orangtua yang salah, orangtua miskin yang tidak bisa mendukung semua bakatnya. Jika saja dia memiliki orangtua yang lain, mungkin saat itu dia bisa menjadi orang terkenal yang dikagumi dunia,” ujar Park Bok Ja tampak bersedih dan menyesal.
“Bukankah Paman Kedua sekarang telah banyak bicara di televisi, acaranya bahkan bisa dilihat di seluruh dunia,” sahut Ja Eun. Dia menggunakan kata “Banyak bicara” yang konotasinya negative jadi membuat Park Bok Ja tersentil.
“Banyak bicara, huh?” sindir Park Bok Ja.
Ja Eun tersenyum kikuk, “Intinya adalah Anda sudah melakukan yang terbaik untuk mendukungnya. Aku bukan hanya asal bicara, namun faktanya di dunia ini sekarang, mana ada menantu yang seperti Anda, yang begitu menghormati mertua dan tak pernah membantah?” sahut Ja Eun, memuji Park Bok Ja sebagai menantu dan ibu yang baik.
“Mulutmu memang semanis madu,” sindir Park Bok Ja tak percaya. Dengan kata lain seperti mengatainya, “kau memang pintar menjilat”.
-------000000-----
Episode 19:
Adegan dimulai dengan Park Bok Ja yang minum alkohol seorang diri di atas loteng dan tiba-tiba saja Ja Eun masuk ke sana tanpa permisi dengan membawa dua cangkir gelas berisi air dan juga pakan bebek. Park Bok Ja mengomeli Ja Eun yang sekarang semakin berani keluar masuk rumahnya tanpa permisi.
“Ahjumma, Anda minum alkohol sendirian?” tanya Ja Eun yang tampak kaget melihat Ja Eun datang ke loteng.
“Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau seenaknya keluar masuk rumahku?” tegur Park Bok Ja yang melihat Ja Eun semakin berani keluar masuk rumah itu seolah sudah terbiasa.
“Aku pikir Anda sudah tidur, itu sebabnya aku datang kemari untuk memeriksa anak bebek. Aku membawakan mereka makan dan minum,” sahut Ja Eun seraya menunjukkan dua gelas di tangannya yang masing-masing berisi air dan pakan bebek.
“Rajin sekali kau. Ya sudah, sana. Berikan mereka makan dan setelah itu keluarlah,” usir Park Bok Ja lagi.
Ja Eun memeriksa anak bebek di dalam kardus dan berkata senang, “Wah, akhirnya kalian tampak lebih baik. Mereka berdua tampak lebih sehat sekarang, Ahjumma.” ujarnya lega.
Tapi Park Bok Ja tidak menanggapi karena sibuk melihat album foto dengan tatapan sedih. Ja Eun yang penasaran bertanya padanya, “Kenapa Anda minum sendirian? Album foto siapa itu?” tanya Ja Eun yang memang selalu ingin tahu urusan orang.
“Kenapa kau begitu berisik? Bila kau selesai memberi makan anak bebek, kembalilah ke tendamu,” ujar Park Bok Ja dengan berlagak ketus.
Wanita tua itu kemudian menuangkan lagi segelas soju ke dalam gelasnya, tapi Ja Eun menawarkan diri untuk menuangkannya. Ja Eun pun mencuri-curi lihat album foto tersebut dan menyadari bahwa Park Bok Ja ternyata sedang melihat album foto Hwang Tae Bum.
“Apa itu Paman Kedua? Dia sangat tampan saat muda,” puji Ja Eun saat melihat foto masa muda Tae Bum.
“Apa sekarang dia tidak tampan? Dia bahkan lebih tampan sekarang,” protes Park Bok Ja tidak terima.
(Aduh, emak. Nanti kamu juga bakal tahu kenapa Ja Eun ngomong gitu. Itu karena di mata Ja Eun, Tae Hee-lah yang paling tampan mempesona dan membuat jantungnya berdebar kencang. Tae Bum mah bukan apa-apa dibandingkan Hwang Tae Hee xixixi ^^)
“Ah, jadi Anda seperti ini karena sedih melihat Paman Kedua menikah?” tebak Ja Eun dan Park Bok Ja mengangguk membenarkan.
“Ya. Itu membuatku sangat sedih. Pernikahan mereka terlalu terburu-buru, aku bahkan tak pernah memikirkan ini sebelumnya. Anak itu bagaikan pilar bagiku. Dia adalah anak yang bisa diandalkan. Dia bagaikan tebing yang tinggi jadi saat ada angin berhembus kencang, aku bisa bersembunyi di belakangnya. Dia bagaikan sinar Mentari di musim panas. Saat masih kecil dulu, ayahnya selalu bermasalah dengan keuangan dan kami pernah tidur di jalan dengan hanya makan kimchi dan segelas air setiap hari, namun ketika Tae Bum pulang dengan membawa nilai ujiannya yang mendapatkan 100, aku merasa beban di pundakku menjadi lebih ringan,” sahut Park Bok Ja, bercerita panjang lebar tanpa diminta.
“Wah, Paman kedua ternyata sangat pintar,” puji Ja Eun kagum.
“Tentu saja dia pintar. Dia sangat pintar. Saat masih kecil, dia memiliki banyak bakat. Dia bisa bernyanyi, menggambar, olahraga, tidak ada yang tidak bisa dia lakukan. Sayangnya dia memiliki orangtua yang salah, orangtua miskin yang tidak bisa mendukung semua bakatnya. Jika saja dia memiliki orangtua yang lain, mungkin saat itu dia bisa menjadi orang terkenal yang dikagumi dunia,” ujar Park Bok Ja tampak bersedih dan menyesal.
“Bukankah Paman Kedua sekarang telah banyak bicara di televisi, acaranya bahkan bisa dilihat di seluruh dunia,” sahut Ja Eun. Dia menggunakan kata “Banyak bicara” yang konotasinya negative jadi membuat Park Bok Ja tersentil.
“Banyak bicara, huh?” sindir Park Bok Ja.
Ja Eun tersenyum kikuk, “Intinya adalah Anda sudah melakukan yang terbaik untuk mendukungnya. Aku bukan hanya asal bicara, namun faktanya di dunia ini sekarang, mana ada menantu yang seperti Anda, yang begitu menghormati mertua dan tak pernah membantah?” sahut Ja Eun, memuji Park Bok Ja sebagai menantu dan ibu yang baik.
“Mulutmu memang semanis madu,” sindir Park Bok Ja tak percaya. Dengan kata lain seperti mengatainya, “kau memang pintar menjilat”.
“Itu memang kenyataannya,” ujar Ja Eun membela diri. Ja Eun kemudian meminum air untuk anak bebek itu dan mengulurkan gelasnya pada Park Bok Ja.
“Ahjumma, tolong berikan segelas soju untukku juga. Aku juga merasa hatiku sangat sedih dan tertekan,” pinta Ja Eun dengan cemberut dan wajah memelas.
“Kau masih sangat muda, apa yang membuatmu begitu sedih dan tertekan?” tanya Park Bok Ja seraya menuangkan soju untuk Ja Eun.
“Aku tidak semuda itu,” protes Ja Eun lalu meminum gelas sojunya, lalu kemudian dia melanjutkan, “Aku melihat ibu tiriku,” lanjutnya.
“Ibu tiri yang meninggalkanmu dan melarikan diri seorang diri? Ibu tirimu yang ketiga?” Park Bok Ja tampak mengkonfirmasi.
“Anda juga tahu mengenai hal itu? Kalau ayahku menikah lagi sebanyak 3 kali? Ya, ibu tiri yang itu,” sahut Ja Eun dengan canggung.
“Dia sudah meninggalkanmu seorang diri, kenapa kau harus merasa sedih untuknya?” ujar Park Bok Ja tampak tak terima.
“Bagaimanapun juga, dia adalah ibu tiri yang tinggal paling lama bersama kami. Karena kami hidup bersama selama 5 tahun. Ibu tiriku yang pertama dan kedua bahkan hanya bertahan tak sampai 1 tahun. Sementara ibu kandung yang melahirkanku, meninggal saat usiaku kurang dari 2 tahun. Jadi aku merasa dialah yang paling dekat denganku. Beberapa hari yang lalu aku melihatnya hidup menderita dan tinggal di sebuah penginapan kecil. Sepertinya setelah mengkhianatiku dan ayahku, sekarang dia mendapatkan karmanya,” ujar Ja Eun panjang lebar. Pidato yang tampak menyentuh hati Park Bok Ja.
“Jadi kau tidak mengingat apa pun tentang ibu kandungmu?” tanya Park Bok Ja seraya menatap Ja Eun dengan iba.
Ja Eun mengangguk dengan ekspresi sedih, “Ya. Aku tidak ingat apa pun tentangnya,” sahut Ja Eun seraya menarik napas berat, sementara Park Bok Ja masih menatapnya dengan ekspresi iba.
“Tidak perlu menatapku seperti itu. Karena aku tidak ingat apa pun tentangnya, jadi hal-hal seperti merindukannya atau ingin bertemu dengannya, itu tak pernah ada,” sangkal Ja Eun berbohong.
“Kau sangat pandai berbohong,” sindir Park Bok Ja tak percaya.
“Bagaimana mungkin kau tidak ingin bertemu ibu kandungmu dan tidak merindukannya? Itulah yang dinamakan orang sebagai ikatan darah. Bahkan walau kau tak pernah mengingat wajahnya, dia mengandungmu di perutnya selama 9 bulan, kau adalah darah dan dagingnya, bagian dari dirinya. Tentu saja kalian memiliki ikatan darah yang kuat. Dan itu tidak bisa diputuskan begitu saja,” ujar Park Bok Ja, tampak menghibur Ja Eun yang sedih.
“Aku dulu juga pernah memiliki seorang anak perempuan, adik Tae Phil. Selama 9 bulan, aku mengandungnya dalam perutku, saat melahirkannya aku jatuh koma tapi mereka bilang anak itu sempat lahir ke dunia. Setelah aku tersadar dari koma, mereka bilang anak itu sudah meninggal. Dia hanya mampu bertahan beberapa hari saja, aku bahkan belum sempat melihat wajahnya saat itu. Dan 3 hari kemudian, aku baru mengetahui bahwa bayiku adalah anak perempuan,” lanjut Park Bok Ja sambil menangis mengingat putri satu-satunya keluarga Hwang yang tidak selamat.
Ja Eun pun ikut menangis mendengarnya.
“Jika aku kembali mengingat saat-saat itu, aku hanya bisa menyesal karena tak mampu melindungi putriku, aku masih merasa tidak rela hingga sekarang. Aku yakin Ibu kandungmu juga merasakannya. Ibumu pasti juga merasa sangat tidak rela meninggalkanmu sendirian di dunia ini, namun dia tidak berdaya dan tidak bisa melawan takdirnya. Aku yakin ibumu pasti tidak akan sanggup memejamkan matanya saat itu,” tambah Park Bok Ja lagi, membuat Ja Eun menangis semakin terisak.
“Di dunia ini, orang yang paling dicintai oleh ibumu, pastilah kau. Aku bisa menjamin hal itu. Kau tidak boleh melupakan itu. Aku yakin cintanya padamu sangat luas seluas bumi dan langit,” ujar Park Bok Ja menghibur gadis malang itu.
“Benarkah seperti itu?” tanya Ja Eun ragu seraya mengusap air matanya.
“Tentu saja. Aku bisa menjamin hal itu,” ujar Park Bok Ja, dengan penuh keyakinan dalam suaranya.
“Ahjumma, bila bayi Anda tetap hidup, berapa usianya sekarang? Apa mungkin seumuran denganku?” tanya Ja Eun ingin tahu.
“Dia mungkin lebih tua satu atau dua tahun darimu, tapi kenapa kau menanyakannya?” ujar Park Bok Ja tak mengerti.
“Tidak ada apa-apa, hanya… Ahjumma, bisakah aku menjadi putrimu?” tanya Ja Eun dengan mata berbinar penuh harap.
“Kenapa kau ingin menjadi putriku?” tanya Park Bok Ja terkejut.
“Itu karena Anda tidak memiliki putri dan aku tidak memiliki Ibu. Aku tulus mengatakan ini dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertanian. Anda mungkin tidak percaya namun ini sungguh berasal dari lubuk hatiku yang paling dalam,” ujar Ja Eun dengan mata yang memancarkan ketulusan.
“Tidak. Kau tidak terlihat tulus saat mengatakannya. Ditambah lagi, aku sudah cukup pusing dengan keempat putraku sekarang, aku tidak ingin bebanku bertambah lagi. Kau minta saja hal itu di tempat lain,” jawab Park Bok Ja berlagak ketus.
Walaupun dari ekspresi wajahnya, dia tampak merasa tersentuh, sedih dan menyesal terhadap gadis itu. Kemudian dia menawarkan Ja Eun untuk meminum satu gelas lagi untuk mengalihkan topik pembicaraan. Ja Eun berterima kasih kemudian meminum sojunya.
Pagi harinya setelah acara minum-minum di loteng, Park Bok Ja dan Ja Eun tetap harus bangun pagi untuk mengurus pertanian. Ja Eun tampak duduk di depan pintu rumah saat Park Bok Ja membuka pintu rumahnya.
Wanita tua itu mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak berencana untuk membangunkan Ja Eun mengingat mereka kemarin tidur larut malam dan bahkan sempat minum alkohol. Ja Eun menjawab karena Park Bok Ja juga sama sepertinya dan masih bisa bangun, lalu kenapa dia tidak bisa? Jawaban tulus yang membuat Park Bok Ja tersentuh.
Lalu Ja Eun bertanya apa perut Park Bok Ja baik-baik saja karena mereka semalam minum soju tanpa makanan pendamping. Park Bok Ja mengakui bahwa perutnya sedikit tidak enak. Dia pun bertanya pada Ja Eun, bagaimana keadaan perut gadis itu, namun Ja Eun menjawab riang, karena dia masih muda jadi daya tahan tubuhnya lebih kuat.
Park Bok Ja berjalan pergi dengan bergumam iri, “Betapa enaknya menjadi muda.”
Mereka berdua pergi ke arah kebun pir untuk melihat keadaan pohon-pohon pir yang saat itu terserang hama dan mereka tampak lega dan gembira karena sekarang semua hamanya telah lenyap dan pohon-pohon pir itu sudah terbebas dari hama. Karena terlalu senang, Ja Eun memeluk Park Bok Ja secara spontan sambil bersorak girang.
Park Bok Ja berpura-pura terkejut dan mendorong Ja Eun menjauh namun diam-diam dia tersenyum gembira dan merasa tersentuh.
Keluarga Hwang akhirnya terbangun dan siap memulai sarapan mereka. Nenek tampak bingung saat melihat ada sup untuk menghilangkan mabuk dihidangkan di atas meja.
“Siapa yang semalam minum alkohol? Kenapa ada sup ini di atas meja sarapan?” tanya Nenek bingung.
Park Bok Ja mencoba menutupi dengan mengatakan, “Ayahnya anak-anak ingin memakan ini, Ibu.”
“Benarkah? Tapi aku tidak suka sup ini,” protes Nenek kesal seraya melirik putranya.
Hwang Chang Sik tampak terkejut sesaat, namun kemudian menutupi istrinya, “Ini lezat, Ibu. Rasanya sangat menyegarkan. Nikmati saja untuk hari ini,” ujar Hwang Chang Sik.
Sementara Nenek mengomel, Tae Phil menghitung mangkok di atas meja, “Eomma, 6 mangkok sudah cukup,” ujar Tae Phil mengingatkan.
“Aha…jadi ini untuk Ja Eun? Ja Eun-ah, Paman senang melihatmu. Duduk dan makanlah bersama kami,” ujar Hwang Chang Sik dengan tersenyum senang.
“Terima kasih, Ahjussi.” Jawab Ja Eun sopan lalu segera duduk di samping Park Bok Ja.
“Apa Nenek tidur dengan nyenyak?” tanya Ja Eun pada Nenek yang hanya mengangguk dalam diam.
“Selamat pagi, Paman Pertama, Maknae Oppa, Paman Ketiga,” sapa Ja Eun kepada Tae Shik, Tae Phil dan Tae Hee.
“Eomma, apa ini akan menjadi aktivitas normal mulai sekarang?” tanya Tae Phil pada ibunya. Maksudnya apa Ja Eun akan makan bersama mereka mulai sekarang?
Park Bok Ja dengan salah tingkah menyangkal, “Tidak. Hanya untuk hari ini saja,” ujarnya berpura-pura ketus demi menjaga harga dirinya.
“Benar. Hanya untuk hari ini saja karena kemarin malam aku dan Ahjumma minum soju bersama di loteng,” sahut Ja Eun dengan polos dan blak-blakan, membongkar rahasia mereka.
Semua orang tampak terkejut mendengar Park Bok Ja dan Baek Ja Eun yang sebelumnya bagaikan musuh, justru malah diam-diam minum soju bersama di loteng tengah malam.
“Soju?” ulang Nenek terkejut.
“Jadi kau minum soju bersama Ja Eun?” tanya Hwang Chang Sik mengkonfirmasi.
“Tidak. Kami hanya minum fermentasi buah anggur,” sangkal Park Bok Ja, untuk menutupi rasa malunya, namun Ja Eun menyangkalnya dengan kuat.
“Kita minum soju, Ahjumma. Dan tak hanya itu, kami minum soju yang sangat kuat bahkan tanpa makanan pendamping apa pun,” ujar Ja Eun dengan bangga dan dengan wajah tanpa dosa, mengatakannya dengan terus terang dan blak-blakan.
“Hanya soju?” ulang Nenek lagi dengan kaget. Park Bok Ja hanya melemparkan tatapan maut ke arah Ja Eun yang tidak mengerti di mana salahnya.
“Dan kau bilang ayah anak-anak yang meminta sup penghilang mabuk ini?” sindir Nenek pada Park Bok Ja.
“Tidak bisakah kau menutup mulutmu?” tegur Park Bok Ja.
“Kenapa, Ahjumma? Apa yang salah dengan minum soju? Aku minum soju, katakan itu dengan bangga. Anda punya hak untuk melakukannya,” sahut Ja Eun dengan percaya diri dan ceplas-ceplos, benar-benar tak mengerti di mana salahnya.
Tae Hee, Tae Phil dan Hwang Chang Sik tersenyum lucu melihat kepolosan dan keterusterangan Ja Eun yang tampak menggemaskan di mata mereka. Ini yang ketiga kalinya, Tae Hee tersenyum di meja makan karena melihat tingkah Ja Eun yang unik dan tidak biasa.
(Yeah, Tae Hee yang pendiam memang butuh gadis ceria dan hangat seperti Ja Eun yang akan mewarnai hari-harinya dan membuat dunianya yang sebelumnya membosankan menjadi ramai)
Nenek akhirnya mengalah dan menyuruh semua orang untuk makan.
Di tengah sarapan, Nenek bertanya tentang kabar Tae Bum setelah melarikan diri dari pesta pernikahannya sendiri. Park Bok Ja menjelaskan kalau Tae Bum langsung pindah ke rumah baru mereka setelah pulang dari kantor.
Kemudian perhatian Nenek beralih pada Hwang Tae Shik, “Sekarang giliran kita mengirim putra sulung untuk menikah,” ujar Nenek pada Tae Shik.
“Kenapa wajahmu tampak lusuh seperti itu?” lanjut Nenek bertanya dengan penasaran saat melihat wajah Tae Shik yang dipenuhi bulu-bulu halus tidak dicukur.
“Kenapa kau tidak bercukur? Kau juga tidak makan dan hanya menatap mangkokmu,” tanya Hwang Chang Sik heran.
“Aku hanya merasa lelah dan tidak tidur dengan baik, Ayah.” Sahut Tae Shik menutupi. Faktanya dia sedang galau dan ketakutan karena mengetahui fakta bahwa dia memiliki anak di luar nikah dengan wanita Filipina dan wanita itu sudah mengirim putranya ke Korea dan akan tiba di bandara nanti malam.
“Kapan Ye Jin akan datang menemui kita? Ayah dan Nenek sangat menyukainya,” tanya Park Bok Ja tanpa tahu apa-apa.
“Semua orang sudah bertemu dengannya? Sepertinya hanya aku yang belum pernah bertemu dengannya,” ujar Tae Hee tampak menyesal dan merasa bersalah karena kemarin datang terlambat.
Seperti biasa, Tae Phil mulai berkata ngegas, “Kau...” kalimatnya spontan terhenti saat mendapat tatapan maut dari sang ayah, “Hyung, sejak kapan kau peduli pada urusan keluarga? Bagaimana bisa kau tidak datang kemarin? Itu adalah peristiwa yang terjadi seumur hidup, kakak kedua tidak menikah untuk yang kedua kalinya,” ujar Tae Phil, terpaksa memanggil Tae Hee dengan sebutan “Hyung”.
“Benar, Tae Hee. Ibu sangat sedih saat kau tidak ada di sana kemarin dan tidak bisa bergabung dalam foto pengantin,” ujar Park Bok Ja, mendukung Tae Phil, walau kalimatnya terdengar halus.
“Apa kalian pikir Tae Hee terlambat karena sengaja? Dia terlambat karena harus menangkap orang jahat. Dan lagipula, apakah pernikahannya berjalan dengan baik? Sepasang pengantin bahkan melarikan diri sebelum acara berakhir dan meninggalkan para tamu begitu saja. Mereka juga tidak ada dalam foto pengantin. Ini bukan salah Tae Hee! Tae Bum-lah yang harus disalahkan,” omel Nenek marah, membela cucu kesayangannya.
Kalimatnya membuat semua orang terdiam dan Tae Hee hanya bisa memakan makanannya dengan cepat, karena merasa bersalah telah merusak suasana sarapan mereka karena ikut berkomentar. (Memang diam itu emas ya, Tae Hee ^^)
Begitu tiba di kantor polisi, Tae Hee yang baru saja datang langsung ditarik oleh Dong Min ke pojok.
“Ada apa?” tanya Tae Hee bingung.
“Untuk sementara ini, tutup mulutmu rapat-rapat dan jangan lakukan apa pun! Aku akan mencoba mengatasinya. Serahkan padaku!” ujar Tae Hee, masih memiliki keyakinan pada Pimpinan Department tidak akan sebejat itu.
“Baiklah. Aku mengerti,” sahut Seo Dong Min mengerti.
Di kantornya, Pimpinan Department Lee Khi Chul pun mendapatkan laporan bahwa Jung Il Do telah tertangkap dan salinan buku besar itu sudah berada di tangan polisi. Saat bertanya siapa nama polisi yang memegang buku besar tersebut, penelpon tersebut mengatakan adalah Hwang Tae Hee.
Tepat pada saat itulah. Tae Hee datang menemui Lee Khi Chul. Tae Hee bertanya apakah Lee Khi Chul ada sedikit waktu untuknya, karena ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Lee Khi Chul mempersilahkan Tae Hee untuk duduk agar mereka bisa bicara dengan nyaman.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Lee Khi Chul dengan was-was, jujur, dia merasa takut kejahatannya akan terungkap.
“Jadi apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?” tanya Pimpinan Department, Lee Khi Chul tampak gugup.
“Aku menemukan nama Anda dalam buku besar itu. Aku tidak ingin tahu alasannya. Aku juga tidak akan bertanya kenapa atau kenapa hal itu bisa terjadi. Karena walaupun aku mendengar alasan Anda, aku tidak akan pernah mengerti dan aku juga tidak mampu untuk memaafkan. Untuk seseorang yang sudah kujadikan panutan selama 10 tahun ini, aku hanya ingin memberi Anda kesempatan terakhir untuk mengakuinya sendiri. Akuilah sendiri apa yang sudah kau lakukan, ungkapkan semuanya dan terimalah hukumanmu,” jawab Tae Hee dengan berat hati.
(Tae Hee-yaa, maling ngaku penjara penuh, sayang >_< Kamu gak usah susah-susah mengintai lalu menangkap sampe kejar-kejaran dan terluka kayak gitu kalau semua penjahat ngaku sendiri ckckck…)
“Hwang Gyeonghwi, sebenarnya...” Lee Khi Chul mencoba menjelaskan namun Tae Hee tak ingin mendengarnya.
Tae Hee segera berdiri dan mengulangi kalimatnya, “Aku bilang aku tidak ingin mendengar alasan Anda. Jika Anda tidak ingin mengaku dengan sendirinya, maka aku terpaksa harus mengungkapkan kebenarannya,” ujar Tae Hee tegas, terdapat nada ancaman di dalam kalimatnya.
“Beri aku waktu beberapa hari. Jantung istriku sangat lemah, aku takut dia terkejut,” ujar Lee Khi Chul memohon waktu.
“Paling lambat besok pukul 9 pagi! Atau aku akan membongkar kejahatan Anda!” putus Tae Hee final.
Sebelum pergi dari sana, Tae Hee tampak menimbang sekali lagi, apakah keputusannya ini adalah benar dengan memberitahukan secara terbuka kepada sang tersangka bahwa dia memiliki buktinya dan akan mengungkapkannya besok pagi, jika dia tidak mengakui sendiri kejahatannya. Tae Hee tampak ragu, namun dia sudah terlanjur mengambil tindakan. (Dan terbukti keputusan Tae Hee salah, karena di episode berikutnya, buktinya telah dicuri. Ya ngapain juga penjahat dikasih tahu dulu? Maling ngaku, penjara penuh, Pak Polisi!)
Di pertanian, tampak Ja Eun, Park Bok Ja dan Nenek sedang menjemur cabai merah. Nenek bertanya pada Park Bok Ja, kapan pacar Tae Shik akan datang? Dan Park Bok Ja menjawab “Minggu ini,”
Nenek berkata kalau dia berharap kali ini akan berhasil. Park Bok Ja menghiburnya dengan berkata kalau kalau ini pasti berhasil karena Tae Shik dan Ye Jin saling menyukai, mereka bahkan sudah bertemu dengannya di pesta pernikahan Tae Bum.
(Mereka gak tahu aja kalau Ye Jin punya hutang 30 juta won dan dia ingin menikah dengan Tae Shik karena berpikir dengan menjadi istri Tae Shik, dia bisa menjual pertanian itu untuk membayar hutangnya. Ye Jin tidak tahu kalau pertanian itu bahkan bukan milik keluarga Hwang dan keluarga Hwang hanya mengontrak)
“Lalu bagaimana dengan Tae Hee? Apa sudah ada kabar?” tanya Nenek akhirnya.
“Sejak dia dilahirkan ke dunia hingga 30 tahun berlalu, masih belum ada kabar apa pun, Ibu.” Sahut Park Bok Ja dengan menyesal.
Ja Eun yang mendengarnya, menjadi penasaran dan bertanya, “Tentang apa, Ahjumma?”
“Kenapa gadis nakal ini selalu saja ingin tahu urusan orang?” omel Nenek, sementara Ja Eun hanya mengerucutkan bibirnya cemberut.
“Itu karena dia masih muda, Ibu. Anak muda umumnya sangat penasaran dengan segala hal,” ujar Park Bok Ja sambil tersenyum lucu, membela Ja Eun terang-terangan di depan Nenek.
“Kami tidak pernah mendengar Tae Hee mengatakan kalau dia punya pacar. Tidak sekalipun,” ujar Park Bok Ja, menjelaskan kepada Ja Eun tentang pembicaraan mereka.
“Benarkah?” tanya Ja Eun tampak terkejut.
“Itu benar. Tae Hee tak pernah membawa seorang wanita pun ke rumah,” sahut Park Bok Ja.
“Apa maksudmu dengan membawa wanita ke rumah, menyebut nama seorang wanita saja tidak pernah,” omel Nenek dengan gemas.
“Benarkah seperti itu?” lagi, Ja Eun mengutarakan keterkejutannya. (Gak usah kaget! Kamulah yang akan jadi cinta pertama, terakhir dan sekaligus satu-satunya cinta dalam hidup Tae Hee. Hanya sekarang dia masih belum nyadar, tunggu aja!)
“Itulah yang kukatakan. Kenapa menurutmu hingga aku sampai berpikir terlalu jauh kalau mungkin saja Tae Hee menyukai laki-laki?” ujar Nenek geregetan. (Nenek ngira Tae Hee hombreng hahaha ^_^ Tenang aja, Nenek. Tenang! Calon menantu kesayanganmu ada di depan mata tuh, ikutan ngegosip xixixi ^_^)
“Itu tidak mungkin, Ibu!” seru Park Bok Ja sambil tersenyum menggeleng.
“Tidak mungkin, kan?” ulang Nenek, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri.
“Tapi kenapa dengan wajahnya yang begitu tampan, dia masih belum memiliki pacar?” Nenek masih mengomel dengan kesal.
Di tengah percakapan, Ja Eun teringat dengan pengiriman, “Ah benar, sebelum pengirimannya tiba, aku harus pergi ke suatu tempat dan kembali lagi nanti,” Ja Eun bergumam pada dirinya sendiri namun Park Bok Ja mendengarnya.
“Pengiriman apa?” tanya Park Bok Ja penasaran.
Ja Eun menggeleng, “Tidak. Bukan apa-apa. Ahjumma, aku akan pergi sebentar membeli buku sketsa jadi pastikan Anda menungguku untuk memulai pekerjaan yang lain ya?” ujar Ja Eun seraya mulai bangkit berdiri.
Ja Eun segera berlari pergi, namun kemudian dia kembali lagi, “Halmoni, haruskah gadis nakal ini membelikanmu roti kacang manis? Anda menyukainya, bukan? Karena aku tidak punya banyak uang, jadi aku akan membelikanmu 2 saja. Tidak apa-apa, kan?” seru Ja Eun sebelum berlari ke tendanya untuk mengambil tas dan melangkah pergi.
“Dari mana gadis nakal itu tahu kalau aku menyukai roti kacang manis?” tanya Nenek dengan heran.
Park Bok Ja tersenyum mendengarnya, “Semakin kita melihatnya, semakin kita akan menyadari kalau gadis itu sangat menyenangkan. Sikapnya sangat menggemaskan dan wajahnya juga sangat cantik. Kupikir dia akan menyerah hanya dalam beberapa hari, tapi dia mampu bertahan hingga sekarang, setiap hari dia bekerja keras, dia juga sangat mengkhawatirkan bebek-bebek itu lebih dari dirku. Walaupun dia tumbuh tanpa kasih sayang dan didikan seorang Ibu, namun Presdir Baek telah membesarkannya dengan sangat baik hingga dia bisa tumbuh menjadi gadis yang manis dan sopan,” puji Park Bok Ja, pertama kalinya memuji Ja Eun secara terang-terangan tanpa merasa gengsi atau malu.
Nenek yang mendengarnya hanya menatapnya dengan aneh, “Kenapa Ibu menatapku seperti itu?” tanya Park Bok Ja bingung.
“Jika kau terus seperti ini, bisa-bisa kau akan menyuruh gadis itu pindah ke loteng,” ujar Nenek, sarkasme.
“Aku juga sedang memikirkan hal itu, Ibu. Cuaca sudah mulai dingin dan aku tidak mungkin membiarkan seorang gadis tetap tinggal di halaman di tengah cuaca yang dingin,” sahut Park Bok Ja akhirnya sementara Nenek hanya tersenyum mengerti.
Setelah membeli peralatan gambar dan sketsa, Ja Eun mampir
di toko roti untuk membelikan nenek roti seperti yang dia janjikan sebelumnya.
Namun saat berada di kasir, dia melihat Tae Hee sudah lebih dulu berada di
sana, menunggu untuk menerima struknya.
“Ahjussi,” panggil Ja Eun ceria. Tae Hee menoleh dan melihat ke arah nampan milik Ja Eun, seolah ingin melihat apa yang dibelinya.
“Aku membeli roti untuk Nenek, kalau kau?” tanya Ja Eun menjawab pertanyaan Tae Hee yang tidak diucapkannya.
“Aku juga. Aku juga datang untuk membeli ini,” sahut Tae Hee, menunjuk ke arah nampan Ja Eun.
(Emang dasar jodoh, ke mana aja pasti akan bertemu. Sehati banget nih mereka berdua, yang satu beli roti, yang lainnya juga, mana toko rotinya cuma satu pula hahaha ^^ Seoul begitu luas, herannya kedua pemeran utama selalu bertemu secara tak terduga di tempat dan waktu yang sama. Yah, namanya aja jodoh xixixi ^^)
“Ahhhhh...” Sahut Ja Eun singkat seraya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
Tae Hee melirik Ja Eun sekilas dan menawarkan kopi untuknya, “Haruskah aku membelikanmu kopi?” tanyanya malu-malu.
(Yyyeeeyyy! Mulai ada peningkatan dari Hwang Tae Hee. Sebelumnya kalau Ja Eun minta, gak digubris sama Tae Hee. Walau akhirnya dibelikan pun, harus pake ancaman dulu, lalu yang kedua kalinya sebagai tanda permintaan maaf karena membentak Ja Eun yang tidak bersalah. Tapi sekarang, gak ada angin, gak ada hujan, Tae Hee menawarkan segelas kopi? Berarti ini adalah gilirannya, membelikan kopi sebagai “bentuk perhatian” dan pengganti ucapan “aku menyukaimu” xixixi ^^ Kopi kan symbol cinta Tae Hee dan Ja Eun, dan kopi bagi mereka memiliki banyak arti yang berbeda-beda tergantung situasi (^_^)
“Aku bukan pengemis yang akan meminta kopi tanpa alasan. Cukup pinjamkan aku 3800 won. Karena uangku hanya cukup untuk membeli roti ini sekarang. Aku akan membayarmu nanti, jadi tolong pinjamkan padaku,” ujar Ja Eun, menolak karena gengsi.
Tae Hee segera mengeluarkan uangnya dan meletakkannya di meja kasir di depan Ja Eun tanpa banyak bicara. (Emang niatnya kan dibeli’in jadi ya otomatis langsung dikeluarin aja duitnya tanpa banyak kata).
“Keluarlah setelah membayar. Aku akan menunggumu di mobil,” ujar Tae Hee setelah dia mendapatkan belanjaannya.
(Ehem, Tae Hee uda mulai nyaman sama Ja Eun kayaknya. Uda nawarin beli’in kopi, sekarang nawarin nganterin pulang pula, naik mobilnya. Ini kedua kalinya Tae Hee mengajak Ja Eun naik ke dalam mobilnya ^^ Mulai pdkt nih babang polisi xixixi ^^)
Ja Eun mengambil uang itu dan memprotesnya karena terlalu banyak, “Tapi aku hanya butuh 3800 won,” ujar Ja Eun, menghentikan langkah Tae Hee yang akan keluar pintu.
Di pertanian, tampak Ja Eun, Park Bok Ja dan Nenek sedang menjemur cabai merah. Nenek bertanya pada Park Bok Ja, kapan pacar Tae Shik akan datang? Dan Park Bok Ja menjawab “Minggu ini,”
Nenek berkata kalau dia berharap kali ini akan berhasil. Park Bok Ja menghiburnya dengan berkata kalau kalau ini pasti berhasil karena Tae Shik dan Ye Jin saling menyukai, mereka bahkan sudah bertemu dengannya di pesta pernikahan Tae Bum.
(Mereka gak tahu aja kalau Ye Jin punya hutang 30 juta won dan dia ingin menikah dengan Tae Shik karena berpikir dengan menjadi istri Tae Shik, dia bisa menjual pertanian itu untuk membayar hutangnya. Ye Jin tidak tahu kalau pertanian itu bahkan bukan milik keluarga Hwang dan keluarga Hwang hanya mengontrak)
“Lalu bagaimana dengan Tae Hee? Apa sudah ada kabar?” tanya Nenek akhirnya.
“Sejak dia dilahirkan ke dunia hingga 30 tahun berlalu, masih belum ada kabar apa pun, Ibu.” Sahut Park Bok Ja dengan menyesal.
Ja Eun yang mendengarnya, menjadi penasaran dan bertanya, “Tentang apa, Ahjumma?”
“Kenapa gadis nakal ini selalu saja ingin tahu urusan orang?” omel Nenek, sementara Ja Eun hanya mengerucutkan bibirnya cemberut.
“Itu karena dia masih muda, Ibu. Anak muda umumnya sangat penasaran dengan segala hal,” ujar Park Bok Ja sambil tersenyum lucu, membela Ja Eun terang-terangan di depan Nenek.
“Kami tidak pernah mendengar Tae Hee mengatakan kalau dia punya pacar. Tidak sekalipun,” ujar Park Bok Ja, menjelaskan kepada Ja Eun tentang pembicaraan mereka.
“Benarkah?” tanya Ja Eun tampak terkejut.
“Itu benar. Tae Hee tak pernah membawa seorang wanita pun ke rumah,” sahut Park Bok Ja.
“Apa maksudmu dengan membawa wanita ke rumah, menyebut nama seorang wanita saja tidak pernah,” omel Nenek dengan gemas.
“Benarkah seperti itu?” lagi, Ja Eun mengutarakan keterkejutannya. (Gak usah kaget! Kamulah yang akan jadi cinta pertama, terakhir dan sekaligus satu-satunya cinta dalam hidup Tae Hee. Hanya sekarang dia masih belum nyadar, tunggu aja!)
“Itulah yang kukatakan. Kenapa menurutmu hingga aku sampai berpikir terlalu jauh kalau mungkin saja Tae Hee menyukai laki-laki?” ujar Nenek geregetan. (Nenek ngira Tae Hee hombreng hahaha ^_^ Tenang aja, Nenek. Tenang! Calon menantu kesayanganmu ada di depan mata tuh, ikutan ngegosip xixixi ^_^)
“Itu tidak mungkin, Ibu!” seru Park Bok Ja sambil tersenyum menggeleng.
“Tidak mungkin, kan?” ulang Nenek, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri.
“Tapi kenapa dengan wajahnya yang begitu tampan, dia masih belum memiliki pacar?” Nenek masih mengomel dengan kesal.
Di tengah percakapan, Ja Eun teringat dengan pengiriman, “Ah benar, sebelum pengirimannya tiba, aku harus pergi ke suatu tempat dan kembali lagi nanti,” Ja Eun bergumam pada dirinya sendiri namun Park Bok Ja mendengarnya.
“Pengiriman apa?” tanya Park Bok Ja penasaran.
Ja Eun menggeleng, “Tidak. Bukan apa-apa. Ahjumma, aku akan pergi sebentar membeli buku sketsa jadi pastikan Anda menungguku untuk memulai pekerjaan yang lain ya?” ujar Ja Eun seraya mulai bangkit berdiri.
Ja Eun segera berlari pergi, namun kemudian dia kembali lagi, “Halmoni, haruskah gadis nakal ini membelikanmu roti kacang manis? Anda menyukainya, bukan? Karena aku tidak punya banyak uang, jadi aku akan membelikanmu 2 saja. Tidak apa-apa, kan?” seru Ja Eun sebelum berlari ke tendanya untuk mengambil tas dan melangkah pergi.
“Dari mana gadis nakal itu tahu kalau aku menyukai roti kacang manis?” tanya Nenek dengan heran.
Park Bok Ja tersenyum mendengarnya, “Semakin kita melihatnya, semakin kita akan menyadari kalau gadis itu sangat menyenangkan. Sikapnya sangat menggemaskan dan wajahnya juga sangat cantik. Kupikir dia akan menyerah hanya dalam beberapa hari, tapi dia mampu bertahan hingga sekarang, setiap hari dia bekerja keras, dia juga sangat mengkhawatirkan bebek-bebek itu lebih dari dirku. Walaupun dia tumbuh tanpa kasih sayang dan didikan seorang Ibu, namun Presdir Baek telah membesarkannya dengan sangat baik hingga dia bisa tumbuh menjadi gadis yang manis dan sopan,” puji Park Bok Ja, pertama kalinya memuji Ja Eun secara terang-terangan tanpa merasa gengsi atau malu.
Nenek yang mendengarnya hanya menatapnya dengan aneh, “Kenapa Ibu menatapku seperti itu?” tanya Park Bok Ja bingung.
“Jika kau terus seperti ini, bisa-bisa kau akan menyuruh gadis itu pindah ke loteng,” ujar Nenek, sarkasme.
“Aku juga sedang memikirkan hal itu, Ibu. Cuaca sudah mulai dingin dan aku tidak mungkin membiarkan seorang gadis tetap tinggal di halaman di tengah cuaca yang dingin,” sahut Park Bok Ja akhirnya sementara Nenek hanya tersenyum mengerti.
“Ahjussi,” panggil Ja Eun ceria. Tae Hee menoleh dan melihat ke arah nampan milik Ja Eun, seolah ingin melihat apa yang dibelinya.
“Aku membeli roti untuk Nenek, kalau kau?” tanya Ja Eun menjawab pertanyaan Tae Hee yang tidak diucapkannya.
“Aku juga. Aku juga datang untuk membeli ini,” sahut Tae Hee, menunjuk ke arah nampan Ja Eun.
(Emang dasar jodoh, ke mana aja pasti akan bertemu. Sehati banget nih mereka berdua, yang satu beli roti, yang lainnya juga, mana toko rotinya cuma satu pula hahaha ^^ Seoul begitu luas, herannya kedua pemeran utama selalu bertemu secara tak terduga di tempat dan waktu yang sama. Yah, namanya aja jodoh xixixi ^^)
“Ahhhhh...” Sahut Ja Eun singkat seraya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
Tae Hee melirik Ja Eun sekilas dan menawarkan kopi untuknya, “Haruskah aku membelikanmu kopi?” tanyanya malu-malu.
(Yyyeeeyyy! Mulai ada peningkatan dari Hwang Tae Hee. Sebelumnya kalau Ja Eun minta, gak digubris sama Tae Hee. Walau akhirnya dibelikan pun, harus pake ancaman dulu, lalu yang kedua kalinya sebagai tanda permintaan maaf karena membentak Ja Eun yang tidak bersalah. Tapi sekarang, gak ada angin, gak ada hujan, Tae Hee menawarkan segelas kopi? Berarti ini adalah gilirannya, membelikan kopi sebagai “bentuk perhatian” dan pengganti ucapan “aku menyukaimu” xixixi ^^ Kopi kan symbol cinta Tae Hee dan Ja Eun, dan kopi bagi mereka memiliki banyak arti yang berbeda-beda tergantung situasi (^_^)
“Aku bukan pengemis yang akan meminta kopi tanpa alasan. Cukup pinjamkan aku 3800 won. Karena uangku hanya cukup untuk membeli roti ini sekarang. Aku akan membayarmu nanti, jadi tolong pinjamkan padaku,” ujar Ja Eun, menolak karena gengsi.
Tae Hee segera mengeluarkan uangnya dan meletakkannya di meja kasir di depan Ja Eun tanpa banyak bicara. (Emang niatnya kan dibeli’in jadi ya otomatis langsung dikeluarin aja duitnya tanpa banyak kata).
“Keluarlah setelah membayar. Aku akan menunggumu di mobil,” ujar Tae Hee setelah dia mendapatkan belanjaannya.
(Ehem, Tae Hee uda mulai nyaman sama Ja Eun kayaknya. Uda nawarin beli’in kopi, sekarang nawarin nganterin pulang pula, naik mobilnya. Ini kedua kalinya Tae Hee mengajak Ja Eun naik ke dalam mobilnya ^^ Mulai pdkt nih babang polisi xixixi ^^)
Ja Eun mengambil uang itu dan memprotesnya karena terlalu banyak, “Tapi aku hanya butuh 3800 won,” ujar Ja Eun, menghentikan langkah Tae Hee yang akan keluar pintu.
“Siapa bilang kau boleh menyimpan kembaliannya? Berikan
padaku,” jawab Tae Hee dengan santai.
Ja Eun hanya menatapnya sambil cemberut namun tersenyum
melihat uang itu.
Di luar toko, Tae Hee yang sedang menunggu Ja Eun di mobilnya, kembali melihat buku besar transaksi narkoba tersebut sekali lagi, sebelum akhirnya menyimpannya kembali saat Ja Eun berjalan masuk ke dalam mobil.
Ja Eun kemudian menolehkan wajahnya ke arah Tae Hee dan menatapnya dengan penuh keseriusan, “Apa mungkin, kau juga menyukai pria?” tanya Ja Eun dengan tatapan mata yang polos namun mengandung keseriusan dan ekspresinya menunjukkan kecurigaan, curiga jika Tae Hee memang ‘belok’ seperti kecurigaan sang Nenek.
Tae Hee yang kaget, hanya bisa memandangnya bingung tanpa bisa berkata-kata dan hanya menjawab, “MWO (Apa)?”
Ja Eun kemudian meletakkan kopinya dan meneruskan analisanya yang absurd, “Aku orang yang berpikiran terbuka dan pasti akan menjaga rahasiamu, jadi kau tak perlu cemas. Kau bisa mengatakan semuanya yang ada dalam hatimu padaku. Apa mungkin, kau juga menyukai pria?” dengan wajah polos yang sok tahu, Ja Eun bertanya tanpa dosa.
Tae Hee hanya bisa menarik napas dengan sabar dan berkata pelan, “Pasang sabuk pengamanmu.”
Tapi bukannya memasang sabuk pengamannya, Ja Eun terus bertanya dengan nada sok tahu dan penasaran.
“Tunggu sebentar. Ibumu dan Nenekmu sangat khawatir jika seandainya kau punya selera yang berbeda dari saudaramu yang lain (homo maksudnya). Kudengar kau tak pernah pacaran sampai sekarang. Kau sungguh tak punya pacar atau sebenarnya kau punya hanya saja tidak memberitahukan siapa pun di rumah?” tanya Ja Eun dengan tatapan polos namun sangat serius saat mengatakannya.
Tae Hee hanya menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk bersabar. (Tae Hee’s inner mind : “Duh, calon pacar gue kok setengah gila gini, ya? Untung cinta, kalau gak, uda gue lempar ke segitiga bermuda.”)
“Jika kau punya pacar tapi tak mau mengatakannya, maka sebaiknya kau memberitahu mereka sekarang. Tapi jika benar kau tak pernah pacaran, kupikir sebaiknya kau mulai menanyakan seleramu. Pertama, jika kau melihat gadis cantik sepertiku tapi kau tak merasakan apa pun, itu berarti masalahmu sangat serius, Ahjussi,” lanjut Ja Eun, masih dengan nada sok tahu dan serius.
Tae Hee hanya menatapnya dengan pandangan kosong dan dengan ekspresi tak habis pikir. Saat melihat Tae Hee tak memberikan reaksi apa pun, Ja Eun kembali melanjutkan pertanyaannya absurdnya, “Benarkan? Kau tak merasakan apa pun saat melihat gadis cantik sepertiku?” tanya Ja Eun sekali lagi.
Lagi-lagi Tae Hee hanya menatapnya bingung seraya mengedipkan matanya berkali-kali dan menarik napas pasrah.
“Kau tak merasakan apa pun, kan? Ini benar-benar serius,” lanjut Ja Eun dengan ekspresi shock.
Tapi kali ini tanpa banyak kata, Tae Hee langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Ja En seolah-olah ingin menciumnya. Ja Eun yang kaget setengah mati dengan reaksi Tae Hee, spontan bergerak mundur karena takut seraya memegangi dadanya.
Setelah saling memandang dalam jarak yang sangat dekat selama beberapa saat, Tae Hee akhirnya berkata dengan pelan dan dalam, “Jangan bercanda lagi,” lalu segera kembali ke posisinya semula.
Ja Eun yang kaget hanya mampu memegangi jantungnya yang berdebar kencang tanpa bisa memberikan reaksi apa pun, selain menjawab dengan gugup, “Ya.” (Kena mental kali ini Baek Ja Eun hahaha ^^)
Setelah memperingatkan Ja Eun, Tae Hee kembali ke tempat duduknya dan memasang sabuk pengamannya. Dia memandang ke arah Ja Eun yang masih tetap pada posisinya semula dan tampak masih shock dengan apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
“Apa yang kau lakukan? Cepat pasang sabuk pengamanmu,” ujar Tae Hee dengan datar.
(Sepertinya hanya Ja Eun yang terpengaruh dengan kejadian ini, tapi aku yakin jauh dalam lubuk hatinya, Tae Hee sebenarnya juga merasakan debaran yang sama. Hanya saja, kita semua tahu kalau Tae Hee adalah karakter yang sangat pandai menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, dia sangat pandai berpura-pura tidak ada apa-apa. Dia sendiri yang mengakui ini di episode berikutnya. He is lacking of expressing his feeling. Jadi walaupun dia terlihat gak terpengaruh, aku yakin hati kecilnya juga berdebar tak tenang)
Di pertanian, mesin pencuci piring yang dipesan Ja Eun akhirnya tiba di rumah. Hwang Chang Sik segera membawanya masuk dan memasangnya di dapur untuk diuji coba.
Nenek tampak kagum melihat bagaimana dunia menjadi serba canggih sekarang, tak hanya mesin pencuci baju, kini mesin pencuci piring pun juga ada.
“Ini fungsinya sama seperti mesin cuci mencuci baju, bukan?” tanya Nenek dengan kagum.
“Benar, Halmoni. Nenek kami sangat pintar karena mengerti dengan cepat,” puji Hwang Tae Phil pada neneknya.
Hwang Chang Sik menyuruh sang istri untuk mencoba mesinnya namun Park Bok Ja yang masih gengsi, pura-pura tak suka.
“Kenapa barang ini harus diterima? Siapa yang akan menyukainya?” sangkal Park Bok Ja untuk menutupi perasaannya.
“Bagaimana kita bisa mengembalikan barang yang sudah dikirim?” sahut Hwang Chang Sik, masuk akal.
Kemudian Hwang Chang Sik berkata bahwa dia harus pergi ke suatu tempat bersama Nenek dan Tae Phil akan mengantar mereka.
Sebelum pergi, Nenek berkata dengan nada iri pada Park Bok Ja, “Kau sangat beruntung. Tak cukup memiliki suami dan anak-anak yang baik, sekarang bahkan ada seorang gadis yang tiba-tiba saja muncul dalam hidupmu dan melakukan banyak hal untuk menyenangkan hatimu. Aku sangat iri padamu,” ujar Nenek, membuat rasa bersalah dalam hati Park Bok Ja semakin bertumpuk.
Setelah mereka semua pergi, Park Bok Ja tampak mencoba mesin pencuci piring tersebut seolah menemukan mainan baru. Dia juga mengelap mesin tersebut walaupun mesin tersebut sudah sangat bersih.
Saat itulah, tiba-tiba saja Ja Eun masuk dan mengejutkannya, “Ah, akhirnya datang juga. Ahjumma, apa Anda menyukai hadiahku?” tanya Ja Eun dengan tersenyum ceria.
“Siapa yang menyukainya jika kau melakukan ini?” tegur Park Bok Ja dengan pura-pura galak, menahan air matanya agar tidak terjatuh.
“Berapa banyak uang yang kau miliki untuk membeli sesuatu yang mahal seperti ini? Setelah bekerja keras selama ini, apa kau masih belum sadar juga? Apa kau sedang dalam posisi untuk menghabiskan uang sebanyak yang kau mau?” omel Park Bok Ja, memarahi Ja Eun karena menghamburkan uangnya yang memang sangat sedikit.
“Ini bukan barang sembarangan, ini adalah hadiah untuk Anda. Aku membelinya dengan tulus dan Ikhlas, karena melihat Anda melakukan pekerjaan yang sangat banyak. Aku ingin setidaknya membantu untuk meringankan pekerjaan Anda dalam mencuci piring,” sahut Ja Eun dengan cemberut dan sedih, takut Park Bok Ja tidak menyukai hadiahnya.
“Siapa yang menyuruhmu untuk mencemaskan hal itu?” seru Park Bok Ja, masih mengomeli Ja Eun.
“Dari apa yang kulihat, pekerjaan yang Anda lakukan terlalu banyak. Anda memasak, mencuci baju, mencuci piring, membersihkan rumah, bekerja di pertanian, merawat bebek dan Anda melakukan semua itu sendiri tanpa ada anggota keluarga lain yang membantu Anda. Chang Sik Ahjussi memang membantu di pertanian, tapi Anda juga melakukan semua pekerjaan di rumah ini. Ini sangat tidak adil dan aku merasa sedih untuk Anda, jadi setidaknya aku ingin sedikit membantu meringannya,” ujar Ja Eun dengan tulus dan penuh perhatian.
Park Bok Ja tampak tersentuh mendengarnya, air matanya kini benar-benar hampir jatuh karena perhatian dan kasih sayang Ja Eun padanya.
“Ahjumma, benarkah Anda tidak menyukainya?” tanya Ja Eun, dengan ekspresi kecewa.
“Bagaimana bisa hatimu begitu lemah? Bagaimana kau akan bertahan hidup di tengah kerasnya dunia di luar sana? Kau sendirian sekarang, kau harus kuat dan tangguh. Hingga akhir, kau harus tetap membenciku dan memusuhiku,” seru Park Bok Ja menutupi perasaannya yang hampir hancur karena melihat kebaikan hati Ja Eun. Ja Eun sangat tulus dan baik padanya, tapi dia justru mencuri kontrak gadis itu.
Ja Eun hanya tersenyum canggung dan menjawab, “Aku tidak mau melakukannya,” ujar Ja Eun dengan mengerucutkan bibirnya dan tersenyum canggung. (Ja Eun gak mau membenci dan memusuhi Park Bok Ja maksudnya)
“Jangan tersenyum! Kau lebih baik tidak melakukan hal-hal seperti ini lagi atau aku tidak akan membiarkanmu begitu saja,” ancam Park Bok Ja kemudian berjalan meninggalkan dapur dan menuju ke kamarnya.
Setelah sampai di kamar, Park Bok Ja mengeluarkan surat kontrak yang dia curi dari Ja Eun dari dalam tumpukan baju. Dia memeluk amplop coklat yang berisi surat kontrak itu sambil berguling-guling di lantai kamar dan menangis keras, menyesali perbuatannya.
“Apa yang harus kulakukan? Ibu, apa yang harus kulakukan sekarang?” seru Park Bok Ja, memanggil mendiang ibunya seraya berguling-guling di lantai dan memeluk surat kontrak Ja Eun.
Saat itulah secara tak sengaja, Tae Phil membuka pintu kamar itu dan terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ibunya, ibu yang selalu dibela dan dibanggakannya, ternyata tak lebih dari seorang pencuri. Sementara Ja Eun, yang sama sekali tidak bersalah, harus menanggung semua penderitaan ini.
Blogger Opinion :
Nah, kan? Nah, kan? Feel guilty juga kan kamu, Hwang Tae Phil? Setelah kamu segitu jahatnya sama Ja Eun, sejak awal memusuhi, sekarang melihat dengan mata kepala sendiri kalau Ja Eun tidak bersalah, sebaliknya, Ibu yang kau banggakan, tak lebih dari seorang pencuri yang tak cukup mencuri kontrak, dia juga dengan kejam menendang Ja Eun keluar dari rumahnya sendiri, lalu membuatnya tidur di tenda dan menderita. How do you feel, Hwang Tae Phil? Feeling guilty now?
Bersambung…
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/616 + https://gswww.tistory.com/617)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar