Senin, 03 Juni 2024

Sinopsis EP 10 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight of today episode :
Hwang Tae Hee yang memarahi Baek Ja Eun di kantor polisi karena sikapnya yang di luar kendali, tak pernah menyangka jika kalimat yang dia ucapkan ternyata mampu membuka pikiran Baek Ja Eun dan membuatnya kembali ke akal sehatnya lagi. Tak hanya marah-marah dan melampiaskan pada lingkungan sekitarnya, melainkan bangkit dan mencari solusi untuk masalahnya. Baek Ja Eun memang menderita, tapi daripada meratapi penderitaan itu dan menyalahkan takdir, bukankah lebih baik mencoba bangkit dan hidup dengan baik?


Maksud Tae Hee adalah jika Ja Eun ingin mendapatkan kembali pertaniannya maka dia harus main cantik, jangan memakai kekerasan melainkan pakailah kelembutan, yaitu dengan mengambil hati sang Ibu, Park Bok Ja.


Tapi, tapi, tapi, Hwang Tae Hee yang menyuruh Ja Eun untuk menikahi pria kaya, apakah itu serius, Tae Hee? Apa kau tidak akan menyesal di kemudian hari? Yakin nih kamu mau Baek Ja Eun menikahi pria kaya, dan bukan dirimu? Hahaha ^_^ Let’s see aja ya di beberapa episode ke depan, bisakah kamu berkata seperti itu di saat kamu sadar sudah jatuh cinta? Yang ada kamu malah mengikuti Baek Ja Eun ke mana-mana karena takut ayangmu direbut orang, kebakaran jenggot, cemburu brutal dan kamu akan menghajar siapapun yang mendekati Baek Ja Eun ckckck… Sekarang aja sok galak >_<

------00000------

Episode 10 :
Bisa dibilang ini adalah episode “terakhir” penderitaan Baek Ja Eun. Yah walaupun di beberapa episode ke depan, Park Bok Ja masih bersikap jahat padanya, tapi setidaknya Hwang Tae Hee dan Hwang Tae Bum sudah tidak menunjukkan sikap bermusuhan dan mencoba menerima Baek Ja Eun tinggal bersama mereka dengan hati terbuka. Jika di episode awal, Hwang Tae Hee masih tampak memusuhi Baek Ja Eun, mulai episode 11 tidak lagi. Episode 10 adalah episode terakhir di mana Hwang Tae Hee menunjukkan sikap bermusuhan.

Setidaknya setelah mendapat dukungan dari Paman Hwang Chang Sik, si sulung Hwang Tae Shik, serta Hwang Tae Bum dan Hwang Tae Hee, halangan terbesar Ja Eun hanyalah Park Bok Ja dan Hwang Tae Phil saja. Pihak yang melawan Ja Eun sudah berkurang dan yang lebih penting adalah pemeran utama kita, Hwang Tae Hee sudah menunjukkan sikap bersahabat. Tae Hee tak lagi bersikap kasar, it’s the most important, right? We want the romance to begin...

Kembali ke beberapa saat sebelumnya, Ja Eun yang mabuk berat diam-diam datang ke sana di malam hari, lalu melepaskan semua bebek di dalam kandang saat semua penghuni sedang tidur. Dia juga merusak tanaman-tanaman, mencoret-coret semua dinding dan property, termasuk truk keluarga Hwang dan menuliskan “kami adalah keluarga perampok” di sana.

Mereka semua tampak kebingungan saat melihat keadaan pertanian yang bagaikan terkena badai besar. Saat semua orang sedang berada di luar rumah untuk memeriksa kerusakan apa lagi yang telah terjadi, Baek Ja Eun masuk ke dalam rumah dan tertidur di sana.

Park Bok Ja berteriak marah dan berkata akan melaporkan ke polisi siapa pun yang berani melakukan ini pada pertaniannya, saat itulah Nenek yang kembali masuk ke dalam rumah dan menemukan Baek Ja Eun yang mabuk sedang tertidur di ruang tamu dengan masih memakai sepatunya.


Park Bok Ja yang marah segera mengambil seember air dan menyiramkan air itu ke wajah Ja Eun untuk membangunkan gadis itu.

Nenek marah dan menyuruh Ja Eun cepat pergi dari sana, namun Ja Eun justru berkata dengan berani, menggunakan banmal (bahasa santai) kepada Nenek, “Aku tidak mau! Kenapa aku harus pergi? Ini adalah rumahku! Kalianlah yang harus pergi dari sini!” serunya dengan berani.

“Bangun sekarang juga! Jika kau marah padaku, maka lampiaskan padaku! Bunuh aku! Jangan melampiaskan pada pertanian ini, pada bebek-bebek dan pohon-pohon yang tidak bersalah!”
seru Park Bok Ja marah.

(Wah, lucu banget nih Ahjumma satu. Dia sayang banget sama bebek dan pohon tapi gak punya rasa kemanusiaan kepada seorang gadis muda yang gak punya uang dan rumah? Jadi di mata nih Ahjumma, seorang manusia bahkan lebih rendah daripada seekor bebek dan pohon yang gak bahkan gak punya perasaan? Hwang Tae Hee yang bakal kena getah karena ulahmu, Ahjumma! Dia yang nantinya bakal menderita karena ditinggalin dan ditolak Ja Eun 2 kali karena imbas dari ulahmu!)

“Apa yang kau rasakan saat melihatku di depan kantor polisi saat itu? Aku sangat penasaran. Apa kau sangat senang karena melihatku dihancurkan oleh putramu?”
sindir Baek Ja Eun dengan kemarahan yang sama.

Hwang Tae Bum telah menghancurkan reputasi dan nama baiknya, tentu Baek Ja Eun berhak marah, bukan? Hwang Tae Bum benar-benar pengacau!

“Bangun dan bersihkan semua kekacauan yang telah kau sebabkan!”
perintah Park Bok Ja dengan dingin seraya menarik lengan Baek Ja Eun dengan kasar namun gadis itu menyentaknya.

“Aku tidak mau! Ini rumahku! Aku berhak melakukan apa pun yang aku mau! Kembalikan pertanianku! Ini milikku! Kalian telah mencurinya dariku! Kalian keluarga perampok!”
seru Baek Ja Eun yang masih berada di bawah kendali alkohol.

Tae Phil menyuruh Baek Ja Eun pergi, namun Ja Eun berkata lantang
, “Pergi ke mana? Ini pertanianku jadi ke mana aku harus pergi? Aku tidak punya tempat untuk pergi. Rumahku telah disita bank, dan sekarang karena tuduhan penyuapan rektor, aku juga tak bisa pergi ke kampus. Aku tak bisa pergi ke mana-mana. Ke mana aku harus pergi? Aku tak punya tempat untuk pergi? Jika kalian tidak mau melihatku, kalianlah yang harus pergi!” seru Ja Eun dengan berani, walaupun dia hampir menangis saat mengatakannya.

Poor Baek Ja Eun T_T She have no place to go.

“Panggil polisi!”
seru Park Bok Ja dengan penuh emosi.
“Eomma!” Seru Hwang Tae Shik dan Hwang Tae Phil bersamaan, mencoba melarang ibu mereka untuk memanggil polisi, namun Sang Nenek mendukung Ibu mereka untuk memanggil polisi.

“Baik, panggil polisi sekarang! Tapi jangan panggil putramu yang polisi, The Gangster Cop, panggil polisi yang lain! Aku ingin sekalian melaporkan perbuatan kalian yang telah mencuri pertanianku! Panggil sekarang juga!”
tantang Ja Eun tak peduli.

Sepertinya Baek Ja Eun sudah lelah karena mentalnya dihajar habis-habisan. Jadi dia seperti orang yang putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. Jalan buntu. Mungkin itu yang Ja Eun rasakan sekarang.

Tak lama kemudian, polisi benar-benar datang untuk menangkap Ja Eun. Saat proses penangkapan itu, semua tetangga mereka berkumpul untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya.


Ja Eun yang dipenuhi kemarahan berteriak lantang, “Keluarga Hwang mencuri pertanian ini dariku! Pertanian ini adalah milik ayahku yang dipinjamkan pada mereka selama 10 tahun. Dan sekarang pertanian ini seharusnya menjadi milikku setelah ayahku menghilang. Tapi keluarga Hwang menolak mengembalikannya padaku jadi mereka mencuri kontrakku! Ini pertanianku! Aku tidak bersalah! Merekalah yang seharusnya pergi dari sini! Ini adalah rumahku! KELUARGA HWANG ADALAH PERAMPOK!” teriak Ja Eun panjang lebar hingga semua tetangga usilpun mendengarnya.

Nah, kan? Repot dah kalau tetangga uda denger. Bagus, Ja Eun! Berteriaklah agar semua orang tahu. Mulut tetangga kan pedes banget tuh. Biar Keluarga Hwang denger dan malu sendiri dijadikan bahan julid’an tetangga hahaha ^_^

Beberapa saat kemudian, Hwang Chang Sik yang baru saja pulang ke rumah (karena sebelumnya dia pergi ke luar kota untuk menjenguk temannya yang mengalami kecelakaan) tampak kaget saat melihat apa yang terjadi di rumah mereka. Tae Hee pun ternyata sudah dipanggil pulang oleh kakak pertamanya.

“Apa yang terjadi di sini? Apa Ja Eun datang kemari?”
tanya Hwang Chang Sik bingung pada Tae Hee dan Tae Phil.

Tae Phil lalu menceritakan semua yang terjadi pada ayah mereka, tentang bebek-bebek yang dilepas keluar kandang hingga banyak yang hilang, lalu pohon buah pir yang hancur berantakan, tanaman-tanaman yang dirusak serta vandalisme di mana Ja Eun mencoret-coret semua dinding dan truk dengan tulisan,
“Keluarga Hwang adalah perampok!” dan termasuk kekacauan di dalam rumah.

Sekarang Ibu mereka membersihkan kandang bebek dan pertanian dengan Tae Shik sedangkan Nenek membersihkan ruang tamu.

“Jadi Ja Eun masuk ke dalam rumah juga?”
tanya Hwang Chang Sik pada Tae Phil, sementara Tae Hee hanya diam mendengarkan karena dia juga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.

“Dia bahkan masuk ke dalam rumah dengan sepatu yang kotor dan tidur di ruang tamu,”
jawab Tae Phil menjelaskan kejadiannya.

“Di mana Ja Eun sekarang? Apa masih tidur di ruang tamu?”
tanya Hwang Chang Sik khawatir.
“Tidak. Polisi sudah menangkapnya dan membawanya pergi,” sahut Tae Phil.

Di kantor polisi, Ja Eun yang masih mabuk sempat membuat kekacauan kecil. Setelah meminta polisi untuk mengambilkan minuman untuknya, Ja Eun sempat bersikap baik, namun setelah para polisi itu memintanya menelpon wali atau orang tuanya untuk menjemputnya, Ja Eun yang awalnya manis berubah menjadi tak terkendali.

Hal ini karena saat si polisi menelpon ibu tiri Ja Eun dan sang ibu tiri menolak mengakui Ja Eun dan mengatakan bahwa mereka telah menelpon nomor yang salah. Karena Ja Eun tak mau menelpon siapapun, akhirnya para polisi itu mengambil ponselnya dan mencari seseorang untuk dihubungi, hingga akhirnya mereka menemukan kontak seseorang yang diberi nama
“Ibu” di sana.

“Halo, apa ini adalah Ibu Baek Ja Eun-ssi?”
tanya si polisi, yang tentu saja langsung disangkal oleh sang ibu tiri yang kejam.

“Aku tidak kenal nama itu!” sahut si ibu tiri yang saat itu sedang menjalani perawatan kulit di sebuah salon kecantikan.

“Tapi di ponsel Baek Ja Eun-ssi tertulis nama ‘Eomma’. Bukankah Anda adalah ibunya?”
tanya si polisi yang tidak tahu apa-apa. Karena ibu tiri Ja Eun terus menyangkal, polisi itu akhirnya menyerahkan ponsel Ja Eun kembali padanya.

“Baek Ja Eun-ssi, lebih baik Anda saja yang bicara sendiri,”
ujar polisi itu.

Ja Eun yang masih setengah sadar mengambil ponselnya dan bicara dalam Bahasa Inggris dan Jepang,
“Hallo, ini siapa?” tanyanya yang masih setengah sadar dan tidak melihat nama panggilan yang tertera di ponselnya.

“Bukankah kau bilang tidak ingin bertemu denganku lagi? Kenapa? Karena kau berada di kantor polisi hingga kini kau menyesal mengatakan itu? Jadi kau masih membutuhkan aku?”
ujar sang ibu tiri dengan sinis dengan nada menghina.

Ja Eun seketika tersadar siapa yang berada di seberang saluran sekarang dan balik berkata dingin, “
Bukan aku yang menelponmu!” sahut Baek Ja Eun, tak kalah dingin.

“Baguslah kalau begitu. Aku tidak tahu kenapa kau berakhir di kantor polisi. Tapi karena aku tidak mau bertemu denganmu lagi, jadi selesaikan sendiri masalahmu. Jangan pernah menelponku lagi! Kau dan ayahmu sama-sama tidak berguna!”
ujar ibu tiri Ja Eun dengan kejam.

“Jangan pernah berani membicarakan ayahku seperti itu! Apa hakmu bicara seperti itu tentang ayahku?”
ujar Ja Eun penuh emosi.

“Aku juga tidak ingin bicara tentang ayahmu. Jangan menelponku lagi! Aku lelah harus selalu mematikan ponselku agar kau tidak bisa menghubungiku! Itu menyebalkan! Kututup telponnya!”
seru Ibu tiri Ja Eun tanpa perasaan.

“Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah menelponmu lagi! Walau sampai aku mati, aku tidak akan pernah memaafkanmu!”
seru Ja Eun dengan penuh emosi.


Kemudian untuk melampiaskan kekesalannya, dia menjatuhkan dispenser yang ada di samping sofa tempatnya duduk saat ini dan juga melempar semua gelas yang ada di depannya, tak hanya itu, dia juga melempar vas bunga ke kaki para polisi itu, kemudian jatuh pingsan.

Di rumah, Hwang Chang Sik memarahi sang istri yang sudah keterlaluan.
“Bukankah kita sudah tahu bagaimana kondisinya dan apa saja yang sudah dia alami? Dia masih labil dan butuh pengarahan. Kenapa kau begitu kejam?” tegur Hwang Chang Sik pada Park Bok Ja.

“Apa kau tahu kalau gadis itu berteriak lantang dan meminta kita mengembalikan kontraknya, mengembalikan pertaniannya? Para tetangga mendengarnya dengan jelas. Jadi apa menurutmu aku harus diam saja dan melihat?”
ujar Park Bok Ja tak terima.

(Woi, mak lampir! Yang dikatakan Ja Eun adalah benar! Pertanian itu miliknya! Dan kau mencuri surat kontraknya! Sudah sepantasnya kalau dia meminta kalian mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya, kan? Nih Ahjumma satu gak sadar diri banget!)

“Tapi bagaimana bisa kau membiarkannya diseret oleh polisi seperti itu? Seperti seorang penjahat? Dia masih anak-anak, dia masih sangat muda,”
ujar Hwang Chang Sik sebelum berjalan keluar kamar dengan kesal.

Hwang Chang Sik segera menemui Tae Hee yang masih ada di luar rumah dan memintanya untuk mengantarnya ke kantor polisi tempat Ja Eun dibawa pergi.

“Tae Hee, kenapa kau tidak menghentikan dia dibawa pergi?”
tanya Hwang Chang Sik pada Tae Hee.
“Aku datang terlambat, Ayah. Saat aku datang, dia sudah dibawa pergi. Aku minta maaf,” jawab Tae Hee dengan menyesal.

“Kau sudah mencari tahu dia dibawa ke kantor polisi yang mana?”
tanya Hwang Chang Sik dan Tae Hee menjawab bahwa dia sudah menyelidikinya dan tahu ke mana mereka membawa Ja Eun. Lalu Hwang Chang Sik meminta Tae Hee untuk mengantarnya ke sana.

“Aku hampir gila. Bagaimana aku bisa melihat wajahnya sekarang? Aku lebih suka melihat Ja Eun datang bersama kontrak karena hatiku jadi lebih tenang. Saat itu aku hanya berharap kita bisa tinggal bersama dengan damai jadi dengan begitu kita bisa tetap bekerja di pertanian dan Ja Eun memiliki tempat berlindung,”
ujar Hwang Chang Sik menyesal.

Tae Hee memanfaatkan kesempatan ini untuk mengutarakan pendapatnya pada sang ayah, “Ayah, bagaimana menurut ayah jika kita mengembalikan pertanian ini padanya? Dia bilang dia tidak meminta semuanya, dia hanya meminta setengahnya. Hati Ayah selalu merasa tidak tenang, begitu juga denganku,” ujar Tae Hee, yang mulai merasa bersalah pada Ja Eun.

“Ya, Ayah juga memikirkan hal itu. Tapi karena kontraknya sudah menghilang, sepertinya akan sulit untuk membujuk Ibumu. Bagiku, Ja Eun adalah Putri In Ho, putri sahabatku, jadi ini membuatku merasa tidak nyaman. Tapi bagi Ibumu, dia adalah orang asing. Ibumu takkan pernah mau menyerahkan pertanian ini. Bahkan walau mendiang ibunya bangkit kembali dari kematian,” jawab Hwang Chang Sik pasrah.

(Nih Ahjumma satu benar-benar gak tahu diri. Uda tahu dengan jelas kalau rumah dan pertanian itu BUKAN MILIKNYA, tapi masih keukeuh pengen tinggal di sana dan pengen memilikinya. Duh, repot dah mungsuh emak-emak gak tahu diri ckckck....)

Di kantor polisi, Ja Eun sudah mulai sadar, karena merasa haus, diapun segera meraih segelas air melalui dispenser yang sudah dikembalikan ke tempatnya oleh para polisi itu.

“Apa kau sudah sadar sekarang?” tanya seorang polisi setengah baya padanya dengan menyindir. Ja Eun segera menyesali sikapnya yang tidak sopan di kantor polisi dan berjalan kea rah para polisi itu meminta maaf.

“Maafkan aku untuk semua masalah yang aku sebabkan, pak polisi. Anda telah bekerja keras,” ujar Ja Eun, berniat melangkah pergi.

Tapi para polisi itu menghentikannya, “Maaf, tapi kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau baru boleh pergi setelah proses interogasi selesai. Hubungi juga anggota keluargamu agar mereka bisa datang untuk memberikan jaminan untukmu,” ujar seorang polisi yang lebih muda.

“Keluarga?” ulang Ja Eun dengan sedih. Masalahnya dia tidak memiliki satupun keluarga saat ini, dia benar-benar seorang diri. Poor Ja Eunie T_T

“Sesuai dengan peraturan hukum, harus ada seseorang yang akan memberikan jaminan untuk Anda,” ujar polisi yang lebih muda.

Saat itulah, Hwang Chang Sik tiba di kantor polisi itu tepat pada waktunya. Dia berniat memberikan jaminan untuk Ja Eun dan bertindak sebagai walinya, namun Ja Eun menolak mengakui Hwang Chang Sik sebagai kenalannya.

“Ja Eun-ah, apa kau baik-baik saja? Apa kau sudah sepenuhnya sadar? Bisakah aku membawanya pergi sekarang?” ujar Hwang Chang Sik dengan khawatir, namun Ja Eun hanya memandangnya dengan penuh kebencian.

“Masih ada beberapa berkas yang harus diisi terlebih dahulu, itu adalah prosedur kepolisian. Anda harus mematuhinya. Pertama-tama, Anda harus mengisi surat jaminan terlebih dahulu,” ujar polisi yang lebih tua.

“Aku adalah teman ayahnya. Aku sudah seperti keluarganya,” jawab Hwang Chang Sik, menjelaskan hubungan mereka.

“Apa yang Anda katakan? Apa yang sedang Anda katakan sekarang? Teman? Keluarga? Menjijikkan! Bagaimana bisa Anda mengatakan hal seperti ini?” ujar Ja Eun dingin dengan tersenyum sinis. Baginya, ini sangatlah lucu.

“Ja Eun-ah, pertama-tama, ikutlah keluar denganku terlebih dulu agar kita bisa bicara dengan tenang?” ujar Hwang Chang Sik, dengan sabar. Tapi Ja Eun yang sudah mengalami Krisis kepercayaan pada keluarga Hwang, seketika menolak tegas.

“Aku tidak mau! Aku lebih suka tinggal di sini, daripada harus ikut denganmu pergi dan mengakuimu sebagai waliku!” jawab Ja Eun tegas.

Kemudian dia menoleh pada polisi setengah baya di depannya dan menyangkal jika dia mengenal Hwang Chang Sik, “Ahjussi, aku tidak mengenal pria ini! Dia bukan teman ayahku! Biarkan aku tetap di sini! Dia bukan keluargaku! Biarkan aku tetap di sini!” jawab Ja Eun keras kepala lalu kembali duduk di sofa.

“Bisakah aku membawanya keluar sebentar untuk bicara?” pinta Hwang Chang Sik pada para polisi itu.

Mau tidak mau, karena para polisi yang menyuruhnya, Ja Eun pun pergi keluar untuk bicara dengan Hwang Chang Sik, di belakangnya, ada satu polisi yang berjaga untuk mengawasi.

“Di mana kau tinggal selama ini? Paman sangat khawatir karena kau tidak pernah mengangkat telponku. Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku,” ujar Hwang Chang Sik, namun Ja Eun hanya menatapnya sinis tak percaya.

(Halah, nih Ahjussi satu juga sama aja. Suami takut istri. Kalau kamu memang khawatir, kenapa waktu itu kamu diam aja waktu istrimu mengusir Ja Eun keluar setelah kontraknya hilang dicuri? Kenapa gak mencegah Ja Eun diusir? Susah emang kalau berhadapan dengan suami takut istri modelan Hwang Chang Sik)

“Aku dengar tak lama lagi polisi akan mengumumkan kepada publik bahwa bukan kau yang diterima masuk melalui jalan belakang. Kau tidak perlu khawatir tentang itu lagi. Aku sangat malu pada diriku sendiri, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu walaupun bila aku memiliki sepuluh mulut. Aku sudah menyiapkan 30 juta untukmu. Gunakan uang itu untuk membeli sebuah rumah baru untukmu tinggal. Besok aku akan memberikan uangnya. Gunakan uang itu untuk menyelesaikan masalah yang mendesak terlebih dahulu, jadi nanti kalau aku memiliki uang lebih...” lanjut Hwang Chang Sik lagi. Itu adalah uang yang dia pinjam dari Hwang Tae Hee.

“Kalau begitu tolong kembalikan setengah pertanian untukku. Kembalikan setengahnya saja tidak apa-apa. Aku mohon. Aku benar-benar tidak berharap lebih. Hanya setengah saja. Tanpa pertanian, aku benar-benar tidak bisa hidup,” Ja Eun memotong ucapan Hwang Chang Sik sambil memohon.

(Sama kayak memberikan hutang ke orang lain, Ja Eun minjemin tanah dan pertanian ke keluarga Hwang, tapi giliran Ja Eun mau minta tanahnya balik, dia malah harus memohon-mohon seperti pengemis. Persis kayak orang ngutang, yang ngutang giliran ditagih malah lebih galak daripada yang punya uang. Keluarga Hwang ini ibarat orang yang ngutang, mereka yang salah, mereka yang ngutang, tapi giliran ditagih malah marah-marah, ngusir, manggil polisi dan berlaku kejam kepada orang yang sudah memberikan mereka pinjaman. Benar-benar manusiawi ya. Manusia pada umumnya memang seperti itu >_<)

“Jadi kenapa kau sampai kehilangan kontraknya?” ujar Hwang Chang Sik. Istrimu tuh yang nyuri.

“Ini benar-benar membunuhku. Saat kau datang dengan membawa kontrak, aku merasa hampir mati karena tatapan membunuh dari istriku. Sekarang saat kau kehilangan kontrak, aku merasa hampir mati karena tidak enak padamu,” jawab Hwang Chang Sik, tampak bingung memilih di antara dua pilihan.

“Ahjussi, aku mohon.” Ja Eun tetap berusaha memohon.

“Kau mungkin tidak percaya ini tapi aku merasa bersalah pada istriku. Saat kami muda, aku telah memberinya banyak kesulitan hidup. Dia tidak meminta cerai dan tetap hidup bersamaku, aku sangat berterima kasih untuk itu,” ujar Hwang Chang Sik, memilih istrinya dan menolak mengembalikan pertanian itu jika istrinya tidak setuju.

(Woi, Ahjussi! Kalau kamu gak bisa membahagiakan istrimu, ya itu salahmu lah. Itu tanggung jawabmu sebagai suami, salah sendiri jadi suami tidak berguna! Ja Eun gak ada urusan sama itu! Ja Eun gak ada hubungannya dengan kebahagiaan istrimu. Ja Eun bahkan belum lahir waktu kalian menikah, kenapa kebahagiaan istrimu harus menjadi tanggung jawab Ja Eun dan meminta Ja Eun mengalah dan mengikhlaskan tanah miliknya? Konsep dari mana, woi? Kebahagiaan istri adalah tanggung jawab suami, bukan tanggung jawab pemilik rumah, bukan tanggung jawab orang lain, bukan tanggung jawab seorang gadis muda yang gak tahu apa-apa! Sakit jiwa semua nih keluarga Hwang! Kecuali Tae Hee kayaknya yang uda mulai membuka pikiran...)

“Aku tidak percaya ini, Ahjussi? Kenapa kau bisa begitu hina? Bagaimana kau bisa begitu tebal muka dan tidak tahu malu seperti itu? Bagaimana kau bisa begitu tidak berperasaan?” seru Ja Eun secara terang-terangan tanpa takut sedikitpun.

Sukanya dengan karakter Baek Ja Eun adalah karena dia adalah gadis yang kuat, berani dan blak-blak’an, no menye-menye klub. Gak suka ya gak suka aja, katakan terus terang! Dia bukan type cewek pick me yang munafik yang di depan orang baik tapi di belakang nusuk. Nope! Baek Ja Eun is not like that!

“Besok aku akan menyiapkan 30 juta won untukmu,” ujar Hwang Chang Sik, bersikeras memberikan 30 juta won sebagai ganti pertanian.

(Enak aja, harga pertaniannya 10 miliar tapi dia cuma ngasih 30 juta won sebagai ganti. Kurang, woi. 30 juta won ke 10 miliar itu bahkan gak ada secuilnya!)

“Aku tidak membutuhkannya! Apa kau pikir aku tidak tahu kalau kau sedang mencoba menenangkan hati nuranimu sendiri dengan uang itu? Aku tidak akan pernah menerima satu sen pun darimu! Kalaupun harus mati kelaparan, aku tidak akan mengambil satu sen pun darimu! Aku akan membuatmu merasa bersalah seumur hidupmu! Dengan mulutmu kau mengakuiku sebagai putri temanmu, tapi apa yang sudah kau lakukan padaku, kau pasti mengetahuinya lebih baik dari siapapun! Teruslah hidup seperti itu selama sisa hidupmu dan mari kita lihat apakah kau bisa hidup dengan tenang setelah ini!” seru Ja Eun dengan penuh emosi, kemudian pergi meninggalkan Hwang Chang Sik dan kembali masuk ke kantor polisi.

Dan akhirnya, Hwang Chang Sik gagal membawa Ja Eun keluar dari kantor polisi karena gadis itu menolaknya tegas. Tak punya pilihan, Hwang Chang Sik kembali menelpon Tae Hee untuk meminta bantuannya.

“Ya, ayah.” Sahut Tae Hee di telepon, dia masih dalam perjalanan kembali ke kantornya sendiri.
“Apa kau sudah sampai di kantormu?” tanya Hwang Chang Sik sungkan.
“Belum. Aku masih berada di perjalanan. Apa Ayah sudah membawanya keluar?” tanya Tae Hee lagi.

“Aku tidak berhasil membawanya keluar. Dia kembali ke dalam dan berkata bahwa dia lebih baik mati daripada keluar bersamaku. Bisakah kau membantu Ayah dan kembali kemari? Ada berkas-berkas yang harus diisi juga, mereka bilang itu adalah surat jaminan. Bisakah kau menyelesaikannya?” pinta Hwang Chang Sik pada Tae Hee.

“Ya, Ayah. Aku akan kembali ke sana. Jangan khawatir dan pulanglah ke rumah,” sahut Tae Hee menyanggupi, yang terpaksa harus kembali putar balik ke kantor polisi tempat Ja Eun ditahan.

Pada akhirnya Hwang Tae Hee-lah yang datang memberikan jaminan dan bertindak sebagai wali Ja Eun. Yah, bagaimana pun juga Tae Hee adalah polisi jadi dia bisa memberikan jaminan untuk membebaskan seseorang dengan menggunakan profesinya sebagai jaminan di masa datang.


Baek Ja Eun kembali tidur di sofa ketika Tae Hee datang ke sana. Sepertinya Tae Hee telah mengisi surat jaminan kepolisian untuk membebaskan gadis itu sebelumnya. Tae Hee berjalan ke arahnya dan memandangnya malas.


“Bangun, Baek Ja Eun! Baek Ja Eun, bangun!” ujar Tae Hee.
Ja Eun mendengar suaranya dan membuka matanya sebentar untuk mengintip kemudian kembali pura-pura tidur.




“Aku melihatmu membuka mata. Bangun! Bangun dan keluarlah!” ujar Tae Hee mulai kesal. Dia kemudian memukul pantatnya menggunakan kertas surat jaminan yang ada di tangannya.


Ja Eun yang tidak terima pantatnya disentuh (walau dengan perantara kertas) seketika terbangun dan berteriak marah, “Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan? Beraninya kau menyentuhku?” seru Ja Eun tak terima.


“Bila kau sudah bangun, ayo keluar!” ujar Tae Hee, masih bersabar.
“Siapa bilang aku butuh jaminan dari orang sepertimu? Aku tidak membutuhkannya!” seru Ja Eun kesal.

“Keluar selama aku masih bisa bersikap baik,” ujar Tae Hee memperingatkan. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mencengkeram pergelangan tangan Baek Ja Eun dan menariknya keluar.


“Lepaskan aku! Kau polisi preman (The Gangster Cop)! Siapa yang mengijinkanmu untuk ikut campur? Lepaskan aku!” teriak Baek Ja Eun, menolak, tapi Hwang Tae Hee tidak peduli dan tetap menyeretnya keluar.

“Kalian telah bekerja keras. Terima kasih,” ujar Hwang Tae Hee pada para polisi di sana.


“Kau polisi preman! Kau orang jahat! Lepaskan aku! Cepat lepaskan aku, brengsek!” seru Baek Ja Eun meronta, namun Tae Hee tetap menariknya keluar dengan paksa. Dia baru melepaskan Ja Eun setelah sampai di luar kantor polisi.

Ja Eun yang kesal mencabut rumput dan melemparkannya ke arah Tae Hee dengan marah.
“Jangan berani sekali lagi kau menarik tanganku, kau polisi korup tak punya hati! Polisi preman tidak kompeten!” seru Baek Ja Eun kesal seraya merapikan pakaiannya yang berantakan.


“Aku sangat menyesal dan merasa bersalah, karena keteledoranku hingga pihak ketiga mencuri hasil penyelidikanku dan membeberkannya ke publik hingga kau dihujat semua orang. Namun aku juga merasa menyesal telah meminta ayahku dan saudara-saudaraku untuk mengembalikan setengah pertanian padamu, aku benar-benar menyesali semua itu. Kau benar-benar tidak tertolong lagi,” ujar Hwang Tae Hee dengan kecewa.

Dia merasa menyesal telah berusaha membujuk ayah dan saudara-saudaranya untuk mengembalikan pertanian itu pada Ja Eun.


“Setidaknya aku masih lebih baik daripada keluargamu,” sindir Baek Ja Eun dengan berani.

“Karena hasil penyelidikanku yang bocor, aku masih mentoleransi sikapmu yang menghina ayahku dan ibuku, aku mentoleransi semua makianmu, tapi aku tidak akan mentoleransinya lagi sekarang. Jadi jangan pernah mengatakan hal itu lagi di hadapanku!” seru Tae Hee, seraya menaikkan nada suaranya dan terdengar marah.

“Pencuri tak tahu malu!” tantang Ja Eun, masih memaki dengan berani.
“Sudah kubilang jangan katakan itu lagi!” seru Tae Hee tak suka.


“Kalian adalah keluarga Psycho!” lagi, Ja Eun masih memaki, tak peduli dengan ucapan Tae Hee.

“Kau selalu mengatakan kalau ayahmu masih hidup, tapi sebenarnya dalam hatimu, kau merasa dia sudah meninggal, bukan?” ujar Tae Hee, membawa nama Baek In Ho dengan sengaja untuk melukai gadis itu.

“Apa yang kau katakan?” ujar Ja Eun tersinggung. Ja Eun selalu bereaksi bila nama ayahnya disebut.


“Itu sebabnya kau hidup dengan seenaknya seperti ini. Yang bisa kau lakukan hanya mengeluh, melakukan kekerasan dan bersikap tantrum kepada semua orang. Kau percaya dengan wajahmu yang cantik, kau bisa melakukan apa pun yang kau mau. Tapi kecantikanmu tidak berguna lagi sekarang karena kau telah dituduh masuk melalui jalan belakang dan reputasimu telah hancur. Tanyalah pada semua orang di pinggir jalan! Orang tuaku telah bekerja di pertanian itu selama 10 tahun lamanya, membangun semuanya dari nol, sementara kau tak punya kontrak, tak punya kekuatan hukum. Siapa yang bersedia menyerahkan pertanian itu padamu? Tanyalah pada semua orang di pinggir jalan! Seorang ayah yang memberikan jam tangan mewah senilai ratusan juta won kepada seorang rektor Universitas di tempat yang sama putrinya menempuh Pendidikan, apakah semua orang akan berpikir bahwa anak itu diterima secara jujur di sana? Tanyalah pada semua orang di pinggir jalan jika kau tak percaya! Berpikirlah secara obyektif, siapa di sini yang selalu bertindak tidak masuk akal dan menolak untuk menghadapi masalah?” ujar Tae Hee dengan pelan dan datar dan terdengar kejam, namun sebenarnya yang dia katakan adalah masuk akal.

“Kau orang jahat!” ujar Ja Eun tak terima.


“Kau ingin mendapatkan kembali pertanianmu, kan? Jangan berbohong! Hanya karena kau sangat marah dan selalu bersikap manja, kau sama sekali tidak berpikir untuk mengambil kembali mangkokmu yang terjatuh. Kau hanya melampiaskan kemarahan pada mangkokmu yang jatuh itu. Bahkan anak kecil berusia 3 tahun, bila mereka ingin mendapatkan sesuatu, mereka tidak bertingkah sepertimu. Jadi jangan terobsesi lagi dengan pertanian itu. Lebih baik kau mencari pria kaya untuk menikahimu karena itu adalah cara yang paling mudah untuk menyelesaikan masalahmu. Kuharap kita tidak akan bertemu lagi,” ujar Tae Hee sebelum melangkah pergi dari sana.


(Menikahi pria kaya? Are you sure, Tae Hee-ya? Yakin nih kau ingin Ja Eun menikah dengan pria kaya dan bukan dengan dirimu? Jangan nyesel loh ya kalau beneran ada pria kaya yang mendekati Ja Eun nantinya! Kamu sendiri kan yang nyuruh Ja Eun menikahi pria kaya? Hahaha ^_^ Saat pria kaya itu benar-benar muncul, yang ada kamu malah kebakaran jenggot, cemburu brutal bahkan kamu beberapa kali menghajar pria kaya itu hingga babak belur. Aku menunggu saat itu, Tae Hee-ya! Menunggu saat kamu menjilat ludahmu sendiri hahaha ^_^ Tunggu beberapa episode lagi! Kamulah yang bakal mengemis cintanya Baek Ja Eun. Bagaimana rasanya menjilat ludah sendiri, Tae Hee? Enakkah? Gak sabar nunggu Hwang Tae Hee bucin mampus dan semua perkataannya saat ini, dia jilat sendiri hahaha ^_^ I will wait for that, Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim~)


Setelah pergi meninggalkan kantor polisi, Ja Eun berjalan tak tentu arah di sepanjang jalan yang penuh dengan pejalan kaki. Namun hampir semua orang yang berpapasan dengannya secara terang-terangan menghujatnya.

“Lihatlah dia! Bukankah itu dia? Dia ada di pencarian panas nomor 1 hari ini,” nyinyir seorang wanita pejalan kaki pada teman prianya.

“Itu dia, kan? Awalnya aku tidak mengenalnya, namun dia terkenal sekarang,” nyinyir yang lain lagi.
“Gadis tak tahu malu!” seru yang lain.
“Dia gadis yang beruntung,” sindir yang lain lagi. Beruntung karena punya ayah yang kaya yang bisa menyuap rektor maksudnya, padahal itu semua adalah fitnah.
“Dia benar-benar mengerikan!” sahut yang lain lagi.

Namun Ja Eun menulikan telinganya dan tetap berjalan masuk seolah-olah dia adalah manusia transparan. Untunglah Baek Ja Eun punya mental sekuat baja. Dia bukan cewek menye-menye yang nangis waktu dihujat dan dibully banyak orang. Coba kalau cewek lemah, pasti langsung bundir kalau di posis Baek Ja Eun.

Namun Baek Ja Eun yang sekarang, terlihat lebih dewasa. Jika Ja Eun yang dulu, mungkin dia akan tantrum dan memarahi mereka semua. Tapi sekarang berbeda, kata-kata Tae Hee sepertinya telah menyadarkannya. Kalau marah-marah pada orang lain sebenarnya tak ada gunanya, yang bisa kita lakukan adalah bangkit dan mencari Solusi untuk menyelesaikan masalah itu dan bukannya marah-marah terhadap semua hal di sekitar kita. Bersikap dewasa and not throwing tantrum, itu intinya.

Ja Eun kemudian kembali ke rumahnya yang lama. Dia menyadari bahwa pagar rumah itu terbuka sedikit maka dia mencoba untuk mengintip ke dalam rumahnya hanya untuk sekedar bernostalgia. Kemudian dia melihat tumpukan surat di kotak surat dan akhirnya menemukan sepucuk surat terakhir yang ditinggalkan ayahnya sebelum sang ayah mengalami kecelakaan dan menghilang.

Ja Eun mengambil surat itu dan pergi mencari tempat yang sepi untuk membaca suratnya.


“Putriku yang kusayangi, kau baik-baik saja, kan? Ayah baru beberapa jam meninggalkan Korea namun sudah merindukanmu. Merindukan Ja Eun kecil ayah yang setiap hari merawat ayah, menyemangati ayah dan membuat hari ayah menjadi cerah. Kenapa kau tidak mengingatkan ayah jika bulan lalu adalah hari ulang tahunmu? Ayah benar-benar minta maaf telah melupakan hari ulang tahunmu. Walaupun terlambat, namun ayah ingin mengucapkan kepada putriku yang cantik, ‘Ja Eun, Selamat Ulang Tahun’. Juga terima kasih karena kau telah terlahir menjadi putriku. Dari ayahmu yang menyayangimu,” bunyi pesan di surat itu.


Ja Eun memeluk surat terakhir dari ayahnya tersebut dengan menangis pilu seraya mengucapkan “Ayah…Ayah, aku merindukanmu,” berulang-ulang dengan air mata membasahi pipinya. Ja Eun hanya menangis kalau merindukan ayahnya. Poor Ja Eunie T_T


Malam harinya, Ja Eun duduk termenung di depan Sungai Han sambil memikirkan kembali kata-kata Tae Hee yang dia ucapkan di depan kantor polisi siang tadi.





Ja Eun kembali ke tempat di mana dia mabuk semalam kemudian mencari kembali kalung hadiah untuk ayahnya yang sudah dia buang sebelumnya. Untunglah kalung tersebut masih ada di sana dan tak ada seorang pun yang melihat kalung itu lalu mengambilnya.



Setelah berpikir sehari semalam, hari berikutnya, Ja Eun mendatangi Tae Hee di kantor polisi. Dia tidak menemukan Tae Hee di mejanya, Semua petugas kepolisian tampak kaget saat melihat Baek Ja Eun ada di sana, termasuk Tim Leader Eum yang kebingungan karena dia tidak merasa memanggil Baek Ja Eun untuk dimintai keterangan.

“Aku datang mencari Polisi Hwang Tae Hee,” ujar Ja Eun dan Seo Dong Min yang akhirnya menawarkan diri untuk mengantar Baek Ja Eun.


“Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim sedang dihukum menjalani evaluasi, jadi dia berada di ruangan lain dan ditugaskan untuk mengurus berkas-berkas untuk tim kami,” ujar Seo Dong Min menjelaskan.

“Menjalani evaluasi? Jadi jika diibaratkan mahasiswa apa itu seperti di skors?” tanya Ja Eun tak mengerti.

“Ya, bisa dibilang seperti itu. Aku mengatakan ini padamu karena dia adalah seorang Inspektur dan dia dihukum karena tak sengaja membuat informasi tentang kasusmu bocor ke publik, jadi jangan terlalu membencinya. Ayo pergi!” ujar Seo Dong Min dengan sabar, sebelum mengantarkan Baek Ja Eun ke ruangan tempat Tae Hee dihukum dan diasingkan.



“Hyung, ada tamu yang datang mencarimu,” ujar Seo Dong Min setelah mengetuk pintu.

Tae Hee menoleh dan melihat Ja Eun yang muncul dari balik punggung Seo Dong Min (Aku gak tahu ini karena UEE yang terlalu tinggi atau Seo Dong Min yang pendek, ya? Tinggian UEE kalau mereka berdiri sejajar hahaha ^_^)


“Kalau begitu akan kutinggalkan kalian berdua untuk bicara,” ujar Seo Dong Min lagi sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.

Setelah Seo Dong Min menutup pintunya dan pergi, Ja Eun segera menghampiri Tae Hee dan menyapanya dengan sopan, “Annyeonghaseyo.”




“Seingatku aku berkata kita tak perlu bertemu lagi,” ujar Tae Hee dengan dingin.
“Tolong bantu aku, Inspektur!” pinta Ja Eun dengan lembut dan sopan.





Tae Hee menatapnya penuh tanya saat gadis itu menyebut kata “Inspektur”.
“Kata polisi tadi, kau adalah seorang Inspektur dan kau memiliki posisi yang lebih tinggi darinya,” jawab Ja Eun, mengerti arti tatapan Tae Hee.


Ja Eun kemudian menarik sebuah kursi dan duduk mendekat ke arah Tae Hee. Ja Eun benar-benar seorang gadis yang berani, setelah dia dimarahi seperti itu, sekarang dia masih berani mendatangi Tae Hee dan bahkan meminta saran dari pria itu.




“Tolong bantu aku! Aku takut aku akan melakukan hal-hal yang aneh lagi seperti sebelumnya, selama dua hari ini aku mencoba memikirkan solusi tapi aku tidak mendapatkan apa-apa. Aku pikir sesuatu yang buruk telah terjadi pada kepalaku. Aku tidak ingin berbohong, aku ingin mendapatkan kembali pertanianku. Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan kembali pertanianku?” ujar Ja Eun panjang lebar.


“Kenapa aku harus memberitahumu? Aku tidak punya alasan untuk memberitahumu,” sahut Tae Hee dingin.


“Karena kau berhutang padaku! Aku benar-benar tidak masuk melalui jalan belakang seperti yang kalian tuduhkan padaku! Aku bisa menggambar dengan sangat baik. Bahkan sejak kecil, sebelum aku bisa memegang sendok, aku memegang pensil lebih dulu. Tentu saja Ahjussi melakukan itu bukan karena sengaja karena kau sendiri pun dihukum di sini,” ujar Ja Eun, mengungkit kembali kesalahan Tae Hee padanya. Sengaja ingin membuat Tae Hee merasa bersalah lagi padanya.


Hahaha ^_^ Pinter nih Baek Ja Eun. Dia tahu kelemahan Tae Hee, ungkit aja terus dan buat Tae Hee merasa bersalah, dengan begitu, Tae Hee pasti akan membantu.

“Petugas polisi yang tadi yang mengatakannya padaku tentang situasi yang kau alami saat ini,” lanjut Baek Ja Eun saat Tae Hee kembali menatapnya penuh tanya.




“Jika itu adalah aku, aku akan bertanya seperti ini : Jika itu terjadi padamu, apa yang akan kau lakukan?” ujar Tae Hee, mulai menjawab pertanyaan Ja Eun. Nah kan, bener? Begitu kesalahannya diungkit, langsung Tae Hee feel guilty dan bersedia membantu.


Ja Eun segera mengulangi ucapan Tae Hee, “Jika itu terjadi padamu, apa yang akan kau lakukan, Ahjussi?” tanya Ja Eun dengan tatapan mata polosnya.



“Aku tidak tahu kenapa aku mengatakan ini padamu, tapi jika aku adalah kau, aku akan mencoba mengambil hati Ibuku lebih dulu. Sepuluh tahun yang lalu, saat keluargaku pindah ke sana, tempat itu penuh dengan batu-batu dan tanah gersang, tidak ada yang tersisa di sana selain bebatuan dan rumput yang mengering. Kami membangun rumah di tengah-tengahnya dengan susah payah. Ayah dan ibuku bahkan bangun sebelum matahari bersinar dan menanam satu demi satu pohon di tempat itu agar tak lagi gersang. Sebutir bibit kecil tumbuh menjadi tanaman kecil sebesar lengan kemudian tumbuh lagi menjadi sebuah pohon besar," ujar Tae Hee seraya mengenang masa lalu.




"Dari satu pohon menjadi puluhan bahkan ratusan pohon sekarang. Semua itu dibangun dengan keringat dan air mata, juga tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Dan semua itu tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun. Bagi Ibuku, pertanian itu bagaikan anak-anaknya. Jadi tunjukkan padanya kalau kau tidak akan pernah menyakiti anak-anaknya, kalau kau adalah orang yang bisa dia percaya untuk menjaga dan merawat anak-anaknya, jadi dia bisa mempercayaimu. Coba buktikan itu lebih dulu,” lanjut Tae Hee panjang lebar.




Kali ini Tae Hee mulai bicara dengan lembut, dan bukan dengan nada ketus, sinis dan tidak bersahabat seperti dulu. Tae Hee pun mulai mengubah tatapannya, dia yang dulu menatap Ja Eun dengan penuh permusuhan, sekarang mulai menatapnya dengan aura persahabatan, bukan aura musuh lagi. Tapi dengan tatapan seorang teman.


“Bagaimana caraku membuktikannya?” tanya Ja Eun sekali lagi.
“Pergilah!” usir Tae Hee, tak mau menjawab dan meminta Ja Eun berpikir sendiri.




“Baiklah. Aku akan memikirkan caranya. Aku pasti akan menemukan caranya. Terima kasih banyak,” ujar Ja Eun berterima kasih sebelum pergi dari sana.




Setelah Ja Eun pergi, Tae Hee tampak memikirkan ulang tindakannya barusan, “Aku tidak tahu apakah aku sudah melakukan hal yang benar,” gumam Tae Hee tampak tak yakin.




(Bener kok, Tae Hee. Kamu harus mendekatkan jodohmu sendiri hihihi ^_^ Kalian harus sering ketemu agar bisa jatuh cinta, oke? Berhenti bertengkar seperti anjing dan kucing! Hiduplah dengan damai dan biarkan cinta itu bersemi ^_^)

Ja Eun tampak meninggalkan ruangan itu sambil berpikir, saat tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalanya dan membuatnya tersenyum senang. Seung Mi tiba-tiba datang dari arah belakang Ja Eun dan penasaran ada hubungan apa di antara Tae Hee dan Ja Eun sebenarnya? (Mereka tuh calon suami istri, jangan mengacau ya, Lee Seung Mi!)

Ja Eun akhirnya pergi menuju sebuah toko perlengkapan kemah dan menarik sebuah amplop berisi uang yang dililitkan di pinggangnya dari balik bajunya dan tersenyum ceria.

Di pertanian, Hwang Chang Sik masih mencoba menghubungi Ja Eun yang masih tidak mengangkat telponnya dan mereka bertengkar lagi karena itu. Park Bok Ja berkata pada suaminya, bila sang suami sangat mencemaskan Ja Eun, kenapa tidak tinggal saja bersamanya? Park Bok Ja lalu keluar rumah karena ingin menjemur selimutnya, namun tiba-tiba dia disambut oleh senyuman ceria Ja Eun dan sapaan hangatnya.


“Annyeonghaseyo, Ahjumma.” Sapa Ja Eun dengan tersenyum manis, membuat Park Bok Ja hampir terkena serangan jantung.



Blogger Opinion :
Seneng banget akhirnya mulai episode ini, Hwang Tae Hee tidak lagi menatap Ja Eun dengan tatapan mata penuh permusuhan ataupun menatapnya seperti menatap seorang kriminal, sebaliknya dia mulai menatap Ja Eun dengan aura persahabatan. Cara bicara Tae Hee pun mulai melembut dan tidak lagi ketus, sinis, dingin ataupun nada tinggi. This is the Hwang Tae Hee I want, the Hwang Tae Hee I love.

I can’t wait to see how the family dynamic changes and I want Ja Eun and Tae Hee to get their romance on!

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/682 + https://gswww.tistory.com/683)

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan.
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia.

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads