Kamis, 06 Juni 2024

Sinopsis EP 12 Ojakgyo Brothers “Tae Hee – Ja Eun” Moment

Highlight For Today Episode :

Tae Hee yang berniat menjaga jarak dan menghindari Ja Eun karena merasa bersalah pada sang Ibu (setelah disindir sebagai anak gak tahu balas budi oleh Hwang Tae Phil di episode sebelumnya), sepertinya gagal menghindar karena mau tidak mau mereka harus selalu bertemu mengingat Tae Hee harus berjalan melewati Ja Eun bila ingin masuk ke dalam rumah. Udahlah, Tae Hee, kamu mau menghindar seperti apa pun, gak akan bisa. Baek Ja Eun adalah takdirmu! Tar kalau Ja Eun yang gantian pergi dari sana, kamu yang gantian mengejar mati-matian.


Jadi sudahlah, berdamai aja dengan takdirmu dan gak usah sok-sok’an menjaga jarak! Karena selalu ada sesuatu yang membuat Tae Hee terus berurusan dengan Ja Eun dari waktu ke waktu, kali ini dimulai dengan pena pemberian Baek In Ho untuk Baek Ja Eun, pena yang menjadi kunci penting penyelidikan Hwang Tae Hee dalam mengungkap kasus penyuapan Rektor Universitas.

-------00000------

Episode 12:
Setelah membuat bebek-bebek itu kepanasan dan kekurangan oksigen karena Park Bok Ja menutup tirai kandangnya hingga membuat bebek-bebek itu gagal dijual dan dia gagal mendapat uang, wanita setengah baya itu justru melampiaskan kekesalannya pada Ja Eun yang malang dan tidak tahu apa-apa.

Saat itu, Ja Eun sedang duduk di depan tenda seraya memakan ramen (mie instant) bersama Ha Na dan Park Bok Ja menatapnya dengan kemarahan terpancar di matanya.


“Eonnie, apa Eonnie tidak punya mangkok?” tanya Ha Na ingin tahu kenapa Ja Eun memakan ramen dengan tutup pancinya.

“Ha Na-ya, kau tahu tidak kalau ramen itu lebih enak saat dimakan langsung dari tutupnya?” jawab Ja Eun dengan ramah seraya memakan ramen itu berdua.

Park Bok Ja tiba-tiba datang dan merusak suasana damai di pagi itu dengan kemarahannya yang membabi buta, dia tiba-tiba saja sudah memegang selang air dan mengarahkannya ke arah tenda, lebih tepatnya ke arah Ja Eun yang sedang makan.


“Ha Na-ya, cepat pergi dari sana!” seru Park Bok Ja dan detik berikutnya dia segera menyemprotkan selang air itu ke arah Ja Eun dan Ha Na. Ha Na ketakutan dan segera bersembunyi di dalam tenda, sementara Ja Eun berlarian ke sana kemari di sekitar rumah untuk menghindari semprotan Park Bok Ja.

“Ahjumma, apa Anda gila? Apa yang Anda lakukan? Airnya sangat dingin!” seru Ja Eun seraya menghindari semprotan air itu.

“Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku! Gara-gara kau bebek-bebekku hampir mati kepanasan dan kekurangan oksigen,” seru Park Bok Ja menyalahkan Ja Eun atas sesuatu yang bukan kesalahannya.


“Apa yang Anda katakan? Aku tidak melakukan apa-apa pada bebek-bebek itu! Aku bahkan tidak berani mendekat karena Anda melarangku! Andalah yang menutup tirainya!” teriak Ja Eun membela diri, di sela-sela semprotan air dari selang yang dingin. Ja Eun yang malang, dia jadi basah kuyup karena kegilaan Park Bok Ja.

“Jika bukan karenamu, aku tidak akan menutup tirainya! Pergi! Pergi dari rumahku sekarang juga!” seru Park Bok Ja, lagi-lagi mengakui rumah Ja Eun sebagai miliknya. Duh, penyewa gak tahu diri beneran!

Hwang Chang Sik yang mendengar keributan itu segera keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Melihat Pamannya keluar, Ja Eun segera berlindung di belakang punggung pria setengah baya itu dan akhirnya, Hwang Chang Sik-lah yang terkena semprotan air.


“Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?” seru Hwang Chang Sik pada istrinya, yang bagaikan kesetanan.

Hwang Tae Bum, si reporter yang membocorkan hasil penyelidikan Tae Hee dan yang membuat Ja Eun dihujat publik, tiba di rumah itu dan berusaha menghentikan sang Ibu menyemprot ayahnya.

“Eomma, tenanglah! Matikan selangnya!” seru Tae Bum berusaha merebut selang itu dari ibunya.


Tapi Park Bok Ja yang sepertinya sudah mulai gila, menyemprot Hwang Tae Bum juga, menyemprot tepat di wajahnya hingga akhirnya ketiga orang itu : Ja Eun, Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Bum sama-sama basah kuyup.

(Emang ya, repot emang lawan emak-emak yang selalu merasa dirinya benar. Gak emak Indonesia, gak emak di Korea, sama aja kelakukannya >_<)

“EOMMAA!” Teriak Tae Bum frustasi setelah berhasil merebut selangnya dengan susah payah.

Di dalam rumah, Park Bok Ja segera menyajikan minuman hangat untuk suami dan putra keduanya, kemudian menyuruh mereka untuk cepat mandi dengan air hangat.

“Apa sekarang kau memberikan penyakit dan sekaligus obatnya pada kami?” sindir Hwang Chang Sik pada sang istri.
“Kenapa Eomma melakukan itu?” tanya Tae Bum tak habis pikir.
“Karena gadis busuk itu, bebek-bebekku hampir mati!” seru Park Bok Ja masih emosi.

“Omong kosong apa itu? Itu bukan salah Ja Eun! Kau sendirilah yang menutup tirai kandangnya hingga membuat bebek-bebek itu kepanasan dan kekurangan oksigen,” tegur Hwang Chang Sik, papa Hwang mengingatkan.

“Tapi aku melakukan itu karena aku tak mau melihat wajahnya. Setelah menutupnya, aku lupa membukanya kembali,” ujar Park Bok Ja masih menyalahkan Ja Eun.

“Jadi itu sebabnya kau menyemprotnya dengan air? Kenapa menyemprotku juga? Apa aku juga melakukan kesalahan?” tanya Hwang Chang Sik kesal pada istrinya yang makin lama makin tidak masuk akal.

“Bukankah kau memang memiliki salah? Kau bilang kau akan mengusirnya pergi pagi ini,” semprot Park Bok Ja kesal pada suaminya.

“Dia tidak mau pergi, jadi apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus memanggil polisi lagi untuk menangkapnya seperti yang kau lakukan padanya terakhir kali?” sindir Hwang Chang Sik, tak kalah kesal.

“Eomma, benarkah kau melakukan itu? Memanggil polisi? Eomma, itu sudah keterlaluan!” seru Hwang Tae Bum tak habis pikir, sepertinya dia baru tahu kalau ibunya pernah memanggil polisi untuk menangkap Ja Eun dan membuat kehebohan di sekitar pertanian itu.

“Tidak bisakah kau menunggu sebentar saja? Walaupun sekarang dia tinggal di sana, kau pikir berapa lama dia akan bertahan? Kita tunggu dan lihat saja. Bila dia sudah menyerah, dia pasti akan pergi dengan sendirinya. Kenapa harus mengusirnya sekarang dan membuat keributan?” ujar Hwang Chang Sik, masuk akal.

Hwang Chang Sik berpikir Baek Ja Eun masih si gadis manja yang hanya ingin bermain-main, tidak menyadari kalau Baek Ja Eun sudah berubah dan bila dia memiliki keinginan, pasti dia akan berusaha mendapatkannya.

“Benar apa yang dikatakan oleh Ayah, Ibu. Abaikan saja dia! Anggap saja dia tak pernah ada! Jika kita terus mengabaikannya, dia akan menyerah dan pergi dengan sendirinya!” ujar Tae Bum, memberi usul yang sama.

(Tae Bum sebenarnya sama seperti Tae Hee, dia merasa bersalah pada Ja Eun karena membocorkan hasil penyelidikan yang belum sepenuhnya diselidiki dan membuat Ja Eun dibully, tapi mengingat dia juga tidak enak pada Ibunya, Tae Bum akhirnya memilih bersikap Netral. Tidak memusuhi, namun juga tidak membantu Ja Eun. Tae Bum ingin menjaga jarak aman demi ketenangan hatinya…)

Di rumah Ha Na, Ha Na membantu Ja Eun mengelap rambutnya yang basah.
“Eonnie, rambutmu terus meneteskan air,” ujar Ha Na kasihan.
“Ha Na-ya, hari ini untuk yang pertama kalinya aku tahu kalau disemprot air itu rasanya sangat menyakitkan,” ujar Ja Eun dengan ekspresi sedih dan terluka.
“Menyakitkan? Bukankah seharusnya terasa dingin?” sahut Ha Na, dengan pikiran polosnya.

“Tak hanya dingin, namun juga menyakitkan. Dan itu membuatku sangat sedih,” jawab Ja Eun, masih dengan ekspresi terluka di wajahnya.

“Aku juga merasa sedih. Kenapa Ahjumma begitu jahat?” ujar Ha Na dengan pikiran anak kecilnya yang masih polos. Tuh, kan? Anak kecil aja bisa liat kalau tuh Ahjumma jahat >_< Poor Ja Eunnie T_T

Mi Sook akhirnya datang membawakan segelas teh hangat untuk Ja Eun. Ja Eun meminta ijin untuk memanggilnya “Eonnie (kakak)” dan berterima kasih atas pertolongannya.

Mi Sook kemudian bertanya, “Tentu saja kau boleh memanggilku Eonnie. Kalau begitu, apa aku juga boleh mengobrol denganmu menggunakan banmal (bahasa santai antar sesama teman)?” tanya Mi Sook, ingin mencoba mengakrabkan dirinya.

“Tentu saja. Eonnie bicara santai saja denganku,” sahut Ja Eun senang, karena setidaknya dia sudah memiliki seorang teman.

“Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan Ahjumma? Aku mendengar rumor yang beredar di antara tetangga sekitar yang mengatakan kalau sebenarnya pertanian ini adalah milik ayahmu dan keluarga Hwang hanya menyewa selama 10 tahun. Namun setelah 10 tahun berlalu, mereka tetap tak mau pergi dan justru mencuri kontrakmu, mengambil pertanian ini dan mengusirmu keluar, bahkan juga memanggil polisi. Apa itu benar? Apa itu sebabnya sekarang kau tidur di halaman?” tanya Mi Sook dengan berhati-hati, takut dia salah bicara.

“Tolong jangan tanyakan itu padaku, aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya,” sahut Ja Eun bijaksana.

“Benar juga. Itu juga bisa menjadi masalah bagiku nantinya karena aku tinggal di bawah mereka,” jawab Mi Sook pengertian.

Mi Sook sebenarnya menyewa rumah di tingkat bawah rumah keluarga Hwang, kamar Mi Sook bahkan berhadapan dengan balkon kamar Hwang Tae Shik. Tinggal buka pintu balkon, uda hadap-hadapan. Rumah pertanian keluarga Hwang jalannya naik turun seperti rumah di daerah Malang, ada yang terletak di atas dan ada yang terletak di bawah. Rumah Mi Sook dan juga kamar Tae Shik dan Tae Phil ada di tingkat bawah.

Ja Eun akhirnya meminta ijin untuk menumpang mandi di rumah Mi Sook karena sudah 2 hari lamanya dia tidak membersihkan dirinya, dan berjanji tidak akan mengatakannya pada Ahjumma. Walaupun tampak ragu, Mi Sook pun akhirnya mengijinkan Ja Eun meminjam kamar mandinya.

Saat Ja Eun sedang berada di rumah Mi Sook, Park Bok Ja mengantar Tae Bum untuk pergi karena dia harus kembali bekerja. Si nenek sihir Park Bok Ja menatap tenda Ja Eun dengan tatapan penuh dendam, Tae Bum yang menyadari hal itu, kembali memperingati Ibunya agar jangan bertindak yang aneh-aneh dan menyarankan wanita itu untuk mengacuhkan Ja Eun dan berpura-pura tidak melihatnya.

“Karena kontraknya sudah hilang, itu sebabnya dia melakukan ini untuk menarik perhatian kita. Cukup abaikan saja dia dan anggap bahwa dia tak ada. Jangan pedulikan dia! Anggap dia kasat mata. Jika kita terus mengabaikannya, dia akan lelah sendiri dan akan pergi dengan sendirinya. Apa Ibu mengerti?” ujar Tae Bum, menasehati sang ibu sekali lagi.

Park Bok Ja hanya terdiam tak menjawab, tapi tentu saja dia tidak akan mendengarkan saran dari putranya.

Dan benar saja, setelah Tae Bum pergi. Park Bok Ja segera mencopot tenda Ja Eun dan menyeretnya pergi dari sana. Saat Ja Eun kembali, dia sangat shock mengetahui kalau tendanya telah hilang dan melihat dari jauh punggung Park Bok Ja yang menyeret tenda itu keluar halaman Ojakgyo Farm.

Ja Eun segera mengejarnya dan berusaha menghentikan Park Bok Ja membawa pergi tendanya. Namun Park Bok Ja yang kejam dan berhati dingin, tentu tidak mau peduli dengan permohonan Ja Eun yang memilukan.

“Ahjumma, kumohon berilah aku satu kesempatan. Jangan usir aku. Aku sudah berubah, aku akan buktikan bahwa aku sudah berubah. Aku bukan lagi si gadis manja. Berikan aku kesempatan untuk membuktikan,” pinta Ja Eun memohon dengan air mata berlinang.

“Aku tidak peduli kau sudah berubah atau tidak. Cepat pergi dari sini!” usir Park Bok Ja dengan kejam. Woi, pencuri sialan! Ini tanah dan rumahnya Ja Eun, kalianlah yang seharusnya pergi dari sini! Uda nyuri, yang punya rumah diusir pula. Logika terbalik!

“Ahjumma, kumohon. Tidak bisakah kau mengasihaniku sekali saja? Aku tak punya rumah, aku tak punya tempat tujuan, aku juga tidak kenal siapa pun untuk kumintai pertolongan. Aku hanya ingin tinggal di sisimu dan membantumu. Itu saja. Aku sama sekali tidak menginginkan apa pun, aku hanya ingin tinggal di sisimu,” Ja Eun memohon dengan berlinang air mata. Poor Ja Eunie T_T

Namun Park Bok Ja tidak peduli pada Ja Eun yang menangis dan memohon dengan sepenuh hati. Dia bahkan dengan tega mengancam akan menginjak tanaman kecil milik Ayah Ja Eun yang merupakan peninggalan terakhir sang ayah, hingga mati. Ja Eun sangat menghargai tanaman itu karena itu adalah tanaman yang dia tanam bersama sang ayah. Ja Eun menganggap jiwa ayahnya bersemayam di dalam tanaman itu.

“Jika kau tidak segera pergi, aku akan menginjak tanamanmu sampai mati!” seru nenek sihir Park Bok Ja dengan kejam.

“Jangan. Jangan. Baiklah. Aku akan pergi. Aku tidak akan masuk ke dalam halaman tanpa ijin darimu lagi. Tolong jangan rusak tanaman ayahku. Ini adalah hadiah terakhir dari ayahku. Tanaman ini harus hidup agar ayahku bisa tetap hidup. Walaupun tidak ada seorangpun yang percaya padaku, tapi aku percaya, ayahku pasti akan kembali dengan selamat. Jadi kumohon, jangan rusak tanaman itu,” pinta Ja Eun mengiba. Air matanya mengalir semakin deras. Gak tega litany T_T

“Baiklah. Kalau kau berani masuk lagi ke halaman rumahku, pada saat itu, aku akan menginjak tanaman ayahmu sampai mati!” ancam Park Bok Ja dengan kejam.
“Aku berjanji. Aku berjanji,” sahut Ja Eun lirih dengan menangis terisak.

Setelah mendengar itu, nenek sihir Park Bok Ja akhirnya berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Ja Eun yang malang menangis sendirian. Ja Eun kemudian berlutut untuk mengambil tendanya dan semua barang-barangnya pergi dari sana.

Ja Eun kemudian mendatangi salah satu tetangga dan meminta ijin untuk mencuci tendanya di sana. Untunglah tetangga itu baik dan mengijinkan Ja Eun mencuci tendanya. Ja Eun mencuci tendanya seraya menatap sedih keluarga si pemilik rumah. Mereka adalah keluarga bahagia yang terdiri dari sepasang orang tua dan dua orang anak, yang sedang sarapan bersama dengan tertawa dan mengobrol dengan riang. Ja Eun berharap dia bisa memiliki keluarga yang bahagia seperti mereka namun kenyataannya, dia hanya sendirian di dunia ini dan tidak memiliki siapa-siapa.

Di kantor polisi, Seo Dong Min tampak mondar-mandir menunggu hasil Keputusan Komite Pelanggaran untuk status Hwang Tae Hee. Tak lama kemudian, Tae Hee datang bersama Tim Leader mereka dan mengatakan kalau Tae Hee hanya diberikan peringatan pertama dan masih diampuni karena jasanya atas kasus Kim Jong Ki.

“Karena dia berjasa besar dalam mengungkap kasus Kim Jong Ki (entah siapa itu), jadi dia hanya diberikan peringatan pertama (SP 1). Setiap kali aku melihat kalian, aku begitu khawatir tentang hal ini. Lain kali berhati-hatilah!” ujar Tim Leader Eum, menginformasikan hasil Keputusan Komite Pelanggaran.

“Hanya Surat Peringatan? Bukan pemecatan atau penurunan jabatan? Yeeahh, Tuhan tahu kalau Hyung kami tidak bersalah,” ujar Seo Dong Min gembira, karena Tae Hee adalah teman baiknya.


“YAAAA! Jangan berlebihan,” tegur Hwang Tae Hee singkat.

“Untuk merayakan ini, bukankah kita harus makan malam bersama? Tim Leader, apa Anda tidak ingin mentraktir kami?” ajak Seo Dong Min pada Tim Leader Eum. Namun usulnya ditolak dengan alasan tak punya uang.

Tak lama kemudian, ponsel Tae Hee berbunyi. Dari Lee Seung Mi, yang minta dijemput karena sedang mabuk berat.


(Lee Seung Mi adalah putri Pimpinan Department Penyelidikan Kriminal, Lee Khi Chul dan mahasiswi yang sebenarnya diterima melalui jalan belakang alias menyuap rektor Univversitas. Dia cewek menyebalkan, untunglah kemunculan terakhirnya hanya sampai di episode 16 dan dia tidak mengganggu hubungan Tae Hee dan Ja Eun ke depannya. Tanpa digangguin nih cewek aja, Tae Hee ngejar Ja Eun-nya susah, apalagi kalau ditambah direcokin Lee Seung Mi juga? Kapan mereka jadiannya coba? Ckckck…Udah paling bener disingkirin sejak awal. Orang ketiga cukup cowok aja, lebih seru. Lebih suka ada cowok yang ngedeketin Ja Eun daripada ada cewek yang ngedeketin Tae He xixixi ^_^)

Pada akhirnya, Tae Hee terpaksa menjemput Lee Seung Mi yang sedang mabuk dan mengantarnya pulang. Tae Hee melihat Seung Mi duduk di trotoar dan memanggil namanya.


“Oh, kau sungguh datang, Oppa?” ujar Lee Seung Mi seraya mencoba berdiri.

Saat melihat Tae Hee, Seung Mi ingin memeluknya namun Tae Hee segera menghindar dengan cepat. Gagal deh peluknya hahaha ^^ Sorry ye, hanya Ja Eun yang boleh peluk-peluk dan cium-cium Tae He, Not You – Pick me girl!

“Lee Seung Mi, sadarlah!” seru Tae Hee dengan malas.

“Orang yang seharusnya sadar bukan aku, tapi Baek Ja Eun! Orang yang diterima melalui jalan belakang adalah Baek Ja Eun!” seru Lee Seung Mi, sambil berusaha meminum kembali bir di tangannya, namun Tae Hee merampasnya.

“Memang itu Baek Ja Eun. Harus Baek Ja Eun! Selain Baek Ja Eun, tak boleh ada yang lain! Bahkan walaupun ada tersangka lain, kau tidak akan pernah menemukan siapa orang itu! Takkan pernah bisa!” lanjut Seung Mi mengoceh.


“Apa kau bilang?” tanya Tae Hee tak mengerti.

“Menyerahlah! Dengan kemampuan dan posisimu sekarang, bahkan sampai matipun, kau takkan pernah menemukan tersangka yang sebenarnya!” sambung Lee Seung Mi lagi. Iyalah, kan tersangkanya adalah dia dan bapaknya sendiri.


Di dalam mobil saat mengantar gadis itu pulang, Tae Hee mengingat kembali ucapan Lee Seung Mi yang terdengar janggal untuknya, “Bahkan walaupun ada tersangka lain, kau tidak akan pernah menemukan siapa orang itu! Takkan pernah bisa!”


Setelah sampai di depan rumah Lee Seung Mi, Tae Hee berusaha membangunkan gadis itu namun dia melihat kalau isi tas Lee Seung Mi berhamburan di mobil. Tae Hee memunguti semua barang-barang Seung Mi yang terjatuh dan menemukan sebuah pena berwarna emas dengan ukiran unik yang tampak sangat mahal. Tae Hee mengamati pena itu sesaat dengan penasaran.




Kemudian setelah mengembalikan semua barang-barang Seung Mi, Tae Hee memapahnya turun dan memencet bel rumah gadis itu. Lee Khi Chul yang keluar untuk membukakan pintu.

“Apa kalian minum bersama?” tanya Lee Khi Chul pada Tae Hee.
“Tidak. Dia menelponku dan memintaku mengantarnya pulang,” jawab Tae Hee sebelum menyerahkan Seung Mi pada ayahnya.

Di peternakan, Nenek dan Hwang Tae Phil tampak terkejut saat melihat Ja Eun mendirikan tenda di luar halaman rumah mereka. Gadis itu tampak duduk santai seraya memakan ramen dengan dikerubuti oleh para tetangga julid.

“Apa itu? Kenapa gadis itu berada di luar gerbang?” tanya Nenek pada Tae Phil.

“Dia bahkan membawa tendanya keluar,” sahut Tae Phil, tampak panik. Padalah tadi pagi, dia juga ikutan ngusir. Sekarang beneran pergi, malah dia yang panik sendiri ckckck...

Melihat Ja Eun dikelilingi tetangga julid, spontan membuat Nenek dan Tae Phil menjadi panik dan gugup. Maklum aja, mereka keluarga maling, mereka tahu kalau mereka salah namun tetep keukeuh denial, akhirnya ketakutan sendiri deh setiap kali melihat Ja Eun. Ingat kata pepatah, berani karena benar, takut karena salah! Hwang Family bersalah, itu sebabnya mereka ketakutan sekarang!

Nenek segera bergegas turun untuk melihatnya, diikuti oleh Tae Phil. Mereka tampak berdiri menjaga jarak aman, namun masih bisa mendengar percakapan orang-orang itu dengan jelas.

“Nona, apa kau orang yang ditangkap polisi terakhir kali?” tanya tetangga julid pertama.
“Nona, saat itu kau berteriak lantang ‘Kembalikan pertanianku! Kembalikan kontrakku!’ Apa maksudnya itu?” tanya tetangga julid kedua.

“Apa benar rumor yang mengatakan kalau Ojakgyo Farm Ini sebenarnya adalah milik ayahmu, tapi keluarga Hwang mencurinya darimu? Ayo beritahu kami! Jika kau merasa diperlakukan tidak adil, kau harus memberitahu semua orang dan menuntut keadilan!” ujar tetangga julid ketiga.

(Mampus kan loe kalau tetangga julid pada berkumpul nge-gibah? Hahaha ^_^ Kali ini aku mendukung para tetangga julid itu. Julidin terus sampai kuping keluarga Hwang panas dan mengijinkan Ja Eun masuk rumah. Emak-emak emang harus dilawan sama emak-emak juga. Park Bok Ja udah ketemu rival ceritanya hahaha ^_^)

Nenek dan Hwang Tae Phil hanya mampu menahan napas mereka dengan tegang saat melihat Ja Eun seperti ini mengatakan sesuatu dan menghentikan makannya.
“Ahjumma, apa kalian memiliki makanan sisa lagi?” tanya Ja Eun dengan tampang serius.

Nenek dan Tae Phil yang tadi tampak tegang, seketika menghembuskan napas lega mendengar perkataan Ja Eun yang di luar prediksi mereka.

“Tentu. Tentu saja. Aku akan memberikan semuanya padamu kalau kau menceritakan yang sebenarnya. Apa sebenarnya pertanian ini milikmu?” sahut tetangga julid pertama.

Nenek yang tak tahan lagi mendengar julidan congor tetangga yang bahkan pedesnya ngalahin nasi goreng jancokk level 10, langsung berteriak kesal pada mereka, “Kenapa kalian begitu ingin tahu soal pertanian kami?” teriak Nenek kesal.

Ja Eun yang mendengar suara Nenek segera menyapa dengan sopan, “Annyeonghaseyo, Halmoni...” sapa Ja Eun sambil memegang tutup panci ramennya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nenek pada Ja Eun.
“Aku memasak ramen untuk makan. Aku belum makan sepanjang hari,” sahut Ja Eun dengan polosnya.

Nenek mencoba berbicara ramah karena ada tetangga di sekitar mereka, “Maksudku adalah kenapa kau bisa ada di depan gerbang?” tanya Nenek, memperjelas maksud pertanyaannya.

“Ahjumma tidak mengijinkan aku masuk selangkah pun ke wilayah Ojakgyo Farm,” sahut Ja Eun dengan jujur dan dengan wajah tanpa dosa.

“Lihatlah! Mereka bahkan tidak mengijinkannya untuk masuk ke dalam rumah. Mereka ketakutan!” bisik-bisik tetangga julid mulai terdengar lagi dan membuat kuping si Nenek menjadi panas.

“Apa kalian begitu suka mencampuri urusan orang lain?” seru Nenek kesal pada tetangganya.

Nenek kembali berbicara lembut pada Ja Eun, “Mungkin karena ibunya anak-anak sedang kesal dengan sesuatu, itu sebabnya dia asal bicara. Jangan dianggap serius ucapannya. Masuklah ke dalam. Cepat!” ujar Nenek pada Ja Eun, dengan lembut karena takut menjadi bahan julidan tetangga untuk kesekian kalinya.

“Benarkah aku bisa masuk?” tanya Ja Eun mengkonfirmasi.
“Tae Phil-ah, pindahkan semua barang-barang Ja Eun ke dalam!” perintah Nenek pada Hwang Tae Phil.
“Dan kau, masuklah lebih dulu dengan membawa panci ramennya. Barang-barangmu yang lainnya akan dibawa masuk oleh Tae Phil,” lanjut Nenek pada Ja Eun lagi.

Ja Eun tersenyum gembira lalu segera masuk mengikuti Nenek ke dalam wilayah Ojakgyo Farm. Tinggal Tae Phil di sana yang diperintahkan untuk membawa kembali tenda dan barang-barang Ja Eun yang lain masuk ke dalam.

Tetangga julid mulai mengerumuni Tae Phil dan bertanya kepo padanya, “Siapa gadis muda itu? Apa yang terjadi dengan pertanianmu?”

Tae Phil hanya tersenyum sinis dan berkata ketus, “Ahjumma kita sangat ingin tahu tentang segalanya,” kemudian melangkah masuk dengan kesal.

Tae Phil memindahkan semuanya ke dalam jadi Ja Eun berterima kasih padanya dengan tulus seraya tersenyum manis, “Gomawo, Maknae Oppa!” seru Ja Eun riang.

“Tidak perlu tersenyum! Kami mengijinkanmu masuk bukan karena kami menyukaimu tapi hanya karena kami tidak mau menjadi bahan omongan tetangga,” ujar Tae Phil ketus dan galak.

Namun Ja Eun masih tersenyum manis dan berkata riang, “Aku tahu,” sahutnya dengan senyuman yang tak luntur.

(Ja Eun memang berhati Malaikat, walau paginya dibentak-bentak seperti itu, diusir dengan kasar oleh Hwang Tae Phil, tapi malam harinya dia melupakan semuanya dan masih bisa tersenyum ceria seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa, bahkan walau sekarang dia masih diperlakukan dengan kasar oleh Tae Phil. Ja Eun-ah, hatimu terbuat dari apa sebenarnya?)

“Halmoni, aku akan benar-benar bersikap baik saat tinggal di sini. Jadi jangan lupa sampaikan pada Ahjumma ya,” pinta Ja Eun riang, masih dengan senyuman manisnya. Nenek hanya menarik napas pasrah seraya menyuruh Tae Phil masuk.

“Selamat Malam, Halmoni. Tidurlah dengan nyenyak,” seru Ja Eun sekali lagi, sebelum Nenek melangkah masuk ke dalam rumah.

“Maknae Oppa, kau juga tidurlah dengan nyenyak,” ujar Ja Eun dengan ceria, walau Tae Phil menatapnya galak.

Setelah mereka semua pergi, Ja Eun kembali melihat ke dalam pancinya dan menyadari kalau mie-nya telah jadi dingin dan mengembang.

“Haahhh, ramenku jadi mengembang. Tidak apa-apa, tetap harus dimakan. Karena mulai sekarang, aku butuh banyak tenaga untuk bekerja,” seru Ja Eun, menyemangati dirinya sendiri.

Di dalam rumah, Park Bok Ja mendengar semua yang terjadi dari Nenek, “Apa? Dia mendirikan tenda di luar gerbang?” tanya Park Bok Ja tak percaya.

“Itu sebabnya aku membawa Ja Eun kembali ke halaman,” jawab Nenek menjelaskan.

“Eomoni, Anda membawanya kembali kemari?” seru Park Bok Ja tak terima. Park Bok Ja ini aslinya takut ketahuan kalau maling, makanya jadi panik sendiri kalau ketemu Ja Eun, hatinya gak tenang, feel guilty aslinya.

“Lalu apa menurutmu yang harus aku lakukan saat semua tetangga melihat dan membicarakan hal buruk tentang keluarga kita? Jika kau ingin menendangnya keluar, harusnya kau menendangnya lebih jauh lagi!” omel Nenek kesal. Gara-gara sang menantu, mereka jadi dijulidin tetangga nyinyir. The Power of Tetangga Nyinyir hahaha ^_^

“Aku tidak bisa membiarkan ini! Aku akan mengusirnya lagi!” seru Park Bok Ja, ingin melangkah keluar namun Nenek menghalanginya.

“Apa kita punya hubungan seperti ini, di mana kau, sebagai menantu punya hak untuk menentangku? Bagaimana pun juga aku lebih tua darimu!” seru Nenek makin meradang.

“Biarkan aku yang mengurus hal ini, Ibu. Aku pasti akan setuju dengan Ibu untuk kasus yang lain, tapi tidak dengan yang satu ini,” ujar Park Bok Ja, tak mau mengalah.

Nenek mulai berdiri dari duduknya dan bertanya dengan nada curiga pada menantunya, “Apa mungkin kau memang mencuri surat kontrak Ja Eun? Itu sebabnya kau seperti ini? Itu sebabnya kau tak mampu melihat wajah Ja Eun? Karena kau merasa ketakutan dan selalu dihantui rasa bersalah?” tanya Nenek dengan tepat sasaran.

(Bingo! Si Nenek ini sejak awal memang curiga pada menantunya, tapi karena menantunya selalu
Playing Victim dan selalu mengungkit-ungkit masa lalu mereka yang selalu hidup susah, jadinya si Nenek diam aja)

Perkataan Nenek, spontan membuat Hwang Chang Sik (papa Hwang) dan Hwang Tae Phil (si bungsu) menoleh ke arah Park Bok Ja dengan penasaran.

Namun seperti biasa, Park Bok Ja selalu Playing Victim dan merasa paling tersakiti di dunia ini , padahal dia yang selama ini selalu menyakiti Ja Eun.

“Aku sangat sedih dan terluka. Setelah 40 tahun hidup bersama sebagai keluarga, apa aku menantumu adalah orang yang seperti itu di matamu, Eomonim?” ujar Park Bok Ja berdrama, sekali lagi mengungkit masa lalu.

Bener kata si Nenek di EP 5 waktu itu, nih si Ahjumma layak dapet penghargaan Grammy Awards untuk Best Acting karena akting ‘Sok Tersakitinya’ mantap banget.

“Justru karena aku sudah hidup bersamamu selama 40 tahun jadi aku bisa melihat siapa dirimu yang sebenarnya. Kau adalah wanita yang terkadang bisa sangat kejam dan tak berperasaan. Namun walaupun begitu, aku tetap tidak mengerti kenapa kau bisa begitu kejam dan tak berperasaan pada Ja Eun?” sahut si Nenek, tepat sasaran. Nyahok deh loe, Ahjumma! Nenek sudah mulai berpihak pada Ja Eun tuh.

(Nenek walau gak suka pun, gak sampai nendang tenda, nendang makanan Ja Eun, nyemprot pake air, ataupun mengusirnya dengan kejam. Paling cuma ngomel doank si Nenek dan ngatain Ja Eun “Gadis busuk” atau “Siluman Rubah”, tapi semuanya hanya pakai omongan, gak pernah pakai tindakan seperti Park Bok Ja)

Hwang Chang Sik pun setuju dengan ucapan ibunya, “Aku setuju dengan Ibu. Apa kau lupa apa kata Tae Bum? Dia mengatakan padamu untuk mengabaikan Ja Eun, anggaplah Ja Eun tak pernah ada, anggaplah dia manusia transparan. Bila kau mengabaikannya, aku yakin Ja Eun akan menyerah dan pergi dengan sendirinya. Sejujurnya, aku juga tidak mengerti kenapa kau begitu terganggu setiap kali melihat Ja Eun,” ujar Hwang Chang Sik, setuju dengan sang ibu.

(Hati nuraninya terganggu karena dia pencuri. Berani karena benar, takut karena salah!)

Di luar dugaan, Tae Phil pun setuju dengan Ayah dan Neneknya, “Benar, Eomma. Sejujurnya, aku juga merasa kesal saat mendengar para tetangga membicarakan kita dan bertanya terus pada Ja Eun seperti itu, seolah-olah kita adalah penjahat,” seru Tae Phil, angkat bicara.

Nenek, Ayah dan Tae Phil menatap sang Ibu untuk menunggu reaksinya, namun Park Bok Ja hanya terdiam tanpa bisa berkata-kata dan justru berjalan masuk ke dapur. Speechless kan loe, nenek lampir!


Tak lama kemudian, Tae Hee pulang ke rumah dan melihat Ja Eun yang tertidur di sebuah kursi kecil di depan tendanya. Tae Hee menghentikan langkahnya sesaat seraya menatap Ja Eun yang tertidur dengan damainya.



Tiba-tiba dia teringat ucapan Tae Phil kemarin malam dan kembali membuatnya merasa bersalah pada sang Ibu, “Karena gadis manja itu, kau mengkhianati Ibu seperti ini? Kaulah yang mengajarinya jika ingin mendapatkan pertanian ini maka dia harus mengambil hati Ibu, kan? Kau tidak seharusnya menusuk keluargamu sendiri dari belakang seperti ini! Apa kau lupa bagaimana ibuku memperlakukanmu? Bagaimana dia membesarkanmu dengan penuh kasih sayang? Kau benar-benar tidak tahu terima kasih!” Tae Hee hanya menarik napas berat saat teringat ucapan Tae Phil.


Tae Hee kemudian mencoba berjalan sepelan mungkin agar tidak membangunkan gadis itu, tapi Ja Eun tetap saja terbangun dan melihatnya berjalan mendekat.

“Ahjussi, apa kau baru pulang?” sapa Ja Eun dengan ceria.


Tae Hee tidak menjawab dan mencoba menghindari kontak mata dengan Ja Eun, namun Ja Eun terus mengajaknya bicara, “Apa terjadi sesuatu yang buruk padamu? Kau terlihat seperti sedang kesal terhadap sesuatu,” tanya Ja Eun dengan perhatian, dia tampak khawatir saat menanyakannya. 

(Ja Eun ini sejak awal seperti bisa membaca semua perasaan Tae Hee, saat Tae Hee sedang banyak pikiran, marah, kesal atau gembira, Ja Eun pasti bisa menebaknya dengan benar walau tanpa Tae Hee menceritakannya. Itu sebabnya di EP 49 saat Park Bok Ja bertanya pada Tae Hee apa yang disukai Tae Hee dari Ja Eun? Apa karena Ja Eun cantik? Saat itu Tae Hee mengatakan pada Ibunya kalau sejak bertemu dengan Ja Eun, lubang dalam hati Tae Hee perlahan-lahan terisi karena Ja Eun bisa mengetahui apa yang dia rasakan tanpa perlu dia mengatakannya, sesuatu yang bahkan keluarganya sendiri tidak bisa mengetahuinya. Tapi Ja Eun mengetahuinya hanya dengan melihat ekspresi wajahnya...Karena Tae Hee ini introvert, jadi gak ada seorangpun yang tahu apa yang sebenarnya dia rasakan dalam hatinya, apalagi Tae Hee begitu pintar menutupi perasaannya di depan orang lain. Hanya Ja Eun yang benar-benar memahami perasaannya ^_^ )


Tae Hee mencoba mengabaikannya dengan berjalan pergi, namun Ja Eun menghadangnya, membuat Tae Hee menghentikan langkahnya.

“Ahjussi, tunggu sebentar. Aku ingin menanyakan sesuatu,” ujar Ja Eun seraya berdiri dari kursi kecilnya dan menghadang Tae Hee.

Saat itulah dia melihat jam tangan Tae Hee yang sangat mirip dengan yang dipakai oleh seseorang yang kemarin malam memberikan tissue toilet padanya. Ja Eun dengan spontan meraih tangan Tae Hee dan menatap jam tangan itu dengan penasaran.


“Ada apa?” tanya Tae Hee bingung seraya menarik tangannya yang sebelumnya dipegang Ja Eun, dia bisa melihat ekspresi aneh Baek Ja Eun dengan sedikit gugup.

“Itu...Apa mungkin kau adalah orang yang kemarin malam memberiku tissue?” tanya Ja Eun dengan blak-blakan, yang tentu saja membuat Tae Hee spontan menyangkal.

Tae Hee segera menarik tangannya dan menyangkal kecurigaan Ja Eun, “Apa? Tidak. Tidak ada hal seperti itu,” sangkal Tae Hee dengan salah tingkah dan tampak gugup.

“Tidak mungkin. Jam tangan dan ukuran tanganmu sangat mirip,” Ja Eun tak mau kalah dan tetap mendebat, dia tampak berpikir keras seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Apa kau masih bermimpi? Lanjutkan tidurmu,” jawab Tae Hee, mengalihkan pembicaraan dan berniat pergi, namun lagi-lagi Ja Eun menghentikan langkah Tae Hee, kali ini dengan memegang lengannya.


“Tunggu sebentar, Ahjussi. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” ujar Ja Eun lagi.
“Ada apa lagi?” tanya Tae Hee tak nyaman. Sungguh, bertemu Ja Eun membuatnya selalu merasa bersalah, baik pada ibunya ataupun pada Ja Eun sendiri.

“Jam berapa Ahjumma bangun di pagi hari? Aku harus tahu lebih dulu agar aku bisa menyesuaikan waktunya untuk bekerja,” tanya Ja Eun, sementara Tae Hee menatapnya lekat. Padahal tadi awalnya Tae Hee mencoba menghindari kontak mata saat akan lewat, tapi sekarang malah ditatap lekat. Awas jatuh cinta, pak polisi ^_^




“Saat aku bangun pukul 5.15 pagi tadi, Ahjumma sudah terbangun. Jadi kapan waktu tepatnya dia terbangun?” tanya Ja Eun lagi, seraya mengeluarkan penanya yang sama persis dengan milik Lee Seung Mi yang baru saja dilihat Tae Hee beberapa saat yang lalu.




Ja Eun tampak menuliskan sesuatu di note kecilnya, dan tatapan Tae Hee yang tadi menatap matanya, berpindah mengikuti arah tatapan Ja Eun ke arah note kecil itu, dan saat itulah Tae Hee menyadari bahwa Ja Eun memiliki pena yang sama persis dengan milik Lee Seung Mi.




“Tunggu sebentar,” gumam Tae Hee seraya menarik paksa pena itu dari Ja Eun yang sedang asyik menulis hingga membuat Ja Eun kesakitan.

“Aww! Sakit,” gumam Ja Eun seraya mengusap-usap tangannya yang terkena goresan pena yang ditarik paksa oleh Tae Hee.


“Dari mana kau mendapatkan pena ini? Apa kau membelinya di suatu tempat?” tanya Tae Hee penasaran.

“Waeyo (kenapa)? Ayahku memberikannya padaku. Ayah bilang ini adalah hadiah promosi dalam suatu event,” jawab Ja Eun jujur.


“Ayahmu, Baek In Ho? Kapan dia mendapatkannya? Di mana?" tanya Tae Hee, menginterogasi Baek Ja Eun tentang asal usul pena tersebut.
"Entahlah. Aku tidak ingat lagi. Sepertinya sudah sangat lama," jawab Ja Eun dengan bingung.
"Pinjamkan padaku penamu selama beberapa hari,” ujar Tae Hee, setengah memaksa.
“Kenapa?” tanya Ja Eun tak mengerti.


“Aku membutuhkannya untuk keperluan penyelidikan,” sahut Tae Hee kemudian melangkah pergi bahkan tanpa menjawab pertanyaan Ja Eun.


“Aku bahkan belum menyetujuinya!” protes Ja Eun namun tidak didengar oleh Tae Hee.
“Baiklah. Tapi jangan sampai kau menghilangkannya,” tambah Ja Eun dengan tak rela.
“Tunggu! Kau belum menjawab pertanyaanku. Jam berapa Ahjumma bangun? Pak Polisi!” seru Ja Eun lagi.


“Aku ingin memperlakukannya dengan baik, tapi dia sungguh menyebalkan. Dasar polisi sialan!” omel Ja Eun seraya mengepalkan sebelah tangannya dan membuat gerakan seolah ingin memukul Tae Hee.

Di kamarnya, Tae Hee memandang pena itu dengan berbagai pertanyaan dalam hatinya, dan menebak ada hubungan apa di antara Lee Seung Mi dan Baek In Ho hingga mereka memiliki pena yang sama, atau mungkin lebih tepatnya Lee Khi Chul?


Pagi harinya, pihak kepolisian mengumpulkan semua wartawan (reporter) untuk melakukan konferensi pers dan merilis pernyataan terkait kasus penyuapan Profesor Seo yang terjadi di Korea University dan melibatkan nama Baek Ja Eun sebagai mahasiswi yang diterima masuk melalui jalan belakang.

Seperti perintah Lee Khi Chul, pihak kepolisian menyangkal semua itu dan mengatakan karena kurangnya bukti yang mereka temukan, maka kasus tersebut pada akhirnya dianggap sebagai dugaan semata dan pihak kepolisian memutuskan untuk menutup kasus ini dan meminta maaf atas kehebohan yang sempat tercipta di masyarakat, khususnya kepada pihak terkait yaitu Profesor Seo dan mahasiswa Baek Ja Eun atas semua tuduhan yang ditimpakan kepada mereka.

Tak masalah untuk Baek Ja Eun karena Tae Hee tahu kalau gadis itu memang tidak bersalah, namun untuk Profesor Seo itu lain cerita. Tae Hee yang melihat langsung konferensi pers itu menjadi sangat marah dan tidak terima karena pihak kepolisian memutuskan untuk menutup kasus tersebut begitu saja. Dia menggenggam pena milik Baek Ja Eun dengan penuh kemarahan dalam hatinya.

Dan seperti biasa, Tae Hee selalu menyendiri di ruang olahraga bila hatinya sedang resah atau bila dia sedang marah. Tae Hee melempar bola basket dengan keras untuk melampiaskan kemarahannya.

Seo Dong Min datang dan membujuk Tae Hee untuk melupakan semuanya sekarang, karena bila Tae Hee bersikeras mengungkap kasus ini, Tae Hee pasti akan mendapatkan kesulitan di kemudian hari.

Tanpa kata, Tae Hee mengeluarkan pena milik Baek Ja Eun dan menunjukkannya pada Seo Dong Min.
“Apa itu?” tanya Seo Dong Min bingung. Ya, dia tahu kalau itu adalah pena, tapi apa maksudnya mengeluarkan pena?

Tae Hee menoleh dan menjawab tegas, “Bukti yang menghubungkan Pimpinan Department Lee Khi Chul dan Presdir Baek In Ho. Karena item ini ditemukan, kita harus tetap menyelidikinya,” ujar Hwang Tae Hee tegas, tak bisa dibantah.

“Hyung!” Seo Dong Min tampak ingin melarang, namun bukan Tae Hee namanya kalau bisa dicegah.

Tae Hee sudah terlanjur berjanji kepada Baek Ja Eun (EP 9) bahwa dia pasti akan menyelidiki kasus ini hingga tuntas dan mencari tahu alasan kenapa Baek In Ho memberikan 3 buah jam tangan mewah kepada Profesor Seo, dan kalau Baek Ja Eun memang tidak bersalah, maka Tae Hee pasti akan
  berusaha keras membuktikannya. Tae Hee bahkan meminta Baek Ja Eun untuk menunggu, bukan? Jadi sudah pasti, demi memenuhi janjinya kepada Baek Ja Eun dan untuk membayar hutang moralnya kepada gadis itu, Tae Hee tidak boleh berhenti begitu saja.

Sepertinya Hwang Tae Hee kena mental setelah dikatai Baek Ja Eun sebagai
“Pria pengecut dan Polisi Tidak Kompeten”.

“Jika kau tidak mau bergabung denganku, aku tidak akan memaksamu. Bahkan jika hanya aku seorang diri, aku pasti akan menyelidiki kasus ini hingga akhir!” ujar Tae Hee dengan tegas dan mantap, tak peduli walau karir dan profesinya menjadi taruhannya.

Tae Hee kemudian pergi begitu saja dan Seo Dong Min berteriak padanya, “Bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendirian?” seru Seo Dong Min, tak punya pilihan. Karena dia adalah orang yang setia kawan, dia tidak mungkin membiarkan Tae Hee berjuang sendirian.

“Dia begitu keras kepala,” gumam Seo Dong Min pada dirinya sendiri.

Kembali ke pertanian, Ja Eun akhirnya melihat Park Bok Ja keluar dari dalam rumah dan memulai pekerjaannya untuk mengurus pertanian. Ja Eun menyapanya dengan ramah dan ceria, namun seperti saran Hwang Tae Bum, Park Bok Ja menganggap Ja Eun tidak ada dan terus mengabaikannya.

Namun Ja Eun juga sama keras kepalanya dengan Tae Hee bila sudah memiliki keinginan. Gadis itu mengikuti Park Bok Ja ke mana pun, dia dengan rajin mencatat segala hal yang dia lihat dan segala hal yang Park Bok Ja lakukan. Tak kenal menyerah, itulah Baek Ja Eun.


Di kantor polisi, Tae Hee berjalan keluar dari ruangannya seraya menatap lekat pena milik Ja Eun, saat tiba-tiba saja Cha Su Young menyapanya. Dia adalah salah satu reporter yang diundang untuk menghadiri konferensi pers tersebut. Cha Su Young adalah Tim Leader Hwang Tae Bum dan sekaligus wanita yang tidak sengaja dihamili oleh Hwang Tae Bum (putra kedua Hwang). Siapa yang menyangka jika dia juga mengenal Hwang Tae Hee?

“Hwang Gyeonghwi-nim (Inspektur Hwang),” sapa Cha Su Young. Saat Tae Hee melintas di depannya, Cha Su Young menyapa Tae Hee dengan ramah.

“Tim Leader Cha,” sapa Tae Hee juga dengan tersenyum ramah. Kemudian kedua orang itu akhirnya mengobrol santai di luar ruangan.

Tae Hee membawakan minum untuknya dan mereka mulai mengobrol singkat.
“Kenapa kau tidak memberitahuku bila kau dipindahkan ke kantor polisi wilayah Timur? Jika aku tahu, pasti akan menemuimu lebih cepat,” ujar Su Young berbasa-basi.

“Maaf. Ada banyak masalah yang terjadi jadi aku tidak sempat mengabari Anda. Anda masih bekerja di IBC, kan?” ujar Tae Hee dengan sopan dan tersenyum ramah.

“Ya,” jawab Su Young singkat.
“Sebenarnya, kakak keduaku juga bekerja di IBC,” ujar Tae Hee.
“Ah, reporter Hwang Tae Bum?” sahut Cha Su Young.
“Anda tahu itu?” tanya Tae Hee bingung.

“Bukankah waktu itu kau pernah datang ke IBC? Aku melihatmu saat itu. Sebenarnya aku berada di tim yang sama dengan Reporter Hwang Tae Bum. Tapi bagaimana dua orang saudara bisa begitu berbeda? Benarkah kalian saudara kandung? Adiknya sangat sopan, baik dan ramah,” ujar Cha Su Young, memuji Tae Hee namun kalimatnya seperti menyimpan dendam kepada Tae Bum. (Ya iyalah, lah wong dihamili tapi gak mau tanggung jawab!)

Tae Hee hanya tersenyum canggung mendengarnya, faktanya mereka memang bukan saudara kandung, melainkan hanya saudara sepupu.


“Sepertinya penilaian Anda padaku tidak sepenuhnya benar,” ujar Tae Hee merendah.
“Tapi memang bagaimana kakakku menurut Anda? Anda seperti ingin mengatakan sesuatu namun menahannya,” lanjut Tae Hee penasaran.

Btw, Tae Hee ngomongnya formal ya, bukan banmal, karena Cha Su Young lebih tua darinya dan juga dianggap orang asing bagi Tae Hee. Selain ke Tae Phil, Tae Hee ngomong banmal cuma ke Ja Eun dan Seo Dong Min doang.

“Sejujurnya sangat buruk. Walaupun tidak seburuk itu. Dia sangat kasar, pengecut, egois, tidak bertanggung jawab. Kadang-kadang dia seperti itu,” jawab Cha Su Young seraya tersenyum sungkan, membuat Tae Hee tak enak hati mendengar seseorang mengatai kakaknya seburuk itu.

“Anda benar soal kasar dan egois, tapi kalau tidak bertanggung jawab, sepertinya itu tidak benar karena di rumah, Tae Bum Hyung adalah anak yang berbakti dan bertanggung jawab. Setelah lulus kuliah, alih-alih mencari pekerjaan yang sesuai dengan impiannya, dia memilih pekerjaan yang menghasilkan uang lebih cepat, semua itu dilakukan untuk membantu ayah kami membayar hutang. Tapi walaupun sulit, Hyung tak pernah mengeluh. Barulah saat kondisi keuangan kami sudah stabil, Hyung melamar ke stasiun televisi. Aku mengatakan ini bukan karena aku adalah adiknya,” ujar Tae Hee, membela kakaknya.

“Benarkah? Aku senang mendengarnya,” ujar Cha Su Young masih merasa skeptis. Pembicaraan mereka terhenti saat Tae Hee mendapat telepon dan Cha Su Young pun menelpon Tae Bum untuk mengajaknya bertemu agar bisa membicarakan kelanjutan status anak dalam kandungan Su Young.


Malam harinya, Ja Eun sedang membaca dan dia mencium bau masakan yang sangat lezat, namun Ja Eun yang malang hanya bisa mencium aromanya saja, “Aromanya sangat enak. Rasanya juga pasti lezat. Aku sangat lapar,” ujar Ja Eun dengan sedih.


Di dalam rumah, Tae Hee mendatangi kamar Tae Phil dan berniat mengajaknya bicara baik-baik untuk menjelaskan kesalahpahaman.
“Bangunlah. Aku ingin bicara sebentar,” ujar Tae Hee, masih dengan nada sopan.
“Keluarlah! Tidak ada yang perlu kubicarakan denganmu!” jawab Tae Phil dengan tidak sopan.
“Aku sedang tidak ingin berdebat,” ujar Tae Hee, sedikit memperingatkan.


“Bahkan jika kau ingin berdebat sekalipun, aku tidak akan mendengarkanmu!” sahut Tae Phil dengan kasar dan kurang ajar.

“Baiklah, aku memang mengkhianati Ibu,” ujar Tae Hee mengalah, masih mencoba bersabar menghadapi si berandal sialan, pengangguran tidak berguna, Hwang Tae Phil.

“YYYAA! Kubilang aku tidak mau mendengarkan!” potong Tae Phil dengan kurang ajar.


“Walaupun seperti itu, itu tidak seperti yang kau pikirkan!” lanjut Tae Hee, tetap menjelaskan, tak peduli walau Tae Phil tidak mau mendengarnya.

“Tutup mulutmu! Aku tidak mau mendengarnya!” seru Tae Phil, masih dengan nada tinggi yang terdengar tidak sopan.

“Aku melakukannya demi diriku sendiri,” ujar Tae Hee lagi.
Maksudnya Tae Hee adalah dia merasa bersalah pada Baek Ja Eun karena secara tidak langsung telah membuatnya dihujat publik (karena hasil penyelidikannya yang dibocorkan oleh Hwang Tae Bum).


Tae Phil turun dari ranjang dan menendang kaki Tae Hee seraya berkata, “Si brengsek ini!”
“Itu pasti sakit. Kenapa kau tidak berteriak?” ejek Tae Phil dengan kurang ajar.

Rasa ingin mencekik Hwang Tae Phil beneran. Dasar pengangguran gak berguna, beban keluarga! Aaarrgghh! How dare you hurt my Tae Hee? >_<


“Hentikan sekarang! Aku masih kakakmu!” ujar Tae Hee, mencoba bersabar.

“Kakak apa? Kau adalah anak tetangga. Keluar dari kamarku! Aku bahkan tidak suka melihat wajahmu!” seru Tae Phil dengan kasar. Nih b4ngsat satu memang layak dihajar!


“Berhenti memanggilku anak tetangga! Kesabaranku ada batasnya! Aku kakakmu dan aku bukan anak tetangga!” Seru Tae Hee, akhirnya kehilangan kesabarannya.

“Anak tetangga! Hei, anak tetangga! Pukul aku! Kau tidak bisa, benarkan? Karena kau bahkan melakukan sesuatu yang anak tetangga saja tidak akan melakukannya!” hina Hwang Tae Phil dengan kurang ajar.




Tae Hee yang kehilangan kesabaran segera memiting leher Tae Phil dan mereka mulai berkelahi di kamar.

Hwang Chang Sik tiba-tiba datang dan berteriak marah, “Apa yang kalian berdua lakukan? Hentikan sekarang juga!”


Mendengar sang ayah datang, Tae Hee dan Tae Phil spontan memisahkan diri.

“Sejak kalian masih kecil, kalian selalu berkelahi. Sekarang, kalian sudah dewasa, kalian masih belum menyingkirkan kebiasaan buruk itu! Berapa usia kalian hingga kalian harus berkelahi seperti anak kecil?” raung Hwang Chang Sik murka.

“Abeoji, kali ini aku tidak melakukan kesalahan. Anak ini yang...” Tae Phil tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena Hwang Chang Sik lebih dulu memotong kalimatnya.

“Apa yang pernah kukatakan? Aku bilang aku akan benar-benar menghukummu bila kau memanggil kakakmu dengan ‘anak ini’ lagi, bukan?” sergah Hwang Chang Sik emosi.


“Kau juga Tae Hee-ya. Jika adikmu melakukan kesalahan dan bertindak kasar, kau hanya perlu memarahinya dan pastikan dia tidak akan mengulanginya lagi. Kenapa harus berkelahi seperti ini? Kau harus bertindak seperti seorang kakak. Kalau kau yang lebih tua, seharusnya kau bisa memberinya contoh dan mengarahkannya ke jalan yang benar. Kenapa kalian harus berkelahi seperti anak-anak?” seru Hwang Chang Sik, memarahi Tae Hee juga.


“Sebagai hukuman, kalian berdua pergi antarkan makanan ke tempat Tae Bum!” seru Hwang Chang Sik pada mereka berdua.

“Kenapa harus kami berdua? Kenapa bukan Tae...” Tae Phil kemudian terdiam melihat tatapan maut sang ayah, lalu mengkoreksi kalimatnya, “Suruh Hyung saja, aku sibuk!” ujar Tae Phil menolak.


“Kau anak tidak berguna, memangnya kau sibuk apa? Ayah bahkan melihatmu tidak melakukan apa pun! Kalian berdua pergi bersama! Jangan coba-coba untuk kabur! Ayah akan menelpon Tae Bum untuk memastikannya. Dan kalian berdua bisa bicara melalui speaker untuk mengkonfirmasi kehadiran kalian. Ah tidak, Ayah akan melakukan panggilan video agar bisa melihat wajah kalian. Mengerti? Kenapa tidak menjawab?” perintah Hwang Chang Sik final, tak bisa dibantah.

“Ya, ayah!” sahut Tae Hee dan Tae Phil bersamaan.

Mereka pun pergi ke apartment Tae Bum sesuai mandat sang ayah, namun saat tiba di depan pintu. Mereka tak sengaja mendengar percakapan antara Tae Bum dan So Young yang membicarakan soal hak asuh bayi, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa Cha Su Young sedang hamil anak Hwang Tae Bum saat ini.



“Hyung, kami datang mengantarkan makanan untukmu? Hyung, apa kau ada di rumah?” Hwang Tae Phil yang penasaran dan ingin mendengar cerita dari kakaknya sengaja memanggil Tae Bum untuk menginformasikan kedatangannya. Tae Bum dan So Young akhirnya hanya mampu saling memandang dengan ekspresi horor di wajah mereka.


-----0000-----

Blogger Opinion :
This episode makes me hate the Ahjumma a lot. This Ahjumma… Aissh jinja! She is so mean! First she stole the contract (I know I bring this again), and then she put all the blame on Ja Eun, and if those are not enough, she also chased away Ja Eun from her own farm.

Kekejaman Park Bok Ja kepada Ja Eun menunjukkan bahwa dia merasa bersalah pada gadis itu. It’s her guilt making her be so mean – even her family sensed that and called her out on it. Itu sebabnya Park Bok Ja tak punya pilihan dan membiarkan Ja Eun kembali ke halaman.

That Park Bok Ja totally acted like a woman who is guilty cuz no one would be this mean to Ja Eun unless she was scared of something and in this case – she is afraid her family will know what she did.

For Tae Phil, si kurang ajar itu benar-benar keterlaluan dan gak tahu bagaimana cara menghormati Tae Hee. Walaupun bukan kakak kandung, kakak sepupu tetaplah kakak sepupu. I even called my older cousins “Jie Jie and Koko” and treating them with respect. This asshole and his mom are really annoying for me.

Bersambung...

Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/676 + https://gswww.tistory.com/677

Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan.
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia

---------000000---------

Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS! Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!

Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya, aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia Per-Youtube-an!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Native Ads