Highlight For today episode :
Akhirnya our Main Lead, Hwang Tae Hee dan Baek Ja Eun muncul dalam satu scene. Yeeeyyy! Ya walaupun Tae Hee hanya sekedar datang melihat kenapa lampu gudang menyala dan ternyata Ja Eun ada di sana untuk mengisi daya ponselnya dan menggambar sketsa. Dan meskipun Tae Hee masih bersikap dingin pada Ja Eun, setidaknya dia gak menatap Ja Eun dengan aura permusuhan lagi seperti di episode 1-10.
Akhirnya our Main Lead, Hwang Tae Hee dan Baek Ja Eun muncul dalam satu scene. Yeeeyyy! Ya walaupun Tae Hee hanya sekedar datang melihat kenapa lampu gudang menyala dan ternyata Ja Eun ada di sana untuk mengisi daya ponselnya dan menggambar sketsa. Dan meskipun Tae Hee masih bersikap dingin pada Ja Eun, setidaknya dia gak menatap Ja Eun dengan aura permusuhan lagi seperti di episode 1-10.
Pemeran utama memang jadiannya selalu belakangan, kan?
Berhubung drama ini ada 58 episode jadi ya memang harus sabar. Kalau langsung
jadian, tamat dong besoknya hahaha ^_^ Falling In Love-nya di episode belasan tapi
jadiannya baru di episode puluhan. Maklum, pak polisi kita kan gak sadar sama
perasaannya sendiri, begitu sadar kalau dia Falling In Love, Ja Eun uda keburu
pergi jadi ngejarnya lumayan susah plus direcokin sama Second Male Lead pula
hahaha ^_^
------0000----
Episode 14 :
Episode 14 dimulai dengan makan malam keluarga Hwang yang
diwarnai kemarahan Hwang Chang Sik karena Hwang Tae Bum menolak untuk
bertanggung jawab dan menikahi wanita yang sudah dia hamili. Wah, b4ngsat juga
nih Tae Bum! Memang layak dijambak tuh sama si bapak. Emang cuma Tae Hee doang
yang bener nih di antara 4 bersaudara Hwang, Tae Shik pun punya anak di luar
nikah, sedang Tae Phil pengangguran tidak berguna.
Adegan dimulai dari Nenek yang bertanya apakah bayi itu
dibuat karena “Kecelakaan”.
“Apakah bayi itu dibuat karena kecelakaan?” tanya Nenek
dengan shock. Tak habis pikir dengan gaya hidup anak muda jaman sekarang yang
melakukan sex di luar nikah karena jamannya dulu tidak begitu.
“Jadi kalian berdua tidak pacaran?” tanya Park Bok Ja juga
dengan ekspresi kaget.
“Ya. Kami tidak pernah pacaran. Cha Su Young adalah
pimpinanku di kantor,” sahut Tae Bum dengan jujur.
“Lalu apa yang harus kita lakukan karena dia sudah terlanjur
hamil?” tanya Park Bok Ja seraya menatap Tae Bum.
“Apa yang akan kau lakukan karena dia sudah terlanjur hamil? Apa rencanamu sekarang? Apa yang akan kau lakukan?” desak Hwang Chang Sik pada putranya, mulai emosi.
“Aku sedang mendiskusikan masalah ini dengannya. Kami akan segera memutuskannya,” sahut Tae Bum seraya menundukkan kepalanya.
“Bagaimana keputusanmu setelah mendiskusikannya? Apa kau ingin mengatakan kalau kau tak menginginkan bayi itu?” ujar Hwang Chang Sik, menatap tajam Tae Bum dengan ekspresi seolah ingin memakannya.
“Aku rasa dialah yang lebih berhak memutuskannya,” jawab Tae Bum lirih.
“Aku bertanya apa yang akan kau lakukan, bukan apa yang akan dia lakukan!” Hwang Chang Sik memperjelas pertanyaannya.
“Sudah kubilang bahwa aku tidak berpikir untuk menikah dengannya. Ini bukan keputusan yang mudah. Aku sudah memikirkannya dengan serius dan hati-hati. Aku tidak bisa menikah dan menjalani hidup dengan wanita yang tidak kucintai. Aku tidak bisa melakukan itu, Ayah.” jawab Tae Bum, bersikeras menolak untuk menikah.
“Jadi inti dari semua ucapanmu adalah kau tetap tidak mau menikahi wanita itu, tidak peduli dia akan melahirkan anak itu atau menggugurkannya? Itu adalah masalahnya, bukan masalahmu, apakah itu yang ingin kau katakan sekarang? Aku bertanya padamu, apa itu maksudmu?” seru Hwang Chang Sik, semakin emosi.
Tae Bum berkata, “Ya” dengan tegas, dan berakhir dengan sebuah pukulan keras di kepalanya dari sang ayah yang sangat emosi mendengarnya. Bagaimana bisa dia memiliki seorang putra yang begitu tidak bertanggung jawab dan tidak bermoral?
Park Bok Ja dan Tae Shik mencoba menenangkan Hwang Chang Sik yang tampak emosi, Chang Sik meminta maaf pada sang Ibu namun Nenek berkata bahwa Tae Bum memang layak dipukul.
“Ayahlah yang bersalah. Ayah yang tidak bisa mengajarimu dengan benar. Ayah terlalu memanjakanmu jadi ini akibatnya. Setelah menyebabkan masalah besar, yang kau katakan hanyalah ‘bukan urusanku, tapi urusannya’? Kau memang anak kurang ajar!” seru Hwang Chang Sik masih dengan emosi yang menggebu-gebu di dadanya.
“Aku tidak mengatakan ‘itu bukan urusanku’, melainkan itu terserah padanya ingin melahirkan anak itu atau menggugurkannya, yang pasti aku tidak ingin menikah dengannya. Aku tidak ingin hanya karena dia menyukaiku, lalu aku harus terpaksa menikahinya demi anak itu. Apa yang ingin dia lakukan pada anak itu, semuanya terserah padanya. Aku hanya bisa menghormati keputusannya,” elak Tae Bum dengan lancar.
(Sama aja, Bambang! Intinya loe gak mau tanggung jawab habis ngehamilin anak orang. Para pria keluarga Hwang memang gak punya moral semua, kecuali Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Hee)
“Diam kau, anak brengsek! Bukankah itu sama saja dengan tidak mau bertanggung jawab?” seru Hwang Chang Sik murka.
Sementara Tae Hee tampak memendam kekesalan dan kekecewaan pada kakak keduanya, namun tidak mengatakan apa-apa. Ekspresi Tae Hee seolah mengatakan, “Bagaimana bisa kakak keduanya memperlakukan anaknya sendiri seperti orangtua kandungnya memperlakukannya selama ini? Apakah kakak keduanya tidak bisa melihatnya yang begitu menderita karena ditinggalkan seorang diri?”
“Ayah, apa Ayah ingin aku menjalani pernikahan yang tidak kuinginkan? Hidup bersama wanita yang tidak kucintai selama sisa hidupku? Apa Ayah ingin aku melampiaskan ketidakbahagiaanku padanya dan bayi itu nantinya?” lanjut Tae Bum tanpa merasa bersalah.
“Tidak peduli apa itu karena kecelakaan, atau pernikahan tanpa cinta, atau neraka sekalipun, sebagai seorang pria, kau harus bertanggung jawab! Bersikaplah seperti seorang pria! Jika semua orang berpikir sepertimu, maka akan ada banyak perceraian!” seru Hwang Chang Sik marah seraya memukul kepala Tae Bum sekali lagi.
“Tidak peduli jalan apa yang diambil oleh orang lain, aku bukan mereka jadi aku tidak bisa melakukan cara yang sama. Itu tidak cocok untukku. Bahkan sampai mati, aku tidak bisa melakukannya! Aku juga merasa sangat buruk, aku tahu aku tidak bertanggung jawab, aku tahu semua itu tapi aku juga tidak memiliki solusi,” sahut Tae Bum keras kepala.
(Intinya biarpun orang lain terpaksa menikah demi untuk bertanggung jawab, dia gak mau. Bodoh amat, aku gak cinta kok. Gitu maksudnya!)
Hwang Chang Sik benar-benar emosi dan ingin memukul kepalanya lagi tapi Park Bok Ja melarang dan berkata, “Lebih baik kita panggil wanita itu kemari dan tanyakan apa pendapatnya.”
Tae Bum yang sedari tadi hanya menunduk, segera mengangkat kepalanya menatap sang Ibu.
“Benar. Benar, Eomma. Kita panggil saja wanita itu. Bukankah pendapat si wanita juga sangat penting? Tak hanya pendapat Tae Bum saja?” ujar Tae Shik setuju.
“Benar. Bila pihak wanita tidak ingin menikah, tidak ada yang bisa kita lakukan,” ujar Nenek setuju, agar mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak.
“Benar. Benar. Siapa tahu pihak wanita tidak ingin menikah,” sahut Tae Shik setuju. Tae Bum hanya bisa menatap Tae Shik dengan tatapan membunuh.
Niat hati ingin membantu adiknya, tapi Tae Shik malah menjerumuskan, karena faktanya Cha Su Young lah yang memaksa ingin dinikahi, sementara Tae Bum selalu menolak. Kalau yang ditanya Su Young, otomatis Su Young akan menjawab “Bersedia”.
(Aku gak sukanya dengan Cha Su Young itu karena dia seperti wanita yang gak punya harga diri, ngejar-ngejar cowok dan memaksa untuk dinikahi. Ya aku tahu kalau dia uda terlanjur hamil, tapi daripada seperti wanita gak punya harga diri yang memaksa seperti itu, lebih baik dia besarkan anak itu sendiri. Cha Su Young anak orang kaya, orangtuanya punya harta, dia cantik dan pintar, bawa anak itu dan besarkan sendiri, biarkan nanti Tae Bum nyesel sendiri. Bukan ngejar-ngejar minta dinikahi kayak wanita gak punya harga diri >_< Aku gak suka kalau wanitanya yang ngejar, apalagi kalau ceweknya secara harta kekayaan dan kedudukan ada di atas cowoknya. Ibaratnya anak orang kaya ngejar-ngejar pemulung. Duh >_< Untunglah dalam kisah Tae Hee - Ja Eun, yang mati-matian ngejar adalah Hwang Tae Hee, bukan Baek Ja Eun. Walau Ja Eun suka duluan, namun dia sebisa mungkin menyembunyikan perasaannya, sampai akhirnya Tae Hee-lah yang mengejar Ja Eun dan berusaha mendapatkannya)
Tae Phil yang mengetahui hal ini pun menatap Tae Shik dengan ekspresi yang mengatakan, “Dasar bodoh! Kau malah menjerumuskan kakak kedua.” Tae Phil tentu saja berpihak pada Tae Bum yang merupakan kakak kesayangannya.
Hanya Tae Hee yang hanya tetap terdiam tanpa mengatakan apa-apa, tapi ekspresinya mengatakan bahwa dia membenci sikap Tae Bum yang pengecut dan tidak bertanggung jawab. Mungkin jika saja Tae Bum bukan kakak sepupunya, Tae Hee sudah pasti akan menangkapnya dengan tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual, karena menghamili namun tidak mau bertanggung jawab.
“Kita harus memanggil wanita itu kemari,” usul Park Bok Ja sekali lagi.
Tapi Tae Bum serta merta melarang keras, “Eomma, ini adalah masalah dengan hidupku yang menjadi taruhannya, kenapa harus memanggilnya untuk membuat keputusan untukku? Dan juga, apa pun yang akan dia katakan nanti, aku tetap tidak mau menikah dengannya!” putus Tae Bum, final.
Akhirnya Hwang Chang Sik memukul Tae Bum sekali lagi dengan lebih keras.
“Ayah tidak peduli! Tidak perlu banyak bicara lagi. Bawa wanita itu datang kemari besok siang!” Hwang Chang Sik pun memberikan keputusan final.
Setelah makan malam, Tae Hee mengantar Tae Bum ke luar rumah
sambil mengajaknya bicara dari hati ke hati mengenai perasaan seorang anak yang
tidak memiliki orangtua dan tumbuh besar tanpa kasih sayang orangtua. Tae Hee
mencoba menyentuh hati nurani Tae Bum dan mengatakan bahwa dia tidak ingin anak
Tae Bum merasakan apa yang dia rasakan selama ini.
“Sudah kubilang kau tidak perlu mengantarku keluar,” ujar Tae Bum pada Tae Hee.
“Aku akan memberimu tumpangan. Sekarang sudah malam, pasti sangat sulit mencari taksi di jam sekarang ini,” jawab Tae Hee sambil tersenyum.
“Tidak usah. Aku akan berjalan kaki hingga ke jalan utama. Lagipula aku butuh udara segar untuk menjernihkan otakku. Di dalam rumah rasanya begitu panas,” ujar Tae Bum, masih menolak. Tapi Tae Hee bersikeras mengantar.
“Apa kau sudah menghapus dia dari hatimu?” tanya Tae Hee tiba-tiba.
“Apa?” Tae Bum tampak tak mengerti.
“Hye Ryeong Noona, apa kau sudah menghapusnya dari hatimu?” tanya Tae Hee, mempertegas pertanyaannya.
“Kupikir aku sudah menghapusnya dari hatiku, namun dia sudah meninggalkan begitu banyak jejak hingga sulit bagiku untuk benar-benar menghapusnya,” jawab Tae Bum seraya mengenang mantan pacarnya yang meninggalkannya untuk menikah dengan pria yang lebih kaya.
“Jika seiring waktu berlalu, dia tak pernah muncul lagi, bukankah seharusnya jejak itu sudah menghilang sepenuhnya?” ujar Tae Hee seraya menatap kakak keduanya.
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Tae Bum, menatap Tae Hee yang tampak bicara berbelit-belit.
“Tim Leader Cha adalah wanita yang baik,” ujar Tae Hee lagi.
“Siapa yang bilang kalau dia bukan wanita yang baik? Dia adalah wanita yang baik meskipun dia sering membuatku kesal. Tapi dia adalah pimpinan Tim yang baik dan reporter yang hebat, namun sayangnya dia bukan wanita yang kucintai,” sahut Tae Bum, mulai mengerti arah pembicaraan Tae Hee.
“Walaupun dia bukan wanita yang kau cintai, namun dia adalah wanita yang mengandung bayimu,” ujar Tae He lagi.
“Jika kau hanya ingin membahas hal itu, maka pulanglah ke rumah!” ujar Tae Bum kesal.
“Apa yang paling penting dalam sebuah pernikahan selain cinta? Bukankah itu kepercayaan dan kesetiaan?” tanya Tae Hee lagi, yang belum mengerti apa itu cinta karena belum pernah merasakannya.
(Looks who’s talking! Tae Hee-ya, kau juga tidak mau menikah dengan wanita lain selain dengan Ja Eun, kan? Because you loves her! Kau bahkan lebih memilih single seumur hidup jika tidak bisa menikah dengan Ja Eun... So, loves is the most important thing. Tapi dalam kasusnya Tae Bum, dia harus tanggung jawab walau dia gak cinta! Jadi beda kasus ya... Karena beda kasus, aku mendukungmu kali ini, Tae Hee ^_^)
“Kenapa kau mengatakan sesuatu yang umumnya dikatakan oleh generasi tua seperti Ayah?” sindir Tae Bum.
“Wanita yang baik tidak akan mengkhianatimu, tapi wanita yang kau cintai, pada akhirnya mengkhianatimu. Kau pernah mengalami itu sekali, bukan?” ujar Tae Hee lagi, mencoba membujuk kakak keduanya.
“Sudah kubilang, pulanglah ke rumah!” Tae Bum mulai emosi, namun Tae Hee tetap tenang.
“Hyung, itu karena kau tidak pernah tahu rasanya ditinggalkan oleh orangtuamu, itu sebabnya kau dengan mudah berkata seperti itu. Karena kau tidak pernah tahu rasa sakit yang mereka rasakan saat mereka kecil dan apa yang mereka rasakan ketika mereka mulai tumbuh dewasa. Jika seandainya Tim Leader Cha melahirkan anak itu, aku harap anak itu tidak akan pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang,” ujar Tae Hee, mengungkit masa kecilnya yang menyakitkan, hingga membuat Tae Bum spontan menghentikan langkahnya.
Tae Bum spontan menatap Tae Hee dengan tatapan iba dan perasaan bersalah.
Tae Hee kemudian tersenyum manis seolah sedang menutupi hatinya yang terluka, “Aku hanya ingin mengatakan itu. Ayo pergi!” ujar Tae Hee yang membuat Tae Bum merasa bersalah. Dan memang karena ucapan Tae Hee inilah, Tae Bum akhirnya setuju untuk menikah.
Di halaman rumah, Tae Shik tampak berjalan keluar rumah dengan membawa seplastik penuh berisi makanan dan membungkuk ke arah tenda Ja Eun seraya memanggilnya lirih, “Ja Eun-ssi, apa kau sudah tidur?”
Kemudian dia bergumam pelan, “Tidak mungkin dia sudah tidur di jam seperti ini? Ja Eun-ssi?” panggil Tae Shik lagi namun tidak mendapat jawaban.
“Aku tidak bisa membuka tendanya untuk melihat,” gumam Tae Shik pada dirinya sendiri.
Karena Ja Eun adalah seorang gadis, tentu tidak sopan bila dia membuka tenda itu tanpa seijin Ja Eun, bukan? Hhhmm…Gak tahu aja dia, 3 episode ke depan, Tae Hee malah menerobos masuk tenda Ja Eun dan numpang tidur di sana hahaha ^_^
Tiba-tiba Tae Hee datang dan mengagetkan Tae Shik, “Kakak pertama, apa yang sedang kau lakukan?” sapa Tae Hee dan Tae Shik segera menyembunyikan makanan di belakang punggungnya dengan gugup dan panik.
“Dari mana kau malam-malam begini?” Tae Shik balik bertanya untuk menutupi kegugupannya.
“Aku baru saja kembali setelah mengantar kakak kedua ke jalan utama,” jawab Tae Hee menjelaskan, kemudian dia melihat sesuatu yang disembunyikan Tae Shik di belakang punggungnya.
“Apa itu?” tanya Tae Hee ingin tahu.
Tae Shik terpaksa mengeluarkan seplastik penuh makanan yang dia sembunyikan di balik punggungnya tadi.
“Aku membelikan Ja Eun-ssi sedikit makanan. Ada jus kotak, buah-buahan, kimchi, makanan ringan, air mineral dan banyak lagi. Dua hari yang lalu saat aku melihatnya mengambil kue, membuatku merasa sangat buruk,” sahut Tae Shik.
Kemudian dia berjalan lebih mendekat ke arah Tae Hee dan berbisik pelan, “Jaga rahasia ini dari Ibu dan Tae Phil,” pinta Tae Shik lirih.
Tae Hee mengangguk mengerti, “Tentu.”
“Aku mengerti soal alasan Ibu, tapi aku tidak tahu kenapa anak nakal itu juga ikut-ikutan kejam pada Ja Eun-ssi. Kau tidak seperti itu, bukan?” tanya Tae Shik seraya melirik Tae Hee.
“Apa aku tampak seperti itu?” jawab Tae Hee kemudian menuding ke arah tenda.
“Apa dia tidak ada di dalam?” tanya Tae Hee seraya menatap tendanya penasaran.
“Aku tidak tahu apakah dia pergi ke suatu tempat ataukah sudah tidur. Seharusnya tidak masalah kan jika aku meletakkannya di sini?” ujar Tae Shik seraya meletakkan seplastik makanan itu di depan tenda.
“Apakah dia akan tahu kalau aku yang memberikan ini padanya? Haruskah aku meninggalkan pesan?” gumam Tae Shik seraya melirik Tae Hee yang tidak mengerti.
“Lupakan saja. Kurasa bukan masalah penting dia tahu atau tidak kalau aku yang memberikannya. Ayo masuk,” ajak Tae Shik yang hanya diangguki kepala oleh Tae Hee.
Pagi harinya, seperti biasa Park Bok Ja membangunkan Ja Eun di tendanya setiap pukul 4.30 dini hari. Walaupun Ja Eun mengantuk dan lelah, dan sedikit mengomel kesal, namun dia tetap terbangun dan mengikuti Park Bok Ja mengurus pertanian.
“Aku tahu dia melakukannya dengan sengaja. Dia sengaja mengubah metodenya. Aku tahu dia ingin menyiksaku dan memaksaku untuk menyerah. Kita lihat saja, apa aku akan menyerah atau tidak?” omel Ja Eun pada dirinya sendiri. Tenang saja, Ja Eun bukan type orang yang gampang menyerah, semakin ditekan, dia akan semakin semangat.
Ternyata Park Bok Ja membawa Ja Eun ke kandang bebek. Namun
dia tampak panik saat melihat lampu di kandang bebek itu mati. Ja Eun berkata
bahwa semalam dia mematikan lampunya untuk menghemat energy. Park Bok Ja
memarahi Ja Eun dan mengatakan bahwa Ja Eun tidak boleh melakukan sesuatu yang
tidak diperintahkannya.
Ja Eun bertanya kenapa dia tidak boleh mematikan lampu kandangnya, ternyata itu karena bisa menyebabkan anak-anak bebek menjadi tertindih oleh yang lebih dewasa. Secara insting, mahkluk hidup pasti mencari cahaya, bebek juga, dan karena lampu dimatikan, mereka pasti mencari tempat yang sekiranya bisa memantulkan sinar bulan dari jendela. Akibatnya bebek-bebek itu akan berlarian ke sana kemari dalam kegelapan untuk mencari adanya cahaya.
Dan setelah mereka menemukan cahaya bulan tersebut, bebek-bebek tersebut pasti akan berkumpul di satu tempat tersebut dan saling menindih satu sama lain. Anak-anak bebek yang masih kecil, tentu tidak sebanding kekuatannya dengan bebek-bebek dewasa dan pada akhirnya mereka akan terluka atau mati karena tertindih oleh bebek dewasa.
Park Bok Ja menemukan dua ekor anak bebek yang tampak lemah karena tertindih semalaman oleh bebek-bebek dewasa dan membawanya keluar dengan menempatkan mereka di dalam sebuah kardus.
Di luar kandang, Park Bok Ja memberikan seekor anak bebek kepada Ja Eun dan meminta gadis itu membelainya dengan lembut dan mengajak anak bebek itu bicara. Park Bok Ja memberikan contoh bagaimana cara melakukannya sementara Ja Eun melihatnya dengan mata berkaca-kaca dan hampir menangis.
Ja Eun tampak sedih dan menyesal karena dia hampir saja membunuh dua ekor anak bebek yang tidak bersalah. Dia membelai anak bebek itu dengan lembut dan penuh kasih sayang seraya berdoa dalam hati agar anak bebek itu segera sadar.
Dan seolah menjawab doa Ja Eun, baik anak bebek di tangan Ja Eun maupun di tangan Park Bok Ja, keduanya mulai sadar dan bergerak-gerak menggemaskan. Ja Eun tersenyum lega saat melihat anak bebek di tangannya akhirnya kembali hidup.
Di kantor polisi, Tae Hee dan Dong Min menatap layar komputer dan melihat berbagai logo Department Store dan Hotel yang ada di Hongkong, namun sayangnya mereka tidak melihat ada satupun di antara banyaknya Department Store maupun Hotel tersebut yang memiliki logo yang sama dengan pena Baek Ja Eun.
“Ini adalah logo dari semua Department Store dan Hotel yang
ada di Hongkong, namun tak ada satupun yang memiliki desain yang sama dengan
pena ini,” lapor Seo Dong Min, menunjukkan hasil penyelidikannya pada Tae Hee.
“Jika pena ini adalah barang souvenir, ada kemungkinan juga ini adalah logo dari restaurant atau pusat perbelanjaan,” ujar Tae Hee, mencoba mencari kemungkinan lain.
Saat itulah, Tim Leader mereka berjalan masuk ke dalam ruangan jadi Seo Dong Min dengan cepat mengubah layar monitornya hingga menampilkan gambar-gambar seorang gadis muda yang cantik.
Benar saja, Tim Leader mereka tampak penasaran dengan apa yang dilihat Tae Hee dan Dong Min pagi-pagi begini lalu mengintip.
“Dia adalah type idealku. Bukankah dia cantik?” ujar Dong Min. Tae Hee hanya tertawa melihat akting Seo Dong Min. Tapi maaf Seo Dong Min, type-nya Tae He yang modelan Baek Ja Eun, member Girlband berkaki panjang dan seksi. Upppz, itu mah UEE.
“Sekarang aku mengerti kenapa kau tidak punya pacar. Bahkan bila dia adalah type idealmu, kau harusnya lebih realistik. Apakah kau ingin kukenalkan dengan adik iparku?”ujar Tim Leader Eum, meledek Seo Dong Min.
“Apa? Bukankah dia lebih tua 5 tahun dariku? Aku tidak suka wanita yang lebih tua,” seru Seo Dong Min tak terima.
“Kau juga mulai terlihat tua. Tidak apa-apa. Wajahmu terlihat 10 tahun lebih tua,” sahut Tim Leader Eum dengan entengnya.
“Tim Leader!” Seo Dong Min berteriak tak terima sementara Tae Hee hanya tertawa lucu mendengarnya.
Tak lama kemudian, Tae Hee berjalan keluar dari ruangannya dan ingin ke suatu tempat, namun dia tak sengaja berpapasan dengan Lee Khi Chul. Tae Hee membungkuk memberi hormat, namun saat mereka berhadapan, Lee Khi Chul membisikkan kalimat peringatan untuknya.
“Perhatikan tindakanmu! Karena ini yang pertama kalinya, kau
masih diampuni. Tapi jika kau memprovokasiku lagi, ketika saatnya tiba, kau
harus mempersiapkan mentalmu!” ujar Lee Khi Chul memperingatkan.
Malam harinya, Tae Hee dan Dong Min berada di dalam mobil Tae Hee agar bisa leluasa mengamati foto-foto pena yang mereka kumpulkan. Berhubung mereka menyelidiki ini secara diam-diam jadi otomatis Tae Hee dan Dong Min tidak bisa membahas hal ini di kantor secara terbuka.
“Ini benar-benar sama persis,” ujar Seo Dong Min, tak kalah senang. Ya ya, kerja bagus Pak Polisi ^_^ Segera buktikan kalau Baek Ja Eun tak bersalah!
“Kupikir kita tidak akan pernah berhasil menemukannya dan hampir saja menyerah,” lanjut Seo Dong Min dengan penuh kegembiraan.
(Bisa kebayang capeknya keliling kota nyari model pena yang sama, ke semua toko buku, Department Store, bahkan pabrik pembuatan alat tulis, namun hasilnya nihil. Begitu ketemu, langsung deh serasa encok pegel linu ilang semua, gimana gak seneng, coba?)
“Tapi di mana lokasi restaurant ini?” tanya Seo Dong Min lagi. Tentu saja Tae Hee mendapatkan foto tempat itu dari Internet sebelumnya.
Tae Hee pun mengambil kembali foto itu dan membaca nama restaurant yang terdapat di plangnya, “Hongkong Central Restaurant Lane,” sahut Tae Hee seraya membaca plangnya.
“Restaurant? Kenapa pena ini dibuat oleh Restaurant?” tanya Seo Dong Min bingung. Karena umumnya yang memiliki souvenir berupa pena adalah Hotel. Yup, aku aja punya penanya Hotel JW Marriot, Java Paragon, Sommerset Hotel dan Park Hotel Jakarta, karena pernah seminar di sana. Kalau restaurant, masih belum punya.
Tae Hee menjawab, “Mungkin pena tersebut dibuat untuk sebuah event khusus atau mungkin bisa jadi untuk hari ulang tahun Restaurant tersebut.”
“Ah, kalau begitu aku akan menghubungi mereka besok pagi,” sahut Dong Min, mengerti apa yang harus dilakukannya besok pagi, sementara Tae Hee kembali menatap foto itu seolah berharap bahwa penyelidikan mereka menemui titik terang.
Setelah penyelidikan selesai, kedua polisi muda itupun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Saat sampai di rumah, Tae Hee melihat pintu gudang terbuka dan lampunya masih menyala. Karena penasaran, dia pun datang untuk melihat ke dalam sana, hanya untuk menemukan Baek Ja Eun sedang duduk untuk melukis sketsa dan mengisi daya ponselnya.
(Adegan ini cukup penting. Karena ini menunjukkan bahwa Tae
Hee secara tidak sadar telah menghapal kegiatan Ja Eun dan ke mana gadis itu
pergi jika tak berada di dalam rumah. Di episode berikutnya pun, jika Tae Hee ingin
mencari Ja Eun, dia selalu mendatangi gudang ini karena dia tahu, gudang ini
adalah tempat di mana Ja Eun mencari inspirasi untuk lukisannya, mengingat gudang
ini sangat sepi dan memiliki pencahayaan yang terang. Di sini juga, Tae Hee
mengutarakan perasaannya untuk yang ketiga kalinya (alias nembak yang ketiga kalinya). Bahkan saat sudah resmi pacaran
pun, Tae Hee dan Ja Eun berkencan di dalam gudang, jika mereka tak punya waktu
untuk berkencan di luar rumah. Jadi diam-diam ketemuannya dg gudang, biar gak
ada yang gangguin)
Saat Tae Hee masuk ke dalam gudang, Ja Eun sedang menatap sketsa makanan dan minuman dengan wajah sedih dan bergumam pada dirinya sendiri betapa dia sangat ingin minum kopi saat ini, namun sayang, dia tak punya uang. Ja Eun tersenyum gembira saat melihat Tae Hee datang.
Tae Hee yang baru saja masuk bertanya pada gadis itu, “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Tae Hee ingin tahu.
“Aku mengisi baterai ponselku di sini. Ketika malam tiba, aku menghabiskan sebagian besar waktuku di tempat ini. Aku bisa mengisi baterai ponselku, lalu bisa menggambar sketsa. Karena pencahayaannya yang terang dan juga sangat sepi, jadi aku bisa mencari inspirasi di sini,” sahut Ja Eun dengan ceria seperti biasanya.
“Hhmm…Aku datang karena melihat lampu gudang menyala, jadi aku datang untuk memeriksanya. Baiklah, lanjutkan kegiatanmu,” ujar Tae Hee datar, juga ikut menjelaskan maksud kedatangannya.
Tae Hee baru saja berniat pergi, namun saat akan berbalik, Ja Eun mencoba menghentikannya, “Ahjussi, tunggu sebentar,” panggil Ja Eun lagi.
“Kenapa?” tanya Tae Hee dengan datar, namun batal berbalik.
“Saat aku melihatmu, aku merasa gembira. Tapi sepertinya Ahjussi tidak suka melihatku,” ujar Ja Eun dengan random, membuat Tae Hee menggaruk pipinya bingung karena tak memahami maksud kalimat Ja Eun.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanya Tae Hee datar.
Ja Eun kemudian mengulurkan tangannya ke arah Tae Hee dan meminta penanya kembali, “Mana penaku?” pinta Ja Eun, akhirnya menjelaskan maksudnya. Balikin woi, balikin! Pena peninggalan papa tuh! Penting banget, jangan sampe ilang!
“Aku akan mengembalikannya padamu sebentar lagi karena aku masih menyelidikinya saat ini,” jawab Tae Hee singkat.
“Baiklah, tidak apa-apa. Yang penting kau tidak menghilangkannya,” sahut Ja Eun, tak punya pilihan selain mengijinkannya.
“Ah, aku juga sudah belajar tentang mengurus pertanian. Aku sudah mulai mengikuti Ahjumma ke mana-mana,” tambah Ja Eun lagi dengan bersemangat.
“Ya, aku sudah mendengarnya,” sahut Tae Hee, masih singkat. Tae Hee memang type introvert yang jarang bicara, makanya cocok banget dengan Baek Ja Eun yang extrovert, cerewet dan blak-blakan.
“Ah, kau sudah mendengarnya? Kupikir kau belum tahu. Aku merasa harus melaporkan hal ini padamu,” ujar Ja Eun lagi, masih dengan senyuman ceria di wajahnya.
“Apa ada hal lain yang ingin kau katakan padaku?” kali ini Tae Hee yang gantian bertanya padanya.
Ja Eun menggenggam buku sketsanya di depan dada dengan kedua tangannya seolah membuat permohonan dan mata menatap penuh harap, “Apa kau bisa membelikan aku secangkir kopi Ice Charamel Macchiato setelah kau pulang kerja besok?” pinta Ja Eun dengan penuh harap.
Tapi Tae Hee hanya terdiam seraya menggaruk bagian bawah matanya dan kemudian menatapnya penuh tanya, seolah berkata, “Kenapa aku harus membelikanmu? Aku tak punya alasan untuk itu.”
Namun alih-alih mengatakan itu, Tae Hee hanya berkata, “Jangan lupa matikan lampu saat kau pergi,” ujar Tae Hee dengan datar sebelum benar-benar melangkah pergi dari dalam gudang.
Setelah Tae Hee pergi, Ja Eun bergumam sendiri dengan sedih, “Apa salahnya membelikan aku secangkir kopi? Aku sangat ingin minum kopi,” gumam Ja Eun dengan cemberut dan ekspresi wajah yang sedih.
(Tenang aja, Ja Eun-ah. Nanti kalau uda jadi pacar, kamu mau makan apa aja, pasti dibeli'in kok sama Tae Hee, walau dia gak suka sekalipun, tapi kalau kamunya suka, Tae Hee akan tetap membelikannya.)
Pagi harinya, Ja Eun kembali mengikuti Park Bok Ja untuk mengurus pertanian, saat Park Bok Ja menelpon Tae Bum dan mendengar Park Bok Ja berkata tentang Cha Su Young yang memiliki “benih” Tae Bum di perutnya.
Ja Eun dengan ekspresi bingung menggumam sendiri, “Apa maksudnya dengan benih di perutnya?”, menunjukkan bahwa Baek Ja Eun adalah gadis polos yang sama sekali tidak tahu tentang hubungan antara pria dan wanita.
(Badan boleh gede, tapi otaknya masih kek bocah, polos banget. Makanya waktu pacaran sama Tae Hee pun keduanya sama-sama malu-malu meong dan canggung mode on, mau gandengan tangan malu-malu, mau ciuman malu-malu, pelukan juga malu-malu ckckck...Gemes sendiri ngeliatnya >_<)
Selain menguping, Ja Eun juga menggunakan kesempatan itu untuk duduk beristirahat dan memakai sunscreen di seluruh wajahnya dan berujung dimarahi oleh Park Bok Ja.
“Mataharinya begitu menyengat kulit. Jika aku tidak mengenakan sunscreen, kulit wajahku bisa rusak. Anda setidaknya harus pengertian tentang hal ini. Bagaimana pun juga aku seorang gadis,” Ja Eun balik mengomel sambil cemberut. Ja Eun ini tiba gadis pemberani dan balik membantah bila dia tidak bersalah, no menye-menye club.
“Kau sudah cukup beristirahat! Jika sudah selesai, segera berdiri dan mulai bekerja!” seru Park Bok Ja yang menganggap Ja Eun bermalas-malasan.
Saat Ja Eun akan berdiri, dia melihat amplop berwarna coklat dan mengira itu adalah surat kontraknya yang terjatuh. Ja Eun memungutnya dengan penuh harap namun berakhir kecewa karena ternyata itu bukan surat kontrak miliknya. Sementara Park Bok Ja tampak panik melihatnya, dia mengira surat kontrak yang dia curi tak sengaja terbawa lalu terjatuh di depan Ja Eun. Namun ternyata bukan.
Kesal karena ternyata itu bukan surat kontraknya, Ja Eun melampiaskan kemarahannya pada rumput-rumput dan juga pada Park Bok Ja. Dia membabat rumput-rumput liar di sekitarnya dengan penuh kemarahan.
“Apa kau sedang melampiaskan kemarahanmu pada rumput-rumput liar itu? Bukan seperti itu cara melakukannya!” omel Park Bok Ja untuk menutupi kegugupan dan kepanikannya sendiri karena masalah surat kontrak.
“Ini bukanlah sesuatu yang langsung bisa dipelajari dalam satu hari saja! Ahjumma, Anda mungkin sudah terbiasa melakukan ini sepanjang hidupmu, tapi bagiku ini baru pertama kalinya. Dan juga, selama ini aku selalu membaca buku dan melukis sketsa, tanganku tak pernah kugunakan untuk membabat rumput liar. Lagipula, siapa yang menggunakan tangan untuk membabat rumput liar? Di jaman sekarang ini, semuanya sudah menggunakan mesin. Anda sengaja melakukan ini untuk membuatku menderita, bukan?” sahut Ja Eun, mendebat dengan berani dan memang sangat masuk akal bila dicerna dengan logika.
(Sudah kubilang, kan? Ja Eun ini gadis pemberani dan jago mendebat segala hal, dia juga type blak-blakan yang langsung ceplas-ceplos mengatakan apa yang dia rasakan, no menye-menye club, no munafik club! Say it clearly!)
“Apa? Sengaja membuatmu menderita? Siapa yang menyuruhmu untuk bekerja di sini? Kenapa kau malah mengeluh? Apa aku yang memohon padamu untuk bekerja di sini? Kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini! Tidak akan ada seorangpun yang akan menghentikanmu. Pergi sekarang juga! Hari di mana kau pergi, aku akan menari dengan gembira!” seru Park Bok Ja, kembali mengusir dengan kejam.
(Padahal kata-katanya Ja Eun bener loh. Di jaman modern ini, semuanya sudah menggunakan mesin,
“Aku minta maaf. Itu karena tubuhku sakit semua dan aku sangat lelah. Jadi aku merasa kesal. Aku tidak akan melakukannya lagi,” ujar Ja Eun mengalah dan meminta maaf.
Siangnya, saat tiba waktunya ke kampus, entah kenapa Tae Phil tiba-tiba berbaik hati memberi Ja Eun tumpangan dan mengantarnya ke kampusnya.
“Terima kasih sudah memberiku tumpangan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku datang ke kampus,” ujar Ja Eun, tulus berterima kasih dengan tersenyum ceria. Sepertinya dia sudah tidak kesal lagi sekarang.
Ja Eun kemudian mengamati cara berpakaian Tae Phil yang lebih fashionable dibandingkan saudara-saudaranya yang lain dan memujinya keren.
“Tapi apakah kau akan pergi ke tempat istimewa hari ini? Jika kuamati, aku merasa selera fashionmu yang paling keren dibandingkan dengan yang lain. Di antara semua saudaramu, Maknae Oppa adalah yang terbaik,” puji Ja Eun.
(Ja Eun nih pinter ngambil hati, dia tahu kalau Hwang Tae Phil, si pengangguran tak berguna ini haus pujian dan pengakuan, makanya dimanfaatin kelemahannya untuk mengambil hati Hwang Tae Phil agar berpihak padanya seperti yang lain. Ja Eun is really smart ^_^)
“Aku tahu itu,” sahut Tae Phil dengan bangganya. Aha, uda masuk perangkap juga nih si Tae Phil.
“Itu…Sebenarnya aku sangat penasaran, apa yang kau lakukan untuk bertahan hidup? Aku tahu apa yang dilakukan oleh Ahjussi yang lain, tapi terhadapmu, aku sama sekali tidak bisa menebak. Ada hari-hari di mana kau hanya menghabiskan waktumu di rumah saja, lalu ada hari-hari di mana kau membantu di pertanian, kemudian kadang kau juga pergi keluar. Apa kau juga seorang mahasiswa sepertiku, atau...” Ja Eun tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Tae Phil memotongnya lebih dulu.
“Atau apa aku seorang pengangguran?” potong Tae Phil.
(Nah ya itu, Ja Eun-ah. Tae Phil mah cuma pengangguran gak berguna, pengangguran banyak acara, beban keluarga, Good for nothing tapi banyak tingkah dan sok galak kalau sama kamu. Bener-bener karakter paling minta dijitak di antara Hwang Brothers)
“Ah, tidak. Aku tidak bermaksud mengatakan itu,” sangkal Ja Eun dengan gugup.
“Aku sedang mempersiapkan untuk memulai usaha,” sahut Tae Phil membela diri.
“Ahhh...” Ja Eun hanya ber-Ahh ria, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan kalau Ja Eun tak percaya. Ja Eun adalah putri pengusaha kaya raya sebelum dia jatuh miskin, jadi dia pasti tahu sedikit banyak mengenai karakter seorang pengusaha dan betapa sulitnya itu.
“Kenapa ekspresi wajahmu terlihat seperti itu? Apa kau tak percaya kalau aku bisa melakukan bisnis? Kau berpikir kalau aku sedang memimpikan mimpi yang mustahil?” tebak Tae Phil saat melihat ekspresi meremehkan di wajah Ja Eun.
“Aku tidak mengatakan apa pun,” sangkal Ja Eun lagi.
“Kau berpikir seperti itu atau tidak, itu tidak penting. Aku sedang mencari pekerjaan yang cocok untukku. Aku sudah mempersiapkannya bertahun-tahun. Jika kita harus bermimpi, bukankah kita harus memiliki impian yang besar? Seperti misalnya manufaktur, distributor, pelayanan jasa dan lain-lain, meskipun dana yang kumiliki masih sedikit,” ujar Tae Phil membual.
“Kurasa kau memang cocok berbisnis, Oppa. Banyak orang bilang kalau orang-orang yang kasar dan kejam pasti sanggup menjalankan bisnis,” ujar Ja Eun, memuji sekaligus menyindir.
“Jadi maksudmu aku orang yang kasar dan kejam?” tanya Tae Phil, tampak tersentil dan kena mental mendengar sindiran Ja Eun. Tae Hee aja kena mental saat dikatain “Pria brengsek, pengecut dan Polisi tidak kompeten!”
Ja Eun tertawa santai dan berkata, “Bukankah kenyataannya seperti itu saat kau menendang peralatan makanku?” ujar Ja Eun, dikit sih tapi nyelekit. See? Our Baek Ja Eun is really brave girl ^_^
“Jadi kau punya kebiasaan menyimpan dendam?” ujar Tae Phil balik menyindir.
Ja Eun tertawa lagi dan menjawab, “Hhmm...Sedikit sih,” sahutnya santai dengan senyuman manisnya. Ja Eun type cewek blak-blakan hahaha ^_^
“Karena kau adalah orang yang jujur, jadi aku juga akan
jujur padamu. Menyerahlah. Aku mengerti kau ingin mendapatkan pertanianmu
kembali tapi Ibuku adalah orang yang berpendirian kuat dan tak mudah berubah pikiran,
jadi...” kata-kata Tae Phil terhenti saat tak melihat reaksi dari lawan
bicaranya.
Dia menoleh dan melihat Baek Ja Eun sudah tertidur pulas di kursi penumpang. Faktanya, Ja Eun sudah menguap lelah sejak mendengar omong kosong Tae Phil tentang bisnis dan sejenisnya. (Jadi mendadak ngantuk ngedengerin orang sombong lagi omong kosong, ditinggal bobok aja sama Ja Eun hahaha ^_^)
Tae Phil menatap Ja Eun yang bobok cantik dengan tatapan mata yang menyiratkan simpati, kemudian meminggirkan truknya ke tepi jalan agar dia bisa memundurkan kursi Ja Eun ke belakang agar gadis itu dapat tidur dengan lebih nyaman lagi. (Hwang Tae Phil, apa kau mulai tersentuh?)
Beberapa saat kemudian, akhirnya Ja Eun sudah tiba di kampusnya. Ja Eun melihat dua sahabatnya, Nam Suk dan Ah Ra berjalan melewatinya. Ja Eun Nampak sedih untuk sesaat namun dia menyadari bahwa kedua sahabatnya ternyata sedang menuju dua gadis yang mengambil foto Baek Ja Eun dengan diam-diam dari arah belakang dan merebut ponsel itu serta menghapus foto Baek Ja Eun yang diambil diam-diam tersebut.
“Apa kalian tahu kalau mengambil foto orang secara diam-diam itu melanggar hukum?” seru Nam Suk pada kedua gadis itu.
“Dan lagipula, bukankah kalian adalah mahasiswa? Bukankah kalian seharusnya sudah melihat konferensi pers yang diadakan oleh pihak kepolisian yang mengatakan kalau Ja Eun tidak bersalah?” seru Ah Ra menambahkan.
Setelah melakukan itu, mereka berdua menoleh ke arah Ja Eun yang nampak tersenyum ke arah mereka. Nam Suk dan Ah Ra kemudian menghampiri Ja Eun dan ketiga sahabat itupun kembali berbaikan.
Begitu masuk ke dalam gedung kampus, mereka tak sengaja mendengar dua orang pria bertampang preman mencari Baek Ja Eun di bagian resepsionis dan mengatakan kalau Baek Ja Eun berhutang pada mereka. Pihak resepsionis tentu saja tidak akan pernah membeberkan data pribadi mahasiswa mereka dan mengatakan dengan tegas mereka tidak bisa memberikannya. Jika kedua pria itu memang memiliki kepentingan mendesak, kedua pria bertampang preman itu bisa mencari Baek Ja Eun di seluruh kampus.
Ja Eun dan kedua sahabatnya yang mendengar ini, seketika menjadi panik. Nam Suk dan Ah Ra memberi tanda pada Ja Eun untuk segera pergi sementara mereka berdua akan menahan kedua pria bertampang preman tersebut. Namun tentu saja, kedua sahabat Ja Eun tak mungkin menghalangi kedua preman itu dalam waktu yang lama.
Akhirnya setelah sempat dihalang-halangi oleh kedua sahabat Ja Eun, kedua pria bertampang preman tersebut benar-benar mencari Ja Eun di seluruh kampus. Tanpa mereka sadari, Ja Eun bersembunyi tepat di belakang mereka, di balik sebuah pintu.
Dari tempat persembunyiannya, Ja Eun mendengar kedua preman itu berbicara satu sama lain, “Walaupun kita menangkap Baek Ja Eun, dia mungkin tidak memiliki uang. Apa yang terjadi dengan Jang Yeon Suk? Ke mana dia menghilang?” ujar salah satu preman berkepala botak pada rekannya.
“Apa yang akan kau lakukan karena dia sudah terlanjur hamil? Apa rencanamu sekarang? Apa yang akan kau lakukan?” desak Hwang Chang Sik pada putranya, mulai emosi.
“Aku sedang mendiskusikan masalah ini dengannya. Kami akan segera memutuskannya,” sahut Tae Bum seraya menundukkan kepalanya.
“Bagaimana keputusanmu setelah mendiskusikannya? Apa kau ingin mengatakan kalau kau tak menginginkan bayi itu?” ujar Hwang Chang Sik, menatap tajam Tae Bum dengan ekspresi seolah ingin memakannya.
“Aku rasa dialah yang lebih berhak memutuskannya,” jawab Tae Bum lirih.
“Aku bertanya apa yang akan kau lakukan, bukan apa yang akan dia lakukan!” Hwang Chang Sik memperjelas pertanyaannya.
“Sudah kubilang bahwa aku tidak berpikir untuk menikah dengannya. Ini bukan keputusan yang mudah. Aku sudah memikirkannya dengan serius dan hati-hati. Aku tidak bisa menikah dan menjalani hidup dengan wanita yang tidak kucintai. Aku tidak bisa melakukan itu, Ayah.” jawab Tae Bum, bersikeras menolak untuk menikah.
“Jadi inti dari semua ucapanmu adalah kau tetap tidak mau menikahi wanita itu, tidak peduli dia akan melahirkan anak itu atau menggugurkannya? Itu adalah masalahnya, bukan masalahmu, apakah itu yang ingin kau katakan sekarang? Aku bertanya padamu, apa itu maksudmu?” seru Hwang Chang Sik, semakin emosi.
Tae Bum berkata, “Ya” dengan tegas, dan berakhir dengan sebuah pukulan keras di kepalanya dari sang ayah yang sangat emosi mendengarnya. Bagaimana bisa dia memiliki seorang putra yang begitu tidak bertanggung jawab dan tidak bermoral?
Park Bok Ja dan Tae Shik mencoba menenangkan Hwang Chang Sik yang tampak emosi, Chang Sik meminta maaf pada sang Ibu namun Nenek berkata bahwa Tae Bum memang layak dipukul.
“Ayahlah yang bersalah. Ayah yang tidak bisa mengajarimu dengan benar. Ayah terlalu memanjakanmu jadi ini akibatnya. Setelah menyebabkan masalah besar, yang kau katakan hanyalah ‘bukan urusanku, tapi urusannya’? Kau memang anak kurang ajar!” seru Hwang Chang Sik masih dengan emosi yang menggebu-gebu di dadanya.
“Aku tidak mengatakan ‘itu bukan urusanku’, melainkan itu terserah padanya ingin melahirkan anak itu atau menggugurkannya, yang pasti aku tidak ingin menikah dengannya. Aku tidak ingin hanya karena dia menyukaiku, lalu aku harus terpaksa menikahinya demi anak itu. Apa yang ingin dia lakukan pada anak itu, semuanya terserah padanya. Aku hanya bisa menghormati keputusannya,” elak Tae Bum dengan lancar.
(Sama aja, Bambang! Intinya loe gak mau tanggung jawab habis ngehamilin anak orang. Para pria keluarga Hwang memang gak punya moral semua, kecuali Hwang Chang Sik dan Hwang Tae Hee)
“Diam kau, anak brengsek! Bukankah itu sama saja dengan tidak mau bertanggung jawab?” seru Hwang Chang Sik murka.
Sementara Tae Hee tampak memendam kekesalan dan kekecewaan pada kakak keduanya, namun tidak mengatakan apa-apa. Ekspresi Tae Hee seolah mengatakan, “Bagaimana bisa kakak keduanya memperlakukan anaknya sendiri seperti orangtua kandungnya memperlakukannya selama ini? Apakah kakak keduanya tidak bisa melihatnya yang begitu menderita karena ditinggalkan seorang diri?”
“Ayah, apa Ayah ingin aku menjalani pernikahan yang tidak kuinginkan? Hidup bersama wanita yang tidak kucintai selama sisa hidupku? Apa Ayah ingin aku melampiaskan ketidakbahagiaanku padanya dan bayi itu nantinya?” lanjut Tae Bum tanpa merasa bersalah.
“Tidak peduli apa itu karena kecelakaan, atau pernikahan tanpa cinta, atau neraka sekalipun, sebagai seorang pria, kau harus bertanggung jawab! Bersikaplah seperti seorang pria! Jika semua orang berpikir sepertimu, maka akan ada banyak perceraian!” seru Hwang Chang Sik marah seraya memukul kepala Tae Bum sekali lagi.
“Tidak peduli jalan apa yang diambil oleh orang lain, aku bukan mereka jadi aku tidak bisa melakukan cara yang sama. Itu tidak cocok untukku. Bahkan sampai mati, aku tidak bisa melakukannya! Aku juga merasa sangat buruk, aku tahu aku tidak bertanggung jawab, aku tahu semua itu tapi aku juga tidak memiliki solusi,” sahut Tae Bum keras kepala.
(Intinya biarpun orang lain terpaksa menikah demi untuk bertanggung jawab, dia gak mau. Bodoh amat, aku gak cinta kok. Gitu maksudnya!)
Hwang Chang Sik benar-benar emosi dan ingin memukul kepalanya lagi tapi Park Bok Ja melarang dan berkata, “Lebih baik kita panggil wanita itu kemari dan tanyakan apa pendapatnya.”
Tae Bum yang sedari tadi hanya menunduk, segera mengangkat kepalanya menatap sang Ibu.
“Benar. Benar, Eomma. Kita panggil saja wanita itu. Bukankah pendapat si wanita juga sangat penting? Tak hanya pendapat Tae Bum saja?” ujar Tae Shik setuju.
“Benar. Bila pihak wanita tidak ingin menikah, tidak ada yang bisa kita lakukan,” ujar Nenek setuju, agar mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak.
“Benar. Benar. Siapa tahu pihak wanita tidak ingin menikah,” sahut Tae Shik setuju. Tae Bum hanya bisa menatap Tae Shik dengan tatapan membunuh.
Niat hati ingin membantu adiknya, tapi Tae Shik malah menjerumuskan, karena faktanya Cha Su Young lah yang memaksa ingin dinikahi, sementara Tae Bum selalu menolak. Kalau yang ditanya Su Young, otomatis Su Young akan menjawab “Bersedia”.
(Aku gak sukanya dengan Cha Su Young itu karena dia seperti wanita yang gak punya harga diri, ngejar-ngejar cowok dan memaksa untuk dinikahi. Ya aku tahu kalau dia uda terlanjur hamil, tapi daripada seperti wanita gak punya harga diri yang memaksa seperti itu, lebih baik dia besarkan anak itu sendiri. Cha Su Young anak orang kaya, orangtuanya punya harta, dia cantik dan pintar, bawa anak itu dan besarkan sendiri, biarkan nanti Tae Bum nyesel sendiri. Bukan ngejar-ngejar minta dinikahi kayak wanita gak punya harga diri >_< Aku gak suka kalau wanitanya yang ngejar, apalagi kalau ceweknya secara harta kekayaan dan kedudukan ada di atas cowoknya. Ibaratnya anak orang kaya ngejar-ngejar pemulung. Duh >_< Untunglah dalam kisah Tae Hee - Ja Eun, yang mati-matian ngejar adalah Hwang Tae Hee, bukan Baek Ja Eun. Walau Ja Eun suka duluan, namun dia sebisa mungkin menyembunyikan perasaannya, sampai akhirnya Tae Hee-lah yang mengejar Ja Eun dan berusaha mendapatkannya)
Tae Phil yang mengetahui hal ini pun menatap Tae Shik dengan ekspresi yang mengatakan, “Dasar bodoh! Kau malah menjerumuskan kakak kedua.” Tae Phil tentu saja berpihak pada Tae Bum yang merupakan kakak kesayangannya.
Hanya Tae Hee yang hanya tetap terdiam tanpa mengatakan apa-apa, tapi ekspresinya mengatakan bahwa dia membenci sikap Tae Bum yang pengecut dan tidak bertanggung jawab. Mungkin jika saja Tae Bum bukan kakak sepupunya, Tae Hee sudah pasti akan menangkapnya dengan tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual, karena menghamili namun tidak mau bertanggung jawab.
“Kita harus memanggil wanita itu kemari,” usul Park Bok Ja sekali lagi.
Tapi Tae Bum serta merta melarang keras, “Eomma, ini adalah masalah dengan hidupku yang menjadi taruhannya, kenapa harus memanggilnya untuk membuat keputusan untukku? Dan juga, apa pun yang akan dia katakan nanti, aku tetap tidak mau menikah dengannya!” putus Tae Bum, final.
Akhirnya Hwang Chang Sik memukul Tae Bum sekali lagi dengan lebih keras.
“Ayah tidak peduli! Tidak perlu banyak bicara lagi. Bawa wanita itu datang kemari besok siang!” Hwang Chang Sik pun memberikan keputusan final.
“Sudah kubilang kau tidak perlu mengantarku keluar,” ujar Tae Bum pada Tae Hee.
“Aku akan memberimu tumpangan. Sekarang sudah malam, pasti sangat sulit mencari taksi di jam sekarang ini,” jawab Tae Hee sambil tersenyum.
“Tidak usah. Aku akan berjalan kaki hingga ke jalan utama. Lagipula aku butuh udara segar untuk menjernihkan otakku. Di dalam rumah rasanya begitu panas,” ujar Tae Bum, masih menolak. Tapi Tae Hee bersikeras mengantar.
“Apa kau sudah menghapus dia dari hatimu?” tanya Tae Hee tiba-tiba.
“Apa?” Tae Bum tampak tak mengerti.
“Hye Ryeong Noona, apa kau sudah menghapusnya dari hatimu?” tanya Tae Hee, mempertegas pertanyaannya.
“Kupikir aku sudah menghapusnya dari hatiku, namun dia sudah meninggalkan begitu banyak jejak hingga sulit bagiku untuk benar-benar menghapusnya,” jawab Tae Bum seraya mengenang mantan pacarnya yang meninggalkannya untuk menikah dengan pria yang lebih kaya.
“Jika seiring waktu berlalu, dia tak pernah muncul lagi, bukankah seharusnya jejak itu sudah menghilang sepenuhnya?” ujar Tae Hee seraya menatap kakak keduanya.
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Tae Bum, menatap Tae Hee yang tampak bicara berbelit-belit.
“Tim Leader Cha adalah wanita yang baik,” ujar Tae Hee lagi.
“Siapa yang bilang kalau dia bukan wanita yang baik? Dia adalah wanita yang baik meskipun dia sering membuatku kesal. Tapi dia adalah pimpinan Tim yang baik dan reporter yang hebat, namun sayangnya dia bukan wanita yang kucintai,” sahut Tae Bum, mulai mengerti arah pembicaraan Tae Hee.
“Walaupun dia bukan wanita yang kau cintai, namun dia adalah wanita yang mengandung bayimu,” ujar Tae He lagi.
“Jika kau hanya ingin membahas hal itu, maka pulanglah ke rumah!” ujar Tae Bum kesal.
“Apa yang paling penting dalam sebuah pernikahan selain cinta? Bukankah itu kepercayaan dan kesetiaan?” tanya Tae Hee lagi, yang belum mengerti apa itu cinta karena belum pernah merasakannya.
(Looks who’s talking! Tae Hee-ya, kau juga tidak mau menikah dengan wanita lain selain dengan Ja Eun, kan? Because you loves her! Kau bahkan lebih memilih single seumur hidup jika tidak bisa menikah dengan Ja Eun... So, loves is the most important thing. Tapi dalam kasusnya Tae Bum, dia harus tanggung jawab walau dia gak cinta! Jadi beda kasus ya... Karena beda kasus, aku mendukungmu kali ini, Tae Hee ^_^)
“Kenapa kau mengatakan sesuatu yang umumnya dikatakan oleh generasi tua seperti Ayah?” sindir Tae Bum.
“Wanita yang baik tidak akan mengkhianatimu, tapi wanita yang kau cintai, pada akhirnya mengkhianatimu. Kau pernah mengalami itu sekali, bukan?” ujar Tae Hee lagi, mencoba membujuk kakak keduanya.
“Sudah kubilang, pulanglah ke rumah!” Tae Bum mulai emosi, namun Tae Hee tetap tenang.
“Hyung, itu karena kau tidak pernah tahu rasanya ditinggalkan oleh orangtuamu, itu sebabnya kau dengan mudah berkata seperti itu. Karena kau tidak pernah tahu rasa sakit yang mereka rasakan saat mereka kecil dan apa yang mereka rasakan ketika mereka mulai tumbuh dewasa. Jika seandainya Tim Leader Cha melahirkan anak itu, aku harap anak itu tidak akan pernah merasakan apa yang aku rasakan sekarang,” ujar Tae Hee, mengungkit masa kecilnya yang menyakitkan, hingga membuat Tae Bum spontan menghentikan langkahnya.
Tae Bum spontan menatap Tae Hee dengan tatapan iba dan perasaan bersalah.
Tae Hee kemudian tersenyum manis seolah sedang menutupi hatinya yang terluka, “Aku hanya ingin mengatakan itu. Ayo pergi!” ujar Tae Hee yang membuat Tae Bum merasa bersalah. Dan memang karena ucapan Tae Hee inilah, Tae Bum akhirnya setuju untuk menikah.
Di halaman rumah, Tae Shik tampak berjalan keluar rumah dengan membawa seplastik penuh berisi makanan dan membungkuk ke arah tenda Ja Eun seraya memanggilnya lirih, “Ja Eun-ssi, apa kau sudah tidur?”
Kemudian dia bergumam pelan, “Tidak mungkin dia sudah tidur di jam seperti ini? Ja Eun-ssi?” panggil Tae Shik lagi namun tidak mendapat jawaban.
“Aku tidak bisa membuka tendanya untuk melihat,” gumam Tae Shik pada dirinya sendiri.
Karena Ja Eun adalah seorang gadis, tentu tidak sopan bila dia membuka tenda itu tanpa seijin Ja Eun, bukan? Hhhmm…Gak tahu aja dia, 3 episode ke depan, Tae Hee malah menerobos masuk tenda Ja Eun dan numpang tidur di sana hahaha ^_^
Tiba-tiba Tae Hee datang dan mengagetkan Tae Shik, “Kakak pertama, apa yang sedang kau lakukan?” sapa Tae Hee dan Tae Shik segera menyembunyikan makanan di belakang punggungnya dengan gugup dan panik.
“Dari mana kau malam-malam begini?” Tae Shik balik bertanya untuk menutupi kegugupannya.
“Aku baru saja kembali setelah mengantar kakak kedua ke jalan utama,” jawab Tae Hee menjelaskan, kemudian dia melihat sesuatu yang disembunyikan Tae Shik di belakang punggungnya.
“Apa itu?” tanya Tae Hee ingin tahu.
Tae Shik terpaksa mengeluarkan seplastik penuh makanan yang dia sembunyikan di balik punggungnya tadi.
“Aku membelikan Ja Eun-ssi sedikit makanan. Ada jus kotak, buah-buahan, kimchi, makanan ringan, air mineral dan banyak lagi. Dua hari yang lalu saat aku melihatnya mengambil kue, membuatku merasa sangat buruk,” sahut Tae Shik.
Kemudian dia berjalan lebih mendekat ke arah Tae Hee dan berbisik pelan, “Jaga rahasia ini dari Ibu dan Tae Phil,” pinta Tae Shik lirih.
Tae Hee mengangguk mengerti, “Tentu.”
“Aku mengerti soal alasan Ibu, tapi aku tidak tahu kenapa anak nakal itu juga ikut-ikutan kejam pada Ja Eun-ssi. Kau tidak seperti itu, bukan?” tanya Tae Shik seraya melirik Tae Hee.
“Apa aku tampak seperti itu?” jawab Tae Hee kemudian menuding ke arah tenda.
“Apa dia tidak ada di dalam?” tanya Tae Hee seraya menatap tendanya penasaran.
“Aku tidak tahu apakah dia pergi ke suatu tempat ataukah sudah tidur. Seharusnya tidak masalah kan jika aku meletakkannya di sini?” ujar Tae Shik seraya meletakkan seplastik makanan itu di depan tenda.
“Apakah dia akan tahu kalau aku yang memberikan ini padanya? Haruskah aku meninggalkan pesan?” gumam Tae Shik seraya melirik Tae Hee yang tidak mengerti.
“Lupakan saja. Kurasa bukan masalah penting dia tahu atau tidak kalau aku yang memberikannya. Ayo masuk,” ajak Tae Shik yang hanya diangguki kepala oleh Tae Hee.
Pagi harinya, seperti biasa Park Bok Ja membangunkan Ja Eun di tendanya setiap pukul 4.30 dini hari. Walaupun Ja Eun mengantuk dan lelah, dan sedikit mengomel kesal, namun dia tetap terbangun dan mengikuti Park Bok Ja mengurus pertanian.
“Aku tahu dia melakukannya dengan sengaja. Dia sengaja mengubah metodenya. Aku tahu dia ingin menyiksaku dan memaksaku untuk menyerah. Kita lihat saja, apa aku akan menyerah atau tidak?” omel Ja Eun pada dirinya sendiri. Tenang saja, Ja Eun bukan type orang yang gampang menyerah, semakin ditekan, dia akan semakin semangat.
Ja Eun bertanya kenapa dia tidak boleh mematikan lampu kandangnya, ternyata itu karena bisa menyebabkan anak-anak bebek menjadi tertindih oleh yang lebih dewasa. Secara insting, mahkluk hidup pasti mencari cahaya, bebek juga, dan karena lampu dimatikan, mereka pasti mencari tempat yang sekiranya bisa memantulkan sinar bulan dari jendela. Akibatnya bebek-bebek itu akan berlarian ke sana kemari dalam kegelapan untuk mencari adanya cahaya.
Dan setelah mereka menemukan cahaya bulan tersebut, bebek-bebek tersebut pasti akan berkumpul di satu tempat tersebut dan saling menindih satu sama lain. Anak-anak bebek yang masih kecil, tentu tidak sebanding kekuatannya dengan bebek-bebek dewasa dan pada akhirnya mereka akan terluka atau mati karena tertindih oleh bebek dewasa.
Park Bok Ja menemukan dua ekor anak bebek yang tampak lemah karena tertindih semalaman oleh bebek-bebek dewasa dan membawanya keluar dengan menempatkan mereka di dalam sebuah kardus.
Di luar kandang, Park Bok Ja memberikan seekor anak bebek kepada Ja Eun dan meminta gadis itu membelainya dengan lembut dan mengajak anak bebek itu bicara. Park Bok Ja memberikan contoh bagaimana cara melakukannya sementara Ja Eun melihatnya dengan mata berkaca-kaca dan hampir menangis.
Ja Eun tampak sedih dan menyesal karena dia hampir saja membunuh dua ekor anak bebek yang tidak bersalah. Dia membelai anak bebek itu dengan lembut dan penuh kasih sayang seraya berdoa dalam hati agar anak bebek itu segera sadar.
Dan seolah menjawab doa Ja Eun, baik anak bebek di tangan Ja Eun maupun di tangan Park Bok Ja, keduanya mulai sadar dan bergerak-gerak menggemaskan. Ja Eun tersenyum lega saat melihat anak bebek di tangannya akhirnya kembali hidup.
Di kantor polisi, Tae Hee dan Dong Min menatap layar komputer dan melihat berbagai logo Department Store dan Hotel yang ada di Hongkong, namun sayangnya mereka tidak melihat ada satupun di antara banyaknya Department Store maupun Hotel tersebut yang memiliki logo yang sama dengan pena Baek Ja Eun.
“Jika pena ini adalah barang souvenir, ada kemungkinan juga ini adalah logo dari restaurant atau pusat perbelanjaan,” ujar Tae Hee, mencoba mencari kemungkinan lain.
Saat itulah, Tim Leader mereka berjalan masuk ke dalam ruangan jadi Seo Dong Min dengan cepat mengubah layar monitornya hingga menampilkan gambar-gambar seorang gadis muda yang cantik.
Benar saja, Tim Leader mereka tampak penasaran dengan apa yang dilihat Tae Hee dan Dong Min pagi-pagi begini lalu mengintip.
“Dia adalah type idealku. Bukankah dia cantik?” ujar Dong Min. Tae Hee hanya tertawa melihat akting Seo Dong Min. Tapi maaf Seo Dong Min, type-nya Tae He yang modelan Baek Ja Eun, member Girlband berkaki panjang dan seksi. Upppz, itu mah UEE.
“Sekarang aku mengerti kenapa kau tidak punya pacar. Bahkan bila dia adalah type idealmu, kau harusnya lebih realistik. Apakah kau ingin kukenalkan dengan adik iparku?”ujar Tim Leader Eum, meledek Seo Dong Min.
“Apa? Bukankah dia lebih tua 5 tahun dariku? Aku tidak suka wanita yang lebih tua,” seru Seo Dong Min tak terima.
“Kau juga mulai terlihat tua. Tidak apa-apa. Wajahmu terlihat 10 tahun lebih tua,” sahut Tim Leader Eum dengan entengnya.
“Tim Leader!” Seo Dong Min berteriak tak terima sementara Tae Hee hanya tertawa lucu mendengarnya.
Tak lama kemudian, Tae Hee berjalan keluar dari ruangannya dan ingin ke suatu tempat, namun dia tak sengaja berpapasan dengan Lee Khi Chul. Tae Hee membungkuk memberi hormat, namun saat mereka berhadapan, Lee Khi Chul membisikkan kalimat peringatan untuknya.
Malam harinya, Tae Hee dan Dong Min berada di dalam mobil Tae Hee agar bisa leluasa mengamati foto-foto pena yang mereka kumpulkan. Berhubung mereka menyelidiki ini secara diam-diam jadi otomatis Tae Hee dan Dong Min tidak bisa membahas hal ini di kantor secara terbuka.
Saat Seo Dong Min sibuk menyantap makan malamnya, Tae Hee tampak sibuk mengamati
ratusan foto pena yang telah dia kumpulkan sebelumnya.
Hingga hari semakin malam dan kedua polisi muda itu tampak
kelelahan dan tertidur di dalam mobil Tae Hee di tengah penyelidikan yang
melelahkan.
Tak lama kemudian, Tae Hee kembali terbangun karena merasa tubuhnya pegal. Dia meregangkan tubuhnya sebentar kemudian berencana kembali mengamati foto-foto pena yang bertebaran di dalam mobilnya.
Namun saat memegang setir kemudi, tangannya tak sengaja menyenggol kumpulan foto-foto di atas dashboardnya hingga membuatnya tercecer ke lantai mobil. Tae Hee segera memungut kembali foto-foto yang berceceran tersebut hingga tak sengaja melihat sebuah foto restaurant yang memiliki logo yang sama persis dengan pena Baek Ja Eun.
Yang tampak di sana adalah desain interior restaurant tersebut yang memiliki logo deretan bintang-bintang berwarna emas yang tampak sama persis dengan di pena. Selama ini Tae Hee dan Dong Min hanya mengamati berbagai model dan desain penanya, bukan desain interior dari Hotel, Shopping Mall ataupun restaurant yang ada di Hongkong, tentu saja pencarian mereka tak membuahkan hasil karena mereka berdua hanya fokus pada pena tersebut.
Tae Hee tersenyum senang saat berhasil menemukan apa yang dia cari selama ini dan segera membangunkan Seo Dong Min yang masih tertidur di dalam mobil.
“Seo Dong Min, cepat bangun! Seo Dong Min!” seru Tae Hee dengan bersemangat membangunkan rekannya.
“Siap! Seo Dong Min di sini!” Seo Dong Min segera terbangun dengan kaget dan menjawab ala militer, karena mengira atasan mereka yang memanggil karena ada tugas penting.
“Ah. Hyung! Ada apa?” Seo Dong Min tampak kecewa saat mengetahui Tae Hee-lah yang memanggil. Bikin jantungan aja nih, Tae Hee. Kirain ada tugas penting apa? Gitu kale ya pikirnya Seo Dong Min.
Tae Hee segera menyodorkan foto restaurant itu ke arah Seo Dong Min yang langsung disambut dengan ekspresi terkejut dari polisi muda itu, sementara Tae Hee tersenyum gembira karena berhasil menemukannya.
Tak lama kemudian, Tae Hee kembali terbangun karena merasa tubuhnya pegal. Dia meregangkan tubuhnya sebentar kemudian berencana kembali mengamati foto-foto pena yang bertebaran di dalam mobilnya.
Namun saat memegang setir kemudi, tangannya tak sengaja menyenggol kumpulan foto-foto di atas dashboardnya hingga membuatnya tercecer ke lantai mobil. Tae Hee segera memungut kembali foto-foto yang berceceran tersebut hingga tak sengaja melihat sebuah foto restaurant yang memiliki logo yang sama persis dengan pena Baek Ja Eun.
Yang tampak di sana adalah desain interior restaurant tersebut yang memiliki logo deretan bintang-bintang berwarna emas yang tampak sama persis dengan di pena. Selama ini Tae Hee dan Dong Min hanya mengamati berbagai model dan desain penanya, bukan desain interior dari Hotel, Shopping Mall ataupun restaurant yang ada di Hongkong, tentu saja pencarian mereka tak membuahkan hasil karena mereka berdua hanya fokus pada pena tersebut.
Tae Hee tersenyum senang saat berhasil menemukan apa yang dia cari selama ini dan segera membangunkan Seo Dong Min yang masih tertidur di dalam mobil.
“Seo Dong Min, cepat bangun! Seo Dong Min!” seru Tae Hee dengan bersemangat membangunkan rekannya.
“Siap! Seo Dong Min di sini!” Seo Dong Min segera terbangun dengan kaget dan menjawab ala militer, karena mengira atasan mereka yang memanggil karena ada tugas penting.
“Ah. Hyung! Ada apa?” Seo Dong Min tampak kecewa saat mengetahui Tae Hee-lah yang memanggil. Bikin jantungan aja nih, Tae Hee. Kirain ada tugas penting apa? Gitu kale ya pikirnya Seo Dong Min.
Tae Hee segera menyodorkan foto restaurant itu ke arah Seo Dong Min yang langsung disambut dengan ekspresi terkejut dari polisi muda itu, sementara Tae Hee tersenyum gembira karena berhasil menemukannya.
“Ini benar-benar sama persis,” ujar Seo Dong Min, tak kalah senang. Ya ya, kerja bagus Pak Polisi ^_^ Segera buktikan kalau Baek Ja Eun tak bersalah!
“Kupikir kita tidak akan pernah berhasil menemukannya dan hampir saja menyerah,” lanjut Seo Dong Min dengan penuh kegembiraan.
(Bisa kebayang capeknya keliling kota nyari model pena yang sama, ke semua toko buku, Department Store, bahkan pabrik pembuatan alat tulis, namun hasilnya nihil. Begitu ketemu, langsung deh serasa encok pegel linu ilang semua, gimana gak seneng, coba?)
“Tapi di mana lokasi restaurant ini?” tanya Seo Dong Min lagi. Tentu saja Tae Hee mendapatkan foto tempat itu dari Internet sebelumnya.
Tae Hee pun mengambil kembali foto itu dan membaca nama restaurant yang terdapat di plangnya, “Hongkong Central Restaurant Lane,” sahut Tae Hee seraya membaca plangnya.
“Restaurant? Kenapa pena ini dibuat oleh Restaurant?” tanya Seo Dong Min bingung. Karena umumnya yang memiliki souvenir berupa pena adalah Hotel. Yup, aku aja punya penanya Hotel JW Marriot, Java Paragon, Sommerset Hotel dan Park Hotel Jakarta, karena pernah seminar di sana. Kalau restaurant, masih belum punya.
Tae Hee menjawab, “Mungkin pena tersebut dibuat untuk sebuah event khusus atau mungkin bisa jadi untuk hari ulang tahun Restaurant tersebut.”
“Ah, kalau begitu aku akan menghubungi mereka besok pagi,” sahut Dong Min, mengerti apa yang harus dilakukannya besok pagi, sementara Tae Hee kembali menatap foto itu seolah berharap bahwa penyelidikan mereka menemui titik terang.
Setelah penyelidikan selesai, kedua polisi muda itupun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Saat sampai di rumah, Tae Hee melihat pintu gudang terbuka dan lampunya masih menyala. Karena penasaran, dia pun datang untuk melihat ke dalam sana, hanya untuk menemukan Baek Ja Eun sedang duduk untuk melukis sketsa dan mengisi daya ponselnya.
Saat Tae Hee masuk ke dalam gudang, Ja Eun sedang menatap sketsa makanan dan minuman dengan wajah sedih dan bergumam pada dirinya sendiri betapa dia sangat ingin minum kopi saat ini, namun sayang, dia tak punya uang. Ja Eun tersenyum gembira saat melihat Tae Hee datang.
Tae Hee yang baru saja masuk bertanya pada gadis itu, “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Tae Hee ingin tahu.
“Aku mengisi baterai ponselku di sini. Ketika malam tiba, aku menghabiskan sebagian besar waktuku di tempat ini. Aku bisa mengisi baterai ponselku, lalu bisa menggambar sketsa. Karena pencahayaannya yang terang dan juga sangat sepi, jadi aku bisa mencari inspirasi di sini,” sahut Ja Eun dengan ceria seperti biasanya.
“Hhmm…Aku datang karena melihat lampu gudang menyala, jadi aku datang untuk memeriksanya. Baiklah, lanjutkan kegiatanmu,” ujar Tae Hee datar, juga ikut menjelaskan maksud kedatangannya.
Tae Hee baru saja berniat pergi, namun saat akan berbalik, Ja Eun mencoba menghentikannya, “Ahjussi, tunggu sebentar,” panggil Ja Eun lagi.
“Kenapa?” tanya Tae Hee dengan datar, namun batal berbalik.
“Saat aku melihatmu, aku merasa gembira. Tapi sepertinya Ahjussi tidak suka melihatku,” ujar Ja Eun dengan random, membuat Tae Hee menggaruk pipinya bingung karena tak memahami maksud kalimat Ja Eun.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanya Tae Hee datar.
Ja Eun kemudian mengulurkan tangannya ke arah Tae Hee dan meminta penanya kembali, “Mana penaku?” pinta Ja Eun, akhirnya menjelaskan maksudnya. Balikin woi, balikin! Pena peninggalan papa tuh! Penting banget, jangan sampe ilang!
“Aku akan mengembalikannya padamu sebentar lagi karena aku masih menyelidikinya saat ini,” jawab Tae Hee singkat.
“Baiklah, tidak apa-apa. Yang penting kau tidak menghilangkannya,” sahut Ja Eun, tak punya pilihan selain mengijinkannya.
“Ah, aku juga sudah belajar tentang mengurus pertanian. Aku sudah mulai mengikuti Ahjumma ke mana-mana,” tambah Ja Eun lagi dengan bersemangat.
“Ya, aku sudah mendengarnya,” sahut Tae Hee, masih singkat. Tae Hee memang type introvert yang jarang bicara, makanya cocok banget dengan Baek Ja Eun yang extrovert, cerewet dan blak-blakan.
“Ah, kau sudah mendengarnya? Kupikir kau belum tahu. Aku merasa harus melaporkan hal ini padamu,” ujar Ja Eun lagi, masih dengan senyuman ceria di wajahnya.
“Apa ada hal lain yang ingin kau katakan padaku?” kali ini Tae Hee yang gantian bertanya padanya.
Ja Eun menggenggam buku sketsanya di depan dada dengan kedua tangannya seolah membuat permohonan dan mata menatap penuh harap, “Apa kau bisa membelikan aku secangkir kopi Ice Charamel Macchiato setelah kau pulang kerja besok?” pinta Ja Eun dengan penuh harap.
Tapi Tae Hee hanya terdiam seraya menggaruk bagian bawah matanya dan kemudian menatapnya penuh tanya, seolah berkata, “Kenapa aku harus membelikanmu? Aku tak punya alasan untuk itu.”
Namun alih-alih mengatakan itu, Tae Hee hanya berkata, “Jangan lupa matikan lampu saat kau pergi,” ujar Tae Hee dengan datar sebelum benar-benar melangkah pergi dari dalam gudang.
Setelah Tae Hee pergi, Ja Eun bergumam sendiri dengan sedih, “Apa salahnya membelikan aku secangkir kopi? Aku sangat ingin minum kopi,” gumam Ja Eun dengan cemberut dan ekspresi wajah yang sedih.
(Tenang aja, Ja Eun-ah. Nanti kalau uda jadi pacar, kamu mau makan apa aja, pasti dibeli'in kok sama Tae Hee, walau dia gak suka sekalipun, tapi kalau kamunya suka, Tae Hee akan tetap membelikannya.)
Pagi harinya, Ja Eun kembali mengikuti Park Bok Ja untuk mengurus pertanian, saat Park Bok Ja menelpon Tae Bum dan mendengar Park Bok Ja berkata tentang Cha Su Young yang memiliki “benih” Tae Bum di perutnya.
Ja Eun dengan ekspresi bingung menggumam sendiri, “Apa maksudnya dengan benih di perutnya?”, menunjukkan bahwa Baek Ja Eun adalah gadis polos yang sama sekali tidak tahu tentang hubungan antara pria dan wanita.
(Badan boleh gede, tapi otaknya masih kek bocah, polos banget. Makanya waktu pacaran sama Tae Hee pun keduanya sama-sama malu-malu meong dan canggung mode on, mau gandengan tangan malu-malu, mau ciuman malu-malu, pelukan juga malu-malu ckckck...Gemes sendiri ngeliatnya >_<)
Selain menguping, Ja Eun juga menggunakan kesempatan itu untuk duduk beristirahat dan memakai sunscreen di seluruh wajahnya dan berujung dimarahi oleh Park Bok Ja.
“Mataharinya begitu menyengat kulit. Jika aku tidak mengenakan sunscreen, kulit wajahku bisa rusak. Anda setidaknya harus pengertian tentang hal ini. Bagaimana pun juga aku seorang gadis,” Ja Eun balik mengomel sambil cemberut. Ja Eun ini tiba gadis pemberani dan balik membantah bila dia tidak bersalah, no menye-menye club.
“Kau sudah cukup beristirahat! Jika sudah selesai, segera berdiri dan mulai bekerja!” seru Park Bok Ja yang menganggap Ja Eun bermalas-malasan.
Saat Ja Eun akan berdiri, dia melihat amplop berwarna coklat dan mengira itu adalah surat kontraknya yang terjatuh. Ja Eun memungutnya dengan penuh harap namun berakhir kecewa karena ternyata itu bukan surat kontrak miliknya. Sementara Park Bok Ja tampak panik melihatnya, dia mengira surat kontrak yang dia curi tak sengaja terbawa lalu terjatuh di depan Ja Eun. Namun ternyata bukan.
Kesal karena ternyata itu bukan surat kontraknya, Ja Eun melampiaskan kemarahannya pada rumput-rumput dan juga pada Park Bok Ja. Dia membabat rumput-rumput liar di sekitarnya dengan penuh kemarahan.
“Apa kau sedang melampiaskan kemarahanmu pada rumput-rumput liar itu? Bukan seperti itu cara melakukannya!” omel Park Bok Ja untuk menutupi kegugupan dan kepanikannya sendiri karena masalah surat kontrak.
“Ini bukanlah sesuatu yang langsung bisa dipelajari dalam satu hari saja! Ahjumma, Anda mungkin sudah terbiasa melakukan ini sepanjang hidupmu, tapi bagiku ini baru pertama kalinya. Dan juga, selama ini aku selalu membaca buku dan melukis sketsa, tanganku tak pernah kugunakan untuk membabat rumput liar. Lagipula, siapa yang menggunakan tangan untuk membabat rumput liar? Di jaman sekarang ini, semuanya sudah menggunakan mesin. Anda sengaja melakukan ini untuk membuatku menderita, bukan?” sahut Ja Eun, mendebat dengan berani dan memang sangat masuk akal bila dicerna dengan logika.
(Sudah kubilang, kan? Ja Eun ini gadis pemberani dan jago mendebat segala hal, dia juga type blak-blakan yang langsung ceplas-ceplos mengatakan apa yang dia rasakan, no menye-menye club, no munafik club! Say it clearly!)
“Apa? Sengaja membuatmu menderita? Siapa yang menyuruhmu untuk bekerja di sini? Kenapa kau malah mengeluh? Apa aku yang memohon padamu untuk bekerja di sini? Kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini! Tidak akan ada seorangpun yang akan menghentikanmu. Pergi sekarang juga! Hari di mana kau pergi, aku akan menari dengan gembira!” seru Park Bok Ja, kembali mengusir dengan kejam.
(Padahal kata-katanya Ja Eun bener loh. Di jaman modern ini, semuanya sudah menggunakan mesin,
“Aku minta maaf. Itu karena tubuhku sakit semua dan aku sangat lelah. Jadi aku merasa kesal. Aku tidak akan melakukannya lagi,” ujar Ja Eun mengalah dan meminta maaf.
Siangnya, saat tiba waktunya ke kampus, entah kenapa Tae Phil tiba-tiba berbaik hati memberi Ja Eun tumpangan dan mengantarnya ke kampusnya.
“Terima kasih sudah memberiku tumpangan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku datang ke kampus,” ujar Ja Eun, tulus berterima kasih dengan tersenyum ceria. Sepertinya dia sudah tidak kesal lagi sekarang.
Ja Eun kemudian mengamati cara berpakaian Tae Phil yang lebih fashionable dibandingkan saudara-saudaranya yang lain dan memujinya keren.
“Tapi apakah kau akan pergi ke tempat istimewa hari ini? Jika kuamati, aku merasa selera fashionmu yang paling keren dibandingkan dengan yang lain. Di antara semua saudaramu, Maknae Oppa adalah yang terbaik,” puji Ja Eun.
(Ja Eun nih pinter ngambil hati, dia tahu kalau Hwang Tae Phil, si pengangguran tak berguna ini haus pujian dan pengakuan, makanya dimanfaatin kelemahannya untuk mengambil hati Hwang Tae Phil agar berpihak padanya seperti yang lain. Ja Eun is really smart ^_^)
“Aku tahu itu,” sahut Tae Phil dengan bangganya. Aha, uda masuk perangkap juga nih si Tae Phil.
“Itu…Sebenarnya aku sangat penasaran, apa yang kau lakukan untuk bertahan hidup? Aku tahu apa yang dilakukan oleh Ahjussi yang lain, tapi terhadapmu, aku sama sekali tidak bisa menebak. Ada hari-hari di mana kau hanya menghabiskan waktumu di rumah saja, lalu ada hari-hari di mana kau membantu di pertanian, kemudian kadang kau juga pergi keluar. Apa kau juga seorang mahasiswa sepertiku, atau...” Ja Eun tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Tae Phil memotongnya lebih dulu.
“Atau apa aku seorang pengangguran?” potong Tae Phil.
(Nah ya itu, Ja Eun-ah. Tae Phil mah cuma pengangguran gak berguna, pengangguran banyak acara, beban keluarga, Good for nothing tapi banyak tingkah dan sok galak kalau sama kamu. Bener-bener karakter paling minta dijitak di antara Hwang Brothers)
“Ah, tidak. Aku tidak bermaksud mengatakan itu,” sangkal Ja Eun dengan gugup.
“Aku sedang mempersiapkan untuk memulai usaha,” sahut Tae Phil membela diri.
“Ahhh...” Ja Eun hanya ber-Ahh ria, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan kalau Ja Eun tak percaya. Ja Eun adalah putri pengusaha kaya raya sebelum dia jatuh miskin, jadi dia pasti tahu sedikit banyak mengenai karakter seorang pengusaha dan betapa sulitnya itu.
“Kenapa ekspresi wajahmu terlihat seperti itu? Apa kau tak percaya kalau aku bisa melakukan bisnis? Kau berpikir kalau aku sedang memimpikan mimpi yang mustahil?” tebak Tae Phil saat melihat ekspresi meremehkan di wajah Ja Eun.
“Aku tidak mengatakan apa pun,” sangkal Ja Eun lagi.
“Kau berpikir seperti itu atau tidak, itu tidak penting. Aku sedang mencari pekerjaan yang cocok untukku. Aku sudah mempersiapkannya bertahun-tahun. Jika kita harus bermimpi, bukankah kita harus memiliki impian yang besar? Seperti misalnya manufaktur, distributor, pelayanan jasa dan lain-lain, meskipun dana yang kumiliki masih sedikit,” ujar Tae Phil membual.
“Kurasa kau memang cocok berbisnis, Oppa. Banyak orang bilang kalau orang-orang yang kasar dan kejam pasti sanggup menjalankan bisnis,” ujar Ja Eun, memuji sekaligus menyindir.
“Jadi maksudmu aku orang yang kasar dan kejam?” tanya Tae Phil, tampak tersentil dan kena mental mendengar sindiran Ja Eun. Tae Hee aja kena mental saat dikatain “Pria brengsek, pengecut dan Polisi tidak kompeten!”
Ja Eun tertawa santai dan berkata, “Bukankah kenyataannya seperti itu saat kau menendang peralatan makanku?” ujar Ja Eun, dikit sih tapi nyelekit. See? Our Baek Ja Eun is really brave girl ^_^
“Jadi kau punya kebiasaan menyimpan dendam?” ujar Tae Phil balik menyindir.
Ja Eun tertawa lagi dan menjawab, “Hhmm...Sedikit sih,” sahutnya santai dengan senyuman manisnya. Ja Eun type cewek blak-blakan hahaha ^_^
Dia menoleh dan melihat Baek Ja Eun sudah tertidur pulas di kursi penumpang. Faktanya, Ja Eun sudah menguap lelah sejak mendengar omong kosong Tae Phil tentang bisnis dan sejenisnya. (Jadi mendadak ngantuk ngedengerin orang sombong lagi omong kosong, ditinggal bobok aja sama Ja Eun hahaha ^_^)
Tae Phil menatap Ja Eun yang bobok cantik dengan tatapan mata yang menyiratkan simpati, kemudian meminggirkan truknya ke tepi jalan agar dia bisa memundurkan kursi Ja Eun ke belakang agar gadis itu dapat tidur dengan lebih nyaman lagi. (Hwang Tae Phil, apa kau mulai tersentuh?)
Beberapa saat kemudian, akhirnya Ja Eun sudah tiba di kampusnya. Ja Eun melihat dua sahabatnya, Nam Suk dan Ah Ra berjalan melewatinya. Ja Eun Nampak sedih untuk sesaat namun dia menyadari bahwa kedua sahabatnya ternyata sedang menuju dua gadis yang mengambil foto Baek Ja Eun dengan diam-diam dari arah belakang dan merebut ponsel itu serta menghapus foto Baek Ja Eun yang diambil diam-diam tersebut.
“Apa kalian tahu kalau mengambil foto orang secara diam-diam itu melanggar hukum?” seru Nam Suk pada kedua gadis itu.
“Dan lagipula, bukankah kalian adalah mahasiswa? Bukankah kalian seharusnya sudah melihat konferensi pers yang diadakan oleh pihak kepolisian yang mengatakan kalau Ja Eun tidak bersalah?” seru Ah Ra menambahkan.
Setelah melakukan itu, mereka berdua menoleh ke arah Ja Eun yang nampak tersenyum ke arah mereka. Nam Suk dan Ah Ra kemudian menghampiri Ja Eun dan ketiga sahabat itupun kembali berbaikan.
Begitu masuk ke dalam gedung kampus, mereka tak sengaja mendengar dua orang pria bertampang preman mencari Baek Ja Eun di bagian resepsionis dan mengatakan kalau Baek Ja Eun berhutang pada mereka. Pihak resepsionis tentu saja tidak akan pernah membeberkan data pribadi mahasiswa mereka dan mengatakan dengan tegas mereka tidak bisa memberikannya. Jika kedua pria itu memang memiliki kepentingan mendesak, kedua pria bertampang preman itu bisa mencari Baek Ja Eun di seluruh kampus.
Ja Eun dan kedua sahabatnya yang mendengar ini, seketika menjadi panik. Nam Suk dan Ah Ra memberi tanda pada Ja Eun untuk segera pergi sementara mereka berdua akan menahan kedua pria bertampang preman tersebut. Namun tentu saja, kedua sahabat Ja Eun tak mungkin menghalangi kedua preman itu dalam waktu yang lama.
Akhirnya setelah sempat dihalang-halangi oleh kedua sahabat Ja Eun, kedua pria bertampang preman tersebut benar-benar mencari Ja Eun di seluruh kampus. Tanpa mereka sadari, Ja Eun bersembunyi tepat di belakang mereka, di balik sebuah pintu.
Dari tempat persembunyiannya, Ja Eun mendengar kedua preman itu berbicara satu sama lain, “Walaupun kita menangkap Baek Ja Eun, dia mungkin tidak memiliki uang. Apa yang terjadi dengan Jang Yeon Suk? Ke mana dia menghilang?” ujar salah satu preman berkepala botak pada rekannya.
Ja Eun hanya bisa bersembunyi dengan takut karena takut penagih hutang itu akan memburunya juga dan memaksanya untuk melunasi hutang Ibu tirinya. Ja Eun-ah, you can tell Hwang Tae Hee, right? Minta tolong polisi dong!
Blogger Opinion :
Jang Yeon Suk adalah tiri Ja Eun yang ketiga, yang meninggalkannya dan berselingkuh dengan bawahan Ayahnya. Sepertinya selingkuhannya itu membuang ibu tiri Ja Eun setelah menguras semua hartanya, harta yang didapatnya dari Ayah Ja Eun. Gak tahu diri nih emak tiri. Dia menguras harta ayah Baek Ja Eun untuk kemudian diberikan kepada selingkuhannya, setelah itu dia dibuang oleh selingkuhannya setelah hartanya habis dan kini dikejar-kejar penagih hutang.
Blogger Opinion :
Jang Yeon Suk adalah tiri Ja Eun yang ketiga, yang meninggalkannya dan berselingkuh dengan bawahan Ayahnya. Sepertinya selingkuhannya itu membuang ibu tiri Ja Eun setelah menguras semua hartanya, harta yang didapatnya dari Ayah Ja Eun. Gak tahu diri nih emak tiri. Dia menguras harta ayah Baek Ja Eun untuk kemudian diberikan kepada selingkuhannya, setelah itu dia dibuang oleh selingkuhannya setelah hartanya habis dan kini dikejar-kejar penagih hutang.
Tapi tenang, nanti kedua preman penagih hutang itu akan ditangkap oleh Inspektur
Hwang Tae Hee kita yang terhormat saat mencoba menculik Ja Eun dan membawanya
pergi. Tapi nanti, sabar ya. Nanti pasti akan ada adegan “Pangeran
Menyelamatkan Putri” yang mengharukan. Tapi nunggu Hwang Tae Hee jatuh cinta
lebih dulu biar lebih romantis xixixi ^_^
Bersambung…
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (King)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Bersambung…
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (King)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar