Highlight For today episode :
I am totally loving the looks Tae Hee is shooting at Ja Eun
now. Well if this contract accident makes Ja Eun moves away for awhile, I am
all for it. That is because this guy needs to know badly he has fallen for her.
I’m sooooo happy Tae Hee is finally opened up to Ja Eun. I’m loving this pairing so much ^_^ I wonder how she will react, I bet she will be moved that he trusted her enough to confide that personal info about himself. What a great leap of faith he is taking in entrusting her with this info. For him to open up like this is more meaningful than any declaration of love, his words will be coated with that meaning anyway.
At this point, I think Ja Eun knows him well enough to realize that this moment is Tae Hee throwing open the door to his heart. Now all she needs to do is clear out the cobwebs and make room for herself there and become a permanent resident.
-------00000--------
Episode 23 :
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja masih di tengah pembicaraan intens dengan ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk yang mengancam mereka untuk menyerahkan pertanian ini padanya secepatnya.
“Melihat dari ekspresi kalian, sepertinya kalian takut kalau seluruh dunia akan tahu. Jangan khawatir, jika kalian mengembalikan pertanian ini padaku sekarang, aku tidak akan menjadikannya masalah besar. Pertama-tama, ubahlah nama pemilik pertanian ini besok pagi,” ujar Jung Yeon Suk dengan berani dan nada mengintimidasi.
(Jung Yeon Suk benar-benar tidak tahu malu, dia bahkan dengan
berani meminta Hwang Chang Sik mengubah sertifikat rumah itu ke dalam namanya,
dan bukan nama Ja Eun. Memang siapa dia? Apa hak yang dimiliki oleh seorang ibu
tiri? Kalaupun harus dikembalikan, pertanian itu harus dikembalikan pada Ja Eun
sebagai pewaris Baek In Ho yang sah, bukan kepada istri baru Baek In Ho, Jung
Yeon Suk.
Apalagi tanah ini dibeli oleh Kakek Baek Ja Eun sebagai cadangan harta kalau suatu saat putranya menghabiskan seluruh kekayaan keluarga karena salah investasi (dan memang terjadi beneran tebakan Kakeknya Ja Eun), jadi oleh karena itu dipinjamkan kepada Hwang Chang Sik dengan sertifikat ditulis atas nama Hwang Chang Sik selama 10 tahun dan baru akan dikembalikan pada Baek In Ho dan dibaliknama setelah 10 tahun lamanya, dan semua itu tertulis dalam surat kontrak yang ditulis oleh Park Bok Ja.
Karena Baek In Ho menghilang dalam kecelakaan, otomatis Baek Ja Eun-lah, yang merupakan anak kandung Baek In Ho-lah yang berhak menjadi ahli warisnya. Hak waris jatuh ke anak kandung, bukan istri baru, karena tanah pertanian itu bukanlah harta bersama yang didapat selama pernikahan melainkan jauh sebelum itu, 10 tahun yang lalu, saat Jung Yeon Suk belum menikah dengan Baek In Ho!)
“Tidakkah Anda terlalu kasar?” ujar Hwang Chang Sik.
“Biar aku yang bicara,” potong Park Bok Ja.
“Apa Ja Eun tahu kalau kau datang kemari?” tanya Park Bok Ja tepat sasaran. Dan ekspresi Jung Yeon Suk tampak canggung dan salah tingkah saat mendengar nama Ja Eun disebut, dia tampak tak bisa menjawab pertanyaan itu.
“Melihat bagaimana kau tak bisa menjawabnya, sebenarnya benar kalau kau datang tanpa sepengetahuannya. Kau datang ke tempat yang salah. Jika kau memang ingin memberitahu semua orang, katakan saja. Kami tidak takut!” tantang Park Bok Ja.
Karena dia tahu kalau si emak tiri ini datang tanpa sepengatahuan Ja Eun dan tujuannya bukan untuk kebaikan Ja Eun melainkan untuk keuntungan dirinya sendiri.
“Apa Anda serius?” tanya Jung Yeon Suk, tampak tak suka karena ancamannya gagal.
“Mengapa aku harus takut pada wanita tidak tahu malu sepertimu? Walaupun aku mengakui aku juga berkulit tebal (tidak tahu malu) tapi itu tidak sebanding dengan dirimu. Kau jauh lebih buruk. Apa kualifikasi yang kau miliki hingga meminta kami mengembalikan pertanian ini padamu? Kau menyebut dirimu Ibu tiri Ja Eun, namun kau mencampakkan Ja Eun begitu saja setelah ayahnya menghilang dalam kecelakaan dan pergi seorang diri, dan sekarang dengan tidak tahu malunya kau datang ingin meminta pertanian ini?” ujar Park Bok Ja dengan ketus dan kalimat tajam.
(Aku di pihak Park Bok Ja untuk yang satu ini. Park Bok Ja memang mencuri, dia salah dan dia pernah bersikap kejam pada Ja Eun dengan menendangnya keluar, tapi Park Bok Ja menyesal dan sekarang bahkan menyayangi Ja Eun seperti putri kandungnya sendiri.
Tapi Jung Yeon Suk tidak. Selama 5 tahun tinggal bersama, Jung Yeon Suk tak pernah sekalipun menyayangi Ja Eun dan tidak pernah menganggapnya seperti putri kandungnya sendiri. Yang wanita ini pikirkan hanyalah bagaimana cara menguras harta sang suami, Baek In Ho dan berselingkuh dengan pegawainya.
Park Bok Ja punya alasan kuat menolak mengembalikan pertanian karena dialah yang bekerja keras selama 10 tahun mengurus pertanian ini, kalau Jung Yeon Suk? Kapasitas apa yang wanita itu miliki hingga pantas meminta pertanian itu diubah atas namanya? Gak ada! Dia bukan Pewaris! Dan tanah ini juga tidak bisa dikategorikan sebagai harta bersama yang berhak dikuasai oleh istri setelah suami meninggal karena dibeli 10 tahun yang lalu sebelum wanita itu menikah dengan Baek In Ho. Bukan harta bersama, jadi secara hukum, dia tak punya hak sama sekali!)
“Aku datang untuk membicarakan masalah pertanian. Karena aku adalah istri Baek In Ho, jadi secara hukum, aku juga berhak mewarisinya. Tapi jika kalian memilih seperti ini, maka aku tidak punya pilihan lain selain memberitahu media,” ancam Jung Yeon Suk lagi.
(Mau bicara hak waris? Kalau bicara soal hak waris, Baek Ja Eun sebagai putri kandung Baek In Ho adalah orang yang paling berhak mewarisinya! Hwang Tae Hee sendiri aja mengakui kalau Baek Ja Eun adalah pewaris yang sah. Mau dibawa ke polisi juga, loe bakalan kalah, emak tiiri! Digugat ke pengadilan pun, tetap kalah, Hakim akan memutuskan satu-satunya pewaris sah Baek In Ho hanya sang putri, Baek Ja Eun. Jung Yeon Suk tahu itu sebenarnya, itu sebabnya dia datang diam-diam tanpa sepengetahuan Ja Eun. Dia ingin menusuk Ja Eun dari belakang. Setelah dia dapat pertanian ini, dia bakal menendang Ja Eun dan sekaligus keluarga Hwang bersama-sama. Resek nih emak tiri satu! Park Bok Ja aja kalah jahat!)
“Katakan saja! Kami tidak takut? Pergilah dan beritahu semua orang! Apa kau pikir mudah untuk membangun sebuah pertanian dari awal? Apa hakmu meminta pertanian itu? Cepat katakan saja! Kau pikir kami siapa bisa kau ancam?” tantang Park Bok Ja dengan kesal dan berapi-api.
“Dan juga, kalau kami memang harus mengembalikan pertanian ini, kami akan mengembalikannya pada Ja Eun, bukan padamu! Kenapa kami harus mengembalikannya padamu? Setelah apa yang kau lakukan pada Ja Eun, hak apa yang kau miliki hingga meminta kami mengembalikannya padamu? Kukatakan sekali lagi, jika kami memang harus mengembalikan pertanian ini, kami akan mengembalikannya pada Ja Eun dan bukan padamu! Apa kau mengerti?” seru Park Bok Ja dengan berani dan berapi-api.
“Bila sudah mengerti, tolong segera tinggalkan rumah ini!” usir Hwang Chang Sik dengan berusaha sopan.
“Benar. Cepatlah pergi sebelum Ja Eun kembali,” usir Park Bok Ja dengan kasar.
“Padahal aku berusaha bersikap sopan, tapi kalian berdua sangat tidak sopan,” ujar Jung Yeon Suk tak bisa berkata-kata.
“Cepat pergi sebelum Ja Eun kembali! Setelah mencampakkan Ja Eun dan pergi seorang diri, sekarang begitu kau muncul, kau bahkan tidak bertanya bagaimana kabar Ja Eun dan hanya meminta pertanian ini? Aku tidak ingin Ja Eun melihatmu datang kemari dan melihatmu memaksa kami menyerahkan pertanian ini padamu, jadi cepatlah pergi. Pergi sekarang juga!” usir Park Bok Ja dengan marah.
(Keliatan banget kalau si emak tiri cuma pengen harta doank, dia bahkan gak tanya gimana kabar Ja Eun, tapi malah diam-diam datang tanpa sepengetahuan Ja Eun dan memaksa Hwang Chang Sik mengubah nama kepemilikan atas namanya. Lah kok enak?)
“Kenapa masih belum pergi?” usir Park Bok Ja sekali lagi.
“Aku pergi sekarang! Lagipula aku datang kemari hanya untuk melihat bagaimana reaksi kalian. Ini hanyalah awal. Aku bukan seseorang yang bisa dengan mudah kalian singkirkan!” seru Jung Yeon Suk, ibu tiri Ja Eun dengan tak kalah kesal, lalu segera bangkit berdiri dan berniat pergi dari sana.
“Bawa juga buah-buah ini! Kami tidak membutuhkannya!” seru Park Bok Ja ketus.
“Simpan saja! Kalian akan segera menjadi miskin,” ujar ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk dengan nada dan tatapan menghina.
Di saat yang bersamaan, di sebuah cafe tempat di mana Jung Yeon Suk meminta bertemu, Ja Eun duduk menunggu dengan kesal karena ibu tirinya tak kunjung datang. (Ya iyalah, ibu tirimu sedang sibuk berusaha menikammu dari belakang, Ja Eun-ah. Dia berniat mengambil tanah warisanmu tanpa sepengatahuanmu >_<)
“Ada apa ini? Seharusnya dia menghubungiku jika tidak bisa
datang,” omel Ja Eun kesal, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pulang saja
karena tidak ingin menunggu lebih lama lagi.
Di warung minum di persimpangan jalan menuju Ojakgyo Farm, keempat bersaudara Hwang tampak berkumpul bersama untuk membicarakan masalah ini. Tae Phil akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan semua saudaranya dan memberitahu mereka tentang ibu mereka yang telah mencuri surat kontrak Ja Eun.
Tae Hee tampak sangat shock saat mendengarnya, sementara Tae
Shik menarik napas berat.
“Kapan dan bagaimana kau mengetahui hal ini?” tanya Tae Bum, menjadi yang pertama bereaksi setelah mendengar berita mengejutkan ini.
“Aku melihat ibu mengeluarkan surat kontrak itu dari dalam lemari pakaian. Jadi aku segera pergi menemui Kakak kedua keesokan harinya. Awalnya aku tak sanggup melihat wajah Ibu, aku bahkan lebih tak sanggup lagi melihat wajah Ja Eun. Selama beberapa hari ini kupikir aku hampir gila,” ujar Tae Phil dengan raut wajah bersalah.
“Bagaimana dengan ayah? Apa ayah tahu soal ini?” tanya Tae Shik ingin tahu.
“Ayah tidak tahu pada awalnya tapi sekarang ayah tahu. Ayah tak sengaja mendengar pertengkaran antara aku dan Ibu,” sahut Tae Phil lirih.
“Ibu benar-benar! Apa yang sudah dilakukan Ibu?” seru Tae Bum frustasi.
“Benar. Apa yang sudah dilakukan Ibu?” ulang Tae Shik dengan menghela napas berat.
Tae Bum kemudian berdiri dari duduknya dan berkata lagi, “Ayo pulang! Pulang dan katakan pada mereka untuk mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun besok pagi. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini? Bagaimana ini bisa terjadi? Pencurian adalah tindakan kriminal. Ini adalah batas yang tidak seharusnya Ibu lewati!” seru Tae Bum frustasi.
“Ayo pulang! Kita tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi. Untuk kebaikan Ibu, kita harus memperbaiki situasi ini sekarang,” seru Tae Bum dengan menahan rasa kesalnya pada sang ibu. Dia tidak percaya jika ibunya melakukan hal sejauh ini.
Tae Hee jauh lebih frustasi lagi. Dia adalah seorang polisi, namun ibunya justru seorang pencuri. Siapa yang tidak shock mendengar hal ini? Ditambah lagi, korbannya adalah gadis yang dia sukai. Karena terlalu frustasi dan shock, Tae Hee sampai tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya terdiam mematung, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Mereka mungkin sedang membahasnya sekarang. Itu sebabnya Ayah mengusir kita semua keluar dari rumah saat ini, jadi Ayah bisa membicarakannya dengan Ibu dalam situasi yang lebih tenang. Tentu saja mereka akan mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun, jadi duduklah dulu dan tunggu saja hasilnya, Hyung.” ujar Tae Phil, meminta Tae Bum bersabar sebentar.
Saat Tae Bum tampak emosi, Tae Hee mencoba meredakan amarah dan rasa frustasinya dengan menegak minuman.
“Benar. Kita tunggu dan lihat saja malam ini,” ujar Tae Shik dan Tae Bum pun dengan berat hati, duduk kembali di kursinya.
Tak lama kemudian, terdengar suara sapaan ramah dari seorang gadis yang spontan membuat keempat bersaudara Hwang terkejut, panik dan gugup secara bersamaan.
“Ah, kalian semua sedang berada di sini?” sapa gadis muda itu dengan ramah dengan tersenyum ceria.
Sapaan ramah itu justru membuat keempat bersaudara Hwang tampak salah tingkah seperti seorang penjahat yang tertangkap basah melakukan sebuah kejahatan. Tae Hee pun menatap dengan terkejut ke arah Ja Eun yang tiba-tiba saja muncul di depan mereka.
“Bolehkah aku duduk di sini juga? Aku sangat marah hingga rasanya ingin minum juga,” ujar Ja Eun dengan tersenyum ceria kepada mereka berempat. Yup, gadis yang menyapa dengan ramah itu adalah Ja Eun, orang yang baru saja mereka bicarakan beberapa saat yang lalu.
(Panjang umur bener si Ja Eun, habis diomongin, sekarang muncul ^_^)
Melihat kehadiran Ja Eun yang tidak mereka duga, membuat mereka berempat saling melempar pandang ke arah saudara mereka yang lain dengan ekspresi yang seolah menerka-nerka apakah Ja Eun mendengar apa yang baru saja mereka bicarakan?
“Tentu saja. Duduklah,” sahut Tae Phil, yang pertama bereaksi. Dia segera memberikan kursinya pada Ja Eun sementara dia sendiri mengambil kursi lain yang ada di belakangnya.
“Ahjumma, tolong berikan gelas lagi di sini,” seru Tae Phil kepada penjual warung itu.
“Kenapa kau sangat marah?” tanya Tae Phil, yang sejak episode 22 sudah resmi bersikap ramah.
“Seseorang menelponku dan berkata ingin bertemu. Jadi aku datang menemuinya dan menunggunya selama 1 jam namun dia tidak juga muncul dan dia bahkan tidak menelponku atau menjawab telponku,” ujar Ja Eun mengeluh seraya mengerucutkan bibirnya kesal dan mendengus kesal.
Tak ada satupun dari mereka yang berani menatap Ja Eun saat gadis itu bicara, Tae Phil adalah satu-satunya orang yang aktif di tempat itu dan bahkan menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
Ja Eun melihat Tae Hee menegak minumannya dengan ekspresi seolah dia sedang punya masalah, sementara Tae Bum meminta Tae Phil menuangkan minum untuknya juga. Ja Eun menatap ketiga orang lainnya dengan bergantian dan dia merasakan atmosfer yang aneh di antara mereka.
“Apa telah terjadi sesuatu?” tanya Ja Eun dengan ragu-ragu.
Tae Bum melihatnya dengan tatapan tak nyaman, seolah merasa bersalah pada gadis itu. Sementara Tae Hee dan Tae Shik hanya menundukkan kepala mereka sedari tadi dan menatap botol-botol di atas meja.
“Kenapa?” tanya Tae Phil dengan waspada dan menatap Ja Eun dengan gugup.
“Atmosfernya sedikit...” Ja Eun terdiam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, “Apa jangan-jangan aku telah mengganggu pembicaraan kalian semua?” tanya Ja Eun dengan tak enak hati.
“Tidak. Bukan seperti itu. Hari ini kita panen besar dan kami hanya sedikit lelah karena tubuh kami tidak terbiasa bekerja keras. Jadi itu sebabnya kami berkumpul dan minum-minum untuk melepaskan rasa lelah,” sangkal Tae Bum, mencoba meyakinkan Ja Eun kalau itu bukan salahnya.
“Ah, jadi karena panen? Kalau begitu kita bersulang!” ujar Ja Eun yang tidak tahu apa-apa dengan ceria.
Tae Bum, Tae Shik dan Tae Phil baru saja akan mengangkat cangkir mereka saat Tae Hee tiba-tiba berkata kalau dia akan kembali ke kantor polisi sekarang.
“Hyung, aku harus kembali ke kantor polisi sekarang,” ujar Tae Hee tiba-tiba, menghentikan mereka yang akan bersulang.
“Baiklah,” sahut Tae Shik yang mengerti kenapa Tae Hee seolah menghindari Ja Eun, karena dia pun tak punya keberanian memandang wajah Ja Eun saat ini.
“Tinggallah sebentar lagi, toh kita semua akan pergi setelah ini,” ujar Tae Bum pada Tae Hee, karena merasa tak enak pada Ja Eun.
“Aku akan pergi sekarang,” ujar Tae Hee lirih, bersikeras pergi dari sana, membuat suasana semakin bertambah canggung. Tae Hee sepertinya butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.
Tae Hee melangkah pergi dengan ragu-ragu tanpa menatap Ja Eun sekalipun (kecuali tatapan terkejut saat Ja Eun tiba-tiba muncul, setelah itu dia tak berani menatapnya lagi). Tae Hee tampak menghentikan langkahnya sejenak, sebelum akhirnya mulai melangkah lagi.
Tae Hee sepertinya tampak bingung, dia bingung harus bersikap bagaimana : Berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti yang lain, atau meminta maaf pada Ja Eun atas sikap ibu mereka? Tanpa disadari Tae Hee, Ja Eun menatap kepergian Tae Hee dengan penuh tanda tanya.
“Sepertinya aku memang datang di saat yang tidak tepat, di saat kalian semua sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting. Maafkan aku. Aku akan minum segelas saja dan akan pergi,” ujar Ja Eun tahu diri.
“Tidak. Tidak apa-apa. Kita minum satu gelas lagi kemudian baru pulang,” ujar Tae Bum dengan ekspresi bersalah.
“Ya, kita minum satu gelas lagi,” ujar Tae Shik dengan tersenyum canggung.
“Ja Eun-ssi, ini bukan karenamu, jadi jangan salah paham ya,” lanjut Tae Shik dengan ramah, namun wajahnya tampak merasa bersalah.
“Benar. Bukan seperti itu, jadi jangan salah paham,” ujar Tae Bum menyetujui.
“Ya, aku mengerti,” sahut Ja Eun dengan tersenyum hangat.
“Ayo kita bersulang! Untuk kita semua yang telah bekerja keras untuk panen hari ini,” ujar Tae Phil, mencoba memberi semangat pada semua orang.
“Ja Eun-ah, kau bekerja sangat keras hari ini,” lanjut Tae Phil memuji Ja Eun dengan tulus.
“Maknae Oppa juga, Paman Pertama dan paman kedua juga bekerja keras,” sahut Ja Eun rendah hati.
“Tidak. Kaulah yang paling bekerja keras dan paling menderita di antara kami,” sahut Tae Bum merendah, turut memuji Ja Eun, kemudian mereka berempat bersulang bersama. Tae Shik dan Tae Phil sempat melirik ke arah Ja Eun dengan raut wajah bersalah sebelum mengalihkan tatapan mereka ke tempat lain begitu Ja Eun berbalik menatap mereka.
Setelah minum, Ja Eun melihat ke arah Tae Hee pergi dengan perasaan aneh dalam hatinya. Dia merasa Tae Hee kembali bersikap aneh padahal malam kemarin mereka tampak akrab saat bermain “batu, gunting, keras” di mini market.
Sementara itu di kantornya, Tae Hee duduk merenung seorang diri di sofa dengan rasa bersalah, frustasi dan kekecewaan yang menumpuk dalam hatinya. Tae Hee menyesal dan merasa bersalah karena menolak membantu gadis itu, Tae Hee menyalahkan dirinya sendiri yang tidak cukup berani berdiri di pihak gadis itu lebih cepat karena tidak ingin mengecewakan sang ibu yang telah membesarkannya. Tapi apa ini? Ibu yang telah membesarkannya, yang menyayanginya seperti menyayangi anak sendiri dan yang dia sayangi seperti ibu kandungnya sendiri ternyata seorang pencuri?
Tak hanya itu, perbuatan sang Ibu benar-benar mencederai harga dirinya sebagai seorang polisi. Tae Hee kecewa, sangat kecewa. Kekecewaannya bahkan lebih parah dari Tae Phil, karena sialnya Tae Hee justru mengetahui semua ini di saat dia justru sudah memiliki rasa terhadap gadis itu, Baek Ja Eun. Gadis tidak bersalah yang harus menderita karena keserakahan ibunya.
Keesokan harinya, Ja Eun yang masih tidak tahu apa-apa tentang masalah kontrak tampak sangat gembira saat melihat di dapur, Park Bok Ja memasakkan makanan favoritnya saat ini. Itu adalah makanan yang pernah dia minta saat pertama kali Ja Eun datang ke sana.
“Wah, ini semuanya adalah makanan favoritku. Ahjumma,
rasanya tidak mungkin, tapi, apakah Anda memasak semua ini untukku?” tanya Ja
Eun dengan mata berbinar ceria.
Alih-alih menjawab, Park Bok Ja justru menyuruhnya mengelap meja. Ja Eun yang melihat wajah Park Bok Ja tampak pucat bertanya dengan nada cemas apa ada yang salah dengan wanita itu.
“Apa Anda sakit, Ahjumma? Wajah Anda terlihat pucat,” ujar Ja Eun dengan cemas dan penuh perhatian.
“Tidak. Ahjumma baik-baik saja. Itu hanya karena aku melakukan banyak pekerjaan di pagi hari, dan itu kulakukan karena aku akan pergi ke suatu tempat,” sahut Park Bok Ja menyangkal. Faktanya dia tidak bisa tidur semalaman karena kepikiran masalah ini.
“Ke mana?” tanya Ja Eun penasaran.
“Kita akan membicarakannya saat sarapan nanti. Cepat lap mejanya karena semua orang pasti sudah lapar,” sahut Park Bok Ja.
Semua orang akhirnya berada di meja makan dan bersiap untuk sarapan, melihat cucu kesayangannya tak ada, nenek bertanya di mana Tae Hee berada.
“Di mana Tae Hee?” tanya Nenek ingin tahu.
“Tae Hee tidak pulang ke rumah kemarin malam,” sahut Tae Shik menginformasikan.
“Apa dia bekerja lembur lagi?” tanya Nenek dengan khawatir.
Kemudian Nenek menyadari makanan yang melimpah di meja makan dan tampak lebih banyak daripada biasanya, “Kenapa ada begitu banyak menu makanan? Apa ada seseorang yang berulang tahun hari ini?” tanya Nenek penasaran.
“Tidak, Eomonim. Aku hanya iseng membuat ini karena sepertinya kita sudah lama tidak makan enak saat sarapan,” sahut Park Bok Ja, padahal sebenarnya dia ingin menebus kesalahannya pada Ja Eun dengan sengaja memasakkan makanan favorite gadis itu.
“Ahjumma akan pergi ke suatu tempat,” ujar Ja Eun dengan sedih.
“Kau akan pergi ke mana?” tanya Nenek penasaran.
“Bagaimana jika kita mulai sarapannya dulu, Ibu?” ujar Park Bok Ja. Nenek akhirnya memulai acara sarapan itu dan saat semua orang sedang makan, Park Bok Ja mengatakan kalau dia berencana untuk pergi mengunjungi makam mendiang Ibunya di gunung sekaligus menemui adiknya di desa.
“Apa sesuatu telah terjadi? Karena jika kau ada masalah, kau pasti akan mengunjungi makam ibumu,” tanya Nenek, mulai mencium sesuatu yang tidak beres.
“Tidak ada apa-apa, Ibu. Hanya saja aku memang merencanakan ini setelah panen kita selesai, karena sepertinya aku sudah lama tidak mengunjungi makam ibuku,” sahut Park Bok Ja, menyembunyikan kenyataan karena Ja Eun ada di sana.
“Ijinkan menantu pergi, Ibu. Karena jika udara semakin dingin maka akan lebih sulit baginya untuk naik ke atas gunung. Sekarang adalah saat yang tepat untuk naik gunung,” ujar Hwang Chang Sik, membantu memintakan ijin pada ibunya.
“Baiklah jika kau sudah mengijinkan,” sahut Nenek akhirnya.
“Pergilah. Apa kau akan kembali hari ini juga?” lanjut Nenek pada Park Bok Ja.
“Aku berencana ingin menginap di sana semalam, Ibu. Karena aku sudah lama tidak bertemu adikku, jadi aku ingin menemuinya sebentar,” ujar Park Bok Ja meminta ijin untuk menginap semalam. Dia tampaknya ingin menenangkan diri lebih dulu sebelum membuat keputusan yang tepat, yaitu mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun.
“Baiklah, terserah padamu. Menginaplah sehari,” sahut Nenek memberikan ijinnya.
“Aku sudah menyiapkan makanan di dalam kulkas jadi kalian hanya perlu menghangatkannya saja dan membuat nasinya,” ujar Park Bok Ja menginformasikan.
“Jangan khawatir, aku masih bisa memasak dua atau tiga menu masakan untuk makan,” ujar Nenek menenangkan.
“Jangan khawatir soal bebek, Ahjumma. Aku pasti akan merawat mereka dengan baik dan memberi mereka makan tepat pada waktunya,” ujar Ja Eun dengan tersenyum ceria. Park Bok Ja tersenyum sayang padanya dan menjawab, “Aku tahu.”
Setelah selesai sarapan, Hwang Tae Phil tampak menunggu sang ibu di depan rumah. Saat melihat ibunya keluar, Tae Phil segera meraih tas sang ibu dan membawakannya.
“Apa Ibu sudah mengenakan baju yang tebal? Karena cuaca semakin dingin saat ini,” ujar Tae Phil dengan cemas. Mereka sedang berada di musim peralihan antara musim gugur dan musim dingin.
“Ayahmu sudah mengingatkan Ibu untuk memakai pakaian lebih tebal, ibu juga membawa banyak pakaian tebal,” jawab Park Bok Ja.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Ja Eun tampak berlari seraya memanggilnya dengan riang, “Ahjumma”.
“Makanlah ini selama perjalanan,” ujar Ja Eun seraya menyerahkan kantong plastik di tangannya pada Park Bok Ja.
“Apa ini?” tanya Park Bok Ja ingin tahu.
“Buka dan lihatlah,” jawab Ja Eun dengan senyuman hangatnya.
Park Bok Ja mengeluarkan benda itu dari dalam kantong plastik yang dibawa Ja Eun, “Oh, ini telur rebus?” tanya Park Bok Ja.
“Saat Anda dalam perjalanan, makanlah telur rebus ini dan soda untuk sekedar menahan lapar. Melihat bagaimana Ahjumma menyukai hal-hal kuno seperti ini, jadi kupikir ini akan cocok dengan selera Anda,” sahut Ja Eun dengan senyuman ceria khasnya.
“Tapi ada beberapa yang sedikit retak. Mungkin saat aku merebusnya dan mencoba membaliknya, aku tak sengaja mengetuk cangkangnya jadi telurnya sedikit retak. Tapi aku yakin rasanya tetap sama. Makanlah yang dua ini lebih dulu, baru kemudian yang ini,” ujar Ja Eun seraya tersenyum meminta maaf.
“Apa yang harus kulakukan? Aku selalu menerima banyak hal darimu. Apa kau punya sesuatu yang kau inginkan?” tanya Park Bok Ja tersentuh. Matanya tampak berkaca-kaca menatap gadis itu.
“Tidak ada,” sahut Ja Eun singkat dan tulus. Tae Phil hanya menatap Ja Eun dengan perasaan bersalah setelah mendengar jawaban tulusnya. Bagaimana bisa dia dulu begitu membenci gadis yang baik hati Ini dan selalu memusuhinya?
“Kau harus mendapatkan imbalan atas kerja kerasmu selama ini. Tapi daripada memberikan uang, jika kau menginginkan sesuatu maka katakan saja! Katakan saja dan Ahjumma akan membelikan apa pun yang kau inginkan,” ujar Park Bok Ja dengan tulus dan mata berkaca-kaca.
“Benar-benar tidak ada. Aku sungguh tidak membutuhkan apa pun. Ahjumma sudah mengijinkan aku tidur di loteng, itu sudah cukup,” sahut Ja Eun dengan tulus. Jawaban yang semakin membuat Park Bok Ja dan Hwang Tae Phil merasa semakin bersalah pada gadis itu.
“Ahjumma, karena Anda tidak ada di rumah, walaupun hanya sehari, aku merasa sangat sedih,” lanjut Ja Eun dengan ekspresi sedih di wajahnya.
“Aiiggoo, udara semakin dingin. Pakailah baju yang lebih tebal agar tidak masuk angin. Udara di sini sangat berbeda dengan di kota, udara di sini jauh lebih dingin,” ujar Park Bok Ja mengalihkan pembicaraan seraya merapikan baju Ja Eun dengan penuh perhatian. Matanya tampak berkaca-kaca dan seolah-olah ingin menangis kapan saja.
(OJakgyo Farm memang terletak di luar kota Seoul dan berada di wilayah pegunungan seperti Malang, Batu, Tretes, dll kalau contohnya di Jawa Timur, jadi memang agak dingin dan lebih sejuk ^^)
Park Bok Ja tampak ingin memeluk Ja Eun dan meminta maaf dari lubuk hatinya yang paling dalam, namun dia berusaha menahan dirinya karena tidak ingin Ja Eun merasa dirinya bersikap aneh.
“Ya, aku akan memakai pakaian yang lebih tebal,” ujar Ja Eun dengan patuh.
“Masuklah,” ujar Park Bok Ja, menyuruh Ja Eun untuk masuk ke rumah. Sementara dia dan Hwang Tae Phil mulai berjalan pergi meninggalkan pertanian.
“Hati-hati di jalan, Ahjumma. Jangan khawatir tentang bebek, aku akan menjaga mereka baik-baik,” Seru Ja Eun seraya melambai-lambaikan tangannya dengan tersenyum ceria. Park Bok Ja menoleh dan tersenyum sayang pada gadis itu, sebelum melangkah pergi dengan mata berkaca-kaca dan wajah menahan tangis.
Setelah Hwang Tae Phil mengantar Park Bok Ja pergi, Ja Eun mendekati Nenek dari arah dapur dengan membawa buah-buahan, Nenek tampak asyik menulis sesuatu di atas meja.
“Nenek, ayo makan buah. Apa yang Nenek lakukan?” tanya Ja Eun seraya mendekati Nenek yang sedang asyik menulis sesuatu di atas meja.
“Aku mendaftar untuk perubahan nama,” sahut Nenek dengan serius.
“Mengubah nama? Nama nenek? Apa aku boleh tahu nama Nenek?” tanya Ja Eun bingung, dia seperti baru kali ini mendengar bahwa penduduk negara mereka bisa mengubah nama mereka secara resmi.
Ja Eun kemudian membaca apa yang tertulis di formulir pendaftaran perubahan nama itu kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar nama Nenek yang terdengar sangat kuno di telinganya, “Shim Gap Nyeon? Gak Nyeon? Apa itu Shin Gap Nyeon?” seru Ja Eun seraya tertawa lucu mendengar nama asli Nenek, sementara Nenek hanya menatapnya kesal karena ditertawakan.
“Bukan begitu. Maksudku, apakah ayah Nenek sama sekali tidak memikirkan masa depan putrinya? Apa itu Gap Nyeon? Itu sangat aneh,” ujar Ja Eun sambil tertawa, menjelaskan agar Nenek tidak marah.
“Jaman dulu ada banyak nama seperti ini. Beruntunglah kau yang lahir di jaman sekarang ini. Jika kau terlahir di era yang sama denganku, namamu akan menjadi Baek Mal Nyeon. Mal Nyeon-ah...” ujar Nenek membela diri seraya balas meledek Ja Eun, dan kemudian ikut tertawa terbahak-bahak bersama Ja Eun menertawakan nama mereka. Mereka berdua sungguh bagaikan gambaran sempurna Nenek dan cucu Perempuannya.
Setelah berhenti tertawa, Nenek bertanya ke mana Ja Eun akan pergi karena dia tampak mengenakan baju yang sudah rapi.
“Apa kau akan pergi ke suatu tempat?” tanya Nenek ingin tahu.
“Ya, aku akan pergi ke kampus, Nenek,” jawab Ja Eun.
“Begitukah? Tunggu! Bisakah kau membantu Nenek memberikan sesuatu untuk Tae Hee? Nenek tidak bisa pergi sendiri saat ini,” ujar Nenek, meminta tolong pada Ja Eun. Nenek tak bisa pergi ke manapun karena truk mereka sedang dipakai Tae Phil untuk mengantarkan Park Bok Ja ke stasiun.
Ja Eun tampak ragu untuk sesaat mengingat semalam Tae Hee bersikap aneh padanya dan tampak menghindarinya.
“Kenapa? Kau tidak mau?” tanya Nenek yang menyadari reaksi Ja Eun yang tampak ragu.
“Mana mungkin, Nenek? Berikan padaku,” jawab Ja Eun, tak enak menolak.
Di kantor polisi, Tae Hee tampak membanting buku ke atas meja dengan kesal saat proses interogasi tidak berjalan lancar karena jawaban tersangka itu yang selalu berubah-ubah dan tidak konsisten.
“Kau masih tidak mau berkata jujur? Mengapa jawabanmu selalu
berubah-ubah setiap kali aku bertanya? Apa kau tidak tahu kenapa aku dijuluki
Dog Tae Hee? Apa kau ingin melihatnya?” bentak Tae Hee yang mulai kehilangan
kesabaran dengan nada tinggi.
“Ya. Maksudku tidak,” jawab si tersangka dengan gugup.
“Jawab dengan jujur!” ujar Tae Hee sekali lagi.
“Ya,” sahut si tersangka.
Rekan polisi yang lain bertanya tanpa suara ke arah Dong Min ada apa dengan Tae Hee hari ini, namun Dong Min hanya membisikkan kalimat, “Aku tidak tahu,” dengan ekspresi yang juga tak mengerti.
Sementara itu, Tae Hee masih melanjutkan proses interogasinya, “Sekali lagi aku bertanya padamu. Jika sekali lagi jawabanmu tidak konsisten, aku tidak akan memperingatkanmu dengan kata-kata lagi di waktu berikutnya,” ujar Tae Hee, memberi peringatan tegas.
“Kapan dan di mana kau bertemu dengan pria itu? Katakan tanggal dan jamnya dengan jelas!” tanya Tae Hee sekali lagi.
“Aku tidak ingat itu bulan Mei atau Juni,” jawab si tersangka dengan tidak yakin. Jawabanya kembali tidak konsisten dan itu membuat Tae Hee semakin emosi.
“YYYYAAA!” bentak Tae Hee, seraya bangkit berdiri dan berjalan memutar ke arah si tersangka, kemudian menarik kerah pria itu dan bermaksud memukulnya, namun untung saja Dong Min dan rekan kepolisian yang lain segera menghentikan Tae Hee sebelum Tae Hee melontarkan pukulan.
“Hyung, hyung! Kau tidak boleh melakukan itu!” seru Dong Min seraya berusaha menarik tubuh Tae Hee menjauh dari si tersangka.
“Lepaskan aku, Dong Min! Kenapa kau masih belum melepaskan aku?” seru Tae Hee marah.
“Aku sudah tahu. Aku sudah tahu. Mari kita bicara di luar!” seru Dong Min.
Tak punya pilihan, Dong Min menarik Tae Hee yang sedang emosi jiwa melanda, keluar dari dalam ruangan, sementara tugas menginterogasi diambil alih rekan polisi yang lain. Saking emosinya, saat sudah berada di luar ruangan pun, Tae Hee masih mencoba untuk masuk dan menghajar tersangka itu.
(Type Introvert kalau sekali marah memang selalu meledak-ledak. Sama seperti Tae Hee, Tae Hee kalau lagi marah dan emosi memang selalu ingin memukul sesuatu sebagai pelampiasan untuk meredakan kemarahannya. Di episode 20 dia memukul piagam penghargaan kepolisian, sekarang ingin memukul tersangka. Tae Hee butuh Ja Eun untuk meredakan emosinya, namun masalahnya dia sedang menghindari Ja Eun karena merasa bersalah dan tak sanggup melihat wajahnya.
“Ada apa denganmu hari ini? Apa telah terjadi sesuatu kemarin?” tanya Dong Min, yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban dari Tae Hee karena Tae Hee adalah type Introvert yang tidak bisa mengungkapkan perasaan dengan kata-kata.
“Aku tidak tahu apa itu, tapi kau sedang tidak dalam kondisi yang baik sekarang. Pulanglah dan istirahat. Aku dan polisi yang lain akan menanganinya,” lanjut Seo Dong Min dengan pengertian.
Bertepatan dengan itu, Dong Min melihat Ja Eun datang dari arah belakang Tae Hee, “Bukankah itu Baek Ja Eun?” tanya Dong Min dengan bingung yang mengenali paras cantik gadis itu.
Mendengar nama Ja Eun disebut, Tae Hee spontan menoleh ke belakang dan tampak gugup dan panik saat melihat Ja Eun mendekat, dia segera berbisik pelan pada Dong Min, “Jika dia datang kemari mencariku, katakan padanya aku sedang berada di luar,” bisik Tae Hee lalu segera berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan tak jauh dari kantor mereka.
Tepat setelah Tae Hee bersembunyi di salah satu ruangan, Ja Eun melihat Dong Min dan menyapanya dengan ramah, “Annyeonghaseyo,” sapa Ja Eun dengan ramah pada Dong Min.
“Ye, annyeonghaseyo,” Dong Min menyapa balik dengan ramah.
“Aku datang untuk mencari Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim (Inspektur Hwang Tae Hee). Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya,” ujar Ja Eun dengan sopan, menjelaskan maksud kedatangannya.
“Ah, Inspektur Hwang Tae Hee? Dia tidak ada di sini sekarang,” sahut Dong Min berbohong, sementara Tae Hee menguping dari dalam ruangan.
“Begitukah? Kalau begitu kapan dia kembali? Apakah masih lama?” Ja Eun tampak kecewa mendengar Tae Hee tidak ada di tempat.
Blogger Opinion :
Wah, sungguh kemajuan yang besar saat melihat Tae Hee bersedia membuka rahasia terbesar dalam hidupnya, masa lalunya yang dia sembunyikan dari semua orang dan menceritakannya sendiri pada Ja Eun. Keputusan Tae Hee untuk mengungkapkan rahasianya pada Ja Eun bahkan terlihat seperti “Pengakuan Cinta”.
Karena ini menunjukkan bahwa Tae Hee sudah membuka pintu hatinya untuk Ja Eun dan mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke dalam hatinya secara resmi dan mungkin, dia juga berharap Ja Eun bisa tetap tinggal di dalam hatinya selamanya.
Tae Hee yang paling benci jika masa lalu tentang ibu kandungnya sampai diungkit-ungkit, kini dia sendirilah yang membahas masalah ini pada Ja Eun, tanpa Ja Eun memintanya. Memberikan kesan seperti, “Welcome to my heart, Baek Ja Eun! I will welcome you in…And we will share all the good and bad together.”
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/605 + https://gswww.tistory.com/606
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
I’m sooooo happy Tae Hee is finally opened up to Ja Eun. I’m loving this pairing so much ^_^ I wonder how she will react, I bet she will be moved that he trusted her enough to confide that personal info about himself. What a great leap of faith he is taking in entrusting her with this info. For him to open up like this is more meaningful than any declaration of love, his words will be coated with that meaning anyway.
At this point, I think Ja Eun knows him well enough to realize that this moment is Tae Hee throwing open the door to his heart. Now all she needs to do is clear out the cobwebs and make room for herself there and become a permanent resident.
-------00000--------
Episode 23 :
Hwang Chang Sik dan Park Bok Ja masih di tengah pembicaraan intens dengan ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk yang mengancam mereka untuk menyerahkan pertanian ini padanya secepatnya.
“Melihat dari ekspresi kalian, sepertinya kalian takut kalau seluruh dunia akan tahu. Jangan khawatir, jika kalian mengembalikan pertanian ini padaku sekarang, aku tidak akan menjadikannya masalah besar. Pertama-tama, ubahlah nama pemilik pertanian ini besok pagi,” ujar Jung Yeon Suk dengan berani dan nada mengintimidasi.
Apalagi tanah ini dibeli oleh Kakek Baek Ja Eun sebagai cadangan harta kalau suatu saat putranya menghabiskan seluruh kekayaan keluarga karena salah investasi (dan memang terjadi beneran tebakan Kakeknya Ja Eun), jadi oleh karena itu dipinjamkan kepada Hwang Chang Sik dengan sertifikat ditulis atas nama Hwang Chang Sik selama 10 tahun dan baru akan dikembalikan pada Baek In Ho dan dibaliknama setelah 10 tahun lamanya, dan semua itu tertulis dalam surat kontrak yang ditulis oleh Park Bok Ja.
Karena Baek In Ho menghilang dalam kecelakaan, otomatis Baek Ja Eun-lah, yang merupakan anak kandung Baek In Ho-lah yang berhak menjadi ahli warisnya. Hak waris jatuh ke anak kandung, bukan istri baru, karena tanah pertanian itu bukanlah harta bersama yang didapat selama pernikahan melainkan jauh sebelum itu, 10 tahun yang lalu, saat Jung Yeon Suk belum menikah dengan Baek In Ho!)
“Biar aku yang bicara,” potong Park Bok Ja.
“Apa Ja Eun tahu kalau kau datang kemari?” tanya Park Bok Ja tepat sasaran. Dan ekspresi Jung Yeon Suk tampak canggung dan salah tingkah saat mendengar nama Ja Eun disebut, dia tampak tak bisa menjawab pertanyaan itu.
“Melihat bagaimana kau tak bisa menjawabnya, sebenarnya benar kalau kau datang tanpa sepengetahuannya. Kau datang ke tempat yang salah. Jika kau memang ingin memberitahu semua orang, katakan saja. Kami tidak takut!” tantang Park Bok Ja.
Karena dia tahu kalau si emak tiri ini datang tanpa sepengatahuan Ja Eun dan tujuannya bukan untuk kebaikan Ja Eun melainkan untuk keuntungan dirinya sendiri.
“Apa Anda serius?” tanya Jung Yeon Suk, tampak tak suka karena ancamannya gagal.
“Mengapa aku harus takut pada wanita tidak tahu malu sepertimu? Walaupun aku mengakui aku juga berkulit tebal (tidak tahu malu) tapi itu tidak sebanding dengan dirimu. Kau jauh lebih buruk. Apa kualifikasi yang kau miliki hingga meminta kami mengembalikan pertanian ini padamu? Kau menyebut dirimu Ibu tiri Ja Eun, namun kau mencampakkan Ja Eun begitu saja setelah ayahnya menghilang dalam kecelakaan dan pergi seorang diri, dan sekarang dengan tidak tahu malunya kau datang ingin meminta pertanian ini?” ujar Park Bok Ja dengan ketus dan kalimat tajam.
(Aku di pihak Park Bok Ja untuk yang satu ini. Park Bok Ja memang mencuri, dia salah dan dia pernah bersikap kejam pada Ja Eun dengan menendangnya keluar, tapi Park Bok Ja menyesal dan sekarang bahkan menyayangi Ja Eun seperti putri kandungnya sendiri.
Tapi Jung Yeon Suk tidak. Selama 5 tahun tinggal bersama, Jung Yeon Suk tak pernah sekalipun menyayangi Ja Eun dan tidak pernah menganggapnya seperti putri kandungnya sendiri. Yang wanita ini pikirkan hanyalah bagaimana cara menguras harta sang suami, Baek In Ho dan berselingkuh dengan pegawainya.
Park Bok Ja punya alasan kuat menolak mengembalikan pertanian karena dialah yang bekerja keras selama 10 tahun mengurus pertanian ini, kalau Jung Yeon Suk? Kapasitas apa yang wanita itu miliki hingga pantas meminta pertanian itu diubah atas namanya? Gak ada! Dia bukan Pewaris! Dan tanah ini juga tidak bisa dikategorikan sebagai harta bersama yang berhak dikuasai oleh istri setelah suami meninggal karena dibeli 10 tahun yang lalu sebelum wanita itu menikah dengan Baek In Ho. Bukan harta bersama, jadi secara hukum, dia tak punya hak sama sekali!)
“Aku datang untuk membicarakan masalah pertanian. Karena aku adalah istri Baek In Ho, jadi secara hukum, aku juga berhak mewarisinya. Tapi jika kalian memilih seperti ini, maka aku tidak punya pilihan lain selain memberitahu media,” ancam Jung Yeon Suk lagi.
(Mau bicara hak waris? Kalau bicara soal hak waris, Baek Ja Eun sebagai putri kandung Baek In Ho adalah orang yang paling berhak mewarisinya! Hwang Tae Hee sendiri aja mengakui kalau Baek Ja Eun adalah pewaris yang sah. Mau dibawa ke polisi juga, loe bakalan kalah, emak tiiri! Digugat ke pengadilan pun, tetap kalah, Hakim akan memutuskan satu-satunya pewaris sah Baek In Ho hanya sang putri, Baek Ja Eun. Jung Yeon Suk tahu itu sebenarnya, itu sebabnya dia datang diam-diam tanpa sepengetahuan Ja Eun. Dia ingin menusuk Ja Eun dari belakang. Setelah dia dapat pertanian ini, dia bakal menendang Ja Eun dan sekaligus keluarga Hwang bersama-sama. Resek nih emak tiri satu! Park Bok Ja aja kalah jahat!)
“Katakan saja! Kami tidak takut? Pergilah dan beritahu semua orang! Apa kau pikir mudah untuk membangun sebuah pertanian dari awal? Apa hakmu meminta pertanian itu? Cepat katakan saja! Kau pikir kami siapa bisa kau ancam?” tantang Park Bok Ja dengan kesal dan berapi-api.
“Dan juga, kalau kami memang harus mengembalikan pertanian ini, kami akan mengembalikannya pada Ja Eun, bukan padamu! Kenapa kami harus mengembalikannya padamu? Setelah apa yang kau lakukan pada Ja Eun, hak apa yang kau miliki hingga meminta kami mengembalikannya padamu? Kukatakan sekali lagi, jika kami memang harus mengembalikan pertanian ini, kami akan mengembalikannya pada Ja Eun dan bukan padamu! Apa kau mengerti?” seru Park Bok Ja dengan berani dan berapi-api.
“Bila sudah mengerti, tolong segera tinggalkan rumah ini!” usir Hwang Chang Sik dengan berusaha sopan.
“Benar. Cepatlah pergi sebelum Ja Eun kembali,” usir Park Bok Ja dengan kasar.
“Padahal aku berusaha bersikap sopan, tapi kalian berdua sangat tidak sopan,” ujar Jung Yeon Suk tak bisa berkata-kata.
“Cepat pergi sebelum Ja Eun kembali! Setelah mencampakkan Ja Eun dan pergi seorang diri, sekarang begitu kau muncul, kau bahkan tidak bertanya bagaimana kabar Ja Eun dan hanya meminta pertanian ini? Aku tidak ingin Ja Eun melihatmu datang kemari dan melihatmu memaksa kami menyerahkan pertanian ini padamu, jadi cepatlah pergi. Pergi sekarang juga!” usir Park Bok Ja dengan marah.
(Keliatan banget kalau si emak tiri cuma pengen harta doank, dia bahkan gak tanya gimana kabar Ja Eun, tapi malah diam-diam datang tanpa sepengetahuan Ja Eun dan memaksa Hwang Chang Sik mengubah nama kepemilikan atas namanya. Lah kok enak?)
“Kenapa masih belum pergi?” usir Park Bok Ja sekali lagi.
“Aku pergi sekarang! Lagipula aku datang kemari hanya untuk melihat bagaimana reaksi kalian. Ini hanyalah awal. Aku bukan seseorang yang bisa dengan mudah kalian singkirkan!” seru Jung Yeon Suk, ibu tiri Ja Eun dengan tak kalah kesal, lalu segera bangkit berdiri dan berniat pergi dari sana.
“Bawa juga buah-buah ini! Kami tidak membutuhkannya!” seru Park Bok Ja ketus.
“Simpan saja! Kalian akan segera menjadi miskin,” ujar ibu tiri Ja Eun, Jung Yeon Suk dengan nada dan tatapan menghina.
Di saat yang bersamaan, di sebuah cafe tempat di mana Jung Yeon Suk meminta bertemu, Ja Eun duduk menunggu dengan kesal karena ibu tirinya tak kunjung datang. (Ya iyalah, ibu tirimu sedang sibuk berusaha menikammu dari belakang, Ja Eun-ah. Dia berniat mengambil tanah warisanmu tanpa sepengatahuanmu >_<)
Di warung minum di persimpangan jalan menuju Ojakgyo Farm, keempat bersaudara Hwang tampak berkumpul bersama untuk membicarakan masalah ini. Tae Phil akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan semua saudaranya dan memberitahu mereka tentang ibu mereka yang telah mencuri surat kontrak Ja Eun.
“Kapan dan bagaimana kau mengetahui hal ini?” tanya Tae Bum, menjadi yang pertama bereaksi setelah mendengar berita mengejutkan ini.
“Aku melihat ibu mengeluarkan surat kontrak itu dari dalam lemari pakaian. Jadi aku segera pergi menemui Kakak kedua keesokan harinya. Awalnya aku tak sanggup melihat wajah Ibu, aku bahkan lebih tak sanggup lagi melihat wajah Ja Eun. Selama beberapa hari ini kupikir aku hampir gila,” ujar Tae Phil dengan raut wajah bersalah.
“Bagaimana dengan ayah? Apa ayah tahu soal ini?” tanya Tae Shik ingin tahu.
“Ayah tidak tahu pada awalnya tapi sekarang ayah tahu. Ayah tak sengaja mendengar pertengkaran antara aku dan Ibu,” sahut Tae Phil lirih.
“Ibu benar-benar! Apa yang sudah dilakukan Ibu?” seru Tae Bum frustasi.
“Benar. Apa yang sudah dilakukan Ibu?” ulang Tae Shik dengan menghela napas berat.
Tae Bum kemudian berdiri dari duduknya dan berkata lagi, “Ayo pulang! Pulang dan katakan pada mereka untuk mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun besok pagi. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini? Bagaimana ini bisa terjadi? Pencurian adalah tindakan kriminal. Ini adalah batas yang tidak seharusnya Ibu lewati!” seru Tae Bum frustasi.
“Ayo pulang! Kita tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi. Untuk kebaikan Ibu, kita harus memperbaiki situasi ini sekarang,” seru Tae Bum dengan menahan rasa kesalnya pada sang ibu. Dia tidak percaya jika ibunya melakukan hal sejauh ini.
Tae Hee jauh lebih frustasi lagi. Dia adalah seorang polisi, namun ibunya justru seorang pencuri. Siapa yang tidak shock mendengar hal ini? Ditambah lagi, korbannya adalah gadis yang dia sukai. Karena terlalu frustasi dan shock, Tae Hee sampai tidak bisa berkata-kata lagi dan hanya terdiam mematung, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Mereka mungkin sedang membahasnya sekarang. Itu sebabnya Ayah mengusir kita semua keluar dari rumah saat ini, jadi Ayah bisa membicarakannya dengan Ibu dalam situasi yang lebih tenang. Tentu saja mereka akan mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun, jadi duduklah dulu dan tunggu saja hasilnya, Hyung.” ujar Tae Phil, meminta Tae Bum bersabar sebentar.
Saat Tae Bum tampak emosi, Tae Hee mencoba meredakan amarah dan rasa frustasinya dengan menegak minuman.
“Benar. Kita tunggu dan lihat saja malam ini,” ujar Tae Shik dan Tae Bum pun dengan berat hati, duduk kembali di kursinya.
Tak lama kemudian, terdengar suara sapaan ramah dari seorang gadis yang spontan membuat keempat bersaudara Hwang terkejut, panik dan gugup secara bersamaan.
“Ah, kalian semua sedang berada di sini?” sapa gadis muda itu dengan ramah dengan tersenyum ceria.
Sapaan ramah itu justru membuat keempat bersaudara Hwang tampak salah tingkah seperti seorang penjahat yang tertangkap basah melakukan sebuah kejahatan. Tae Hee pun menatap dengan terkejut ke arah Ja Eun yang tiba-tiba saja muncul di depan mereka.
“Bolehkah aku duduk di sini juga? Aku sangat marah hingga rasanya ingin minum juga,” ujar Ja Eun dengan tersenyum ceria kepada mereka berempat. Yup, gadis yang menyapa dengan ramah itu adalah Ja Eun, orang yang baru saja mereka bicarakan beberapa saat yang lalu.
(Panjang umur bener si Ja Eun, habis diomongin, sekarang muncul ^_^)
Melihat kehadiran Ja Eun yang tidak mereka duga, membuat mereka berempat saling melempar pandang ke arah saudara mereka yang lain dengan ekspresi yang seolah menerka-nerka apakah Ja Eun mendengar apa yang baru saja mereka bicarakan?
“Tentu saja. Duduklah,” sahut Tae Phil, yang pertama bereaksi. Dia segera memberikan kursinya pada Ja Eun sementara dia sendiri mengambil kursi lain yang ada di belakangnya.
“Ahjumma, tolong berikan gelas lagi di sini,” seru Tae Phil kepada penjual warung itu.
“Kenapa kau sangat marah?” tanya Tae Phil, yang sejak episode 22 sudah resmi bersikap ramah.
“Seseorang menelponku dan berkata ingin bertemu. Jadi aku datang menemuinya dan menunggunya selama 1 jam namun dia tidak juga muncul dan dia bahkan tidak menelponku atau menjawab telponku,” ujar Ja Eun mengeluh seraya mengerucutkan bibirnya kesal dan mendengus kesal.
Tak ada satupun dari mereka yang berani menatap Ja Eun saat gadis itu bicara, Tae Phil adalah satu-satunya orang yang aktif di tempat itu dan bahkan menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
Ja Eun melihat Tae Hee menegak minumannya dengan ekspresi seolah dia sedang punya masalah, sementara Tae Bum meminta Tae Phil menuangkan minum untuknya juga. Ja Eun menatap ketiga orang lainnya dengan bergantian dan dia merasakan atmosfer yang aneh di antara mereka.
“Apa telah terjadi sesuatu?” tanya Ja Eun dengan ragu-ragu.
Tae Bum melihatnya dengan tatapan tak nyaman, seolah merasa bersalah pada gadis itu. Sementara Tae Hee dan Tae Shik hanya menundukkan kepala mereka sedari tadi dan menatap botol-botol di atas meja.
“Kenapa?” tanya Tae Phil dengan waspada dan menatap Ja Eun dengan gugup.
“Atmosfernya sedikit...” Ja Eun terdiam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, “Apa jangan-jangan aku telah mengganggu pembicaraan kalian semua?” tanya Ja Eun dengan tak enak hati.
“Tidak. Bukan seperti itu. Hari ini kita panen besar dan kami hanya sedikit lelah karena tubuh kami tidak terbiasa bekerja keras. Jadi itu sebabnya kami berkumpul dan minum-minum untuk melepaskan rasa lelah,” sangkal Tae Bum, mencoba meyakinkan Ja Eun kalau itu bukan salahnya.
“Ah, jadi karena panen? Kalau begitu kita bersulang!” ujar Ja Eun yang tidak tahu apa-apa dengan ceria.
Tae Bum, Tae Shik dan Tae Phil baru saja akan mengangkat cangkir mereka saat Tae Hee tiba-tiba berkata kalau dia akan kembali ke kantor polisi sekarang.
“Hyung, aku harus kembali ke kantor polisi sekarang,” ujar Tae Hee tiba-tiba, menghentikan mereka yang akan bersulang.
“Baiklah,” sahut Tae Shik yang mengerti kenapa Tae Hee seolah menghindari Ja Eun, karena dia pun tak punya keberanian memandang wajah Ja Eun saat ini.
“Tinggallah sebentar lagi, toh kita semua akan pergi setelah ini,” ujar Tae Bum pada Tae Hee, karena merasa tak enak pada Ja Eun.
“Aku akan pergi sekarang,” ujar Tae Hee lirih, bersikeras pergi dari sana, membuat suasana semakin bertambah canggung. Tae Hee sepertinya butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.
Tae Hee melangkah pergi dengan ragu-ragu tanpa menatap Ja Eun sekalipun (kecuali tatapan terkejut saat Ja Eun tiba-tiba muncul, setelah itu dia tak berani menatapnya lagi). Tae Hee tampak menghentikan langkahnya sejenak, sebelum akhirnya mulai melangkah lagi.
Tae Hee sepertinya tampak bingung, dia bingung harus bersikap bagaimana : Berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti yang lain, atau meminta maaf pada Ja Eun atas sikap ibu mereka? Tanpa disadari Tae Hee, Ja Eun menatap kepergian Tae Hee dengan penuh tanda tanya.
“Sepertinya aku memang datang di saat yang tidak tepat, di saat kalian semua sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting. Maafkan aku. Aku akan minum segelas saja dan akan pergi,” ujar Ja Eun tahu diri.
“Tidak. Tidak apa-apa. Kita minum satu gelas lagi kemudian baru pulang,” ujar Tae Bum dengan ekspresi bersalah.
“Ya, kita minum satu gelas lagi,” ujar Tae Shik dengan tersenyum canggung.
“Ja Eun-ssi, ini bukan karenamu, jadi jangan salah paham ya,” lanjut Tae Shik dengan ramah, namun wajahnya tampak merasa bersalah.
“Benar. Bukan seperti itu, jadi jangan salah paham,” ujar Tae Bum menyetujui.
“Ya, aku mengerti,” sahut Ja Eun dengan tersenyum hangat.
“Ayo kita bersulang! Untuk kita semua yang telah bekerja keras untuk panen hari ini,” ujar Tae Phil, mencoba memberi semangat pada semua orang.
“Ja Eun-ah, kau bekerja sangat keras hari ini,” lanjut Tae Phil memuji Ja Eun dengan tulus.
“Maknae Oppa juga, Paman Pertama dan paman kedua juga bekerja keras,” sahut Ja Eun rendah hati.
“Tidak. Kaulah yang paling bekerja keras dan paling menderita di antara kami,” sahut Tae Bum merendah, turut memuji Ja Eun, kemudian mereka berempat bersulang bersama. Tae Shik dan Tae Phil sempat melirik ke arah Ja Eun dengan raut wajah bersalah sebelum mengalihkan tatapan mereka ke tempat lain begitu Ja Eun berbalik menatap mereka.
Setelah minum, Ja Eun melihat ke arah Tae Hee pergi dengan perasaan aneh dalam hatinya. Dia merasa Tae Hee kembali bersikap aneh padahal malam kemarin mereka tampak akrab saat bermain “batu, gunting, keras” di mini market.
Sementara itu di kantornya, Tae Hee duduk merenung seorang diri di sofa dengan rasa bersalah, frustasi dan kekecewaan yang menumpuk dalam hatinya. Tae Hee menyesal dan merasa bersalah karena menolak membantu gadis itu, Tae Hee menyalahkan dirinya sendiri yang tidak cukup berani berdiri di pihak gadis itu lebih cepat karena tidak ingin mengecewakan sang ibu yang telah membesarkannya. Tapi apa ini? Ibu yang telah membesarkannya, yang menyayanginya seperti menyayangi anak sendiri dan yang dia sayangi seperti ibu kandungnya sendiri ternyata seorang pencuri?
Tak hanya itu, perbuatan sang Ibu benar-benar mencederai harga dirinya sebagai seorang polisi. Tae Hee kecewa, sangat kecewa. Kekecewaannya bahkan lebih parah dari Tae Phil, karena sialnya Tae Hee justru mengetahui semua ini di saat dia justru sudah memiliki rasa terhadap gadis itu, Baek Ja Eun. Gadis tidak bersalah yang harus menderita karena keserakahan ibunya.
Keesokan harinya, Ja Eun yang masih tidak tahu apa-apa tentang masalah kontrak tampak sangat gembira saat melihat di dapur, Park Bok Ja memasakkan makanan favoritnya saat ini. Itu adalah makanan yang pernah dia minta saat pertama kali Ja Eun datang ke sana.
Alih-alih menjawab, Park Bok Ja justru menyuruhnya mengelap meja. Ja Eun yang melihat wajah Park Bok Ja tampak pucat bertanya dengan nada cemas apa ada yang salah dengan wanita itu.
“Apa Anda sakit, Ahjumma? Wajah Anda terlihat pucat,” ujar Ja Eun dengan cemas dan penuh perhatian.
“Tidak. Ahjumma baik-baik saja. Itu hanya karena aku melakukan banyak pekerjaan di pagi hari, dan itu kulakukan karena aku akan pergi ke suatu tempat,” sahut Park Bok Ja menyangkal. Faktanya dia tidak bisa tidur semalaman karena kepikiran masalah ini.
“Ke mana?” tanya Ja Eun penasaran.
“Kita akan membicarakannya saat sarapan nanti. Cepat lap mejanya karena semua orang pasti sudah lapar,” sahut Park Bok Ja.
Semua orang akhirnya berada di meja makan dan bersiap untuk sarapan, melihat cucu kesayangannya tak ada, nenek bertanya di mana Tae Hee berada.
“Di mana Tae Hee?” tanya Nenek ingin tahu.
“Tae Hee tidak pulang ke rumah kemarin malam,” sahut Tae Shik menginformasikan.
“Apa dia bekerja lembur lagi?” tanya Nenek dengan khawatir.
Kemudian Nenek menyadari makanan yang melimpah di meja makan dan tampak lebih banyak daripada biasanya, “Kenapa ada begitu banyak menu makanan? Apa ada seseorang yang berulang tahun hari ini?” tanya Nenek penasaran.
“Tidak, Eomonim. Aku hanya iseng membuat ini karena sepertinya kita sudah lama tidak makan enak saat sarapan,” sahut Park Bok Ja, padahal sebenarnya dia ingin menebus kesalahannya pada Ja Eun dengan sengaja memasakkan makanan favorite gadis itu.
“Ahjumma akan pergi ke suatu tempat,” ujar Ja Eun dengan sedih.
“Kau akan pergi ke mana?” tanya Nenek penasaran.
“Bagaimana jika kita mulai sarapannya dulu, Ibu?” ujar Park Bok Ja. Nenek akhirnya memulai acara sarapan itu dan saat semua orang sedang makan, Park Bok Ja mengatakan kalau dia berencana untuk pergi mengunjungi makam mendiang Ibunya di gunung sekaligus menemui adiknya di desa.
“Apa sesuatu telah terjadi? Karena jika kau ada masalah, kau pasti akan mengunjungi makam ibumu,” tanya Nenek, mulai mencium sesuatu yang tidak beres.
“Tidak ada apa-apa, Ibu. Hanya saja aku memang merencanakan ini setelah panen kita selesai, karena sepertinya aku sudah lama tidak mengunjungi makam ibuku,” sahut Park Bok Ja, menyembunyikan kenyataan karena Ja Eun ada di sana.
“Ijinkan menantu pergi, Ibu. Karena jika udara semakin dingin maka akan lebih sulit baginya untuk naik ke atas gunung. Sekarang adalah saat yang tepat untuk naik gunung,” ujar Hwang Chang Sik, membantu memintakan ijin pada ibunya.
“Baiklah jika kau sudah mengijinkan,” sahut Nenek akhirnya.
“Pergilah. Apa kau akan kembali hari ini juga?” lanjut Nenek pada Park Bok Ja.
“Aku berencana ingin menginap di sana semalam, Ibu. Karena aku sudah lama tidak bertemu adikku, jadi aku ingin menemuinya sebentar,” ujar Park Bok Ja meminta ijin untuk menginap semalam. Dia tampaknya ingin menenangkan diri lebih dulu sebelum membuat keputusan yang tepat, yaitu mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun.
“Baiklah, terserah padamu. Menginaplah sehari,” sahut Nenek memberikan ijinnya.
“Aku sudah menyiapkan makanan di dalam kulkas jadi kalian hanya perlu menghangatkannya saja dan membuat nasinya,” ujar Park Bok Ja menginformasikan.
“Jangan khawatir, aku masih bisa memasak dua atau tiga menu masakan untuk makan,” ujar Nenek menenangkan.
“Jangan khawatir soal bebek, Ahjumma. Aku pasti akan merawat mereka dengan baik dan memberi mereka makan tepat pada waktunya,” ujar Ja Eun dengan tersenyum ceria. Park Bok Ja tersenyum sayang padanya dan menjawab, “Aku tahu.”
Setelah selesai sarapan, Hwang Tae Phil tampak menunggu sang ibu di depan rumah. Saat melihat ibunya keluar, Tae Phil segera meraih tas sang ibu dan membawakannya.
“Apa Ibu sudah mengenakan baju yang tebal? Karena cuaca semakin dingin saat ini,” ujar Tae Phil dengan cemas. Mereka sedang berada di musim peralihan antara musim gugur dan musim dingin.
“Ayahmu sudah mengingatkan Ibu untuk memakai pakaian lebih tebal, ibu juga membawa banyak pakaian tebal,” jawab Park Bok Ja.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Ja Eun tampak berlari seraya memanggilnya dengan riang, “Ahjumma”.
“Makanlah ini selama perjalanan,” ujar Ja Eun seraya menyerahkan kantong plastik di tangannya pada Park Bok Ja.
“Apa ini?” tanya Park Bok Ja ingin tahu.
“Buka dan lihatlah,” jawab Ja Eun dengan senyuman hangatnya.
Park Bok Ja mengeluarkan benda itu dari dalam kantong plastik yang dibawa Ja Eun, “Oh, ini telur rebus?” tanya Park Bok Ja.
“Saat Anda dalam perjalanan, makanlah telur rebus ini dan soda untuk sekedar menahan lapar. Melihat bagaimana Ahjumma menyukai hal-hal kuno seperti ini, jadi kupikir ini akan cocok dengan selera Anda,” sahut Ja Eun dengan senyuman ceria khasnya.
“Tapi ada beberapa yang sedikit retak. Mungkin saat aku merebusnya dan mencoba membaliknya, aku tak sengaja mengetuk cangkangnya jadi telurnya sedikit retak. Tapi aku yakin rasanya tetap sama. Makanlah yang dua ini lebih dulu, baru kemudian yang ini,” ujar Ja Eun seraya tersenyum meminta maaf.
“Apa yang harus kulakukan? Aku selalu menerima banyak hal darimu. Apa kau punya sesuatu yang kau inginkan?” tanya Park Bok Ja tersentuh. Matanya tampak berkaca-kaca menatap gadis itu.
“Tidak ada,” sahut Ja Eun singkat dan tulus. Tae Phil hanya menatap Ja Eun dengan perasaan bersalah setelah mendengar jawaban tulusnya. Bagaimana bisa dia dulu begitu membenci gadis yang baik hati Ini dan selalu memusuhinya?
“Kau harus mendapatkan imbalan atas kerja kerasmu selama ini. Tapi daripada memberikan uang, jika kau menginginkan sesuatu maka katakan saja! Katakan saja dan Ahjumma akan membelikan apa pun yang kau inginkan,” ujar Park Bok Ja dengan tulus dan mata berkaca-kaca.
“Benar-benar tidak ada. Aku sungguh tidak membutuhkan apa pun. Ahjumma sudah mengijinkan aku tidur di loteng, itu sudah cukup,” sahut Ja Eun dengan tulus. Jawaban yang semakin membuat Park Bok Ja dan Hwang Tae Phil merasa semakin bersalah pada gadis itu.
“Ahjumma, karena Anda tidak ada di rumah, walaupun hanya sehari, aku merasa sangat sedih,” lanjut Ja Eun dengan ekspresi sedih di wajahnya.
“Aiiggoo, udara semakin dingin. Pakailah baju yang lebih tebal agar tidak masuk angin. Udara di sini sangat berbeda dengan di kota, udara di sini jauh lebih dingin,” ujar Park Bok Ja mengalihkan pembicaraan seraya merapikan baju Ja Eun dengan penuh perhatian. Matanya tampak berkaca-kaca dan seolah-olah ingin menangis kapan saja.
(OJakgyo Farm memang terletak di luar kota Seoul dan berada di wilayah pegunungan seperti Malang, Batu, Tretes, dll kalau contohnya di Jawa Timur, jadi memang agak dingin dan lebih sejuk ^^)
Park Bok Ja tampak ingin memeluk Ja Eun dan meminta maaf dari lubuk hatinya yang paling dalam, namun dia berusaha menahan dirinya karena tidak ingin Ja Eun merasa dirinya bersikap aneh.
“Ya, aku akan memakai pakaian yang lebih tebal,” ujar Ja Eun dengan patuh.
“Masuklah,” ujar Park Bok Ja, menyuruh Ja Eun untuk masuk ke rumah. Sementara dia dan Hwang Tae Phil mulai berjalan pergi meninggalkan pertanian.
“Hati-hati di jalan, Ahjumma. Jangan khawatir tentang bebek, aku akan menjaga mereka baik-baik,” Seru Ja Eun seraya melambai-lambaikan tangannya dengan tersenyum ceria. Park Bok Ja menoleh dan tersenyum sayang pada gadis itu, sebelum melangkah pergi dengan mata berkaca-kaca dan wajah menahan tangis.
Setelah Hwang Tae Phil mengantar Park Bok Ja pergi, Ja Eun mendekati Nenek dari arah dapur dengan membawa buah-buahan, Nenek tampak asyik menulis sesuatu di atas meja.
“Nenek, ayo makan buah. Apa yang Nenek lakukan?” tanya Ja Eun seraya mendekati Nenek yang sedang asyik menulis sesuatu di atas meja.
“Aku mendaftar untuk perubahan nama,” sahut Nenek dengan serius.
“Mengubah nama? Nama nenek? Apa aku boleh tahu nama Nenek?” tanya Ja Eun bingung, dia seperti baru kali ini mendengar bahwa penduduk negara mereka bisa mengubah nama mereka secara resmi.
Ja Eun kemudian membaca apa yang tertulis di formulir pendaftaran perubahan nama itu kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar nama Nenek yang terdengar sangat kuno di telinganya, “Shim Gap Nyeon? Gak Nyeon? Apa itu Shin Gap Nyeon?” seru Ja Eun seraya tertawa lucu mendengar nama asli Nenek, sementara Nenek hanya menatapnya kesal karena ditertawakan.
“Bukan begitu. Maksudku, apakah ayah Nenek sama sekali tidak memikirkan masa depan putrinya? Apa itu Gap Nyeon? Itu sangat aneh,” ujar Ja Eun sambil tertawa, menjelaskan agar Nenek tidak marah.
“Jaman dulu ada banyak nama seperti ini. Beruntunglah kau yang lahir di jaman sekarang ini. Jika kau terlahir di era yang sama denganku, namamu akan menjadi Baek Mal Nyeon. Mal Nyeon-ah...” ujar Nenek membela diri seraya balas meledek Ja Eun, dan kemudian ikut tertawa terbahak-bahak bersama Ja Eun menertawakan nama mereka. Mereka berdua sungguh bagaikan gambaran sempurna Nenek dan cucu Perempuannya.
Setelah berhenti tertawa, Nenek bertanya ke mana Ja Eun akan pergi karena dia tampak mengenakan baju yang sudah rapi.
“Apa kau akan pergi ke suatu tempat?” tanya Nenek ingin tahu.
“Ya, aku akan pergi ke kampus, Nenek,” jawab Ja Eun.
“Begitukah? Tunggu! Bisakah kau membantu Nenek memberikan sesuatu untuk Tae Hee? Nenek tidak bisa pergi sendiri saat ini,” ujar Nenek, meminta tolong pada Ja Eun. Nenek tak bisa pergi ke manapun karena truk mereka sedang dipakai Tae Phil untuk mengantarkan Park Bok Ja ke stasiun.
Ja Eun tampak ragu untuk sesaat mengingat semalam Tae Hee bersikap aneh padanya dan tampak menghindarinya.
“Kenapa? Kau tidak mau?” tanya Nenek yang menyadari reaksi Ja Eun yang tampak ragu.
“Mana mungkin, Nenek? Berikan padaku,” jawab Ja Eun, tak enak menolak.
Di kantor polisi, Tae Hee tampak membanting buku ke atas meja dengan kesal saat proses interogasi tidak berjalan lancar karena jawaban tersangka itu yang selalu berubah-ubah dan tidak konsisten.
“Ya. Maksudku tidak,” jawab si tersangka dengan gugup.
“Jawab dengan jujur!” ujar Tae Hee sekali lagi.
“Ya,” sahut si tersangka.
Rekan polisi yang lain bertanya tanpa suara ke arah Dong Min ada apa dengan Tae Hee hari ini, namun Dong Min hanya membisikkan kalimat, “Aku tidak tahu,” dengan ekspresi yang juga tak mengerti.
Sementara itu, Tae Hee masih melanjutkan proses interogasinya, “Sekali lagi aku bertanya padamu. Jika sekali lagi jawabanmu tidak konsisten, aku tidak akan memperingatkanmu dengan kata-kata lagi di waktu berikutnya,” ujar Tae Hee, memberi peringatan tegas.
“Kapan dan di mana kau bertemu dengan pria itu? Katakan tanggal dan jamnya dengan jelas!” tanya Tae Hee sekali lagi.
“Aku tidak ingat itu bulan Mei atau Juni,” jawab si tersangka dengan tidak yakin. Jawabanya kembali tidak konsisten dan itu membuat Tae Hee semakin emosi.
“YYYYAAA!” bentak Tae Hee, seraya bangkit berdiri dan berjalan memutar ke arah si tersangka, kemudian menarik kerah pria itu dan bermaksud memukulnya, namun untung saja Dong Min dan rekan kepolisian yang lain segera menghentikan Tae Hee sebelum Tae Hee melontarkan pukulan.
“Hyung, hyung! Kau tidak boleh melakukan itu!” seru Dong Min seraya berusaha menarik tubuh Tae Hee menjauh dari si tersangka.
“Lepaskan aku, Dong Min! Kenapa kau masih belum melepaskan aku?” seru Tae Hee marah.
“Aku sudah tahu. Aku sudah tahu. Mari kita bicara di luar!” seru Dong Min.
Tak punya pilihan, Dong Min menarik Tae Hee yang sedang emosi jiwa melanda, keluar dari dalam ruangan, sementara tugas menginterogasi diambil alih rekan polisi yang lain. Saking emosinya, saat sudah berada di luar ruangan pun, Tae Hee masih mencoba untuk masuk dan menghajar tersangka itu.
(Type Introvert kalau sekali marah memang selalu meledak-ledak. Sama seperti Tae Hee, Tae Hee kalau lagi marah dan emosi memang selalu ingin memukul sesuatu sebagai pelampiasan untuk meredakan kemarahannya. Di episode 20 dia memukul piagam penghargaan kepolisian, sekarang ingin memukul tersangka. Tae Hee butuh Ja Eun untuk meredakan emosinya, namun masalahnya dia sedang menghindari Ja Eun karena merasa bersalah dan tak sanggup melihat wajahnya.
“Ada apa denganmu hari ini? Apa telah terjadi sesuatu kemarin?” tanya Dong Min, yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban dari Tae Hee karena Tae Hee adalah type Introvert yang tidak bisa mengungkapkan perasaan dengan kata-kata.
“Aku tidak tahu apa itu, tapi kau sedang tidak dalam kondisi yang baik sekarang. Pulanglah dan istirahat. Aku dan polisi yang lain akan menanganinya,” lanjut Seo Dong Min dengan pengertian.
Bertepatan dengan itu, Dong Min melihat Ja Eun datang dari arah belakang Tae Hee, “Bukankah itu Baek Ja Eun?” tanya Dong Min dengan bingung yang mengenali paras cantik gadis itu.
Mendengar nama Ja Eun disebut, Tae Hee spontan menoleh ke belakang dan tampak gugup dan panik saat melihat Ja Eun mendekat, dia segera berbisik pelan pada Dong Min, “Jika dia datang kemari mencariku, katakan padanya aku sedang berada di luar,” bisik Tae Hee lalu segera berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan tak jauh dari kantor mereka.
Tepat setelah Tae Hee bersembunyi di salah satu ruangan, Ja Eun melihat Dong Min dan menyapanya dengan ramah, “Annyeonghaseyo,” sapa Ja Eun dengan ramah pada Dong Min.
“Ye, annyeonghaseyo,” Dong Min menyapa balik dengan ramah.
“Aku datang untuk mencari Hwang Tae Hee Gyeonghwi-nim (Inspektur Hwang Tae Hee). Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya,” ujar Ja Eun dengan sopan, menjelaskan maksud kedatangannya.
“Ah, Inspektur Hwang Tae Hee? Dia tidak ada di sini sekarang,” sahut Dong Min berbohong, sementara Tae Hee menguping dari dalam ruangan.
“Begitukah? Kalau begitu kapan dia kembali? Apakah masih lama?” Ja Eun tampak kecewa mendengar Tae Hee tidak ada di tempat.
“Ya, sepertinya begitu,” sahut Dong Min dengan kebohongannya sementara Tae Hee masih setia menguping.
“Apa itu? Aku akan membantumu memberikan ini padanya,” lanjut Dong Min saat menyadari Ja Eun membawa shopping bag di tangannya.
“Kalau begitu, aku minta maaf telah merepotkanmu. Nenek menitipkan sesuatu untuknya,” ujar Ja Eun dengan tak enak hati.
“Nenek?” ulang Seo Dong Min dengan bingung. Dia tidak menyangka bagaimana bisa Baek Ja Eun mengenal nenek Hwang Tae Hee?
“Aku mengenal nenek Ahju…Ah, aku mengenal Nenek Inspektur Hwang,” sahut Ja Eun, meralat panggilannya.
“Kalau begitu aku pergi dulu,” lanjut Ja Eun.
“Hati-hatilah di jalan,” ujar Seo Dong Min dengan sopan.
Ja Eun tersenyum kemudian berbalik pergi, namun dia masih melihat ke sana kemari mencari Tae Hee dan begitu mendengar langkah kaki Ja Eun yang menjauh, Tae Hee segera keluar dari tempat persembunyiannya dan menatap gadis itu dari belakang.
Setelah Ja Eun pergi, Tae Hee segera pulang ke rumahnya untuk membicarakan masalah ini. Kebetulan saat itu, Tae Hee melihat ayahnya akan keluar rumah. Tae Hee mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan sang ayah.
“Ayah, ada sesuatu yang ingin kubicarakan,” ujar Tae Hee dengan nada mendesak.
“Ayah tidak tahu apa yang ingin kau bicarakan, tapi Ayah harus pergi ke suatu tempat lebih dulu. Taksinya sudah menunggu,” ujar Hwang Chang Sik, yang memang berniat pergi menyusul Park Bok Ja.
“Ini tentang pertanian ini. Aku sudah mendengarnya dari Tae Phil,” jawab Tae Hee, menjelaskan apa yang ingin dia bicarakan.
“Oh, kau sudah mendengarnya? Kalau begitu kita bicarakan itu nanti malam saja. Ayah sudah menelpon Tae Shik dan menyuruhnya untuk memberitahu Tae Bum dan Tae Phil juga. Kita bicarakan ini nanti malam,” ujar Hwang Chang Sik pada Tae Hee, tampak bahwa dia sedang terburu-buru.
“Abeoji!” ujar Tae Hee, dia seolah tak bisa menunggu lagi dan ingin membicarakannya sekarang.
“Ibumu pergi mengunjungi makam ibunya, kenapa menurutmu Ibu melakukan itu? Jangan khawatir. Kita akan membicarakan masalah ini nanti malam,” ujar Hwang Chang Sik sebelum pergi menuju ke arah taksi yang sudah menunggunya. Tae Hee akhirnya pasrah dan menunggu malam tiba untuk membicarakan masalah ini dengan semua orang.
Syukurlah malam tiba dengan cepat, keempat bersaudara Hwang beserta Hwang Chang Sik sudah berkumpul di kamar Tae Phil untuk membahas mengenai masalah pertanian dan juga pencurian yang dilakukan oleh ibu mereka.
“Ayah, tolong katakan sesuatu,” ujar Tae Bum yang mulai tampak tak sabar karena Hwang Chang Sik masih terdiam membisu tanpa mengatakan apa pun. Faktanya dia bingung bagaimana harus memulai pembicaraan ini.
“Karena kalian semua sudah tahu, Ayah ingin mengatakan lebih
dulu kalau Ayah sudah membicarakan masalah ini dengan ibu kalian. Kami memutuskan
untuk mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun. Saat ibu kalian pulang, dia akan
segera memberitahu Ja Eun tentang masalah ini. Juga, kita harus segera pindah
dari sini. Dan mengenai itu, terakhir kali kalian berdua (Tae Hee dan Tae Bum)
menawarkan untuk meminjamkan uang, bisakah kalian meminjamkannya sekarang?” ujar
Hwang Chang Sik, menjelaskan hasil keputusannya dengan sang istri, Park Bok Ja.
Tae Hee dan Tae Bum mengangguk menyetujui.
“Dengan uang dari kalian, ditambah dengan sedikit uang Tabungan yang Ayah dan Ibu miliki, kita bisa menggabungkannya untuk membeli sebuah rumah baru untuk kita. Karena Tae Bum sudah menikah, Ayah tidak perlu khawatir, tapi untuk Tae Shik dan Tae Hee, kalian mungkin akan semakin jauh dari lokasi tempat kerja kalian, itu yang membuat Ayah khawatir. Karena dengan jumlah uang yang kita miliki, kita mungkin hanya mampu membeli rumah di daerah pinggiran yang agak jauh dari kota,” ujar Hwang Chang Sik khawatir.
(Mereka berencana membeli sebuah rumah di daerah pedesaan yang memiliki harga yang lebih murah dan ukuran yang lebih besar, karena di kota, seperti Seoul, harga rumah sangat mahal, apalagi jika menginginkan sebuah rumah yang besar agar cukup menampung anggota keluarga mereka yang banyak. Kita semua tahu kalau harga rumah di pedesaan memang lebih murah. Contoh : di Porong, Sidoarjo, uang 500 juta sudah bisa untuk membeli rumah besar dengan ukuran 20x25 meter, di Surabaya, rumah sebesar itu berharga sekitar 2 Miliar lebih, apalagi di lokasi Crazy Rich. Seperti itu contohnya ^^)
“Tidak apa-apa, Ayah,” sahut Tae Hee dengan pengertian.
“Benar. Tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu,” jawab Tae Shik membenarkan.
“Juga masalahnya sekarang bagaimana cara kita mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun. Ini adalah masalah besar. Jadi Tae Bum, bisakah kau mencari cara agar pertanian ini tidak bisa digunakan untuk membayar hutang In Ho? Bila kita mengubahnya atas nama Ja Eun, para penagih hutang itu pasti akan mengejar Ja Eun dan menyita pertanian ini untuk membayar hutang ayahnya,” ujar Hwang Chang Sik lagi dengan khawatir.
“Mari kita lakukan sesuai apa yang Ja Eun inginkan, Ayah. Bila Ja Eun menginginkan kita memberinya uang tunai, maka kita berikan uang tunai padanya (alias menjualnya). Tapi jika Ja Eun ingin sertifikat tanah ini diubah atas namanya, maka kita akan mengembalikannya dengan cara seperti itu,” sahut Tae Bum menyatakan pendapatnya.
“Baiklah. Biarkan Ja Eun saja yang memutuskan masalah itu,” ujar Hwang Chang Sik setuju dengan pendapat putranya.
“Benar,” sahut Tae Bum.
“Baiklah. Kalau begitu keputusan sudah dibuat. Pembicaraan kita sudah selesai. Apa ada sesuatu yang ingin kalian tanyakan?” tanya Hwang Chang Sik pada keempat putranya.
“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Tae Bum dengan cemas.
“Ibumu menangis sangat banyak. Ayah sudah membuat Ibu kalian banyak meneteskan air mata,” sahut Hwang Chang Sik dengan penuh penyesalan.
“Apa Ibu akan memberitahu Ja Eun tentang masalah kontrak ini?” tanya Tae Phil ingin tahu.
“Ya, ibumu bilang dia akan melakukannya. Setelah Ibumu mengajak Ja Eun makan siang dan pergi berjalan-jalan sebentar, dia akan mengatakan pada Ja Eun tentang kebenarannya dan meminta maaf padanya secara baik-baik. Itu adalah hal terakhir yang bisa Ibumu lakukan untuk menebus kesalahannya pada Ja Eun,” jawab Hwang Chang Sik.
“Jadi, kita tidak akan bertemu Ja Eun lagi setelah hari esok?” tanya Tae Phil dengan ekspresi sedih dan menyesal. Dia tampak menyesal karena belum sempat menebus kesalahannya.
Sementara Tae Hee tampak gelisah, galau, frustasi, sedih dan tertekan di saat yang bersamaan. Kalimat “tidak bisa bertemu Ja Eun lagi setelah esok hari” entah kenapa membuatnya seketika tak bisa bernapas. Itu sebabnya Tae Hee memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah untuk menghirup udara segar.
Tae Hee memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan kegelisahan dalam hatinya, namun sepertinya itu sia-sia. Ekspresi wajahnya mengatakan seolah-olah dia tidak rela berpisah dengan Ja Eun, apalagi jika tidak bisa bertemu dengan gadis itu lagi selamanya.
Saat itulah Tae Hee melihat bahwa lampu di kandang bebek masih menyala. Penasaran, dia berjalan ke arah kandang bebek itu dan melihat Ja Eun berdiri di sana seraya memberi makan bebek-bebek itu dan mengajak mereka bicara.
“Makanlah yang banyak. Kalian harus makan dengan banyak. Maaf, aku benar-benar minta maaf. Eonnie sangat sibuk di kampus jadi melupakan kalian. Kalian sangat lapar, ya? Aku akan mendapat masalah dengan Ahjumma, aku berjanji akan merawat kalian dengan baik dan tidak lupa memberi kalian makan,” ujar Ja Eun dengan menyesal, meminta maaf pada bebek-bebek itu.
Ja Eun berdiri membelakangi Tae Hee jadi tidak mengetahui kedatangannya. Tae Hee hanya menatapnya lekat tanpa kata.
“Momshil, jangan mendorongnya seperti itu lagi! Kau tidak boleh menindas Dong Il. Ahlia...” Ja Eun tampak asyik mengobrol dengan bebek-bebek itu saat dia menoleh dan tak sengaja melihat Tae Hee yang berdiri di belakangnya.
Ja Eun segera tersenyum gembira melihat Tae Hee dan berjalan menghampirinya, “Ahjussi,” ujarnya dengan mata berbinar senang. Dan seperti biasa, Tae Hee hanya terdiam.
“Kapan kau datang? Siang tadi aku pergi ke kantor polisi untuk mencarimu. Apa kau tahu?” lanjut Ja Eun lagi, mencoba membuka obrolan.
“Ya, aku mendengarnya,” sahut Tae Hee singkat, dengan masih
menatap lekat Ja Eun seolah sedang mencari jawaban atas kegelisahan hatinya.
“Kalau begitu apa kau sudah menerima paketnya?” tanya Ja Eun lagi dengan antusias, namun Tae Hee hanya mengangguk singkat dan bergumam pelan, “Hhhmmm.”
Ja Eun tampak kecewa mendengar responnya yang sangat sedikit, gadis itu mengharapkan sebuah ucapan terima kasih.
“Ah, benar juga. Aku tahu kalau kau adalah orang yang tidak mudah mengucapkan terima kasih, karena kau adalah pria pendiam. Tapi aku punya sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku hampir menyelesaikan ini, jadi bila kau tidak keberatan, bisakah kau menunggu 10 menit?” pinta Ja Eun malu-malu.
Tae Hee hanya menatapnya lekat tanpa mengatakan apa pun, namun ekspresinya seolah mengatakan, “Apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
“Aku akan membelikanmu kopi. Hari ini biarkan aku yang membelinya,” sahut Ja Eun, yang seolah mengerti arti tatapan Tae Hee walau pria itu tidak mengatakannya.
Setelah selesai memberi makan bebek-bebek itu, mereka berdua pergi ke sebuah cafe di mana Tae Hee tampak menunggu Ja Eun di luar. Tak lama kemudian, Ja Eun tampak melangkah keluar dengan membawa 2 gelas kopi di tangannya dan menyodorkan salah satunya pada Tae Hee.
Tae Hee mengambil kopi itu seraya berkata, “Aku akan
menikmatinya,” ujarnya lirih. Kemudian mereka berdua duduk bersebelahan seraya menikmati kopi masing-masing.
“Kemarin dan dua hari sebelumnya, kau membuatku sangat canggung. Tidak mau menatapku, berpura-pura tidak melihatku dan tentu saja menolak bicara padaku secara face to face seperti ini. Aku tidak tahu kenapa aku memberimu ini, tapi...” Ja Eun menghentikan kalimatnya seraya mengambil sesuatu dari dalam kantong jaketnya kemudian menyodorkannya pada Tae Hee yang tampak tidak mengerti.
“Untukmu,” ujar Ja Eun malu-malu.
“Apa ini?” tanya Tae Hee bingung.
“Jimat keberuntungan. Aku membuatnya sendiri. Aku membuat itu selama dua hari berturut-turut jadi kau harus membawanya ke mana pun,” sahut Ja Eun menjelaskan dengan mata berbinar penuh harap, berharap Tae Hee menyukai hadiah kecil darinya.
Tae Hee hanya menatapnya penuh tanya, “Untuk apa kau berikan aku ini?” itulah arti tatapan Tae Hee pada Ja Eun sekarang.
“Karena kau selalu melakukan pekerjaan yang berbahaya,” jawab Ja Eun, seolah mengerti arti tatapan Tae Hee tanpa Tae Hee perlu mengutarakannya.
(Uda macem cenayang nih si Ja Eun, jago banget tebak menebak tatapan mata dan ekspresi Tae Hee, gak perlu ngomong, Ja Eun sudah tahu maksud dari tatapan Tae Hee padanya ckckck…Apa ini yang dinamakan “Soulmate” aka “Belahan Jiwa”? Gak perlu ngomong, tapi pasangannya uda paham?)
Setelah mendengar jawaban Ja Eun, Tae Hee mengambil gantungan
kunci bebek yang disebut Ja Eun sebagai Jimat Keberuntungan itu dan menatapnya
dengan tersenyum kecil. Gantungan bebek itu tampak memegang gelas kopi dengan
sepasang sepatu tergantung di lehernya, benar-benar menggambarkan karakter Tae
Hee. Mungkin itu sebabnya Tae Hee tersenyum melihatnya.
“Apa kau menyukainya?” tanya Ja Eun dengan tersenyum penuh harap.
Tae Hee mengangguk mantap dan berkata pelan. “Ya. Terima kasih,” ujarnya tulus, membuat Ja Eun tersenyum senang.
“Dan juga, jika bukan hari ini, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk mengatakannya padamu di masa depan. Terakhir kali kau bertanya padaku siapa wanita di dalam foto itu, kan? Apa kau masih penasaran tentang hal itu?” tanya Tae Hee seraya menatap Ja Eun ingin tahu.
“Ya. Siapa wanita itu?” tanya Ja Eun penasaran.
“Dia adalah wanita yang melahirkan aku. Wanita dalam foto itu, dia adalah wanita yang melahirkan aku,” sahut Tae Hee, memberitahu Ja Eun tentang rahasia terbesarnya.
“Apa itu? Aku akan membantumu memberikan ini padanya,” lanjut Dong Min saat menyadari Ja Eun membawa shopping bag di tangannya.
“Kalau begitu, aku minta maaf telah merepotkanmu. Nenek menitipkan sesuatu untuknya,” ujar Ja Eun dengan tak enak hati.
“Nenek?” ulang Seo Dong Min dengan bingung. Dia tidak menyangka bagaimana bisa Baek Ja Eun mengenal nenek Hwang Tae Hee?
“Aku mengenal nenek Ahju…Ah, aku mengenal Nenek Inspektur Hwang,” sahut Ja Eun, meralat panggilannya.
“Kalau begitu aku pergi dulu,” lanjut Ja Eun.
“Hati-hatilah di jalan,” ujar Seo Dong Min dengan sopan.
Ja Eun tersenyum kemudian berbalik pergi, namun dia masih melihat ke sana kemari mencari Tae Hee dan begitu mendengar langkah kaki Ja Eun yang menjauh, Tae Hee segera keluar dari tempat persembunyiannya dan menatap gadis itu dari belakang.
Setelah Ja Eun pergi, Tae Hee segera pulang ke rumahnya untuk membicarakan masalah ini. Kebetulan saat itu, Tae Hee melihat ayahnya akan keluar rumah. Tae Hee mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan sang ayah.
“Ayah, ada sesuatu yang ingin kubicarakan,” ujar Tae Hee dengan nada mendesak.
“Ayah tidak tahu apa yang ingin kau bicarakan, tapi Ayah harus pergi ke suatu tempat lebih dulu. Taksinya sudah menunggu,” ujar Hwang Chang Sik, yang memang berniat pergi menyusul Park Bok Ja.
“Ini tentang pertanian ini. Aku sudah mendengarnya dari Tae Phil,” jawab Tae Hee, menjelaskan apa yang ingin dia bicarakan.
“Oh, kau sudah mendengarnya? Kalau begitu kita bicarakan itu nanti malam saja. Ayah sudah menelpon Tae Shik dan menyuruhnya untuk memberitahu Tae Bum dan Tae Phil juga. Kita bicarakan ini nanti malam,” ujar Hwang Chang Sik pada Tae Hee, tampak bahwa dia sedang terburu-buru.
“Abeoji!” ujar Tae Hee, dia seolah tak bisa menunggu lagi dan ingin membicarakannya sekarang.
“Ibumu pergi mengunjungi makam ibunya, kenapa menurutmu Ibu melakukan itu? Jangan khawatir. Kita akan membicarakan masalah ini nanti malam,” ujar Hwang Chang Sik sebelum pergi menuju ke arah taksi yang sudah menunggunya. Tae Hee akhirnya pasrah dan menunggu malam tiba untuk membicarakan masalah ini dengan semua orang.
Syukurlah malam tiba dengan cepat, keempat bersaudara Hwang beserta Hwang Chang Sik sudah berkumpul di kamar Tae Phil untuk membahas mengenai masalah pertanian dan juga pencurian yang dilakukan oleh ibu mereka.
“Ayah, tolong katakan sesuatu,” ujar Tae Bum yang mulai tampak tak sabar karena Hwang Chang Sik masih terdiam membisu tanpa mengatakan apa pun. Faktanya dia bingung bagaimana harus memulai pembicaraan ini.
Tae Hee dan Tae Bum mengangguk menyetujui.
“Dengan uang dari kalian, ditambah dengan sedikit uang Tabungan yang Ayah dan Ibu miliki, kita bisa menggabungkannya untuk membeli sebuah rumah baru untuk kita. Karena Tae Bum sudah menikah, Ayah tidak perlu khawatir, tapi untuk Tae Shik dan Tae Hee, kalian mungkin akan semakin jauh dari lokasi tempat kerja kalian, itu yang membuat Ayah khawatir. Karena dengan jumlah uang yang kita miliki, kita mungkin hanya mampu membeli rumah di daerah pinggiran yang agak jauh dari kota,” ujar Hwang Chang Sik khawatir.
(Mereka berencana membeli sebuah rumah di daerah pedesaan yang memiliki harga yang lebih murah dan ukuran yang lebih besar, karena di kota, seperti Seoul, harga rumah sangat mahal, apalagi jika menginginkan sebuah rumah yang besar agar cukup menampung anggota keluarga mereka yang banyak. Kita semua tahu kalau harga rumah di pedesaan memang lebih murah. Contoh : di Porong, Sidoarjo, uang 500 juta sudah bisa untuk membeli rumah besar dengan ukuran 20x25 meter, di Surabaya, rumah sebesar itu berharga sekitar 2 Miliar lebih, apalagi di lokasi Crazy Rich. Seperti itu contohnya ^^)
“Tidak apa-apa, Ayah,” sahut Tae Hee dengan pengertian.
“Benar. Tidak ada yang bisa kita lakukan tentang itu,” jawab Tae Shik membenarkan.
“Juga masalahnya sekarang bagaimana cara kita mengembalikan pertanian ini pada Ja Eun. Ini adalah masalah besar. Jadi Tae Bum, bisakah kau mencari cara agar pertanian ini tidak bisa digunakan untuk membayar hutang In Ho? Bila kita mengubahnya atas nama Ja Eun, para penagih hutang itu pasti akan mengejar Ja Eun dan menyita pertanian ini untuk membayar hutang ayahnya,” ujar Hwang Chang Sik lagi dengan khawatir.
“Mari kita lakukan sesuai apa yang Ja Eun inginkan, Ayah. Bila Ja Eun menginginkan kita memberinya uang tunai, maka kita berikan uang tunai padanya (alias menjualnya). Tapi jika Ja Eun ingin sertifikat tanah ini diubah atas namanya, maka kita akan mengembalikannya dengan cara seperti itu,” sahut Tae Bum menyatakan pendapatnya.
“Baiklah. Biarkan Ja Eun saja yang memutuskan masalah itu,” ujar Hwang Chang Sik setuju dengan pendapat putranya.
“Benar,” sahut Tae Bum.
“Baiklah. Kalau begitu keputusan sudah dibuat. Pembicaraan kita sudah selesai. Apa ada sesuatu yang ingin kalian tanyakan?” tanya Hwang Chang Sik pada keempat putranya.
“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Tae Bum dengan cemas.
“Ibumu menangis sangat banyak. Ayah sudah membuat Ibu kalian banyak meneteskan air mata,” sahut Hwang Chang Sik dengan penuh penyesalan.
“Apa Ibu akan memberitahu Ja Eun tentang masalah kontrak ini?” tanya Tae Phil ingin tahu.
“Ya, ibumu bilang dia akan melakukannya. Setelah Ibumu mengajak Ja Eun makan siang dan pergi berjalan-jalan sebentar, dia akan mengatakan pada Ja Eun tentang kebenarannya dan meminta maaf padanya secara baik-baik. Itu adalah hal terakhir yang bisa Ibumu lakukan untuk menebus kesalahannya pada Ja Eun,” jawab Hwang Chang Sik.
“Jadi, kita tidak akan bertemu Ja Eun lagi setelah hari esok?” tanya Tae Phil dengan ekspresi sedih dan menyesal. Dia tampak menyesal karena belum sempat menebus kesalahannya.
Sementara Tae Hee tampak gelisah, galau, frustasi, sedih dan tertekan di saat yang bersamaan. Kalimat “tidak bisa bertemu Ja Eun lagi setelah esok hari” entah kenapa membuatnya seketika tak bisa bernapas. Itu sebabnya Tae Hee memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah untuk menghirup udara segar.
Tae Hee memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan kegelisahan dalam hatinya, namun sepertinya itu sia-sia. Ekspresi wajahnya mengatakan seolah-olah dia tidak rela berpisah dengan Ja Eun, apalagi jika tidak bisa bertemu dengan gadis itu lagi selamanya.
Saat itulah Tae Hee melihat bahwa lampu di kandang bebek masih menyala. Penasaran, dia berjalan ke arah kandang bebek itu dan melihat Ja Eun berdiri di sana seraya memberi makan bebek-bebek itu dan mengajak mereka bicara.
“Makanlah yang banyak. Kalian harus makan dengan banyak. Maaf, aku benar-benar minta maaf. Eonnie sangat sibuk di kampus jadi melupakan kalian. Kalian sangat lapar, ya? Aku akan mendapat masalah dengan Ahjumma, aku berjanji akan merawat kalian dengan baik dan tidak lupa memberi kalian makan,” ujar Ja Eun dengan menyesal, meminta maaf pada bebek-bebek itu.
Ja Eun berdiri membelakangi Tae Hee jadi tidak mengetahui kedatangannya. Tae Hee hanya menatapnya lekat tanpa kata.
“Momshil, jangan mendorongnya seperti itu lagi! Kau tidak boleh menindas Dong Il. Ahlia...” Ja Eun tampak asyik mengobrol dengan bebek-bebek itu saat dia menoleh dan tak sengaja melihat Tae Hee yang berdiri di belakangnya.
Ja Eun segera tersenyum gembira melihat Tae Hee dan berjalan menghampirinya, “Ahjussi,” ujarnya dengan mata berbinar senang. Dan seperti biasa, Tae Hee hanya terdiam.
“Kapan kau datang? Siang tadi aku pergi ke kantor polisi untuk mencarimu. Apa kau tahu?” lanjut Ja Eun lagi, mencoba membuka obrolan.
“Kalau begitu apa kau sudah menerima paketnya?” tanya Ja Eun lagi dengan antusias, namun Tae Hee hanya mengangguk singkat dan bergumam pelan, “Hhhmmm.”
Ja Eun tampak kecewa mendengar responnya yang sangat sedikit, gadis itu mengharapkan sebuah ucapan terima kasih.
“Ah, benar juga. Aku tahu kalau kau adalah orang yang tidak mudah mengucapkan terima kasih, karena kau adalah pria pendiam. Tapi aku punya sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku hampir menyelesaikan ini, jadi bila kau tidak keberatan, bisakah kau menunggu 10 menit?” pinta Ja Eun malu-malu.
Tae Hee hanya menatapnya lekat tanpa mengatakan apa pun, namun ekspresinya seolah mengatakan, “Apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
“Aku akan membelikanmu kopi. Hari ini biarkan aku yang membelinya,” sahut Ja Eun, yang seolah mengerti arti tatapan Tae Hee walau pria itu tidak mengatakannya.
Setelah selesai memberi makan bebek-bebek itu, mereka berdua pergi ke sebuah cafe di mana Tae Hee tampak menunggu Ja Eun di luar. Tak lama kemudian, Ja Eun tampak melangkah keluar dengan membawa 2 gelas kopi di tangannya dan menyodorkan salah satunya pada Tae Hee.
“Kemarin dan dua hari sebelumnya, kau membuatku sangat canggung. Tidak mau menatapku, berpura-pura tidak melihatku dan tentu saja menolak bicara padaku secara face to face seperti ini. Aku tidak tahu kenapa aku memberimu ini, tapi...” Ja Eun menghentikan kalimatnya seraya mengambil sesuatu dari dalam kantong jaketnya kemudian menyodorkannya pada Tae Hee yang tampak tidak mengerti.
“Untukmu,” ujar Ja Eun malu-malu.
“Apa ini?” tanya Tae Hee bingung.
“Jimat keberuntungan. Aku membuatnya sendiri. Aku membuat itu selama dua hari berturut-turut jadi kau harus membawanya ke mana pun,” sahut Ja Eun menjelaskan dengan mata berbinar penuh harap, berharap Tae Hee menyukai hadiah kecil darinya.
Tae Hee hanya menatapnya penuh tanya, “Untuk apa kau berikan aku ini?” itulah arti tatapan Tae Hee pada Ja Eun sekarang.
“Karena kau selalu melakukan pekerjaan yang berbahaya,” jawab Ja Eun, seolah mengerti arti tatapan Tae Hee tanpa Tae Hee perlu mengutarakannya.
(Uda macem cenayang nih si Ja Eun, jago banget tebak menebak tatapan mata dan ekspresi Tae Hee, gak perlu ngomong, Ja Eun sudah tahu maksud dari tatapan Tae Hee padanya ckckck…Apa ini yang dinamakan “Soulmate” aka “Belahan Jiwa”? Gak perlu ngomong, tapi pasangannya uda paham?)
“Apa kau menyukainya?” tanya Ja Eun dengan tersenyum penuh harap.
Tae Hee mengangguk mantap dan berkata pelan. “Ya. Terima kasih,” ujarnya tulus, membuat Ja Eun tersenyum senang.
“Dan juga, jika bukan hari ini, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk mengatakannya padamu di masa depan. Terakhir kali kau bertanya padaku siapa wanita di dalam foto itu, kan? Apa kau masih penasaran tentang hal itu?” tanya Tae Hee seraya menatap Ja Eun ingin tahu.
“Dia adalah wanita yang melahirkan aku. Wanita dalam foto itu, dia adalah wanita yang melahirkan aku,” sahut Tae Hee, memberitahu Ja Eun tentang rahasia terbesarnya.
Blogger Opinion :
Wah, sungguh kemajuan yang besar saat melihat Tae Hee bersedia membuka rahasia terbesar dalam hidupnya, masa lalunya yang dia sembunyikan dari semua orang dan menceritakannya sendiri pada Ja Eun. Keputusan Tae Hee untuk mengungkapkan rahasianya pada Ja Eun bahkan terlihat seperti “Pengakuan Cinta”.
Karena ini menunjukkan bahwa Tae Hee sudah membuka pintu hatinya untuk Ja Eun dan mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke dalam hatinya secara resmi dan mungkin, dia juga berharap Ja Eun bisa tetap tinggal di dalam hatinya selamanya.
Tae Hee yang paling benci jika masa lalu tentang ibu kandungnya sampai diungkit-ungkit, kini dia sendirilah yang membahas masalah ini pada Ja Eun, tanpa Ja Eun memintanya. Memberikan kesan seperti, “Welcome to my heart, Baek Ja Eun! I will welcome you in…And we will share all the good and bad together.”
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/605 + https://gswww.tistory.com/606
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar