Highlight For today episode :
I was so sad at the beginning and felt so hurt for Ja Eun. The
scene with Ahjumma were heart breaking. Ja Eun looked so hurt and Tae Hee
looked hurt because she was hurting. Tae Hee went from being oblivious of her
to caring so much about her. Tae Hee seems to be really hurting for her. It’s
like all his repressed feeling can’t seem to stay down. It makes me feel so
sorry for him, he’s got the look of “I like you and I want to do something to
make you feel better. I really really like you but I am so sorry I can’t make
it all go away and now you have a scar and I feel so bad and I like you and I
can’t stay away from you.”
That’s why Tae Hee yelling at ahjumma. I believe since Ja Eun disappeared, he is frustrated and blames ahjumma for what happened (for not telling her sooner). That’s quite a big step forward Tae Hee is making with Ja Eun. Looks like he’s going to or is initiating the relationship. Actions speak louder than words Tae Hee, do something after crying and yelling at Mom, ok!? Protect her, just like Tae Bum’s advice.
And speaking about Tae Bum’s advice, I loved the fact that Tae Bum
noticed long before Tae Hee realized that he has feelings for Ja Eun, nice to
know that the brothers care and know well each other. Then Tae Bum confronted Tae
Hee and told him, “That means you like her, you punk!”, but he keeps denying
it.
But eventhough Tae Hee keeps on denying it, Tae Bum still give advise to Tae Hee, “Alright, alright, Mensa member Hwang Tae Hee. It’s not love. Alright? But if it still hurts there and angers you–go find her – go find her and no matter what protect her till she stops being mad.”
And it does seem that Tae Hee is following Tae Bum’s advise 🙂Tae Hee gonna
be a man who stand by the woman he loves. Now wonder how Tae Hee will protect
her till she’s not angry anymore and how will he win again her trust (because
I’m sure she still love him even though she’s angry now).
--------00000-------
Episode 25 :
“Aku bilang tidak. Bukan seperti itu,” sangkal Tae Hee untuk yang keempat kalinya, namun kali ini tidak lagi dengan nada tinggi berapi-api, sepertinya dia sudah mulai merasa tidak yakin dengan jawaban “tidak” yang dia berikan saat ini.
“Apa maksudmu dengan tidak?” sindir Tae Bum dengan tersenyum penuh arti kepada adiknya yang bodoh tentang perasaan ini.
“Bukan seperti itu. Aku anggota Mensa, Hwang Tae Hee, mana mungkin aku tidak mengetahui perasaanku sendiri?” sangkal Tae Hee untuk yang kelima kalinya, dengan suara lemah, seolah tak ada keyakinan di sana. Seolah Tae Hee sendiripun tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Dan Tae Bum hanya tertawa mendengar penyangkalan Tae Hee yang terdengar semakin lemah kali ini.
(Yayaya, teruslah hidup dalam penyangkalan, Inspektur Hwang. Kita lihat saja berapa lama kau bisa terus menyangkalnya? Teruslah menyangkal sampai Ja Eun direbut orang, baru deh mulai sadar dan ngejar-ngejar >_< Remember, your love rival is coming!)
“Baiklah, baiklah. Anggota Mensa, Hwang Tae Hee, itu bukanlah cinta! Sudah puas?” ujar Tae Bum dengan nada dan tawa meledek.
“Tapi jika itu masih menyakitimu dan membuatmu sangat marah, pergilah cari dia! Carilah dia dan tidak peduli apa pun yang terjadi, tetaplah melindunginya hingga dia berhenti marah. Lindungi dia sampai kapan pun,” saran Tae Bum dengan bijaksana dan pengertian.
Dia seolah mengerti bahwa Tae Hee tidak memahami perasaannya sendiri, jadi daripada terus mendesaknya mengaku dan berujung penyangkalan untuk yang ketujuh kalinya lagi, Tae Bum memberinya saran sebagai seorang kakak dan sebagai seorang pria yang lebih berpengalaman dalam cinta, tentang bagaimana seorang pria harus bertindak jika gadis yang dicintainya sedang marah saat ini.
Tae Hee tampak terdiam dan memikirkan kata-kata Tae Bum dengan sangat serius kali ini. Setelah memberikannya saran, Tae Bum menepuk pundak Tae Hee dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Tae Hee untuk mencari solusinya sendiri.
Di penginapan kecil Jung Yeon Suk, Ja Eun tampak masih dalam mode shock dan terduduk bersandar di jendela tanpa bicara sedikitpun. Jung Yeon Suk datang dengan membawakan makan malam untuk mereka dan mengoceh panjang lebar untuk menyadarkan Ja Eun dari mode melamunnya.
“Ayo makan malam. Jika aku tahu kau akan datang, aku akan pergi belanja. Tapi karena sekarang sudah malam, jadi aku hanya memasakkan sesuatu yang sederhana. Makanlah sedikit. Besok pagi, aku akan pergi belanja. Kau ingin makan apa? Apakah kau ingin makan gurita pedas?” ujar Jung Yeon Suk, berusaha membujuk Ja Eun untuk makan. Namun Ja Eun masih dalam mode shock, tidak memberikan respon apa pun. Dia tampak bagaikan mayat hidup.
“Aku bilang makanlah sedikit. Ini bukanlah sesuatu yang
harus kau sedihkan hingga membuatmu menutup mulutmu rapat-rapat seperti ini.
Hanya karena orang-orang tidak tahu diri seperti itu, kenapa kau harus merasa
terluka hingga kelaparan seperti ini?” lanjut Jung Yeon Suk, masih tetap
membujuk Ja Eun untuk makan.
“Berapa lama kau tinggal di dalam tenda di halaman rumah itu? Para tetangga mengatakan kalau wanita itu bahkan menyuruhmu bekerja di pertanian, apa itu benar? Apa kau benar-benar merawat bebek dan bekerja di Perkebunan pir? Bagaimana kau bisa berakhir bekerja seperti itu mengingat selama ini kau selalu dimanjakan oleh ayahmu?” seru Jung Yeon Suk, berusaha mengambil hati Ja Eun.
“Mari kita jual pertanian itu. Kau pasti sangat muak dan lelah dengan pertanian itu sekarang, kan? Aku akan mengurus penjualan tanah pertanian itu jadi kau tidak perlu khawatir soal apa pun. Karena hutang-hutang ayahmu, kau pasti tahu kalau semua harta yang tertulis atas namanya akan disita, kan? Itulah sebabnya, satu-satunya solusi untuk pertanian itu adalah dengan menjualnya,” lanjut Jung Yeon Suk, masih berusaha mempengaruhi Ja Eun dan memprovokasi gadis itu agar semakin membenci keluarga Hwang, dan akhirnya menjual pertanian itu. Namun Ja Eun masih terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun.
(Tujuan akhir Jung Yeon Suk tentu saja hanya satu : menjual pertanian itu kemudian membawa lari uang hasil penjualan itu, tanpa menyisakan untuk Ja Eun sepeser pun. Sama seperti dulu, dia akan kabur meninggalkan Ja Eun dengan membawa semua uang hasil pertanian itu. So Ja Eun, don’t be stupid, okay? Jangan masuk dalam bujuk rayu emak tirimu yang hanya peduli pada uang! Ke mana dia saat kamu menderita? Saat kamu ditangkap polisi, Jung Yeon Suk bahkan menolak mengakuimu, bukan? Hwang Tae Hee yang pada akhirnya membebaskanmu)
Di pertanian, Hwang Tae Hee tampak resah dan gelisah. Dia memandang sedih gantungan kunci bebek yang diberikan Ja Eun untuknya dan mencoba menelpon gadis itu namun sialnya ponselnya tidak aktif dan itu membuatnya semakin cemas.
Tae Hee berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia mencoba mengingat-ingat kembali semua kenangannya bersama gadis itu yang mungkin bisa memberinya sebuah petunjuk, hingga dia teringat saat tak sengaja bertemu Ja Eun di depan pintu sebuah penginapan kecil saat dia sedang menyelidiki sesuatu (EP 21).
“Aku bertemu dengan seseorang... Sebenarnya aku menemui ibu tiriku di sana,” kenang Tae Hee pada ucapan Ja Eun siang tadi.
Ekspresi Tae Hee menampakkan kelegaan, kemudian dia segera menyambar mantelnya dan berlari keluar rumah. Tae Hee segera mendatangi kantor penginapan itu untuk menanyakan di mana wanita bernama Jung Yeon Suk tinggal saat ini.
Dari keterangan pemilik penginapan itu, Tae Hee mendapatkan informasi kalau Nyonya Jung Yeon Suk tinggal di kamar nomor 306 dan tadi siang, dia kembali kemari bersama seorang gadis muda.
Tae Hee berjalan keluar dan menatap sedih ke arah sebuah
jendela yang lampunya menyala terang. Itu adalah kamar Ja Eun dan Jung Yeon Suk
dan tatapan matanya terlihat penuh kerinduan yang dalam saat memandang jendela
kamar itu.
Merasa gelisah, tidak tenang dan cemas dengan keadaan Ja Eun, Tae Hee akhirnya memutuskan untuk diam-diam menjaga Ja Eun di luar penginapan itu hingga tanpa sadar dia tertidur di dalam mobilnya hingga malam berganti pagi. Tae Hee bangun keesokan harinya dan menyadari saat hari sudah pergi, dia pun meninggalkan penginapan itu untuk kembali bekerja.
(Kau diam-diam menjaganya semalaman, dan kau masih menyangkal kalau kau punya rasa padanya, Tae Hee? Nonsense! Doesn’t have feelings for her your ass!🙂)
Pagi harinya, Hwang Chang Sik mencari Ja Eun di kampusnya. Tapi dia tidak menemukan Ja Eun di mana-mana, akhirnya Hwang Chang Sik bertanya kepada teman-teman Ja Eun, namun kedua sahabatnya, Nam Suk dan Ah Ra berkata kalau hari ini Ja Eun tidak datang ke kampus dan ponselnya pun tak bisa dihubungi.
Tak punya pilihan, Hwang Chang Sik pun menelpon Tae Hee. Dengan harapan bahwa pihak kepolisian pasti bisa dengan mudah menemukan tempat tinggal seseorang, Chang Sik menelpon Tae Hee yang saat itu sedang sibuk menginterogasi seorang tersangka.
“Tae Hee-ya, Ayah ada di kampus Ja Eun sekarang, tapi dia tidak datang hari ini. Ponselnya juga tidak aktif. Jadi bisakah kau bantu Ayah menemukan alamat ibu tiri Ja Eun?” ujar Hwang Chang Sik dari seberang saluran.
“Alamat Ibu tirinya? Ya, aku tahu, Ayah. Aku ingin mengantar Ayah
ke sana tapi...” Tae Hee melihat ke arah kantornya yang sedang dipenuhi para
tersangka yang sedang diinterogasi oleh para polisi.
“Tapi rasanya sangat sulit untuk meninggalkan kantor sekarang,” lanjut Tae Hee dengan tak enak hati.
“Cukup beritahu Ayah alamatnya dan Ayah akan ke sana sendiri. Apakah ada cara untuk mengetahui bahwa Ja Eun benar-benar ada di sana?” ujar Hwang Chang Sik.
“Alamatnya ada di...” Tae Hee baru saja akan menyebutkan sebuah Alamat namun tersangka yang dia interogasi memintanya untuk diam, jadi akhirnya Tae Hee memutuskan untuk mengantar ayahnya ke sana,” Ayah, aku akan mengantar Ayah ke sana. Aku akan segera menjemput Ayah di kampus Ja Eun.”
Tae Hee kemudian mengambil kertas di mejanya dan memberikannya pada Seo Dong Min, “Dong Min-ah, aku akan keluar sebentar. Tolong bantu aku mengurusnya sebentar,” pinta Tae Hee pada Dong Min seraya menunjuk tersangka yang sebelumnya dia interogasi.
Tak lama kemudian, Tae Hee sudah tiba bersama ayahnya di depan penginapan tempat Jung Yeon Suk tinggal sementara waktu.
“Kau bilang Ja Eun ada di sini?” tanya Hwang Chang Sik ragu, melihat tempatnya yang sangat kecil.
“Ya. Jung Yeon Suk-ssi tinggal di sini,” sahut Tae Hee dengan yakin, karena memang dia sudah menyelidikinya kemarin malam.
“Untunglah kau ada di sini atau aku tidak akan bisa menemukan Ja Eun sendiri. Saat aku bertanya pada pihak kantornya, mereka akan memberitahuku dia tinggal di mana, kan?" tanya Hwang Chang Sik memastikan.
“Kamar 306, ayah.” Sahut Tae Hee yang sudah tahu lebih dulu seraya memandang ke arah jendela kamar Ja Eun.
Untung aja Tae Hee seorang polisi, jadi ayahnya gak curiga sedikitpun kenapa Tae Hee bisa mengetahui semua tentang Ja Eun, andaikan Tae Hee bukan polisi, Hwang Chang Sik pasti curiga kenapa putranya bisa tahu sedetil itu. Hwang Chang Sik pasti curiga kalau putranya dan Ja Eun memiliki hubungan khusus atau setidaknya ada rasa (walaupun itu memang benar).
“Ayah, haruskah aku menemani Ayah ke sana?” tanya Tae Hee lagi, seolah berharap sang ayah berkata, “Ya” agar dia bisa melihat Ja Eun juga.
Namun sayangnya Hwang Chang Sik berkata, “Tidak perlu. Ayah akan menemuinya sendiri. Ayah akan segera kembali,” sahut Hwang Chang Sik seraya turun dari mobil Tae Hee dan masuk ke dalam penginapan itu dan meninggalkan Tae Hee di dalam mobil.
Ja Eun masih duduk dengan melamun seolah tak ada harapan hidup saat Hwang Chang Sik mengetuk pintu. Ja Eun yang mendengarnya segera membuka pintu.
“Ja Eun-ah, apa kau sudah makan? Apa kau tidur dengan nyenyak? Ahjussi dan Ahjumma telah melakukan kesalahan besar padamu, kami memang pantas mati. Tidak peduli apa pun yang akan kukatakan, aku tahu kau tidak akan semudah itu untuk memaafkan. Tapi Ahjumma sebenarnya ingin mengembalikan kontraknya padamu, dia benar-benar berniat mengembalikan pertanian itu padamu. Itu sebabnya Ahjumma mengajakmu keluar berjalan-jalan dan mentraktirmu makan, dia sudah membawa surat kontrak itu bersamanya dan Bersiap untuk mengembalikannya padamu. Tapi ternyata semuanya malah berakhir seperti ini. Ahjussi hanya ingin kau tahu kalau setidaknya, Ahjumma tidak ingin menipumu hingga akhir,” ujar Hwang Chang Sik menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
“Jadi, apa yang akan berubah dengan Anda mengatakan itu? Itu tidak akan mengubah fakta kalau Ahjumma telah mencuri surat kontrakku, menendangku keluar dan menipuku selama ini. Apakah itu semua akan berubah dan hilang begitu saja seolah tak pernah terjadi apa-apa?” sindir Ja Eun dengan dingin dan datar. Kemarahan itu masih tampak dalam wajahnya. Setelah mengatakan itu, Ja Eun menutup pintu dan membantingnya dengan keras.
“Ja Eun-ah, tolong buka pintunya. Kita bahkan belum membicarakan tentang pertanian. Ja Eun-ah, aku akan melakukan apa yang kau inginkan dengan pertanian itu. Jika kau ingin aku menjualnya, aku akan menjualnya,” panggil Hwang Chang Sik dari luar pintu.
Saat itulah Jung Yeon Suk, ibu tiri Ja Eun tiba di sana, “Apa yang kau lakukan di sini? Beraninya kau datang kemari? Apa kau pikir Ja Eun ingin melihat wajahmu atau wajah keluargamu sekarang?” ujar Jung Yeon Suk dengan sok perhatian.
“Tapi karena kau sudah datang kemari, mari kita bicarakan sekalian soal pertanian itu...” kalimat Jung Yeon Suk terpotong oleh Hwang Chang Sik.
“Seperti yang kukatakan terakhir kali, aku tidak ingin membicarakan masalah pertanian denganmu!” potong Hwang Chang Sik dengan tegas.
“Aku adalah wali Ja Eun. Lagipula Ja Eun menyerahkan masalah pertanian itu padaku jadi...” seru Jung Yeon Suk tak terima, namun Hwang Chang Sik segera pergi dari sana dan mengabaikannya begitu saja.
(Yeeee, ngarang! Kapan Ja Eun menyerahkan masalah pertanian padamu? Ja Eun masih bengong tuh waktu kami minta ngurus, dia masih “state of denial” alias masih shock mode on >_<)
“Hei, dengarkan dulu!” teriak Jung Yeon Suk tapi Hwang Chang Sik seolah tuli dan tetap melanjutkan langkahnya.
Saat Hwang Chang Sik keluar, Tae Hee sudah menunggunya di depan penginapan.
“Apa Ayah tidak bertemu dengannya? Apa dia tak ada di sana?” tanya Tae Hee ingin tahu.
“Aku bertemu dengannya dan dia memang ada di sini. Mari kita pergi. Kita bicarakan dalam perjalanan pulang saja,” sahut Hwang Chang Sik, namun ternyata Cha Su Young menelponnya dan Hwang Chang Sik tak jadi membicarakan masalah Ja Eun karena mengangkat telepon dari menantu keduanya.
Saat ayahnya berbicara di telepon, Tae Hee kembali memandang jendela kamar Ja Eun dengan tatapan kerinduan.
Setelah mengantar ayahnya pergi menemui Cha Su Young, Tae Hee kembali ke kantor polisi untuk makan siang di kantin, saat tiba-tiba saja Kim Jae Ha (the second male lead) datang dan mengganggunya.
“Apa kau mengetahui lokasi gudangnya? Oke, kita akan pergi mengintai sepuluh menit lagi, aku sedang makan siang saat ini,” ujar Tae Hee pada Dong Min melalui ponselnya.
Tae Hee melanjutkan kembali makan siangnya setelah sambungan telepon itu dimatikan, saat itulah Kim Jae Ha tiba-tiba duduk di depannya dan mengajaknya mengobrol seolah-olah mereka sangat akrab, “Kau pasti sangat menyukai Oseng babi pedas, Inspektur Hwang. Apa kau mau milikku juga?” ujar Kim Jae Ha tiba-tiba.
Tae Hee mengacuhkannya dan tetap makan.
“Ah, jadi seperti ini ya kantinnya polisi? Apa kau sering makan di sini?” ujar Kim Jae Ha lagi, sok kenal sok dekat.
“Begini...” Tae Hee mulai merasa terganggu dan ingin mengatakan sesuatu namun pria itu memotongnya, “Kim Jae Ha Imnida. Kau tidak lupa, kan? Aku adalah Produser Good Film. Kau bisa memanggilku Kim PD-nim,” ujar Kim Jae Ha menginterupsi ucapan Tae Hee.
“Ya, Kim Jae Ha-ssi, aku akan mengenalkanmu ke rekan polisi yang lain, mungkin lebih baik jika kau berkonsultasi dengan orang itu,” ujar Tae Hee tampak kesal karena makan siangnya terganggu.
“Tapi aku hanya ingin bicara denganmu, Inspektur Hwang.” Sahut Kim Jae Ha dengan senyuman ‘menakutkan’.
“Apakah ada alasan khusus kenapa harus aku?” tanya Tae Hee tampak tak nyaman.
“Karena aku menyukaimu,” jawab Kim Jae Ha dengan ambigu, membuat Tae Hee merinding sendiri mendengarnya. (Kim Jae Ha gak homo kok, tenang aja. Tar juga dia deketnya ke Ja Eun ^^)
“Apa kau mengenalku?” tanya Tae Hee penasaran.
“Aku ingin lebih mengenalmu. Aku sangat menyukai pria tampan,” ujar Kim Jae Ha dengan wajah tanpa dosa, tanpa tahu kalimatnya yang ambigu membuat Tae Hee bergidik ngeri mendengarnya. (Ya kan karena ngira nih cowok homo, makanya Tae Hee takut sendiri hahaha ^^)
Tae Hee yang terkejut segera berdiri dan menjauh pergi saat Kim Jae Ha baru saja mulai makan.
“Hwang Gyeonghwi-nim, apa jadwalmu berikutnya? Apa kau akan pergi ke suatu tempat untuk menyelidiki sesuatu atau punya rencana mengintai penjahat?” seru Kim Jae Ha tak tahu malu namun tentu saja Tae Hee mengacuhkannya.
Beberapa saat kemudian, entah bagaimana caranya, Kim Jae Ha ikut dalam pengintaian yang dilakukan oleh Tae Hee dan Dong Min.
(Sejujurnya ini sedikit tidak masuk akal, bagaimana bisa seorang warga sipil diijinkan dalam pengintaian yang dilakukan oleh pihak kepolisian? Tapi yang namanya drama, ya udahlah ya, apa pun bisa terjadi walau tidak masuk akal sekali pun. Ini kedua kalinya ada UNLOGICAL PLOT di drama ini. Yang pertama tentang kecelakaan Baek In Ho, jelas-jelas Baek In Ho naik pesawat tapi tiba-tiba dia termasuk dalam daftar penumpang kapal yang menghilang di tengah lautan. Kalau pesawatnya meledak di lautan masih masuk akal, lah ini tiba-tiba aja ganti naik kapal padahal jelas-jelas Tae Hee dan Ja Eun mengejar ke Bandara ckckck >_< Dan yang kedua, warga sipil diijinkan ikut dalam pengintaian pihak kepolisian. Apa mereka tidak takut kalau Kim Jae Ha justru akan menghambat misi pengintaian?)
Kembali ke drama, seperti yang sudah kujelaskan kalau Kim Jae Ha pada akhirnya mendapatkan ijin untuk ikut dalam pengintaian itu. Tapi di kursi belakang, Kim Jae He terus makan camilan dengan suara berisik yang mengganggu konsentrasi kedua polisi muda itu. (Ya kan? Ganggu orang kerja aja deh nih second lead resek >_<)
Tae Hee dan Dong Min serentak menoleh ke kursi belakang dengan kesal, dan dengan wajah tanpa dosa, Kim Jae Ha berkata, “Itu karena aku tidak makan siang dengan baik.”
“Namamu adalah Polisi Seo, kan? Apa kau mau satu?” tawar Kim Jae Ha pada Seo Dong Min yang terpaksa menerima snack coklat itu karena sungkan.
“Apa kau mau satu, Hwang Gyeonghwi-nim?” tawar Kim Jae Ha pada Tae Hee.
“Tidak. Terima kasih,” sahut Tae Hee dengan datar dan malas tanpa menoleh.
“Hwang Gyeonghwi-nim tidak menyukai makanan manis,” ujar Dong Min, menjelaskan tanpa diminta, membuat Tae Hee menatapnya tajam karena menyebarkan informasi tentang dirinya tanpa diminta.
“Ah, dia kebalikan dariku. Aku sangat suka makanan manis,” sahut Kim Jae Ha, padahal gak ada yang tanya. Namun baik Tae Hee ataupun Dong Min tak ada yang menggubrisnya.
“Kalau begitu apa makanan kesukaanmu, Inspektur Hwang? Apa kau menyukai makanan pedas, seperti oseng cumi pedas? Atau kau memiliki makanan favorit khusus? Karena kau tak mau menjawabnya, itu membuatku semakin penasaran,” ujar Kim Jae Ha dengan cerewet seperti seorang wanita, benar-benar merusak konsentrasi kedua polisi itu.
Kalau Ja Eun yang bertanya seperti itu, Tae Hee akan dengan senang hati menjawab tapi karena itu Kim Jae Ha, ekspresi tampak sangat kesal mendengarnya.
“Hyungnim kami...” Seo Dong Min baru saja akan mengatakan sesuatu namun Tae Hee menghentikannya.
“Seo Dong Min, fokuslah pada pengintaian! Kau ingin kehilangan target kita seperti pengintaianmu yang terakhir?” tegur Hwang Tae Hee dengan tegas dan keras. Seo Dong Min seketika terdiam mendengar Tae Hee memarahinya.
(Sumpah. Aku juga pengen ngelakban mulutnya Kim Jae Ha yang cerewet abiz dan gak paham situasi. Mungkin maksudnya dia ingin bersikap ramah namun momennya tidak tepat. Mereka lagi mengintai penjahat, woi! Bisa diem kagak sih tuh mulut? Pantes aja Tae Hee selalu aja pengen ngehajar nih cowok satu tiap kali mereka ketemu. Banyak bacot soalnya. Lambe wedhok! Lebih cerewet daripada Tae Phil >_< )
Sindiran Tae Hee tidak membuat Kim Jae Ha jera, dia masih saja cerewet dan mencoba mencari bahan pembicaraan yang tidak penting untuk menarik perhatian Tae Hee, entah apa tujuannya.
“Wah, rambutmu sangat bagus, hitam dan mengkilap. Apa kau melakukan perawatan di salon? Bolehkah aku menyentuhnya?” ujar Kim Jae Ha dengan pertanyaan tidak penting lainnya, seraya berusaha menyentuh rambut Tae Hee namun Tae Hee menghindar tepat pada waktunya.
Tindakannya yang absurd membuat Tae Hee dan Seo Dong Min tampak bergidik ngeri melihatnya. Dia kemudian menatap Tae Hee melalui kaca atas mobil dan Tae Hee yang menyadarinya juga menatapnya dengan sinis.
“Sekarang aku kembali memikirkannya, aku sempat bertanya-tanya kau mirip dengan siapa, sekarang aku baru menyadari kalau kau mirip dengan Kang Dong Won. Orang-orang akan percaya kalau kau bilang kalian saudara kembar. Apa kau pernah mendengar orang menyebutnya?” lagi, Kim Jae Ha mengoceh tidak penting. Tae Hee hanya menghembuskan napasnya lelah melihat betapa cerewetnya pria ini.
“Kau mirip dengan orangtuamu yang mana? Apa Ibumu cantik?” tanya Kim Jae Ha lagi dengan absurd.
“Jangan banyak bicara! Karena itu mengganggu pengintaian kami,” tegur Tae Hee dengan kesal.
“Maaf. Tapi apakah akan ada seseorang yang keluar? Suasananya sangat sepi dan kau bahkan tidak melihat seekor semut lewat,’’ ujar Kim Jae Ha tidak tahu diri.
Tiba-tiba saja Second Male Lead kita yang cerewet itu mendapatkan telepon dari seseorang dan keluar dari dalam mobil untuk mengangkat teleponnya.
“Anda tidak bisa keluar sekarang!” seru Seo Dong Min melarang namun Kim Jae Ha tidak peduli.
“Hyung, berhati-hatilah. Aku punya firasat buruk,” ujar Seo Dong Min dengan wajah serius, namun kemudian tertawa terbahak-bahak, “Kurasa pria itu tertarik padamu, Hyung. Lihatlah tatapan matanya! Itu tidak main-main,” lanjut Seo Dong Min, semakin menyiram minyak ke dalam api.
“YYYYAAAA!” bentak Tae Hee kesal, kemudian tanpa pikir panjang, Tae Hee segera menyalakan mesin mobilnya.
“Hyung, bagaimana dengan Kim PD-nim?” tanya Seo Dong Min tidak enak hati.
Tapi Tae Hee tidak peduli, dia terus saja tancap gas dan meninggalkan Kim Jae Ha sendirian di tempat itu. Menyadari dia ditinggalkan, Kim Jae Ha tanpa kenal menyerah berlari mengejar mobil Tae Hee. Sialnya di perempatan jalan, Tae Hee terpaksa menghentikan mobilnya karena ada beberapa orang yang memindahkan barang di tengah jalan. Dan itu memberikan kesempatan bagi Kim Jae Ha hingga berhasil mengejar mobil Tae Hee.
Tae Hee tampak terkejut melihat Kim Jae Ha tiba-tiba sudah ada di belakang mobil mereka dengan napas terengah-engah, padahal dia berpikir dia sudah meninggalkan pria cerewet itu cukup jauh, tidak disangka Kim Jae Ha tetap mengejar sejauh itu.
Kim Jae Ha mengetuk kaca jendela Seo Dong Min dengan terengah-engah dan bertanya tanpa curiga sedikitpun, “Apakah targetnya sudah keluar? Di mana dia sekarang?” tanyanya dengan napas tersengal-sengal, sementara Tae Hee hanya menarik napas kesal karena gagal membuang pria cerewet itu di sana.
Di penginapan kecil di mana Ja Eun tinggal sementara waktu,
Jung Yeon Suk tampak membuka korden jendela dengan kesal.
“Ini sudah siang, kenapa kau menutup kordennya?” omel Jung Yeon Suk karena Ja Eun terus saja menutup korden itu setiap kali dia membukanya.
“Kau sudah mendengarnya beberapa saat yang lalu kan, saat kami (dia dan Hwang Chang Sik) membicarakan tentang pertanian? Ja Eun-ah, tidakkah menurutmu kita harus membereskan masalah pertanian ini lebih dulu? Tentu saja dengan apa yang kau rasakan sekarang, kau tidak ingin bertemu dengan keluarga itu lagi, tapi kita tidak bisa selamanya hidup menyedihkan dengan tinggal di penginapan kecil seperti ini, kan?” ujar Jung Yeon Suk, mencoba membujuk Ja Eun lagi.
Kali ini Ja Eun tak lagi terdiam melamun karena shock seperti sebelumnya, sebaliknya dia segera mengambil tasnya dan pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa pada ibu tirinya.
“Ja Eun-ah, kau mau ke mana? Ja Eun-ah!” panggil Jung Yeon Suk namun Ja Eun mengabaikannya.
Ja Eun segera berjalan keluar menuju jalan utama dan memanggil taksi agar mengantarkannya ke suatu tempat.
Di Ojakgyo Farm, Park Bok Ja tampak duduk di ruang tamu seraya melipat baju dengan wajah yang tampak pucat dan sayu, dia jatuh sakit karena memikirkan masalah ini dan juga karena merindukan Ja Eun, beban mentalnya membuat wanita berusia 60 tahun itu pada akhirnya jatuh sakit karena terlalu banyak berpikir.
Nenek yang baru saja keluar dari kamarnya melihat Park Bok Ja yang sedang terduduk dengan wajah pucat, seketika tampak khawatir.
“Apa kau sakit? Mananya yang sakit?” ujar Nenek dengan cemas.
“Tidak, Ibu. Aku hanya sedikit pusing,” sahut Park Bok Ja lemah.
“Tapi wajahmu sangat pucat sekarang. Kau pasti sakit sekarang. Pergilah ke kamar dan tidurlah sejenak,” sahut Nenek, menyuruh menantunya tidur dan istirahat.
“Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku tidak melakukan apa pun yang membuatku pantas untuk tidur dan bermalas-malasan,” sahut Park Bok Ja menolak.
Saat itulah Ja Eun tiba-tiba datang dan mengejutkan Nenek dan Park Bok Ja. Mereka berdua tampak terkejut dengan kedatangan Ja Eun yang tiba-tiba.
“Apa kabar, Ahjumma? Padahal ini baru sehari, tapi rasanya aku sudah lama sekali tidak melihatmu. Apa kabarmu baik?” ujar Ja Eun dengan nada sindiran tajam dan ekspresi wajah yang dingin dan menahan kemarahan.
“Ja Eun-ah,” panggil Park Bok Ja dengan lembut.
“Aku datang untuk mengambil barang-barangku. Barang-barangku masih ada di atas, bukan?” tanya Ja Eun dengan nada sindiran tajam sekali lagi.
“Tentu saja barang-barangmu masih ada di sana,” sahut Park Bok Ja dengan lembut dan raut wajah bersalah.
“Benarkah? Kali ini, kenapa masih di sana? Apa yang membuatmu tidak membuangnya keluar lagi kali ini? Bukankah biasanya kau selalu menyeret barang-barangku dan melemparnya keluar rumah? Ah…Itu sebelum kau menemukan kontrakku, benarkan?” sindir Ja Eun dengan dingin.
“Bagaimana tidurmu semalam? Apa kau tidur dengan nyenyak? Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku sedikit saja. Aku selalu teringat semua yang telah terjadi selama ini. Tapi semakin aku mengingatnya, kenapa semua kenangan itu rasanya bagai menikam jantungku?” lanjut Ja Eun, masih dengan sindiran tajam dalam setiap kalimatnya.
“Yang pertama kali kuingat setelah kau mencuri surat kontrakku adalah apa yang kau katakan padaku saat kau melemparku keluar, kau bersumpah pada Tuhan bahwa kau bahkan tak pernah melihat surat kontrak itu. Bahwa tidak mungkin surat kontrakku hilang di dalam rumah ini, bahwa aku tidak pernah membawanya kemari, dan bagaimana kau sendiri yang mengemasi barang-barangku dan menendangku keluar saat itu,” Ja Eun mulai mengungkit masa lalunya yang menyakitkan dengan nada sedingin es dan kalimat setajam silet.
“Yang kedua adalah saat aku mendirikan tenda di halaman. Segera setelah kau melihatku, kau mencoba untuk menggulingkan tendaku dan bahkan menendang makananku. Kau bahkan berkata kau akan membiarkan seekor anjing makan dengan tenang, tapi kau justru menendang makananku dengan kejam. Jadi bagimu, apa aku jauh lebih rendah daripada seekor anjing?” ujar Ja Eun berapi-api, semua kalimatnya menikam bagai belati. Menyakitkan, namun begitulah fakta yang terjadi. Begitulah yang dia alami saat pertama kali datang kemari dan itu semuanya dilakukan oleh Park Bok Ja sendiri.
“Lalu mimpi buruk dengan air. Itu adalah pertama kalinya aku menyadari bahwa disemprot dengan air sangatlah menyakitkan. Ah, aku hampir lupa, kau juga memukuliku berkali-kali hanya karena aku mengambil beberapa potong kue karena aku kelaparan. Aku hampir saja melupakan itu. Ada begitu banyak kenangan buruk yang kau berikan untukku, lebih dari yang bisa kuhitung. Sangat banyak bagaikan bintang-bintang di angkasa,” sindir Ja Eun sekali lagi. Air mata mulai menetes dari kedua sudut matanya.
That’s why Tae Hee yelling at ahjumma. I believe since Ja Eun disappeared, he is frustrated and blames ahjumma for what happened (for not telling her sooner). That’s quite a big step forward Tae Hee is making with Ja Eun. Looks like he’s going to or is initiating the relationship. Actions speak louder than words Tae Hee, do something after crying and yelling at Mom, ok!? Protect her, just like Tae Bum’s advice.
But eventhough Tae Hee keeps on denying it, Tae Bum still give advise to Tae Hee, “Alright, alright, Mensa member Hwang Tae Hee. It’s not love. Alright? But if it still hurts there and angers you–go find her – go find her and no matter what protect her till she stops being mad.”
--------00000-------
Episode 25 :
Episode ini dimulai saat Jung Yeon Suk yang mencurigai Park
Bok Ja berusaha merebut tas biru milik wanita itu untuk melihat isinya.
“Berikan padaku! Aku harus melihatnya!” lanjut Jung Yeon Suk
seraya seraya merebut tas itu dari tangan Park Bok Ja dengan kasar.
“Kenapa kau harus melakukan ini?” seru Park Bok Ja, berusaha mempertahankan tasnya.
“Kenapa Ibu harus seperti ini?” ujar Ja Eun, berusaha menghentikan Ibu tirinya dan merebut kembali tas Park Bok Ja tapi sang ibu tiri lebih kuat, dia berhasil merebut tas biru milik Park Bok Ja dan menumpahkan semua isi tasnya keluar.
Semua barang yang ada di dalam tas Park Bok Ja berhamburan keluar, termasuk surat kontrak yang ada di dalam amplop coklat milik Ja Eun yang telah dicurinya. Semua orang melihat ke arah lantai dengan tatapan kosong dan pasrah, termasuk Tae Hee yang hanya mampu memandang surat kontrak di lantai rumah dengan penuh amarah dan kekecewaan, dia akhirnya melihat sendiri bagaimana sang Ibu memang mencuri surat kontrak itu dengan mata kepalanya, dan itu membuatnya sangat frustasi dan kecewa pada ibunya.
Namun ada satu orang yang hanya mampu memandang shock dengan
air mata yang bercucuran. Ya, dia adalah Baek Ja Eun, yang tidak menyangka sama
sekali bahwa dia akan ditikam dari belakang. Ditikam oleh seseorang yang sudah
dianggapnya seperti ibu kandungnya sendiri, yang dia sayangi sepenuh hati, yang
dia percayai sebagai wanita berhati lembut dan penuh kasih. Ternyata tak lebih
dari seorang pencuri. Ja Eun benar-benar merasa dikhianati.
“Apa ini? Apa ini kontraknya?” seru Jung Yeon Suk seraya mengambil amplop berwarna coklat itu dan membuka isinya.
“Aku menemukannya. Ini adalah kontraknya, Ja Eun-ah. Benarkan apa yang kukatakan? Sudah kukatakan padamu kalau wanita itu mencuri kontraknya! Aku benar, bukan?” seru Jung Yeon Suk dengan tertawa menang.
Ja Eun menatap Park Bok Ja dengan hati yang hancur berantakan dan air mata berlinang membasahi pipinya.
“Sekarang kau percaya apa yang kukatakan? Sekarang kau percaya bukan, kalau wanita itulah yang telah mencuri kontraknya? Aku akan menuntut kalian semua! Bagaimana bisa kalian melakukan semua ini? Bagaimana bisa kalian mencuri surat kontrak putri teman kalian? Tak cukup mencuri kontraknya, kalian juga mengusir anak malang itu dengan kejam, membuatnya mendirikan tenda di halaman untuk tidur dan menderita?” seru Jung Yeon Suk dengan berapi-api.
“Benarkah itu kau, Ahjumma? Sungguh? Apa kau yang mencurinya? Itu bukan kau kan, Ahjumma? Katakan bahwa bukan kau yang mencurinya!” pinta Ja Eun dengan memohon dan air mata berlinang.
“Ahjumma, bukan kau yang mencurinya. Tolong katakan itu!” pinta Ja Eun dengan memohon dan menangis terisak. Tae Hee, Nenek dan Hwang Chang Sik hanya mampu terdiam menunduk dengan raut wajah bersalah.
“Bila kau berkata bukan kau yang mencurinya, aku akan percaya padamu. Jadi kumohon katakan! Katakan kau tidak melakukannya! Cepat katakan! Ahjumma!” seru Ja Eun dengan putus asa, dia seolah masih sulit mempercayai kenyataan di depan matanya. Itu sebabnya Ja Eun bahkan memohon dengan berlinang air mata agar Park Bok Ja menyangkalnya.
Namun Park Bok Ja hanya memeluk dirinya sendiri sambil menangis dan tak mampu berkata-kata. Semua orang yang sana pun hanya mampu terdiam membisu tanpa mengatakan apa pun.
“Apa lagi yang perlu ditanyakan? Apakah kau masih tidak percaya walaupun kau sudah melihatnya dengan mata kepalamu sendiri? Kau berakhir ditipu seperti ini karena kau terlalu naif dan terlalu mudah tersentuh pada orang lain, hatimu terlalu lemah. Ayo pergi! Untuk hari ini karena kondisimu seperti ini, lebih baik kau pergi dari rumah ini,” seru Jung Yeon Suk yang masih berakting bagaikan pahlawan kesiangan yang peduli pada Ja Eun, padahal yang sebenarnya dia pedulikan hanyalah pertanian seharga 10 miliar won yang dia butuhkan untuk membayar hutang-hutangnya.
“Kalian semua dengarkan! Hari ini aku akan membawa Ja Eun
pergi, tapi aku pasti akan kembali lagi. Aku tidak akan pernah melepaskan
kalian! Bagaimana bisa ada manusia seperti kalian di dunia ini? Ayo pergi!”
lanjut Jung Yeon Suk, seraya menarik Ja Eun pergi.
Ja Eun sempat berhenti untuk sesaat dan menatap Park Bok Ja seolah mengharapkan wanita itu untuk menyangkal.
Namun pada akhirnya mereka semua hanya terdiam dan Ja Eun hanya bisa pergi dengan hati yang terluka dan air mata berlinang.
“Mari kita pergi! Cepat keluar!” seru Jung Yeon Suk seraya
menarik Ja Eun pergi dari rumah itu. Tae Hee menoleh ke arah Ja Eun pergi
dengan ekspresi terluka di wajahnya. Dia seolah ikut merasakan rasa sakit yang
Ja Eun rasakan sekarang, bagaimana sakitnya ditikam dari belakang.
Di luar rumah, Ja Eun yang masih tampak shock, berjalan dengan lesu bagaikan mayat hidup yang tak punya semangat hidup. Jung Yeon Suk segera mendorong Ja Eun masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya sedari tadi di luar rumah dan mengatakan kepada sopirnya untuk membawa mereka kembali ke Seoul.
Malam harinya, seluruh keluarga tampak sibuk membereskan
rumah yang tampak kacau balau berantakan bagaikan terkena badai tersebut dengan
hati berat. Tae Bum, yang sebelumnya mendapat telepon dari Tae Phil berjalan
masuk ke dalam rumah dan bertanya pada Tae Phil, “Apa masalahnya sangat serius?
Berapa orang yang dibawa wanita itu hingga membuat rumah porak poranda seperti
ini?” tanya Tae Bum dengan cemas, namun Tae Phil tidak mau menjawabnya dan
hanya memberikan tanda dengan tangannya agar tidak bertanya lagi.
Melihat Tae Phil tak mau menjawab pertanyaannya, Tae Bum menuju ke dapur dan bertanya pada Ibunya, “Eomma, aku pulang. Di mana ayah?” tanya Tae Bum, yang lagi-lagi tidak mendapat jawaban, namun sepertinya dia tahu harus mencari ke mana.
Namun alih-alih mencari sang ayah, Tae Bum lebih dulu memeriksa kondisi Neneknya, “Halmoni, Anda baik-baik saja? Anda tidak terluka, kan?” tanya Tae Bum dengan khawatir.
Nenek menggerutu dengan kesal seraya membereskan barang-barangnya dengan dibantu oleh Tae Shik, “Kau datang? Walaupun aku tidak terluka, namun aku tidak bisa menerimanya. Berapa kali lagi rumah kita harus jungkir balik seperti ini hanya karena masalah kontrak? Kemudian karena kontrak sialan ini, kita harus pergi meninggalkan rumah. Tapi itu lebih baik karena di masa depan, kita tidak akan mengalami masalah seperti ini lagi. Hatiku sakit sekali,” gerutu Nenek panjang lebar.
Akhirnya karena tidak mendapatkan jawaban dan hanya mendengar neneknya menggerutu, Tae Bum masuk ke dalam kamar Tae Hee untuk bertanya padanya. Tae Bum berpikir bahwa Tae Hee adalah orang yang paling rasional di rumah ini, jadi dia pasti bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Well, tapi Tae Bum salah. Kali ini, tak ada kata rasional untuk Tae Hee karena perasaannya sudah mengambil alih. Pertanyaan Tae Bum justru semakin memancing amarah di hati Tae Hee yang sedari tadi sudah dicobanya untuk ditahan agar tidak meledak keluar.
“Apa yang terjadi? Aku dengar Ibu tidak sempat mengembalikan kontrak itu pada Ja Eun hingga akhirnya tertangkap basah oleh Ja Eun sendiri. Apa itu benar? Bagaimana bisa Ibu tertangkap basah? Apa karena Ibu tiri Ja Eun masuk ke dalam kamar Ibu dan menggeledah lemari pakaiannya? Tapi bukankah Ibu mengajak Ja Eun jalan-jalan dan mentraktirnya makan agar bisa mengembalikan kontrak itu secara baik-baik, bukan? Ini membuatku frustasi. Katakan sesuatu padaku! Bagaimana bisa ibu berakhir tertangkap basah melakukan pencurian?” ujar Tae Bum memberikan serentetan pertanyaan kepada Tae Hee yang justru bagaikan menyiram minyak ke dalam api.
Hati Tae Hee saat ini bagaikan api yang membara, dan kau
justru menyiram api itu dengan minyak panas? Lihat bagaimana Tae Hee akan
meledak setelah ini. Aiigooo, Tae Bum-ah!
Alih-alih menjawab pertanyaan Tae Bum yang semakin membakar hatinya, Tae Hee justru bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamarnya dengan penuh amarah dalam dadanya. Sialnya tak ada Ja Eun yang bisa mendinginkan amarah di hati Tae Hee.
“YYYAAA! Tae Hee-yaa!” panggil Tae Bum yang tampak terkejut
melihat reaksi Tae Hee yang tidak dia duga sebelumnya. Tae Bum spontan
mengikuti Tae Hee keluar kamar untuk melihat apa yang dilakukan oleh adiknya
itu.
Tae Hee segera pergi mencari sang ibu dan melampiaskan kemarahannya dengan berteriak pada sang ibu, sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya dan membuat semua orang terkejut.
“Mengapa kau melakukannya, Ibu? Mengapa kau tidak segera mengembalikan kontrak itu pada Ja Eun dan masih menyimpannya bersamamu? Selama waktu itu, kau punya banyak sekali kesempatan untuk mengembalikan kontrak itu padanya, masih banyak waktu yang tersisa, kenapa tidak kau lakukan? Apa mungkin Ibu masih serakah ingin memiliki pertanian ini? Itu sebabnya sampai saat terakhir, Ibu tetap mengulur-ngulur waktu karena tidak rela mengembalikannya pada Ja Eun dan berakhir tertangkap basah seperti ini?” seru Tae Hee mengkonfrontasi Park Bok Ja yang hanya menatapnya tanpa kata.
Melihat ada keributan di luar, Hwang Chang Sik dan anggota keluarga lainnya segera berjalan keluar untuk melihat situasinya.
“Apa maksud ucapanmu itu? Kenapa kau sangat tidak sopan?” tegur Hwang Chang Sik pada Tae Hee.
“Kalian menghabiskan waktu yang lama untuk makan siang bersama, selama waktu itu, kenapa kau masih menyimpan kontraknya dan tidak segera mengembalikannya?” lanjut Hwang Tae Hee, tidak peduli teguran ayahnya.
“Anak nakal ini, kenapa tiba-tiba bersikap seperti ini? Siapa yang tidak marah dan sedih dengan kejadian ini?” seru Hwang Chang Sik sekali lagi.
Tae Bum dan Tae Phil hanya memandang ke arah Tae Hee dengan berbagai pertanyaan dalam otak mereka. Tae Hee yang pendiam dan introvert tiba-tiba meluapkan emosinya dengan berapi-api, ada apa gerangan? Apa yang membuatnya seperti ini? Mungkin seperti itulah yang dipikirkan oleh Tae Bum dan Tae Phil saat ini.
“Kenapa kau tidak segera mengembalikannya? Kenapa kau memberikannya luka yang tidak bisa kau sembuhkan?” Tae Hee mulai menaikkan nada suaranya dan berteriak pada Park Bok Ja yang hanya mampu menangis sedih dan penuh penyesalan.
“YYYAA! HWANG TAE HEE!” seru Hwang Chang Sik dengan nada yang juga tinggi. Nenek dan Tae Shik ikut keluar kamar saat mendengar keributan.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Nenek yang tampak bingung.
Namun Tae Hee tak peduli, dia tetap melampiaskan
kemarahannya pada sang Ibu dengan berteriak pada sang Ibu, “KENAPA IBU MENCURI
KONTRAK ITU? KENAPA?” bentak Tae Hee dengan penuh amarah dalam dadanya dan mata
menahan tangis sebelum kemudian melangkah keluar dari dalam rumah untuk
menenangkan dirinya.
“Tae Hee-ya! YYYAAA!” panggil Tae Sik namun tentu saja hanya diabaikan oleh Tae Hee yang tetap melangkah keluar dengan membanting pintu.
Park Bok Ja hanya mampu menangis penuh penyesalan, sementara yang lain hanya terdiam bingung melihat Tae Hee yang biasanya sangat tenang dalam menghadapi masalah kini meledak-ledak penuh emosi. Sepertinya hanya Tae Phil dan Tae Bum yang mencium sesuatu yang aneh di sini. Something fishy, but they are not sure yet.
“Kenapa Tae Hee tiba-tiba seperti itu?” tanya Nenek dengan bingung.
“Tae Bum, pergi dan bawa Tae Hee kembali. Apa yang salah dengan anak ini?” perintah Hwang Chang Sik.
“Biarkan dia sendiri. Dia pasti melakukan itu karena dia sangat marah dan kecewa padaku. Biasanya dia tidak punya temperamen seperti ini. Biarkan dia sendiri,” larang Park Bok Ja, menyuruh sang suami untuk membiarkan Tae Hee meredakan emosinya lebih dulu.
“Apa yang kau lakukan? Cepat bawa Tae Hee kembali!” Hwang Chang Sik tak peduli, dia tetap menyuruh Tae Bum membawa Tae Hee kembali.
“Ah, ya Ayah. Aku akan keluar dan bicara padanya,” sahut Tae Bum, tidak berjanji membawa Tae Hee kembali namun hanya berjanji untuk mengajaknya bicara dari hati ke hati.
Di luar rumah, Tae Hee tampak berusaha menjernihkan pikirannya dan meredakan emosinya, saat Tae Bum tiba-tiba keluar menyusulnya.
“Kenapa kau seperti itu? Itu tidak seperti dirimu. Dalam situasi seperti ini, apa kau pikir Ibu masih serakah mengenai peternakan? Bahkan bila kau sedang marah, bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Kau bukanlah seorang pria yang akan marah tanpa alasan. Apa mungkin kau menyukai Ja Eun? Itu sebabnya kau marah seperti ini?” tebak Tae Bum dengan sangat akurat.
Tae Hee hanya menatapnya tanpa kata, membuat Tae Bum semakin yakin kalau tebakannya benar, “Karena kau tidak menyangkalnya, sepertinya itu benar.”
“Tidak,” sahut Tae Hee segera menyangkal dengan cepat. Seperti anak kecil yang malu-malu karena tertangkap basah melakukan kesalahan jadi menyangkal dengan cepat untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.
“Tidak? Bisakah kau bersumpah?” tantang Tae Bum dengan tatapan yang mengatakan seperti, “Aku bisa melihatnya dengan jelas, hanya kau saja yang tidak menyadarinya, bodoh!”
“Aku bilang tidak ya tidak!” Seru Tae Hee membela diri, dengan nada tinggi dan ekspesi ingin menghajar orang. Tae Hee masih dalam tahap penyangkalan. Dia tidak tahu apa itu cinta jadi dia tidak tahu jika apa yang dia rasakan pada Ja Eun saat ini adalah cinta.
“Lalu kenapa kau marah seperti ini? Tadi kau juga marah seperti itu pada Ibu,” ujar Tae Bum mencoba menyadarkan adiknya mengenai perasaannya sendiri.
“Bagaimana mungkin aku tidak marah? Lihatlah apa yang dilakukan ibu pada Baek Ja Eun! Dengan hati seperti apa anak itu pergi?” Tae Hee berteriak pada Tae Bum dengan penuh emosi, amarahnya masih meledak-ledak saat ini. Dia merasa hatinya ikut terluka melihat Ja Eun terluka seperti ini.
“Sepertinya benar kalau kau menyukainya,” ujar Tae Bum, mengungkapkan fakta yang dia lihat.
(Actions speak louder than words, Tae Hee-ya! Bahkan Tae Bum pun bisa melihat kalau kau menyukai Ja Eun, tidak peduli berapa banyak dan betapa keras kau menyangkalnya >_< Akui saja kenapa? Gak usah malu!)
“Sudah kubilang tidak!” sangkal Tae Hee untuk yang ketiga kalinya.
“Aiggoo… Sepertinya kau akan menghajarku jika aku terus mendesakmu seperti ini. Kau dulu pernah berkata padaku, ‘apa kau melakukan ini karena aku bukan Tae Phil? Atau aku memperlakukan semua orang seperti itu?’ Sekarang aku ingin mengembalikan kalimat ini padamu. Saat kau menolak untuk membicarakan isi hatimu, apa kau tahu betapa sedihnya aku? Apa kau melakukan ini, menolak untuk membicarakan isi hatimu padaku karena kau merasa kalau aku bukan kakak kandungmu, jadi kau tak percaya padaku?” ujar Tae Bum, tepat pada sasaran.
Tae Hee segera menatap Tae Bum dengan raut wajah bersalah dan nada suaranya kembali normal, “Hyung, bukan seperti itu.” ujar Tae Hee lirih, tampaknya emosi Tae Hee sudah mulai mereda.
“Aku hanya merasa sangat sakit. Aku merasa sakit di sini. Aku marah karena aku merasa bersalah dan juga sangat sedih untuknya,” lanjut Tae Hee dengan ekspresi wajah terluka seraya memegang dadanya dengan mata menahan tangis.
“Itu artinya kau menyukainya, bodoh!” ujar Tae Bum, mencoba menyadarkan Tae Hee akan perasaannya sendiri.
“Kenapa kau harus melakukan ini?” seru Park Bok Ja, berusaha mempertahankan tasnya.
“Kenapa Ibu harus seperti ini?” ujar Ja Eun, berusaha menghentikan Ibu tirinya dan merebut kembali tas Park Bok Ja tapi sang ibu tiri lebih kuat, dia berhasil merebut tas biru milik Park Bok Ja dan menumpahkan semua isi tasnya keluar.
Semua barang yang ada di dalam tas Park Bok Ja berhamburan keluar, termasuk surat kontrak yang ada di dalam amplop coklat milik Ja Eun yang telah dicurinya. Semua orang melihat ke arah lantai dengan tatapan kosong dan pasrah, termasuk Tae Hee yang hanya mampu memandang surat kontrak di lantai rumah dengan penuh amarah dan kekecewaan, dia akhirnya melihat sendiri bagaimana sang Ibu memang mencuri surat kontrak itu dengan mata kepalanya, dan itu membuatnya sangat frustasi dan kecewa pada ibunya.
“Apa ini? Apa ini kontraknya?” seru Jung Yeon Suk seraya mengambil amplop berwarna coklat itu dan membuka isinya.
“Aku menemukannya. Ini adalah kontraknya, Ja Eun-ah. Benarkan apa yang kukatakan? Sudah kukatakan padamu kalau wanita itu mencuri kontraknya! Aku benar, bukan?” seru Jung Yeon Suk dengan tertawa menang.
Ja Eun menatap Park Bok Ja dengan hati yang hancur berantakan dan air mata berlinang membasahi pipinya.
“Sekarang kau percaya apa yang kukatakan? Sekarang kau percaya bukan, kalau wanita itulah yang telah mencuri kontraknya? Aku akan menuntut kalian semua! Bagaimana bisa kalian melakukan semua ini? Bagaimana bisa kalian mencuri surat kontrak putri teman kalian? Tak cukup mencuri kontraknya, kalian juga mengusir anak malang itu dengan kejam, membuatnya mendirikan tenda di halaman untuk tidur dan menderita?” seru Jung Yeon Suk dengan berapi-api.
“Benarkah itu kau, Ahjumma? Sungguh? Apa kau yang mencurinya? Itu bukan kau kan, Ahjumma? Katakan bahwa bukan kau yang mencurinya!” pinta Ja Eun dengan memohon dan air mata berlinang.
“Ahjumma, bukan kau yang mencurinya. Tolong katakan itu!” pinta Ja Eun dengan memohon dan menangis terisak. Tae Hee, Nenek dan Hwang Chang Sik hanya mampu terdiam menunduk dengan raut wajah bersalah.
“Bila kau berkata bukan kau yang mencurinya, aku akan percaya padamu. Jadi kumohon katakan! Katakan kau tidak melakukannya! Cepat katakan! Ahjumma!” seru Ja Eun dengan putus asa, dia seolah masih sulit mempercayai kenyataan di depan matanya. Itu sebabnya Ja Eun bahkan memohon dengan berlinang air mata agar Park Bok Ja menyangkalnya.
Namun Park Bok Ja hanya memeluk dirinya sendiri sambil menangis dan tak mampu berkata-kata. Semua orang yang sana pun hanya mampu terdiam membisu tanpa mengatakan apa pun.
“Apa lagi yang perlu ditanyakan? Apakah kau masih tidak percaya walaupun kau sudah melihatnya dengan mata kepalamu sendiri? Kau berakhir ditipu seperti ini karena kau terlalu naif dan terlalu mudah tersentuh pada orang lain, hatimu terlalu lemah. Ayo pergi! Untuk hari ini karena kondisimu seperti ini, lebih baik kau pergi dari rumah ini,” seru Jung Yeon Suk yang masih berakting bagaikan pahlawan kesiangan yang peduli pada Ja Eun, padahal yang sebenarnya dia pedulikan hanyalah pertanian seharga 10 miliar won yang dia butuhkan untuk membayar hutang-hutangnya.
Ja Eun sempat berhenti untuk sesaat dan menatap Park Bok Ja seolah mengharapkan wanita itu untuk menyangkal.
Namun pada akhirnya mereka semua hanya terdiam dan Ja Eun hanya bisa pergi dengan hati yang terluka dan air mata berlinang.
Di luar rumah, Ja Eun yang masih tampak shock, berjalan dengan lesu bagaikan mayat hidup yang tak punya semangat hidup. Jung Yeon Suk segera mendorong Ja Eun masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya sedari tadi di luar rumah dan mengatakan kepada sopirnya untuk membawa mereka kembali ke Seoul.
Melihat Tae Phil tak mau menjawab pertanyaannya, Tae Bum menuju ke dapur dan bertanya pada Ibunya, “Eomma, aku pulang. Di mana ayah?” tanya Tae Bum, yang lagi-lagi tidak mendapat jawaban, namun sepertinya dia tahu harus mencari ke mana.
Namun alih-alih mencari sang ayah, Tae Bum lebih dulu memeriksa kondisi Neneknya, “Halmoni, Anda baik-baik saja? Anda tidak terluka, kan?” tanya Tae Bum dengan khawatir.
Nenek menggerutu dengan kesal seraya membereskan barang-barangnya dengan dibantu oleh Tae Shik, “Kau datang? Walaupun aku tidak terluka, namun aku tidak bisa menerimanya. Berapa kali lagi rumah kita harus jungkir balik seperti ini hanya karena masalah kontrak? Kemudian karena kontrak sialan ini, kita harus pergi meninggalkan rumah. Tapi itu lebih baik karena di masa depan, kita tidak akan mengalami masalah seperti ini lagi. Hatiku sakit sekali,” gerutu Nenek panjang lebar.
Akhirnya karena tidak mendapatkan jawaban dan hanya mendengar neneknya menggerutu, Tae Bum masuk ke dalam kamar Tae Hee untuk bertanya padanya. Tae Bum berpikir bahwa Tae Hee adalah orang yang paling rasional di rumah ini, jadi dia pasti bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Well, tapi Tae Bum salah. Kali ini, tak ada kata rasional untuk Tae Hee karena perasaannya sudah mengambil alih. Pertanyaan Tae Bum justru semakin memancing amarah di hati Tae Hee yang sedari tadi sudah dicobanya untuk ditahan agar tidak meledak keluar.
“Apa yang terjadi? Aku dengar Ibu tidak sempat mengembalikan kontrak itu pada Ja Eun hingga akhirnya tertangkap basah oleh Ja Eun sendiri. Apa itu benar? Bagaimana bisa Ibu tertangkap basah? Apa karena Ibu tiri Ja Eun masuk ke dalam kamar Ibu dan menggeledah lemari pakaiannya? Tapi bukankah Ibu mengajak Ja Eun jalan-jalan dan mentraktirnya makan agar bisa mengembalikan kontrak itu secara baik-baik, bukan? Ini membuatku frustasi. Katakan sesuatu padaku! Bagaimana bisa ibu berakhir tertangkap basah melakukan pencurian?” ujar Tae Bum memberikan serentetan pertanyaan kepada Tae Hee yang justru bagaikan menyiram minyak ke dalam api.
Alih-alih menjawab pertanyaan Tae Bum yang semakin membakar hatinya, Tae Hee justru bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamarnya dengan penuh amarah dalam dadanya. Sialnya tak ada Ja Eun yang bisa mendinginkan amarah di hati Tae Hee.
Tae Hee segera pergi mencari sang ibu dan melampiaskan kemarahannya dengan berteriak pada sang ibu, sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya dan membuat semua orang terkejut.
“Mengapa kau melakukannya, Ibu? Mengapa kau tidak segera mengembalikan kontrak itu pada Ja Eun dan masih menyimpannya bersamamu? Selama waktu itu, kau punya banyak sekali kesempatan untuk mengembalikan kontrak itu padanya, masih banyak waktu yang tersisa, kenapa tidak kau lakukan? Apa mungkin Ibu masih serakah ingin memiliki pertanian ini? Itu sebabnya sampai saat terakhir, Ibu tetap mengulur-ngulur waktu karena tidak rela mengembalikannya pada Ja Eun dan berakhir tertangkap basah seperti ini?” seru Tae Hee mengkonfrontasi Park Bok Ja yang hanya menatapnya tanpa kata.
Melihat ada keributan di luar, Hwang Chang Sik dan anggota keluarga lainnya segera berjalan keluar untuk melihat situasinya.
“Apa maksud ucapanmu itu? Kenapa kau sangat tidak sopan?” tegur Hwang Chang Sik pada Tae Hee.
“Kalian menghabiskan waktu yang lama untuk makan siang bersama, selama waktu itu, kenapa kau masih menyimpan kontraknya dan tidak segera mengembalikannya?” lanjut Hwang Tae Hee, tidak peduli teguran ayahnya.
“Anak nakal ini, kenapa tiba-tiba bersikap seperti ini? Siapa yang tidak marah dan sedih dengan kejadian ini?” seru Hwang Chang Sik sekali lagi.
Tae Bum dan Tae Phil hanya memandang ke arah Tae Hee dengan berbagai pertanyaan dalam otak mereka. Tae Hee yang pendiam dan introvert tiba-tiba meluapkan emosinya dengan berapi-api, ada apa gerangan? Apa yang membuatnya seperti ini? Mungkin seperti itulah yang dipikirkan oleh Tae Bum dan Tae Phil saat ini.
“Kenapa kau tidak segera mengembalikannya? Kenapa kau memberikannya luka yang tidak bisa kau sembuhkan?” Tae Hee mulai menaikkan nada suaranya dan berteriak pada Park Bok Ja yang hanya mampu menangis sedih dan penuh penyesalan.
“YYYAA! HWANG TAE HEE!” seru Hwang Chang Sik dengan nada yang juga tinggi. Nenek dan Tae Shik ikut keluar kamar saat mendengar keributan.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Nenek yang tampak bingung.
“Tae Hee-ya! YYYAAA!” panggil Tae Sik namun tentu saja hanya diabaikan oleh Tae Hee yang tetap melangkah keluar dengan membanting pintu.
Park Bok Ja hanya mampu menangis penuh penyesalan, sementara yang lain hanya terdiam bingung melihat Tae Hee yang biasanya sangat tenang dalam menghadapi masalah kini meledak-ledak penuh emosi. Sepertinya hanya Tae Phil dan Tae Bum yang mencium sesuatu yang aneh di sini. Something fishy, but they are not sure yet.
“Kenapa Tae Hee tiba-tiba seperti itu?” tanya Nenek dengan bingung.
“Tae Bum, pergi dan bawa Tae Hee kembali. Apa yang salah dengan anak ini?” perintah Hwang Chang Sik.
“Biarkan dia sendiri. Dia pasti melakukan itu karena dia sangat marah dan kecewa padaku. Biasanya dia tidak punya temperamen seperti ini. Biarkan dia sendiri,” larang Park Bok Ja, menyuruh sang suami untuk membiarkan Tae Hee meredakan emosinya lebih dulu.
“Apa yang kau lakukan? Cepat bawa Tae Hee kembali!” Hwang Chang Sik tak peduli, dia tetap menyuruh Tae Bum membawa Tae Hee kembali.
“Ah, ya Ayah. Aku akan keluar dan bicara padanya,” sahut Tae Bum, tidak berjanji membawa Tae Hee kembali namun hanya berjanji untuk mengajaknya bicara dari hati ke hati.
Di luar rumah, Tae Hee tampak berusaha menjernihkan pikirannya dan meredakan emosinya, saat Tae Bum tiba-tiba keluar menyusulnya.
“Kenapa kau seperti itu? Itu tidak seperti dirimu. Dalam situasi seperti ini, apa kau pikir Ibu masih serakah mengenai peternakan? Bahkan bila kau sedang marah, bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Kau bukanlah seorang pria yang akan marah tanpa alasan. Apa mungkin kau menyukai Ja Eun? Itu sebabnya kau marah seperti ini?” tebak Tae Bum dengan sangat akurat.
Tae Hee hanya menatapnya tanpa kata, membuat Tae Bum semakin yakin kalau tebakannya benar, “Karena kau tidak menyangkalnya, sepertinya itu benar.”
“Tidak,” sahut Tae Hee segera menyangkal dengan cepat. Seperti anak kecil yang malu-malu karena tertangkap basah melakukan kesalahan jadi menyangkal dengan cepat untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.
“Tidak? Bisakah kau bersumpah?” tantang Tae Bum dengan tatapan yang mengatakan seperti, “Aku bisa melihatnya dengan jelas, hanya kau saja yang tidak menyadarinya, bodoh!”
“Aku bilang tidak ya tidak!” Seru Tae Hee membela diri, dengan nada tinggi dan ekspesi ingin menghajar orang. Tae Hee masih dalam tahap penyangkalan. Dia tidak tahu apa itu cinta jadi dia tidak tahu jika apa yang dia rasakan pada Ja Eun saat ini adalah cinta.
“Lalu kenapa kau marah seperti ini? Tadi kau juga marah seperti itu pada Ibu,” ujar Tae Bum mencoba menyadarkan adiknya mengenai perasaannya sendiri.
“Bagaimana mungkin aku tidak marah? Lihatlah apa yang dilakukan ibu pada Baek Ja Eun! Dengan hati seperti apa anak itu pergi?” Tae Hee berteriak pada Tae Bum dengan penuh emosi, amarahnya masih meledak-ledak saat ini. Dia merasa hatinya ikut terluka melihat Ja Eun terluka seperti ini.
“Sepertinya benar kalau kau menyukainya,” ujar Tae Bum, mengungkapkan fakta yang dia lihat.
(Actions speak louder than words, Tae Hee-ya! Bahkan Tae Bum pun bisa melihat kalau kau menyukai Ja Eun, tidak peduli berapa banyak dan betapa keras kau menyangkalnya >_< Akui saja kenapa? Gak usah malu!)
“Sudah kubilang tidak!” sangkal Tae Hee untuk yang ketiga kalinya.
“Aiggoo… Sepertinya kau akan menghajarku jika aku terus mendesakmu seperti ini. Kau dulu pernah berkata padaku, ‘apa kau melakukan ini karena aku bukan Tae Phil? Atau aku memperlakukan semua orang seperti itu?’ Sekarang aku ingin mengembalikan kalimat ini padamu. Saat kau menolak untuk membicarakan isi hatimu, apa kau tahu betapa sedihnya aku? Apa kau melakukan ini, menolak untuk membicarakan isi hatimu padaku karena kau merasa kalau aku bukan kakak kandungmu, jadi kau tak percaya padaku?” ujar Tae Bum, tepat pada sasaran.
Tae Hee segera menatap Tae Bum dengan raut wajah bersalah dan nada suaranya kembali normal, “Hyung, bukan seperti itu.” ujar Tae Hee lirih, tampaknya emosi Tae Hee sudah mulai mereda.
“Aku hanya merasa sangat sakit. Aku merasa sakit di sini. Aku marah karena aku merasa bersalah dan juga sangat sedih untuknya,” lanjut Tae Hee dengan ekspresi wajah terluka seraya memegang dadanya dengan mata menahan tangis.
“Itu artinya kau menyukainya, bodoh!” ujar Tae Bum, mencoba menyadarkan Tae Hee akan perasaannya sendiri.
“Aku bilang tidak. Bukan seperti itu,” sangkal Tae Hee untuk yang keempat kalinya, namun kali ini tidak lagi dengan nada tinggi berapi-api, sepertinya dia sudah mulai merasa tidak yakin dengan jawaban “tidak” yang dia berikan saat ini.
“Apa maksudmu dengan tidak?” sindir Tae Bum dengan tersenyum penuh arti kepada adiknya yang bodoh tentang perasaan ini.
“Bukan seperti itu. Aku anggota Mensa, Hwang Tae Hee, mana mungkin aku tidak mengetahui perasaanku sendiri?” sangkal Tae Hee untuk yang kelima kalinya, dengan suara lemah, seolah tak ada keyakinan di sana. Seolah Tae Hee sendiripun tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. Dan Tae Bum hanya tertawa mendengar penyangkalan Tae Hee yang terdengar semakin lemah kali ini.
(Yayaya, teruslah hidup dalam penyangkalan, Inspektur Hwang. Kita lihat saja berapa lama kau bisa terus menyangkalnya? Teruslah menyangkal sampai Ja Eun direbut orang, baru deh mulai sadar dan ngejar-ngejar >_< Remember, your love rival is coming!)
“Baiklah, baiklah. Anggota Mensa, Hwang Tae Hee, itu bukanlah cinta! Sudah puas?” ujar Tae Bum dengan nada dan tawa meledek.
“Tapi jika itu masih menyakitimu dan membuatmu sangat marah, pergilah cari dia! Carilah dia dan tidak peduli apa pun yang terjadi, tetaplah melindunginya hingga dia berhenti marah. Lindungi dia sampai kapan pun,” saran Tae Bum dengan bijaksana dan pengertian.
Dia seolah mengerti bahwa Tae Hee tidak memahami perasaannya sendiri, jadi daripada terus mendesaknya mengaku dan berujung penyangkalan untuk yang ketujuh kalinya lagi, Tae Bum memberinya saran sebagai seorang kakak dan sebagai seorang pria yang lebih berpengalaman dalam cinta, tentang bagaimana seorang pria harus bertindak jika gadis yang dicintainya sedang marah saat ini.
Tae Hee tampak terdiam dan memikirkan kata-kata Tae Bum dengan sangat serius kali ini. Setelah memberikannya saran, Tae Bum menepuk pundak Tae Hee dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Tae Hee untuk mencari solusinya sendiri.
Di penginapan kecil Jung Yeon Suk, Ja Eun tampak masih dalam mode shock dan terduduk bersandar di jendela tanpa bicara sedikitpun. Jung Yeon Suk datang dengan membawakan makan malam untuk mereka dan mengoceh panjang lebar untuk menyadarkan Ja Eun dari mode melamunnya.
“Ayo makan malam. Jika aku tahu kau akan datang, aku akan pergi belanja. Tapi karena sekarang sudah malam, jadi aku hanya memasakkan sesuatu yang sederhana. Makanlah sedikit. Besok pagi, aku akan pergi belanja. Kau ingin makan apa? Apakah kau ingin makan gurita pedas?” ujar Jung Yeon Suk, berusaha membujuk Ja Eun untuk makan. Namun Ja Eun masih dalam mode shock, tidak memberikan respon apa pun. Dia tampak bagaikan mayat hidup.
“Berapa lama kau tinggal di dalam tenda di halaman rumah itu? Para tetangga mengatakan kalau wanita itu bahkan menyuruhmu bekerja di pertanian, apa itu benar? Apa kau benar-benar merawat bebek dan bekerja di Perkebunan pir? Bagaimana kau bisa berakhir bekerja seperti itu mengingat selama ini kau selalu dimanjakan oleh ayahmu?” seru Jung Yeon Suk, berusaha mengambil hati Ja Eun.
“Mari kita jual pertanian itu. Kau pasti sangat muak dan lelah dengan pertanian itu sekarang, kan? Aku akan mengurus penjualan tanah pertanian itu jadi kau tidak perlu khawatir soal apa pun. Karena hutang-hutang ayahmu, kau pasti tahu kalau semua harta yang tertulis atas namanya akan disita, kan? Itulah sebabnya, satu-satunya solusi untuk pertanian itu adalah dengan menjualnya,” lanjut Jung Yeon Suk, masih berusaha mempengaruhi Ja Eun dan memprovokasi gadis itu agar semakin membenci keluarga Hwang, dan akhirnya menjual pertanian itu. Namun Ja Eun masih terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun.
(Tujuan akhir Jung Yeon Suk tentu saja hanya satu : menjual pertanian itu kemudian membawa lari uang hasil penjualan itu, tanpa menyisakan untuk Ja Eun sepeser pun. Sama seperti dulu, dia akan kabur meninggalkan Ja Eun dengan membawa semua uang hasil pertanian itu. So Ja Eun, don’t be stupid, okay? Jangan masuk dalam bujuk rayu emak tirimu yang hanya peduli pada uang! Ke mana dia saat kamu menderita? Saat kamu ditangkap polisi, Jung Yeon Suk bahkan menolak mengakuimu, bukan? Hwang Tae Hee yang pada akhirnya membebaskanmu)
Di pertanian, Hwang Tae Hee tampak resah dan gelisah. Dia memandang sedih gantungan kunci bebek yang diberikan Ja Eun untuknya dan mencoba menelpon gadis itu namun sialnya ponselnya tidak aktif dan itu membuatnya semakin cemas.
Tae Hee berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia mencoba mengingat-ingat kembali semua kenangannya bersama gadis itu yang mungkin bisa memberinya sebuah petunjuk, hingga dia teringat saat tak sengaja bertemu Ja Eun di depan pintu sebuah penginapan kecil saat dia sedang menyelidiki sesuatu (EP 21).
“Aku bertemu dengan seseorang... Sebenarnya aku menemui ibu tiriku di sana,” kenang Tae Hee pada ucapan Ja Eun siang tadi.
Ekspresi Tae Hee menampakkan kelegaan, kemudian dia segera menyambar mantelnya dan berlari keluar rumah. Tae Hee segera mendatangi kantor penginapan itu untuk menanyakan di mana wanita bernama Jung Yeon Suk tinggal saat ini.
Dari keterangan pemilik penginapan itu, Tae Hee mendapatkan informasi kalau Nyonya Jung Yeon Suk tinggal di kamar nomor 306 dan tadi siang, dia kembali kemari bersama seorang gadis muda.
Merasa gelisah, tidak tenang dan cemas dengan keadaan Ja Eun, Tae Hee akhirnya memutuskan untuk diam-diam menjaga Ja Eun di luar penginapan itu hingga tanpa sadar dia tertidur di dalam mobilnya hingga malam berganti pagi. Tae Hee bangun keesokan harinya dan menyadari saat hari sudah pergi, dia pun meninggalkan penginapan itu untuk kembali bekerja.
(Kau diam-diam menjaganya semalaman, dan kau masih menyangkal kalau kau punya rasa padanya, Tae Hee? Nonsense! Doesn’t have feelings for her your ass!🙂)
Pagi harinya, Hwang Chang Sik mencari Ja Eun di kampusnya. Tapi dia tidak menemukan Ja Eun di mana-mana, akhirnya Hwang Chang Sik bertanya kepada teman-teman Ja Eun, namun kedua sahabatnya, Nam Suk dan Ah Ra berkata kalau hari ini Ja Eun tidak datang ke kampus dan ponselnya pun tak bisa dihubungi.
Tak punya pilihan, Hwang Chang Sik pun menelpon Tae Hee. Dengan harapan bahwa pihak kepolisian pasti bisa dengan mudah menemukan tempat tinggal seseorang, Chang Sik menelpon Tae Hee yang saat itu sedang sibuk menginterogasi seorang tersangka.
“Tae Hee-ya, Ayah ada di kampus Ja Eun sekarang, tapi dia tidak datang hari ini. Ponselnya juga tidak aktif. Jadi bisakah kau bantu Ayah menemukan alamat ibu tiri Ja Eun?” ujar Hwang Chang Sik dari seberang saluran.
“Tapi rasanya sangat sulit untuk meninggalkan kantor sekarang,” lanjut Tae Hee dengan tak enak hati.
“Cukup beritahu Ayah alamatnya dan Ayah akan ke sana sendiri. Apakah ada cara untuk mengetahui bahwa Ja Eun benar-benar ada di sana?” ujar Hwang Chang Sik.
“Alamatnya ada di...” Tae Hee baru saja akan menyebutkan sebuah Alamat namun tersangka yang dia interogasi memintanya untuk diam, jadi akhirnya Tae Hee memutuskan untuk mengantar ayahnya ke sana,” Ayah, aku akan mengantar Ayah ke sana. Aku akan segera menjemput Ayah di kampus Ja Eun.”
Tae Hee kemudian mengambil kertas di mejanya dan memberikannya pada Seo Dong Min, “Dong Min-ah, aku akan keluar sebentar. Tolong bantu aku mengurusnya sebentar,” pinta Tae Hee pada Dong Min seraya menunjuk tersangka yang sebelumnya dia interogasi.
Tak lama kemudian, Tae Hee sudah tiba bersama ayahnya di depan penginapan tempat Jung Yeon Suk tinggal sementara waktu.
“Kau bilang Ja Eun ada di sini?” tanya Hwang Chang Sik ragu, melihat tempatnya yang sangat kecil.
“Ya. Jung Yeon Suk-ssi tinggal di sini,” sahut Tae Hee dengan yakin, karena memang dia sudah menyelidikinya kemarin malam.
“Untunglah kau ada di sini atau aku tidak akan bisa menemukan Ja Eun sendiri. Saat aku bertanya pada pihak kantornya, mereka akan memberitahuku dia tinggal di mana, kan?" tanya Hwang Chang Sik memastikan.
“Kamar 306, ayah.” Sahut Tae Hee yang sudah tahu lebih dulu seraya memandang ke arah jendela kamar Ja Eun.
Untung aja Tae Hee seorang polisi, jadi ayahnya gak curiga sedikitpun kenapa Tae Hee bisa mengetahui semua tentang Ja Eun, andaikan Tae Hee bukan polisi, Hwang Chang Sik pasti curiga kenapa putranya bisa tahu sedetil itu. Hwang Chang Sik pasti curiga kalau putranya dan Ja Eun memiliki hubungan khusus atau setidaknya ada rasa (walaupun itu memang benar).
“Ayah, haruskah aku menemani Ayah ke sana?” tanya Tae Hee lagi, seolah berharap sang ayah berkata, “Ya” agar dia bisa melihat Ja Eun juga.
Namun sayangnya Hwang Chang Sik berkata, “Tidak perlu. Ayah akan menemuinya sendiri. Ayah akan segera kembali,” sahut Hwang Chang Sik seraya turun dari mobil Tae Hee dan masuk ke dalam penginapan itu dan meninggalkan Tae Hee di dalam mobil.
Ja Eun masih duduk dengan melamun seolah tak ada harapan hidup saat Hwang Chang Sik mengetuk pintu. Ja Eun yang mendengarnya segera membuka pintu.
“Ja Eun-ah, apa kau sudah makan? Apa kau tidur dengan nyenyak? Ahjussi dan Ahjumma telah melakukan kesalahan besar padamu, kami memang pantas mati. Tidak peduli apa pun yang akan kukatakan, aku tahu kau tidak akan semudah itu untuk memaafkan. Tapi Ahjumma sebenarnya ingin mengembalikan kontraknya padamu, dia benar-benar berniat mengembalikan pertanian itu padamu. Itu sebabnya Ahjumma mengajakmu keluar berjalan-jalan dan mentraktirmu makan, dia sudah membawa surat kontrak itu bersamanya dan Bersiap untuk mengembalikannya padamu. Tapi ternyata semuanya malah berakhir seperti ini. Ahjussi hanya ingin kau tahu kalau setidaknya, Ahjumma tidak ingin menipumu hingga akhir,” ujar Hwang Chang Sik menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
“Jadi, apa yang akan berubah dengan Anda mengatakan itu? Itu tidak akan mengubah fakta kalau Ahjumma telah mencuri surat kontrakku, menendangku keluar dan menipuku selama ini. Apakah itu semua akan berubah dan hilang begitu saja seolah tak pernah terjadi apa-apa?” sindir Ja Eun dengan dingin dan datar. Kemarahan itu masih tampak dalam wajahnya. Setelah mengatakan itu, Ja Eun menutup pintu dan membantingnya dengan keras.
“Ja Eun-ah, tolong buka pintunya. Kita bahkan belum membicarakan tentang pertanian. Ja Eun-ah, aku akan melakukan apa yang kau inginkan dengan pertanian itu. Jika kau ingin aku menjualnya, aku akan menjualnya,” panggil Hwang Chang Sik dari luar pintu.
Saat itulah Jung Yeon Suk, ibu tiri Ja Eun tiba di sana, “Apa yang kau lakukan di sini? Beraninya kau datang kemari? Apa kau pikir Ja Eun ingin melihat wajahmu atau wajah keluargamu sekarang?” ujar Jung Yeon Suk dengan sok perhatian.
“Tapi karena kau sudah datang kemari, mari kita bicarakan sekalian soal pertanian itu...” kalimat Jung Yeon Suk terpotong oleh Hwang Chang Sik.
“Seperti yang kukatakan terakhir kali, aku tidak ingin membicarakan masalah pertanian denganmu!” potong Hwang Chang Sik dengan tegas.
“Aku adalah wali Ja Eun. Lagipula Ja Eun menyerahkan masalah pertanian itu padaku jadi...” seru Jung Yeon Suk tak terima, namun Hwang Chang Sik segera pergi dari sana dan mengabaikannya begitu saja.
(Yeeee, ngarang! Kapan Ja Eun menyerahkan masalah pertanian padamu? Ja Eun masih bengong tuh waktu kami minta ngurus, dia masih “state of denial” alias masih shock mode on >_<)
“Hei, dengarkan dulu!” teriak Jung Yeon Suk tapi Hwang Chang Sik seolah tuli dan tetap melanjutkan langkahnya.
Saat Hwang Chang Sik keluar, Tae Hee sudah menunggunya di depan penginapan.
“Apa Ayah tidak bertemu dengannya? Apa dia tak ada di sana?” tanya Tae Hee ingin tahu.
“Aku bertemu dengannya dan dia memang ada di sini. Mari kita pergi. Kita bicarakan dalam perjalanan pulang saja,” sahut Hwang Chang Sik, namun ternyata Cha Su Young menelponnya dan Hwang Chang Sik tak jadi membicarakan masalah Ja Eun karena mengangkat telepon dari menantu keduanya.
Saat ayahnya berbicara di telepon, Tae Hee kembali memandang jendela kamar Ja Eun dengan tatapan kerinduan.
Setelah mengantar ayahnya pergi menemui Cha Su Young, Tae Hee kembali ke kantor polisi untuk makan siang di kantin, saat tiba-tiba saja Kim Jae Ha (the second male lead) datang dan mengganggunya.
“Apa kau mengetahui lokasi gudangnya? Oke, kita akan pergi mengintai sepuluh menit lagi, aku sedang makan siang saat ini,” ujar Tae Hee pada Dong Min melalui ponselnya.
Tae Hee melanjutkan kembali makan siangnya setelah sambungan telepon itu dimatikan, saat itulah Kim Jae Ha tiba-tiba duduk di depannya dan mengajaknya mengobrol seolah-olah mereka sangat akrab, “Kau pasti sangat menyukai Oseng babi pedas, Inspektur Hwang. Apa kau mau milikku juga?” ujar Kim Jae Ha tiba-tiba.
Tae Hee mengacuhkannya dan tetap makan.
“Ah, jadi seperti ini ya kantinnya polisi? Apa kau sering makan di sini?” ujar Kim Jae Ha lagi, sok kenal sok dekat.
“Begini...” Tae Hee mulai merasa terganggu dan ingin mengatakan sesuatu namun pria itu memotongnya, “Kim Jae Ha Imnida. Kau tidak lupa, kan? Aku adalah Produser Good Film. Kau bisa memanggilku Kim PD-nim,” ujar Kim Jae Ha menginterupsi ucapan Tae Hee.
“Ya, Kim Jae Ha-ssi, aku akan mengenalkanmu ke rekan polisi yang lain, mungkin lebih baik jika kau berkonsultasi dengan orang itu,” ujar Tae Hee tampak kesal karena makan siangnya terganggu.
“Tapi aku hanya ingin bicara denganmu, Inspektur Hwang.” Sahut Kim Jae Ha dengan senyuman ‘menakutkan’.
“Apakah ada alasan khusus kenapa harus aku?” tanya Tae Hee tampak tak nyaman.
“Karena aku menyukaimu,” jawab Kim Jae Ha dengan ambigu, membuat Tae Hee merinding sendiri mendengarnya. (Kim Jae Ha gak homo kok, tenang aja. Tar juga dia deketnya ke Ja Eun ^^)
“Apa kau mengenalku?” tanya Tae Hee penasaran.
“Aku ingin lebih mengenalmu. Aku sangat menyukai pria tampan,” ujar Kim Jae Ha dengan wajah tanpa dosa, tanpa tahu kalimatnya yang ambigu membuat Tae Hee bergidik ngeri mendengarnya. (Ya kan karena ngira nih cowok homo, makanya Tae Hee takut sendiri hahaha ^^)
Tae Hee yang terkejut segera berdiri dan menjauh pergi saat Kim Jae Ha baru saja mulai makan.
“Hwang Gyeonghwi-nim, apa jadwalmu berikutnya? Apa kau akan pergi ke suatu tempat untuk menyelidiki sesuatu atau punya rencana mengintai penjahat?” seru Kim Jae Ha tak tahu malu namun tentu saja Tae Hee mengacuhkannya.
Beberapa saat kemudian, entah bagaimana caranya, Kim Jae Ha ikut dalam pengintaian yang dilakukan oleh Tae Hee dan Dong Min.
(Sejujurnya ini sedikit tidak masuk akal, bagaimana bisa seorang warga sipil diijinkan dalam pengintaian yang dilakukan oleh pihak kepolisian? Tapi yang namanya drama, ya udahlah ya, apa pun bisa terjadi walau tidak masuk akal sekali pun. Ini kedua kalinya ada UNLOGICAL PLOT di drama ini. Yang pertama tentang kecelakaan Baek In Ho, jelas-jelas Baek In Ho naik pesawat tapi tiba-tiba dia termasuk dalam daftar penumpang kapal yang menghilang di tengah lautan. Kalau pesawatnya meledak di lautan masih masuk akal, lah ini tiba-tiba aja ganti naik kapal padahal jelas-jelas Tae Hee dan Ja Eun mengejar ke Bandara ckckck >_< Dan yang kedua, warga sipil diijinkan ikut dalam pengintaian pihak kepolisian. Apa mereka tidak takut kalau Kim Jae Ha justru akan menghambat misi pengintaian?)
Kembali ke drama, seperti yang sudah kujelaskan kalau Kim Jae Ha pada akhirnya mendapatkan ijin untuk ikut dalam pengintaian itu. Tapi di kursi belakang, Kim Jae He terus makan camilan dengan suara berisik yang mengganggu konsentrasi kedua polisi muda itu. (Ya kan? Ganggu orang kerja aja deh nih second lead resek >_<)
Tae Hee dan Dong Min serentak menoleh ke kursi belakang dengan kesal, dan dengan wajah tanpa dosa, Kim Jae Ha berkata, “Itu karena aku tidak makan siang dengan baik.”
“Namamu adalah Polisi Seo, kan? Apa kau mau satu?” tawar Kim Jae Ha pada Seo Dong Min yang terpaksa menerima snack coklat itu karena sungkan.
“Apa kau mau satu, Hwang Gyeonghwi-nim?” tawar Kim Jae Ha pada Tae Hee.
“Tidak. Terima kasih,” sahut Tae Hee dengan datar dan malas tanpa menoleh.
“Hwang Gyeonghwi-nim tidak menyukai makanan manis,” ujar Dong Min, menjelaskan tanpa diminta, membuat Tae Hee menatapnya tajam karena menyebarkan informasi tentang dirinya tanpa diminta.
“Ah, dia kebalikan dariku. Aku sangat suka makanan manis,” sahut Kim Jae Ha, padahal gak ada yang tanya. Namun baik Tae Hee ataupun Dong Min tak ada yang menggubrisnya.
“Kalau begitu apa makanan kesukaanmu, Inspektur Hwang? Apa kau menyukai makanan pedas, seperti oseng cumi pedas? Atau kau memiliki makanan favorit khusus? Karena kau tak mau menjawabnya, itu membuatku semakin penasaran,” ujar Kim Jae Ha dengan cerewet seperti seorang wanita, benar-benar merusak konsentrasi kedua polisi itu.
Kalau Ja Eun yang bertanya seperti itu, Tae Hee akan dengan senang hati menjawab tapi karena itu Kim Jae Ha, ekspresi tampak sangat kesal mendengarnya.
“Hyungnim kami...” Seo Dong Min baru saja akan mengatakan sesuatu namun Tae Hee menghentikannya.
“Seo Dong Min, fokuslah pada pengintaian! Kau ingin kehilangan target kita seperti pengintaianmu yang terakhir?” tegur Hwang Tae Hee dengan tegas dan keras. Seo Dong Min seketika terdiam mendengar Tae Hee memarahinya.
(Sumpah. Aku juga pengen ngelakban mulutnya Kim Jae Ha yang cerewet abiz dan gak paham situasi. Mungkin maksudnya dia ingin bersikap ramah namun momennya tidak tepat. Mereka lagi mengintai penjahat, woi! Bisa diem kagak sih tuh mulut? Pantes aja Tae Hee selalu aja pengen ngehajar nih cowok satu tiap kali mereka ketemu. Banyak bacot soalnya. Lambe wedhok! Lebih cerewet daripada Tae Phil >_< )
Sindiran Tae Hee tidak membuat Kim Jae Ha jera, dia masih saja cerewet dan mencoba mencari bahan pembicaraan yang tidak penting untuk menarik perhatian Tae Hee, entah apa tujuannya.
“Wah, rambutmu sangat bagus, hitam dan mengkilap. Apa kau melakukan perawatan di salon? Bolehkah aku menyentuhnya?” ujar Kim Jae Ha dengan pertanyaan tidak penting lainnya, seraya berusaha menyentuh rambut Tae Hee namun Tae Hee menghindar tepat pada waktunya.
Tindakannya yang absurd membuat Tae Hee dan Seo Dong Min tampak bergidik ngeri melihatnya. Dia kemudian menatap Tae Hee melalui kaca atas mobil dan Tae Hee yang menyadarinya juga menatapnya dengan sinis.
“Sekarang aku kembali memikirkannya, aku sempat bertanya-tanya kau mirip dengan siapa, sekarang aku baru menyadari kalau kau mirip dengan Kang Dong Won. Orang-orang akan percaya kalau kau bilang kalian saudara kembar. Apa kau pernah mendengar orang menyebutnya?” lagi, Kim Jae Ha mengoceh tidak penting. Tae Hee hanya menghembuskan napasnya lelah melihat betapa cerewetnya pria ini.
“Kau mirip dengan orangtuamu yang mana? Apa Ibumu cantik?” tanya Kim Jae Ha lagi dengan absurd.
“Jangan banyak bicara! Karena itu mengganggu pengintaian kami,” tegur Tae Hee dengan kesal.
“Maaf. Tapi apakah akan ada seseorang yang keluar? Suasananya sangat sepi dan kau bahkan tidak melihat seekor semut lewat,’’ ujar Kim Jae Ha tidak tahu diri.
Tiba-tiba saja Second Male Lead kita yang cerewet itu mendapatkan telepon dari seseorang dan keluar dari dalam mobil untuk mengangkat teleponnya.
“Anda tidak bisa keluar sekarang!” seru Seo Dong Min melarang namun Kim Jae Ha tidak peduli.
“Hyung, berhati-hatilah. Aku punya firasat buruk,” ujar Seo Dong Min dengan wajah serius, namun kemudian tertawa terbahak-bahak, “Kurasa pria itu tertarik padamu, Hyung. Lihatlah tatapan matanya! Itu tidak main-main,” lanjut Seo Dong Min, semakin menyiram minyak ke dalam api.
“YYYYAAAA!” bentak Tae Hee kesal, kemudian tanpa pikir panjang, Tae Hee segera menyalakan mesin mobilnya.
“Hyung, bagaimana dengan Kim PD-nim?” tanya Seo Dong Min tidak enak hati.
Tapi Tae Hee tidak peduli, dia terus saja tancap gas dan meninggalkan Kim Jae Ha sendirian di tempat itu. Menyadari dia ditinggalkan, Kim Jae Ha tanpa kenal menyerah berlari mengejar mobil Tae Hee. Sialnya di perempatan jalan, Tae Hee terpaksa menghentikan mobilnya karena ada beberapa orang yang memindahkan barang di tengah jalan. Dan itu memberikan kesempatan bagi Kim Jae Ha hingga berhasil mengejar mobil Tae Hee.
Tae Hee tampak terkejut melihat Kim Jae Ha tiba-tiba sudah ada di belakang mobil mereka dengan napas terengah-engah, padahal dia berpikir dia sudah meninggalkan pria cerewet itu cukup jauh, tidak disangka Kim Jae Ha tetap mengejar sejauh itu.
Kim Jae Ha mengetuk kaca jendela Seo Dong Min dengan terengah-engah dan bertanya tanpa curiga sedikitpun, “Apakah targetnya sudah keluar? Di mana dia sekarang?” tanyanya dengan napas tersengal-sengal, sementara Tae Hee hanya menarik napas kesal karena gagal membuang pria cerewet itu di sana.
“Ini sudah siang, kenapa kau menutup kordennya?” omel Jung Yeon Suk karena Ja Eun terus saja menutup korden itu setiap kali dia membukanya.
“Kau sudah mendengarnya beberapa saat yang lalu kan, saat kami (dia dan Hwang Chang Sik) membicarakan tentang pertanian? Ja Eun-ah, tidakkah menurutmu kita harus membereskan masalah pertanian ini lebih dulu? Tentu saja dengan apa yang kau rasakan sekarang, kau tidak ingin bertemu dengan keluarga itu lagi, tapi kita tidak bisa selamanya hidup menyedihkan dengan tinggal di penginapan kecil seperti ini, kan?” ujar Jung Yeon Suk, mencoba membujuk Ja Eun lagi.
Kali ini Ja Eun tak lagi terdiam melamun karena shock seperti sebelumnya, sebaliknya dia segera mengambil tasnya dan pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa pada ibu tirinya.
“Ja Eun-ah, kau mau ke mana? Ja Eun-ah!” panggil Jung Yeon Suk namun Ja Eun mengabaikannya.
Ja Eun segera berjalan keluar menuju jalan utama dan memanggil taksi agar mengantarkannya ke suatu tempat.
Di Ojakgyo Farm, Park Bok Ja tampak duduk di ruang tamu seraya melipat baju dengan wajah yang tampak pucat dan sayu, dia jatuh sakit karena memikirkan masalah ini dan juga karena merindukan Ja Eun, beban mentalnya membuat wanita berusia 60 tahun itu pada akhirnya jatuh sakit karena terlalu banyak berpikir.
Nenek yang baru saja keluar dari kamarnya melihat Park Bok Ja yang sedang terduduk dengan wajah pucat, seketika tampak khawatir.
“Apa kau sakit? Mananya yang sakit?” ujar Nenek dengan cemas.
“Tidak, Ibu. Aku hanya sedikit pusing,” sahut Park Bok Ja lemah.
“Tapi wajahmu sangat pucat sekarang. Kau pasti sakit sekarang. Pergilah ke kamar dan tidurlah sejenak,” sahut Nenek, menyuruh menantunya tidur dan istirahat.
“Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku tidak melakukan apa pun yang membuatku pantas untuk tidur dan bermalas-malasan,” sahut Park Bok Ja menolak.
Saat itulah Ja Eun tiba-tiba datang dan mengejutkan Nenek dan Park Bok Ja. Mereka berdua tampak terkejut dengan kedatangan Ja Eun yang tiba-tiba.
“Apa kabar, Ahjumma? Padahal ini baru sehari, tapi rasanya aku sudah lama sekali tidak melihatmu. Apa kabarmu baik?” ujar Ja Eun dengan nada sindiran tajam dan ekspresi wajah yang dingin dan menahan kemarahan.
“Ja Eun-ah,” panggil Park Bok Ja dengan lembut.
“Aku datang untuk mengambil barang-barangku. Barang-barangku masih ada di atas, bukan?” tanya Ja Eun dengan nada sindiran tajam sekali lagi.
“Tentu saja barang-barangmu masih ada di sana,” sahut Park Bok Ja dengan lembut dan raut wajah bersalah.
“Benarkah? Kali ini, kenapa masih di sana? Apa yang membuatmu tidak membuangnya keluar lagi kali ini? Bukankah biasanya kau selalu menyeret barang-barangku dan melemparnya keluar rumah? Ah…Itu sebelum kau menemukan kontrakku, benarkan?” sindir Ja Eun dengan dingin.
“Bagaimana tidurmu semalam? Apa kau tidur dengan nyenyak? Aku bahkan tidak bisa memejamkan mataku sedikit saja. Aku selalu teringat semua yang telah terjadi selama ini. Tapi semakin aku mengingatnya, kenapa semua kenangan itu rasanya bagai menikam jantungku?” lanjut Ja Eun, masih dengan sindiran tajam dalam setiap kalimatnya.
“Yang pertama kali kuingat setelah kau mencuri surat kontrakku adalah apa yang kau katakan padaku saat kau melemparku keluar, kau bersumpah pada Tuhan bahwa kau bahkan tak pernah melihat surat kontrak itu. Bahwa tidak mungkin surat kontrakku hilang di dalam rumah ini, bahwa aku tidak pernah membawanya kemari, dan bagaimana kau sendiri yang mengemasi barang-barangku dan menendangku keluar saat itu,” Ja Eun mulai mengungkit masa lalunya yang menyakitkan dengan nada sedingin es dan kalimat setajam silet.
“Yang kedua adalah saat aku mendirikan tenda di halaman. Segera setelah kau melihatku, kau mencoba untuk menggulingkan tendaku dan bahkan menendang makananku. Kau bahkan berkata kau akan membiarkan seekor anjing makan dengan tenang, tapi kau justru menendang makananku dengan kejam. Jadi bagimu, apa aku jauh lebih rendah daripada seekor anjing?” ujar Ja Eun berapi-api, semua kalimatnya menikam bagai belati. Menyakitkan, namun begitulah fakta yang terjadi. Begitulah yang dia alami saat pertama kali datang kemari dan itu semuanya dilakukan oleh Park Bok Ja sendiri.
“Lalu mimpi buruk dengan air. Itu adalah pertama kalinya aku menyadari bahwa disemprot dengan air sangatlah menyakitkan. Ah, aku hampir lupa, kau juga memukuliku berkali-kali hanya karena aku mengambil beberapa potong kue karena aku kelaparan. Aku hampir saja melupakan itu. Ada begitu banyak kenangan buruk yang kau berikan untukku, lebih dari yang bisa kuhitung. Sangat banyak bagaikan bintang-bintang di angkasa,” sindir Ja Eun sekali lagi. Air mata mulai menetes dari kedua sudut matanya.
Dengan nada sindiran tajam dan kalimat yang pedas, Ja Eun
mengungkapkan semua dosa Park Bok Ja tepat di depan mata wanita itu, membuat
Park Bok Ja tak mampu berkata-kata dan hanya bisa menangis menyesali semua dosa
yang pernah dia lakukan pada gadis malang itu. Nenek pun hanya mampu menutup
mulutnya rapat dan ikut terharu serta merasa bersalah pada gadis itu.
“Apa yang harus kulakukan padamu, Ahjumma? Haruskah aku melakukan hal yang sama dengan membuatmu mendirikan tenda dan tidur di halaman serta menyirammu dengan air dari selang juga? Atau haruskah aku melakukan jalan pintas saja dengan melaporkanmu ke polisi dan biarkan hukum yang memprosesnya? Tunggu! Bukankah putra ketigamu adalah seorang polisi? Haruskah aku menyerahkanmu pada putramu sendiri untuk ditangkap?” sindir Ja Eun tajam dengan tersenyum sinis dan tatapan penuh luka.
“Yang aku tidak bisa mengerti adalah...Aku sudah memikirkannya sepanjang malam dan memikirkannya berulang-ulang, tapi hingga kini aku belum mengerti juga, bagaimana bisa kau menatap mataku dan memandang wajahku tanpa merasa bersalah sedikit pun dan bahkan masih bisa tertawa? Bagaimana bisa kau tersenyum padaku setiap hari saat kita bekerja di pertanian dan saat merawat bebek? Bagaimana bisa kau tertawa bersamaku saat kita bergandengan tangan dan melarikan diri dari kejaran tetangga saat kau mengambil pakannya? Bagaimana bisa kau tersenyum padaku saat kita minum alkohol berdua di kamar loteng dan saling berbagi cerita?” lanjut Ja Eun lagi, air matanya menetes semakin deras dan ekspresi wajahnya tampak sangat terluka.
Bagi Ja Eun, ditikam dari belakang oleh seseorang yang sudah dianggapnya ibu kandung sendiri sangatlah menyakitkan. Lebih menyakitkan daripada ditusuk ribuan pedang. Ja Eun menghapus air matanya dan menoleh pada Nenek yang hanya terdiam mendengarkan ucapan Ja Eun pada menantunya.
“Apa yang Nenek katakan ternyata benar adanya. Akting Ahjuma bahkan lebih hebat daripada Aktris pemenang Academy Awards. Aku benar-benar tertipu mentah-mentah olehnya selama ini,” seru Ja Eun pada Nenek dengan air mata berlinang. Nenek hanya terdiam seraya menatap Ja Eun dengan tatapan mata bersalah.
Ja Eun kembali memusatkan perhatiannya pada Park Bok Ja setelah itu, “Aku bahkan tidak tahu kalau kau adalah pelakunya. Aku tidak tahu kalau kau mencuri kontrakku. Hanya karena kau mengusap perutku yang sakit saat menstruasi, aku mengatakan kalimat menjijikkan itu, ‘Ahjumma, tidak bisakah kita menjadi ibu dan anak?’ Aku menarik kembali kalimat itu!” seru Ja Eun berapi-api dengan air mata mengalir deras.
Park Bok Ja pun hanya mampu memejamkan matanya dan menangis terisak penuh penyesalan saat mendengar semua kalimat Ja Eun yang ditujukan padanya, kebenaran yang menyakitkan, luka yang terlalu besar, pengkhianatan yang tidak pernah gadis itu sangka, dan semua itu dilakukan olehnya. Dia merasa sangat menyesal, telah menyakiti gadis sebaik Ja Eun. Namun semua itu telah terjadi dan dia pun tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya. Dan Park Bok Ja tahu, kata Maaf saja tidak akan cukup bagi gadis itu.
“Aku menariknya kembali! Aku menarik kembali semua kata-kata yang pernah kuucapkan padamu! Setelah terlahir ke dunia ini, lalu menjadi gadis bodoh dan naif, aku menyesali semua itu. Itu tidak akan pernah terjadi lagi!” lanjut Ja Eun seraya menghapus air matanya, mengakhiri ucapan panjangnya yang mengungkapkan semua dosa Park Bok Ja.
Park Bok Ja hanya terdiam membisu dengan air mata yang juga mengalir deras. Dia bahkan tak mampu membuka mulutnya untuk meminta maaf.
Blogger Opinion :
Melihat Tae Hee yang selalu menyangkal perasaannya sendiri, sepertinya memang perlu ada orang ketiga pria (second male lead) untuk membuat Tae Hee cemburu dan menyadari perasaannya pada Ja Eun. Seperti kata pepatah, “Sesuatu akan terlihat sangat berharga bila sudah direbut orang”. Dan karena Tae Hee adalah pria introvert yang tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaannya, sepertinya dia memang membutuhkan pemicu agar menyadari perasaannya sendiri.
Jangan khawatir tentang Kim Jae Ha, walaupun di episode ini, dia terlihat seperti homo yang tertarik pada Tae Hee, tapi faktanya tidak seperti itu. Nanti akan diungkap kenapa dia seperti “tertarik” pada Tae Hee, namun tentu bukan perasaan romantis. Mereka berdua normal. Dan Kim Jae Ha pun nanti lebih dekat ke Ja Eun daripada Tae Hee dan membuat Tae Hee cemburu setengah mati melihat kedekatan antara Ja Eun dan Kim Jae Ha.
Dan soal Park Bok Ja, kesalahan wanita itu memang sangat besar. Dan aku sama sekali tidak menyalahkan Ja Eun yang teramat sangat terluka akibat penghianatan ini. Ja Eun sejak awal sudah kasihan soalnya, apalagi setelah kontraknya dicuri Park Bok Ja di EP 7-10, jadi kemarahan Ja Eun sangatlah wajar. Ja Eun butuh waktu untuk meredakan emosinya.
Tapi justru dari sinilah perasaan cinta Tae Hee akan diuji, dia sungguh-sungguh jatuh hati ataukah hanya karena kasihan dan merasa bersalah pada gadis itu, Tae Hee akan menyadarinya setelah gadis itu pergi. Sekarang saatnya Tae Hee mengejar dan membuktikan perasaannya sendiri pada Ja Eun. If you really loves her, protect her no matter what happens! Chase after her! Show her your loves, not only tell~ Because actions speak louder than words.
Satu lagi, aktingnya UEE After School di drama ini benar-benar sangat bagus, awesome! Aku turut menangis saat melihat Ja Eun menangis. Great job, UEE!
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/608 + https://gswww.tistory.com/609)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
“Apa yang harus kulakukan padamu, Ahjumma? Haruskah aku melakukan hal yang sama dengan membuatmu mendirikan tenda dan tidur di halaman serta menyirammu dengan air dari selang juga? Atau haruskah aku melakukan jalan pintas saja dengan melaporkanmu ke polisi dan biarkan hukum yang memprosesnya? Tunggu! Bukankah putra ketigamu adalah seorang polisi? Haruskah aku menyerahkanmu pada putramu sendiri untuk ditangkap?” sindir Ja Eun tajam dengan tersenyum sinis dan tatapan penuh luka.
“Yang aku tidak bisa mengerti adalah...Aku sudah memikirkannya sepanjang malam dan memikirkannya berulang-ulang, tapi hingga kini aku belum mengerti juga, bagaimana bisa kau menatap mataku dan memandang wajahku tanpa merasa bersalah sedikit pun dan bahkan masih bisa tertawa? Bagaimana bisa kau tersenyum padaku setiap hari saat kita bekerja di pertanian dan saat merawat bebek? Bagaimana bisa kau tertawa bersamaku saat kita bergandengan tangan dan melarikan diri dari kejaran tetangga saat kau mengambil pakannya? Bagaimana bisa kau tersenyum padaku saat kita minum alkohol berdua di kamar loteng dan saling berbagi cerita?” lanjut Ja Eun lagi, air matanya menetes semakin deras dan ekspresi wajahnya tampak sangat terluka.
Bagi Ja Eun, ditikam dari belakang oleh seseorang yang sudah dianggapnya ibu kandung sendiri sangatlah menyakitkan. Lebih menyakitkan daripada ditusuk ribuan pedang. Ja Eun menghapus air matanya dan menoleh pada Nenek yang hanya terdiam mendengarkan ucapan Ja Eun pada menantunya.
“Apa yang Nenek katakan ternyata benar adanya. Akting Ahjuma bahkan lebih hebat daripada Aktris pemenang Academy Awards. Aku benar-benar tertipu mentah-mentah olehnya selama ini,” seru Ja Eun pada Nenek dengan air mata berlinang. Nenek hanya terdiam seraya menatap Ja Eun dengan tatapan mata bersalah.
Ja Eun kembali memusatkan perhatiannya pada Park Bok Ja setelah itu, “Aku bahkan tidak tahu kalau kau adalah pelakunya. Aku tidak tahu kalau kau mencuri kontrakku. Hanya karena kau mengusap perutku yang sakit saat menstruasi, aku mengatakan kalimat menjijikkan itu, ‘Ahjumma, tidak bisakah kita menjadi ibu dan anak?’ Aku menarik kembali kalimat itu!” seru Ja Eun berapi-api dengan air mata mengalir deras.
Park Bok Ja pun hanya mampu memejamkan matanya dan menangis terisak penuh penyesalan saat mendengar semua kalimat Ja Eun yang ditujukan padanya, kebenaran yang menyakitkan, luka yang terlalu besar, pengkhianatan yang tidak pernah gadis itu sangka, dan semua itu dilakukan olehnya. Dia merasa sangat menyesal, telah menyakiti gadis sebaik Ja Eun. Namun semua itu telah terjadi dan dia pun tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya. Dan Park Bok Ja tahu, kata Maaf saja tidak akan cukup bagi gadis itu.
“Aku menariknya kembali! Aku menarik kembali semua kata-kata yang pernah kuucapkan padamu! Setelah terlahir ke dunia ini, lalu menjadi gadis bodoh dan naif, aku menyesali semua itu. Itu tidak akan pernah terjadi lagi!” lanjut Ja Eun seraya menghapus air matanya, mengakhiri ucapan panjangnya yang mengungkapkan semua dosa Park Bok Ja.
Park Bok Ja hanya terdiam membisu dengan air mata yang juga mengalir deras. Dia bahkan tak mampu membuka mulutnya untuk meminta maaf.
Blogger Opinion :
Melihat Tae Hee yang selalu menyangkal perasaannya sendiri, sepertinya memang perlu ada orang ketiga pria (second male lead) untuk membuat Tae Hee cemburu dan menyadari perasaannya pada Ja Eun. Seperti kata pepatah, “Sesuatu akan terlihat sangat berharga bila sudah direbut orang”. Dan karena Tae Hee adalah pria introvert yang tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaannya, sepertinya dia memang membutuhkan pemicu agar menyadari perasaannya sendiri.
Jangan khawatir tentang Kim Jae Ha, walaupun di episode ini, dia terlihat seperti homo yang tertarik pada Tae Hee, tapi faktanya tidak seperti itu. Nanti akan diungkap kenapa dia seperti “tertarik” pada Tae Hee, namun tentu bukan perasaan romantis. Mereka berdua normal. Dan Kim Jae Ha pun nanti lebih dekat ke Ja Eun daripada Tae Hee dan membuat Tae Hee cemburu setengah mati melihat kedekatan antara Ja Eun dan Kim Jae Ha.
Dan soal Park Bok Ja, kesalahan wanita itu memang sangat besar. Dan aku sama sekali tidak menyalahkan Ja Eun yang teramat sangat terluka akibat penghianatan ini. Ja Eun sejak awal sudah kasihan soalnya, apalagi setelah kontraknya dicuri Park Bok Ja di EP 7-10, jadi kemarahan Ja Eun sangatlah wajar. Ja Eun butuh waktu untuk meredakan emosinya.
Tapi justru dari sinilah perasaan cinta Tae Hee akan diuji, dia sungguh-sungguh jatuh hati ataukah hanya karena kasihan dan merasa bersalah pada gadis itu, Tae Hee akan menyadarinya setelah gadis itu pergi. Sekarang saatnya Tae Hee mengejar dan membuktikan perasaannya sendiri pada Ja Eun. If you really loves her, protect her no matter what happens! Chase after her! Show her your loves, not only tell~ Because actions speak louder than words.
Satu lagi, aktingnya UEE After School di drama ini benar-benar sangat bagus, awesome! Aku turut menangis saat melihat Ja Eun menangis. Great job, UEE!
Bersambung...
Written by : Liana Hwie
Credit Pictures : All Pictures belong to owners (https://gswww.tistory.com/608 + https://gswww.tistory.com/609)
Artikel terkait :
Episode Guide “Ojakgyo Brothers” Tae Hee – Ja Eun Moment
Sinopsis drama Korea “Ojakgyo Brothers”, cinta di tengah perebutan rumah warisan
Kumpulan Soundtrack Drama Korea "Ojakgyo Brothers" beserta terjemahan Indonesia
---------000000---------
Warning :
Dilarang MENG-COPY PASTE TANPA IJIN TERTULIS DARI PENULIS!
Siapa yang berani melakukannya, aku akan menyumpahi kalian SIAL 7 TURUNAN!
Semua artikel dan terjemahan lagu dalam blog ini adalah
murni hasil pikiranku sendiri, kalau ada yang berani meng-copy paste tanpa
menyertakan credit dan link blog ini sebagai sumber aslinya dan kemudian
mempostingnya ulang di mana pun, apalagi di Youtube, kalau aku mengetahuinya,
aku gak akan ragu untuk mengajukan "Strike" ke channel kalian. Dan
setelah 3 kali Strike, bersiaplah channel kalian menghilang dari dunia
Per-Youtube-an!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar